Versi Bahasa Indonesia
II. "Aku tahu, kepada siapa aku percaya"
Percaya hanya akan Allah
150. Iman adalah ikatan pribadi manusia dengan Allah dan sekaligus, tidak terpisahkan dari itu, persetujuan secara bebas terhadap segala kebenaran yang diwahyukan Allah. Sebagai ikatan pribadi dengan Allah dan persetujuan terhadap kebenaran yang diwahyukan Allah, iman Kristen berbeda dengan kepercayaan yang diberikan kepada seorang manusia. Menyerahkan diri seluruhnya kepada Allah, dan mengimani secara absolut apa yang Ia katakan adalah tepat dan benar. [222] Sebaliknya adalah sia-sia dan salah memberikan kepercayaan yang demikian itu kepada seorang makhluk.
Percaya akan Yesus Kristus, Putera Allah
151. Untuk seorang Kristen, iman akan Allah berhubungan erat dengan iman akan Dia, yang diutus-Nya, "Putera-Nya terkasih", yang berkenan kepada-Nya (Mrk 1:11) dan Dia yang harus kita dengarkan. Tuhan sendiri berkata kepada murid-murid-Nya: "Percayalah kepada Allah dan percayalah kepada-Ku juga" (Yoh 14:1). Kita dapat percaya kepada Yesus Kristus karena Ia sendiri Allah, Sabda yang menjadi manusia: "Tidak seorang pun yang pernah melihat Allah; tetapi Anak Tunggal Allah yang ada di pangkuan Bapa, Dialah yang menyatakan-Nya" (Yoh 1:18). [424] Karena Ia sudah "melihat Bapa" (Yoh 6:46), Ia adalah satu-satunya yang mengenal Bapa dan dapat mewahyukan-Nya.
Percaya akan Roh Kudus
152. Orang tidak dapat percaya akan Yesus Kristus, tanpa berpartisipasi pada Roh-Nya: Roh Kudus menyatakan kepada manusia, siapa Yesus. [243, 683] "Tidak seorang pun dapat mengaku: 'Yesus adalah Tuhan' selain oleh Roh Kudus" (1 Kor 12:3). "Roh Allah itu menyelidiki segala sesuatu, bahkan hal-hal yang tersembunyi dalam diri Allah... Demikian pulalah tidak ada orang yang tahu, apa yang terdapat di dalam diri Allah selain Roh Allah" (1 Kor 2:10-11). Hanya Allah yang mengenal Allah secara menyeluruh. Kita
percaya akan Roh Kudus karena Ia Allah. Gereja mengakui tanpa henti-hentinya imannya akan satu Allah, Bapa, Putera dan Roh Kudus. [232]
III. Ciri-ciri iman
Iman adalah rahmat
153. Ketika Petrus mengakui bahwa Yesus adalah Mesias, Putera Allah yang hidup, berkatalah Yesus kepadanya: "Bukan manusia yang menyatakan itu kepadamu, melain-kan Bapa-Ku yang ada di surga" (Mat 16:17). [552, 1814] Iman adalah satu anugerah Allah, satu kebajikan adikodrati yang dicurahkan oleh-Nya. "Supaya orang dapat percaya seperti itu, diperlukan rahmat Allah yang mendahului serta menolong, pun juga bantuan batin Roh Kudus, yang menggerakkan hati dan membalikkannya kepada Allah, membuka mata budi, dan menimbulkan pada semua orang rasa manis dalam menyetujui dan mempercayai kebenaran'" (DV 5). [1996, 2609]
Iman adalah suatu kegiatan manusiawi
154. Hanya dengan bantuan rahmat dan pertolongan batin Roh Kudus, manusia mampu percaya. Walaupun demikian, iman adalah satu kegiatan manusiawi yang sebenar-benarnya. Percaya kepada Allah dan menerima kebenaran-kebenaran yang diwahyukan oleh-Nya, tidak bertentangan baik dengan kebebasan maupun dengan pikiran manusia. [1749] Dalam hubungan antar manusia pun tidak bertentangan dengan martabat kita, kalau kita percaya apa yang orang lain katakan kepada kita mengenai diri mereka sendiri
dan mengenai maksudnya, dan memberi kepercayaan kepada perjanjiannya (umpamanya kalau seorang pria dan wanita kawin) dan dengan demikian masuk ke dalam persekutuan dengan mereka. Maka dari itu, sama sekali tidak berlawanan dengan martabat kita, "dalam iman memberikan kepada Allah yang mewahyukan, ketaatan pikiran dan kehendak secara utuh" (Konsili Vatikan I: DS 3008) dan dengan demikian masuk ke dalam persekutuan yang mesra dengan-Nya. [2126]
155. Dalam iman, akal budi dan kehendak manusia bekerja sama dengan rahmat ilahi: "Iman adalah satu kegiatan akal budi yang menerima kebenaran ilahi atas perintah kehendak yang digerakkan oleh Allah dengan perantaraan rahmat" (Tomas Aqu., s.th. 2-2, 2, 9) [2008]
Iman dan akal budi
156. Alasan untuk percaya tidak terdapat dalam kenyataan bahwa kebenaran yang diwahyukan itu kelihatan benar dan jelas dalam cahaya budi kodrati kita. Kita percaya "karena otoritas Allah yang mewahyukan, yang tidak dapat keliru dan tidak dapat menyesatkan" (Konsili Vatikan I: DS 3008). [1063. 2465] Namun, "supaya ketaatan iman kita sesuai dengan akal budi, maka Allah menghendaki agar bantuan batin Roh Kudus dihubungkan dengan tanda bukti lahiriah bagi wahyu-Nya" (DS 3009). Maka mujizat Kristus dan para kudus
ramalan, penyebaran dan kekudusan Gereja, kesuburannya dan kelanjutannya, [548] "dengan sesungguhnya adalah tanda-tanda wahyu ilahi yang jelas dan sesuai dengan daya tangkap semua orang" (DS 3009), [812] alasan-alasan bagi kredibilitas, yang menunjukkan bahwa "penerimaan iman sekali-kali bukanlah suatu gerakan hati yang buta" (DS 3010).
157. Iman itu pasti, lebih pasti dari setiap pengertian manusiawi, karena ia berdasarkan Sabda Allah yang tidak dapat menipu. Memang kebenaran-kebenaran yang diwahyukan dapat kelihatan gelap bagi budi dan pengalaman manusiawi, tetapi "kepastian melalui cahaya ilahi itu lebih besar daripada kepastian melaluicahaya akal budi alamiah" (Tomas Aqu., s.th. 2-2, 171, 5 obj.3). "Ribuan kesukar-sulitan tidak sama dengan kebimbangan" (J.H. Newman, apol.). [2088]
158. Iman berusaha untuk mengerti (Anselmus prosl.prooem). Orang yang benar-benar percaya, berusaha untuk mengenal lebih baik dia, kepada siapa ia telah memberikan kepercayaannya, dan untuk mengerti lebih baik apa yang telah dinyatakannya. [2705] Pengertian yang lebih dalam pada gilirannya akan membangkitkan iman yang lebih kuat, iman yang semakin dijiwai oleh cinta. [1827] Rahmat iman membuka "mata hati" (Ef 1:18) menuju suatu pengertian yang hidup mengenai isi wahyu, artinya, mengenai keseluruhanrencana Allah dan misteri iman, demikian juga hubungannya antara yang satu dengan yang lain dan dengan Kristus, pusat misteri yang diwahyukan. [90] "Supaya semakin mendalamlah pengertian akan wahyu, Roh Kudus itu juga senantiasa menyempurnakan iman melalui karunia-karunia-Nya" (DV 5). [2518] Maka, benar apa yang dikatakan santo Agustinus: "Aku percaya supaya mengerti, dan aku mengerti supaya percaya lebih baik" (serm. 43, 7, 9).
159. Iman dan ilmu pengetahuan. "Meskipun iman itu melebihi akal budi, namun tidak pernah bisa ada satu petentangan yang sesungguhnya antara iman dan akal budi [283]: karena Allah sama, yang mewahyukan rahasia-rahasia dan mencurahkan iman telah menempatkan di dalam roh manusia cahaya akal budi; tetapi Allah tidak dapat menyangkal diri-Nya sendiri, dan tidak pernah yang benar bisa bertentangan dengan yang benar" (Konsili Vatikan I: DS 3017). "Maka dari itu, penyelidikan metodis di semua bidang ilmu, bila dijalankan dengan sungguh ilmiah dan menurut kaidah-kaidah kesusilaan, tidak akan pernah sungguh bertentangan dengan iman karena hal-hal profan dan pokok-pokok iman berasal dari Allah yang sama. [2293, 35, 50] Bahkan barang siapa dengan rendah hati dan dengan tabah berusaha menyelidiki rahasia-rahasia alam, kendati tanpa disadari pun ia bagaikan dituntun oleh tangan Allah yang melestarikan segala
sesuatu dan menjadikannya sebagaimana adanya" (GS 36, 2).
Versi Bahasa Inggris
Read the Catechism: Day 22 |
Part1:The Profession of Faith (26 - 1065)
Section1:"I Believe" — "We Believe" (26 - 184)
Chapter3:Man's Response to God (142 - 184)
Article1:I Believe (144 - 165)
II. "I KNOW WHOM I HAVE BELIEVED"
To believe in God alone
150 Faith is first of all a personal adherence of man to God. At the same time, and inseparably, it is a free assent to the whole truth that God has revealed. As personal adherence to God and assent to his truth, Christian faith differs from our faith in any human person. It is right and just to entrust oneself wholly to God and to believe absolutely what he says. It would be futile and false to place such faith in a creature.
To believe in Jesus Christ, the Son of God
151 For a Christian, believing in God cannot be separated from believing in the One he sent, his "beloved Son", in whom the Father is "well pleased"; God tells us to listen to him. The Lord himself said to his disciples: "Believe in God, believe also in me." We can believe in Jesus Christ because he is himself God, the Word made flesh: "No one has ever seen God; the only Son, who is in the bosom of the Father, he has made him known." Because he "has seen the Father", Jesus Christ is the only one who knows him and can reveal him.
To believe in the Holy Spirit
152 One cannot believe in Jesus Christ without sharing in his Spirit. It is the Holy Spirit who reveals to men who Jesus is. For "no one can say "Jesus is Lord", except by the Holy Spirit", who "searches everything, even the depths of God.... No one comprehends the thoughts of God, except the Spirit of God." Only God knows God completely: we believe in the Holy Spirit because he is God.
The Church never ceases to proclaim her faith in one only God: Father, Son and Holy Spirit.
III. THE CHARACTERISTICS OF FAITH
Faith is a grace
153 When St. Peter confessed that Jesus is the Christ, the Son of the living God, Jesus declared to him that this revelation did not come "from flesh and blood", but from "my Father who is in heaven". Faith is a gift of God, a supernatural virtue infused by him. "Before this faith can be exercised, man must have the grace of God to move and assist him; he must have the interior helps of the Holy Spirit, who moves the heart and converts it to God, who opens the eyes of the mind and 'makes it easy for all to accept and believe the truth.'"
Faith is a human act
154 Believing is possible only by grace and the interior helps of the Holy Spirit. But it is no less true that believing is an authentically human act. Trusting in God and cleaving to the truths he has revealed is contrary neither to human freedom nor to human reason. Even in human relations it is not contrary to our dignity to believe what other persons tell us about themselves and their intentions, or to trust their promises (for example, when a man and a woman marry) to share a communion of life with one another. If this is so, still less is it contrary to our dignity to "yield by faith the full submission of... intellect and will to God who reveals", and to share in an interior communion with him.
155 In faith, the human intellect and will cooperate with divine grace: "Believing is an act of the intellect assenting to the divine truth by command of the will moved by God through grace."
Faith and understanding
156 What moves us to believe is not the fact that revealed truths appear as true and intelligible in the light of our natural reason: we believe "because of the authority of God himself who reveals them, who can neither deceive nor be deceived". So "that the submission of our faith might nevertheless be in accordance with reason, God willed that external proofs of his Revelation should be joined to the internal helps of the Holy Spirit." Thus the miracles of Christ and the saints, prophecies, the Church's growth and holiness, and her fruitfulness and stability "are the most certain signs of divine Revelation, adapted to the intelligence of all"; they are "motives of credibility" (motiva credibilitatis), which show that the assent of faith is "by no means a blind impulse of the mind".
157 Faith is certain. It is more certain than all human knowledge because it is founded on the very word of God who cannot lie. To be sure, revealed truths can seem obscure to human reason and experience, but "the certainty that the divine light gives is greater than that which the light of natural reason gives." "Ten thousand difficulties do not make one doubt."
158 "Faith seeks understanding": it is intrinsic to faith that a believer desires to know better the One in whom he has put his faith, and to understand better what He has revealed; a more penetrating knowledge will in turn call forth a greater faith, increasingly set afire by love. The grace of faith opens "the eyes of your hearts" to a lively understanding of the contents of Revelation: that is, of the totality of God's plan and the mysteries of faith, of their connection with each other and with Christ, the center of the revealed mystery. "The same Holy Spirit constantly perfects faith by his gifts, so that Revelation may be more and more profoundly understood." In the words of St. Augustine, "I believe, in order to understand; and I understand, the better to believe."
159 Faith and science: "Though faith is above reason, there can never be any real discrepancy between faith and reason. Since the same God who reveals mysteries and infuses faith has bestowed the light of reason on the human mind, God cannot deny himself, nor can truth ever contradict truth." "Consequently, methodical research in all branches of knowledge, provided it is carried out in a truly scientific manner and does not override moral laws, can never conflict with the faith, because the things of the world and the things of faith derive from the same God. The humble and persevering investigator of the secrets of nature is being led, as it were, by the hand of God in spite of himself, for it is God, the conserver of all things, who made them what they are."
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar