Mengasihi Sesama

Mengasihi Sesama
Ibu Theresa dari Calcuta

Kamis, 24 September 2020

BAB VI. Keberadaan Tradisi

 IN TEOLOGI FUNDAMENTALTRADISI

1

Tidak ada alasan mengapa Wahyu, dari hakikatnya, harus selalu dibatasi pada Kitab Suci.

Sabda Allah menuntut penghormatan dan penghargaan kita: ia adalah kebenaran yang tak terhingga. Allah berbicara kepada manusia “berulang kali dan dalam pelbagai cara”[1] dan Sabda-Nya itu baik, karena Ia tidak bisa menipu dan ditipu.

Semua kesempurnaan dan sifat-sifat-Nya tak terhingga, yang kita pahami dalam ciptaan-ciptaan-Nya, semuanya itu ditemukan dalam derajat yang tak terhingga dalam diri Sang Pencipta. Jadi, apabila merupakan hak istimewa manusia untuk mengkomunikasikan pikiran-pikirannya dengan kata, atau dalam tulisan, atau dengan cara lain, bagaimana kita bisa berharap bahwa Allah yang Mahakuasa membatasi Wahyu-Nya hanya kepada tulisan? Ini sungguh jelas sehingga saudara-saudari terpisah kita tidak menyangkalnya. Mereka sepenuhnya mengakui bahwa Wahyu, sebagaimana ditemukan dalam Kitab Suci, bisa jadi pertama kali disingkapkan Allah kepada para Patriak, Para Nabi, dan Para Rasul, tanpa tulisan apapun, dan ini biasanya disebut “Pewahyuan langsung.” Kendati demikian, mereka menyangkal, bahwa Wahyu, setidaknya dalam tatanan pelbagai hal saat ini, lama setelah pewartaannya, dapat ditemukan kecuali  di dalam Kitab Suci. Hal ini disebut “Pewahyuan tidak langsung atau yang diperantarai”: yaitu, kecuali Allah mewahyukan Diri-Nya pada kita, maka Wahyu telah berakhir sejak lama, dan kita tidak dapat menemukannya kecuali dalam Kitab Suci.

Penyangkalan ini sungguh sewenang-wenang. Apabila Allah dapat membuat para utusan-Nya, yang Ia tugasi untuk mewartakan pertama kalinya sebagian Wahyu, yang pantas untuk diimani melalui motif-motif kredibilitas, yaitu melalui bukti atau kepastian, maka Ia juga dapat menetapkan para utusan-Nya agar selamanya menjaga dan mewartakan Wahyu yang sama itu, secara sebagian dengan mengulangi atau melanjutkan motif-motif kredibilitas itu, sebagian lagi, dan khususnya, dengan menghubungkan para utusan-Nya dengan mereka semua yang ditempatkan Roh Kudus untuk memimpin Gereja-Nya secara infalibel, dan krenanya membuat mereka sebagai saksi iman yang pantas dan infalibel.

Dalam hal ini manusia memiliki kewajiban yang sama untuk mempercayai saksi-saksi infalibel ini, yang memperlihatkan, menjaga dan menyaksikan Wahyu – secara tertulis atau tidak tertulis – sebagaimana ia lakukan pada para utusan pertama, yang kepadanya Allah menyatakan Wahyu-Nya. Selama ada motif-motif kredibilitas ini, yang membuat utusan Allah dan saksi-Nya yang infalibel pantas mendapatkan iman kita, demikian pula manusia harus mempercayai utusan-utusan Allah dan saksi-Nya yang infalibel kapanpun dan di manapun mereka berada. Terserah pada Allah saja untuk memilih sarana dan cara mewartakan Wahyu, dan setelah pewartaannya, untuk menjaganya demi generasi masa depan.

Untuk alasan inilah, ketika persoalannya hanya terkait kodrat hal-hal, maka ia tergantung pada Allah saja, tidak hanya untuk memilih cara mengumumkan Wahyu Katolik kepada para utusan pertama-Nya, tapi juga setelah pengumumannya, guna menetapkan sarana dan cara menjaganya. Apabila Allah memilih Kitab Suci sebagai satu-satunya sarana untuk mengumumkan dan menjaga Wahyu, maka harus ada motif-motif kredibilitas yang memadai yang mana kita dapat merasa pasti bahwa Kitab Suci saja sungguh mengandung sabda Allah yang tak dipalsukan. Apabila Ia memilih otoritas para saksi untuk menjaga Kitab Suci dan Wahyu yang telah diwartakan sebelumnya, maka perlulah agar di sepanjang masa harus ada motif-motif kredibilitas  yang memadai guna memampukan manusia mengetahui bahwa apa yang diajukan untuk diimani adalah sabda Allah yang murni dan tidak ternoda. Dalam salah satu hal itu, manusia wajib mempercayai Wahyu – secara tertulis atau tidak tertulis – sebagai sabda Allah yang infalibel. Dalam hal pertama, itu terjadi melalui Kitab Suci, dalam hal kedua, ia terjadi melalui kesaksian infalibel dari mereka “yang ditempatkan Roh Kudus untuk memimpin jemaat Allah.”[2]

Selain Kitab Suci, oleh karena itu, terdapat sarana lain yang melaluinya Allah menyingkapkan diri-Nya pada kita. Dari kodrat hal-hal, tidaklah perlu agar Ia memilih Kitab Suci saja. Allah sungguh amat bebas [dalam memilih].

2

Setelah penciptaan dan kejatuhan manusia sampai kedatangan Kristus, Tradisi selalu ada.

Dapat dikatakan bahwa dalam arti tertentu, Gereja – Gereja Katolik – selalu ada. Ia dimulai dengan penciptaan manusia. Mereka semua, yang bahkan dalam permulaan dunia, menyembah Allah dan mematuhi perintah-perintah-Nya, mereka membentuk inti pertama Gereja. Untuk alasan yang sama dapat juga sungguh dikatakan bahwa periode yang membentang dari Adam sampai Kristus adalah periode “Konsepsi Gereja” sama seperti Pentakosta adalah “hari kelahirannya.”

Dari awal manusia mengimani dan mengakui kebenaran-kebenaran tertentu. Ia percaya akan Allah, Pencipta Langit dan Bumi, seorang Allah, yang mengganjar yang baik dan menghukum yang jahat. Ia mengungkapkan keyakinan tersebut dalam ibadah lahiriah dan dalam ketaatan kepada hukum-hukum Allah; ia mengetahui keberadaan Malaikat baik dan buruk; tapi terutama ia percaya akan Penebus masa depan, yang tidak hanya akan menghapuskan dosa orang tua pertama, tapi juga akan membayar hutang, yang karena dosa mereka, yang dimilikinya kepada Allah.

Kebenaran-kebenaran ini dipercayai dan diakui setidaknya oleh mereka, yang dalam kebobrokan umum umat manusia, namun dipandu oleh roh kebenaran. Mereka dikenal sebagai “anak-anak Allah”[3] sama seperti umat Israel yang sesudahnya dibedakan dari semua bangsa lain sebagai “umat terpilih Allah.” Semua kebenaran ini adalah wahyu-wahyu Allah. Mereka dijaga secara sebagian melalui pelayanan biasa para Patriak secara berkelanjutan, lalu secara sebagian lagi melalui pelayanan luar biasa para Nabi, yang menjaga, memperkaya, dan menjelaskan harta karun pewahyuan primitif tersebut.

Kita tahu sangat sedikit tentang para Patriak yang hidup sebelum air bah. Kendati demikian, dari konten Kitab Suci, yang mulai ditulis oleh Musa, mereka tampil sebagai “para pewarta keadilan” dan “para pelindung Agama.” Mereka tidak menulis apapun, karena mereka bahkan tidak cakap dalam seni menulis. Hal yang sama juga dapat dikatakan tentang para Nabi, yang Allah utus sebelum Musa.

Apapun yang dapat dikatakan dari periode ini tentang umat manusia, pastilah bahwa pewahyuan primitif, yang sebagian besarnya kemudian ditulis Musa, ditulis dan disebarkan secara eksklusif melalui Tradisi. Situasi ini dijalankan selama lebih dari dua ribu tahun.

Meskipun demikian, oleh karena zaman para Patriak yang panjang sebelum Air Bah, penjagaan pewahyuan primitif tidak pernah ada dalam bahaya kerusakan. Sebab, Abraham, yang lahir di tahun 2008 dari Adam, bisa jadi telah berbicara dengan Sem, yang mati di tahun 2158; sementara ayahnya Sem, Nuh, yang lahir di tahun 1-56 bisa jadi telah berbicara dengan Enos, yang mati di tahun 1140. Enos yang sama, di sisi lain, lahir pada tahun 253 dan hidup dengan kakek Adam selama tujuh abad.

Dengan alasan yang baik, karenanya, Musa dapat mengingatkan umatnya di masa paling purba akan asal usul mereka: “Ingatlah kepada zaman dahulu kala, perhatikanlah tahun-tahun keturunan yang lalu, tanyakanlah kepada ayahmu, maka ia memberitahukannya kepadamu, kepada para tua-tuamu, maka mereka mengatakannya kepadamu. Ketika Sang Mahatinggi membagi-bagikan milik pusaka kepada bangsa-bangsa, ketika Ia memisah-misah anak-anak manusia, maka Ia menetapkan wilayah bangsa-bangsa menurut bilangan anak-anak Israel.”[4]

Apabila Wahyu dijaga hanya oleh Tradisi sesudah penciptaan dan kejatuhan manusia, melalui kemajuan zaman para Patriak sampai ke waktu Musa, Tradisi tetap ada juga sesudah Musa menjadi bagian penting dari hidup keagamaan umat Allah, yaitu, dalam Perjanjian Lama. Sebab, sesudah kejatuhan manusia, Allah menjanjikan semua umat manusia akan seorang Penebus dan akhirnya menjanjikan upah kehidupan kekal. Ia tidak pernah mencabut janji ini, tidak pula Ia membatasinya kepada satu bangsa. Janji ini terus menjadi, secara umum, harapan dan keyakinan semua orang di bumi bahkan sesudah Allah masuk ke dalam perjanjian khusus dengan umat terpilih-Nya.

Suarez memahami hal ini. Ia menulis: “Hukum, bila dimengerti secara pantas, tidak menjanjikan upah abadi – dan tetap benarlah bahwa di bawah hukum, manusia memiliki janji kehidupan kekal dan semua kebaikan rohani – tidak ada kontradiksi di sini, karena orang Yahudi memiliki janji ini bukan dari Hukum, tapi ‘dari Para Bapa’, yakni, melalui Tradisi mereka; sebab, dari permulaan Gereja, hal itu dijanjikan kepada semua umat beriman, dan dan imannya tetap ada di dalam mereka melalui Tradisi, walaupun ia diperbarui dalam Abraham dan dibuat lebih ekspresif. Jadi, ia menjangkau umat Israel dengan cara ini dan sesudahnya ditulis para nabi, bukan sebagai ajaran baru, tapi sebagai ajaran kuno. Hal ini dibuktikan secara berlimpah melalui kesaksian sang Rasul (Ibr 11) yang, dimulai dari Habel dan terus berlanjut melalui para Patriak sampai ke para Nabi, menyatakan bahwa semuanya memiliki janji ini. Dengan demikian, Hukum tidak menambahkan apapun ke dalam janji rohani ini.”[5] Hal ini menjadi lebih jelas dari fakta bahwa sesudah Kitab-Kitab Ilahi pertama ditulis, Allah menetapkan sebuah Pelayanan – Pelayanan Biasa – yaitu, Tradisi eksplanatori (yang menjelaskan) dan penafrisan otentik dalam imamat, sebagaimana kita baca dalam Kitab Ulangan[6] dan dalam Maleakhi, “Sebab bibir seorang imam memelihara pengetahuan dan orang mencari pengajaran dari mulutnya, sebab dialah utusan TUHAN semesta alam.”[7]

Pelayanan biasa ini dibedakan dari Pelayanan luar biasa para Nabi, yang dalam waktu yang berbeda Allah mengutus mereka untuk mengumumkan pewahyuan-pewahyuan baru, dan juga untuk menjelaskan dan menjaga pewahyuan yang sudah diterima dalam Hukum Lama. Sudah pasti dalam perpaduan Pelayanan ini – yang biasa dan luar biasa – terdapat kebenaran-kebenaran ilahi, yang tidak pernah ditulis, atau, apabila mereka ditulis, mereka ditunjukkan secara samar-samar dalam Kitab Suci. Secara khusus ini adalah tradisi, yang termasuk ke dalam seluruh ras manusia dan dinyatakan oleh Allah sebelum ada Kitab apapun. Tuhan kita, Yesus Kristus sendiri, mengisyaratkan hal tersebut: “Ahli-ahli Taurat dan orang-orang Farisi telah menduduki kursi Musa”[8], pastinya bukan untuk pewahyuan-pewahyuan baru, tapi untuk menafsirkan Hukum secara otoritatif.

Apapun yang kita pikirkan tentang perkara ini, pastilah bahwa Kitab-Kitab kanonik dari Kitab Suci, otoritas dan ilham ilahi mereka, tidak bisa diteruskan selain dengan Tradisi. Hal ini tidak terbukti dalam dirinya, tapi juga terlihat dari Yosefus, yang, seteleh menceritakan bagaimana kitab-kitab dari Kitab Suci, yang ditulis sampai ke masa Artaxerses, diterima oleh semua orang, ia lantas mengacu kepada kitab-kitab lain dari Kitab Suci yang sama, yang kemudian mengikutinya, seraya berkata: “kitab-kitab ini tidak diterima secara setara seperti yang pertama, karena ketidakakuratan dari suksesi para Nabi.”[9] Yosefus kemudian bersaksi bagaimana sesudah orang Yahudi menerima dan menjaga kitab-kitab dari Kitab Suci ini dan kemudian mempercayainya sebagai sabda Allah.

Jadi, jelas bahwa kebenaran-kebenaran dogmatik dibawa oleh Tradisi, dari penciptaan dan kejatuhan manusia sampai ke Perjanjian Lama, bahkan sesudah kemunculan sabda Allah yang tertulis.

Ini artinya bahwa sejak penciptaan manusia sampai kedatangan Kristus, Allah tidak membatasi Wahyu kepada Kitab Suci.

3

Gereja selalu percaya secara teoretis pada Tradisi.

Sekarang, sebagian besar kaum Protestan, yang ditekan oleh argumen-argumen para Teolog Katolik, mulai mengakui bahwa, sebelum Kitab Suci semuanya ditulis, Gereja, dalam asalnya dan masa kanak-kanaknya, dari permulaan dunia, di sepanjang zaman, sampai kepada pewartaan Para Rasul – mempercayai banyak kebenaran dogmatik, yang sampai selanjutnya tidak pernah menjadi bagian Kitab Suci. Meskipun demikian, mereka berpendapat bahwa sesudah kematian Para Rasul, setelah Kitab Suci ditulis, Gereja – Gereja Para Rasul – Gereja Apostolik – tidak mempercayai apapun yang tidak terkandung dalam Kitab Suci. Ini artinya bahwa Wahyu sekarang dibatasi pada Kitab Suci.

Bahwa pendapat ini tidaklah berdasar dapat dibuktikan melalui kesempurnaan Hukum Baru, bila dibandingkan dengan Perjanjian Lama.

Sebenarnya, janji-janji Hukum Baru, yang diberikan Allah kepada pelayanan mengajar Gereja, jauh lebih besar dari yang diberikan kepada para Patriak dan para imam Perjanjian Lama. Tanda yang membedakan Perjanjian Baru ialah keyakinan Gereja ditulis oleh Roh Kudus di dalam hatinya – dalam akal budi Katolik – daripada di atas kertas dan loh batu. Sang Rasul berkata: “Kamu adalah surat pujian kami yang tertulis dalam hati kami dan yang dikenal dan yang dapat dibaca oleh semua orang. Karena telah ternyata, bahwa kamu adalah surat Kristus, yang ditulis oleh pelayanan kami, ditulis bukan dengan tinta, tetapi dengan Roh dari Allah yang hidup, bukan pada loh-loh batu, melainkan pada loh-loh daging, yaitu di dalam hati manusia … Ialah membuat kami juga sanggup menjadi pelayan-pelayan dari suatu perjanjian baru, yang tidak terdiri dari hukum yang tertulis, tetapi dari Roh, sebab hukum yang tertulis mematikan, tetapi Roh menghidupkan.”[10]

Roh ini di sepanjang waktu telah diperlihatkan Gereja secara teori, atau sebagaimana dikatakan yang lain, secara spekulatif, bahkan sesudah penyempurnaan Kitab Suci. Ini adalah prinsip agung, yang selalu dianut dan dipegang Gereja. Tidak hanya perlu agar apa yang umat Kristen percayai harus selalu terkandung dalam Kitab Suci, tapi bahwa sesungguhnya ada banyak kebenaran – kebenaran-kebenaran dogmatik – yang ada dan harus diimani, dan serentak, mereka tidak pernah menjadi bagian Kitab Suci.

Bahwa Gereja percaya secara teori pada prinsip hakki tersebut, semua Bapa dan Doktor Gereja memberi kesaksian secara tidak dapat salah. Yang utama dari mereka adalah Ignatius di Asia[11]; Klemens di Alexandria[12]; Tertullian di Pontius[13]; Eusebius di Palestina[14], Basilius di Pontus[15]; Epiphanius di Syprus[16]; Krisostomus di Antiokia dan Konstantinople[17]; Hieronimus yang secara praktis termasuk ke dalam Gereja Barat dan Timur[18]; Agustinus dalam nama seluruh Gereja[19].

Semua Bapa dan Doktor Gereja ini, yang dalam hidup dan sesudah kematian mereka, merupakan cahaya agung Gereja selamanya, mereka seperti seorang manusia, yang mewartakan apa yang mereka imani dalam Tradisi, dan bukan untuk alasan lain mereka menulis, selain untuk memelihara Tradisi dengan aman. Mereka bahkan menyatakan bahwa apa yang diimani dan diamalkan di dalam dan oleh Gereja, tapi tidak disebutkan dalam Kitab Suci, tidak pula dinyatakan oleh Konsili-Konsili, namun diperoleh dari Para Rasul. Karenanya mereka memperingatkan kita: “Tidak ada lagi yang lebih lanjut harus diselidiki: itu adalah Tradisi.”

Semua ini selalu menjadi keyakinan Gereja yang diungkapkan dalam Konsili-Konsilinya. Karenanya Konsili Umum VII Art. VII menegaskan: “Timur dan Barat, Utara dan Selatan, kita semua setuju dalam iman yang sama melalui ilham Roh kudus – menerima semua, apapun yang Gereja Katolik terima dari lama, apakah itu tertulis atau tidak tertulis;” terlebih dinyatakan: “barangsiapa menyangkal Tradisi Gerejawi, apakah ia tertulis atau tidak, hendaklah dia diekskomunikasi.”[20]

Dengarkanlah Epiphanius, yang menulis di Abad Keempat. Ketika berbicara tentang perkawinan, dan mengutip Kitab Suci, ia berkata: “Tapi kita juga membutuhkan Tradisi. Sebab, kita tidak bisa membuktikan segalanya dari Kitab Suci, karena Para Rasul yang amat suci meninggalkan kita beberapa hal dalam tulisan dan beberapa lagi dalam Tradisi. Inilah yang Paulus tegaskan (1 Kor 9:2): ‘Sebagaimana yang telah aku teruskan kepadamu’; demikian pula di tempat lain (1 Kor 14:33): ‘sebagaimana yang juga aku ajarkan dalam semua gereja orang-orang kudus’; dan lagi (1 Kor 15:2): ‘Oleh Injil itu kamu diselamatkan, asal kamu teguh berpegang padanya, seperti yang telah kuberitakan kepadamu–kecuali kalau kamu telah sia-sia saja menjadi percaya.’ Gereja Allah yang Kudus telah menerimanya dari Para Rasul, yaitu: setelah seseorang mengucapkan kaul keperawanan, maka melakukan perkawinan tampak seperti sebuah kejahatan.”[21]

Semua ini dengan jelas memperlihatkan bahwa sesudah kematian Para Rasul, Gereja selalu percaya secara teoretis pada Tradisi.

4

Apa yang dipercaya Gereja secara teoretis juga diakuinya selalu dalam praktiknya, yaitu, kebenaran-kebenaran dan ritus-ritus, yang tidak terkandung dalam Kitab Suci.

Gereja Universal selalu mengakui, dalam perbuatan-perbuatan dan praksis-praksisnya, kebenaran-kebenaran dan disiplin tertentu, yang tidak pernah ditulis dalam Kitab Suci. Sebagaimana Dogma-Dogma, yang terkandung dalam Kitab Suci, selalu, di satu sisi, dinyatakan dan dijelaskan kepada umat beriman, namun di sisi lain, dibela dari kaum bidat, demikian pula Bapa Gereja secara individual atau ketika berkumpul dalam Konsili-Konsili Umum, dengan resmi mengakui dan memberi kesaksian hahwa Dogma-Dogma dan praksis-praksis tertentu, yang secara universal diimani atau dilakukan, tapi tidak ditetapkan dalam Kitab Suci, ia tidak boleh dibuang seakan-akan ia bukan bagian dari Iman.

Hal ini berkaitan dengan rumusan-rumusan resmi, atau ungkapan-ungkapan tertentu, yang disusun untuk menyatakan dan menjelaskan kebenaran-kebenaran dogmatik tertentu. Contohnya: “satu kodrat dan tiga pribadi”; “pribadi-pribadi konsubstansial”; kedayagunaan Sakramen-Sakramen “ex opere operato”; “transubstansiasi” dst. Rumusan-rumusan ini tidak hanya mengimplikasikan keberadaan tradisi-tradisi, tapi juga prinsip formal Tradisi, yaitu: “lembaga mengajar yang hidup, yang ditetapkan Kristus, untuk menjaga dan menjelaskan Deposit Iman kepada umat beriman.”

Secara khusus kita peduli akan kesaksian-kesaksian resmi dari zaman kuno tentang Dogma-Dogma dan praksis-praksis tidak tertulis, yang diakui dan dinyatakan hanya dari Tradisi.

Para Bapa Gereja secara eksplisit dan terus terang mengakui bahwa kebenaran-kebenaran dan praksis-praksis tertentu dari Gereja tidak ditemukan dalam Kitab Suci: konsekuensinya, hal itu tidak dapat dibela kecuali melalui Tradisi. Karenanya Origen, dalam suratnya kepada jemaat di Roma, menulis: “Gereja menerima dari Para Rasul Tradisi membaptis anak-anak dalam masa bayi mereka.”[22] St. Agustinus, terkait dengan praktik ini, sambila mengakui bahwa itu tidak dapat dibuktikan dari Kitab Suci, ia berkata bahwa di dalamnya hanya ada “dugaan atau perkiraan” yang disimpulkan dari sunat. Argumen yang meyakinkan – “apabila seseorang ingin mengetahui otoritas ilahi” untuk praktik ini – Doktor yang suci tersebut memperolehnya dari prinsip berikut: “Apa yang dianut Gereja Universal, dan tidak dilembagakan oleh Konsili-Konsili, tapi selalu dipertahankan, maka hal itu dengan tepat diimani sebagai hal yang diteruskan oleh otoritas apostolik.”[23]

Merupakan hal yang sesuai pada tempatnya untuk berkomentar bahwa ketika kaum Anabaptis – Pembaptis Ulang – yakni sekelompok pembaharu yang keras dan radikal di Abad Keenam Belas, menuntut dari saudara-saudara Protestan mereka sebuah kesaksian yang berasal dari Kitab Suci, guna membuktikan validitas Baptisan bayi, Martin Luther, karena tidak mampu membuktikannya, mengklaim bahwa melalui mukjizat bayi-bayi mengeluarkan tindakan iman agar dapat menerima baptisan secara sah. Namun ketika ia diminta untuk membuktikan mukjizat tersebut dari Kitab Suci, Luther dan para pengikutnya tidak berupaya membuktikannya.[24]

Terkait dengan Baptisan yang diberikan kaum bidat, St. Agustinus berargumen dari Tradisi. Ia menulis: “Apa yang diperdebatkan Siprianus dan Uskup Afrika lainnya tentang “keabsahan baptisan tersebut” tidak seharusnya lebih diutamakan daripada pengakuan seluruh Gereja Katolik, yang mana mereka adalah anggota-anggotanya yang pantas; tidak pula dengan berpikir sebaliknya bahwa mereka memisahkan diri dari Persekutuannya, karena hanya sesudah bertahun-tahunlah kebenaran dibuat lebih jelas melalui Konsili Umum, yang tidak melembagakan hal baru, tapi sekadar menguatkan kekunoan. … Para Rasul tidak membuat pengaturan tentang perkara ini (dalam Kitab Suci); tapi kebiasaan yang berlawanan dengan Siprianus dipercaya berasal dari Tradisi mereka (Para Rasul), sama seperti ada banyak hal yang dianut dan dipercaya Gereja yang diperintahkan Para Rasul, sekalipun kita tidak menemukannya dalam Kitab Suci.[25]

Tentang kontroversi ini, yang terkenal adalah tanggapan Paus Stefanus kepada Siprianus: “Hendaknya tidak ada yang diubah, tapi [pertahankan] apa yang telah diteruskan.”

Siprianus wafat sebagai martir Gereja, karenanya dengan mulia ia membasuh dengan darahnya kesalahan apapun yang diatributkan kepadanya tentang persoalan ini.

Mengenai praksis berdoa untuk orang mati, Epiphanius, setelah mengesampingkan persoalan tentang inspirasi Kitab-Kitab Makabe, ia berkata: “Aku menyatakan bahwa perlulah bagi Gereja untuk melakukannya (yakni berdoa untuk orang mati), sebab ia menerima ritus tersebut yang diserahkan kepadanya oleh orang-orang kuno.”[26]

Yang termasyur dalam perkara ini adalah pernyataan Tertullian, yang ia tulis lebih dari delapan belas abad silam: “Kita mempersembahkan kurban untuk orang mati pada hari peringatan mereka, kita tidak berpuasa atau berlutut pada Hari Tuhan. Kita menikmati imunitas yang sama dari Paskah sampai Pentakosta. Kita cemas agar tidak ada satu partikel atau setetes (Ekaristi Suci) jatuh ke tanah. Sebelum kita memulai apapun, ketika kita masuk atau keluar, saat berdiri dan membasuh, saat makan, saat bangun, ketika kita duduk atau pergi tidur, dalam percakapan kita, kita membuat tanda Salib. Apabila kamu bertanya tentang hukum apapun terkait hal ini dan disiplin lainnya, kamu tidak akan menemukannya dalam Kitab Suci: Tradisi adalah sumbernya, kebiasaan menegaskannya, Iman membantu kita menaatinya.”[27]

Terakhir, Konsili Umum Ketujuh menyatakan bahwa ia menyetujui penggunaan dan penghormatan gambaran/pelukisan dari Tradisi. St. Yohanes Damaskus, jawara dan pembela terbesar dari ajaran ini, mengakui Tradisi sebagai sumbernya.

Oleh karena itu, Gereja, bahkan sesudah penyempurnaan Kitab Suci, secara umum mengakui dan mempercayai kebenaran-kebenaran dogmatik dan melaksanakan ritus-ritus dan disiplin tertentu yang tidak ditemukan dalam Kitab Suci. Ia sekadar menerimanya dari Tradisi.


[1] Ibr 1:1.

[2] Kis 20:28.

[3] Kej 6:2.

[4] Ul 32:7-8.

[5] Suarez, De Legibus, L. IX, C. VI, N. 21.

[6] Ul 8:12.

[7] Mal 2:7.

[8] Mat 23:2.

[9] Contra Appion, L. I, N. 8.

[10] 2 Kor 3:2-6.

[11] In Eusebius III, 36.

[12] In Eusebius VI, 33.

[13] Tertullian, De Corona, CC. III, IV.

[14] Euseb. Demonst. Evang., L. I, C. VIII.

[15] De Spir., S., C. XXVII.

[16] Heres. 61, N. 6.

[17] In II hess., Hom. 4, N.2.

[18] Diog. e. Lucif., N. 4.

[19] De Bapt., L. II, N. 12.

[20] In Harduin T. IV, hal. 471-479.

[21] Epiph. Heres. 61, N. 6.

[22] Origen, L. V, N. 9.

[23] Agustinus, De Bapt., L. IV. C. XXIV.

[24] Jorg, Hist. of Prot., V. II.

[25] Agustinus, De Bapt., L. V, C. I.

[26] Epiph, Heres. 65, N. 8.

[27] Tertullian, De Corona, C. III.

BAB V. Kesaksian Abad-Abad Pertama

 IN TEOLOGI FUNDAMENTALTRADISI

1

Pengantar.

Prinsip-prinsip dan asas-asas Agama Kristen dari awal bukanlah sesuatu yang teoretis, tapi praktis. Mereka secara hakiki dilaksanakan setiap hari dalam penggunaan, pengamalan, dan pengakuan umat beriman perdana sebagaimana mereka selalu dilaksanakan dalam Gereja Katolik. Persisnya pelayanan yang ditetapkan Kristus dan Para Rasul – yaitu, Suksesi Apostolik – yang menjaga prinsip-prinsip dan asas-asas ini tetap hidup. Merupakan lembaga mengajar yang hidup inilah, yang membina hati umat Kristen perdana dalam Kasih kepada Allah, Kasih yang dijaga melalui kerinduan akan Harapan dan diperkuat oleh roti Iman. Pelayanan otoritatif yang hidup ini, yang sangat penting bagi Agama Kristen, sama pentingnya seperti makanan bagi tubuh. Ia adalah unsur yang diperlukan dalam kehidupan Gereja, fondasi yang harus ada bagi seluruh bangunan, yang Kristus bangun melalui Wafat dan Kebangkitan-Nya, yang mustahil untuk tidak disadari atau diabaikan bahkan oleh mereka yang bukan menjadi bagiannya. Ia memperlihatkan dirinya dalam cara yang kasatmata di segala zaman dan tempat sehingga ia mengilhami dan benar-benar meresapi tidak hanya perbuatan sehari-hari umat beriman, tapi juga, sampai batas tertentu, bahkan mereka yang ada di luar Gereja.

Bila demikian halnya, maka mustahillah bahwa Konstitusi yang ditetapkan Para Rasul dalam nama Kristus, dapat berubah dengan tiba-tiba dan secara substansial hingga memberikan tempat bagi hal yang secara radikal berbeda darinya.

Para musuh Tradisi berpendapat, perubahan seperti itulah yang terjadi sesudah kematian Para Rasul. Menurut mereka, Tradisi sepenuhnya dibuang dan umat beriman berpaling secara total kepada tulisan-tulisan Apostolik.

Tapi bagaimana perubahan ini bisa terjadi, ketika setiap gereja memiliki gembalanya, yang ditunjuk Para Rasul atau oleh para penerus langsung mereka? Apakah Kitab Suci menyetujui perubahan itu? Bukankah umat beriman diperingatkan untuk “berdirilah teguh dan berpeganglah pada ajaran-ajaran (tradisi) yang kamu terima dari dari kami, baik secara lisan, maupun secara tertulis.”[1] Klaim tentang perubahan tersebut tidak memiliki dasar: ia kekurangan penilaian yang tepat dan merupakan celaan atas kuasa Kristus, seakan-akan Ia mendirikan Gereja-Nya di atas pasir dan bukan batu karang. Kemustahilan perubahan itu sungguh jelas dari semua monumen dan kesaksian abad-abad pertama. Kesaksian-kesaksian ini tak terhitung jumlahnya sama seperti bintang-bintang di langit, dan seterang sinar matahari di tengah hari.

Semua penulis abad-abad pertama memberi kesaksian atas Tradisi. Para penulis ini dengan tepat disebut “Bapa” Gereja sebab mereka adalah saksi Iman, yang diakui dan diimani dalam penggunaannya, pengamalannya, dan pengakuan resminya dalam abad-abad pertama Kekristenan.

Sekarang kita akan membatasi diri kita pada tiga abad pertama, yang sampai tahap tertentu dapat disebut sebagai Periode Apostolik, oleh karena kekunoannya yang terhormat, sebab ia terkait erat dengan masa Para Rasul. Sebab, Tertullian dengan tepat mengamati: “Kristus mengutus Para Rasul, yang mendirikan Gereja-Gereja di setiap kota, yang darinya orang lain telah meminjam tradisi-tradisi Iman dan benih ajaran, dan setiap hari meminjamnya guna menjadi Gereja-Gereja; sehingga mereka juga bersifat Apostolik dalam arti bahwa mereka adalah keturunan dari Gereja-Gereja Apostolik.”[2]

Untuk alasan inilah jika di antara generasi pertama orang Kristen – dimulai dengan yang pertama sampai ke generasi terakhir dari periode Apostolik – kita mendapati Gereja-Gereja Kristen, dipimpin oleh prinsip-prinsip Tradisi, yaitu, dipandu oleh suksesi Para Uskup yang berkelanjutan, dalam persatuan dan harmoni di antara mereka sendiri dalam ajaran kristus, dalam persekutuan dengan satu sama lain, khususnya dengan penerus St. Petrus di Roma, yang mengajar, memperingatkan, dan memerintahkan umat beriman untuk “berpegang pada ajaran-ajaran (tradisi) yang kamu terima dari dari kami, baik secara lisan, maupun secara tertulis”[3], tanpa diragukan lagi Tradisi, bersama Kitab Suci, haruslah menjadi Pedoman Iman, yang dimaksudkan Kristus dan Para Rasul dan sesungguhnya ditinggalkan di dalam Gereja demi memimpin umat beriman sampai akhir zaman. Apabila hal ini terbukti benar di abad-abad pertama Kekristenan, maka tidak ada alasan mengapa tatanan hal-hal yang sama harus diubah sesudahnya. Kita harus mengingat perkataan Para Rasul yang luar biasa: “Tetapi sekalipun kami atau seorang malaikat dari sorga yang memberitakan kepada kamu suatu injil yang berbeda dengan Injil yang telah kami beritakan kepadamu, terkutuklah dia.”[4]

2

Gereja-Gereja Apostolik dipimpin oleh Tradisi dan Kitab Suci.

Sebelum kita mulai mendiskusikan bagian ini dengan saksama, kita harus menjelaskan maksud kita. Ketika orang Katolik menggunakan kesaksian-kesaksian dan ajaran Kekristenan kuno, mereka tidak mengacu pada kebenaran-kebenaran Wahyu Ilahi yang otentik, benar dan murni. Mereka sekadar berseru pada persetujuan bulat zaman dahulu sebagai sebuah kesaksian Iman historis, yang tidak akan ditolak oleh orang berakal sehat. Kesaksian historis tersebut memperlihatkan apa yang dipikirkan oleh seluruh Kekristenan purba, apa yang mereka imani, dan bagaimana mereka senantiasa dan di mana saja mengakui penetapan Kristus dan Para Rasul.

Dari kesaksian tersebut, para pelajar Agama tidak bisa gagal untuk mencapai satu kesimpulan. Prinsip Tradisi, yang mana semua zaman purbakala, secara teoretis dan praktis menganutnya, selalu dan di mana saja sama seperti yang dianut Gereja Katolik hari ini. Kesimpulan yang teramat penting ini, kendati demikian, tidak dicapai oleh karena otoritas adikodrati para saksi, yang mana otoritas tersebut disangkal secara tepat atau keliru oleh para Protestan. Ia dicapai oleh karena kemustahilan historis dari perubahan dan kerusakan, yang, menurut mereka, haruslah terjadi segera setelah kematian Para Rasul.

Bahwa pernyataan ini secara historis tidak benar terbukti dari Gereja-Gereja dan para penulis Apostolik. Walaupun periode Apostolik merentang sampai ke abad-abad pertama, secara ketat, Gereja-Gereja Apostolik hanyalah Gereja-Gereja partikular yang didirikan Para Rasul. Oleh karena itulah, mereka menerima martabat khusus dan sangat dijunjung dan dihormati. Tertullian terkadang menyebut mereka sebagai “Bunda Gereja-Gereja.” Di sini kita bermaksud hanya berbicara tentang Gereja-Gereja itu. Kurun waktu itu, yang secara alami merupakan sedikit generasi umat Kristen pertama, merentang sampai sekitar pertengahan Abad Kedua.

Sebagaimana Gereja-Gereja itu disebut “Apostolik”, demikian pula yang disebut “Bapa-Bapa Apostolik” adalah para penulis awal Gereja, yang berkembang dalam waktu yang terbatas itu, sebagai murid Para Rasul, atau orang yang berbicara dengan murid langsung dari Para Rasul. Kendati tulisan-tulisan mereka, sebagai aturan, tidak memperlihatkan daya atau kemampuan intelektual yang kuat, tulisan-tulisan itu bernilai, sebab mereka memperlihatkan bagaimana generarsi pertama umat Kristen memahami karya Kristus dan Para Rasul, apa yang mereka imani, dan yang paling penting adalah, bagaimana Gereja dipimpin.

Para Bapa Apostolik ini secara sangat empatik menyatakan bahwa persetujuan dan kesaksian Para Uskup dan gembala dalam satu suksesi tak terputus dan persatuan dalam iman purba Para Rasul adalah tanda yang amat pasti dari ajaran sejati Yesus Kristus. Mereka percaya bahwa hanya dalam cara inilah Deposit Iman dapat selalu dijaga keutuhan dan kemurniannya.

Sang Rasul telah memperingatkan umat Kristen perdana bahwa sesudah kepergiannya, banyak guru-guru palsu akan muncul di antara mereka untuk menyesatkan iman mereka. Guna memelihara Iman, karenanya, ia menasihatkan mereka dengan sangat empatik untuk tidak mendengarkan guru-guru palsu tersebut. “Seperti yang telah kami katakan dahulu, sekarang kukatakan sekali lagi: jikalau ada orang yang memberitakan kepadamu suatu injil, yang berbeda dengan apa yang telah kamu terima, terkutuklah dia.”[5]

Dengan demikian, sebelum kematian mereka Para Rasul mempersiapkan agar orang lain harus meneruskan mereka dalam jabatan. Untuk alasan inilah para Bapa Apostolik, seperti St. Klemens dari Roma, penerus Petrus di Roma, St. Ignatius, Uskup Antiokia, St. Polikarpus, Uskup Smyrna, dan sesudah mereka dalam paruh pertama Abad Kedua, Hegesippus, memberi kesaksian, pada tempat pertama, bahwa, melalui perintah Kristus, Para Rasul memerintahkan agar di masa depan mereka harus digantikan dalam jabatan mereka oleh serangkaian Uskup-Uskup secara kekal. Pada tempat kedua, mereka menyatakan bahwa, guna menghindari kesesatan dan utnuk menjaga ajaran yang benar, persetujuan dengan Para Uskup diperlukan, yang harus diikuti sebagaimana mengikuti Kristus sendiri. Terlebih, mereka menyatakan bahwa hanya dalam cara inilah ajaran Kristus dapat dijaga dalam kemurnian dan keutuhannya, sebagaimana ia telah diterima dari awal, bahkan di Gereja-Gereja yang paling jauh.

Klemens, yang menurut Tertullian[6], ditahbiskan St. Petrus, menggambarkan suksesi ini, seraya menulis kepada jemaat di Korintus: “Kristus diutus Allah, dan Para Rasul diutus Kristus. Jadi, dengan segenap ilham Roh Kudus, mereka pergi mewartakan kedatangan Kerajaan Allah. Sambil mewartakan di setiap kota dan desa, mereka membentuk para pentobat pertama di bawah para Uskup dan Diakon – dan lalu mereka memerintahkan agar sesudah kematian mereka, orang-orang baik lainnya harus menggantikan jabatan mereka.”[7] Seraya mengomentari kata-kata ini, St. Irenaeus, yang berkembang di Abad Kedua, berkata bahwa “Klemens memulihkan iman jemaat Korintus dan Tradisi, yang baru saja mereka terima dari Para Rasul.”[8]

St. Ignatius, penerus Petrus di Takhta Antiokia, dan murid St. Yohanes Penginjil, merasa gelisah lebih dari umat beriman supaya mereka selaras dan sepemikiran dengan Uskup. Sambil menulis surat paternal kepada jemaat di Efesus, ia berkata: “Aku sudah memperingatkan kamu untuk sepemikiran dalam firman Allah, karena Yesus Kristus, hidup kita yang tak terpisahkan, adalah Sabda Bapa, sebagaimana juga Para Uskup yang tersebar di setiap bagian dunia, ada dalam doktrin Yesus Kristus.”[9]

Eusebius, sejarawan Gereja, yang menulis di Abad Keempat, sambil mengomentari Surat St. Ignatius ini, berkata, “Pertama, ia menasihati Gereja-Gereja di setiap kota bahwa, terutama, mereka harus menghindari kesesatan, yang sudah mulai muncul, dan menasihati mereka untuk berpegang teguh pada Tradisi-Tradisi Para Rasul.”[10]

Murid lain dari St. Yohanes Rasul adalah St. Polikarpus, Uskup Smyrna. Sambil menulis kepada jemaat di Filipi, ia memberikan mereka aturan yang baik untuk menghindari semua kesesatan: “Sambil meninggalkan kesia-siaan banyak orang dan semua ajaran palsu, marilah kita kembali kepada ajaran yang diteruskan pada kita dari awal.”[11]

Hegesippus, yang menulis di Abad kedua, memberitahu kita bahwa ia pergi ke Roma dan bertemu dengan banyak Uskup, semuanya menganut ajaran yang sama. “Selagi di Roma, ia berkata, saya menulis serangkaian suksesi Paus sampai ke Anicetus, yang diakoannya adalah Eleutherus: yang menggantikan Anicetus adalah Soter, yang digantikan oleh Eleutherus. Demikianlah tatanan hal-hal di setiap kota, sebagaimana yang dituntut dari Hukum dan para Nabi dan Tuhan sendiri.”[12]

Jadi, Gereja-Gereja Apostolik, menurut para penulis Apostolik, dipimpin oleh Tradisi dan bertindak sesuai dengannya. Ini adalah fakta sejarah. Tidak ada pelajar agama yang dapat menyangkalnya. Dan sebagaimana Gereja-Gereja Apostolik terdiri dari orang Kristen, yang termasuk ke dalam sedikit generasi perdana sesudah Kebangkitan Kristus, maka jelaslah bahwa sampai pertengahan Abad Kedua, Tradisi, dalam artinya yang penuh, memimpin Gereja.

3

Tradisi dan Kitab Suci memimpin Gereja di paruh terakhir abad kedua dan sepanjang abad ketiga.

Kita sudah melihat bagaimana Gereja dipandu oleh Tradisi sampai pertengahan Abad Kedua. Hal yang sama juga benar sampai akhir Abad Ketiga.

Sejarah Gereja mengajarkan kita bahwa Kekristenan tidak pernah bebas dari kesesatan. Bahkan sebelum kematian Rasul terakhir, yakni St. Yohanes, kesesatan-kesesatan, seperti ilalang beracun, mulai muncul di sana-sini dan di kebun Anggur Tuhan. Tapi sebagaimana murid Para Rasul, Ignatius dan Polikarpus, dalam masa-masa apostolik, memperingatkan umat mereka dari ajaran-ajaran palsu, maka demikian pula dengan para Gembala dan Pengajar, yang menggantikan mereka, mereka membuat kawanan domba mereka berjaga-jaga dari para serigala.

Di paruh terakhir Abad Kedua, St. Irenaeus membela Tradisi dengan gagah berani dari kaum Gnostik dan bidat lainnya. Kaum Gnostik mengklaim bahwa Tradisi adalah ajaran yang pribadi dan rahasia, yang turun kepada mereka saja melalui generasi-generasi secara berturut-turut. Irenaeus, sebaliknya, membuktikan bahwa Tradisi adalah ajaran publik, yang menjadi milik Gereja Universal, yang dipimpin suksesi Para Uskup.

Kontroversi dengan kaum Gnostik ini memperlihatkan satu kesimpulan sederhana, yaitu bahwa kedua pihak merujuk pada Tradisi, walaupun dengan cara yang berbeda.

St. Irenaeus lahir di Smyrna sekitar tahun 135-140 dan merupakan murid Polikarpus. Ia menjadi Uskup Lyons, Perancis, dan wafat sekitar tahun 202. Sambil menulis melawan kaum Gnostik, ia berkata: “Selagi mereka berdebat dari Kitab Suci, mereka melakukan pembuktian yang buruk dari Kitab Suci … karena kebenaran tidak ditemukan oleh mereka yang tidak mengenal Tradisi; sebab, bukan melalui tulisan, tapi melalui suara yang hiduplah Tradisi diserahkan.”[13] “Lalu apa?” lanjut Bapa Gereja itu, “apabila bahkan kontroversi kecil muncul dalam sebuah diskusi, bukankah kita harus berpaling kepada Gereja-Gereja tertua, yang di dalamnya Sang Rasul berbicara, dan menerima dari mereka apa yang pasti dan jelas berkaitan dengan persoalan saat ini?”[14] Ia berkata, “Untuk alasan itulah, guna menyelesaikan semua kontroversi agama, ketaatan sepatutnya diberikan kepada para imam Gereja yang adalah para penerus Para Rasul … karena mereka mengawasi iman kita dalam satu Allah, Pencipta segala sesuatu, dan menjelaskan Kitab Suci pada kita.”[15]

Ketika kaum bidat berusaha membuktikan bahwa ajaran mereka berasal dari Kristus, Irenaeus berseru: “Dogma-dogma ini tidak selaras dengan Gereja … dogma-dogma ini tidak disampaikan oleh para imam, yang hidup sebelum kita dan yang merupakan murid Para Rasul.”[16]

Sesudah Irenaeus, Tertullian, yang menulis di Abad Kedua dan Ketiga, melancarkan kecaman yang keras kepada para bidat di zamannya dalam “Prescriptions” nya yang terkenal. Dalam hukum Romawi prescriptions berarti memperpendek pertanyaan dengan menolak mendengarkan argumen musuh tersebut atas dasar hal yang bersifat preseden, dan karenanya menghancurkan dasar di bawah kakinya.

Ia menulis: “Bagaimanapun, apabila mereka mengklaim terhubung dengan zaman Apostolik, seakan-akan disampaikan oleh Para Rasul, karena mereka ada di bawah Para Rasul, kita dapat berkata pada mereka: biarkanlah mereka, oleh karena itu, menerbitkan asal-usul Gereja-Gereja mereka: biarkanlah mereka membeberkan Katalog Uskup-Uskup mereka, mengikuti satu sama lain dari awal dalam suksesi yang berkelanjutan, bahwa Uskup pertama memiliki asal dan leluhur dari salah seorang Rasul atau insan Apostolik, yang memelihara ajaran Para Rasul. Sebab, dalam cara tersebut Gereja-Gereja Apostolik melaporkan Sensus mereka. Jika demikian halnya, guna untuk mendapatkan kebenaran, siapapun yang mengikuti aturan yang Gereja terima dari Para Rasul, dan yang Para Rasul terima dari Kristus, dan yang Kristus terima dari Allah, mereka akan menemukan bahwa kita bermaksud membuktikan, bahwa, kaum bidat tidak diizinkan untuk mendiskusikan Kitab Suci, sebab, mereka tidak memiliki Kitab Suci, mereka tidak termasuk ke dalam Kitab Suci.”[17]

Jadi, Bapa Gereja yang sama ini memberitahu kita bahwa kita harus belajar kebenaran dari Gereja-Gereja Apostolik. “Apa yang telah diwartakan Para Rasul, apa yang telah disingkapkan Kristus kepada mereka, karenanya aku juga menetapkan bahwa ia juga harus dibuktikan melalui Gereja-Gereja yang sama, yang didirikan oleh Para Rasul yang sama dengan mewartakan kepada mereka melalui suara yang hidup dan sesudahnya melalui surat-surat mereka. Jika demikian, jelaslah bahwa ajaran apapun, yang sesuai dengan iman dari Bunda-Bunda Gereja yang asali dan Apostolik, maka ajaran itu berlandaskan kebenaran; tanpa ragu percayalah bahwa Gereja-Gereja menerima dari Para Rasul, Para Rasul menerima dari Kristus, dan Kristus menerima dari Allah. Semua ajaran lainnya, yang berbeda dari Gereja-Gereja itu dan dari Para Rasul, Kristus, dan Allah, haruslah dicap sebagai kebohongan.”[18] Lalu, ia menyatakan secara amat empatik: “Kita tidak memiliki hak apapun untuk menambahkan atau memiliki apapun dengan sewenang-wenang dari Kitab Suci. Para pengarangnya adalah Para Rasul Tuhan, yang bahkan mereka sendiri tidak menulis apapun dari kehendak mereka; tapi dengan setia menyerahkan kepada Bangsa-Bangsa disiplin yang mereka terima dari Tuhan.”[19]

Di Abad Ketiga kita memiliki Origen, penulis yang paling produktif yang pernah dimiliki Gereja dan merupakan teolog terbesar pada masa itu. Ia menulis, “Sebagaimana ada banyak orang yang mengklaim bahwa mereka mengetahui apa yang menjadi milik Kristus, dan beberapa dari mereka tidak sepakat dengannya tentang banyak hal, hendaklah setiap orang tetap membuat Gereja mewartakan (Tradisi), yang diserahkan pada kita oleh Para Rasul dalam urutan suksesi dan yang terus berlanjut di dalam Gereja sampai hari ini. Kebenaran-kebenaran yang harus diimani hanyalah kebenaran yang tidak berbeda dari Tradisi Apostolik dan Gerejawi.”[20]

Untuk alasan ini, umat Kristen pada tiga abad pertama selalu bertindak seturut aturan berikut: “Setelah diwahyukan, tidak boleh ada apapun yang dikurangi atau ditambahkan ke dalam dogma surgawi.” Aturan itu tidak lain dari apa yang dinyatakan Agustinus terhadap kaum Pelagian satu abad kemudian: “Apa yang mereka (para Gembala dan Pengajar) temukan di dalam Gereja, mereka menjaganya; apapun yang mereka pelajari, mereka ajarkan; apapun yang mereka terima dari para Bapa, mereka menyerahkannya kepada anak-anak.”[21]

Jadi, dalam tiga abad pertama Gereja, para Bapa dan Pengajar (Doktor) lah, yang bertanggung jawab atas kawanan domba yang dipercayakan pada mereka, atau yang merupakan saksi yang hadir bagi prinsip-prinsip yang melaluinya Gereja dipimpin di waktu mereka, mereka mengulangi dan bersikeras bahwa kewajiban dan perhatian utama Para Uskup adalah mempertahankan dan meneruskan Deposit Iman kepada umat beriman dan para penerus mereka, sebagaimana yang mereka terima sendiri dari generasi-generasi lebih tua.

Dengan demikian, jelaslah bahwa, dalam tiga ratus tahun pertama, Gereja dipimpin oleh Tradisi.

4

Di masa Gereja abad pertama, cara praktis dalam menilai kebenaran atau kekeliruan sebuah ajaran ialah berdasarkan prinsip pokok bahwa semua Wahyu dijaga dan diteruskan dalam integritasnya hanya melalui persetujuan bersama para Gembala dan Pengajar Gereja.

Semua orang Kristen zaman kuno mengandalkan dan mendasarkan keyakinan-keyakinan hakikinya pada prinsip yang tidak berubah berikut ini, yang seperti batu karang yang tak bergerak: “Wahyu dijaga dan diteruskan dalam keutuhannya dan kemurniannya kepada kita melalui persetujuan umum para Gembala dan Pengajar.”

Melalui para Gembala dan Pengajar, umat beriman selalu memahaminya sebagai abdi-abdi Gereja, yang mengajar dan memimpin mereka secara rohani, dalam persetujuan dan persatuan dengan penerus Para Rasul lain, khususnya dengan para penerus St. Petrus.

Sebagaimana terdapat dalam Hukum Lama, Allah memelihara harapan akan Penebus masa depan melalui para Nabi, maka demikian pula dalam Hukum Baru, setelah Kristus mendirikan Gereja-Nya di atas Para Rasul, Ia memberikan Mempelai-Nya yang suci “para Gembala dan Pengajar, untuk memperlengkapi orang-orang kudus bagi pekerjaan pelayanan, bagi pembangunan tubuh Kristus.”[22] Seluruh Gereja selalu diresapi oleh keyakinan bahwa persetujuan para Gembala dan Pengajarnya adalah tanda pasti akan Tradisi Ilahi, yang turun pada kita dari Para Rasul.

Untuk alasan inilah, ajaran apapun, khususnya yang baru, yang berlawanan dari persetujuan umum itu, selalu dicap sebagai hal yang bertentangan dengan Wahyu dan semua Tradisi. Dalam abad-abad pertama, sama seperti di setiap abad lainnya, Gereja selalu berusaha membimbing dirinya melalui prinsip itu, melalui persetujuan para Gembala dan Pengajarnya. Melalui prinsip itulah Gereja menilai apa yang benar dan yang salah.

Prinsip itu menganut dua Kaidah emas, yang secara terbuka digunakan dan secara resmi dinyatakan dalam Konsili-Konsili Umum Gereja. Kaidah pertama ialah: “Demikianlah Gereja di surga percaya, dan semua Uskup setuju dengan kita.” Kaidah ini dinyatakan terhadap Paulus dari Samosata di Konsili Antiokia pada Abad Ketiga. Pernyataan yang sama juga terdapat di akhir Kredo Nicea. Kaidah lainnya adalah: “Kita harus mengikuti kekunoan, yang dibuktikan oleh Tradisi: ajaran baru apapun yang berlawanan dengannya haruslah ditolak.” Kaidah pertama terkait begitu erat dengan kaidah lain sehingga ia memiliki di dalamnya alasan bagi keberadaannya. Sebab, keyakinan Gereja dan persetujuan para Uskup ada dan didasarkan pada kekunoan: mereka memiliki akarnya, seakan-akan, dalam kekunoan dari ajaran.

Dalam keselarasan dengan Kaidah pertama, Vincentius dari Lerin, yang menulis di Abad Kelima, menceritakan bahwa dalam Konsili Efesus, yang diselenggarakan pada tahun 431, persoalan diselesaikan oleh semua imam yang hadir, “dengan menempatkan di pusat jemaat tulisan-tulisan para Bapa Gereja, yang beberapa di antarnaya adalah Martir atau pengaku Iman, atau yang tetap Katolik sampai akhir hidup mereka. Hal ini dilakukan untuk secara resmi dan layak menegaskan, melalui persetujuan dan ketetapan mereka, agama dari dogma lama dan mencela kebaruan profan sebagai penistaan.”[23]

Demikian pula di Abad Keempat, Athanasius, yang menulis kepada Epictetus, dan mencela ajarannya dengan berkata: “Kekeliruan-kekeliruan ini bukan bagian Gereja Katolik, dan juga bukan ajaran para Bapa Gereja.”[24]

Origen juga menulis di Abad Ketiga: “Sebagaimana ada banyak orang yang berpikir bahwa mereka mengetahui apa yang menjadi milik Kristus dan sebagaimana dari mereka berbeda dari yang lain tentang banyak hal, hendaklah mereka menjaga pewartaan gerejawi yang diserahkan Para Rasul melalui urutan suksesi, dan tetap tinggal sampai saat ini di dalam Gereja-Gereja. Kebenaran yang harus diimani hanyalah yang tidak berbeda sedikitpun dari Tradisi Apostolik dan Gerejawi.”[25] Sambil sambil menujukan dirinya pada seseorang yang mencari kebenaran, Bapa Gereja itu berkata: “Maka carilah Yesus dalam bait Allah, carilah Dia dalam Gereja; carilah Dia di antara para guru, yang ada di bait Allah dan jangan keluar darinya. Apabila kamu mencari Dia, maka kamu akan menemukan-Nya.”[26]

Jadi, guna membuktikan ortodoksi tiap Uskup, atau ortodoksi beberapa umat beriman, perbandingan dilakukan terhadap persetujuan umum para Uskup Gereja Katolik, atau kepada keselarasan ajaran dengan Gereja-Gereja Apostolik, khususnya dengan Gereja Roma.

Di Abad Keenam, para Uskup Oriental menggunakan pengakuan iman, yang ditetapkan Paus Hormisdas, yang memuat kaidah yang sama.

Berkaitan dengan Kaidah kedua, yaitu: “Kita harus mengikuti kekunoan, yang dibuktikan tradisi: ajaran baru apapun yang berlawanan dengannya haruslah dilawan,” kita menyatakan bahwa Gereja menggunakannya, sebab ia selalu menganut bahwa ajaran iman apapun diberikan oleh Allah kepada Para Rasul dan dari Para Rasul kepada Gereja: jadi, ajaran lama haruslah lebih disukai daripada yang baru. Ketika ajaran lama diserang, perbandingan segera dilakukan kepada kekunoannya, dan persyaratan ini dibuktikan dari persetujuan para Bapa Gereja terakhir. Untuk alasan yang sama, ketika ajaran baru muncul di dalam Gereja, ia segera dicela oleh karena kebaruannya dan kebenciannya kepada Iman kuno. Jadi, itulah kalimat Tertullian yang terkenal: “Benarlah apa yang pertama, dan yang pertama adalah apa yang berasal dari permulaan: yang dari permulaan adalah apa yang berasal dari Para Rasul.”[27]

Kalimat terkenal dari Paus Stefanus I ialah sebagai berikut: “Tidak ada yang bisa diubah, hanya ada yang bisa diserahkan,”[28] dan juga perkataan Paus Selestinus I: “Hendaknya kebaruan apapun tidak diizinkan, karena tidak ada yang harus ditambahkan kepada kekunoan”[29] merupakan hal yang dikenal baik oleh para pelajar Agama.

Dengan cara inilah kaum Gnostik dan bidat kuno lainnya dicela, seturut kesaksian Irenaeus[30] dan Tertullian[31]; kaum Arian dicela di Konsili Nicea, seturut Athanasius[32]; kaum Nestorian dicela di Konsili Efesus, seturut Sirilus[33]; kaum Pelagians dicela seturut Selestinus[34]. Dalam hal ini dan semua Konsili lainnya, prinsip yang sama selalu berjaya, yakni “kekunoan harus dipertahankan, kebaruan ditolak.”

Kendati demikian, perlu dicatat, bahwa dalam abad-abad pertama Gereja berseru pada para Gembala dan Pengajar yang lebih awal, tidak hanya untuk meperlihatkan secara historis bahwa ajaran yang dimaksud berasal dari Para Rasul, tapi juga untuk membuktikan secara teologis, melalui persetujuan lebih awal, apostolisitasnya yang sejati.

Selalu merupakan perkara kepastian di antara orang Kristen bahwa para Gembala dan Pengajar terkini tidak pernah bisa sepakat dan menyerahkan kepada anak-anak rohani mereka selain apa yang diserahkan pada mereka, mereka juga tidak bisa gagal untuk mengajarkan kepada yang lain apa yang mereka sendiri sudah pelajari dari para pendahulu mereka.

Hal ini secara umum diterima umat beriman untuk membuktikan apostolisitas suatu ajaran, mereka tidak berpikir bahwa perlu untuk berseru pada kesaksian para Bapa Gereja yang paling kuno. Kesaksian terbaru para Gembala dan Pengajar sudah cukup. Jadi, menurut Vincentius dari Lerin[35] guna membuktikan apostolisitas sebuah ajaran, para Bapa Konsili Efesus berseru pada Bapa Gereja, yang terdiri dari hanya dua orang, Siprianus dan Paus Felix, yang termasuk dalam Abad Ketiga; semua yang lain termasuk pada Abad Keempat dan Kelima. Dengan cara yang sama, dari dua puluh lima Bapa Gereja, yang dikutip St. Agustinus, hanya dua, yakni Siprianus dan Irenaeus, yang hidup sebelum Abad Keempat. Demikian pula Konsili Lateran yang diselenggarakan di Abad Ketujuh, menyebutkan dua puluh Bapa Gereja sebagai saksi bagi ajaran-ajaran Apostolik, tapi hanya tiga atau empat yang lebih kuno dari Abad Keempat, seperti Yustinus, Hippolitus, dan Dionisius Areopagita.

Jadi, persetujuan umum para Gembala dan Pengajar Gereja, dalam persekutuan dengan satu sama lain, khususnya dengan Kepala Gereja, selalu dianggap sebagai prinsip hakiki yang menjaga dan meneruskan Wahyu Ilahi, secara utuh dan murni, pada abad-abad pertama Gereja.

Ketika para pelajar Agama membaca kesaksian-kesaksian di atas, ia pasti mengamati bahwa prinsip-prinsip yang sama, yang diperoleh dalam Gereja kuno, dapat juga secara tepat diterapkan bagi keadaan Gereja Katolik saat ini. Hal ini terjadi karena dua Kaidah yang disebutkan di atas, senantiasa hidup dan tidak hanya di abad-abad pertama, tapi juga di setiap zaman sampai ke kurun waktu kita.

5

Gereja abad pertama mengatributkan persetujuan doktrinal para Uskup dan Gembala kepada pertolongan Roh Kudus.

Persetujuan umum “para Gembala dan Pengajar” dalam persekutuan satu sama lain, khususnya dengan Kepala Gereja, yang berkaitan dengan semua Tradisi doktrinal, selalu, sebagaimana hari ini, merupakan buah dari janji Kristus dan pertolongan Roh Kudus. Hal ini, selalu dan di mana saja, merupakan keyakinan umat beriman, khususnya di abad-abad pertama Gereja.

Ketika kami mempertimbangkan materi Tradisi yang luas sekali, pertanyaan-pertanyaan yang rumit pasti muncul dari ajaran-ajaran yang sukar dimengerti, dari kecenderungan manusia untuk tidak sependapat daripada sependapat, bahkan pada pertanyaan-pertanyaan kecil, maka kita harus menyimpulkan bahwa persetujuan mereka yang “ditetapkan Roh Kudus menjadi penilik untuk menggembalakan jemaat Allah”[36] bukanlah sekadar persetujuan manusia, melainkan persetujuan yang dibentuk oleh Roh Kudus yang sama, yang menurut janji Kristus, “akan mengajarkan kamu semua kebenaran.”[37]

Para Bapa Gereja, bahkan yang berasal dari abad-abad pertama, cepat menyadari fakta bahwa penyebab efisien dari persetujuan yang mengagumkan dalam perkara-perkara iman adalah Roh Allah, “karya Roh.”[38] Hal ini dilakukan “melalui karisma kebenaran tertentu”[39]; “melalui Doktor Kebenaran, yang tidak membiarkan Gereja mengimani yang sebaliknya.”[40]

Tentang hal ini Tertullian berargumen: “Anggaplah semua Gereja keliru, bahkan Para Rasul ditipu dalam memberikan kesaksian, bahwa Roh Kudus tidak peduli untuk memimpin Gereja keapda kebenaran, walaupun untuk tujuan itulah Ia diutus Kristus dan diminta dari Bapa, … membiarkan Gereja memahami dalam satu cara, dan serentak mengimani dalam cara berbeda, daripada yang Ia wartakan melalui Para Rasul; bagaimana bisa dapat dipercaya bahwa ada begitu banyak Gereja-Gereja besar dapat keliru tentang Iman yang satu dan sama?”[41]

Irenaeus: “Oleh karena itu, kita harus menaati para imam, yang ada di dalam Gereja, mereka yang telah menggantikan Para Rasul, mereka, yang dengan suksesi episkopal menerima karunia kebenaran ilahi yang tidak pernah gagal, seturut kehendak Bapa.”[42]

Alasan mengapa “Agama Katolik tetap tidak bercela dalam Takhta Apostolik ialah karena kata-kata Yesus Kristus yang bersabda: ‘Engkau adalah Petrus (batu karang) dan di atas batu karang ini Aku akan mendirikan Gereja-Ku’ tidak dapat berlalu.” Karenanya para Uskup Oriental menyetujui Pengakuan Iman di bawah Paus Hormisdas.

Oleh karena itu, Konsili Trente menyatakan bahwa “Sinode Suci yang sama diajarkna oleh Roh Kudus”[43] dan ia mengikuti “penilaian dan kebiasaan Gereja sendiri.”[44]

Di sinilah persisnya saudara-saudara Protestan kita membuat kesalahan besar dengan membuang semua Tradisi, atas dasar bahwa Tradisi dapat dirusak dengan mudah. Mereka melupakan janji Krisus dan bantuan Roh Kudus, “Roh kebenaran” yang tidak pernah membiarkan Gereja jatuh ke dalam kekeliruan. Mereka lupa bahwa Kristus menjanjikan Para Rasul dan para penerus mereka bahwa Ia akan menyertai mereka “sampai kepada akhir zaman.” Mereka lupa bahwa Roh Kudus berdiam bersama Gereja dengan tujuan untuk mengajar, membimbing dan mengarahkan Gereja dalam pertimbangan-pertimbangannya hingga akhir zaman. Mereka seharusnya mendengarkan perkataan yang luar biasa dari Petrus Cluny, yang hidup pada Abad Kesebelas: “Jadi, bukankah seharusnya kita percaya pada kesaksian-kesaksian Gereja, yang dengannya Kristus secara tidak kasatmata hidup sampai akhir zaman? Bukankah seharusnya kita mempercayai kesaksian-kesaksian Gereja, yang satu bersama Bapa dan Putra, sebagaimana Bapa ada di dalam Putra, dan Putra di dalam Bapa? Kepada siapa Putra Allah memberikan kemuliaan itu yang Ia terima dari Bapa? Jadi, bagaimana bisa Gereja menipu dan ditipu, Gereja itu, yang bersama Bapa, yang adalah semua kebenaran, yang bersama Putra, yang adalah Kebenaran, yang bersama Roh Kebenaran yang tinggal selamanya? Tapi sebagaimana hal ini sama sekali mustahil, maka tetaplah bahwa iman yang sempurna harus diberikan kepada semua Tradisinya sebagai hal yang sungguh Apostolik.”[45]

Saudara-saudara Protestan kita yang terpisah, sayangnya, selalu memimpikan sebuah Tradisi lisan yang diteruskan dari generasi ke generasi, melalui bantuan kata-kata. Mereka gagal menyadari bahwa terdapat dua unsur yang mendahului kesimpulan tersebut. Unsur pertama adalah pertolongan Allah yang dijanjikan, yang kata-katanya tidak pernah gagal; yang kedua adalah unsur insani, yang mana, secara manusiawi, membuat kerusakan Tradisi sebagai kemustahilan moral. Hal ini sudah kita lihat di bagian lain dari karya ini, dan kita akan mengembangkannya lebih lanjut kemudian, ketika membahas tentang sarana-sarana penolong, yang melaluinya Tradisi diteruskan dalam integritasnya, kemurnian dan kebenarannya.

6

Di masa Gereja abad pertama, hubungan sosial dan persetujuan dalam doktrin Gereja-Gereja dengan Gereja Roma dianggap sebagai tanda kebenaran dan Apostolisitas ajaran mereka sendiri.

Setelah kematian Para Rasul, banyak Gereja atau paroki yang muncul di seluruh dunia. Persekutuan dan persetujuan mereka dengan Gereja-Gereja Apostolik, yaitu, dengan Gereja-Gereja yang mengklaim suksesi Para Uskup secara berkelanjutan dari masa Para Rasul, dianggap sebagai tanda hakiki dari kebenaran Apostolik. Gereja-Gereja Apostolik itu dengan tepat dianggap sebagai deposit-deposit Iman.

Di antara mereka semua, terdapat satu Gereja, yang selalu dipandang sebagai yang terbesar dari mereka semua, yang paling dihormati, paling berkuasa, yang menuntut ketaatan dari semua umat beriman, yang mana sabda terakhirnya adalah hukum, Gereja itu dahulu, sebagaimana hari ini di seluruh dunia Kekristenan, adalah Gereja Roma.

Pada waktu itu, sama seperti di masa kita, Gereja Roma adalah sumber kebenaran dan yurisdiksi. Karenanya, gereja, yang sepakat dengan Roma, dianggap sebagai Gereja Kristen sejati; sementara gereja yang menolak kebenaran dan yurisdiksi Roma, maka ia memisahkan dirinya dari Kristus.

Dunia Kristen memandang Gereja Roma sebagai kepalanya dan pemimpinnya yang melawan karya-karya kegelapan dan tipu muslihat kekaisaran. Apabila dari Roma berasal ketetapan brutal tentang penganiayaan terhadap orang Kristen, maka dari Roma juga dikeluarkan arahan untuk setia pada Iman. Di Romalah tindakan-tindakan keutamaan Kristiani termulia dan heroisme diperlihatkan kepada dunia. Sebab, dalam Penyelenggaraan Ilahi-Nya, Allah telah mengatur takdir umat manusia, bahwa, tak peduli seberapa besar kejahatan manusia, masih lebih besarlah pertolongan ilahi-Nya: “Ubi abundavit malitia superabundavit gratia”, yaitu, “ketika kejahatan berlimpah, rahmat juga diberikan lebih dan di atasnya.”

Para Kaisar Roma yang kafir, seperti Nero, Diocletian, Galerius, dan yang lainnya, melakukan penganiayaan paling sengit terhadap Gereja; tetapi Uskup-Uskup Roma, para Penerus Petrus dan Wakil Krisus di bumi, juga ada di sana untuk menguatkan iman jemaat Kristen. Sebab, Kristus berkata kepada Petrus: “Kuatkanlah saudara-saudaramu.”[46] Untuk alasan itulah pria dan wanita terluhur pada masa itu menumpahkan darah mereka bagi Kristus.

Berbahagialah Engkau, wahai jemaat Kristen Roma, karena Petrusmu dan Paulusmu, yang terbesar dari antara Para Rasul, menyuburkan tanah-Mu dengan darah mereka. Termasyurlah nama-Mu, wahai jemaat Kristen Roma, karena sosok pemberani Kristen yang mulia, seperti Ignatius dari Antiokia, Polikarpus dari Smyrna, Laurensiusmu dan banyak lainnya – yang terlalu banyak untuk disebutkan – dipersembahkan di altar-altar kejahatan manusia. Mulialah Engkau, wahai jemaat Kristen Roma, sebab di dalam Engkau dan untuk Engkau, Agnesmu, Sesiliamu, dan barisan para Perawan yang tak terbilang jumlahnya, lebih memilih Mempelai surgawi dan menutup keperawanan dengan darah mereka. Sungguh agung Engkau, wahai Roma yang kafir, indah dan paling berkuasa: Engkau memimpin dunia sebagaimana yang dikenal, sebab “Engkau lahir untuk memimpin bangsa-bangsa dunia”[47] tapi jauh lebih agunglah Engkau sekarang: Engkau memimpin dunia tidak dengan kekerasan senjata, tapi dengan perintah ilahi. “Apabila dahulu Engkau adalah guru dari semua kekeliruan, maka sekarang Engkau adalah murid kebenaran.”[48] Engkau, menurut para penyair besar, adalah “Roma yang mana Kristus adalah orang Romawi.”[49]

Merupakan sebuah fakta historis bahwa Gereja Roma selalu dianggap yang pertama, yang terpenting dan Gereja yang paling berkuasa dalam Kekristenan. Hal ini diakui di abad-abad pertama, dan demikian halnya hari ini. Ia menyelamatkan peradaban dan Kitab Suci. Anak-anaknya melebih jumlah dari semua anggota gereja-gereja lain apabila digabungkan bersama; dan, yang terpenting adalah mereka terikat dalam “Satu Iman”, sebagaimana hanya ada “Satu Tuhan, Satu Iman, Satu Baptisan.”[50]

Kesatuan Iman ini, yang berasal dari keselarasan ketat ajaran dalam semua Gereja tidak dapat dicapai kecuali melalui persetujuan dan persekutuan mereka dengan Takhta Petrus. Untuk alasan inilah semua Gereja lama mengklaim bahwa persetujuan dan hubungan dengan Gereja Roma adalah bukti dari ajaran Apostolik mereka. Irenaeus, yang menulis di Abad Kedua, menyatakan: “Sebagaimana akan menjadi membosankan untuk membuat seluruh daftar suksesi, saya akan membatasi diri pada Gereja Roma, Gereja yang teragung, paling kuno dan ternama, yang didirikan dan dibentuk oleh dua Rasul yang mulia, Petrus dan Paulus; yang menerima dari Para Rasul Tradisi dan Iman yang diwartakan kepada semua manusia dan yang melalui suksesi para Uskupnya telah sampai pada kita. Jadi kita menggagalkan mereka semua, yang melalui rencana-rencana jahatnya, kesia-siaan atau kebusukannya, mengajarkan apa yang seharusnya tidak mereka ajarkan. Sebab, perlulah oleh karena kepemimpinannya yang superior, agar setiap Gereja lain harus berpaling pada Gereja ini, yaitu, umat beriman di seluruh negeri, yang di dalamnya Gereja selalu dilindungi oleh mereka, yang ada di mana saja, oleh Tradisi itu yang berasal dari Para Rasul.”[51] Dan sesudah menyebutkan satu demi satu suksesi para Uskup Roma di Takhta Petrus, Irenaeus melanjutkan: “Melalui urutan dan suksesi ini, Tradisi itu, yang ada di dalam Gereja dari Para Rasul, dan pewartaan kebenaran sampai pada kita. Pembuktian ini adalah yang paling lengkap, iman yang satu dan sama yang menghidupkan, yang dilindundi dan diteruskan dalam kebenaran di dalam Gereja dari Para Rasul sampai hari ini.”[52]

Jadi, St. Siprianus, Uskup Carthage, yang hidup dan mati pada Abad Ketiga, menyebut Gereja Roma sebagai “Takhta Petrus dan Gereja Utama”[53], sementara St. Agustinus menyebutnya “Gereja Roma, yang mana Kekuasaan Takhta Apostolik selalu ada.”[54]

Jelaslah bahwa dalam abad-abad pertama Gereja Roma dianggap sebagai pusat kesatuan, dan semua Gereja lain teramat cemas untuk menyelaraskan iman mereka dengan “Takhta Petrus.” Tapi keselarasan semua Gereja dengan Gereja Roma tidak dapat efektif kecuali semua Gereja lain memandang Gereja Roma sebagai penyebab formal dari kesatuan mereka. Sebab, Petrus ditunjuk Kristus sebagai Kepala Gereja Universal dan Petrus yang sama, yang menetapkan Takhtanya di Roma, hidup dalam pribadi para Penerus Romawinya.

Untuk alasan inilah, para Bapa Gereja abad pertama – seperti dalam setiap abad lainnya – paling ingin membuktikan dan menyebutkan satu demi satu Suksesi Apostolik Takhta Roma, karena “hal ini diperlukan oleh karena kepemimpinan superiornya agar setiap Gereja lain harus berpaling” kepada Gereja ini. Mereka dibujuk untuk menyingkapkan suksesi abadi Takhta Roma, karena mereka begitu yakin bahwa Gereja Roma memiliki Tradisi Apostolik, bahwa dalam membuktikan persekutuan dan persetujuan mereka dengan Gereja Roma yang sama, secara berbarengan mereka membuktikan bahwa mereka juga memiliki Iman Apostolik.

Suksesi Apostolik di “Takhta Petrus”, oleh karena itu, disebutkan satu demi satu oleh beberapa Bapa Gereja di abad pertama, “oleh karena kepemimpinannya yang superior.” Yang utama dari mereka adalah Irenaeus[55]; Efraim orang Siria; Optatus[56]; Epiphanius[57]. Irenaeus menyebutkan suksesi itu sebagai berikut: “Linus, Anacletus, Kelemns, Evaristus, Alexander, Sixtus, Telesphorus, Hyginus, Pius, Anicetus, Soter dan Eleutherius, yang kedua belas dari Para Rasul, yang sekarang memimpin Gereja. Bukan dari yang lain kita harus mencari kebenaran, yang dapat dipelajari dengan mudah dari Gereja ini; sebab, kepada Gereja ini, layaknya tempat penyimpanan yang kaya, Para Rasul menyerahkan apapun yang berasal dari kebenaran ilahi, semua guru lainnya harus dihindari seperti para pencuri dan perampok.”[58]

Sungguh, batu karang yang di atasnya Kristus membangun Gereja ini, agar “alam maut tidak akan menguasainya,” adalah Petrus, dalam suksesinya yang kekal[59], yang merupakan sumber kesatuan kasatmata, yang melaluinya Gereja ada dalam satu persekutuan dan persetujuan Iman. Jadi, batu karang, atau Petrus, yang ditempatkan Kristus sebagai fondasi Gereja-Nya, adalah penyebab formal dari kekuatan dan kesatuan supaya Gereja yang mengajar dapat menjadi satu tubuh, infalibel dalam definisi-definisinya, untuk menjaga dan menjelaskan Deposit Iman. Tubuh Gereja yang mengajar, kendati demikian, tidaklah infalibel kecuali ia disatukan dengan kepalanya, yaitu Petrus dan para penerus jabatannya, karena hanya kepada Petrus Kristus berkata: “Gembalakanlah domba-dombaku … gembalakanlah domba-dombaku.”[60] Dengan demikian, penyebab formal dari kesatuan dan persetujuan dalam Iman adalah Sang Kepala – Petrus, dan dalam Petrus, semua penerus jabatannya – yang seakan-akan, menetapkan forma yang mebentuk dan membuat Tubuh Gereja menjadi infalibel, pertolongan Roh Kudus dan perlindungan Kristus menjadi penyebab efisien atau penyebab operatif dari Kepala dan Tubuh yang infalibel.

Umat Kristen abad pertama memahami dengan baik hal ini. Untuk alasan itulah mereka amat gelisah untuk berada dalam persekutuan dan persetujuan dengan Gereja Roma sampai iblis kesesatan merebut mereka dari kesatuan yang terberkati itu.

Epiphanius, yang menulis di Abad Keempat, dan setelah secara akurat menggambarkan semua nama Paus Roma, ia menyatakan: “Hendaklah tak seorangpun heran karena aku telah memberikan setiap nama dengan ketekunan yang demikian, sebab melalui nama-nama itu kebenaran akan diperlihatkan selamanya.”[61]

Optatus, yang di Abad Keempat merupakan lawan terdepan dari kaum Donatisme, ia menulis kepada Parminian Si Donatus, dengan berkata: “Kamu tidak bisa menyangkal bahwa kamu mengetahui dengan amat baik bahwa melalui Petrus di kota Roma ditetapkan Takhta episkopal pertama, yang di sana duduklah Kepala semua Rasul, Petrus, yang juga disebut Kefas: hanya dalam satu Takhta itu kesatuan dapat dijaga oleh semuanya, jika tidak maka Para Rasul lain akan berdiri untuk tiap takhtanya: sehingga sekarang ia akan menjadi skismatik dan pendosa, yang menetapkan takhta lainnya yang menentang takhta tunggal ini”; dan seraya menghina suksesi Antipaus Donatis di Roma, ia berseru: “Beritahu kami asal-usul takhtamu, kamu yang ingin mengklaim Gereja Suci untuk dirimu.”[62]

Dengan nada yang sama Tertullian berkata: “Kristus mengutus Para Rasul-Nya, yang mendirikan Gereja di setiap kota, yang darinya orang lain telah meminjam Tradisi Iman dan benih ajaran, dan setiap hari meminjamnya guna menjadi Gereja-Gereja; sehingga, mereka juga bersifat Apostolik dalam arti mereka adalah keturunan dari Gereja-Gereja Apostolik … Semua adalah satu Gereja, yang Para Rasul dirikan selama damai dan persekutuan dipatuhi. Apa yang diwartakan Para Rasul, yaitu, apa yang Kristus wahyukan pada mereka, aku juga menetapkan agar [apa yang diwahyukan] tidak dibuktikan kecuali oleh Gereja-Gereja yang sama itu, yang didirikan Para Rasul yang sama, yang mewartakan kepada mereka pertama-tama dengan suara mereka, dan selanjutnya dengan Surat mereka. Apabila demikian, maka semua ajaran yang selaras dengan Bunda-Bunda Gereja Apostolik dan sumber-sumber Iman, pastilah benar, tanpa ragu berpeganglah pada apa yang Gereja terima dari Para Rasul yang Para Rasul terima dari Kristus, dan yang Kristus terima dari Allah … Kami bersatu dengan Gereja-Gereja Aposotlik; karena kami tidak bisa mengakui ajaran yang berbeda: ini adalah kesaksian kepada kebenaran.[63]

Sambil menamai beberapa Gereja Apostolik, dan menunjuk terutama pada Gereja Roma, Tertullian menyatakan: “Gereja yang bahagia, yang di dalamnya Para Rasul mencurahkan seluruh ajaran mereka dengan darahnya, tempat Petrus wafat sama seperti Tuannya, tempat Paulus dimahkotai dengan akhir yang sama seperti Yohanes Pembaptis, tempat Yohanes diceburkan ke dalam minyak berapi tanpa cedera.”[64]

Jadi, menurut kesaksian para Bapa Gereja, Gereja-Gereja abad pertama amat gelisah untuk berada dalam persekutuan dan persetujuan ajaran dengan Gereja-Gereja Apostolik, khususnya Gereja Roma, karena mereka menganut dan percaya bahwa persekutuan dan persetujuan tersebut merupakan ciri hakiki dari apostolisitas dan integritas ajaran dan keyakinan mereka.

7

Di abad pertama, ketika ajaran baru muncul di tengah umat beriman, perasaan Gereja dibangkitkan sehingga ia menggunakan semua cara yang mungkin untuk mengakhirinya.

Janji Yesus Kristus bahwa Roh Kudus akan tingal bersama Gereja sampai akhir zaman tidak akan pernah gagal. Itu adalah janji Allah yang tidak bisa menipu atau ditipu. Roh Kebenaran, sesudah berbicara melalui para Nabi, lalu melalui Para Rasul, tinggal bersama Gereja. Ia menyertainya dalam semua persoalan dan kesusahannya. Ia menyertainya dengan mengarahkan, membantu, dan membimbingnya dalam karya agung keselamatan jiwa-jiwa.

Meskipun demikian, sebagaimana Gereja tidak tersusun dari para Malaikat, melainkan para manusia, baik dalam kawulanya maupun dalam pemerintahannya, unsur manusiawi tidak bisa diabaikan. Unsur manusiawi inilah – khususnya unsur pemerintahan – yang dibimbing, dibantu, dan diarahkan Roh Kudus agar ia tidak jatuh dalam kekeliruan, sebab, sebagaimana dinyatakan Para Rasul, Roh Kudus menempatkan para Uskup untuk memimpin Gereja Allah. Untuk alasan itulah sekarang kita akan membahas dengan jelas prinsip-prinsip, cara dan sarana, yang digunakan para Penerus Para Rasul untuk melindungi Deposit Iman. Dengan cara ini, kita akan memahami dengan saksama bagaimana kerusakan Tradisi, khususnya di abad-abad pertama Gereja, yang diklaim oleh Protestan, merupakan kemustahilan moral.

Gereja Yesus Kristus selalu memperhatikan bahwa tidak ada Uskup yang dipilih tanpa pertama-tama mengamati secara saksama kehidupan pribadinya dan ketulusan imannya; “agar yang tidak layak tidak menduduki tempat imamat.”[65]

Pada abad-abad pertama Gereja, merupakan hal yang biasa bagi setiap Uskup, khususnya di Takhta-Takhta terpenting, seteleh pemilihannya, untuk memberikan kepada Uskup tetangganya, dan khususnya kepada Paus Roma, sebuah pengakuan imannya yang jelas – “Tradisi Apostolik dan lama dalam Gereja-Gereja Allah yang suci di seluruh dunia, menganut bahwa mereka semua, yang diangkat ke takhta uskup, akan dengan tulus menyingkapkan kepada mereka, yang ditempatkan di tempat-tempat imamat tertinggi, apa yang mereka pikirkan dan bagaimana posisi mereka dalam hal Iman – agar mereka tidak memimpin dengan sia-sia.” Jadi, setelah membuat pengakuan Imannya, St. Sophronius, Uskup Yerusalem, menulis hal tersebut dalam surat sinodikalnya kepada Paus Honorius dan St. Sergius, Uskup Konstantinople.

Alasan untuk kebiasaan tersebut tidak hanya jelas, tetapi juga diperlukan – ketika kita mempertimbangkan kekacauan masa itu dan intervensi pangeran-pengeran duniawi demi alasan politik dan kepentingan egois dalam perkara-perkara Gereja.

St. Gregorius Agung, dengan tepat menjelaskan penetapan tersebut: “Selagi kami meneruskan pengakuan iman kami kepada satu sama lain, dan memperlihatkan kasih kami kepada kalian, apa lagi yang kami lakukan di dalam Gereja Allah, selain menutupi Bahtera dengan aspal guna mencegah masuknya gelombang-gelombang kekeliruan?”[66]

Kapanpun salah satu dari para Uskup dinyatakan tidak berada dalam persekutuan dengan Uskup-Uskup lainnya, namanya seketika itu juga dikeluarkan dari daftar Uskup Katolik. Siapapun yang ditolak oleh persekutuan itu (dalam hal iman dan ajaran), menurut Siprianus, “siapapun dia, maka dia bukanlah orang Kristen, sebab ia tidak berada di dalam Gereja.”[67]

Terlebih, sebagaimana para Uskup sangat peduli untuk tampil dalam persekutuan iman yang satu, demikian pula mereka sangat peduli akan keaslian iman para pendahulu jabatan mereka. Jadi, di setiap keuskupan, daftar nama semua Uskup dari keuskupan yang sama dijaga dan digambarkan dengan ketekunan besar, seraya menghapus mereka semua, yang telah jatuh dari Iman, atau dikecualikan dari persekutuan Gereja Universal. Hal ini dianggap begitu penting sehingga banyak kontroversi panjang dan berat terjadi, seperti, misalnya, dalam menerima kembali nama St. Yohanes Krisostomus dalam daftar Patriak Konstantinople dan dalam mengeluarkan nama Acacius dan para penerusnya dari daftar Takhta Patriak itu.

Kapanpun sebuah ajaran baru, yang bertentangan dengan Iman yang diterima dari lama, mulai diperkenalkan, maka seluruh Gereja menjadi gempar. Uskup setempat, tempat berasalnya ajaran baru itu, tidak hanya mencelanya, tapi juga memberitahu Uskup-Uskup tetangganya, dan pertama memberitahu Uskup Roma. Ajaran baru dianggap sebagai bahaya baru yang mengancam mereka semua: ia seperti luka yang menyakiti seluruh tubuh.

Dengan demikian, misalnya, dalam Konsili Antiokia, para Uskup menuduh Paulus dari samosata di hadapan Paus Roma dan kepada Maximus, Uskup Alexandria; St. Siprianus melaporkan kepada Uskup Roma tentang skisma Felicissimus dan Fortunatus; Alexander, Uskup Alexandria, menyingkapkan Arius kepada semua Uskup katolik.

Para Uskup begitu bersemangat untuk menjaga keutuhan Iman lama, sehingga ketika seseorang dari kaum Klerus atau umat awam berpindah dari satu Keuskupan ke keuskupan lain, Uskupnya memberikan surat yang memberi kesaksian bagi imannya. Apabila tidak terdapat surat tersebut, ia dipandang dengan curiga, dan umat beriman diperingatkan untuk menghindarinya.[68]

Terakhir, apabila semua sarana dan tindakan pencegahan ini tidak dianggap memadai unuk menindas kesesatan baru dimulai, maka Para Uskup akan berkumpul bersama untuk melindungi, menjaga, dan dengan resmi mewartakan Iman lama. Demikianlah asal mula dari Konsili-Konsili Umum dan Provinsial Gereja.

Sejarah menyediakan kita tidak hanya dengan nama-nama inovator atau bidat, beserta ajaran-ajaran baru mereka, tapi juga tempat dan waktu konflik tersebut. Dalam setiap hal para Uskup Gereja menjunjung kekunoan, mencela ajaran baru dan mengekskomunikasi inovator dan para pengikut mereka.

Semua hal ini memperlihatkan betapa waspadanya “para gembala dan pengajar” Gereja dalam mengawasi kawanan domba mereka, yang dipercayakan Roh Kudus pada mereka, dan betapa cermat mereka dalam menjaga padang rumput rohani mereka agar bebas dari ilalang yang menjengkelkan.

8

Gereja selalu dipimpin oleh Kitab Suci dan Tradisi.

Beberapa teolog Protestan, seperti Twesten[69], mengklaim bahwa Gereja yang lebih tua hanya membandingkan secara historis kepada Tradisi. Ini artinya para penulis awal Gereja hanya ingin membuktikan bahwa dalam Gereja-Gereja Apostolik, yang di dalamnya Para Rasul berkhotbah, Iman, yang mereka wariskan dan serahkan kepada mereka, tidaklah dirusak, tapi tetap murni melalui suksesi berkelanjutan Para Uskup sampai Abad Kedua dan Ketiga; selanjutnya, kendati demikian, Gereja menyatakan otoritasnya, yang ia tidak miliki melalui kesaksian Tradisi apapun. Dengan kata lain, mereka mengklaim bahwa Gereja lama hidup hanya bersama Kitab Suci pada tiga abad pertama, tapi sesudahnya ia menambahkan kepadanya otoritasnya sendiri.

Teolog lain, seperti Lessing dan Delbruck, menjungkirbalikkan tatanan ini, dan mempertahankan bahwa sampai Konsili Nicea di Abad Keempat, Gereja dipimpin oleh Tradisi, tapi sesudah waktu itu, ia hanya dipimpin oleh Kitab Suci yang diilhami sebagai satu-satunya sumbernya dan Pedoman Iman.

Yang lain menyatukan dua pandangan ini, seraya mengklaim bahwa Kitab Suci, sampai Abad Ketujuh adalah satu-satunya Pedoman Iman, tetapi sesudah waktu itu, baik Kitab Suci maupun Tradisi menjadi dua Pedoman Iman. Lihat Franzelin[70] dan Perrone[71].

Bahwa semua klaim ini tidak berdasar terlihat jelas dari bukti yang telah kita sertakan dalam bagian-bagian sebelumnya dari karya ini. Kendati demikian, untuk pembuktian yang lebih jelas dan banyak tentang Dogma Katolik, kita menyatakan bahwa kesaksian para Bapa Pra-Nicea dan Paska-Nicea, yang berkaitan dengan Tradisi, adalah identik. Mereka semua memiliki suara yang sama, hati dan perasaan yang sama. Mereka semua berseru pada Tradisi, dan seruan mereka didorong oleh alasan-alasan yang sama, dan tujuan-tujuan dan dihasilkan dalam cara yang sama.

Pertama, kedua rangkaian Bapa Gereja itu berseru pada Tradisi yang sampai pada kita melalui suksesi para Uskup. Jadi, apabila para Bapa Apostolik dan mereka yang berasal dari Abad Kedua dan ketiga, seperti Irenaeus[72] dan Tertullian[73] mengacu kepada ajaran, yang diterima dari awal, maka demikian pula Bapa Gereja yang hidup sesudah Konsili Nicea, seperti Athanasius, Epiphanius, Agustinus, dan yang lainnya, yang menyatakan bahwa “apa yang mereka terima dari Bapa Gereja, mereka juga meneruskannya kepada anak-anak”, sebagaimana dikatakan Agustinus.[74] Kata-kata Athanasius tentang hal ini memang terkenal: “Kami mengajarkan bagaimana para Bapa menyampaikan kepada para Bapa: kamu mengikuti Konsili.”[75] Di sisi lain, jika para Bapa Apostolik berseru pada Suksesi Apostolik di dalam Gereja, khususnya Gereja Roma oleh karena “keutamaannya yang lebih besar” sebagaimana dikatakan Irenaeus[76], demikian pula para Bapa yang muncul sesudah mereka, yang berseru kepada Suksesi Apostolik yang sama dan dalam cara yang khusus kepada Takhta Roma, karena sebagaimana dikatakan Epiphanius, “melalui suksesi itu kebenaran selalu tampil secara jelas”[77] dan sebagaimana dinyatakan St. Agustinus, “apa yang menahan saya dalam Gereja ialah suksesi para imam dari Petrus sampai pemimpin saat ini.”[78]

Di tempat kedua, jika Bapa Gereja yang datang dari masa sesudah Konsili Nicea, seperti Athanasius, Krisostomus, Agustinus, Hieronimus, menyatakan bahwa persetujuan para Uskup adalah akibat dari pertolongan Roh Kudus – dan untuk alasan itulah mereka berseru pada otoritas Gereja yang mengajar – demikian pula Bapa Gereja yang paling kuno, seperti Tertullian, Siprianus, Irenaeus, Ignatius, selagi mereka bersikeras bahwa alasan mengapa tak seorangpun harus berpisah dari ajaran Gereja ialah karena kebenaran sampai kepada kita secara murni dan utuh melalui persetujuan umum dan suksesi yang teratur dari para Uskup, serentak mereka menyatakan bahwa, itu karena otoritas yang diberikan Kristus kepada Para Rasul dan oleh Para Rasul diberikan kepada para penerus mereka.

Jadi, jika setelah Konsili Nicea telah ditetapkan dengan baik bahwa, sebagaimana dinyatakan Vincentius dari Lerin, “dalam Takhta Apostolik, Gereja Katolik dijaga tak bercela”[79], karena “kita tidak dapat mengesampingkan kalimat Kristus yang berkata, ‘engkau adalah Petrus dan dia atas batu karang ini Aku akan mendirikan Gereja-Ku’”[80], demikian pula, lama sebelum Konsili tersebut, Tertullian mengatributkan persetujuan umum para Uskup “melalui Pengajar Kebenaran, yang tidak membiarkan Gereja berpikir atau percaya yang sebaliknya”[81], atau, sebagaimana dikatakan murid Para Rasul, Irenaeus, [persetujuan umum itu terjadi] “karena karya Roh Kudus.”[82]

Dengan demikian, menurut semua Bapa Gereja, terdapat dua unsur dalam Tradisi, unsur yang kelihatan dan tidak kelihatan. Unsur yang kelihatan terdiri dari suksesi sah dan persetujuan umum para Uskup; unsur yang tidak kelihatan adalah pertolongan langsung Allah sendiri.

Dua unsur ini terhubung, karena unsur yang kelihatan bergantung pada yang tidak kelihatan dan dalam cara tertentu ia dibentuk olehnya. Tapi keduanya berbeda, dan para Bapa mempertimbangkannya secara berbeda. Jadi, Bapa Gereja pra dan paska Konsili Nicea, berargumen secara historis, filosofis, dan teologis.

Secara historis – dengan mengacu kepada yang kelihatan. Mereka menunjukkan suksesi berkelanjutan para Uskup, sebagai para penjaga Iman yang teruji, yang nama-namanya tercakup dalam daftar para Uskup. Apabila nama seorang Uskup tidak ada dalam daftar tersebut, maka, sebagaimana mereka berargumen, ajarannya tidaklah Apostolik.

Secara filosofis – dengan mengacu kepada persetujuan dan persatuan para Uskup dalam ajaran dengan semua Gereja, khususnya dengan Takhta Roma, akar dan pusat kesatuan. Persetujuan dan persatuan tersebut adalah argumen kebenaran, sebab, sebagaimana dikatakan Tertullian, “Apabila Gereja-Gereja keliru, kekeliruan mereka bukan hanya satu, tapi banyak: apa yang ditemukan sebagai satu di antara banyak (Gereja-Gereja) bukanlah hal yang keliru, tapi hal yang diteruskan.”[83]

Secara teologis – dengan mengacu kepada yang tidak kelihatan. Para Bapa Gereja menyimpulkan bahwa, karena terdapat suksesi berkelanjutan para Uskup, semua dalam persekutuan dan persetujuan dengan satu sama lain, khususnya dengan Uskup Roma, maka persekutuan dan persetujuan tersebut haruslah diatributkan kepada janji Kristus dan bantuan Roh Kudus.

Di sinilah terletak kesalahan besar kaum Protestan. Tidak ada perbedaan apapun di antara para Bapa Gereja yang paling kuno dan yang terkini dalam cara mereka mempertimbangkan Tradisi dan dalam metode mereka membuktikan integritas ajaran yang diteruskan. Benar bahwa, sebagaimana telah kita katakan, terdapat dua argumen historis dan teologis yang ditimba dari dua unsur sebagaimana disebutkan di atas, yakni unsur yang kelihatan dan tidak kelihatan, yang terkait satu sama lain, tapi keduanya tidak boleh dicampurkan dan digunakan secara sembarangan satu untuk yang lain. Mereka yang membalikkan metode berargumen ini, mempertimbangkan hanya argumentasi historis di antara Bapa Gereja pra Konsili Nicea, seraya mengabaikan argumentasi teologis. Karenanya mereka memilih bagian teologis dari Bapa Gereja paska Konsili Nicea, ketika Bapa Gereja itu berseru pada otoritas Gereja yang berasal dari karisma kebenaran, sambil mengabaikan argumentasi filosofis dan historis dari Bapa Gereja.

Oleh karena itulah Bapa Gereja pra dan pasca Nicea mengacu pada tiga unsur: suksesi berkelanjutan para Uskup, persetujuan dan persekutuan mereka dengan satu sama lain, dan karisma Roh Kudus. Unsur-unsur ini mewakili “pilar kebenaran” yang kelihatan yang di atasnya Bapa Gereja membangun dan mentahtakan otoritas Yesus Kristus yang tak kelihatan, yang memberikan perintah kepada Para Rasul dan penerus mereka untuk pergi dan mengajar semua Bangsa. Untuk alasan inilah Vincentius dari Lerin berkata: “Siapapun yang menolak para Pengajar dan Gembala yang ditempatkan Allah di dalam Gereja, di setiap tempat dan waktu, yang semuanya selaras dalam semua ajaran dogmatik, mereka tidak menolak manusia, tetapi Allah.”[84] Prinsip historis dari Gereja perdana, oleh karena itu, yang dibuat oleh Protestan, yang bertentangan dengan prinsip yang diatributkan kepada Gereja pada periode selanjutnya,tidaklah berlandaskan pada kebenaran atau fakta.

Gereja, menurut kesaksian Bapa Gereja pra dan paska Nicea, dipimpin oleh Kitab Suci dan Tradisi.

9

Penjelasan yang ditawarkan kaum Protestan tentang kesaksian Tradisi Gereja perdana, tidak dapat diterima, sebab jemaat Kristen perdana menafsirkan Kitab Suci menurut Tradisi.

Dari prinsip hakiki mereka bahwa Kitab Suci adalah satu-satunya otoritas dan Pedoman Iman, kaum Protestan mengklaim bahwa bahkan kesaksian seluruh dunia pun tidak dapat membuktikan kepercayaan Agama Ilahi. Dengan kata lain, semua iman, sentimen, dan kesaksian para penulis awal dan Bapa Gereja Kekristenan bukanlah otoritas kompeten atau sumber-sumber terpercaya, yang memampukan kita menilai kemurnian, hal-hal mendasar, keperluan atau kebenaran agama Kristen, sebab keyakinan mereka bukan merupakan pernyataan otoritatif. Apabila kesaksian mereka, katanya, berarti sesuatu, itu hanya memperlihatkan iman individu mereka dan bukan yang lain. Itu tidak membuktikan bahwa iman kita harus diselaraskana atau dibentuk menurut kesaksian mereka; melainkan kesaksian tersebut haruslah diperiksa dan dinilai seturut satu-satunya Pedoman Iman: Kitab Suci. Jika selaras dengan Kitab Suci, maka itu harus diterima: jika tidak maka harus ditolak.

Kaum Protestan memberitahu kita bahwa yang disebut Bapa Gereja Kekristenan berseru pada ajaran-ajaran Gereja perdana, khususnya Gereja-Gereja Apostolik, karena sejauh mereka melihat bahwa ajaran-ajaran itu sesungguhnya selaras dengan Kitab Suci: jadi, pembuktian ajaran-ajaran Apostolik dari Kitab Suci seluruhnya terlepas dari persetujuan atau kesatuan dengan Gereja, yaitu, bahwa pembuktian itu muncul pertama dan satu-satunya pembuktian yang pas; acuan kepada penulis-penulis itu dan kesaksian mereka datang setelahnya.

Jadi, mereka menjelaskan, seruan Bapa Gereja kepada ajaran-ajaran Apostolik menghasilkan konfirmasi tertentu akan apostolisitas mereka, yang bergantung pada Kitab Suci, tapi dengan menyingkirkan seutuhnya persetujuan dan persatuan para Uskup, karena Kitab Suci datang pertama kali sebagai fondasi yang hakiki dan absolut, yang di atasnya dan kepadanya iman umat Kristen perdana harus diselaraskan. Maka dari itu, Kitab Suci sendirilah yang melahirkan harmoni dan persetujuan para Uskup, yang muncul sesudahnya.

Demikianlah sudut pandang kaum Protestan progresif atau yang paling berkembang.

Kendati telah menyatakan demikian, mereka merasakan beban kesaksian seluruh Agama Kristen dan tidak membiarkan untuk membuktikan pendapat mereka. Itu mustahil. Kesaksian-kesaksian orang Kristen lama begitu kuat, pernyataan mereka begitu jelas, celaan mereka akan kekeliruan begitu kuat dan tidak bisa salah, sehingga hal itu tidak dapat dibuang dengan mudah. Sebab, para penulis Gereja kuno berseru pada suksesi berkelanjutan para Uskup, kepada penafsiran umum akan Kitab Suci, kepada kesatuan dan persetujuan mereka dalam perkara Iman, dan terutama dalam kebencian mereka akan kebaruan dalam ajaran.

Tidak ada kebulatan suara dan kejernihan yang lebih besar di antara para penulis Kristen awal daripada tentang relasi Gereja dengan Kitab Suci. Otoritas gerejawi adalah pedomannya. Terhadap hal inilah tergantung penafsiran Kitab Suci, bahkan pembentukan dan keberadaannya.

Tanpa otoritas Gereja dan persetujuannya, kitab-kitab dari Kitab Suci tidak memiliki kehidupan. Bila dibiarkan sendiri, mereka tidak bisa menghidupkan. Jumlah kitab, yang hari ini kita terima sebagai kitab yang sungguh diilhami, penafsiran mereka, otentisitas dan keasliannya bergantung dan sepenuhnya bergantung pada otoritas Gereja. Kitab Suci ada, karena dan sejauh Gereja telah menyetujuinya, sebagai hal yang mengandung Wahyu Ilahi. Melalui Penyelenggaraan Ilahi, Gereja, dalam masa-masa paling kritis di dunia, menyelamatkan Kitab Suci dari kepunahan dan kehilangan total, pertama untuk Kekristenan, lalu untuk peradaban. Otoritas Gereja adalah pengadilan, yang mana Kitab Suci sendiri – setiap kitabnya, dan setiap bagiannya, yang menyusun Kitab Suci – dibawa untuk diperiksa, dipertahankan atau ditolak dan untuk penfsiran yang infalibel. Otoritas ini di pihak Gereja tidak berarti bahwa Gereja sungguh superior dari Kitab Suci. Jauh darinya. Ini sekadar berarti bahwa Gereja – dan hanya Gereja – yang memiliki hak untuk memberitahu kita apa yang ternasuk Kitab Suci dan dan apa yang bukan dia, apa penfsiran yang benar dan infalibel terhadapnya.

Berapa banyak orang yang mengetahui bahwa Gereja Katolik sendiri mengkompilasi, mengumpulkan dan membentuk bersama kitab-kitab berbeda dari Kitab Suci sebagaimana mereka ada ratusan tahun silam dan sebagaimana mereka ada hari ini? Tidak sedikit yang percaya bahwa Martin Luther menemukan atau menemukan kembali Kitab Suci. Hal ini konyol.

Kita akan memperlihatkan bahwa Kitab Suci adalah obyek dan Pedoman Iman hanya sesudah ia disetujui dan ditafsirkan oleh Gereja. Pernyataan-pertanyaan umat Kristen perdana membuktikan hal ini. Tradisi tidaklah ditimba atau ditentukan oleh Kitab Suci. Justru sebaliknya. Dulu, sebagaimana sekarang, Tradisi sendirilah yang merupakan Pedoman. Ia adalah otoritas yang menurutnya Kitab Suci dinyatakan asli, otentik, dan terilhami. Dari sini mereka menerima, dulu hingga kini, penafsirannya yang infalibel.

Dalam Komentarnya terhadap Matius, Origen menulis: “Kapanpun mereka – kaum bidat – membawa Kitab Suci ke hadapan kita, yang disetujui dan dipercaya setiap orang Kristen, mereka kelihatannya berkata: ‘llihatlah sabda-sabda kebenaran di rumahmu,’[85] tapi kita tidak semestinya mempercayainya, tidak pula menyingkirkan Tradisi Gerejawi yang pertama, tidak pula mempercayai selain apa yang telah diserahkan oleh suksesi kepada Gereja Allah.”[86] Bukankah kelihatannya Bapa Gereja yang sama ini, Origen, yang termasuk ke dalam Abad Ketiga, menegur dengan kata-kata ini mereka yang keliru pada hari ini? Saudara-saudari kita yang terpisah mengklaim bahwa Kitab Suci cukup, dan untuk alasan itulah ia harus ditemukan dalam setiap rumah, sebab ia satu-satunya otoritas dalam perkara Iman dan Moral. Mereka menganggapnya sebagai satu-satunya sabda Allah yang diwahyukan dan “menyingkirkan Tradisi Gerejawi yang pertama.” Tapi “kita tidak seharusnya mempercayai selain apa yang telah diserahkan oleh suksesi kepada Gereja Allah.” Bagi Origen, Kitab Suci tidak muncul pertama kali dan Tradisi muncul sesudahnya.

The Book of Recognitions, yang ditulis pada permulaan Abad Ketiga dan diatributkan oleh beberapa orang kepada Klemens, orang Romawi, mengandung nasihat berikut dari St. Petrus: “Saya melihat bahwa beberapa orang cerdas menemukan di dalamnya apa yang mereka baca dalam banyak kemungkinan; namun harus dengan tekun dipatuhi bahwa dalam membaca hukum Allah, kita tidak semestinya membacanya menurut kecerdasan pikiran kita. Karena ada banyak kata dalam kitab Suci, yang dapat diartikan dalam banyak makna, yang mana setiap dari kita dapat menyukainya atau memberanikan diri untuk memberikan maknanya. Hal ini tidak seharusnya dilakukan. Sebab kamu tidak seharusnya membawa masuk kalimat yang asing dan tidak pantas, yang kamu coba cari konfirmasinya dari Kitab Suci; tapi kamu harus mendapatkan penafsiran yang benar dari Kitab Suci yang sama: karenanya seseorang harus mempelajari pengtahuan tentang Kitab Suci darinya, yang memperolehnya dari orang-orang kuno, seturut kebenaran yang disampaikan kepada mereka.[87]

Jelas dari kesaksian kuno ini bahwa Kitab Suci tidak muncul pertama kali, tapi mereka tunduk pada ajaran, yang diperoleh dari orang-orang kuno, yaitu dari Tradisi.

Menurut Tertullian, tidak seorang pun boleh menggunakan Kitab Suci tanpa menjadi bagian dalam Gereja Katolik, karena hanya Gereja Katolik satu-satunya yang mengetahui cara memberikan penafsiran yang pantas tentangnya. “Jadi, kita tidak seharusnya berpaling kepada Kitab Suci, ataupun berdebat tentangnya. Urutan hal-hal mengharuskan kita untuk mengajukan, pada tempat pertama, milik siapakah Iman itu? Milik siapakah Kitab Suci? Oleh siapa dan melalui siapa dan kapan, dan kepada siapa, otoritas untuk mengajar diserahkan, oleh siapakah orang-orang dijadikan Kristen? Sebab, di mana diperlihatkan tempat disiplin Kristen dan doktrin sejati, di sana juga terdapat kebenaran akan Kitab Suci dan penfsirannya dan semua Tradisi Kristen.”[88]

Tapi, di manakah Doktrin Iman ditemukan? Tertullian menjawab: “Dalam suksesi para Uskup.”[89] Karenanya, St. Irenaeus, yang hidup sebelum Tertullian, memperingatkan kita dalam kata-kata yang agung: “Di mana terdapat karisma-karisma Tuhan, di sana pula kita harus mempelajari kebenaran, karena melalui mereka Suksesi Apostolik ditemukan di dalam Gereja. Mereka (para Imam) mengawasi Iman kita – dan menjelaskan Kitab Suci pada kita tanpa kekeliruan.”[90]

Maka dari itu, Tertullian dan Irenaeus menempatkan otoritas Gereja di atas Kitab Suci, bukan seakan-akan Gereja lebih superior dari sabda Allah, tapi sebagai pihak yang memberikan penjelasan dan penafsiran yang benar “tanpa kekeliruan.”

Kita akan menyimpulkan hal ini dengan argumen yang pantas dari St. Vincentius dari Lerin. Ia mengetahui dengan sangat baik bahwa semua Bapa Gereja, dimulai dari Bapa Apostolik sampai ke masa kita, mengakui dan menyatakan dua Pedoman Iman. Ia berkata: “Setiap orang harus menjaga imannya dengan dua Pedoman, pertama, otoritas Hukum Ilahi; kedua, Tradisi Gereja Katolik.”

Alasan mengapa otoritas Gereja harus ditambahkan kepada kitab-kitab dari Kitab Suci diberikan oleh St. Vincentius: “karena tidak semua orang menerima Kitab Suci dalam arti yang sama oleh karena keluhurannya; tapi yang ini dan itulah yang memberikan perkataan-perkataan Kitab Suci begitu banyak makna, hampir sebanyak pikiran yang dimiliki banyak orang. Novatianus menjelaskan Kitab Suci secara berbeda dari Sabellius, Donatus dari Arius, Photinus dari Apollinaris, dan seterusnya … Konsekuensinya, mutlak diperlukan, oleh karena banyaknya kekeliruan, agar batas penafsiran apostolik dan profetis harus ditarik menurut arahan pengertian Katolik dan Gerejawi.”[91] Apabila kita hanya mengganti nama-nama Novatianus, Arius, Donatus, Apollinaris, dst, menjadi kaum Methodis, Baptis, Kongregasionalis, Presbiterian, dst, maka deskripsi St. Vincentius, yang dibuat di Abad Kelima, berlaku sama bagi banyak denominasi hari ini.

Menurut para penulis Kekristenan awal, Tradisi haruslah dihormati dan dijunjung secara setara sebagai firman Allah yang tertulis. Sebab, para bapa Gereja menempatkan dasar dan penghormatan yang setara bagi dua pilar kebenaran agung ini: Kitab Suci dan Tradisi. Di atas dua pilar ini busur kebenaran abadi didirikan demi arahan dan tuntunan kita. Tidak ada cara lain bagi umat manusia untuk menemukan Yesus dan Gereja-Nya kecuali melalui jalan ini. Melalui pintu masuk itu kita akan masuk ke dalam kehidupan. Apabila kita mencoba jalan lain kita akan tersesat “dalam kegelapan dan bayang-bayang kematian.” Jadi, pendapat Protestan bahwa umat Kristen perdana berseru pada Tradisi, karena dan sejauh, ia selaras dengan Kitab Suci, merupakan pendapat yang menyesatkan, tidak historis, dan tidak benar.


[1] 2 Tes 2:14.

[2] Tertullian, “Prescript”, C. XX.

[3] 2 Tes 2:14.

[4] Gal 1:8.

[5] Gal 1:9.

[6] Tertullian, “Prescript”, C. XXXII.

[7] Klemens, Ep. I. NN. 42-44.

[8] Irenaeus. III, C. III, N. 3.

[9] Ignatius, ad Ephes., N. 3.

[10] H. E., III, C. XXXVI.

[11] Ep. Ad Philipp., N. 7.

[12] In Euseb. H. E., IV. C. XXII.

[13] In Euseb. Hist. Eccles., L. II, C. II.

[14] In Euseb. Hist. Eccles., L. III, C. IV, N. 1.

[15] In Euseb. Hist. Eccles., L. IV, C. XXVI.

[16] In Euseb. Hist. Eccles., L. V, C. XX.

[17] Tertullian, “Prescript”, CC. XXXII, XXXVII.

[18] Tertullian, “Prescript”, C. XXI.

[19] Tertullian, “Prescript”, C. VI.

[20] Origen, “De Principiis”, praef. N. 2.

[21] Agustinus, Contra Jul., L. II, N. 34.

[22] Ef 4:11.

[23] Commonitorium, C. XXVIII.

[24] Athanasius, Ep. 3.

[25] Origen, De Principiis, praef. N. 2.

[26] Origen, Hom. 18.

[27] Tertullian, Contra Marc. IV, C. V.

[28] Apud Cypr., Ep. 74.

[29] Ep. 21, N. 2.

[30] Iren. III. 4.

[31] Tertullian, “Prescript”, 8-10.

[32] Athanasius, De Synod, N. 4-9.

[33] Sirilus ad Clericos, N. 10.

[34] Selestinus, Ep. 21.

[35] Vincentius dari Lerin, Commonitorium, N. 42.

[36] Kis 20:28.

[37] Yoh 16:13.

[38] Iren. III, C. XXIV, N.1.

[39] Iren. IV, C. XXVI. N.2.

[40] Tertullian., “Prescript”, C. XXVIII.

[41] “Prescript,” C. XXVIII.

[42] Irenaeus. IV, 26.

[43] Sesi XX, 1.

[44] Sesi XXIII.

[45] Migne, 189, 739.

[46] Luk 22:31.

[47] Virgil, dalam Kitab Keenam Aeneid.

[48] Paus St. Leo, Sermo I, in nat SS. Petri et Pauli.

[49] Dante Alligiheri, Purg., Canto XXXII.

[50] Ef 4:5.

[51] Iren., L. III, C. II.

[52] Iren., L. III, C. II.

[53] Siprianus, Ep. 55.

[54] Agustinus, Ep. 43.

[55] Iren., L. III, C. III.

[56] Optatus, L. II, N. 3.

[57] Epiph., C. XXVII, N. 6.

[58] Iren., L. III. C. III.

[59] Mat 16:18.

[60] Yoh 21:15-17.

[61] Epiph, Heres. 27.

[62] Optatus, L. II, N. 3.

[63] Tertullian, “Prescript”, C. XX, 21.

[64] Tertullian, “Prescript”, C. XXXVI.

[65] Siprianus, Ep. 68.

[66] Gregorius, L. VII, Ep. 4.

[67] Siprianus, Ep. 51.

[68] Apost. Const., L. II, C. LVIII.

[69] Dogm. T. I. p. 117.

[70] Script. Et Trad., C. X.

[71] De Trad., N. 381.

[72] Irenaeus., L. III, 4.

[73] Tertullian., “Prescript”, C. XXI.

[74] Agustinus, L. II, Contra Jul., N. 84.

[75] Athanasius., on the Nicene Decree, N. 27.

[76] Irenaeus., L. III, C. III, N.2.

[77] Epiphanius, Heres. XXVII.

[78] Agustinus., Ep. Fund., N. 5.

[79] Commonitorium.

[80] The Oriental Bishops under Hormisdas.

[81] Tertullian, “Prescript”, C. XXVIII.

[82] Irenaeus, C. XXIV, N. 1.

[83] Tertullian, “Prescript”, C. XXVIII.

[84] Commonitorium, C. XL.

[85] Math, XXIV, 26.

[86] Origen, Comment., N. 46.

[87] Book of Recognitions, B. 10, N. 42.

[88] Tertullian, “Prescript,” C. XXIX.

[89] Tertullian, “Prescript”, C. XX.

[90] Irenaeus, L. IV, C. XXIV, N.5.

[91] Lerin’s Commonit., C. II.