Mengasihi Sesama

Mengasihi Sesama
Ibu Theresa dari Calcuta

Kamis, 24 September 2020

PENDAHULUAN BELAJAR TENTANG GEREJA KATOLIK

 Saya ambilkan dari karya terjemahan Cornelius Pulung

Pendahuluan

Setiap persoalan tentang Ajaran Kristiani menyentuh Tradisi. Kontroversi-kontroversi ratusan tahun silam telah diperdebatkan di sekelilingnya. Waktu hanya memberikannya sebuah makna tambahan. Dan kini yang lebih penting dari sebelumnya: ia mengakar lebih dalam selagi abad-abad berlalu.

Apakah Tradisi itu dan apa pentingnya?

Kepulangan saudara-saudari kita yang terpisah sebagian besar bergantung pada jawaban terhadap pertanyaan-pertanyaan ini, selain pada Allah dan rahmat-Nya. Seandainya prinsip-prinsip Tradisi dipahami dan ajaran-ajarannya diterima, maka hari persatuan yang bahagia yang didoakan Yesus Kristus tidaklah terlalu jauh bagi banyak jiwa yang jujur. “Supaya mereka semua menjadi satu, sama seperti Engkau, ya Bapa, di dalam Aku dan Aku di dalam Engkau, agar mereka juga di dalam Kita”[i]. Hari itu pasti akan datang, sebab doa Kristus pastilah manjur. “Bapa, Aku mengucap syukur kepada-Mu, karena Engkau telah mendengarkan Aku. Aku tahu, bahwa Engkau selalu mendengarkan Aku”[ii].

Allah telah berbicara kepada manusia. Ia telah mewahyukan Diri-Nya dalam dan melalui Kristus. Ia telah memberikan manusia perintah-perintah tertentu untuk ditaati, ajaran-ajaran untuk diimani, institusi-institusi untuk digunakan dan dengan demikian menyelamatkan jiwanya. Tapi bagaimana kita bisa mengetahui bahwa Allah telah berbicara? Dan apa yang telah dikatakan oleh-Nya? Dan di manakah kebenaran-kebenaran yang diwahyukan itu dapat ditemukan dalam kepenuhannya dan tidak sekadar secara sebagian? Ini adalah pertanyaan yang membutuhkan jawaban. Terdapat dua jawaban.

Bagi Protestan, Kitab Suci saja merupakan Pedoman Iman yang mengecualikan semua jenis otoritas lainnya. Bagi orang Katolik, Gereja, yang dipadukan dengan Kitab Suci, merupakan Pedoman Imannya.

“Kami percaya satu-satunya pedoman dan jalan, yang menurutnya semua artikel iman … haruslah dinilai, yang tidak lain adalah tulisan-tulisan profetis dan apostolik dari Perjanjian Lama dan Baru”[iii]. “Kitab Suci mengandung apapun yang perlu untuk keselamatan. Apapun yang tidak dibaca di dalamnya, dan tidak dapat dibuktikan, maka tidak dibutuhkan oleh manusia agar ia mempercayainya sebagai artikel iman atau dianggap perlu untuk keselamatan”[iv].

Umat Katolik menjawab bersama Irenaeus: “Kita tidak seharusnya mencari kebenaran dari orang lain, ketika kita bisa dengan mudah memperolehnya dari Gereja. Para Rasul dalam kepenuhan kekayaan mereka membawanya ke dalam, seakan-akan ke dalam tempat penyimpanan, semua yang termasuk ke dalam kebenaran. Ia yang ingin dapat mengambil darinya cawan kehidupan. Inilah pintu masuk menuju kehidupan: semua yang lain adalah pencuri dan perampok. Untuk alasan inilah kita harus menghindari mereka, mengasihi dengan tekun apa yang menjadi milik Gereja, dan mempelajari Tradisi kebenaran.”[v]

Tiap orang Katolik, yang mengenal Agamanya, menyatakan bersama St. Agustinus: “Aku tidak akan mempercayai Injil apabila aku tidak digerakkan untuk melakukannya oleh otoritas Gereja Katolik.”[vi] Karenanya Konsili Trente dengan khidmat menyatakan: “Semua kebenaran dan displin yang terkandung dalam buku-buku tertulis dan dalam Tradisi-Tradisi tidak tertulis, yang diterima oleh Para Rasul dari mulut Kristus sendiri, atau, di bawah ilham Roh Kudus, diserahkan kepada kita, seakan-akan, melalui tangan, sampai pada kita.”[vii]

Dan Tertullian di Abad Kedua berkata: “Milik siapakah Iman itu sendiri? Milik siapakah Kitab Suci? Oleh siapa, dan melalui siapa, dan kapan, serta kepada siapakah otoritas untuk mengajar diserahkan, yang melaluinya manusia dijadikan orang Kristen? Sebab, di mana terdapat ajaran dan disiplin Kristiani yang sejati, di sana juga terdapat kebenaran Kitab Suci, dan kebenaran penafsirannya serta kebenaran dari semua Tradisi-Tradisi Kristen.[viii]

Kekristenan, oleh karena itu, terpecah. Menurut semua denominasi Protestan, tidak ada cara otentik untuk mengetahui sabda Allah kecuali dari Kitab Suci. Kitab Suci adalah satu-satunya Pedoman dan Hakim. Tidak ada otoritas kasatmata yang hidup yang memiliki hak apapun untuk memberikan penilaian terhadap artikel iman. Berharap bahwa orang Kristen harus patuh pada penilaian tersebut merupakan paksaan. Tiap individu memiliki hak atas penafsiran pribadinya sendiri. “Jabatan ketujuh orang Kristen (yang mana semuanya adalah pelayan) ialah menghakimi dan menyatakan tentang Artikel-Artikel Iman … setiap orang yang memperhatikan keselamatannya haruslah yakin akan apa yang ia imani dan ikuti; ia harus menjadi hakim yang bebas dari semua yang mengajarkannya, yang diajar secara batiniah hanya oleh Allah.”[ix]

Beberapa dari denominasi yang menonjol di antara kaum Protestan, khususnya Episkopal, memang menyetujui dan menggunakan Syahadat-Syahadat Iman dan definisi-definisi dari empat Konsili Umum pertama Gereja, yang, bila dipertimbangkan dalam dirinya, merupakan tradisi-tradisi. Hal ini, kendati demikian, diterima tidak sebagai kebenaran-kebenaran tradisional – hal tersebut akan bertentangan dengan prinsip fundamental mereka – tapi karena dan sejauh mereka selaras dengan Kitab Suci.

Ciri khas Protestanisme adalah penyangkalan otoritas dari luar. Iman Katolik, di sisi lain, menyatakan bahwa Gereja dan Kitab Suci adalah Pedoman Iman. Sementara Protestan mengklaim dirinya sebagai satu-satunya Hakim, orang Katolik percaya bahwa Gereja adalah Hakim. Gerejalah yang mewartakan ajaran-ajaran apa yang harus diimani, dan praktik-praktik apa yang harus dipatuhi, dan apakah ajaran-ajaran dan praktik-praktik tersebut ditemukan dalam Kitab Suci atau tidak.

Semua kaum Protestan, guna membenarkan perpisahan mereka dari Gereja Katolik, menyangkal bahwa Kristus menetapkan otoritas yang hidup selain Kitab Suci. Tapi, dengan berbuat demikian, mereka melakukan banyak kekeliruan, mereka telah menyangkal banyak prinsip Kristiani, mereka telah jatuh ke dalam banyak kontradiksi, sehingga, apabila Martin Luther dan yang disebut pembaharu Abad Keenam belas dapat hidup kembali, mereka hampir tidak akan mengenali karya mereka. Para pemimpin Protestanisme – di masa lalu dan masa kini – tahu dengan baik bahwa pengakuan akan prinsip umum Tradisi akan membawa mereka menuju Tradisi Ilahi yang sama itu, yang ditolak pada Abad Keenam Belas. Bahwa Tradisi Ilahi tidak lain dari suksesi aposolik Gereja yang infalibel, senantiasa hidup, dan indefektibel (catatan penerjemah: indefektibel berarti Gereja secara substansial abadi dalam ajaran, liturgi, dan unsur pembentuknya). Apabila mereka mengakuinya, mereka juga harus mengakui kesalahan mereka dan bertanggung jawab atas pemberontakan mereka.

Inilah persoalannya. Apakah Kristus telah menetapkan, selain Kitab Suci, lembaga lain, atau otoritas, untuk memelihara, menjelaskan, dan menyebarkan ajaran-ajaran-Nya? Kita hendak membuktikan bahwa Ia berbuat demikian, bahwa terdapat sebuah cara, yang melaluinya ajaran yang diwahyukan secara ilahi disebarkan dan dijaga integritasnya. Jalan itu adalah Tradisi.


[i] Yoh 17:21.

[ii] Yoh 11:41-42.

[iii] Rumusan Persetujuan Lutheran.

[iv] Artikel Keenam dari Gereja Anglikan.

[v] Kitab III, buku Against Heresies, Bab IV.

[vi] “Ep. Fund”, C.V.

[vii] Sesi IV.

[viii] “Prescriptions,” Bab. XIX.

[ix] Luther’s Institution of the Ministry of the Church, Vol. III, hal. 584.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar