Mengasihi Sesama

Mengasihi Sesama
Ibu Theresa dari Calcuta

Sabtu, 24 Desember 2011

RENUNGAN NATAL 2011, tentang Yesus


MAKNA HARI NATAL BAGIKU

Diam-diam dalam hati ada sebuah kegalauan dan pertanyaan mendasar. Sudah benarkah cara diriku dalam merayakan natal dari tahun ke tahun? Mengapa lebih terasa nuansa itu-itu saja dalam merayakannya. Jika aku berpaling pada masa lalu, aku merasakan natal yang menggugah hati dan getaran-getaran rindu memang ada dan membekas.

Lebih jauh kutanyakan pada diriku sendiri :
  • Sesungguhnya apakah kelahiran bayi Yesus sungguh kurasakan artinya? Apa beda jika kurasakan dan tidak kurasakan?
  • Benarkah DIA merupakan kabar gembira bagiku?
  • Adakah DIA sungguh menyelamatkan aku?

Mengapa pertanyaan itu kumunculkan? Karena usia sepertiku sudah terlampaui oleh getaran-getaran emosi? Dan menjadi tepat pertanyaan-Nya. “ Saat AKU kembali, adakah KU-dapatkan iman di bumi?

Ya Tuhan, benar !!!

Sungguh terlampau beku hatiku kini. Mengapa ? Mungkin upaya memelihara kasih sungguh sulit. Rasa mengasihani diri nampaknya lebih menguasai ketimbang kasih kepada-MU. Tapi toh aku merasa resah dan ingin berdaya upaya untuk memperbaiki hidupku, tentu dengan harapan DIA menolongku. Dan langkah itu akan kuupayakan pertama-tama dengan menggali kembali kenangan dan pengalaman akan DIA.

Tuhan Yesus. Kapankah Engkau lahir di hatiku? Kapankah Natalku yang pertama? Ah ya, hari itu Engkau memanggil aku disebuah 'gereja' yang kulewati saat berjalan dengan kaki telanjangku bukan? Usiaku saat itu paling-paling enam tahun. Engkau menyapaku lewat lagu-lagu gereja yang terasa sangat menggugah. Aku mengintip-MU bukan? Tiba-tiba Engkau begitu menarik dan manis memikat. Aku merasa kerasan.

Mari masuk ...” sebuah suara lembut kudengar. Aku menoleh. Seorang pemudi menatapku manis. Aku terguncang malu. Dan ketimbang menyambut undangannya, aku malahan lari. Walaupun umurku enam tahun, rasa rendah diri karena kehidupan membuat penghalang akan uluran tangan-MU bukan? Waktu itu KAU tidak marah bukan? Malahan Engkau meneteskan air mata turut bersedih ? Itu aku yakin, dan kini hatiku merasakan-MU Yesus. Ah, air mataku seakan mau keluar Tuhan. Ternyata rasa itu masih kusimpan untuk-MU. Diriku masih terpukau akan KASIHMU. Itu salah satu NATALKU bukan? Terima kasih Yesus.

Sekolah Dasarku berakhir. Dan aku mencari sebuah sekolah katolik yang terkenal di Bandung. Rasanya itu enam tahun kedua bagiku. Enam tahun sejak panggilan-MU yang pertama itu. Umurku saat itu sekitar dua belas atau lebih. Aku terpuruk karena tertolak sebelum tes masuk ke sekolah itu. Mengapa? Karena pakaianku lusuh saat diterima kepala sekolah SMP itu? Aku sungguh kecewa, karena sahabatku yang kutahu 'lebih bodoh' bisa dierima. Miskin ternyata membuat aku ditolak (maaf bila ini prasangka). Tertunduk pulang, hatiku begitu sakit, setengah putus asa akhirnya aku diterima disebuah sekolah protestan. Eh, ternyata saat itu Engkau bukan mengundangku. Engkau menarikku bukan Yesus? Seperti Engkau menarik St. Petrus yang mulai tenggelam akibat kurang percaya kepada-MU. Wow aku bodoh. Disana Engkau mengajari aku firman-MU untuk kuhapal. Walaupun aku melakukannya hanya karena ingin nilai-nilaiku menjadi yang terbaik. Supaya aku menjadi juara kelas.

Serahkan dirimu kepada Allah dan lawanlah iblis, maka ia akan lari daripadamu.” Begitu bisik-MU lembut padaku. Saat aku ketakutan karena harus ke wc sendirian, dimana wc itu letaknya dibelakang rumah kontrakan keluarga kami. Dan kegelisahan dan ketakutanku kepada setan mencair perlahan-lahan, saat ... kata-kata-MU itu rajin kuucapkan dalam hatiku di kala ketakutan melanda. Kadang kutambahkan, dibawah naungan sayap-MU aku berlindung. Dan aku berani mencibirkan bibirku saat setan tak berani mendekat, karena aku berada dalam rengkuhan pelukan dan dekapan kasih-MU. Ini juga NATALKU, bukan? Kelahiran-MU yang dasyat dalam relung hatiku. Yesus. Yesus jangan sekali-sekali KAU tinggalkan aku ya? Mengaku bandel dan nakal, juga jahat dan najis dihadapan-MU. Seringkali aku lari dari-MU. Dosa asal itukah biangnya Tuhan? Atau dosa pribadiku karena dagingku lemah terhadap nafsu?

Ah, ternyata rasa itu masih ada.

Mengapa ia tersimpan hanya di 'peti ingatanku' ya Tuhan?

Mengapa aku tega, menomor sekiankan kehadiran-MU dalam Ekaristi Suci-MU ?

Ampuni aku Bapa. Aku telah berdosa terhadap Sorga, terhadap Engkau terhadap Roh-MU yang kudus. Namun terhadap saudara-saudaraku yang lain, sekarang aku bisa mengucapkan dengan tegas. Selamat Natal 2011. Karena Yesus sungguh KABAR GEMBIRA bagi hidupku. Juga hidupmu, bukan?

25 Desember 2011

Saulus

Renungan Natal 2011, TENTANG BUNDA MARIA

Saya kali ini mendadak terilhami mengenai posisi Maria. Seorang wanita terpilih yang dihormati Gereja. Lama sekali, saya menganggap Maria adalah 'orang biasa', dan menolak mengistimewakan dia. Saya menjadi katolik waktu SMP dan pendidikan saya berlangsung di sekolah protestan.Jadi saya sangat dipengaruhi oleh pandangan mereka tanpa saya sadari. Waktu itu saya oleh Pastoor van Dongen SS.CC di baptis, walau saya mengaku kepada beliau bahwa saya tidak bisa 'menghormati' Maria sebagaimana layaknya seorang katolik. Pastoor van Dongen cuma tersenyum dan berkomentar pendek," Suatu saat nanti, dia sendiri akan berbicara dengan kamu."

'Pertobatan' saya berlangsung saat saya berada disebuah Novisiat, dimana saat itu, seorang sahabat saya minta di doakan supaya mendapat keturunan karena telah sekian lama menikah, tetapi belum memiliki momongan. Entah mengapa, saya waktu itu bicara sama teman," Kita Rosario tiap hari Rabu jam 6 sore. Kamu berdoa sama istrimu dan saya di sini akan mendoakan kamu dengan rosario di tempat ini." Kami melakukannya bersama. Padahal saya tidak memiliki keyakinan akan dikabulkan, karena buat saya waktu itu Maria bukan apa-apa. Tak tahu mengapa suatu ketika saya tiba-tiba merasa tidak perlu lagi berdoa rosario untuk teman saya itu. Beberapa hari kemudian muncul surat dari teman saya yang mengatakan dia, sudah dikabulkan doanya. Istrinya hamil.

Saya malahan melongo. Kok bisa ya? Mulai saat itu saya menyesali telah meremehkan Bunda Maria. Ternyata dia seorang istimewa.

Hari ini, saat mengikuti Misa Natal di Regina Pacis Bogor, saya terpikir tentang salah satu keistimewaan beliau, yakni :
- dia 'bersama' Yesus dan sama sekali tidak pernah berpisah selama kurang lebih 9 bulan. Di dunia ini tak
  ada orang lain yang memiliki rahmat seistimewa itu. Di jamin.
- dia 'mengalami Yesus' dengan cara yang istimewa, yakni secara fisik, Yesus selalu berada bersamanya
   sepanjang dikandung  bahkan selama pendidikan nya sebagai kanak-kanak.
- dia 'menyusui Yesus' dan tak ada seorangpun yang pernah mengalaminya
- dia melahirkan Yesus, dan tak ada satupun wanita di dunia ini yang memiliki keistimewaan ini
- dia, satu-satunya wanita yang mengandung Yesus, tidak melalui peran seorang pria. Dia mengandung dari
   Roh Kudus.
- dia sungguh-sungguh mengasihi Yesus sebagaimana layaknya seorang ibu yang mengandung

SELAMAT NATAL 2011

Saulus

Kamis, 22 Desember 2011

Penentu Masuk Surga - Neraka adalah saat akhir sebelum meninggal

Persembahan Deusvult dari www.ekaristi.org yang sangat penting, semoga menjadi peringatan buat kita orang-orang katolik yang enggan mengakukan dosa saat-saat adven begini. Ayo, mumpung masih ada kesempatan.

Salah satu ajaran sulit alias "makanan keras" (1Kor 3:2; Ibr 5:12,14) dari iman Kristen adalah bahwa nasib seseorang di alam yang akan datang ditentukan oleh kondisi jiwanya saat dia mati dan bukannya oleh apa yang pernah dia lakukan selama hidupnya. 

Jadi kalau ada orang yang sepanjang hidupnya jahat dan tidak pernah berbuat baik namun pada saat mati dia bertobat maka dia akan selamat, namun kalau ada orang yang sepanjang hidupnya berbuat baik dan tidak pernah berbuat jahat namun pada saat mati dia berbuat dosa dan tidak bertobat maka dia tidak akan selamat (bdk. Yeh 18:21-28; 33:12-16,18) 

Berikut adalah tulisan dari Romano Amerio dalam bukunya Iota Unum yang mencoba menjelaskan "makanan keras" ini. 


IOTA UNUM
Romano Amerio




p466-468

202. Kehidupan moral sebagai suatu titik [penentu nasib seseorang] dalam aliran waktu

Ini adalah kebenaran religius yang penting, tapi juga sulit dipahami, bersifat paradoks dan menimbulkan ketersinggungan bagi pemikiran-pemikiran umum [yang dimiliki banyak orang]. Tampaknya tidak adil dan tidak masuk akal bahwa nilai moral seseorang harus diputuskan oleh kondisi saat dia meninggal dan bukannya oleh suatu timbangan perbuatan baik dan jahat selama hidupnya.

Meskipun begitu, agama Kristen mengajarkan bahwa tujuan akhir dari hidup seseorang tergantung dari kondisi moral orang tersebut pada saat kematian: karenanya [tujuan akhir hidup seseorang] tidak tergantung pada riwayat masa lalu [kehidupan orang tersebut], tapi pada saat mana kehidupan moralnya berada ketika kematian menjemputnya. Pandangan yang lain, [yang mengatakan] bahwa nasib seseorang bergantung pada penimbangan perbuatan baik dan jahat, di-atribusi-kan pada Segneri[2], pada beberapa rabbi [Yahudi], dan juga [merupakan pandangan yang] diyakini oleh Moslem yang mengacu kepada suatu mizan, atau timbangan jasa-jasa. Namun ajaran Gereja Katolik menegaskan bahwa kondisi moral seseorang saat sekarang [ie. present] mempunyai sifat yang menentukan [tujuan akhir hidupnya]; dan bahwa ajaran ini telah dinyatakan di katekismus-katekismus, di-warta-kan di setiap podium dan didefinisikan pada sebuah dekrit dogmatik dari Konsili Lyons yang kedua.[3]

Rosmini menjelaskan kebenaran sulit ini secara sangat perseptif: "seseorang tidak seharusnya menganggap kebaikan moral seseorang seperti dua kualitas yang eksis di saat bersamaan, yang meningkat dan menurun, yang saling membatalkan satu sama lain; seseorang juga tidak seharusnya mengatakan bahwa seorang manusia dikutuk [ke neraka] kalau jumlah kejahatan sudah menumpuk dan mencapai suatu tingkatan yang telah ditetapkan Tuhan [dimana seseorang layak dimasukkan ke neraka] menurut kehendak bebasNya dan hukum keadilanNya. Satu manusia utuh itu adalah baik [saja] ataupun jahat [saja], quia nihil est damnationis in eis qui vere consepulti sunt cum Christo.[4] Kebaikan sebenarnya tidak bisa eksis dalam seorang yang jahat, karena quae societas Christi ad Belial?.[5] Memang ada dosa ringan dalam diri orang-orang yang baik namun [dosa-dosa ringan ini] tidak membuat seseorang berhenti menjadi [seseorang] yang secara fundamental baik.[6] Aku tahu bahwa ada kesulitan-kesulitan yang diajukan oleh akal sehat, dan bahkan teks-teks Alkitab, begitu pula oleh gambaran tradisional pengadilan ilahi sebagai suatu penimbangan jiwa-jiwa. Meskipun begitu pentingnya kondisi moral seseorang pada satu titik aliran waktu berasal dari ajaran yang [cukup] jelas dari agama Kristen. Tindakan moral adalah sebuah hubungan antara manusia dengan tujuan akhir hidupnya; [tindakan moral] bukanlah suatu hubungan dengan perkara-perkara ciptaan, atau tujuan akhir yang sifatnya duniawi, atau dengan masa depan bangsa manusia. Nah, manusia berhutang penghormatan pada hukum dan hutang ini wajib dibayar pada setiap saat dalam hidup seseorang tanpa bergantung pada saat-saat lainnya [dalam hidup seseorang itu]. Masa lalu dan masa depan dalam hidup seseorang tidak eksis di masa sekarang ini, namun hubungan seorang manusia dengan tujuan akhirnya, yaitu Allah, selalu ada, dan [hubungan tersebut] menguasi keutuhan dari orang itu [ie. entah orang itu utuh baik atau utuh buruk], dan tidak menyisakan tempat sedikitpun bagi sebagian dirinya yang bisa dia berikan kepada perkara-perkara fana yang bisa diambilkan dari [hubungannya dengan] Allah. Inilah apa yang menjadikan kehidupan moral mempunyai sifat serius. Tidak sekejap pun dalam hidup manusia bisa dengan bebas dia berikan bagi dosa; ini adalah kebenaran yang telah diwartakan di setiap jaman dalam sejarah ke-Kristen-an. Setiap saat dari waktu-waktu yang terbuang harus ditebus,[7] maksudnya, ditempatkan pada hubungan dengan yang transenden yang diluarnya [ie. diluar yang transenden itu] tidak ada apapun kecuali ketidakadaan, entah itu metafisik ataupun moral.



Catatan-catatan kaki:
[2] Paolo Segneri S.J. (1624-1694) pengkhotbah paling terkenal pada abad ketujuhbelas di Italiathe most famous preacher in seventeenth century Italy. [Translator's note.]

[3] Pada tahun 1274. Lihat Denzinger, 464.

[4] Bdk. Roma 8:1. "Demikianlah sekarang tidak ada penghukuman bagi mereka yang ada di dalam Kristus Yesus.".

[5] Bdk. II Korintus 6:15. "Persamaan apakah yang terdapat antara Kristus dan Belial?"

[6] Rosmini, Epist., Vol. IV, p.214.

[7]Bdk. Efesus, 5:16.
 

Minggu, 18 Desember 2011

Panggilan Kembali Kepada Tatacara Misa yang Benar

Saya copas dari dokumen www.ekaristi.org oleh Celestine di terjemahkan dengan baik :

MISA VATIKAN II 
Rm. Joseph D. Fessio, SJ 

Konstitusi Tentang Liturgi Suci, Sacrosanctum Concilium, adalah satu dari dua dokumen yang dikeluarkan pada hari yang sama, 4 Desember 1963. Dua dokumen pertama diterbitkan oleh Konsili Vatikan II. Dokumen yang lainnya, Inter Mirifica, berbicara perihal Komunikasi Sosial. Sacrosanctum Consilium adalah satu dari sekian banyak dokumen dari konsili, salah satu dari yang paling kurang dipahami dan, aku percaya, paling membawa kekacauan, bukan oleh karena tidak dijalankan, melainkan karena kurang dipedulikan atau disalah-artikan. 

Sekarang, seharusnya sudah tidak ada lagi argumen mengenai tujuan konsili perihal liturgi. Konsili sesungguhnya telah mengungkapkan tujuannya pada paragraf ke-14 dari Sacrosanctum Concilium: "Bunda Gereja sangat menginginkan, supaya semua orang beriman dibimbing kearah keikut-sertaan yang sepenuhnya, sadar dan aktif dalam perayaan-perayaan liturgi." Kata-kata kunci di sini adalah "penuh, sadar dan berpartisipasi aktif." Bahasa latin dari "partisipasi aktif" adalah actuosa participatio. 

Saya telah melakukan sebuah penelitian kecil akan penggunaan sebelumnya dari pernyataan tersebut oleh Paus dan dokumen Gereja lainnya. Penggunaan oleh Paus untuk pertama kalinya adalah pada tahun 1903, Paus St.Pius X, yang mempunyai moto "Omnia Instaurare in Christo" (Untuk memulihkan segalanya kepada Kristus). Ia mendefinisikan dirinya sebagai sebagai Paus Pembaharu. Ia terpilih pada Agustus 1903 dan dalam bulan November, ia menerbitkan dokumen pertamanya semasa kepausannya, sebuah motu proprio dengan nama Tra Le Solicitudini, yang artinya, "Di Antara Keprihatinan". Ini adalah sebuah dokumen perihal pembaharuan dalam musik sakral. Di dalamnya, Bapa Suci menyebutkan, "Dalam rangka agar umat lebih aktif berpartisipasi dalam liturgi suci, hendaknya mereka sekali lagi diminta untuk menyanyikan lagu Gregorian dalam sebuah kesatuan jemaat". 

Itulah arti dari istilah "partisipasi aktif" yang muncul pertama kalinya dalam dokumen kepausan. Tetapi hal tersebut telah digunakan sepuluh tahun lebih awal pada dokumen yang lainnya, diterbitkan oleh Pius X sebelum beliau menjadi Paus. Saat itu beliau menjabat sebagai Patriark Venesia, dan dokumen tersebut, sebagaimana tersingkap, ditulis oleh seorang Jesuit, dengan sebutan Angelo dei Sancti ("malaikat para kudus"). Terdengar seperti nama yang fiktif. 

Pada setiap kasus, penggunaan pertama dari actuosa participatio, partisipasi aktif, merujuk secara eksplisit dan khusus kepada restorasi dari nyanyian jemaat, lagu Gregorian. Pada tahun 1928, Paus Pius XI menegaskan pada surat Apostoliknya, Divini Cultus. Sembilan belas tahun sesudahnya, pada Magna Carta dalam reformasi liturgi, Mediator Dei, yang diterbitkan oleh Pius XII, istilah yang sama juga digunakan dengan arti yang serupa. Jadi, hingga Konsili Vatikan II, istilah "partisipasi aktif" merujuk secara khusus pada nyanyian Gregorian oleh umat. 

Tidak Ada Inovasi Kecuali Kepentingan Gereja yang Membutuhkannya 
Tetapi kembali pada Konsili. Pada paragraf yang sama dari Sacrosanctum Concilium, no.14, konsili melanjutkan: "Dalam pembaharuan dan pengembangan liturgi suci keikut-sertaan segenap Umat secara penuh dan aktif itu perlu beroleh perhatian yang terbesar." Jadi, konsili sendiri telah mendefinisikan tujuan dari pembaharuan liturgi: penuh, sadar dan partisipasi aktif. Bagaimana konsili mewujudkan tujuan ini agar tercapai? maka, hal ini bukanlah sesuatu untuk diduga atau bermain spekulasi: "Maka dari itu dalam seluruh kegiatan pastoral mereka para gembala jiwa harus mengusahakannya dengan rajin melalui pendidikan yang seperlunya. " Ide dari Konsili ini sudahlah jelas: liturgi diperbaharui dengan mengedepankan partisipasi aktif melalui edukasi yang lebih. Tidak satu pun dikatakan di sini mengenai perubahan atau reformasi dari ritus itu sendiri. Terakhir, ketika perubahan sedang didiskusikan, Konsili menyatakan pada paragraf 23: "janganlah kiranya diadakan hal-hal baru, kecuali bila sungguh-sungguh dan pasti dituntut oleh kepentingan Gereja." Jadi tidak ada perubahan kecuali ada sebuah kebutuhan yang nyata, terbukti dan dibuktikan. 

Paragraf 23 berlanjut: "Dan dalam hal ini hendaknya diusahakan dengan cermat, agar bentuk-bentuk baru itu bertumbuh secara kurang lebih organis dari bentuk-bentuk yang sudah ada " Tumbuh secara organis - seperti tumbuhan, bunga, pohon - bukanlah sesuatu yang disusun oleh seorang intelektual elit, dan bukanlah sesuatu yang disusun dan dipasangkan begitu, atau dibawa kembali (ke saat ini) dari sepuluh abad yang lalu, atau lima belas abad yang lalu, melainkan sebuah pertumbuhan yang alami/organis. Itulah yang telah dikatakan dalam Konsili. 

Paragraf 48 memulai bab-nya mengenai Misa. Dan judul dari bab ini sungguh menarik. Bukan disebut dengan "Ekaristi" atau "Misa"; melainkan disebut dengan "Misteri Ekaristi Suci". Bahkan pada judul bab tersebut, anda dapat merasakan apa yang terpenting, yaitu misteri, kesakralan, kekaguman, transendensi Allah. 

Paragraf 48 kembali kepada tema kesadaran yang lebih tinggi, pengetahuan yang lebih dalam daripada umat, sebagai tujuan supaya mereka dapat masuk lebih dalam kepada misteri yang sedang dirayakan: "Maka dari itu Gereja dengan susah payah berusaha, jangan sampai Umat beriman menghadiri misteri iman itu sebagai orang luar atau penonton yang bisu, melainkan supaya melalui upacara dan doa-doa memahami misteri itu dengan baik, dan ikut-serta penuh khidmat dan secara aktif." Lalu, dalam paragraf 49, dokumen tersebut menyatakan, "Maka dari itu, dengan memperhatikan perayaan Ekaristi yang dihadiri Umat, terutama pada hari Minggu dan hari-hari raya wajib, konsili suci menetapkan hal-hal berikut, supaya kurban Misa, pun juga bentuk upacara-upacaranya, mencapai hasil guna pastoral yang sepenuhnya." 

Paragraf 50 sampai 58 berisi sembilan perubahan spesifik yang dipikirkan Konsili perihal pembaharuan liturgi. Tetapi, sebelum kita mempelajarinya, kita harus mengingat bahwa ketika Konsili menyusun proposal-proposal ini, tidaklah dipikirkan hanya dalam semalam. Sekalipun ini adalah dokumen pertama yang diterbitkan dalam Konsili, dokumen ini tidaklah diterbitkan tanpa persiapan yang lama. Pergerakan liturgi modern dimulai pada pertengahan abad ke-19. Hal ini telah didorong oleh Pius X sendiri, lalu dalam permulaan abad ke-20 dan bertahun-tahun sesudahnya melalui studi, doa, dan kongres-kongres liturgi selama setengah abad pertama. Pada kenyataannya, setelah Mediator Dei pada tahun 1947, terdapat tujuh konferensi liturgi yang dihadiri oleh ahli-ahli liturgi, pastor, dan para pejabat Roma. Jika anda membaca isi pertemuan-pertemuan itu dan proposal-proposal yang dibuat, anda akan menyaksikan bahwa yang diuraikan oleh Konsili di sini adalah buah dari pertemuan-pertemuan tersebut. Hal ini merupakan intisari dari doa dan refleksi yang juga puncak dari pergerakan liturgi yang telah ada lebih dari seabad sebelum Konsili. 

Sembilan Proposal 
Apa saja sembilan proposal, atau sembilan mandat liturgi dari konsili? Paragraf 50 mengatakan bahwa ritus akan disederhanakan dan hal-hal tersebut yang telah terduplikasi (pengulangan) dengan berjalannya waktu atau tertambahkan dengan manfaat yang kecil, akan ditiadakan. Dan, setelah konsili, reformasi ini akan mengambil tempat melalui beberapa cara. Saya rasa hal ini terjadi lebih jauh dari yang dimaksudkan Konsili, tetapi ada beberapa penyederhanaan dalam Misa yang telah dimaksudkan Konsili secara jelas. 

Paragraf 51: "Agar santapan sabda Allah dihidangkan secara lebih melimpah kepada umat beriman, hendaklah khazanah harta Alkitab dibuka lebih lebar." Hal ini telah dicapai dengan jumlah bacaan yang lebih banyak dari Kitab Suci yang tersebar sepanjang siklus liturgi, baik pada hari Minggu dan siklus harian. Sekarang, khususnya jika anda menghadiri misa harian, anda akan mendapatkan lebih banyak makanan rohani, dan jika anda menghendaki - bertambah-banyaknya pilihan bacaan Kitab Suci. 

Paragraf 52 mengatakan: "Homili sebagai bagian liturgi sendiri sangat dianjurkan." Konsili telah lebih mengusahakan untuk memberikan homili yang bagus dan saya pikir, usaha tersebut sudah dijalankan. Walau homilinya lebih membaik atau tidak, anda dapat menilainya sendiri. Paragraf 53 berkata bahwa Doa Umum atau Doa Umat harus dilestarikan dan hal tersebut sudah dilakukan juga. 

Paragraf 54 adalah paragraf kunci: "Misa suci yang dirayakan bersama Umat bahasa pribumi dapat diberi tempat yang sewajarnya." Apa yang Konsili pikirkan? mari kita lanjutkan: "terutama dalam bacaan-bacaan dan doa Umat, dan – sesuai dengan situasi setempat – juga dalam bagian-bagian yang menyangkut Umat. " Dan dilanjutkan, "Tetapi hendaknya diusahakan, supaya kaum beriman dapat bersama-sama mengucapkan atau menyanyikan dalam bahasa latin juga bagian-bagian Misa yang tetap yang menyangkut mereka." - (hal ini, bagian yang tidak berubah, bagian yang ada di sana setiap harinya) - "yang menyangkut mereka". 

Jadi, Konsili tidak menghilangkan bahasa Latin di dalam liturgi. Konsili mengijinkan bahasa vernakular/pribumi dalam hal-hal yang terbatas, tetapi dapat dengan jelas dipahami bahwa bagian-bagian yang tetap dari Misa harus tetap dalam bahasa Latin. Lagi, saya hanya memberi tahu akan apa yang Konsili katakan. 

Paragraf 55 mendiskusikan mengenai penerimaan Komuni, jika memungkinkan, dari hosti-hosti yang dikonsekrasi pada misa yang anda hadiri. Yang telah sering dilakukan atau diusahakan pada beberapa paroki sekarang, tetapi sulit untuk dilakukan dengan cara yang tepat. Sangatlah sulit untuk menghitung hosti yang akan anda butuhkan. Juga, anda harus menyimpan beberapa hosti dalam tabernakel untuk yang sakit dan untuk adorasi. Konsili juga mengijinkan penerimaan Komuni dalam dua rupa namun dalam keadaan-keadaan yang tertentu. Sebagai contoh, "bagi para tahbisan baru dalam Misa pentahbisan mereka, bagi para prasetyawan dalam Misa pengikraran kaul-kaul relegius, bagi para baptisan baru dalam Misa sesudah pembaptisan." Konsili itu sendiri tidak menyebutkan untuk memberikan dalam dua rupa tersebut kepada umat sepanjang waktu, melainkan memberikan ijin yang terbatas untuk itu. 

Paragraf 56 mengatakan bahwa terdapat dua bagian dalam liturgi, Sabda dan Ekaristi, dan pastor harus berusaha mengajarkan kepada umat untuk ambil bagian dalam keseluruhan Misa, khususnya pada hari Minggu, Liturgi Sabda sebagai bagian yang penting dan signifikan dalam Misa, jadi anda jangan berpikir telah hadir dalam Misa hanya dengan datang setelah Persembahan dan terus di sana untuk Konsekrasi dan Komuni. 

Paragraf 57 menyatakan bahwa konselebrasi harus diijinkan; paragraf 58, bahwa upacara baru untuk konselebrasi akan disusun. 

Itu adalah jumlah total dari sembilan mandat Konsili untuk perubahan dalam ritual itu sendiri, sekalipun ada beberapa paragraf-paragraf lain yang berkaitan untuk disebutkan di sini. 

Dalam paragraf 112, yang mana Konsili berbicara secara spesifik perihal musik, kita membaca: "Tradisi musik Gereja semesta merupakan kekayaan yang tak terperikan nilainya, lebih gemilang dari ungkapan-ungkapan seni lainnya." Ini adalah sebuah pernyataan yang luar biasa dan mengejutkan; Konsili secara jelas menyebutkan bahwa musik Gereja adalah sebuah harta seni yang lebih tinggi nilainya dari berbagai harta seni yang ia miliki. Pikirkan akan hal tersebut. Ingatlah akan Katedral Chartres. Pikirkan akan "The Pieta". Pikirkan mengenai "Da Vinci's Last Supper" ("Perjamuan Terakhir" karya Da Vinci). Pikirkan akan seluruh salib-salib dari Catalonia di Spanyol. Konsili telah menekankan bahwa seluruh tradisi musik Gereja adalah sebuah harta yang memiliki nilai yang tertinggi dari seluruh seni yang lain. 

Tetapi Konsili akan diabaikan jika dalam membuat pernyataan yang mengejutkan ini tanpa disertai alasan akan hal tersebut: "Alasan utama akan pernyataan ini adalah, sebagaimana musik sakral tersatu dengan Kitab Suci, maka ia dengan sendirinya membentuk suatu bagian integral tak terpisahkan dari liturgi meriah." Apa yang dimaksudkan yaitu: adalah baik dan terpuji untuk memiliki sebuah gereja yang indah, jendela-jendela indah, patung-patung, Salib yang megah, arsitektur rohani yang dapat mengangkat hatimu kepada Allah. Tetapi semua itu terdapat di luar Misa. Semua itu adalah sebuah "lingkungan peribadatan"/"worship environment", sebagaimana yang dikatakan sekarang. Semua itu bukanlah misa itu sendiri. Konsili menyebutkan bahwa ketika Misa tersebut dimasukkan musik, inilah yang membuat musik ini berharga, yang mana, dengan sendirinya memperkuat makna Misa; dan itulah yang membuat tradisi musik menjadi tradisi paling berharga dalam Gereja. 

Perhatikan, bagaimanapun bahwa maksud Konsili yang dalam beberapa dokumen-dokumen Gereja dikatakan secara eksplisit, bentuk paling sempurna dari musik dalam Misa bukan pada Paduan Suara, yang disebut sebagai "Paduan Suara Bersatu" ("gathering hymn") dan dengan antithesisnya, aku rasa kamu akan menyebutnya sebagai "Paduan Suara Pengacau" ("Scattering Hymn") pada akhirnya. Penggunaan musik paling tepat pada Misa, seperti yang terlihat dalam tradisi Gereja dan ditegaskan kembali oleh Konsili, adalah menyanyikan Misa itu sendiri: Kyrie (NB: Tuhan Kasihanilah Kami), Agnus Dei (NB: Anak Domba Allah), Sanctus (NB: Kudus), Aklamasi-aklamasi, Alleluya, dan sebagainya. Lagi, ini bukanlah teori Rm.Fessio pribadi; ini adalah apa yang Konsili secara nyata katakan. Paragrapf 112 menambahkan, "Maka musik liturgi semakin suci, bila semakin erat hubungannya dengan upacara ibadat " Ini memperkuat poinku. 

Paragraf 114 menambahkan: "Khazanah musik liturgi hendaknya dilestarikan dan dikembangkan secermat mungkin." Lalu dalam paragraf 116 kita akan menemukan hal yang lebih mengejutkan: "Gereja memandang nyayian Gregorian sebagai nyayian khas bagi liturgi Romawi. Maka dari itu – bila tiada pertimbangan-pertimbangan yang lebih penting – nyanyian Gregorian hendaknya diutamakan dalam upacara-upacara liturgi." Ini adalah yang Konsili secara nyata katakan. Jika kamu ada di sebuah paroki yang menyebutkan dirinya hidup dengan semangat Vatikan II, maka kamu seharusnya menyanyikan lagu Gregorian pada Parokimu. Dan jika kamu tidak menyanyikan Lagu Gregorian, kamu tidak mengikuti mandat khusus dari Konsili Vatikan II. 

Sekarang, dengan sedikit catatan kaki pada nyanyian Gregorian. Ketika merefleksikan hal-hal ini akan Musik Gereja, aku mulai berpikir akan Mazmur dalam beberapa tahun yang lalu. Dan sebuah ide yang begitu jelas tiba-tiba menghampiriku. Mengapa tidak datang lebih awal, aku tidak tahu, tetapi pada kenyataannya adalah bahwa Mazmur adalah nyanyian. Masing-masing dari 150 Mazmur adalah untuk dinyanyikan; dan dahulu dinyanyikan oleh umat Yahudi. Ketika ide ini datang padaku, aku seketika menelpon teman, seorang rabbi di San Fransisco yang menjalankan Sekolah Yahudi, dan aku bertanya, "Apakah kamu menyanyikan Mazmur di Sinagoga-mu?" "Well, tidak, kami membacakannya", katanya. "Apakah kamu tahu bagaimana Mazmur itu dinyanyikan seperti ketika masa Perjanjian Lama dan pada masa Yesus dan para rasul?" tanyaku. Ia menjawab, "Tidak, tetapi mengapa kamu tidak bertanya pada sebuah perusahaan di Upstate New York. Mereka menerbitkan musik Yahudi, dan mungkin mereka tahu." 

Maka, aku menghubungi perusahaan tersebut dan mereka mengatakan, "Kami tidak tahu; hubungi 1-800-JUDAISM begin_of_the_skype_highlighting              1-800-JUDAISM      end_of_the_skype_highlighting begin_of_the_skype_highlighting              1-800-JUDAISM      end_of_the_skype_highlighting begin_of_the_skype_highlighting              1-800-JUDAISM      end_of_the_skype_highlighting begin_of_the_skype_highlighting              1-800-JUDAISM      end_of_the_skype_highlighting begin_of_the_skype_highlighting 1-800-JUDAISM end_of_the_skype_highlighting." Dan aku lakukan. Lalu aku mendapat sebuah pusat informasi akan tradisi Yahudi, namun mereka pun tidak tahu. Mereka mengatakan, "Kamu hubungi guru musik ini di Manhattan" dan kami pun menjalani perbincangan panjang. Pada akhirnya, aku berkata, "Aku ingin membawa beberapa fokus akan hal ini, dapatkan kamu mendeskripsikan bagaimana ketika Yesus dan para Rasul menyanyikan Mazmur?" Ia menjawab, "Tentu saja Bapa. Itu seperti Lagu Gregorian. Kalian mendapatkannya dari kami." 

Aku terkejut saat itu. Aku menghubungi Proffessor William Mart, seorang Profesor Musik di Universitas Stanford dan seorang teman. Aku bertanya, "Bill, apakah ini benar?", Ia menjawab, "Ya, nada-nada pada Mazmur memiliki akar dari Yahudi kuno." Jadi, tahukah kamu? jika kamu menyanyikan Mazmur pada Misa dengan nada-nada Gregorian, kamu sudah mendekati sebagaimana kamu berdoa bersama Yesus dan Maria. Mereka menyanyikan Mazmur dalam nada yang telah sampai pada kita dalam Lagu Gregorian. 

Jadi, Konsili tidak memanggil kita untuk kembali pada praktek kuno abad pertengahan, saat yang "mengerikan", abad pertengahan yang "memuakan", suatu saat ketika mereka yang saat itu hanya mengerti sedikit sekali perihal liturgi, sehingga yang dapat mereka lakukan adalah membangun Katedral Chartres. (Ketika aku melihat katedral-katedral dan gereja-gereja dibangun yang memiliki peringkat ke sepuluh dari keindahan di Notre Dame de Paris, maka aku akan berkata bahwa para ahli liturgi memiliki hak untuk berbicara. Namun setelahnya, mereka tidak memiliki hak untuk berbicara akan keindahan dalam liturgi). Tetapi poin saya adalah, pada masa Notre Dame de Paris yang saat itu abad ke 13, penadaan Mazmur sudah ada lebih dari seribu tahun. Dan disebut 'Gregorian' oleh Paus Gregorius I yang memerintah dari tahun 590 sampai 604. Ia tidak menemukan lagu Gregorian; ia melakukan penyusunan ulang dan merumuskannya serta mendirikan sekolah musik untuk menyanyikannya dan mengajarkannya. Ini adalah sebuah reformasi; ini bukanlah suatu penemuan. Maka, Konsili benar-benar memanggil kita untuk kembali pada tradisi yang tidak terputus akan musik sakral sejati dan memberikan kepada musik tersebut suatu tempat yang layak dan pantas. 

Hal terakhir yang ingin aku kutip dari Konsili adalah paragraf 128, yang berbicara tentang seni sakral dan perabotan sakral: "Bersama dengan peninjauan kembali buku-buku liturgi menurut kaidah art. 25, hendaknya Hukum serta ketetapan-ketetapan Gereja mengenai benda-benda perlengkapan ibadat pun selekas mungkin ditinjau kembali. Adapun peraturan-peraturan itu terutama menyangkut pembangunan rumah-rumah ibadat yang pantas dan cocok, mengenai bentuk dan pembuatan altar, mengenai keanggunan, penempatan serta keamanan tabernakel untuk Ekaristi suci, mengenai letak panti Baptis yang baik dan kelayakannya, ..." dan sebagainya. 

Apa yang Tidak Disebutkan dalam Konsili 
Hal itu secara esensial adalah mengenai apa yang sesungguhnya Konsili Vatikan II katakan perihal pembaharuan liturgi. Marilah aku beritahu akan apa saja yang tidak disebutkan. Konsili tidak menyebutkan kalau tabernakel boleh dipindahkan dari lokasi di tengah ke lokasi lain. Pada kenyataannya, secara spesifik kita harus memerhatikan mengenai manfaat dan kehormatan ketika menempatkan tabernakel. Konsili tidak menyebutkan bahwa Misa harus dirayakan dengan imam menghadap umat (NB: versus populum). Ini tidak ada dalam dokumen Vatikan II; hal ini tidak disebutkan. Sama sekali tidak muncul dokumen-dokumen yang mencatat formasi dari Konstitusi pada Liturgi; tidak muncul sama sekali. Misa yang menghadap umat bukanlah suatu kebutuhan dari Vatikan II; ini bukanlah semangat Vatikan II; sama sekali tidak tercantum dalam dokumen Vatikan II. Hal ini adalah sesuatu yang diperkenalkan di tahun 1969. 

Dan, bagaimanapun, tidak pernah dalam sejarah Gereja, baik dalam Gereja Timur atau Barat, akan adanya tradisi merayakan Misa dengan imam menghadap umat. Tidak pernah sama sekali hingga tahun 1969. Hal ini terjadi sesekali di Jerman, di antara masa perang; sesekali dilakukan pada sebuah puri dimana Romano Guardini dan sekelompok mahasiswanya bertemu; Ini dilakukan di Austria dekat Wina oleh Pius Parsch di sebuah gereja khusus, yang mana ia menyebutnya sebagai "Misa Liturgis". Itu adalah sebuah ekspresi yang aneh, sebuah "Misa Liturgis". Misa adalah Liturgi itu sendiri. 

Namun dalam kesempatan-kesempatan tertentu, saya mengatakan dengan tanpa rasa takut akan kontradiksi dengan siapa pun yang mengetahui, mengenai sebuah Misa yang menghadap umat, bahwa fakta-fakta tersebut pada nyatanya bukanlah suatu tradisi dalam sejarah Gereja. Sekarang, apakah hal ini bisa disebut sebagai dosa? Tidak. Apakah ini salah? Tidak. Apakah ini diijinkan? Ya. Apakah hal ini dibutuhkan? Tidak sama sekali. Pada kenyataannya dalam Misa Romawi Latin, yang mana ada edisi terjemahan Misa yang diterjemahkan berdasar Missale Romanum (tidak selalu diterjemahkan tepat, namun setidaknya berdasar padanya) rubrik-rubrik di dalamnya meminta agar Misa menghadap ke Timur (ad orientem), Misa menghadap Allah (versus Deum). 

Kini, untuk 25 tahun pertama dari imamatku, aku merayakan Misa seperti yang kamu lihat ketika kamu pergi ke Paroki pada umumnya: dalam bahasa Inggris, 'facing the people'. Hal ini terjalankan dengan baik; aku pun melihatnya berjalan dengan baik; aku mencoba untuk menjalankannya dengan baik. Namun pada tiga tahun terakhir, setelah mempelajari dan melakukan refleksi, aku berubah pikiran. Aku berpikir bahwa Misa menghadap umat adalah sebuah kesalahan. 

Namun, sekalipun bukan kesalahan, setidaknya inilah yang dapat kita katakan: Tidak perlu sebuah ijin untuk Misa yang menghadap Allah, menghadap Tabernakel, menghadap ke Timur, menghadap umat. Dan tentunya haruslah diberikan hak yang sama, begitu juga menurutku terhadap Misa menghadap umat. Sudah sekitar 1800 tahun sekurang-kurangnya Misa menghadap Allah dijalankan, dan haruslah diijinkan untuk dilanjutkan. Aku pun berpikir Misa dengan sikap ini secara simbolis lebih bermakna. 

Memang betul bahwa ketika Imam menghadap ke umat untuk perayaan Kurban Ekaristi, di sana terdapat suatu rasa persatuan sebagai komunitas. Tetapi di dalamnya juga terkandung suatu bahaya seorang Imam menjadi pemain, dan kamu sebagai penonton - secara jelas ini adalah apa yang Konsili tidak inginkan: Imam tontonan dan umat penonton. Namun ada hal yang lebih problematis. Kamu dapat melihatnya, mungkin dengan membandingkan Misa menghadap umat dengan Misa yang menghadap ke Timur atau menghadap Allah. Aku tidak akan lagi mengatakan Misa dengan "membelakangi umat" sebagaimana Patton memimpin pergi menuju Jerman dengan "punggungnya terhadap prajurit-prajuritnya". Patton memimpin Third Army menuju Jerman dan mereka mengikutinya untuk menggapai tujuannya. Misa adalah bagian dari Gereja yang Mengembara pada jalannya menuju tujuan akhir kita, tanah surgawi. Dunia ini bukanlah tanah surgawi kita. Kita tidak duduk dalam sebuah lingkaran dan memandang satu sama lain. Kita ingin untuk melihat satu sama lain bersama Imam menghadap Matahari terbit, cahaya kemuliaan, dimana Sang Putra akan kembali lagi dengan mulia dari langit. 

Dan juga, pada Misa yang dirayakan secara tradisional, Imam juga menghadap umat ketika ia berbicara atas nama Allah untuk menyampaikan Sabda dan menjelaskannya. Dan juga ia menghadap umat ketika ia menerima persembahan mereka. Lalu ia kembali menghadap Allah bersama umat untuk mempersembahkan persembahan tersebut kepada Bapa, berdoa agar Roh Kudus akan turun dan mengubah persembahan tersebut menjadi Tubuh dan Darah Kristus. Dan ketika bagian paling sakral berlangsung, Imam kembali untuk memberikan persembahan tersebut kembali kepada umat. Aku rasa hal ini lebih dramatis. Entah aku benar atau salah, semua yang aku ungkapkan adalah sebuah hak untuk eksis. Jika hal ini justru menjauhkan dari perdamaian dan ketenangan, setidaknya hal ini bisa ada dan eksis. 

Sebagaimana aneh hal ini muncul, sama sekali tidak dibutuhkan ijin untuk melakukan Misa menghadap ke Timur. Bapa Suci melakukannya setiap pagi di dalam kapelnya. Tetapi terdapat suatu tabu akan hal ini, yang mana kebanyakan pastor takut melakukan ini karena mereka bisa dimutasi oleh sebagian kecil paroki. 

Konsili juga tidak berkata apapun perihal memindahkan Tabernakel. Tidak berkata apa pun juga perihal penyingkiran pagar altar. Tidak menyebutkan apapun untuk menyingkirkan dudukan berlutut. Tidak berkata apapun untuk menggeser altar. Tidak berkata apapun mengenai kanon-kanon yang beraneka ragam. Semua itu adalah temuan baru, murni temuan baru. 

Tidak pernah dalam Gereja untuk memilih Doa Syukur Agung (DSA) pada sebuah perayaan atau yang sudah ada dari Gereja. Di Timur, ada dua Doa Syukur Agung yang utama. Secara umum, berbeda menurut daerahnya, atau digunakan pada perayaan-peringatan yang berbeda. Namun dalam Ritus Romawi, Ritus Latin, hanya ada satu Doa Syukur Agung. Ada perbedaan sedikit di Milan, ada perbedaan sedikit di Spanyol yaitu ritus Mozarabik; dan juga berbeda pada beberapa tempat - ordo Dominikan dan beberapa di antaranya setelah Abad Pertengahan. Namun hanya ada satu kanon, DSA, Kanon Romawi. Aku mulai berpikir bahwa memang inilah yang terbaik. Aku berkata demikian bukan hanya sekedar setuju dalam persatuan dengan para Bapa Gereja, Doktor, para Kudus dan para mistikus Gereja selama ratusan tahun (lebih dari seribu tahun) - tetapi karena aku berpendapat hal ini lebih kaya makna. 

Satu masalah, keduanya terjadi pada saat Konsili dan sesudahnya, yaitu rasionalisme, yang mana Bapa Suci telah berbicara akan ini. Rasionalisme adalah sebuah pemikiran bahwa kita dapat melakukan apapun dari apa yang kita pikirkan. Para ahli liturgi setelah Konsili mencoba untuk menyusun liturgi yang lebih sempurna. Tetapi tahukah kamu? ketika kamu tumbuh di sebuah rumah dan sebuah ruangan ditambahkan, sebuah loteng ditambahkan, sebuah garasi disertakan, mungkin secara arsitektur tidaklah sempurna, tapi itu adalah rumahmu. Untuk merubuhkannya dan mencoba untuk menyusunnya dengan yang baru dengan baja dan kaca dan ubin karena itulah pemikiran modern, ini bukanlah cara kamu menjalani kehidupan manusia. Namun itulah yang terjadi terhadap liturgi. 

Coba perhatikan kanon-kanon yang lain. Pertama kalinya, saat aku merayakan Misa dengan Kanon Romawi, aku seringkali didatangi umat dan bertanya, "Kanon apa itu tadi Bapa?" Aku jawab, "Ya, itu tadi adalah Kanon Romawi (NB: DSA I), kanon yang telah digunakan selama 1600 tahun." "Oh, aku belum pernah mendengarnya." Secara umum, kamu bisa mendapatkan Kanon kedua (NB: DSA II). Mengapa? karena adalah yang tersingkat. Jadi, kamu dapat meluangkan waktu yang ada dengan bernyanyi, komentator menjelaskan bermacam hal, serta homili yang panjang, dengan prosesi besar-besaran dan para penyambut masuk, dan lain sebagainya. Namun untuk bagian pengurbanan Misa, sikapnya dapat diringkas seperti ini; "Mari kita selesaikan secepatnya bagian ini dengan Kanon Kedua". 

Sekarang, dari mana Kanon Kedua berasal? Kanon ini berasal dari apa yang disebut dengan Kanon Hyppolytus, disusun oleh seorang teolog yang menjadi heretik/pengajar sesat, akhirnya rekonsiliasi dengan Gereja dan mati sebagai martir. Sekitar tahun 215, ia menulis sebuah garis besar akan bagaimana Misa dirayakan di Roma. Mungkin tidak pernah digunakan sebagai teks liturgi karena pada masa Gereja awal masih belum ada kata final dalam formalisasi tertulis sebuah liturgi, jadi tulisannya menjadi sebuah garis besar yang digunakan oleh para selebran. 

Maka, Kanon Hyppolytus mungkin belum pernah digunakan sebagai kanon. Jika pernah, kanon tersebut tidak digunakan lagi sekitar 1600 tahun yang lalu. Dan kembali ke Konsili, yang mengatakan perubahan hendaknya melalui pertumbuhan organis dan di sana tidak terdapat perubahan kecuali dirasa perlu, kita sampai pada para liturgis yang berkata; "Oh, mari kita ambil ini dari abad ketiga dan masukan kembali ke abad duapuluh." Ini bukanlah pertumbuhan organik; ini adalah arkeologisme, secara spesifik dikritik oleh Pius XII dalam Mediator Dei. 

Kanon Ketiga (DSA III) seluruhnya adalah baru. Tidak pernah ada kanon seperti Kanon Ketiga dalam sejarah Gereja, kecuali dalam sedikit bagian. Rm.Vagaggini, dengan bantuan Rm.Bouyer, aku percaya, mereka menyusunnya dengan segala pengetahuan mereka akan sejarah liturgi yang luar biasa. Namun mereka secara total menyusun kanon tersebut. Ini seperti mengambil sepotong wortel, sepotong tomat, sepotong plum, dan serpihan batang pohon, lalu meletakkannya bersama dan berkata, "Oke, kau lihat itu? ini alami". Tetapi hal ini tidaklah alami melainkan dibuat dan disusun. 

Kanon keempat (DSA IV) didasarkan pada Kanon Timur Mesir, masih digunakan di Gereja Timur; dan maka, masih ada pembenaran untuknya. Tetapi kanon ini jarang digunakan sekarang karena kamu tidak dapat mengunakannya dengan Prefasi yang lain; sedikit banyak tersingkirkan penggunaannya sekarang. 

Poin yang dimaksudkan adalah, Konsili tidak meminta untuk memperbanyak kanon, dan aku rasa masih ada alasan-alasan lain untuk tetap menggunakan Kanon Romawi. Tidak pula Konsili, seperti yang aku utarakan, meminta untuk menghilangkan bahasa Latin. Secara khusus konsili memberi mandat untuk melestarikan bahasa Latin dan hanya mengijinkan penggunaan bahasa vernakular (NB: bahasa lokal/pribumi/modern) dalam keadaan-keadaan khusus. Dan, akhirnya, Konsili tidak melarang penggunaan Lagu Gregorian, seperti yang akan kamu pikirkan akan hilangnya hal tersebut di parokimu. Konsili secara nyata menyebutkan untuk memberikan Lagu Gregorian pada tempat yang terhormat. 

Paus Yohannes Paulus II Mengarahkan Para Uskup 
Jadi, itulah apa yang Konsili secara nyata katakan. Aku telah mengungkapkan semua ini selama beberapa tahun. Karena aku telah menceritakan hal ini dan juga beberapa hal lainnya, Uskup Agung Weakland menjulukiku "Papal maximalist" (NB: "pengikut keras Paus"), tetapi satu tahun dan beberapa bulan yang lalu aku bersamanya menghadiri sebuah pertemuan di Chicago mengenai liturgi. Ini adalah suatu pertemuan yang pas sekali, mereka saat itu mendiskusikan sebuah dokumen, Paus mengarahkan para Uskup di Northwest pada tahun 1998. Ingat, di tahun 1998 seluruh uskup di Amerika Serikat pergi ke Roma untuk kunjungan Ad Limina. Untuk selama setahun penuh, sebagaimana setiap kelompok uskup yang datang, Bapa Suci berbicara kepada mereka perihal bagaimana menginterpretasi Konsili Vatikan II menurut arah yang akan mengantarkan kita menuju Milenium Ketiga. 

Ini terjadi ketika para Uskup dari Northwest datang dari Alaska, Washington, Oregon, Montana dan Idaho - Bapa Suci berbicara perihal liturgi. Uskup Agung Weakland dan yang lainnya kurang begitu menyukai dengan apa yang Paus katakan. Dan aku mengambil kesempatan pada siang hari itu untuk berkata kepada Uskup Agung Weakland, "Tahukah anda, bapa Uskup Agung, anda secara publik menyebutku "papal maximalist". Anda mempublikasi artikel di sebuah majalah Amerika yang mana anda menggunakan judul itu untukku. Tetapi anda lihat, aku tak dapat berbuat apa-apa dan Paus tetap setuju denganku." 

Inilah yang Paus katakan kepada para Uskup di Northwestern Amerika serikat: "Perayaan dua ribu tahun kelahiran sang Penyelamat adalah sebuah panggilan kepada seluruh pengikut Kristus untuk mencari suatu pencarian Allah sejati dan jalan menuju kekudusan. Dengan Liturgi adalah bagian utama dari kehidupan Kristiani, aku berharap hari ini untuk memahami beberapa aspek dari pembaharuan liturgi yang secara nyata didorong oleh Konsili Vatikan II, sebagai agen primer untuk pembaharuan yang lebih luas kehidupan Katolik. Dan di dalamnya, diinginkan untuk memperbaharui liturgi." Paus berkata di sini, dengan kita melihat tahun 2000, kita harus kembali dan melihat apa yang Konsili inginkan untuk pembaharuan liturgi, karena ini adalah agen primer untuk pembaharuan kehidupan Katolik. 

Ia melanjutkan: "Untuk melihat kembali akan apa saja yang telah dicapai di bidang pembaharuan liturgi semenjak Konsili, adalah dimulai dengan melihat beberapa alasan untuk berterima kasih dan memuji sepenuh hati kepada Tritunggal Maha Kudus untuk perhatian yang luar biasa yang telah berkembang di antara umat beriman akan peran mereka dan penuh tanggung jawab dalam segala karya pastoral dari Kristus dan GerejaNya. Juga untuk menyadari bahwa tidak semua perubahan selalu dan dimanapun diikuti dengan penjelasan yang tepat dan katekese. Sebagai hasilnya, dalam beberapa kasus terdapat kesalahpahaman akan sifat alami liturgi, mengarah pada pelecehan, polarisasi, terkadang juga skandal berat." 

Paus secara umum berbicara secara diplomatis, terutama kepada para Uskup. Ini adalah kata-kata yang cukup keras, dan ini adalah sebuah pengantar, jadi secara jelas ia akan memberikan beberapa panduan untuk menghindari polarisasi, skandal berat dan pelecehan-pelecehan ini. Ia berkata, "Setelah berpengalaman lebih dari tiga puluh tahun pembaharuan liturgi, kita telah diperlihatkan baik kekuatan maupun kelemahan akan apa yang telah dijalankan..." (perhatikan dengan seksama sekarang) "...dalam rangka untuk lebih secara berani merancang jalan kita menuju masa depan, yang mana Tuhan telah rencanakan untuk umat-umatNya yang dikasihiNya." Paus di sini, berbicara kepada uskup-uskup kita, melihat ke depan menuju millenium baru dan berkata, dalam manifestasinya. Di sini adalah apa yang aku pikir sebagai rancangan Tuhan untuk semua manusia sebagaimana kita masuk ke milenium selanjutnya. Dan secara khusus, di sinilah rancangan liturgi yang, aku, Bapa Suci, percaya kita akan ikuti. 

"Tantangannya sekarang" ia melanjutkan, "adalah untuk bergerak melintasi segala kesalahpahaman yang telah ada dan untuk mencapai poin yang tepat dan seimbang, terutama dengan memasuki lebih dalam menuju dimensi ibadat yang kontemplatif, yang meliputi rasa takjub, hormat dan adorasi yang secara fundamental adalah sikap akan hubungan kita dengan Allah." 

Apa yang Paus katakan mengenai apa yang harus kita lakukan untuk menjaga keseimbangan? Masuk ke dalam dimensi ibadat yang kontemplatif. Dapatkah kamu berkontemplasi ketika kamu mendengarkan band dalam rumah Tuhan? di manakah kita dapat menemukan rasa takjub? Tentu bukan dengan hal-hal percakapan seperti ini di dalam Misa; "Selamat pagi semua !" apakah hal seperti itu membangkitkan rasa takjub? "Selamat berhari baik." Paus menyebutkan perihal hormat dan adorasi. Berdiri adalah sikap rasa hormat; tetapi berlutut adalah sikap adorasi. Paus berkata bahwa kita harus mengembalikan rasa adorasi (sense of adoration). 

Paus berkata kepada para ahli liturgi dan para Uskup, "Ekaristi membawa dan membangun komunitas manusia, tetapi juga merupakan bentuk penyembahan kepada Tuhan yang Maha Mulia". Ini dari Sacrosanctum Consilium paragraf 33. Ia melanjutkannya: "Secara subyektif bahwa ini bergantung secara radikal dengan apa yang jemaat bawakan kepadanya, tetapi adalah obyektif bahwa di dalam Ekaristi Ia datang kepada mereka sebagaimana Imam selaku wakil Kristus yang mana Ia menyertai kita, tetapi Ia tidaklah bergantung kepada kita." 

Inilah mengapa begitu penting hukum liturgi untuk dihormati: sebuah langkah obyektif haruslah diambil. "Imam, yang merupakan pelayan liturgi dan bukan penemu atau pencipta, memiliki tanggungjawab dalam berjalannya liturgi, begitu pula ia tidak mengosongkan liturgi dari arti sejatinya atau mengaburkannya dari sifatnya yang suci" kata Bapa Suci. 

Lalu ia berbicara mengenai "Inti misteri ibadat Kristiani". Apakah inti dari misteri ibadat Kristiani itu adalah sebuah rasa kalau kita adalah umat pilihan Tuhan? bukankah inti tersebut adalah suatu rasa kalau kita disatukan bersama? ikatan spiritual? Namun tidaklah demikian menurut Paus yang berkata, "Inti dari misteri ibadat Kristiani adalah Kurban Kristus kepada Bapa dan segala karya Kebangkitan Kristus yang menguduskan umatNya melalui tanda-tanda liturgi". Pengurbanan Kristus, pengudusan. Ini adalah yang Paus sampaikan. Ingat, kini ia memimpin Gereja dalam milenium baru secara liturgis. Ia melanjutkan: "Adalah penting suatu pencarian menuju kedalaman kontemplatif dari ibadat, misteri yang tak berkesudahan akan imamat Yesus Kristus untuk sepenuhnya dihayati dan dihormati." 

Terdapat pergeseran dalam mengartikan selebran sebagai "pemimpin", dari "selebran" atau sebagai "imam". Kini telah menjadi benar, ia adalah seorang pemimpin. Tetapi ini adalah sebuah kiasan; dan aku rasa terdapat sebuah agenda dibalik kiasan tersebut. Kamu lihat, seluruh sakramen membutuhkan seseorang yang memimpin: saat Krisma, saat Ekaristi, saat Pengakuan - dan saat pembaptisan. Siapa yang dapat memimpin saat pembaptisan? imam adalah pelayan tertahbis sekaligus pemimpin, tetapi dalam beberapa keadaan tak lazim, seorang awam -lelaki atau perempuan- dan termasuk seorang non-katolik dapat memimpin saat pembaptisan. Dan juga, aku percaya beberapa orang ingin agar kita jatuh dalam pola pikir imam sebagai pemimpin secara khusus karena ini adalah istilah yang abstrak, yang mana juga termasuk wanita. 

Apa yang Paus katakan akan permasalahan ini? "Imam, sebagaimana bukan hanya pemimpin, tetapi juga yang bertindak sebagai wakil kristus." Kamu lihat, hanya imam yang dapat bertindak sebagai in persona Christi capitis, sebagaimana Pengantin Pria (Yesus) menikahi Pengantin Wanita (Gereja), yang mana itu adalah Misa. 

Penuh, Sadar dan Partisipasi Aktif 
Bapa Suci berikutnya mendiskusikan tiga atribut liturgi; Penuh, Sadar dan Partisipasi Aktif. Ingatkah bahwa aku memulainya dengan membaca paragraf 14 dari Sacrosanctum Consilium, yang mana menyatakan bahwa tujuan dari Konsili dalam membaharui liturgi adalah untuk mencapai penuh, sadar dan partisipasi aktif? Nah, kata-kata tersebut dapat mempunyai arti yang berbeda. Sangat menyenangkan untuk mencari tahu apa yang Paus pikirkan akan arti semua ini, sebagaimana beliau menyampaikannya kepada kita akan apa yang ia percaya bahwa Allah memanggil Gereja dalam liturgi di milenium baru. 

Pertama, beliau berbicara mengenai partisipasi penuh. "Masuknya seluruh umat terbaptis dalam satu imamat Yesus Kristus adalah kunci untuk memahami panggilan Gereja unuk penuh, sadar dan partisipasi aktif. Partisipasi penuh berarti bahwa setiap anggota dari komunitas memiliki bagian untuk berperan dalam liturgi. Berkaitan dengan ini, pencapaian luar biasa telah dicapai dalam paroki-parokimu dan komunitas-komunitas di wilayahmu. Tetapi, partisipasi penuh bukanlah berarti bahwa setiap orang dapat melakukan segala hal. Karena ini akan mengarah pada klerikalisasi awam dan pengawaman imam, dan ini bukanlah apa yang dikehendaki Konsili." 

Apa yang beliau maksudkan dengan "klerikalisasi awam"? maksudnya adalah, sebagai contoh, lektor, misdinar/putra altar, atau pembawa salib, berpartisipasi lebih aktif daripada Bunda dan Putranya di balik gereja. Sebuah ide yang mana seolah-olah lebih menyerupai imam di panti imam sehingga tampak berpartisipasi lebih penuh. Tetapi Paus berkata untuk tidak kepada pemikiran itu. Tadi adalah mengenai, "klerikalisasi awam" dan sekarang "pengawaman imam", yang mana imam tidak melakukan peran imam melainkan duduk, sementara awam membagikan Ekaristi, adalah bukan yang Konsili kehendaki, kata Paus. 

"Liturgi, sebagaimana Gereja, dianjurkan untuk hirarkis dan bergema" katanya. Bukan konsentris dan persamaan (concentric and egalitarian), melainkan hirarkis dan bergema: "Menghormati peran yang berbeda-beda yang diberikan Kristus dan mengijinkan berbagai suara yang berbeda menyatu dalam satu gema yaitu suara sebuah doa." Aku tidak berkata bahwa tidak boleh ada lektor dan akolit dan sebagainya. Mereka memang seharusnya ada. Tetapi yang aku maksudkan di sini adalah, bukan seberapa dekat kamu kepada altar yang menentukan seberapa aktifnya kamu turut mengambil bagian dalam Misa. Jika seperti itu halnya, maka yang terjadi adalah mereka yang tidak bertugas menjadi hadirin kelas dua. Ini bukanlah apa yang Konsili maksudkan, kata Paus, mengenai partisipasi penuh. 

Lalu Paus sampai pada partisipasi aktif. "Partisipasi aktif yang dimaksudkan adalah dalam sikap tubuh, menjawab, menyanyi dan melayani seluruh bagian dari komunitas ketika ambil bagian secara aktif dalam ibadat, yang mana berarti menahan diri atau pasif. Maka, partisipasi aktif tidaklah menyingkirkan bagian-bagian keaktifan yang pasif seperti hening, diam dan mendengarkan: tentu saja, tata liturgi memang mengharuskannya. Jemaat tidaklah pasif, sebagai contoh, saat mendengarkan bacaan atau homili atau menyimak doa dari selebran dan menyanyikan musik dalam Liturgi. Semua ini adalah nuansa hening dan diam. Namun mereka berjalan sendiri-sendiri menurut keinginan mereka, aktif yang berlebihan. Dalam menghadapi sebuah budaya yang bersifat sulit untuk bisa secara meditatif tenang, seni untuk hening mendengarkan yang hanya dipahami dengan banyak kesulitan, maka sekalipun sifat liturgi harus secara tepat terinkulturasi, namun dalam hal ini harus juga melawan budaya. 

Terutama dalam dunia kita yang hingar-bingar, kita butuh akan keheningan. Terutama dalam dunia kita yang mana sulit untuk berdoa, kita butuh akan sebuah adorasi yang kontemplatif. Dalam sebuah dunia yang tidak menghargai perputaran dan masa-masa liturgis, kita merayakan Hari Kenaikan Tuhan pada hari Kamis, bukan pada hari Minggu. Secara gamblang karena kita harus melawan budaya, kita harus berkata bahwa ada yang lebih utama dari hari kerja. Sebab hari tersebut adalah hari raya. 
Akhirnya, Bapa Suci berdiskusi tentang partisipasi yang sadar. Beliau berkata, "Partisipasi yang sadar mengundang seluruh komunitas untuk secara tepat berjalan dalam misteri liturgi" - Instruksi utama dari Konsili - "Janganlah nuansa ibadat menurun menjadi suatu bentuk ritualisme. Melainkan tetap berusaha agar liturgi itu sendiri dapat membuat yang implisit menjadi eksplisit, karena ini semua seringkali mengarah pada pengucapan yang sia-sia dan informalitas yang mana adalah sesuatu yang asing dalam ritus Romawi dan berakhir dengan mengecilnya aksi peribadatan." 

Partisipasi yang sadar, bukanlah suatu pengulangan akan apa yang komentator katakan kepada kita mengenai apa yang terjadi selama Misa berjalan; bukanlah suatu informalitas awam dan pengecilan liturgi. Itulah mengapa aku berpikir hal tersebut dapat tampak seperti hal yang kecil, dan sangatlah buruk untuk memulai liturgi dengan berkata, "Selamat pagi semua." Ini bukanlah suatu cara memulai liturgi suci. Kamu memulai liturgi suci dengan, "Dalam nama Bapa, dan Putra, dan Roh Kudus," atau akan lebih baik, "In nomine patris, et Filii, et Spiritus Sancti." 

Bapa Suci melanjutkan: "Begitupula partisipasi secara sadar berarti menekan segala pengalaman pra-sadar (subconsious), yang vital dalam sebuah liturgi yang kaya akan simbol-simbol yang mana berbicara kepada pra-sadar, sebagaimana hal itu berbicara kepada alam sadar. Penggunaan bahasa pribumi membuka seluruh harta liturgi kepada semua yang ambil bagian." Maka dari itu, ini adalah nilai positif untuk bahasa pribumi. "Tetapi", Bapa Suci melanjutkan, "ini tidak berarti bahwa bahasa Latin dan terutama lagu Gregorian yang dengan secara luar biasa teradaptasi ke dalam ritus Romawi harus secara menyeluruh ditinggalkan." 

Lalu apa yang Paus katakan mengenai partisipasi penuh, sadar dan aktif? Itu berarti harus hirarkis, harus hening dan ibadat yang indah dan megah, harus ada bagian berbahasa Latin secara khusus dalam nyanyian pada Liturgi. Maka, walaupun Paus tidak membicarakannya secara gamblang, ia berpendapat bahwa Misa saat ini dirayakan tidak secara penuh sesuai dengan mandat Konsili, sebagaimana diminta oleh Gereja untuk abad selanjutnya. 

Kini kita memiliki dua ekstrim dan posisi di tengah-tengah. Posisi ekstrim pertama yaitu ada pada Misa informal, semuanya dalam bahasa Inggris, menghadap ke umat, dengan musik kontemporer, yang mana tidak semua sesuai dengan apa yang dikehendaki Konsili. Namun ini adalah sah, dan diijinkan; Ini tidak salah. Dan kita memiliki ekstrim yang lain, yaitu mereka yang memilih untuk kembali, dengan ijin, kepada Misa tahun 1962, dan sebagaimana yang lain melihat dan memperhatikannya, Misa ini kini tumbuh dan berkembang. Tetapi ini juga bukan yang Konsili secara spesifik kehendaki, sekalipun Misa 1962 tersebut adalah Misa segala masa. 

Lalu kamu memiliki posisi tengah. Mereka yang ada di tengah. Saya dan beberapa lainnya. Saya akan tetap memperjuangkan hak saya sebagai seorang Katolik dan sebagai Imam untuk merayakan liturgi menurut Konsili, menurut apa yang sekarang ada dalam buku-buku liturgi, untuk merayakan bentuk Misa yang di mana tidak dibutuhkan ijin khusus dan dalam kenyataan tidak dapat dilarang, dengan apa yang aku sebut sebagai "Misa Vatikan II." 

Essay ini ditampilkan pada September/Oktober 2000, berita dalam Catholic Dossier dan berdasarkan kuliah tentang liturgi yang diberikan oleh Romo Fessio di bulan Mei 1999. 



Rm. Joseph D. Fessio, SJ adalah pendiri Ignatius Press. 

Ia masuk Novisiat Jesuit di tahun 1961 dan ditahbiskan imam pada 1972. Ia menyelesaikan tugas kuliahnya di bidang filsafat di Universitas Gonzaga pada 1966 dan meraih dua gelar Master (filsafat, teologi) dari institusi yang sama. Ia menerima gelar Doktor Teologi di tahun 1975 dari Universitas Regensburg, Jerman Barat, di mana pembimbing tesisnya adalah Rm.Joseph Ratzinger (kini Paus Benedictus XVI). Thesis yang dibuatnya yaitu tentang eklesiologi dari Hans Urs von Balthasar. 

Rm.Fessio mengajar filosofi di Universitas Gonzaga dan Universitas Santa Klara, California dan mengajar teologi di Universitas San Fransisco sebelum mendirikan Institut Santo Ignatius di Universitas San Fransisco pada 1976. Dua tahun kemudian ia mendirikan Ignatius Press. Kini ia menjabat Provost di Universitas Ave Maria di Florida. 

Artikel ini dipetik dan diterjemahkan bebas dari bahasa Inggris di;
http://www.ignatiusinsight.com/features ..assv2_1_jan05.asp
Pada tanggal 4 Februari 2010 jam 16.00 WIB

Diterjemahkan oleh Celestine