Mengasihi Sesama

Mengasihi Sesama
Ibu Theresa dari Calcuta

Kamis, 22 Desember 2011

Penentu Masuk Surga - Neraka adalah saat akhir sebelum meninggal

Persembahan Deusvult dari www.ekaristi.org yang sangat penting, semoga menjadi peringatan buat kita orang-orang katolik yang enggan mengakukan dosa saat-saat adven begini. Ayo, mumpung masih ada kesempatan.

Salah satu ajaran sulit alias "makanan keras" (1Kor 3:2; Ibr 5:12,14) dari iman Kristen adalah bahwa nasib seseorang di alam yang akan datang ditentukan oleh kondisi jiwanya saat dia mati dan bukannya oleh apa yang pernah dia lakukan selama hidupnya. 

Jadi kalau ada orang yang sepanjang hidupnya jahat dan tidak pernah berbuat baik namun pada saat mati dia bertobat maka dia akan selamat, namun kalau ada orang yang sepanjang hidupnya berbuat baik dan tidak pernah berbuat jahat namun pada saat mati dia berbuat dosa dan tidak bertobat maka dia tidak akan selamat (bdk. Yeh 18:21-28; 33:12-16,18) 

Berikut adalah tulisan dari Romano Amerio dalam bukunya Iota Unum yang mencoba menjelaskan "makanan keras" ini. 


IOTA UNUM
Romano Amerio




p466-468

202. Kehidupan moral sebagai suatu titik [penentu nasib seseorang] dalam aliran waktu

Ini adalah kebenaran religius yang penting, tapi juga sulit dipahami, bersifat paradoks dan menimbulkan ketersinggungan bagi pemikiran-pemikiran umum [yang dimiliki banyak orang]. Tampaknya tidak adil dan tidak masuk akal bahwa nilai moral seseorang harus diputuskan oleh kondisi saat dia meninggal dan bukannya oleh suatu timbangan perbuatan baik dan jahat selama hidupnya.

Meskipun begitu, agama Kristen mengajarkan bahwa tujuan akhir dari hidup seseorang tergantung dari kondisi moral orang tersebut pada saat kematian: karenanya [tujuan akhir hidup seseorang] tidak tergantung pada riwayat masa lalu [kehidupan orang tersebut], tapi pada saat mana kehidupan moralnya berada ketika kematian menjemputnya. Pandangan yang lain, [yang mengatakan] bahwa nasib seseorang bergantung pada penimbangan perbuatan baik dan jahat, di-atribusi-kan pada Segneri[2], pada beberapa rabbi [Yahudi], dan juga [merupakan pandangan yang] diyakini oleh Moslem yang mengacu kepada suatu mizan, atau timbangan jasa-jasa. Namun ajaran Gereja Katolik menegaskan bahwa kondisi moral seseorang saat sekarang [ie. present] mempunyai sifat yang menentukan [tujuan akhir hidupnya]; dan bahwa ajaran ini telah dinyatakan di katekismus-katekismus, di-warta-kan di setiap podium dan didefinisikan pada sebuah dekrit dogmatik dari Konsili Lyons yang kedua.[3]

Rosmini menjelaskan kebenaran sulit ini secara sangat perseptif: "seseorang tidak seharusnya menganggap kebaikan moral seseorang seperti dua kualitas yang eksis di saat bersamaan, yang meningkat dan menurun, yang saling membatalkan satu sama lain; seseorang juga tidak seharusnya mengatakan bahwa seorang manusia dikutuk [ke neraka] kalau jumlah kejahatan sudah menumpuk dan mencapai suatu tingkatan yang telah ditetapkan Tuhan [dimana seseorang layak dimasukkan ke neraka] menurut kehendak bebasNya dan hukum keadilanNya. Satu manusia utuh itu adalah baik [saja] ataupun jahat [saja], quia nihil est damnationis in eis qui vere consepulti sunt cum Christo.[4] Kebaikan sebenarnya tidak bisa eksis dalam seorang yang jahat, karena quae societas Christi ad Belial?.[5] Memang ada dosa ringan dalam diri orang-orang yang baik namun [dosa-dosa ringan ini] tidak membuat seseorang berhenti menjadi [seseorang] yang secara fundamental baik.[6] Aku tahu bahwa ada kesulitan-kesulitan yang diajukan oleh akal sehat, dan bahkan teks-teks Alkitab, begitu pula oleh gambaran tradisional pengadilan ilahi sebagai suatu penimbangan jiwa-jiwa. Meskipun begitu pentingnya kondisi moral seseorang pada satu titik aliran waktu berasal dari ajaran yang [cukup] jelas dari agama Kristen. Tindakan moral adalah sebuah hubungan antara manusia dengan tujuan akhir hidupnya; [tindakan moral] bukanlah suatu hubungan dengan perkara-perkara ciptaan, atau tujuan akhir yang sifatnya duniawi, atau dengan masa depan bangsa manusia. Nah, manusia berhutang penghormatan pada hukum dan hutang ini wajib dibayar pada setiap saat dalam hidup seseorang tanpa bergantung pada saat-saat lainnya [dalam hidup seseorang itu]. Masa lalu dan masa depan dalam hidup seseorang tidak eksis di masa sekarang ini, namun hubungan seorang manusia dengan tujuan akhirnya, yaitu Allah, selalu ada, dan [hubungan tersebut] menguasi keutuhan dari orang itu [ie. entah orang itu utuh baik atau utuh buruk], dan tidak menyisakan tempat sedikitpun bagi sebagian dirinya yang bisa dia berikan kepada perkara-perkara fana yang bisa diambilkan dari [hubungannya dengan] Allah. Inilah apa yang menjadikan kehidupan moral mempunyai sifat serius. Tidak sekejap pun dalam hidup manusia bisa dengan bebas dia berikan bagi dosa; ini adalah kebenaran yang telah diwartakan di setiap jaman dalam sejarah ke-Kristen-an. Setiap saat dari waktu-waktu yang terbuang harus ditebus,[7] maksudnya, ditempatkan pada hubungan dengan yang transenden yang diluarnya [ie. diluar yang transenden itu] tidak ada apapun kecuali ketidakadaan, entah itu metafisik ataupun moral.



Catatan-catatan kaki:
[2] Paolo Segneri S.J. (1624-1694) pengkhotbah paling terkenal pada abad ketujuhbelas di Italiathe most famous preacher in seventeenth century Italy. [Translator's note.]

[3] Pada tahun 1274. Lihat Denzinger, 464.

[4] Bdk. Roma 8:1. "Demikianlah sekarang tidak ada penghukuman bagi mereka yang ada di dalam Kristus Yesus.".

[5] Bdk. II Korintus 6:15. "Persamaan apakah yang terdapat antara Kristus dan Belial?"

[6] Rosmini, Epist., Vol. IV, p.214.

[7]Bdk. Efesus, 5:16.
 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar