Mengasihi Sesama

Mengasihi Sesama
Ibu Theresa dari Calcuta

Sabtu, 05 Januari 2013

Katekismus Gereja Katolik Dalam Setahun - 087

KGK Hari ke 87

Versi Bahasa Indonesia


PASAL 2 : YESUS WAFAT DI SALIB

I. Proses Yesus

Para pemimpin Yahudi tidak sependapat mengenai Yesus

595. Pribadi Yesus selalu saja memberi alasan untuk perbedaan pendapat di antara pemimpin religius Yerusalem; seorang Farisi bernama Nikodemus7 - seorang terpandang - dan Yosef Arimatea8 adalah pengikut-pengikut Yesus secara diam-diam.9 Malahan Yohanes dapat mengatakan bahwa - bahkan hanya beberapa hari saja sebelum kesengsaraan-Nya - "banyak di antara pemimpin yang percaya kepada-Nya" (Yoh 12:42), walaupun masih sangat tidak sempurna. Itu tidak mengherankan, apabila kita perhatikan bahwa pada hari sesudah Pentekosta... sejumlah besar imam menyerahkan diri dan percaya" (Kis 6:7) dan "beberapa orang dari golongan Farisi telah menjadi percaya" (Kis 15:5). Santo Yakobus dapat mengatakan kepada santo Paulus, bahwa "beribu-ribu orang Yahudi telah menjadi percaya dan mereka semua rajin memelihara hukum Taurat" (Kis 21:20).

596. Para pemimpin religius tidak sependapat10 dalam hubungan dengan pertanyaan, bagaimana orang harus bersikap terhadap Yesus. Orang Farisi mengancam mereka yang mengakui Dia dengan pengucilan.11 Beberapa orang merasa khawatir: "Apabila kita biarkan Dia, maka semua orang akan percaya kepada-Nya dan orang-orang Roma akan datang dan akan merampas tempat suci kita serta bangsa kita" (Yoh 11:48). Imam agung Kaifas mengajukan sebuah usul kepada mereka, dengan bernubuat: "Kamu tidak insyaf, bahwa lebih berguna bagimu, jika satu orang mati untuk bangsa kita daripada seluruh bangsa kita ini binasa" (Yoh 11:50). Majelis agung yang telah menjatuhkan hukuman mati kepada Yesus sebagaipenghujah Allah,1 tetapi telah kehilangan hak2 untuk melaksanakan hukuman mati, menyerahkan Yesus kepada orang-orang Roma dan menuduh Dia mengadakan pemberontakan,3 yang menempatkan Dia sejajar dengan Barabas, yang telah didakwa karena "pemberontakan" (Luk 23:19). Para imam kepala juga coba mendesak Pilatus melalui ancaman-ancaman politis supaya menjatuhkan hukuman mati atas diri Yesus.4

Orang Yahudi secara kolektif tidak bertanggung jawab atas kematian Yesus

597. Kalau memperhatikan proses pengadilan Yesus yang berbelit-belit, sebagaimana tampak jelas dalam ceritera-ceritera Injil, dan dosa pribadi dari orang-orang yang terlibat dalam proses itu (Yudas, Majelis Agung, Pilatus) yang hanya diketahui oleh Allah sendiri, maka kita tidak dapat meletakkan tanggung jawab mengenai pengadilan itu pada keseluruhan orang-orang Yahudi di Yerusalem, walaupun ada teriakan dari sekelompok orang yang direkayasa5 dan meskipun tuduhan semacam itu termuat dalam seruan para Rasul untuk bertobat sesudah Pentekosta.6 Yesus sendiri, ketika dari salib mengampuni mereka,7 dan kemudian Petrus, memaafkan baik orang-orang Yahudi di Yerusalem yang "tidak tahu", maupun para pemimpin mereka (Kis 3:17). Lebih lagi, kita tidak dapat melimpahkan tanggung jawab kepada orang-orang Yahudi lainnya dari zaman dan tempat-tempat lain, semata-mata didasarkan pada teriakan khalayak: "Biarlah darah-Nya ditanggungkan atas kami dan atas anak-anak kami" (Mat 27:25), suatu rumusan untuk mensahkan satu putusan pengadilan.8
Karena itu Gereja menyatakan dalam Konsili Vatikan II: "Apa yang telah dijalankan selama Ia menderita sengsara tidak begitu saja dapat dibebankan sebagai kesalahan kepada semua orang Yahudi yang hidup ketika itu atau kepada orang Yahudi zaman sekarang... Orang-orang Yahudi jangan digambarkan seolab-olah dibuang oleh Allah atau terkutuk, seakan-akan itu dapat disimpulkan dari Kitab Suci" (NA 4).

Semua orang berdosa turut menyebabkan kesengsaraan Kristus

598. Dalam magisterium imannya dan dalam kesaksian para kudusnya Gereja tidak pernah melupakan bahwa semua pendosa pun adalah "penyebab dan pelaksana semua siksa yang Kristus derita" (Cat. R. 1, 5, 11).9 Karena Gereja sadar bahwa dosa-dosa kita menimpa Kristus sendiri,10 ia tidak ragu-ragu mempersalahkan warga Kristen atas penderitaan Kristus - sementara mereka ini terlalu sering melimpahkan tanggung jawab hanya kepada orang Yahudi:
"Tanggung jawab ini terutama mengenai mereka, yang berkali-kali jatuh ke dalam dosa. Oleh karena dosa-dosa kita menghantar Kristus Tuhan kita kepada kematian di kayu salib, maka sesungguhnya, mereka yang bergelinding dalam dosa dan kebiasaan buruk, 'menyalibkan lagi Anak Allah dan menghina-Nya di muka umum' (Ibr 6:6) - satu kejahatan, yang nyatanya lebih berat lagi daripada kejahatan orang-orang Yahudi. Karena mereka ini, seperti yang dikatakan sang Rasul, 'tidak menyalibkan Tuhan yang mulia, kalau sekiranya mereka mengenal-Nya' (1 Kor 2:8). Tetapi kitamengatakan, kita mengenal Dia, walaupun demikian kita seolah-olah menganiaya-Nya waktu kita menyangkal-Nya dengan perbuatan kita" (Catech. R. 1, 5, 11). "Setan bukanlah mereka yang menyalibkan-Nya, melainkan engkau, yang bersama mereka menyalibkan-Nya dan masih tetap menyalibkan-Nya, dengan berpuas diri dalam perbuatan jahat dan dalam dosa" (Fransiskus dari Assisi, admon. 5, 3).

II. Kematian Yesus yang menebus dalam rencana keselamatan ilahi

Yesus "diserahkan sejalan dengan keputusan Allah yang sudah ditentukan"

599. Kematian Yesus yang sangat kejam tidak terjadi kebetulan, karena satu interaksi antara pelbagai faktor dan kondisi yang patut disesalkan. Itu termasuk misteri rencana Allah, sebagaimana santo Petrus sudah menjelaskannya dalam khotbah Pentekosta yang pertama untuk orang Yahudi di Yerusalem: Ia "diserahkan menurut maksud dan rencana Allah" (Kis 2:23). Cara tutur biblis ini tidak mengatakan bahwa mereka yang telah "menyerahkan" Yesus (Kis 3:13), hanya merupakan pelakon tidak bebas dari sebuah skenario yang telah ditentukan oleh Allah sebelumnya.

600. Bagi Allah semua saat adalah masa kini yang tengah berlangsung. Kalau Ia sudah "menentukan" sesuatu sebelumnya dalam rencana-Nya yang abadi, Ia turut memper-hitungkan juga jawaban setiap mantisia atas rahmat-Nya: "Sebab sesungguhnya telah berkumpul di dalam kota ini Herodes dan Pontius Pilatus beserta bangsa-bangsa dan suku-suku bangsa Israel1 melawan Yesus, Hamba-Mu yang kudus, yang Engkau urapi, untuk melaksanakan segala sesuatu yang telah Engkau tentukan dari semula oleh kuasa dan kehendak-Mu" (Kis 4:27-28). Allah membiarkan perbuatan-perbuatan2 yang muncul dari kebutaan mereka itu, terjadi untuk melaksanakan rencana keselamatan-Nya.3

"Yang wafat untuk dosa kita sesuai dengan Kitab Suci"

601. Rencana ilahi untuk mendatangkan keselamatan melalui kematian keji "orang benar, hamba-Ku" (Yes 53:11),4 sudah dimaklumkan lebih dahulu dalam Kitab Suci, sebagai misteri penebusan yang mencakup segala sesuatu, artinya sebagai tebusan, yang membebaskan manusia dari perhambaan dosa.5 Dalam sebuah pengakuan iman, yang tentangnya Ia berkata, bahwa Ia "telah menerimanya" sendiri (1 Kor 15:3), santo Paulus mengakui: "Kristus telah wafat untuk dosa-dosa kita, sesuai dengan Kitab Suci - (ibid.).6 Wafat Yesus yang menebuskan terutama memenuhi nubuat mengenai hamba Allah yang menderita.7 Yesus sendiri menjelaskan arti kehidupan-Nya dan kematian-Nya dalam terang kata-kata hamba Allah ini.8 Setelah kebangkitan-Nya Ia memberi penjelasan tentang Kitab Suci ini kepada murid-murid Emaus9 dan sesudah itu kepada para Rasul sendiri.10Allah telah "membuat-Nya menjadi dosa karena kita"

602. Karena itu santo Petrus dapat merumuskan iman apostolik tentang rencana keselamatan ilahi sebagai berikut: "Kamu tahu, bahwa kamu telah ditebus dari cara hidupmu yang sia-sia, yang kamu warisi dari nenek moyangmu itu... telah ditebus dengan darah yang mahal yaitu darah Kristus, yang sama seperti darah anak domba yang tak bernoda dan tak bercacat. Ia telah dipilih sebelum dunia dijadikan, tetapi karena kamu maka Ia baru menyatakan diri-Nya pada zaman akhir" (1 Ptr 1:18-20). Dosa-dosa manusia yang menyusul dosa asal, dihukum dengan kematian.1 Dengan mengutus Putera-Nya yang tunggal dalam rupa seorang hamba,2 dalam rupa kodrat manusia yang jatuh dan yang diserahkan kepada kematian karena dosa,3 Allah telah membuat Dia "yang tidak mengenal dosa... menjadi dosa karena kita, supaya dalam Dia kita dibenarkan oleh Allah" (2 Kor 5:21).

603. Yesus tidak dibuang [oleh Allah], seakan-akan Ia sendiri telah berdosa.4 Sebaliknya dalam cinta-Nya sebagai Penebus, yang selalu menghubungkan Dia dengan Bapa,5 Ia dengan sekian mesra menerima kita, yang hidup jauh dari Allah karena dosa-dosa kita, sehingga di kayu salib ia dapat mengatakan atas nama kita:"Eloi, Eloi lama sabakhtani, yang berarti, Allah-Ku, Allah-Ku, mengapa Engkau meninggalkan Aku?" (Mrk 15:34; Mzm 22:2). Karena dengan cara demikian Allah sudah membuat-Nya solider dengan kita, orang berdosa, maka "Ia tidak menyayangkan anak-Nya sendiri, tetapi... menyerah-kan-Nya bagi kita semua" (Rm 8:32), sehingga "kita diperdamaikan dengan Allah oleh kematian Anak-Nya" (Rm 5:10).

Cinta Allah yang menebus dan mencakup segala sesuatu

604. Dengan menyerahkan Putera-Nya karena dosa kita, Allah menunjukkan bahwa rencana-Nya untuk kita adalah satu keputusan cinta yang penuh kebaikan dan mendahului setiap jasa dari pihak kita: "Inilah kasih itu: Bukan kita yang telah mengasihi Allah, tetapi Allah yang telah mengasihi kita dan yang telah mengutus Anak-Nya sebagai pendamaian bagi dosa-dosa kita" (1 Yoh 4:10).6 "Akan tetapi Allah menunjukkan kasih-Nya kepada kita, oleh karena Kristus telah mati untuk kita, ketika kita masih berdosa" (Rm 5:8).

605. Cinta ini tidak mengecualikan seorang pun. Yesus mengatakannya pada akhir perum-pamaan mengenai domba yang hilang: "Demikian juga Bapamu yang di surga tidak menghendaki, supaya seorang pun dari anak-anak ini hilang" (Mat 18:14). Ia menegaskan bahwa Ia menyerahkan hidup-Nya "menjadi tebusan bagi banyak orang" (Mat 20:28). Ungkapan "untuk banyak orang" bukan menyempit, melainkan menempat-kan seluruh umat manusia di hadapan pribadi Penebus satu-satunya, yang menyerahkan Diri, untuk menyelamatkannya.7 Seturut teladan para Rasul,8 Gereja mengajarkan bahwa Yesus wafat untuk semua manusia tanpa kecuali: "Tidak ada seorang manusia, tidakpernah ada seorang manusia, dan tidak akan ada seorang manusia, yang baginya Ia tidak menderita" (Sinode Quiercy 853: DS 624).


Versi Bahasa Inggris

Read the Catechism: Day 87

Part1:The Profession of Faith (26 - 1065)
Section2:The Profession of the Christian Faith (185 - 1065)
Chapter2:I Believe in Jesus Christ, the Only Son of God (422 - 682)
Article4:"Jesus Christ suffered under Pontius Pilate, was crucified, died and was buried" (571 - 630)
Paragraph2:Jesus Died Crucified (595 - 623)
I. THE TRIAL OF JESUS
Divisions among the Jewish authorities concerning Jesus
595     Among the religious authorities of Jerusalem, not only were the Pharisee Nicodemus and the prominent Joseph of Arimathea both secret disciples of Jesus, but there was also long-standing dissension about him, so much so that St. John says of these authorities on the very eve of Christ's Passion, "many... believed in him", though very imperfectly. This is not surprising, if one recalls that on the day after Pentecost "a great many of the priests were obedient to the faith" and "some believers... belonged to the party of the Pharisees", to the point that St. James could tell St. Paul, "How many thousands there are among the Jews of those who have believed; and they are all zealous for the Law."
596     The religious authorities in Jerusalem were not unanimous about what stance to take towards Jesus. The Pharisees threatened to excommunicate his followers. To those who feared that "everyone will believe in him, and the Romans will come and destroy both our holy place and our nation", the high priest Caiaphas replied by prophesying: "It is expedient for you that one man should die for the people, and that the whole nation should not perish." The Sanhedrin, having declared Jesus deserving of death as a blasphemer but having lost the right to put anyone to death, hands him over to the Romans, accusing him of political revolt, a charge that puts him in the same category as Barabbas who had been accused of sedition. The chief priests also threatened Pilate politically so that he would condemn Jesus to death.
Jews are not collectively responsible for Jesus' death
597     The historical complexity of Jesus' trial is apparent in the Gospel accounts. The personal sin of the participants (Judas, the Sanhedrin, Pilate) is known to God alone. Hence we cannot lay responsibility for the trial on the Jews in Jerusalem as a whole, despite the outcry of a manipulated crowd and the global reproaches contained in the apostles' calls to conversion after Pentecost. Jesus himself, in forgiving them on the cross, and Peter in following suit, both accept "the ignorance" of the Jews of Jerusalem and even of their leaders. Still less can we extend responsibility to other Jews of different times and places, based merely on the crowd's cry: "His blood be on us and on our children!", a formula for ratifying a judicial sentence. As the Church declared at the Second Vatican Council:
... [N]either all Jews indiscriminately at that time, nor Jews today, can be charged with the crimes committed during his Passion... [T]he Jews should not be spoken of as rejected or accursed as if this followed from holy Scripture.
All sinners were the authors of Christ's Passion
598     In her Magisterial teaching of the faith and in the witness of her saints, the Church has never forgotten that "sinners were the authors and the ministers of all the sufferings that the divine Redeemer endured." Taking into account the fact that our sins affect Christ himself, the Church does not hesitate to impute to Christians the gravest responsibility for the torments inflicted upon Jesus, a responsibility with which they have all too often burdened the Jews alone:
We must regard as guilty all those who continue to relapse into their sins. Since our sins made the Lord Christ suffer the torment of the cross, those who plunge themselves into disorders and crimes crucify the Son of God anew in their hearts (for he is in them) and hold him up to contempt. And it can be seen that our crime in this case is greater in us than in the Jews. As for them, according to the witness of the Apostle, "None of the rulers of this age understood this; for if they had, they would not have crucified the Lord of glory." We, however, profess to know him. And when we deny him by our deeds, we in some way seem to lay violent hands on him.
Nor did demons crucify him; it is you who have crucified him and crucify him still, when you delight in your vices and sins.
II. CHRIST'S REDEMPTIVE DEATH IN GOD'S PLAN OF SALVATION
"Jesus handed over according to the definite plan of God"
599     Jesus' violent death was not the result of chance in an unfortunate coincidence of circumstances, but is part of the mystery of God's plan, as St. Peter explains to the Jews of Jerusalem in his first sermon on Pentecost: "This Jesus [was] delivered up according to the definite plan and foreknowledge of God." This Biblical language does not mean that those who handed him over were merely passive players in a scenario written in advance by God.
600     To God, all moments of time are present in their immediacy. When therefore he establishes his eternal plan of "predestination", he includes in it each person's free response to his grace: "In this city, in fact, both Herod and Pontius Pilate, with the Gentiles and the peoples of Israel, gathered together against your holy servant Jesus, whom you anointed, to do whatever your hand and your plan had predestined to take place." For the sake of accomplishing his plan of salvation, God permitted the acts that flowed from their blindness.
"He died for our sins in accordance with the Scriptures"
601     The Scriptures had foretold this divine plan of salvation through the putting to death of "the righteous one, my Servant" as a mystery of universal redemption, that is, as the ransom that would free men from the slavery of sin. Citing a confession of faith that he himself had "received", St. Paul professes that "Christ died for our sins in accordance with the scriptures." In particular Jesus' redemptive death fulfills Isaiah's prophecy of the suffering Servant. Indeed Jesus himself explained the meaning of his life and death in the light of God's suffering Servant. After his Resurrection he gave this interpretation of the Scriptures to the disciples at Emmaus, and then to the apostles.
"For our sake God made him to be sin"
602     Consequently, St. Peter can formulate the apostolic faith in the divine plan of salvation in this way: "You were ransomed from the futile ways inherited from your fathers... with the precious blood of Christ, like that of a lamb without blemish or spot. He was destined before the foundation of the world but was made manifest at the end of the times for your sake." Man's sins, following on original sin, are punishable by death. By sending his own Son in the form of a slave, in the form of a fallen humanity, on account of sin, God "made him to be sin who knew no sin, so that in him we might become the righteousness of God."
603     Jesus did not experience reprobation as if he himself had sinned. But in the redeeming love that always united him to the Father, he assumed us in the state of our waywardness of sin, to the point that he could say in our name from the cross: "My God, my God, why have you forsaken me?" Having thus established him in solidarity with us sinners, God "did not spare his own Son but gave him up for us all", so that we might be "reconciled to God by the death of his Son".
God takes the initiative of universal redeeming love
604     By giving up his own Son for our sins, God manifests that his plan for us is one of benevolent love, prior to any merit on our part: "In this is love, not that we loved God but that he loved us and sent his Son to be the expiation for our sins." God "shows his love for us in that while we were yet sinners Christ died for us."
605     At the end of the parable of the lost sheep Jesus recalled that God's love excludes no one: "So it is not the will of your Father who is in heaven that one of these little ones should perish." He affirms that he came "to give his life as a ransom for many"; this last term is not restrictive, but contrasts the whole of humanity with the unique person of the redeemer who hands himself over to save us. The Church, following the apostles, teaches that Christ died for all men without exception: "There is not, never has been, and never will be a single human being for whom Christ did not suffer."
Dig deeper: Scriptural and other references for today's section here.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar