Mengasihi Sesama

Mengasihi Sesama
Ibu Theresa dari Calcuta

Rabu, 02 Januari 2013

Katekismus Gereja Katolik Dalam Setahun - 084

KGK Hari ke 84

Versi Bahasa Indonesia


I. Yesus dan Hukum

577. Dalam khotbah di bukit, dalam terang rahmat Perjanjian Baru, Yesus mengambil sikap terhadap hukum yang diberikan di Sinai oleh Allah pada penetapan Perjanjian Lama. Ia mulai dengan satu peringatan meriah:
"Janganlah kamu menyangka, bahwa Aku datang untuk meniadakan hukum Taurat atau kitab para nabi. Aku datang bukan untuk meniadakannya, melainkan untuk menggenapinya. Karena Aku berkata kepadamu: Sesungguhnya selama belum lenyap langit dan bumi ini, satu iota atau satu titik pun tidak akan ditiadakan dari hukum Taurat, sebelum semuanya terjadi. Karena itu siapa yang meniadakan salah satu perintah hukum Taurat, sekalipun yang paling kecil, dan mengajarkannya demikian kepada orang lain, ia akan menduduki tempat yang paling rendah di dalam Kerajaan surga; tetapi siapa yang melakukan dan mengajarkan segala perintah hukum Taurat, ia akan menduduki tempat yang tinggi di dalam Kerajaan surga" (Mat 5:17-19).

578. Untuk Yesus, Mesias Israel, yang terbesar dalam Kerajaan surga, sesuai dengan perkataan-Nya sendiri, memang wajar melaksanakan hukum sepenuhnya, juga perintah yang terkecil sekalipun. Ia malahan satu-satunya orang yang bisa melaksanakan hal itu secara sempurna.1 Seperti orang Yahudi sendiri akui, mereka tidak pernah mampu memenuhi hukum sepenuhnya, tanpa melanggar perintah yang terkecil sekalipun.2 Karena itu, pada perayaan perdamaian tahunan, anak-anak Israel memohon ampun kepada Allah, karena pelanggaran mereka terhadap hukum. Hukum merupakan satu keseluruhan dan, sebagaimana santo Yakobus peringatkan: "Barang siapa menuruti seluruh hukum itu, tetapi mengabaikan satu bagian dari padanya, ia bersalah terhadap seluruhnya" (Yak 2:10).3

579. Prinsip ini, bahwa hukum harus dipegang teguh dalam segala penetapannya dan bahkan bukan hanya secara harafiah melainkan sesuai dengan jiwanya, sangat dihargai oleh orang Farisi. Dengan menegaskan prinsip ini kepada Israel, mereka membawa banyak orang Yahudi semasa Yesus menuju semangat religius yang luar biasa.4 Supaya semangat ini tidak berkembang menjadi "kasuistik"5 yang munafik, Ia harus mempersiapkan bangsa ini untuk campur tangan Tuhan yang luar biasa, yakni pelaksanaan hukum secara sempurna oleh Yang Adil satu-satunya, sebagai pengganti semua orang berdosa.6

580. Dengan demikian pelaksanaan hukum secara sempurna merupakan karya Pemberi hukum ilahi, yang lahir dalam Pribadi Putera sebagai orang yang takluk kepada hukum.7 Dalam Yesus, hukum tidak lagi terukir di atas loh-loh batu, tetapi dalam "hati" (Yer 31:33) Hamba Allah. Ia ini "sesungguhnya membawa hukum" (Yes 42:3) dan karena itu telah menjadi "perjanjian untuk umat" (Yes 42:6). Dalam melaksanakan hukum ini, Yesus melangkah sekian jauh, sampai-sampai Ia malahan menanggung "kutuk hukum" mengganti kita (Gal 3:13), kutuk yang dipikul setiap orang "yang tidak setia melakukan segala sesuatu yang tertulis dalam kitab hukum Taurat" (Gal 3: 10). Dengan demikian kematian Yesus "menebuskan pelanggaran-pelanggaran yang telah dilakukan selama perjanjian yang pertama" (Ibr 9:15).

581. Yesus dipandang oleh orang Yahudi dan pemimpin-pemimpin rohani mereka sebagai "Rabbi".1 Ia sering berdiskusi dengan mereka dalam rangka penjelasan hukum seperti dipraktikkan para rabbi.2 Tetapi Yesus tanpa disengaja harus menyinggung perasaan ahli-ahli Taurat, karena ia tidak memberikan penjelasan-Nya sebagai salah seorang dari mereka, tetapi "Ia mengajar... sebagai orang yang berkuasa, tidak seperti ahli-ahli Taurat mereka" (Mat 7:28-29). Dalam Dia, Sabda Allah yang sama, yang sudah diperdengarkan di Sinai, untuk memberikan hukum secara tertulis kepada Musa, terdengar lagi di atas gunung sabda bahagia.3 Yesus tidak menghapus hukum, tetapi melengkapinya, dengan memberikan penjelasan definitif dari Allah: "Kamu telah mendengar apa yang disampaikan kepada nenek moyang kita... tetapi Aku berkata kepadamu" (Mat 5:33-34). Dengan otoritas ilahi yang sama, Ia mempersalahkan "adat - istiadat manusia" (Mrk 7:8) - artinya adat-istiadat Farisi - yang "menyatakan firman Allah tidak berlaku" (Mrk 7:13).

582. Tambahan lagi: Hukum mengenai halalnya makanan, yang memainkan peranan besar dalam kehidupan Yahudi, dipenuhi Yesus, dengan menyatakan arti "mendidik"4 dari peraturan itu melalui penjelasan ilahi: "bahwa segala sesuatu dari luar yang masuk ke dalam seseorang tidak dapat menajiskannya... Dengan demikian Ia menyatakan semua makanan halal... Apa yang keluar dari seseorang, itulah yang menajiskan-nya. Sebab dari dalam, dari hati orang, timbul segala pikiran jahat, percabulan, pencurian, pembunuhan" (Mrk 7:18-21). Dengan otoritas ilahi Yesus memberikan interpretasi hukum yang definitif Dengan berbuat demikian Ia terbentur pada perlawanan ahli-ahli Taurat tertentu, yang tidak menerima penjelasan hukum yang diberi-Nya, walaupun itu disahkan dengan tanda-tanda ilahi yang menyertai-Nya.5 Itu berlaku terutama juga mengenai persoalan Sabat: Yesus memperingatkan, sering dengan argumen yang diambil dari tradisi rabbi,6 bahwa istirahat pada hari Sabat tidak dilanggar, baik melalui pelayanan untuk Allah7 maupun melalui pelayanan bagi sesama8 - dan karena itu juga melalui penyembuhan-Nya.


Versi Bahasa Inggris


Read the Catechism: Day 84

Part1:The Profession of Faith (26 - 1065)
Section2:The Profession of the Christian Faith (185 - 1065)
Chapter2:I Believe in Jesus Christ, the Only Son of God (422 - 682)
Article4:"Jesus Christ suffered under Pontius Pilate, was crucified, died and was buried" (571 - 630)
Paragraph1:Jesus and Israel (574 - 594)
I. JESUS AND THE LAW
577     At the beginning of the Sermon on the Mount Jesus issued a solemn warning in which he presented God's law, given on Sinai during the first covenant, in light of the grace of the New Covenant:
Do not think that I have come to abolish the law or the prophets: I have come not to abolish but to fulfill. For truly I tell you, until heaven and earth pass away, not one letter, not one stroke of a letter, will pass from the law, until all is accomplished. Therefore, whoever breaks one of the least of these commandments, and teaches others to do the same, will be called least in the kingdom of heaven; but whoever does them and teaches them will be called great in the kingdom of heaven.
578     Jesus, Israel's Messiah and therefore the greatest in the kingdom of heaven, was to fulfill the Law by keeping it in its all embracing detail — according to his own words, down to "the least of these commandments". He is in fact the only one who could keep it perfectly. On their own admission the Jews were never able to observe the Law in its entirety without violating the least of its precepts. This is why every year on the Day of Atonement the children of Israel ask God's forgiveness for their transgressions of the Law. The Law indeed makes up one inseparable whole, and St. James recalls, "Whoever keeps the whole law but fails in one point has become guilty of all of it."
579     This principle of integral observance of the Law not only in letter but in spirit was dear to the Pharisees. By giving Israel this principle they had led many Jews of Jesus' time to an extreme religious zeal. This zeal, were it not to lapse into "hypocritical" casuistry, could only prepare the People for the unprecedented intervention of God through the perfect fulfillment of the Law by the only Righteous One in place of all sinners.
580     The perfect fulfillment of the Law could be the work of none but the divine legislator, born subject to the Law in the person of the Son. In Jesus, the Law no longer appears engraved on tables of stone but "upon the heart" of the Servant who becomes "a covenant to the people", because he will "faithfully bring forth justice". Jesus fulfills the Law to the point of taking upon himself "the curse of the Law" incurred by those who do not "abide by the things written in the book of the Law, and do them", for his death took place to redeem them "from the transgressions under the first covenant".
581     The Jewish people and their spiritual leaders viewed Jesus as a rabbi. He often argued within the framework of rabbinical interpretation of the Law. Yet Jesus could not help but offend the teachers of the Law, for he was not content to propose his interpretation alongside theirs but taught the people "as one who had authority, and not as their scribes". In Jesus, the same Word of God that had resounded on Mount Sinai to give the written Law to Moses, made itself heard anew on the Mount of the Beatitudes. Jesus did not abolish the Law but fulfilled it by giving its ultimate interpretation in a divine way: "You have heard that it was said to the men of old... But I say to you..." With this same divine authority, he disavowed certain human traditions of the Pharisees that were "making void the word of God".
582     Going even further, Jesus perfects the dietary law, so important in Jewish daily life, by revealing its pedagogical meaning through a divine interpretation: "Whatever goes into a man from outside cannot defile him... (Thus he declared all foods clean.)... What comes out of a man is what defiles a man. For from within, out of the heart of man, come evil thoughts..." In presenting with divine authority the definitive interpretation of the Law, Jesus found himself confronted by certain teachers of the Law who did not accept his interpretation of the Law, guaranteed though it was by the divine signs that accompanied it. This was the case especially with the sabbath laws, for he recalls, often with rabbinical arguments, that the sabbath rest is not violated by serving God and neighbor, which his own healings did.
Dig deeper: Scriptural and other references for today's section here.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar