Mengasihi Sesama

Mengasihi Sesama
Ibu Theresa dari Calcuta

Sabtu, 04 September 2021

SURAT KANTOR KUDUS MENGENAI PERLUNYA GEREJA KATOLIK Monsignor Joseph Clifford Fenton

 

SURAT KANTOR KUDUS MENGENAI PERLUNYA GEREJA KATOLIK 

Monsignor Joseph Clifford Fenton
 

[sebuah excerpt dari edisi 1952 American Ecclesiastical Review. Semua penekanan tebal berasal dariku, DeusVult

------ 



Ilmu Teologi suci telah sangat dibantu oleh tindakan Uskup Agung Cushing dalam mempublikasikan teks lengkap dan terjemahan Inggris resmi dari surat Kantor Kudus mengenai perlunya Gereja bagi keselamatan. Surat ini, ketiga dari tiga dokumen Roma yang secara langsung berkenaan dengan dogma ini [ie. perlunya Gereja bagi keselamatan] sepanjang sepuluh tahun terakhir, mengandung penjelasan yang akurat dan otoritatif atas sebuah kebenaran yang diwahyukan secara ilahi yang sering ditafsirkan dengan keliru dalam tulisan-tulisan Katolik saat ini. Publikasi dari dokumen ini dapat dan harus membawa sebuah perbaikan dalam penanganan dogma akan perlunya Gereja bagi keselamatan dalam literatur populer Katolik. 

Teks dari surat tersebut terdiri dari duapuluh-empat paragraf. Tiga paragraf yang pertama adalah perkenalan, dan berbicara mengenai keadaan-keadaan yang memicu keluarnya pesan [dari surat] tersebut. Enambelas paragraf selanjutnya berkutat dengan "explanationes…ad doctrinam pertinentes." Lima paragraf terakhir mengandung "invitamenta atque exhortationes, quae ad disciplinam spectant.

Dalam perkenalan, surat tersebut meneguhkan bahwa [surat itu] berkenaan dengan sebuah kontroversi yang berat dan serius yang telah ditimbulkan (exitata) oleh orang-orang yang berhubungan dengan Pusat St. Benediktus dan Kolose Boston. Surat tersebut lebih lanjut menyatakan bahwa Kantor Kudus berkeyakinan bahwa kontroversi tersebut timbul pertama-tama karena sebuah kegagalan dalam memahami secara tepat dan untuk menghargai aksioma "extra ecclesiam nulla sallus," dan bahwa perselisihan itu menjadi pahit oleh karena fakta bahwa beberapa dari mereka yang berhubungan dengan Pusat St. Benediktus dan dengan Kolose Boston menolak hormat dan taat kepada otoritas gerejawi yang sah. 

Baik disini dan dalam bagian doktrinal dari surat tersebut kita menjumpai sebuah implikasi jelas bahwa Kantor Kudus sadar akan banyaknya jenis kesalahan mengenai perlunya Gereja Katolik bagi keselamatan. Ketika surat tersebut menempatkan [kepada siapa] kesalahan atas semakin pahitnya kontroversi [tersebut harus dibebankan], surat tersebut secara langsung menyalahkan kelompok Pusat St. Benediktus, yang bersalah atas ketidakhormatan dan ketidakpatuhan. Ketika, disisi lain, dokumen tersebut berbicara mengenai asal muasal dari perselisihan tersebut, dokumen tersebut dengan enteng menyatakan bahwa kotroversi itu sendiri [timbul karena] kegagalan untuk mengenal dan menghargai rumusan "extra ecclesiam nulla sallus." Mereka yang telah mempelajari dalam tingkatan se-mendetail apapun banyaknya tulisan-tulisan modern mengenai subyek ini sudah cukup sadar bahwa ada beberapa penjelasan keliru atas dogma ini yang dipublikasikan selama bagian pertama dari abad ini.[1] 

Karena itu, apa yang membuat surat dari Kantor Kudus ini sangat begitu penting adalah fakta bahwa surat tersebut bertujuan, tidak hanya untuk mengoreksi kesalahtafsiran dasar dari dogma yang dilakukan oleh kelompok Pusat St. Benediktus, tapi menunjukkan kualitas doktrinal dari ajaran itu sendiri dan untuk menawarkan sebuah garis yang akurat, penuh dan otoritatif atas penafsiran [dogma EENS tersebut]. Dalam mencapai tujuannya, surat Kantor Kudus sejauh ini telah memberi para teolog Katolik pemaparan yang paling lengkap dan paling detail, atas dogma bahwa Gereja Katolik adalah perlu bagi keselamatan, yang pernah datang dari magisterium Gereja. 

Porsi doktrinal yang spesifik dari surat Kantor Kudus dimulai dengan sebuah paragraf yang mengulangi apa yang diajarkan oleh Konsili Vatikan [Pertama] mengenai kebenaran yang mana kita terikat untuk mempercayai dengan kepatuhan iman yang Katolik dan ilahi. Surat tersebut mengatakan kepada kita bahwa "
Kami terikat oleh iman yang ilahi dan Katolik untuk mempercayai semua hal yang terkandung dalam sabda Allah, apakah itu di Kitab Suci atau Tradisi (quae in verbo Dei scripto vel tradito continentur), dan [semua hal] yang diajukan oleh Gereja untuk dipercayai sebagai sesuatu yang diwahyukan secara ilahi."[2] 

Nah, ajaran-ajaran yang kita wajib percayai dengan kepatuhan iman yang Katolik dan ilahi adalah kebenaran-kebenaran yang kita kenal sebagai dogma-dogma Gereja Katolik. Dogma-dogma ini adalah kebenaran-kebenaran yang dikhotbahkan rasul-rasul Yesus Kristus kepada GerejaNya sebagai pernyataan-pernyataan yang telah dikomunikasikan secara adikodrati [supernatural] atau diwahyukan oleh Allah sendiri. [Dogma-dogma tersebut] mendasari obyek terpusatan atau terutama dari aktivitas mengajar takdapatsalah Gereja. 

Adalah penting untuk dicatat bahwa surat Kantor Kudus kita itu mendeskripsikan doktrin "
bahwa tidak ada keselamatan diluar Gereja," tidak hanya sebagai suatu ajaran yang takdapatsalah, tapi juga sebagai suatu dogma. Surat itu bersikeras, dengan kata lain, bahwa ajaran ini tidak hanya sesuatu yang [sekedar] berhubungan dengan pesan Allah yang umum dan adikorati [supernatural], tapi [doktrin tersebut] termasuk dalam pesan yang diwahyukan itu sendiri. Doktrin tersebut dihadirkan sebagai sebuah kebenaran yang diberikan para rasul sendiri kepada Gereja sebagai sebuah pernyataan yang diwahyukan Allah secara adikodrati [supernatural] kepada manusia melalui Tuhan Kita [ie. Yesus Kristus]. [Doktrin tersebut] adalah salah satu dari kebenaran-kebenaran yang mana Gereja berkepentingan secara utama dan esensial. 

Sehingga dalam menyebutkan ajaran ini sebagai sebuah dogma Gereja, surat Kantor Kudus hanya mengulangi apa yang telah diajarkan oleh Paus Pius IX di allocution beliau Singulari quadam, yang dikeluarkan 9 Desember 1854, dan di ensikliknya Quanto conficiamur moerore, yang dipublikasikan pada 10 Agustus 1863.[3] Karenanya dokumen kita [ie. surat Kantor Kudus] tidak membuat sumbangsih baru atas point tertentu ini. [Surat Kantor Kudus] hanya mengingatkan, suatu generasi yang mungkin telah lupa akan fakta tersebut, suatu kebenaran tertinggi yang ajaran yang berkenaan dengannya adalah bagian aktual dari wahyu umum ilahi. 

Surat kita [ie. Surat Kantor Kudus] juga membawakan dua konsekuensi penting atas fakta bahwa ajaran akan pentingnya Gereja bagi keselamatan abadi sebenarnya adalah sebuah dogma Katolik. Implikasi pertama adalah bahwa kebenaran ini adalah salah satu dari "
perkara-perkara yang selalu dikhotbahkan Gereja dan tidak akan pernah berhenti untuk dikhotbahkan." Implikasi kedua ditemukan dalam fakta bahwa Allah telah mempercayakan penjelasan yang otoritatif dan takdapatsalah dari kebenaran-kebenaran yang diwahyukan tersebut, tidak kepada keputusan pribadi, tapi kepada otoritas mengajar Gereja saja. Kedua implikasi ini sangatlah penting bagi teolog kontemporer [ie. saat ini]. Pada faktanya, Bapa Suci sendiri mengambil dua poin tersebut dalam ensikliknya Humani Generis, yang, meskipun muncul dua tahun sebelum publikasi teks penuh dari surat Kantor Kudus tersebut, sebenarnya telah ditulis setahun setelah dokumen [dari kantor Kudus] ini [ditulis]. [4] 

Dalam konteks diskusi saat ini dan kesalahpahaman yang memicu penulisan surat kita ini [ie. surat dari Kantor Kudus], pengingat-ingat bahwa Gereja tidak pernah berhenti untuk mengkhotbahkan dan tidak akan pernah berhenti untuk mengkhotbahkan kebenaran bahwa Gereja adalah penting bagi keselamatan manusia adalah [pengingat-ingat] yang tepat waktu dan berguna. Adalah penting untuk dicatat bahwa surat [Kantor Kudus] menggunakan istilah "praedicare
mengkhotbahkan." Dengan menggunakan kata ini, dokumen tersebut meyakinkan kita bahwa, sepanjang bagian sejarahnya, Gereja Katolik terus menerus menetapkan secara umum dan secara terbuka ajaran yang diterimanya dari Allah melalui Tuhan Kita dan rasul-rasulNya. Karenanya Kantor Kudus bertindak lebih dari sekedar meneguhkan bahwa Gereja selalu memelihara dan menjaga pusaka doktrinalnya. [Kantor Kudus] bersikeras bahwa Gereja tidak pernah berhenti untuk mengajarkan dogmanya sendiri. 

Nah ada kecenderungan lama diantara beberapa penulis Katolik untuk membayangkan bahwa beberapa dogma Gereja cenderung menjadi kadaluarsa, dan bahwa, atas kepentingan kemajuannya sendiri, Gereja tidak bersikeras dengan ketat atas ajaran-ajaran yang dianggap tidak selaras dengan kondisi-kondisi modern. Paus Leo XIII mengkritik dengan keras salah satu aspek dari kecenderungan ini dalam suratnya Testem benovolentiae.[5] Sudahlah sangat jelas bahwa salah satu dogma Gereja yang oleh musuh-musuhnya [ie. musuh-musuh Gereja] paling tidak sejalan dengan pemikiran modern saat ini adalah ajaran bahwa tidak ada keselamatan diluar Gereja sejati. Secara bersamaan sebuah mentalitas seperti yang dimiliki kelompok Pusat St. Benediktus cenderung berkeyakinan bahwa, paling tidak dijaman kita, Gereja universal sedang tidak mengajarkan dogma mengenai perlunya Gereja bagi keselamatan manusia secara efektif. 

Terlebih, pernyataan Kantor Kudus ini datang sebagai sebuah teguran kepada bentuk yang lebih ekstrim dari teori "state of siege" ["keadaan saling menunggu saat yang tepat untuk memulai gerakan"], yang menurut teori itu Gereja telah dengan satu cara memodifikasi kehidupan doktrinalnya sejak hari-hari Konsili Trent dengan mengambil posisi defensif. Surat kita meyakinkan kita pada titik ini bahwa Gereja tidak akan pernah melewatkan atau melunakkan dogma apapun demi kepentingan suatu mentalitas defensif atau demi alasan lainnya. 

Implikasi atau konsekuensi yang kedua yang dicatat oleh surat Kantor Kudus juga sama-sama tepat waktu. Dalam bersikeras atas fakta bahwa Penyelamat Kita telah mengungkung penjelasan dari dogmaNya, bukan kepada keputusan pribadi, tapi kepada magisterium Gereja saja, surat ini menjadikan jelas bahwa umat Katolik harus dituntun dalam pemahaman mereka akan kebenaran yang diwahyukan oleh guru-guru resmi dari Gereja Katolik, dan tidak hanya oleh pengarang-pengarang pribadi, tidak peduli bagaimana ingenious [ie. pandai dan orisinil] dan berpengaruh [pengarang-pengarang pribadi tersebut]. Dan, untuk menempatkan perkara se-konkrit mungkin, umat Katolik tidak boleh menerima ajaran apapun dari penulis-penulis pribadi, meskipun ketika ajaran-ajaran ini kelihatan seperti selaras dengan mentalitas modern, kalau ajaran-ajaran ini tidak secara ketat selaras dengan ajaran magisterium. Adalah cukup jelas bahwa ajaran pribadi seperti inilah yang dihadirkan diwaktu-waktu sekarang ini, [yaitu ajaran pribadi] mengenai subyek perlunya Gereja bagi keselamatan dan dalam bagian-bagian lain ekklesiologi [ie. ilmu kegerejaaan]. 

Tiga paragraf pertama dalam porsi doktrinal dari surat Kantor Kudus berkenaan dengan fakta bahwa ajaran "
tidak ada keselamatan diluar Gereja" adalah sebuah dogma iman Katolik, dan dengan dua konsekuensi yang mengikuti fakta tersebut. Sisa dari bagian doktrinal (satu-satunya bagian yang mana kita berkepedulian langsung dalam artikel ini) diberikan bagi suatu pemaparan atas bagaimana Gereja sendiri memahami dan mengajarkan dogma mengenai perlunya [Gereja] bagi keselamatan abadi. Dalam beberapa paragraf ini, para teolog akan menemukan tiga pembedaan, yang telah lama digunakan para teolog tradisional Gereja dalam penjelasan mereka akan perlunya Gereja bagi keselamatan, dihadirkan untuk pertama kalinya secara jelas dan berketetapan dalam sebuah pernyataan otentik magisterium Gereja sebagaimana digunakan oleh Gereja yang mengajar itu sendiri dalam pemahaman dan penjelasannya [ie. Gereja] atas dogma tersebut. [Tiga pembedaan] itu adalah (1) pembedaan antara necessity of precept [ie. perlu sebagai aturan] dan necessity of means [ie. perlu sebagai sarana], (2) pembedaan antara berada dalam gereja secara re dan berada didalamnya secara voto, dan (3) pembedaan antara niat/keinginan eksplisit dan niat/keinginan implisit untuk masuk ke Gereja Katolik. Justru karena semua pembedaan [tersebut] digunakan pertama kali dalam sebuah dokumen magisterium untuk menjelaskan perlunya Gereja bagi keselamatan sehingga surat [Kantor Kudus] ini adalah salah satu dokumen Roma yang paling penting masa kini. 

Pertama, Kantor Kudus menunjukkan kita bahwa pembedaan klasik antara necessity of precept [ie. perlu sebagai aturan] dan necessity of means [ie. perlu sebagai sarana], yang telah lama digunakan oleh para teolog kompeten dalam menjelaskan dogma perlunya Gereja bagi keselamatan, telah masuk kedalam pemahaman dan penjelasan Gereja sendiri akan doktrin [akan perlunya Gereja bagi keselamatan] tersebut. Berkenaan dengan perlunya Gereja sebagai aturan [the church’s necesity of precept], surat tersebut membawakan fakta bahwa perintah, "
untuk di-inkorporasi-kan oleh baptisan kepada tubuh Mistik Kristus, yang adalah Gereja, dan tetap bersatu kepada Kristus dan kepada WakilNya," adalah salah satu perintah yang benar-benar diberikan Tuhan Kita kepada rasul-rasulNya untuk diajarkan kepada semua bangsa. Dokumen tersebut lalu menjelaskan perlunya Gereja sebagai aturan berarti bahwa "tidak seorangpun akan diselamatkan, [kalau dia] mengetahui bahwa Gereja telah diinstitusikan secara ilahi oleh Kristus, tapi menolak untuk tunduk kepada Gereja atau menarik ketaatan dari Paus Roma, Wakil Kristus di bumi.

Surat Kongregasi Suci karenanya menyatakan secara eksplisit bahwa ada sebuah perintah yang serius yang dikeluarkan oleh Tuhan Kita sendiri kepada semua manusia, sebuah perintah agar mereka masuk dan tetap berada dalam Gereja sejati. Orang yang melanggar perintah itu akan bersalah atas sebuah dosa yang besar. Kalau dia mati dalam kondisi ketidakpatuhan atas kehendaknya sendiri itu, dia secara tidak terhindarkan lagi akan hilang selamanya [ie. ke neraka]. Begitulah makna dasar dari perlunya Gereja sebagai aturan, sebagaimana dijelaskan oleh surat dari Kantor Kudus, dan sebagaimana dipahami oleh Gereja sendiri. 

Bagaimanapun, dokumen ini juga mengajarkan kita bahwa ada lebih dari sekedar sebuah necessity of precept [ie. perlu sebagai aturan] yang berkenaan dengan dogma perlunya Gereja Katolik bagi keselamatan. Dokumen tersebut bersikeras atas fakta bahwa Tuhan Kita "
juga mendekritkan Gereja sebagai sebuah sarana keselamatan yang tanpanya tidak seorangpun dapat masuk kerajaan kemuliaan abadi." Dengan kata lain, Tuhan Kita telah melakukan dua hal: Dia memerintahkan semua orang untuk masuk kedalam Gereja; dan dia telah mendirikan masyarakat ini [ie. Gereja dan orang didalamnya] sebagai salah satu dari sumberdaya adikodrati [supernatural]yang tanpanya tidak seorangpun dapat menikmati Pandangan Kebahagiaan [Beatific Vision] sebagai seorang anggota Gereja jaya di surga. 

Pernyataan dari Kantor Kudus ini sangatlah penting dalam bidang teologi dogmatis. Selama tahun-tahun belakangan ada banyak upaya dari beberapa penulis Katolik untuk menyajikan perlunya Gereja bagi keselamatan secara eksklusif atau hampir secara eksklusif hanya sebagai sebuah necessity of precept [perlu sebagai aturan]. Sekarang dengan suara otoritatif Gereja Roma sendiri meyakinkan kita bahwa Gereja adalah perlu baik dengan necessity of precept [ie. perlu sebagai aturan] dan dengan necessity of means [ie. perlu sebagai sarana]. Surat [dari Kantor Kudus] ini adalah dokumen otoritatif pertama dimana kebenaran ini diajukan secara jelas dan eksplisit. 

Juga [dinyatakan] pada saat yang sangat tepat adalah penggunaan surat tersebut akan pembedaan teologis klasik antara berada dalam Gereja secara re dan berada didalamnya secara voto. Karenanya mereka yang ingin menjelaskan ajaran Katolik atas point ini harus menggunakan dua pembedaan ini (necessity of precept yang berbeda dengan necessity of means: berada dalam Gereja secara re yang berbeda dengan berada dalam Gereja secara voto.), kalau mereka [hendak] bertindak sebagai pendukung kebenaran Katolik yang beriman. Adalah menarik untuk dicatat bahwa Kantor Kudus tidak menggunakan istilah seperti "jiwa dan tubuh Gereja," atau "Gereja sebagai sarana biasa [ordinary] keselamatan," dalam menetapkan apa yang selalu dipahami Gereja sendiri sebagai arti dari perlunya Gereja bagi keselamatan abadi. 

Terlebih, juga adalah menarik untuk melihat konotasi dari istilah "votum" dan "desiderium," digunakan dalam komunikasi [dari] Kantor Kudus tersebut. Istilah-istilah ini diterjemahkan, tidak secara taktepat, tapi mungkin kurang mengena, dalam terjemahan Inggris resmi dari surat itu sebagai "
desire" dan "yearning" [Catatan DeusVult: aku terjemahkan di surat Kantor Kudus sebagai "keinginan" dan "kerinduan"]. Dalam menggunakan istilah-istilah tersebut Kantor Kudus menjadikan jelas bahwa, agar selamat, manusia harus bergandeng kepada Gereja secara aktual atau secara re, atau bergabung kepada Gereja oleh sebuah tindakan kehendak yang asli, berniat atau berkeinginan untuk menjadi anggota-anggota. 

Dengan kata lain, menurut konotasi dari dua istilah tersebut, votum eksplisit atas mana seorang manusia bisa bergabung dengan Gereja sehingga mencapai keselamatannya haruslah sebuah keinginan atau niatan yang nyata, dan tidak sekedar velleity [ie. sekedar keinginan tingkat paling lemah yang tidak disertai upaya untuk mendapatkan apa yang diinginkan]. Tindakan kehendak dimana votum akan Gereja yang implisit dan yang menyelamatkan itu terkandung, harus lebih dari sekedar velleity. Operasi tersebut juga harus merupakan sebuah tindakan kehendak yang efektif dan nyata. 

Dalam mengajarkan bahwa sebuah votum atau sebuah desiderium akan Gereja dapat, dalam keadaan tertentu, dengan cukup membawa seseorang kepada pencapaian Pandangan Kebahagiaan [Beatific Vision], kita tidak boleh lupa bahwa surat Kantor Kudus juga menggunakan suatu prosedur yang telah digunakan oleh para teolog Katolik tradisional selama bertahun-tahun. [Surat tersebut] mengklasifikasikan Gereja sendiri, juga dengan sakramen Baptisan dan Tobat, diantara "
bantuan-bantuan kepada keselamatan yang diarahkan kepada tujuan akhir manusia, tidak oleh keperluan intrinsik [intrinsic necessity], tapi oleh institusi ilahi." Sebaliknya, tentu saja, [surat tersebut] mengimplikasikan eksistensi dari sumberdaya-sumberdaya lain yang di-tata kepada tujuan akhir manusia menurut keperluan intrinsik [intrinsic necessity]. Realitas seperti Gereja itu sendiri, dan sakramen Baptisan dan Tobat, bisa dalam keadaan tertentu mencapai efeknya ketika hal-hal tersebut [i.e realitas Gereja, sakramen Baptisan dan Tobat] diproses dan digunakan hanya dalam niatan atau keinginan. Bantuan-bantuan dari klasifikasi yang lain, seperti rahmat pengudusan, iman, dan kasih, harus, disisi lain, dimiliki atau digunakan secara secara re agar [bantuan-bantuan tersebut] dapat mencapai tujuannya

Surat tersebut mengaplikasikan prinsip tersebut ketika surat itu meyakinkan kita bahwa, agar supaya manusia mendapatkan keselamatan abadi, "
tidaklah selalu dipersyaratkan bahwa dia di-inkorporasi-kan kedalam Gereja secara aktual sebagai seorang anggota, tapi adalah perlu bahwa paling tidak dia bersatu dengannya [ie. Gereja] oleh keinginan dan kerinduan." Hal tersebut, tentunya, merupakan ajaran yang eksplisit dari para teolog tradisional Katolik sejak masa Thomas Stapleton dan St. Robert Bellarmine.[6] Merupakan sesuatu yang tidak luar biasa bagi teologi Katolik [untuk mengajarkan] bahwa seorang manusia dapat diselamatkan kalau, ketika menemukan bahwa tidaklah mungkin untuk bergabung dengan Gereja sebagai seorang anggota, dia benar-benar secara tulus berniat atau berkeinginan untuk hidup dalam masyarakat ini. 

Kantor Kudus kemudian melanjutkan melawan apa yang mungkin merupakan kesalahan yang paling penting dan paling keras kepala dari kelompok Pusat St. Benediktus ketika [Kantor Kudus dalam suratnya] menjelaskan bahwa "
keinginan ini tidak perlu selalu bersifat eksplisit, sebagaimana yang terdapat pada katekumen"; tapi "ketika seseorang pribadi terlibat dalam ketidaktahuan yang tidak bisa diatasi [invincible ignorance] Allah menerima juga suatu keinginan implisit, [yang dinamakan demikian] karena [keinginan implisit tersebut] termasuk didalam disposisi yang baik dari jiwa dimana seorang pribadi ingin kehendaknya diselaraskan kepada kehendak Allah." 

Cukup layak untuk dicatat bahwa para teolog Gereja tidak pernah memasukkan ajaran akan Gereja itu sendiri sebagai bagian dari kebenaran-kebenaran adikodrati [supernatural] yang harus diyakini secara eksplisit jikalau ada suatu [persyaratan] minimum yang perlu bagi sebuah tindakan iman ilahi yang sejati dan menyelamatkan. Surat Kantor Kudus ini, bagaimanapun, tidak membahas theological reasoning tersebut [ie. mengenai syarat minimum yang perlu], tapi langsung mengarah kepada ajaran Paus Pius XII di ensikliknya Mystici Corporis untuk mendukung [apa yang dituliskan surat itu]. Ensiklik tersebut secara efektif mengajarkan kemungkinan keselamatan bagi orang-orang yang hanya memiliki suatu keinginan implisit untuk masuk dan hidup didalam Gereja Katolik

Dalam teks Mystici Corporis, Paus yang Berdaulat secara jelas dan otoritatif mengajarkan syarat-syarat bagi keanggotaan aktual dalam Gereja. Dia meng-issu-kan sebagai ajarannya sendiri doktrin Bellarminian [ie. doktrin yang diajarkan St. Robert Bellarmine] bahwa "
Secara aktual hanya mereka yang termasuk sebagai anggota-anggota Gereja [adalah mereka] yang telah dibaptis dan mengikrarkan iman sejati, dan yang tidak secara patut disayangkan memisahkan diri mereka sendiri dari kesatuan Tubuh, atau dikecualikan [dari kesatuan Tubuh] oleh otoritas yang sah karena kesalahan-kesalahan berat yang telah dilakukan."[7] Dia juga, bagaimanapun, berbicara mengenai kemungkinan keselamatan bagi mereka yang "berhubungan kepada Tubuh Mistik sang Penebus oleh suatu kerinduan dan keinginan bawah sadar, (inscio quodam desiderio ac voto)." Dia menggambarkan individu-individu seperti itu sebagai [orang-orang] yang hidup dalam kondisi "dimana mereka tidak dapat pasti akan keselamatan mereka" karena "mereka masih tetap terkurangkan dari banyak karunia-karunia dan bantuan-bantuan surgawi yang hanya bisa dinikmati dalam Gereja Katolik"[8] 

Kantor Kudus menafsirkan ajaran-ajaran dari Mystici Corporis ini sebagai sebuah pengutukan atas dua kesalahan. Salah satunya, yang dipertahankan secara eksplisit oleh anggota-anggota kelompok Pusat St. Benediktus, adalah ajaran bahwa tidak seorang pun terselamatkan kalau dia hanya memiliki sebuah keinginan atau niatan implisit untuk memasuki Gereja. [Ajaran] yang lain adalah ajaran bahwa manusia-manusia bisa selamat "
dengan sama baiknya (aequaliter)" dalam agama apapun. Untuk pengutukan atas kekeliruan yang terakhir tersebut, surat [Kantor Kudus] mengacu kepada dua pernyataan oleh Paus Pius IX, allocution beliau Singulari quadam dan ensiklik beliau Quanto conficiamur moerore.[9] 

Akhirnya surat tersebut membawakan dua point yang oleh banyak penulis yang membahas masalah ini dilewati terlalu cepat. [Surat tersebut] bersikeras bahwa, agar efektif bagi keselamatan abadi, niatan atau keinginan apapun untuk memasuki Gereja, apakah eksplisit atau implisit, harus digerakkan oleh kasih sempurna. Tidak ada kebaikan yang cuma berada dalam lingkup kodrati [natural] dapat mencukupi untuk menyelamatkan manusia, bahkan ketika orang itu sendiri benar-benar berniat untuk masuk dan hidup dalam Gereja sejati Yesus Kristus. Ketidak-beranggotaan Gereja, bahkan pada seseorang yang ingin menjadi Katolik, tidak dengan cara apapun membebaskan [dia] dari perlunya faktor-faktor yang dipersyaratkan bagi pencapaian Pandangan Kebahagiaan [Beatific Vision] menurut keperluan intrinsik [intrinsic necessity], dan tidak sekedar oleh alasan peng-institusi-an ilahi. 

Terlebih, Kantor Kudus juga bersikeras atas perlunya iman yang adikodrati [supernatural] dan sejati pada setiap orang yang mendapatkan keselamatan abadi. Seorang manusia bisa [punya] ketidaktahuan yang tidak bisa diatasi [invincibly ignorance] akan Gereja Katolik, dan tetap diselamatkan oleh karena sebuah keinginan atau niatan implisit untuk masuk dan hidup kedalam masyarakat tersebut. Tapi kalau dia selamat, dia mendapatkan Pandangan Kebahagiaan [Beatific Vision] sebagai orang yang telah mati dengan iman adikodrati [supernatural] yang asli. Dia harus secara aktual dan secara eksplisit menerima beberapa kebenaran definitif tertentu yang telah diwahyukan secara adikodrati [supernatural] oleh Allah. Dia harus menerima secara eksplisit dan tepat sebagai kebenaran yang diwahyukan eksistensi Allah sebagai Kepala dari tatanan adikodrati [supernatural] dan fakta bahwa Allah mengganjar yang baik dan menghukum kejahatan. Surat kita [ie. surat dari Kantor Kudus] secara jelas menyinggung dengan singkat akan perlunya [hal tersebut] ketika surat itu mengutip, dalam mendukung ajaran [yang dibawanya] mengenai perlunya iman adikodrati [supernatural] dalam semua yang terselamatkan, kata-kata dari Surat kepada umat Ibrani: "
Karena dia yang datang kepada Allah harus mempercayai bahwa Allah itu ada dan [Dia] adalah pengganjar [hadiah] bagi mereka yang mencariNya."[10] 

Sekarang banyak teolog yang mengajarkan bahwa kandungan eksplisit minimum dari iman yang adikodrati [supernatural] dan menyelamatkan termasuk, tidak hanya kebenaran akan eksistensi Allah dan tindakanNya sebagai Pengganjar yang baik dan Penghukum yang jahat, tapi juga misteri Trinitas dan Inkarnasi. Harus dicatat bahwa pada titik ini tidak ada petunjuk niatan apapun dari Kantor Kudus, dalam mengutip teks dari Surat kepada umat Ibrani ini, untuk mengajarkan bahwa kepercayaan eksplisit dalam misteri Trinitas dan Inkarnasi tidak dipersyaratkan bagi pencapaian keselamatan.Dalam konteks surat tersebut, Kongregasi Suci mengutip ayat [dari Surat kepada umat Ibrani] tepatnya sebagai bukti dari pernyataannya bahwa sebuah keinginan yang implisit akan Gereja tidak dapat menghasilkan efek tersebut [ie. efek masuk kedalam Gereja] "
kecuali seseorang mempunyai iman yang adikodrati [supernatural]." 

Namun, ajaran dari surat tersebut harus dilihat [dalam terang] ajaran Katolik lainnya. Dan adalah benar-benar merupakan bagian dari ajaran Katolik bahwa kebenaran-kebenaran terwahyukan yang mendasar harus diterima dan dipercayai secara eksplisit, meskipun ajaran-ajaran lain yang terkandung dalam deposito iman boleh, dalam keadaan tertentu dipercayai hanya dengan iman implisit. Iman yang sejati dan adikodrati [supernatural], harus kita ingat, bukanlah sekedar kesiapan untuk mempercayai, tapi sebuah kepercayaan aktual, penerimaan aktual atas ajaran-ajaran definitif yang secara aktual telah diwahyukan secara adikodrati [supernatural] oleh Allah kepada manusia, sebagai sesuatu yang benar.[11] Terlebih, iman yang adikodrati [supernatural] dan menyelamatkan ini adalah sebuah penerimaan atas ajaran-ajaran ini, bukan sebagai ajaran yang dapat dipastikan secara kodrati [natural], tapi justru karena [ajaran tersebut adalah] pernyataan yang diwahyukan, yang harus diterima atas otoritas Allah yang telah mewahyukannya kepada manusia

Porsi doktrinal dari surat Kantor Kudus diakhiri dengan deklarasi bahwa, dalam terang apa yang diajarkan dokumen itu sendiri, "
sudahlah terbukti bahwa hal-hal yang diajukan dalam [terbitan] periodik 'from the Housetops,' fascicle 3, sebagai ajaran Gereja Katolik yang asli adalah jauh dari itu [ie. jauh dari ajaran Gereja Katolik asli] dan merupakan sesuatu yang sangat merusak baik kepada mereka yang berada dalam Gereja dan mereka diluarnya." Terbitan dari from the Housetops yang disebut oleh Surat [Kantor Kudus] mengandung hanya satu artikel, ditulis oleh Tn. Raymond Karam dari kelompok Pusat St. Benediktus, dan berjudul "Tanggapan kepada seorang Liberal." 

Kesalahan yang paling penting yang terkandung dari artikel itu adalah pengingkaran akan kemungkinan keselamatan bagi setiap orang yang hanya mempunyai keinginan implisit untuk masuk Gereja Katolik. Juga ada ajaran buruk mengenai persyaratan bagi justifikasi, yang terbedakan dari persyaratan bagi keselamatan. Kesalahan yang pertama [ie. kesalahan artikel periodik From the Housetops yang membedakan antara persyaratan mengenai justifikasi dan persyaratan mengenai keselamatan] telah diindikasikan dalam terbitan sebelumnya dari The American Ecclesiastical Review.[12] 

Surat Kantor Kudus sejauh ini adalah pernyataan otoritatif yang paling komplit mengenai perlunya Gereja bagi keselamatan dan [atas penjelasan dari ajaran tersebut] yang pernah dikeluarkan tahta Suci sampai saat ini. Sejumlah besar dokumen dahulu kala telah meneguhkan dogma tersebut. Ensiklik Mystici Corporis menunjukkan dengan jelas bahwa penjelasan dari ajaran ini melibatkan sebuah pengakuan akan fakta bahwa keselamatan adalah mungkin bagi manusia-manusia "
yang berhubungan kepada Tubuh Mistik sang Penebus oleh suatu kerinduan dan keinginan bawah sadar,"[13] Ensiklik Humani Generis mengecam dengan keras mereka yang "mereduksi menjadi sebuah rumusan kosong perlunya berada dalam Gereja sejati untuk memperoleh keselamatan abadi."[14] 

Masihlah tetap bagi dokumen saat ini untuk menyatakan dan untuk mempergunakan pembedaan antara necessity of precept [ie. perlu sebagai aturan] dan necessity of means [ie. perlu sebagai sarana], untuk menjelaskan yang terakhir [ie. necessity of means] dalam artian berada dalam Gereja secara re dan secara voto, dan secara eksplisit membedakan antara niatan eksplisit dan implisit untuk memasuki Gereja. Karena [surat Kantor Kudus] tersebut telah melakukan hal-hal itu, dan karena surat itu telah menggabungkan ajaran mengenai perlunya Gereja dengan ajaran-ajaran akan perlunya iman dan [perlunya] kasih, surat Kantor Kudus akan berdiri sebagai salah satu pernyataan doktrinal yang otoritatif di jaman modern ini. 


+Joseph Clifford Fenton 

The Catholic University of America 

Washington, D.C.








Surat dari Kongregasi Suci Kantor Kudus 
[Catatan DeusVult: Sekarang namanya "Kongregasi Ajaran Iman"] 

Surat dari kantor Kudus yang penting ini diawali dengan sebuah surat dari Uskup Agung Boston yang Terkudus. 



Surat dari Uskup Agung Cushing 

Kongregasi Suci Tertinggi Kantor Kudus telah memeriksa masalah mengenai Romo Leonard Feeney dan Pusat St. Benediktus. Setelah mempelajari dengan hati-hati publikasi yang dikeluarkan oleh Pusat tersebut, dan setelah mempertimbangkan semua hal yang berkenaan dengan kasus ini, Kongregasi Suci telah memerintahkan aku untuk mempublikasikan, dalam keseluruhannya, surat yang telah dikirimkan Kongregasi tersebut kepadaku pada 8 Agustus 1949. Paus Tertinggi, Yang Tersuci, Paus Pius XII, telah memberikan persetujuan penuh kepada keputusan ini. Dalam kepatuhan, karenanya, kami mempublikasikan, dalam keseluruan, teks Latin dari surat tersebut sebagaimana diterima dari Kantor Kudus bersama dengan sebuah terjemahan Ingris yang juga telah disetujui oleh Tahta Suci. 

Diberikan di Boston, Massachusett, 4 September 1952. 

Walter J. Furlong, Penasehat 

+ Richard J. Cushing, Uskup Agung Boston




SURAT DARI KANTOR KUDUS [ie. Kongregasi Ajaran Iman] 

Dari Markas Pusat Kantor Kudus, 8 Agustus 1949. 

Yang Mulia:

Kongregasi Suci Tertinggi ini telah mengikuti secara penuh perhatian kemunculan dan arah dari kontroversi besar yang ditimbulkan oleh anggota-anggota tertentu dari "Pusat St. Benediktus" and "Kolose Boston" dalam hal penafsiran aksioma: "Diluar Gereja tidak ada keselamatan." 

Setelah memeriksa semua dokumen yang perlu dan berguna dalam masalah ini, diantaranya informasi dari kantor arsip anda, begitu juga banding-banding dan laporan-laporan dimana anggota-anggota "Pusat St. Benediktus" menjelaskan pendapat-pendapat dan keluhan-keluhan mereka, dan juga berbagai dokumen lain yang berkenaan kepada kontroversi [ini], [yang di]kumpulkan secara resmi, Kongregasi Suci ini yakin bahwa kontroversi yang patut disayangkan ini timbul dari fakta bahwa aksioma, "diluar Gereja tidak ada keselamatan," tidak dipahami dan ditimbang dengan benar, dan bahwa kontroversi tersebut telah menjadi lebih pahit karena gangguan disilin serius yang timbul atas fakta bahwa beberapa anggota-anggota dari insitusi yang disebut diatas menolak penghormatan dan ketaatan kepada otoritas yang sah. 

Sesuai dengannya, para Kardinal yang tersohor dan terhormat [catatan DeusVult: mungkin terjemahan Most Eminent dan Most Reverend itu kurang tepat] dari Kongregasi Tertinggi ini, dalam sebuah sessi pertemuan yang diadakan pada Rabu, 27 Juli 1949, berkenan memberikan persetujuan bahwa penjelasan-penjelasan berikut berkenaan dengan ajaran, dan juga bahwa ajakan dan penganjuran yang patut untuk mendisiplinkan [seyogyanya] diberikan:
 

Kami terikat oleh iman yang ilahi dan Katolik untuk mempercayai semua hal yang terkandung dalam sabda Allah, apakah itu di Kitab Suci atau Tradisi, dan [semua hal] yang diajukan oleh Gereja untuk dipercayai sebagai sesuatu yang diwahyukan secara ilahi, bukan hanya melalui keputusan meriah tapi juga melalui kuasa [ie. "office"] mengajar biasa dan universal (Denzinger, n. 1792). 

Sekarang, diantara perkara-perkara yang selalu dikhotbahkan Gereja dan tidak akan pernah berhenti untuk dikhotbahkan, terkandung juga pernyataan takbisasalah yang mana kita diajarkan bahwa tidak ada keselamatan diluar Gereja. 

 

Namun dogma ini harus dimengerti dalam artian yang dimengerti Gereja sendiri. Karena, bukanlah kepada keputusan pribadi Penebus Kita memberikan penjelasan mengenai hal-hal yang terkandung dalam deposito iman, tapi kepada otoritas mengajar Gereja. 

 

Nah, pertama-tama, Gereja mengajarkan bahwa dalam perkara ini ada pertanyaan mengenai sebuah perintah yang ketat oleh Yesus Kristus. Karena Dia secara eksplisit menginstruksikan kepada rasul-rasulNya untuk mengajarkan kepada semua bangsa untuk melakukan segala sesuatu yang Dia sendiri perintahkan (Mat 28:19-20). 

 

Nah, diantara perintah-perintah Kristus, yang tidak kita yakini paling bawah, adalah [bahwa] kita diperintahkan untuk di-inkorporasi-kan oleh baptisan kepada tubuh Mistik Kristus, yang adalah Gereja, dan tetap bersatu kepada Kristus dan kepada WakilNya, yang melalui [sang Wakil tersebut] Dia sendiri secara kasat mata memerintah Gereja di bumi. 

 

Karenanya, tidak seorangpun akan diselamatkan, [kalau dia] mengetahui bahwa Gereja telah diinstitusikan secara ilahi oleh Kristus, tapi menolak untuk tunduk kepada Gereja atau menarik ketaatan dari Paus Roma, Wakil Kristus di bumi. 

 

Tidak hanya Sang Penyelamat memerintahkan agar semua bangsa masuk Gereja, tapi Dia juga mendekritkan Gereja sebagai sebuah sarana keselamatan yang tanpanya tidak seorangpun dapat masuk kerajaan kemuliaan abadi. 

Dalam kerahiman takterbatasnya Allah telah menghendaki bahwa efek-efek, diperlukan bagi seseorang untuk diselamatkan, dari bantuan-bantuan kepada keselamatan yang diarahkan kepada tujuan akhir manusia, tidak oleh keperluan intrinsik [intrinsic necessity], tapi oleh institusi ilahi, juga dapat didapatkan dalam keadaan-keadaan tertentu ketika bantuan-bantuan tersebut digunakan hanya dalam keinginan dan kerinduan. Ini kita lihat jelas dinyatakan dalam Konsili Kudus Trent, baik pada acuan kepada sakramen regenerasi [ie. baptisan] dan pada acuan kepada sakramen tobat (Denzinger, nn. 797, 807). 

 

Yang sama dalam tingkatannya sendiri juga harus dinyatakan dengan teguh akan Gereja, sepanjang dia [ie. Gereja] adalah bantuan yang umum kepada keselamatan. Karenanya, jikalau seseorang bisa mendapatkan keselamatan abadi, tidaklah selalu dipersyaratkan bahwa dia di-inkorporasi-kan kedalam Gereja secara aktual sebagai seorang anggota, tapi adalah perlu bahwa paling tidak dia bersatu dengannya [ie. Gereja] oleh keinginan dan kerinduan. 

 

Namun keinginan ini tidak perlu selalu bersifat eksplisit, sebagaimana yang terdapat pada katekumen; tapi ketika seseorang pribadi terlibat dalam ketidaktahuan yang tidak bisa diatasi [invincible ignorance] Allah menerima juga suatu keinginan implisit, [yang dinamakan demikian] karena [keinginan implisit tersebut] termasuk didalam disposisi yang baik dari jiwa dimana seorang pribadi ingin kehendaknya diselaraskan kepada kehendak Allah. 

 

Hal-hal ini jelas diajarkan dalam surat dogmatis yang di-issu-kan oleh Paus yang Berdaulat, Paus Pius XII pada 29 Juni 1943, Mengenai Tubuh Mistik Kristus [Mystici Corporis Christi] (AAS, Vol. 35, an. 1943, p. 193 ff.). Sebab dalam surat ini Paus Yang Berdaulat jelas membedakan antara mereka yang secara aktual di-inkorporasi-kan kedalam Gereja sebagai anggota-anggota, dan mereka yang bersatu kepada Gereja hanya oleh keinginan. 

 

Ketika membahas anggota-anggota dimana tubuh Mistik Kristus di dunia terdiri dari, Paus terhormat yang sama berkata: "Secara aktual hanya mereka yang termasuk sebagai anggota-anggota Gereja [adalah mereka] yang telah dibaptis dan mengikrarkan iman sejati, dan yang tidak secara patut disayangkan memisahkan diri mereka sendiri dari kesatuan Tubuh, atau dikecualikan [dari kesatuan Tubuh] oleh otoritas yang sah karena kesalahan-kesalahan berat yang telah dilakukan." 

Menuju ke akhir dari surat ensiklik yang sama, ketika dengan penuh perhatian [Paus Pius XII] mengundang kepada kesatuan mereka yang tidak merupakan milik dari tubuh Gereja Katolik, dia menyebutkan bahwa mereka yang "berhubungan kepada Tubuh Mistik sang Penebus oleh suatu kerinduan dan keinginan bawah sadar," dan mereka-mereka ini tidak dimaksudkan beliau [ie. Pius XII] terkecualikan dari keselamatan abadi, tapi disisi lain menyatakan bahwa mereka dalam sebuah kondisi "dimana mereka tidak dapat pasti akan keselamatan mereka" karena "mereka masih tetap terkurangkan dari banyak karunia-karunia dan bantuan-bantuan surgawi yang hanya bisa dinikmati dalam Gereja Katolik" (AAS, 1. c., p. 243). Dengan kata-kata bijak ini, dia menegur mereka yang mengecualikan dari keselamatan semua yang bersatu dengan Gereja hanya oleh keinginan implisit, dan mereka yang secara keliru meneguhkan bahwa orang-orang bisa diselamatkan dengan sama baiknya dalam semua agama (bdk. Paus Pius IX, Allocution, Singulari quadam, di Denzinger, n. 1641 ff.; juga Paus Pius IX di surat ensiklik, Quanto conficiamur moerore, di Denzinger, n. 1677). 

 

Tapi tidak boleh dipikirkan bahwa tiap jenis keinginan apapun untuk memasuki Gereja telah memadai untuk [membuat] seseorang diselamatkan. Adalah perlu bahwa keinginan tersebut yang membuat seseorang dihubungkan dengan Gereja, digerakkan oleh kasih sempurna. Tidak pula keinginan yang implisit akan menghasilkan efek ini, kecuali seseorang mempunyai iman yang adikodrati [supernatural]: "Karena dia yang datang kepada Allah harus mempercayai bahwa Allah itu ada dan [Dia] adalah pengganjar [hadiah] bagi mereka yang mencariNya" (Ibr 11:6). Konsili Trent mendeklarasikan (Sessi VI, Bab. 8): "Iman adalah permulaan keselamatan seseorang, dasar dan akar dari semua pembenaran, tanpanya tidaklah mungkin untuk menyenangkan Allah dan mendapatkan persahabatan dengan anak-anakNya" (Denzinger, n. 801). 

 

Dari apa yang telah dikatakan sudahlah terbukti bahwa hal-hal yang diajukan dalam [terbitan] periodik from the Housetopsfascicle 3, sebagai ajaran Gereja Katolik yang asli adalah jauh dari itu [ie. jauh dari ajaran Gereja Katolik asli] dan merupakan sesuatu yang sangat merusak baik kepada mereka yang berada dalam Gereja dan mereka diluarnya. 

 

Dari deklarasi-deklarasi ini yang berkenaan dengan ajaran, mengikut beberapa kesimpulan yang berkenaan dengan disiplin dan perlakuan, dan yang tidak dapat tak-diketahui oleh mereka yang secara bersemangat membela [ajaran] perlunya, dimana semua orang terikat [atas keperluan tersebut], berada dalam Gereja sejati dan tunduk kepada otoritas Paus Roma dan Uskup-Uskup "yang ditempatkan Roh Kudus . . . untuk memerintah Gereja" (Acts 20:28). 

 

Karena itu, tidak dapat dimengerti bagaimana Pusat St. Benediktus bisa secara konsisten meng-klaim sebagai sekolah Katolik dan ingin dianggap sebagaimananya [ie. sebagai sekolah Katolik], dan tidak mematuhi preskripsi kanon 1381 dan 1382 dari Hukum Kanon, dan tetap eksis sebagai sebuah sumber perpecahan dan pemberontakan melawan otoritas gerejawi dan sebagai sumber gangguan banyak suara hati. 

 

Terlebih, adalah diluar pemahaman bagaimana seorang anggota dari sebuah Institusi religius, yaitu Romo Feeney, menyatakan diri sendiri sebagai seorang "Pembela Iman," dan pada saat yang sama tidak ragu-ragu untuk menyerang instruksi katekesis yang dinyatakan oleh otoritas yang sah, dan bahkan tidak takut untuk menerima ancaman sanksi berat oleh kanon-kanon kudus karena pelanggaran yang serius akan tugasnya sebagai seorang kaum religius, seorang imam, dan seorang anggota biasa dari Gereja. 

 

Pada akhirnya, tidaklah bisa dengan bijaksana ditoleransi bahwa umat-umat Katolik tertentu dapat meng-klaim bagi diri mereka sendiri hak untuk mempublikasikan sebuah periodikal, dengan tujuan untuk menyebarluaskan ajaran-ajaran teologis, tanpa ijin dari otoritas Gereja yang kompeten, yang disebut "imprimatur," sebagaimana diatur dalam kanon-kanon suci. 

 

Karenanya, biarlah mereka yang dalam bahaya berat sedang melawan Gereja, dengan serius mengingat bahwa setelah "Roma berbicara" mereka tidak dapat dimaklumi bahkan oleh alasan ketulusan iman [catatan DeusVult: untuk frase "good faith" aku terjemahkan "ketulusan iman"]. Tentunya, ikatan dan tugas atas kepatuhan mereka [ie. orang-orang Pusat St. Benediktus] kepada Gereja adalah lebih berat daripada mereka yang masih berhubungan dengan Gereja "hanya melalui suatu keinginan bawah sadar." Biarlah mereka sadar bahwa mereka adalah anak-anak Gereja yang dengan penuh kasih dipelihara oleh susu-susu ajaran dan sakramennya, dan karenanya, setelah mendengarkan suara jelas dari sang Bunda [ie. Gereja sebagai bunda], mereka tidak dapat lepas dari ketidaktahuan yang timbul atas kesalahan mereka sendiri, dan karenanya kepada mereka terkenakan tanpa batasan prinsip: ketundukan kepada Gereja Katolik dan kepada Paus Yang Berdaulat dipersyaratkan sebagai sesuatu yang perlu bagi keselamatan.


Dalam mengirimkan surat ini, aku menyatakan penghargaan tertinggiku, dan tetap, 

Your Excellency's most devoted, [Catatan DeusVult: tidak diterjemahkan] 

+ F. Cardinal Marchetti-Selvaggiani. 

A
. Ottaviani, Penilai. 

(Pribadi); Kantor Kudus, 8 Agustus 1949.

Dengan susah payah aku terjemahkan Suprema Haec Sacra DAN, ini yang penting, tulisan Mgr. Joseph Clifford Fenton yang menjelaskan dokumen tersebut


Patut dibaca untuk memahami dogma "extra ecclesiam nulla salus" (diluar Gereja tidak ada keselamatan) dengan benar. Aku harap kalian membaca tulisan Mgr. Fenton dahulu BARU membaca dokumen Suprema Haec Sacra. Karena itulah aku tempatkan tulisan Mgr. Fenton di atas. 


Silahkan di copy/paste dan diberikan kepada yang berkepentingan terutama para hierarkhi yang masih kurang memahami ajaran penting ini


TAPI HARAP DIINFORMASIKAN DARIMANA TERJEMAHAN INI KAMU DAPATKAN, SEBAB BANYAK SEKALI ISTILAH TEOLOGIS YANG AKU TERJEMAHKAN SEMAMPUKU, SEHINGGA MUNGKIN SALAH. Jadi nanti kalau ada orang yang kebingungan, mereka bisa langsung menuju ke forum ini. 


Pertama akan aku hadirkan versi Inggrisnya yang merupakan bahan asli dari yang aku terjemahkan (terjemahan Indo dibawah): 


THE HOLY OFFICE LETTER ON THE NECESSITY OF THE CATHOLIC CHURCH 

Monsignor Joseph Clifford Fenton
 

[an excerpt from the 1952 edition of the American Ecclesiastical Review. Bold emphasizes are mine, ie. DeusVult

------ 


The science of sacred theology has been greatly aided by Archbishop Cushing’s action in publishing the full text and the official English translation of the Holy Office letter on the Church’s necessity for salvation. This letter, the third of three Roman documents to directly deal with this dogma over the course of the last ten years, contains the accurate and authoritative explanation of a divinely revealed truth that had been very frequently misinterpreted in recent Catholic writing. The publication of this document can and should serve to bring about a decided improvement in the treatment of the dogma of the Church’s necessity for salvation in our popular Catholic literature. 

The text of the letter consists of twenty-four paragraphs. The first three of these are introductory, and speak of the circumstances that prompted the issuance of this message. The following sixteen deal with "explanationes…ad doctrinam pertinentes." The last five paragraphs contain "invitamenta atque exhortationes, quae ad disciplinam spectant." 

In the introduction, the letter asserts that it is dealing with a grave or serious controversy which has been stirred up (excitata) by people connected with St. Benedict Center and Boston College. It further states that the Holy Office believes that the controversy arose in the first place because of a failure properly to grasp and to appreciate the axiom "extra Ecclesiam nulla sallus," and that the dispute became embittered by reason of the fact that some of those associated with St. Benedict Center and with Boston College refused respect and obedience to legitimate ecclesiastical authorities. 

Both here and in the doctrinal part of the letter we encounter the clear implication that the Holy Office is taking cognizance of many varieties of mistakes about the Catholic Church’s necessity for salvation. When the letter sets out to place the blame for the embitterment of the controversy, it directly inculpates the St. Benedict Center group, which was guilty of disrespect and disobedience to ecclesiastical authority, and which, incidentally, was originally punished precisely for that disobedience. When, on the other hand, the document speaks of the origin of the dispute, it simply ascribes the controversy itself to a failure to know and to appreciate the formula "extra ecclesiam nulla sallus." Those who have studied in any detail the copious modern writings on this subject are well aware that there have been several faulty explanations of this dogma published during the first part of the present century.[1] 

Thus what makes this letter from the Holy Office so outstandingly important is the fact that it sets out, not only to correct the basic misinterpretation of the dogma made by the St. Benedict Center group, but to show the doctrinal quality of the teaching itself and to offer an accurate, full, and authoritative outline of its explanation. In accomplishing its purpose, the Holy Office letter has given to Catholic theologians by far the most complete and detailed exposition of the dogma that the Catholic Church is necessary for salvation which has yet to come from the ecclesiastical magisterium. 

The specifically doctrinal portion of the Holy Office letter opens with a paragraph which repeats what the Vatican Council taught about those truths which we are bound to believe with the assent of divine and Catholic Faith. The letter tells us that "
we are bound to believe with divine and Catholic faith all of those things contained in God’s message that comes to us by way of Scripture or Tradition (quae in verbo Dei scripto vel tradito continentur), and which are proposed by the Church, not only in solemn judgment, but also by its ordinary and universal teaching activity, to be believed as divinely revealed."[2] 

Now the teachings we are obliged to believe with the assent of divine and Catholic faith are the truths which we know as the dogmas of the Catholic Church. These dogmas are truths which the apostles of Jesus Christ preached to His Church as statements which had been supernaturally communicated or revealed by God Himself. They constitute the central or primary object of the Church’s infallible teaching activity. 

It is important to note that our Holy Office letter describes the doctrine "
that there is no salvation outside the Church," not only as an infallible teaching, but also as a dogma. It insists, in other words, that this doctrine is not merely something connected with God’s public and supernatural message, but that it belongs to the revealed message itself. The doctrine is presented as a truth which the apostles themselves delivered to the Church as a statement which God had supernaturally revealed to men through Our Lord. It is one of the truths with which the Church is primarily and essentially concerned. 

In thus designating this teaching as a dogma of the Church, the Holy Office letter merely repeated what Pope Pius IX had taught in his allocution Singulari quadam, issued Dec. 9, 1854, and in his encyclical Quanto conficiamur moerore, published on Aug. 10, 1863.[3] Thus our document does not make any new contribution on this particular point. It merely recalls, for a generation which might have forgotten the fact, the sovereign truth that the teaching with which it is concerned is an actual part of divine public revelation. 

Our letter also brings out two important consequences of the fact that the doctrine of the Church’s necessity for eternal salvation is actually a Catholic dogma. The first implication is that this truth is one of "
those things which the Church has always preached and will never cease to preach." The second implication is to be found in the fact that God has entrusted the authoritative and infallible explanation of these revealed truths, not to private judgment, but to the teaching authority of the Church alone. Both of these implications are highly important for our contemporary theologians. As a matter of fact, the Holy Father himself took up these two points in his encyclical Humani generis, which, though it appeared two years before the publication of the full text of the Holy Office letter, was actually written a year after this document.[4] 

In the context of the present discussion and the misunderstandings which occasioned the writing of our letter, the reminder that the Church has never ceased to preach and will never cease to preach the truth that it is necessary for man’s salvation is timely and advantageous. It is important to note that the letter uses the term "praedicare
to preach." By employing this word, the document assures us that, during every part of its history, the Catholic Church continues to set forth publicly and openly the teaching it has received from God through Our Lord and His apostles. Thus the Holy Office does more than merely affirm that the Church has always conserved and guarded its doctrinal treasures. It insists that the Church has never ceased to teach its own dogma. 

Now there has been a long tendency on the part of some Catholic writers to imagine that certain dogmas of the Church tend to grow obsolete, and that, in the interests of its own progress, the Church does not insist too rigorously upon those teachings which are represented as out of touch with modern conditions. Pope Leo XIII reproved one aspect of this tendency in his letter Testem benevolentiae.[5] It is perfectly manifest that the one dogma of the Church which its enemies would consider as least in line with the currents of modern thought is the teaching that there is no salvation outside of the true Church. Similarly a mentality like that of the St. Benedict Center group would tend to hold that, at least in our time, the Church universal has not been teaching the dogma of its own necessity for man’s salvation effectively. 

Moreover, this statement of the Holy Office letter comes as a rebuke to the more extreme forms of the much discredited "state of siege" theory, according to which the Church has in some way modified its doctrinal life since the days of the Council of Trent by adopting an artificially defensive position. Our letter assures us at this point that the Church will never pass over or soft-pedal any of its dogmas, in the interests of a so-called defensive mentality or for any other reason. 

The second implication or consequence noted by the Holy Office letter is equally timely. In insisting upon the fact that Our Saviour has confined the explanation of His dogma, not to private judgment, but to the ecclesiastical magisterium alone, the letter makes it perfectly clear that Catholics are to be guided in their understanding of revealed truth by the official teachers of the Church, and not by any merely private authors, however ingenious and influential these latter may be. And, to put the matter as concretely as possible, Catholics are not to accept any teachings of private writers, even when these teachings seem particularly in harmony with the modern mentality, if these teachings are not strictly in accord with the doctrine of the magisterium. It is quite obvious that private teachings of this sort have been presented in recent times, on the subject of the Church’s necessity for salvation and in other sections of ecclesiology. 

These first three paragraphs in the doctrinal portion of the Holy Office letter deal with the fact that the teaching that "
there is no salvation outside the Church" is a dogma of the Catholic faith, and with two of the consequences that follow upon that fact. The remainder of the doctrinal section (the only one with which we are directly concerned in this article) is given over to an exposition of the way in which the Church itself understands and teaches the dogma of its own necessity for eternal salvation. In these few paragraphs, theologians will find that three distinctions, long used by the Church’s traditional theologians in their explanation of the Church’s necessity for salvation, are here, for the first time, presented clearly and decisively in an authentic statement of the Church’s magisterium as employed by the teaching Church itself in its own understanding and explanation of the dogma. They are (1) the distinction between a necessity of precept and the necessity of means, (2) the distinction between belonging to the Church in re and belonging to it in voto, and (3) the distinction between an explicit and an implicit intention or desire to enter the Catholic Church. It is precisely because all of these distinctions are used for the first time in a document of the magisterium to explain the Church’s necessity for salvation that this letter is one of the most important Roman documents of recent times. 

First, the Holy Office shows us that the classical distinction between the necessity of precept and the necessity of means, long used by competent theologians in explaining the dogma of the Church’s necessity for salvation, actually enters into the Church’s own understanding and explanation of this doctrine. Dealing with the Church’s necessity of precept, the letter brings out the fact that the command, "
to be incorporated by Baptism into the Mystical Body of Christ, which is the Church, and to remain united to Christ and to His Vicar." Is one of the orders which Our Lord actually commissioned His apostles to teach to all nations. The document goes on to explain the Church’s necessity of precept to mean that "no one will be saved who, knowing the Church to have been divinely established by Christ, nevertheless refuses to submit to the Church or withholds obedience from the Roman Pontiff, the Vicar of Christ on earth.

The Sacred Congregation’s letter thus states explicitly that there is a serious command issued by Our Lord Himself to all men, a command that they should enter and remain within the true Church. The man who disobeys that command is guilty of serious sin. If he should die in that state of willful disobedience, he will inevitably be lost forever. Such is the basic meaning of the Church’s necessity of precept, as explained by the letter from the Holy Office, and as understood by the Church itself. 

This document also teaches us, however, there is more than a necessity of precept involved in the dogma of the Catholic Church’s necessity for salvation. It insists upon the fact that Our Lord has "
also decreed the Church to be a means of salvation, without which no one can enter the kingdom of eternal glory." In other words, Our Saviour has done two things: He has commanded all men to enter the Church; and He has established this society as one of the supernatural resources apart from which no man can enjoy the Beatific Vision as a member of the Church triumphant in heaven. 

This statement by the Holy Office is tremendously important in the field of dogmatic theology. For many years past there have been attempts on the part of some Catholic writers to depict the Church’s necessity for salvation as exclusively or almost exclusively a mere necessity of precept. Now the authoritative voice of the Roman Church itself assures us that the Church is necessary both with the necessity of precept and with the necessity of means. This letter is the first authoritative document in which this truth is set forth clearly and explicitly. 

Likewise of tremendous moment is the letter’s use of the classical theological distinction between belonging to the Church in re and belonging to it in voto. Henceforth those who wish to explain Catholic teaching on this point should use these two distinctions (necessity of precept as distinct from necessity of means: belonging to the Church in re as distinct from belonging to it in voto.), if they are to act as faithful exponents of Catholic truth. It is interesting to note that the Holy Office has made no use of such terminology as "the soul and the body of the Church," or "the Church as the ordinary means of salvation," in setting forth what the Church itself has always understood as the meaning of its own necessity for eternal salvation. 

Furthermore, it is also interesting to see the connotations of the terms "votum" and "desiderium," used here by the Holy Office communication. These terms are translated, not incorrectly, but perhaps somewhat inadequately, in the official English translation of the letter as "
desire" and "yearning." In employing these terms the Holy Office makes it clear that, in order to be saved, men must either be attached to the Church actually or in re as members, or be joined to the Church by a genuine act of the will, intending or desiring to become members. 

In other words, according to the connotations of these two terms, the explicit votum by which a man may be joined to the Church so as to achieve his salvation must be a real desire or intention, and not a mere velleity. The act of the will in which the implicit salvific votum of the Church is contained must likewise be more than a mere velleity. This operation also must be a real and effective act of the will. 

In teaching that a votum or a desiderium of the Church can, under certain circumstances, suffice to bring a man to the attainment of the Beatific Vision, we must not forget that the Holy Office letter likewise uses a procedure which has been employed by the traditional Catholic theologians for many years. It classifies the Church itself, along with the sacraments of Baptism and Penance, among "
those helps to salvation which are directed toward man’s final end, not by intrinsic necessity, but only by divine institution." Conversely, of course, it thus implies the existence of other resources which are ordered to man’s ultimate goal by way of intrinsic necessity. Realties like the Church itself, and the sacraments of Baptism and Penance, may under certain circumstances achieve their effect when they are processed or used only in intention or desire. Helps of the other classification, like sanctifying grace, faith, and charity, must, on the other hand, be possessed or used in re if they are to achieve their purpose at all. 

The letter applies this principle when it assures us that, in order for a man to obtain eternal salvation, "
it is not always required that he be incorporated into the Church actually as a member, but it is necessary that at least he be united to her by desire and longing." Such, of course, has been the explicit teaching of traditional Catholic theologians since the days of Thomas Stapleton and St. Robert Bellarmine.[6] It is a commonplace of Catholic theology that a man could be saved if, finding it impossible to actually to join the Church as a member, he really sincerely intended or desired to live within this society. 

The Holy Office then proceeds against what has been perhaps the most obstinate and important error of the St. Benedict Center group when it explains that "
this desire need not always be explicit, as it is in catechumens"; but that "when a person is involved in invincible ignorance, God accepts also an implicit desire, so called because it is included in that good disposition of soul whereby a person wishes his will to be conformed to the will of God.

It is noteworthy that the theologians of the Church have never included the doctrine of the Church itself among those supernatural truths which must be held explicitly if there is to be the necessary minimum for an act of true and salvific divine faith. The Holy Office letter, however, does not go to this theological reasoning, but directly to the authoritative teaching of Pope Pius XII in his encyclical Mystici Corporis to back up its contention. That encyclical effectively taught the possibility of salvation for persons who have only an implicit desire to enter and to live within the Catholic Church. 

In the text of the Mystici Corporis, the Sovereign Pontiff clearly and authoritatively taught the requisites for actual membership in the Church. He issued as his own teaching the Bellarminian doctrine that "
Actually only those are to be included as members of the Church who have not been so unfortunate as to separate themselves from the unity of the Body, or been excluded by legitimate authority for grave faults committed."[7] He likewise, however, spoke of the possibility of salvation for those who "are related to the Mystical Body by a certain unconscious yearning and desire (inscio quodam desiderio ac voto)." He depicted such individuals as existing in a state "in which they cannot be sure of their salvation" since "they still remain deprived of those many heavenly gifts and helps which can only be enjoyed in the Catholic Church."[8] 

The Holy Office interprets these teachings of the Mystici Corporis as a condemnation of two errors. One of them, that defended explicitly by members of the St. Benedict Center group, is the doctrine that no man be saved if he has only an implicit desire or intention to enter the Church. The other is the teaching that men may be saved "
equally well (aequaliter)" in any religion. For the previous condemnation of this latter error the letter refers to two pronouncements by Pope Pius IX, his allocution Singulari quadam and his encyclical Quanto conficiamur moerore.[9] 

Finally the letter brings out two points which many of the writers who have dealt with this question have passed over all too quickly. It insists that, in order to be effective for eternal salvation, any intention or desire of entering the Church, whether explicit or implicit must be animated by perfect charity. No benevolence on a merely natural plane can suffice to save man, even when that man actually intends to enter and to live within the true Church of Jesus Christ. Non-membership in the Church, even on the part of a man who wishes to become a Catholic, does not in any way dispense from the necessity of those factors which are requisite for the attainment of the Beatific Vision by intrinsic necessity, and not merely by reason of divine institution. 

Furthermore, the Holy Office also insists upon the necessity of true and supernatural faith in any man who attains eternal salvation. A man may be invincibly ignorant of the Catholic Church, and still be saved by reason of an implicit desire or intention to enter and to live within that society. But, if he is saved, he achieves the Beatific Vision as one who has died with genuine supernatural faith. He must actually and explicitly accept as certain some definite truths which have been supernaturally revealed by God. He must accept explicitly and precisely as revealed truths the existence of God as the Head of the supernatural order and the fact that God rewards good and punishes evil. Our letter manifestly alludes to this necessity when it quotes, in support of its teaching on the necessity of supernatural faith in all those who are saved, the words of the Epistle to the Hebrews: "
For he who comes to God must believe that God exists and is a rewarder of those who seek Him."[10] 

Now most theologians teach that the minimum explicit content of supernatural and salvific faith includes, not only the truths of God’s existence and of His action as the Rewarder of good and the Punisher of evil, but also the mysteries of the Blessed Trinity and the Incarnation. It must be noted at this point that there is no hint of any intention on the part of the Holy Office, in citing this text from the Epistle to the Hebrews, to teach that explicit belief in the mysteries of the Blessed Trinity and of the Incarnation is not required for the attainment of salvation. In the context of the letter, the Sacred Congregation quotes this verse precisely as a proof of its declaration that an implicit desire of the Church cannot produce its effect "
unless a person has supernatural faith.

Still, the teaching of the letter must be seen against the backdrop of the rest of Catholic doctrine. And it is definitely a part of the Catholic doctrine that certain basic revealed truths must be accepted and believed explicitly, even though other teachings contained in the deposit of faith may, under certain circumstances, be believed with only an implicit faith. True and supernatural faith, we must remember, is not a mere readiness to believe, but an actual belief, but an actual belief, the actual acceptance as certainly true of definite teachings which have actually been revealed supernaturally by God to man.[11] Furthermore, this salvific and supernatural faith is an acceptance of these teachings, not as naturally ascertainable doctrines, but precisely as revealed statements, which are to be accepted on the authority of God who has revealed them to man. 

The doctrinal portion of the Holy Office letter ends with the declaration that, in the light of what the document itself has taught, "
it is evident that those things which are proposed in the periodical 'From the Housetops,' fascicle 3, as the genuine teaching of the Catholic Church are far from being such and are very harmful both to those within the Church and those without." The issue of From the Housetops to which the letter refers contained only one article, written by Mr. Raymond Karam of the St. Benedict Center group, and entitled "Reply to a Liberal." 

The most important error contained in that article was a denial of the possibility of salvation for any man who had only an implicit desire to enter the Catholic Church. There was likewise bad teaching on the requisites for justification, as distinguished from the requisites for salvation. The first of these faults has been indicated in a previous issue of The American Ecclesiastical Review.[12] 

The Holy Office letter is by far the most complete authoritative statement on and explanation of the Church’s necessity for salvation yet issued by the Holy See. A tremendous number of documents in the past have asserted the dogma. The encyclical Mystici Corporis showed clearly that the explanation of this teaching involved a recognition of the fact that salvation is possible for men "
who are related to the Mystical Body of the Redeemer by a certain unconscious yearning and desire."[13] The encyclical Humani generis reproved those who "reduce to an empty formula the necessity of belonging to the true Church in order to gain eternal salvation."[14] 

It remained for the present document to state and to use the distinction between the necessity of precept and the necessity of means, to explain this latter in terms of belonging to the Church in reand in voto, and explicitly to distinguish between explicit and implicit intentions of entering the Church. Because it has done these things, and because it has joined up the teaching on the Church’s necessity with the doctrines of the necessity of faith and of charity, the Holy Office letter will stand as one of the most important authoritative doctrinal statements of modern times. 


+Joseph Clifford Fenton 
The Catholic University of America 
Washington, D.C. 


Letter of the Sacred Congregation of the Holy Office 

This important Letter of the Holy Office is introduced by a letter of the Most Reverend Archbishop of Boston. 



Letter of Archbishop Cushing 

The Supreme Sacred Congregation of the Holy Office has examined again the problem of Father Leonard Feeney and St. Benedict Center. Having studied carefully the publications issued by the Center, and having considered all the circumstances of this case, the Sacred Congregation has ordered me to publish, in its entirety, the letter which the same Congregation sent me on the 8th of August, 1949. The Supreme Pontiff, His Holiness, Pope Pius XII, has given full approval to this decision. In due obedience, therefore, we publish, in its entirety, the Latin text of the letter as received from the Holy Office with an English translation of the same approved by the Holy See. 

Given at Boston, Mass., the 4th day of September, 1952. 

Walter J. Furlong, Chancellor 

+ Richard J. Cushing, Archbishop of Boston
________________________________________ 


LETTER OF THE HOLY OFFICE 

From the Headquarters of the Holy Office, Aug. 8, 1949. 

Your Excellency: 

This Supreme Sacred Congregation has followed very attentively the rise and the course of the grave controversy stirred up by certain associates of "St. Benedict Center" and "Boston College" in regard to the interpretation of that axiom: "Outside the Church there is no salvation." 

After having examined all the documents that are necessary or useful in this matter, among them information from your Chancery, as well as appeals and reports in which the associates of "St. Benedict Center" explain their opinions and complaints, and also many other documents pertinent to the controversy, officially collected, the same Sacred Congregation is convinced that the unfortunate controversy arose from the fact that the axiom, "outside the Church there is no salvation," was not correctly understood and weighed, and that the same controversy was rendered more bitter by serious disturbance of discipline arising from the fact that some of the associates of the institutions mentioned above refused reverence and obedience to legitimate authorities. 

Accordingly, the Most Eminent and Most Reverend Cardinals of this Supreme Congregation, in a plenary session held on Wednesday, July 27, 1949, decreed, and the august Pontiff in an audience on the following Thursday, July 28, 1949, deigned to give his approval, that the following explanations pertinent to the doctrine, and also that invitations and exhortations relevant to discipline be given:
 

We are bound by divine and Catholic faith to believe all those things which are contained in the word of God, whether it be Scripture or Tradition, and are proposed by the Church to be believed as divinely revealed, not only through solemn judgment but also through the ordinary and universal teaching office (Denzinger, n. 1792). 

 

Now, among those things which the Church has always preached and will never cease to preach is contained also that infallible statement by which we are taught that there is no salvation outside the Church. 

However, this dogma must be understood in that sense in which the Church herself understands it. For, it was not to private judgments that Our Savior gave for explanation those things that are contained in the deposit of faith, but to the teaching authority of the Church. 

 

Now, in the first place, the Church teaches that in this matter there is question of a most strict command of Jesus Christ. For He explicitly enjoined on His apostles to teach all nations to observe all things whatsoever He Himself had commanded (Matt. 28: 19-20). 

 

Now, among the commandments of Christ, that one holds not the least place by which we are commanded to be incorporated by baptism into the Mystical Body of Christ, which is the Church, and to remain united to Christ and to His Vicar, through whom He Himself in a visible manner governs the Church on earth. 

 

Therefore, no one will be saved who, knowing the Church to have been divinely established by Christ, nevertheless refuses to submit to the Church or withholds obedience from the Roman Pontiff, the Vicar of Christ on earth. 

 

Not only did the Savior command that all nations should enter the Church, but He also decreed the Church to be a means of salvation without which no one can enter the kingdom of eternal glory. 

In His infinite mercy God has willed that the effects, necessary for one to be saved, of those helps to salvation which are directed toward man's final end, not by intrinsic necessity, but only by divine institution, can also be obtained in certain circumstances when those helps are used only in desire and longing. This we see clearly stated in the Sacred Council of Trent, both in reference to the sacrament of regeneration and in reference to the sacrament of penance (Denzinger, nn. 797, 807). 

The same in its own degree must be asserted of the Church, in as far as she is the general help to salvation. Therefore, that one may obtain eternal salvation, it is not always required that he be incorporated into the Church actually as a member, but it is necessary that at least he be united to her by desire and longing. 

However, this desire need not always be explicit, as it is in catechumens; but when a person is involved in invincible ignorance God accepts also an implicit desire, so called because it is included in that good disposition of soul whereby a person wishes his will to be conformed to the will of God. 

 

These things are clearly taught in that dogmatic letter which was issued by the Sovereign Pontiff, Pope Pius XII, on June 29, 1943, On the Mystical Body of Jesus Christ (AAS, Vol. 35, an. 1943, p. 193 ff.). For in this letter the Sovereign Pontiff clearly distinguishes between those who are actually incorporated into the Church as members, and those who are united to the Church only by desire. 

 

Discussing the members of which the Mystical Body is-composed here on earth, the same august Pontiff says: "Actually only those are to be included as members of the Church who have been baptized and profess the true faith, and who have not been so unfortunate as to separate themselves from the unity of the Body, or been excluded by legitimate authority for grave faults committed." 

Toward the end of this same encyclical letter, when most affectionately inviting to unity those who do not belong to the body of the Catholic Church, he mentions those who "are related to the Mystical Body of the Redeemer by a certain unconscious yearning and desire," and these he by no means excludes from eternal salvation, but on the other hand states that they are in a condition "in which they cannot be sure of their salvation" since "they still remain deprived of those many heavenly gifts and helps which can only be enjoyed in the Catholic Church" (AAS, 1. c., p. 243). With these wise words he reproves both those who exclude from eternal salvation all united to the Church only by implicit desire, and those who falsely assert that men can be saved equally well in every religion (cf. Pope Pius IX, Allocution, Singulari quadam, in Denzinger, n. 1641 ff.; also Pope Pius IX in the encyclical letter, Quanto conficiamur moerore, in Denzinger, n. 1677). 

 

But it must not be thought that any kind of desire of entering the Church suffices that one may be saved. It is necessary that the desire by which one is related to the Church be animated by perfect charity. Nor can an implicit desire produce its effect, unless a person has supernatural faith: "For he who comes to God must believe that God exists and is a rewarder of those who seek Him" (Heb. 11:6). The Council of Trent declares (Session VI, chap. 8): "Faith is the beginning of man's salvation, the foundation and root of all justification, without which it is impossible to please God and attain to the fellowship of His children" (Denzinger, n. 801). 

 

From what has been said it is evident that those things which are proposed in the periodical From the Housetops, fascicle 3, as the genuine teaching of the Catholic Church are far from being such and are very harmful both to those within the Church and those without. 

From these declarations which pertain to doctrine, certain conclusions follow which regard discipline and conduct, and which cannot be unknown to those who vigorously defend the necessity by which all are bound' of belonging to the true Church and of submitting to the authority of the Roman Pontiff and of the Bishops "whom the Holy Ghost has placed . . . to rule the Church" (Acts 20:28). 

 

Hence, one cannot understand how the St. Benedict Center can consistently claim to be a Catholic school and wish to be accounted such, and yet not conform to the prescriptions of canons 1381 and 1382 of the Code of Canon Law, and continue to exist as a source of discord and rebellion against ecclesiastical authority and as a source of the disturbance of many consciences. 

 

Furthermore, it is beyond understanding how a member of a religious Institute, namely Father Feeney, presents himself as a "Defender of the Faith," and at the same time does not hesitate to attack the catechetical instruction proposed by lawful authorities, and has not even feared to incur grave sanctions threatened by the sacred canons because of his serious violations of his duties as a religious, a priest, and an ordinary member of the Church. 

 

Finally, it is in no wise to be tolerated that certain Catholics shall claim for themselves the right to publish a periodical, for the purpose of spreading theological doctrines, without the permission of competent Church authority, called the "imprimatur," which is prescribed by the sacred canons. 

 

Therefore, let them who in grave peril are ranged against the Church seriously bear in mind that after "Rome has spoken" they cannot be excused even by reasons of good faith. Certainly, their bond and duty of obedience toward the Church is much graver than that of those who as yet are related to the Church "only by an unconscious desire." Let them realize that they are children of the Church, lovingly nourished by her with the milk of doctrine and the sacraments, and hence, having heard the clear voice of their Mother, they cannot be excused from culpable ignorance, and therefore to them apply without any restriction that principle: submission to the Catholic Church and to the Sovereign Pontiff is required as necessary for salvation.


In sending this letter, I declare my profound esteem, and remain, 

Your Excellency's most devoted, 

+ F. Cardinal Marchetti-Selvaggiani. 

A. Ottaviani, Assessor. 

(Private); Holy Office, 8 Aug., 1949.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar