Mengasihi Sesama

Mengasihi Sesama
Ibu Theresa dari Calcuta

Sabtu, 04 September 2021

Reformasi (alias Protestantisme) DARI sudut Katolik

 

Reformasi (alias Protestantisme)

Aku mencoba menerjemahkan entry Reformation dari Catholic Encyclopedia. Upayaku ini supaya umat awam bisa mengerti sejarah-sejarah penting yang berkaitan dengan ke-Kristen-an. Karena memang ditujukan kepada umat yang awam, juga terhadap mereka yang bahasa Inggrisnya kurang baik, maka terjemahan entry ini tidak aku buat kaku tapi aku buat se-reader friendly mungkin. Oleh karena itu banyak perubahan-perubahan yang aku lakukan sehingga mungkin terjemahannya agak berbeda dengan aslinya. Nevertheless, aku mencoba agar substansi yang ingin disampaikan Catholic Encyclopedia tidak berubah.

Bagi mereka yang Ingrisnya cukup bagus tapi merasa kesulitan dengan gaya bahasa literatur lama (ensiklopedia dipublikasikan tahun 1913) dan gaya bahasa kaku literatur akademis, aku harap terjemahan-ku yang aku usahakan se-reader friendly mungkin ini, bisa membantu.

Rasanya masih perlu banyak koreksi….. silahkan diberi koreksi kalau perlu.



********************************************


Reformasi (alias Protestantisme)

Reformasi adalah istilah umum bagi gerakan religius yang muncul di Eropa barat pada abad ke-enam-belas yang mengklaim bertujuan [melakukan] perbaikan internal Gereja, namun kemudian memimpin sebuah pemberontakan melawan Gereja dan meninggalkan prinsip-prinsip kepercayaan Kristen. Kita akan me-review karakteristik-karakteristik umum dari gerakan ini dari beberapa titik tolak.

I. Penyebab-Penyebab [Terjadinya] Reformasi;
II. Gagasan-Gagasan dan tujuan-tujuan Awal Para Reformator;
III. Metode-Metode Penyebaran Reformasi;
IV. Penyebaran Reformasi di Berbagai Negara;
V. Bentuk-Bentuk berbeda Dari Reformasi;
VI.
Hasil dan Konsekuensi Dari Reformasi.

I. PENYEBAB-PENYEBAB [TERJADINYA] REFORMASI

Penyebab-penyebab [terjadinya] pemberontakan religius besar pada abad ke-enambelas harus ditelusuri kebelakang sampai pada abad ke-empatbelas. Ketika itu ajaran Gereja memang masih murni; [namun] kehidupan saleh masih belum banyak dijumpai di semua bagian Eropa, dan banyak institusi Gereja jaman pertengahan yang membangun [benificient] tetap melanjutkan karya mereka dengan tak terganggu. Kondisi tak-berbahagia apapun yang muncul [saat itu] kebanyakan disebabkan karena pengaruh sipil dan duniawi [profane] atau karena pelaksanaan otoritas para pejabat Gerejawi di kancah sipil; [dua hal tersebut] tidak terjadi dimana saja dengan tingkatan yang sama [ie. di daerah-daerah tertentu lebih parah dari yang lain]. Kehidupan religius dan kegerejaan [masih] terlihat tekun dan bervariasi di banyak tempat; karya-karya pendidikan dan amal berkelimpahan; seni-seni religius dalam berbagai bentuknya masih memiliki daya hidup; [kegiatan] misionaris domestik [masih] banyak dan berpengaruh; literatur-literatur yang saleh dan membangun cukup umum dan dihargai. Namun sedikit demi sedikit, kebanyakan dikarenakan semangat ganas [hostile] kekuasaan sipil yang dipelihara dan diperkuat oleh beberapa unsur-unsur tatanan baru, di berbagai bagian Eropa muncul kondisi-kondisi politik dan sosial yang menghambat aktivitas perombakan bebas oleh Gereja sendiri. Kondisi-kondisi politik dan sosial tersebut lebih menyukai orang-orang nekat dan tidak hati-hati. Orang-orang macam ini kemudian mengambil kesempatan unik yang ada untuk membebaskan semua potensi-potensi bidaah dan skisma yang sebelumnya dikekang berkat tindakan harmonis antara otoritas gerejawi dan sipil.

A

Sejak penjajahan orang-orang barbar Gereja telah mengakibatkan sebuah transformasi yang lengkap dan kebangkitan kepada ras-ras di Eropa Barat, dan juga sebuah perkembangan mulia kepada kehidupan religius dan intelektual. Kepausan menjadi pusat yang kuat bagi keluarga bangsa-bangsa Kristen, dan tetap seperti itu sampai berabad-abad. Dan dalam kesatuan dengan keuskupan dan klerus-klerus, kepausan menunjukkan sebuah aktifitas yang mulia. Dengan semakin penuh kembangnya organisasi gerejawi ternyata disadari bahwa aktivitas pemerintahan gerejawi tidak lagi terbatasi dalam ranah gerejawi, tapi aktivitas tersebut mempengaruhi hampir semua lingkup kehidupan masyarakat. Lambat laun sifat keduniawian, dimana ini sangat disesalkan, muncul dikalangan pejabat tinggi gerejawi. Para pejabat gerejawi menjadi kurang memperhatikan tujuan utama mereka, yaitu menuntun manusia kepada tujuan abadinya. Sementara yang menjadi perhatian mereka malahan adalah aktivitas duniawi. Kekuasaan politik, kepemilikan atas materi, kepemilikan atas posisi terhormat di khalayak umum, pembelaan terhadap hak-hak historis kuno dan berbagai kepentingan duniawi sudah terlalu sering menjadi sasaran utama para klerus yang memiliki jabatan tinggi. Kepedulian pastoral, terutama berkenaan dengan tujuan religius dan gerejawi, tertinggal kebelakang meskipun [ada dan muncul] upaya-upaya penuh semangat dan sukses dalam memperbaiki keburukan-keburukan yang ada.


B

Berhubungan dekat dengan yang ditulis diatas adalah berbagai penyimpangan dalam kehidupan-kehidupan para klerus dan masyarakat. Di Kuria Kepausan kepentingan-kepentingan politis dan kehidupan duniawi sering menjadi perkara utama. Banyak Uskup dan kepala biara (terutama di negara-negara dimana mereka juga merupakan pangeran-pangeran teritorial [ie. penguasa-penguasa lokal]) lebih menampilkan diri sebagai penguasa-penguasa sekuler daripada pelayan-pelayan Gereja. Banyak anggota dari cathedral chapter [ie. klerus-klerus yang diangkat untuk menjadi penasehat uskup, dan bila keuskupan kosong mereka mengambil alih sampai ada uskup baru] dan pejabat gerejawi yang mempunyai hak beneficed [ie. hak permanen yang diberikan Gereja kepada klerus untuk menerima pendapatan gerejawi atas jasa-jasa pelayanan spiritual] lebih peduli terhadap pendapatan mereka dan bagaimana menambah pendapatan itu, terutama dengan cara menyatukan beberapa prebend [ie. hak bagi anggota cathedral chapter untuk mendapat persentase tertentu dari pendapatan cathedral] (atau bahkan [beberapa persentase pendapatan] keuskupan-keuskupan]) ditangan satu orang. Orang ini kemudian menikmati pendapatan yang lebih besar dan kekuasaan yang lebih besar. Kemewahan kemudian merajalela dikalangan klerus-klerus pejabat tinggi, sementara klerus-klerus pejabat rendah ditindas. Pelatihan keilmuan dan kebiaraan bagi para klerus menurun jauh dari standard. Standard moral para klerus menjadi sangat rendah, dan praktek selibat tidak ditaati di semua tempat. Yang tidak kurang seriusnya adalah kondisi dari kebanyakan biara pria, dan bahkan biara wanita (kebanyakan anggota biara wanita adalah putri-putri bangsawan yang tidak menikah). Semua ini membuat prestis dari klerus yang dulunya tinggi menjadi rendah, dan anggota-anggota klerus di banyak tempat dipandang dengan hina oleh orang-orang. Sementara, mengenai kalangan umat awam Kristen sendiri, di banyak daerah-daerah, ketidakpedulian, takhyul, indifferentisme religius [ie. semua agama sama] dan ke-imoral-an merajalela. Meskipun begitu banyak upaya penuh semangat untuk memperbaiki kehidupan beragama muncul di berbagai tempat. Sehingga disamping kebusukan moral yang terjadi muncul juga banyak teladan-teladan akan kehidupan Kristen yang tulus dan benar. Sayangnya upaya-upaya perbaikan tersebut sering terbatas pada kalangan-kalangan tertentu. Sejak abad ke-empatbelas permintaan untuk "reformasi kepala dan tubuh" (reformatio in capite et in membris) telah diserukan dengan semakin nyaring oleh orang-orang yang sangat serius dan penuh pertimbangan. Sayangnya orang-orang yang tidak punya niatan bagi perbaikan religius juga ikut berseru-seru. Mereka sekedar ingin untuk mereformasi yang lain tapi tidak mereformasi diri sendiri dan mereka hanya memikirkan kepentingan diri sendiri. Seruan untuk reformasi kepala dan tubuh yang didiskusikan di banyak tulisan-tulisan dan menjadi topik perbincangan. Namun penekanan terhadap penyelewengan-penyelewengan yang terjadi sering dibesar-besarkan, dan hal ini semakin memperburuk pandangan masyarakat atas para klerus. Terlebih lagi ketika konsili-konsili pada abad ke-limabelas yang difokuskan pada upaya-upaya reformasi, tidak berhasil mencapai apa yang dihasilkan [konsili-konsili tersebut] secara ekstensif dan permanen.


C

Otoritas Tahta Suci juga ter-cacat-kan secara serius, sebagian karena kesalahan pemegang tahta (ie. Paus Roma) dan sebagian karena kesalahan penguasa-penguasa sekular. Pindahnya Paus ke Avignon (Perancis) pada abad ke-empatbleas merupakan kesalahan yang sangat fatal karena karakter universal dari kepausan menjadi rancu dalam benak masyarakat Kristen. Fase-fase tertentu dalam perselisihan dengan Louis the Bavarian dan dengan Spiritualist Franciscan jelas menunjukkan suatu kemunduran pada kekuasaan kepausan.
Pukulan paling telak terhadap otoritas kepausan adalah peristiwa skisma kepausan atau lebih dikenal dengan nama skisma barat (1378-1418). Peristiwa ini membuat masyarakat Kristen Barat berpikiran bahwa boleh melakukan perang, dengan segala senjata spiritual dan material, kepada orang yang dianggap oleh banyak umat Kristen lain sebagai Paus yang sah. Setelah pemulihan kesatuan yang rusak karena skisma barat, upaya reformasi yang dilakukan kuria kepausan tidaklah menyeluruh. Humanisme dan idealisme-idealisme Renaissance dipupuk dengan penuh semangat di Roma. Dan sayangnya, kecenderungan-kecenderungan kafir dari gerakan ini, yang begitu bertentangan dengan hukum moral Kristen, telah begitu mempengaruhi kehidupan kebanyakan pejabat gerejawi tinggi sehingga pemikiran-pemikiran duniawi, kemewahan dan immoralitas dengan cepat merebak ditengah kehidupan gerejawi. Ketika otoritas gerejawi melemah di pucuk pimpinan, maka otoritas tersebut membusuk ditempat lainnya. Juga terjadi penyelewengan administratif yang serius dalam Kuria Kepausan. Administrasi gerejawi yang semakin tersentalisasi telah mengakibatkan banyak beneficed gerejawi yang didapat dari berbagai tempat dikumpulkan di Roma. Dan dalam mengabulkan pemberian hak beneficed tersebut kepada para klerus, lebih diperhatikan kepentingan yang meminta hak daripada keperluan spiritual masyarakat [ie. apakah masyarakat memerlukan pelayan dari pejabat gerejawi yang mendapat bayaran dari pelayanannya]. Berbagai macam pengecualian-pengecualian yang dibuat juga memunculkan penyelewengan-penyelewengan yang berat. Ketidakpuasan dirasakan secara luas diantara para klerus atas banyaknya pajak yang dikenakan oleh Kuria kepada pemegang benefices gerejawi. Sejak abad ke-empatbelas pajak-pajak ini menimbulkan banyak keluhan-keluhan keras. Dengan semakin hilangnya rasa hormat banyak orang terhadap otoritas kepausan, penolakan tumbuh terhadap Kuria dan Kepausan. Sementara itu konsili-konsili reformatif [ie. tujuannya adalah mereformasi Gereja] pada abad ke-limabelas, bukannya memperbaiki situasi, tapi malahan memperburuk situasi dengan memperlemah kewibawaan otoritas gerejawi tertinggi karena kecenderungan dan langkah-langkah anti-kepausan yang dihasilkan konsili-konsili tersebut.


D

Pada kalangan penguasa daerah dan pemerintahan berkembang sebuah kesadaran nasionalis yang murni temporal dan pada tingkat tertentu ganas kepada Gereja; kuasa-kuasa jahat menjadi lebih sering mencampuri masalah-masalah gerejawi, dan pengaruh langsung para awam terhadap administrasi domestik Gereja terus bertambah. Selama masa abad ke-empatbelas dan ke-limabelas muncul konsep modern mengenai Negara. Pada jaman-jaman sebelumnya banyak masalah-masalah yang sifatnya sekular atau campuran [ie. sekular dan gerejawi] diregulasi atau diatur oleh Gereja, sesuai dengan perkembangan historis masyarakat Eropa. Dengan makin tumbuhnya kesadaran Negara, pemerintahan sekular berusaha mengendalikan semua hal dalam ranah kompetensi mereka, yang meskipun sebagian besar merupakan sesuatu yang sah-sah saja, namun dirasa baru dan lancang. Hal ini menimbulkan seringnya bentrokan antar Gereja dan Negara. Dan karena dekatnya hubungan historis antara Gereja dan Negara, Negara mulai melancangi wilayah kegerejaan. Selama Skisma Barat (1378-1418) paus-paus yang berseberangan mencari dukungan kepada kekuasaan sipil. Hal ini membuat kekuasaan sipil punya banyak kesempatan untuk mencampuri masalah-masalah gerejawi murni. Dan lagi, dalam upaya untuk memperkuat otoritas mereka dihadapan kecenderungan anti-kepausan, para paus abad ke-limabelas pada berbagai kesempatan sering mengalah terhadap kekuasaan sipil sehingga kekuasaan sipil menganggap perkara-perkara gerejawi berada dalam ranah kewenangan mereka. Di masa depan, Gereja berada dibawah, dan bukannya diatas, kekuasaan sipil. Bahkan Gereja semakin terancam menjadi bawahan total dari kekuasaan sipil. Seiring dengan berkembangnya kesadaran-diri di berbagai negara di Eropa, rasa kesatuan dan ketergantungan antar keluarga Kristiani bangsa-bangsa menjadi lemah. Kecemburuan antar negara bertambah, ke-egois-an merajalela, kesenjangan antara moralitas Kristen dan agama bertambah besar, dan ketidakpuasan dan kecenderungan-kecenderungan revolusioner menyebar cepat diantara orang-orang. Cinta akan kekayaan untuk sementara mendapat motivasi yang besar karena penemuan Dunia Baru, meningkatnya perdagangan, dan kemakmuran baru yang dialami kota-kota. Dalam kehidupan publik sebuah aktivitas yang bersisi-banyak dan menegangkan menampakkan dirinya. Hal ini, disamping bagaikan sebuah bayangan awal akan sebuah era baru juga mencenderungkan pikiran kebanyakan orang kepada perubahan-perubahan kepada masalah-masalah religius yang sebelumnya utuh tak-terbagi.


E

Munculnya Renaisans dan Humanisme memperkenalkan [secara sebagian] dan juga sangat memupuk kondisi-kondisi yang disebut sebelumnya. Kecintaan kepada kemewahan dengan segera dihubungkan dengan bangkitnya seni dan literatur kafir Graeco-Roman. Ini membuat idealisme-idealisme religius Kristen hilang. Budaya intelektual tinggi yang sekarang umum di kalangan awam (dimana sebelumnya budaya intelektual tinggi ini hanya terbatas di kalangan klerus) mulai mengambil bentuk yang sekuler. Dan bentuk sekuler baru dari budaya intelektual tinggi ini, dalam banyak kasus memupuk secara aktif dan praktik sebuah jiwa kafir, moralitas kafir dan pandangan-pandangan kafir. Sebuah bentuk mentalitas materialisme yang kasar dapat ditemukan di kalangan masyarakat atas dan kalangan pendidikan. Mentalitas ini dikarakterkan dengan cinta yang menjijikkan akan kesenangan, akan keinginan terhadap keuntungan (laba) dan akan sensualitas hidup yang semuanya sangat berlawanan dengan moralitas Kristen. Sedikit sekali ketertarikan terhadap perkara-perkara adikodrati yang masih tersisa. Munculnya tekhnik percetakan modern [ie. mesin cetak saat itu baru ditemukan oleh Guttenberg] memungkinkan penyebaran karya tulis pengarang-pengarang kafir dan pengarang humanistik yang mengikuti pemikiran mereka. Puisi-puisi dan roman-roman tak-bermoral, satir-satir yang menyindir pribadi-pribadi gerejawi dan institusi-institusi gerejawi, karya-karya dan lagu-lagu yang bersifat revolusioner; semua ini disirkulasikan bebas ke semua tempat dan menimbulkan kerusakan yang besar. Dengan semakin tumbuhnya Humanisme, idealisme ini mendengungkan seruan perang yang lantang terhadap Skolastisme masa itu. Ketika itu metode teologi tradisional telah terjerumus kedalam upaya menjawab pertanyaan-pertanyaan teologis secara sangat tekhnis dan rumit, sementara perlakuan yang solid dan meyeluruh terhadap ilmu teologi dengan sangat disesalkan telah menghilang dari kebanyakan sekolah dan tulisan. Para Humanist kemudian menggunakan metode-metode baru dan mendasarkan teologi atas Kitab Suci dan Bapa Gereja. Pada dasarnya langkah ini merupakan langkah yang baik yang mungkin saja memperbaharui pembelajaran teologi kalau dikembangkan dengan tepat. Namun kekerasan para Humanist, serangan-serangan berlebihan mereka kepada Skolastisme dan seringnya ketidakjelasan pengajaran mereka telah memunculkan perlawanan yang kuat dari wakil-wakil aliran skolastisme. Bagaimanapun gerakan baru ini [ie. Humanisme] telah memenangi simpati dunia awam dan simpati klerus-klerus yang menganutnya. Bahaya mulai terasa semakin dekat kalau-kalau terjadi reformasi yang tidak hanya terbatas pada metode-metode teologis tapi juga merambah kepada dogma-dogma gerejawi. Dan lebih parahnya, kalau reformasi seperti itu didukung oleh kalangan Humanist.


[Karena parahnya situasi dan kondisi sebagaimana dideskripsikan diatas], medan bagi tumbuhnya gerakan-gerakan revolusioner dalam kalangan religius telah siap. Banyak peringatan-peringatan keras yang mengindikasikan adanya bahaya yang mendekat dan menggaungkan sebuah reformasi fundamental atas kondisi yang jahat saat itu, telah diucapkan. Peringatan-peringatan tersebut muncul berkat pengaruh gerakan-gerakan untuk melakukan reformasi dalam berbagai serikat-serikat [tarekat-tarekat] religius dan berkat pengaruh upaya-upaya kerasulan individu-individu yang bersemangat tinggi. Namun sebuah perbaikan umum atas kehidupan menggereja dan satu perbaikan yang seragam atas kondisi-kondisi jahat yang [seharusnya] dimulai di Roma sendiri sebagai pusat Gereja, tidak segera dilakukan. Dan dengan segera timbul suatu kondisi dimana yang dibutuhkan hanya satu dorongan dari luar Gereja untuk menggulirkan revolusi. Revolusi yang kemudian memotong sebagian besar Eropa Tengah dan hampir semua Eropa Utara dari kesatuan Gereja.

II. GAGASAN-GAGASAN DAN TUJUAN-TUJUAN AWAL PARA REFORMATOR

Dorongan pertama untuk memberontak muncul dengan timbulnya perlawanan Luther di Jerman dan Zwingli di Swiss-Jerman atas promulgasi indulgensi Paus Leo X untuk sumbangan terhadap pembangunan basilika St. Petrus di Roma. Merupakan kebiasan lama bagi paus-paus untuk menganugrahkan indulgensi bagi pembangunan sarana-sarana umum (contohnya: jembatan-jembatan). Dalam kasus-kasus tersebut ajaran sejati mengenai indulgensi sebagai penghapusan hukuman karena dosa (bukannya kesalahan atas dosa) selalu dipegang teguh dan syarat-syarat mutlak untuk mendapatkan indulgensi (terutama kewajiban untuk mengaku dosa dengan penyesalan sehingga mendapat absolusi atas dosa) selalu ditanamkan pada masyarakat. Namun anjuran untuk berderma selalu ditekankan. Padahal, derma, sebagai salah satu tindakan baik yang bisa dilakukan (selain berderma ada perbuatan baik lainnya yang bisa dilakukan, misalnya puasa, kerja bakti, berdoa rosario dll), hanya dianjurkan sebagai perbuatan baik tambahan/suplementer bagi syarat-syarat utama [ie. kewajiban untuk mengaku dosa dengan penyesalan sehingga mendapat absolusi atas dosa] untuk mendapatkan indulgensi. Para komisioner indulgensi berusaha mengumpulkan sebanyak mungkin uang derma dari indulgensi. Dan memang, sejak Skisma Barat, sering kebutuhan spiritual masyarakat tidak dipertimbangkan mendalam sebagai motif dalam pemberian indulgensi. Yang lebih sering dipertimbangkan adalah perlunya tindakan baik supaya indulgensi itu didapatkan. Dan sebagai konsekuensi penekanan terhadap perlunya tindakan baik tersebut, perlunya mendapatkan derma [dimana derma hanyalah salah satu bentuk tindakan baik yang bisa dilakukan untuk memenuhi syarat indulgensi] juga mendapatkan penekanan. Perang melawan bangsa Turki dan krisis-krisis lainnya, pembangunan gereja-gereja dan biara-biara, dan berbagai penyebab lainnya memicu Gereja untuk memberikan indulgensi-indulgensi pada abad ke-limabelas. Penyelewengan-penyelewengan yang terjadi dikemudiannya diperparah oleh fakta bahwa pemimpin-pemimpin sekular sering melarang promulgasi indulgensi di daerah kekuasaan mereka. Para pemimpin ini hanya mengijinkan bila sebagian dari hasil penerimaan indulgensi diberikan kepada mereka. Sehingga dalam prakteknya dan dalam benak masyarakat umum, promulgasi indulgensi membawa dampak ekonomis. Dan karena seringnya promulgasi indulgensi, banyak yang menganggap bahwa indulgensi adalah sekedar pajak yang memeras.
Dengan sia-sia orang yang tulus menyuarakan keprihatinan mereka atas penyelewengan-penyelewengan ini. Penyelewengan-penyelewengan yang menimbulkan sikap pahit kepada kepemimpinan gereja, terutama Kuria Kepausan. Promulgasi indulgensi bagi basilika St. Petrus yang baru memberikan Luther kesempatan untuk menyerang indulgensi secara umum. Dan serangan Luther ini merupakan penyebab langsung Reformasi di Jerman. Beberapa waktu kemudian Zwingli menyerukan ajaran-ajarannya yang salah, sehingga memulai Reformasi di Swiss-Jerman. Keduanya (ie. Luther dan Zwingli) menyatakan bahwa mereka hanya menyerang penyelewengan-penyelewengan indulgensi; namun mereka kemudian dengan segera mengajarkan ajaran yang secara banyak cara berlawanan dengan ajaran Gereja. Sambutan yang luar biasa yang diterima Luther atas penampilan pertamanya, baik oleh kalangan humanist, beberapa teolog dan oleh para awam yang tulus, adalah dikarenakan ketidakpuasan dengan penyelewengan-penyelewengan yang ada. Tak lama kemudian pandangan salah Luther sendiri dan pengaruh dari beberapa pengikutnya membuat Luther jatuh dalam pemberontakan melawan otoritas gerejawi. Dan pemberontakan ini kemudian membawanya kepada ke-murtad-an dan skisma. Pendukung utama Luther adalah kalangan Humanist, para klerus tak bermoral, dan bangsawan tingkat rendahan yang dipenuhi kecenderungan revolusioner. Dengan segera tampak terbuktikan bahwa Luther bermaksud menggulingkan semua institusi fundamental Gereja. Dengan mulai memproklamirkan ajaran palsu "pembenaran oleh iman saja", Luther kemudian mulai menolak semua bantuan-bantuan adikodrati [yang perlu bagi pencapaian keselamatan manusia] (terutama sakramen-sakramen dan Misa), menolak didapatnya jasa oleh seseorang ketika dia melakukan perbuatan-perbuatan baik [meritoriousness of good works] (yang berakibat pengutukannya atas kaul-kaul kaum religius dan sistem kebiaraan Kristen secara umum), dan terakhir, menolak institusi hierarkhi ke-imam-an yang asli (terutama kepausan) dalam Gereja. Ajarannya akan Alkitab sebagai satu-satunya pedoman iman, digabung dengan penolakannya terhadap semua otoritas gerejawi, menghasilkan subyektifisme dalam hal iman. Atas serangan yang revolusioner ini Luther kehilangan dukungan banyak individu serius yang tidak berkehendak untuk memecah dengan Gereja. Namun disisi lain Luther mendapatkan dukungan dari semua unsur-unsur anti-kegerejaan, termasuk berbagai rahib dan suster yang meninggalkan biara dan melanggar kaul mereka, juga para imam yang mendukung perjuangannya dengan niat supaya bisa menikah. Dukungan dari penguasanya, Frederick dari Saxon, amatlah penting. Dengan segera pangeran-pangeran sekular dan magistrates kota menjadikan Reformasi sebagai pretext [ie. alasan palsu] untuk secara rancu mencampuri urusan-urusan yang murni gerejawi dan religius, untuk merampas properti-properti gerejawi dan membagi-bagikannya sekehendak hati, dan untuk menentukan iman apa yang harus diyakini rakyat dibawah pemerintahan mereka. Beberapa pengikut Luther bahkan berlaku lebih ektrim. Tindakan yang dilakukan para Anabaptist dan "Iconoclasts" [Ikonoklas adalah ajaran bidat bahwa patung, ikon, relik tidak boleh dijadikan sarana peribadatan dan devosi karena itu merupakan penyembahan kepada berhala] menunjukkan kemungkinan-kemungkinan ekstrim atas prinsip-prinsip yang diserukan Luther. Sementara pada peristiwa Perang Petani, unsur-unsur yang paling tertindas di Jerman [ie. para petani] mempraktekkan ajaran para reformator. Sekarang masalah-masalah gerejawi di-organisasi kembali atas dasar ajaran-ajaran baru; sehingga kekuasaan sekular tampak dengan jelas sebagai hakim agung dalam perkara-perkara yang murni religius dan secara total mereka mengabaikan adanya otoritas gerejawi yang independen.

Pusat kedua atas Reformasi dibangun oleh Zwingli di Zurich. Meskipun Zwingli berbeda dalam banyak hal dari Luther dan bahkan lebih radikal dari Luther dalam transformasi yang dilakukannya atas perayaan Misa, sasaran dari pengikut-pengikutnya identik dengan para Lutheran. Pertimbangan politis memainkan peran yang besar dalam perkembangan Zwinglianisme. Dan setelah mayoritas anggota magistracy Zurich mendukung Zwingli, mereka menjadi pendukung yang gigih terhadap Reformasi. Dekrit-dekrit yang arbiter dikeluarkan oleh para magistrates mengenai organisasi gerejawi. Para anggota-anggota konsili yang tetap memegang teguh Iman Katolik sejati dikeluarkan dari konsili dan pelayanan-pelayanan Katolik (termasuk Misa) dilarang di kota [ie. Zurich].Kota dan canton (semacam "daerah istimewa") Zurich direformasi oleh otoritas sipil sesuai ide-ide Zwingli. Bagian lain swis-Jerman mengalami nasib yang sama. Swiss-Perancis mengembangkan reformasinya sendiri yang khas. Reformasi ini diorganisasi di Jenewa oleh Calvin. Calvinisme bisa dibedakan dengan Lutheranisme dan Zwinglianisme oleh ajarannya yang lebih kaku dan konsisten dan oleh ke-ketat-an aturan moralnya.
Aturan moral yang ketat ini kemudian mengatur seluruh kehidupan domestik dan publik masyarakat. Organisasi gerejawi Calvin kemudian dideklarasikan sebagai sebuah hukum fundamental Republik Jenewa, dan otoritas setempat memberikan dukungan keseluruhan kepada reformator dalam pendirian pengadilan moral baru oleh Calvin. Kata-kata Calvin adalah otoritas tertinggi. Dan Calvin tidak mentoleransi kontradiksi apapun atas pandangannya atau atas peraturannya. Calvinisme masuk ke Jenewa dan negara-negara sekitarnya dengan kekerasan. Imam-imam Katolik diusir dan orang-orang ditekan dan dipaksa untuk menghadiri khotbah-khotbah yang Calvinistik.

Di Inggris asal-muasal Reformasi sangatlah berbeda. Kali ini raja Henry VIII yang sensual dan tiranis, dengan dukungan Thomas Crammer yang dijadikan Uskup Agung Canterbury oleh sang raja, memecah negaranya dari kesatuan gerejawi karena Paus, sebagai penjaga sejati hukum Ilahi, menolak untuk mengakui perkawinan tidak sah Henry VIII dengan Anne Boleyn selama istri sah sang raja masih hidup. Dengan mengingkari kepatuhan terhadap Paus sang monarkh bertangan besi menetapkan dirinya sendiri sebagai hakim agung bahkan dalam masalah-masalah gerejawi.
Perlawanan dari orang-orang benar seperti Thomas More dan John Fisher diatasi dengan darah [ie. kekejian]. Namun sang raja berkeinginan untuk tidak merubah baik ajaran-ajaran Gereja dan hierarkhi gerejawi. Disamping itu Henry VIII juga bertanggung jawab agar sekumpulan ajaran dan aturan-aturan, yang ditolak Luther dan pengikut-pengikutnya, dimasukkan kedalam Act of Parliament (Six Articles) dengan sangsi hukuman mati. Begitu pula dengan di Inggris, kekuasaan sipil menganggap dirinya sebagai hakim agung dalam masalah iman, dan hal ini membangun dasar bagi inovasi-inovasi religius yang arbiter di kemudian hari. Dibawah kekuasaan Edward VI (1547-53), kelompok Protestant mendapat angin dan sejak itu memulai mempromosikan reformasi di Inggris menurut prinsip-prinsip Luther, Zwingli dan Calvin. Juga disini, kekerasan digunakan untuk menyebarkan ajaran-ajaran baru. Upaya terakhir dari gerakan Reformasi ini secara praktis terbatas di Inggris (lihat Anglikanisme).


III. METODE PENYEBARAN REFORMASI [IE. PROTESTANTISME]

Dalam pemilihan cara-cara untuk memperluas Reformasi, para pendiri Reformasi dan pendukung-pendukungnya tidaklah memilih cara-cara yang baik dan benar.
Mereka malahan menggunakan segala aspek yang dapat mereka gunakan untuk memperluas gerakan mereka.

A

Pada awal-awalnya pengecaman terhadap penyelewengan-penyelewengan dalam kehidupan religius dan gerejawi merupakan metode-metode utama para reformator untuk memajukan rancangan mereka. Dengan cara ini mereka memenangkan simpati banyak orang yang tidak puas dengan kondisi-kondisi yang ada. Dan orang-orang ini siap untuk mendukung gerakan apapun yang menjanjikan perubahan. Namun yang secara efisien mendukung para reformator, yang dengan segera menyerang dengan keras otoritas kepausan karena mereka [para reformator] mengenal otoritas tersebut sebagai penjaga tertinggi dari Iman Katolik, adalah merebaknya kebencian. Kebencian kepada Roma dan anggota-anggota hierarkhi, yang disirami oleh keluhan-keluhan yang sah tentang penyelewengan-penyelewengan yang terjadi berkali-kali tanpa henti. Oleh karena itu muncul banyak karya-karya sindiran, yang kadang sangat vulgar, terhadap paus, para uskup dan secara umum kepada semua wakil-wakil otoritas gerejawi. Pamflet-pamflet tersebut di-edarkan dimana-mana ditengah masyarakat, dan karenanya rasa hormat kepada otoritas semakin digoncang keras. Pelukis-pelukis melukiskan karikatur yang memalukan dan merendahkan atas paus, para klerus dan biarawan sebagai ilustrasi atas teks-teks kasar di pamflet-pamflet. Berbekal apapun senjata yang bisa digunakan (bahkan yang paling menjijikkan dan tidak pantas sekalipun), peperangan melawan wakil-wakil Gereja ini, yang dianggap sebagai penyebab penyelewengan-penyelewengan gerejawi, mempersiapkan kondisi bagi diterimanya Reformasi. Pembedaan antara penyelewengan-penyelewengan yang bisa dikoreksi dengan kebenaran Kristen fundamental yang adikodrati tidak lagi diperhatikan; bersamaan dengan penyelewengan-penyelewengan dihilangkan juga institusi penting gerejawi yang eksis karena didirikan secara ilahi..

B

Salah satu keuntungan lain bagi gerakan Reformasi adalah pepecahan yang terjadi di berbagai tempat antara otoritas gerejawi dan sipil. Bagi masyarakat Kristen Barat, perkembangan Negara kepada bentuk/konsep Negara modern menimbulkan banyak perselisihan antara klerus dan awam, antara uskup-uskup dan kota-kota, antara biara-biara dan pemerintahan-pemerintahan sipil regional. Ketika para reformator menarik semua otoritas dari para klerus, terutama semua pengaruh dalam perkara-perkara sipil, mereka [ie. para reformator] memampukan pangeran-pangeran dan otoritas dewan kota untuk mengakhiri perselisihan berlarut-larut tersebut dengan keuntungan di pihak mereka [ie. para pengeran dan otoritas dewan kota]. Hal ini mereka [ie. para pengeran dan otoritas dewan kota] lakukan dengan secara arbiter mengklaim bagi diri mereka sendiri semua hak-hak yang diperselisihkan [ie. diperselisihkan antara otoritas sekuler dan otoritas gerejawi], lalu mengusir hierarkhi [gerejawi] yang hak-haknya mereka rampas, lalu kemudian dengan otoritas mereka sendiri mendirikan sebuah organisasi gerejawi yang benar-benar baru. [Dengan begini] para klerus-klerus Reformator/Protestant sejak awal-awal hanya memiliki hak-hak yang diberikan oleh otoritas sipil. Sebagai konsekuensinya gereja-gereja nasional Reformator/Protestant secara total tunduk kepada otortias sipil. Dan para Reformator/Protestant sendiri, yang telah mempercayakan kepada kekuasaan sipil pelaksanaan prinsip-prinsip mereka [ie. para reformator/Protestant], tidak punya cara dan sarana-sarana untuk membebaskan diri dari ketundukan ini.

C

Sepanjang abad-abad sebelumnya, sejumlah besar yayasan telah didirikan dengan tujuan keagamaan, karya kasih [ie. rumah sakit, panti-panti etc], dan pendidikan.
Yayasan-yayasan tersebut diberi sumber daya-sumber daya yang kaya. Gereja-Gereja, biara-biara, rumah sakit-rumah sakit dan sekolah-sekolah sering memiliki pendapatan yang besar dan bermacam barang-barang. Hal ini menimbulkan ke-iri-an penguasa-penguasa sekular. Reformasi memampukan para penguasa sekuler untuk men-sekuler-kan kekayaan Gerejawi yang melimpah tersebut. Ini karena para pemimpin Reformasi terus menerus melawan keras sentralisasi kekayaan-kekayaan tersebut di tangan para klerus. Oleh sebab itu para pangeran dan otoritas dewan kota diajak untuk menyita properti gerejawi dan menggunakan properti tersebut untuk tujuan-tujuan mereka. Pemimpin-pemimpin gerejawi diberi kepercayaan oleh para pangeran dan otoritas dewan kota untuk bertindak hanya sekedar sebagai pribadi-pribadi gerejawi untuk keperluan administrasi dan pengelolaan usufruct [ie. biaya sewa yang berhak diterima satu pihak meskipun properti yang disewakan bukan milik pihak tersebut]. Kemudian, dengan melanggar hukum aktual, para pangeran dan otoritas dewan kota mengubah pemimpin-pemimpin gerejawi menjadi pemimpin-pemimpin sekuler. Dengan cara ini para Reformator sukses mengeringkan Gereja dari kekayaan temporal yang digunakan Gereja untuk berbagai kebutuhan dan sukses mengalihkan beberapa kekayaan temporal tersebut bagi kepentingan mereka sendiri.

D

Emosi-emosi manusia, yang dirujuk oleh para Reformator dengan berbagai cara, adalah sarana lain dalam menyebarkan Reformasi. Gagasan-gagasan yang dibela oleh para inovator ini [ie. para "reformator," mereka disebut "inovator" karena pemikiran mereka yang sifatnya inovatif alias baru dan tidak ada sebelumnya], -- [yaitu] kebebasan Kristen, izin untuk berpikir [license of thought, maksudnya apapun boleh dipikirkan tidak peduli seburuk apapun pemikiran itu], hak dan kapasitas setiap individu untuk menemukan imannya sendiri di Alkitab, dan prinsip-prinsip lain -- adalah gagasan-gagasan yang sangat menggoda bagi banyak orang. Penghapusan institusi-institusi religius yang berfungsi sebagai pengekang kodrat manusia yang berdosa (pengakuan, tobat, puasa, pantang, kaul-kaul) membuat tertarik mereka yang dipenuhi nafsu seksual dan mereka yang tidak serius dalam hidup dan hanya menyukai kesenangan-kesenangan. Perang melawan ordo-ordo religius, melawan keperawanan dan selibat, melawan praktek kehidupan Kristen yang lebih tinggi, memenangkan banyak simpatisan bagi para Reformator. Mereka-mereka ini adalah orang yang tanpa panggilan yang serius telah masuk kedalam kehidupan religius karena motif-motif yang murni manusiawi dan duniawi. Mereka berkeinginan untuk terbebas dari kewajiban-kewajiban kepada Allah yang [mereka rasa] telah membebani [diri mereka], dan untuk bebas memuaskan kedahagaan sensual mereka. Semua ini bisa mereka lakukan dengan lebih mudah sebab penyitaan properti Gereja-Gereja dan biara-biara memungkinkan tersedianya tambahan-tambahan materi bagi mantan-biarawan dan mantan-biarawati, dan bagi romo-romo yang murtad.
Dalam tulisan-tulisan dan pamflet-pamflet yang tak terhitung banyaknya para Reformator dengan sengaja dan sesering mungkin mengobarkan insting-insting manusia yang paling dasar. Karya-karya sindiran dan fitnah-fitnah tertulis yang sangat mengejutkan terhadap paus, Kuria Kepausan, para Uskup, Romo, biarawan dan biarawati yang tetap setia terhadap keyakinan Katolik mereka, dibuat dan disebarkan. Dengan bahasa yang paling vulgar dan kasar insitusi-institusi dan ajaran-ajaran Katolik didistorsikan dan kemudian diejek. Diantara kalangan bawah, yang sebagian besar tidak berpendidikan, yang merupakan unsur terlupakan dalam tatanan masyarakat, nafsu-nafsu dan insting-insting paling mendasar di-stimulasi dan ditekankan bagi kelangsungan Reformasi.

E

Pada awalnya banyak uskup menunjukkan ke-apatis-an yang besar terhadap para Reformer, merasa bahwa gerakan baru ini tidak penting; [hal ini memberi] pimpinan-pimpinan Reformator waktu yang lebih banyak untuk menyebarkan ajaran-ajaran mereka. Bahkan setelah beberapa waktu, banyak uskup yang punya kecenderungan duniawi, meskipun masih tetap setia kepada Gereja, punya sikap yang malas dalam memerangi bidaah ini dan dalam melaksanakan tindakan-tindakan antisipatif yang tepat untuk menghentikan penyebarannya. Hal yang sama juga terjadi pada klerus-klerus paroki yang sangat tidak peduli dan indifferen, dan melihat dengan tenang-tenang saja pembelotan orang-orang. Sementara disisi lain para Reformator menunjukkan semangat yang lebih besar untuk memperjuangkan idealisme mereka. Para Reformator tidak melewatkan cara apapun yang bisa mereka pakai: dengan kata-kata dan pena, dengan interaksi dengan orang-orang yang berpikiran sama, dengan ke-elegansi-an yang populer yang sudah sangat mahir dilakukan oleh pemimpin-pemimpin Reformasi, dengan khotbah-khotbah dan tulisan-tulisan populer yang merujuk kepada kelemahan pribadi-pribadi yang populer [tentunya pribadi Katolik], dengan menyalakan fanatisme kepada massa, singkatnya dengan menggunakan secara cerdik dan bersemangat setiap kesempatan dan peluang yang muncul. Mereka benar-benar membuktikan antusiasme yang tinggi bagi penyebaran ajaran mereka. Mereka melanjutkan dengan sangat cekatan dan meng-klaim bahwa mereka memegang dengan teguh kebenaran-kebenaran esensial Iman Katolik, bahwa mereka masih melakukan, pada awalnya, banyak unsur-unsur eksternal perayaan peribadatan Katolik, bahwa niat mereka hanyalah menghapuskan hal-hal yang didasarkan pada ciptaan manusia. Dengan demikian mereka berusaha menipu orang-orang mengenai tujuan sebenarnya dari aktivitas-aktivitas mereka. Mereka menemukan banyak lawan-lawan yang saleh dan juga bersemangat di kalangan klerus-klerus reguler dan sekuler. Namun, yang sebenarnya diperlukan, terutama pada saat-saat awal, adalah perlawanan yang dilakukan dengan terorganisasi, sistematis dan dalam skala universal terhadap reformasi palsu ini.

F

Banyak tata cara-tata cara baru yang diperkenalkan para Reformator membuat senang dan menyanjung banyak orang -- antara lain: penerimaan piala [Anggur] bagi seluruh umat [catatan DeusVult: sebelumnya yang minum dari piala hanya imam], penggunaan bahasa ibu di peribadatan, hymne-hymne religius populer digunakan dalam peribadatan, pembacaan Alkitab, peningkaran terhadap perbedaan esensial antara klerus dan awam. Dalam kategori ini termasuk juga ajaran-ajaran yang menarik bagi banyak orang -- antara lain justifikasi/pembenaran oleh iman saja tanpa rujukan terhadap perbuatan-perbuatan baik; penyangkalan kehendak bebas, yang memberikan alasan bagi kegagalan-kegagalan moral; kepastian pribadi akan keselamatan dalam iman (ie. keyakinan subyektif terhadap jasa-jasa Kristus); imamat universal, yang memberikan semua orang bagian langsung dalam fungsi-fungsi ke-imam-an dan administrasi gerejawi.

G

Terakhir, salah satu sarana utama yang digunakan dalam menyebarkan reformasi adalah penggunaan kekerasan oleh para pangeran dan otoritas dewan kota. Imam-imam yang tetap Katolik diusir dan diganti oleh pengikut ajaran baru, dan masyarakat dipaksa menghadiri peribadatan baru. Para umat Gereja yang setia dianiaya dengan berbagai cara, dan otoritas sipil memastikan bahwa iman dari keturunan orang-orang yang melawan keras Reformasi/Protestantisme dilemahkan secara gradual. Di banyak tempat, orang-orang dipisahkan dari Gereja dengan kekerasan yang brutal. Ditempat lain, untuk menipu orang-orang suatu kelicikan dilakukan dengan masih menggunakan ritus Katolik, meski hanya luarannya saja, dalam waktu yang lama, dimana para klerus Protestant menggunakan jubah-jubah gerejawi peribadatan Katolik. Sejarah Reformasi/Protestantisme menunjukkan dengan tak terbantahkan bahwa kekuasaan sipil adalah faktor utama dalam menyebarkan Reformasi/Protestantism di semua daerah, dan bahwa dalam analisa akhir bukanlah faktor religius yang menjadi penentu kemajuan penyebaran Reformasi/Protestantisme, tapi kepentingan-kepentingan dinasti-dinasti, politik dan sosial. Ini ditambah fakta bahwa pangeran-pangeran dan magistrate municipal yang bergabung dengan para Reformator/Protestant melakukan tirani atas hati nurani rakyat dan masyarakat mereka. Semua harus menerima agama yang diakui penguasa sipil. Prinsip "Cuius regio, illius et religio" (Agama disesuaikan dengan daerah) adalah hasil tumbuh-kembang Reformasi/Protestantisme, dan oleh prinsip itu para pengikut Reformasi/Protestantism, kapanpun mereka mendapatkan kekuasaan yang diperlukan, menerapkan dalam praktek.


********************************************



Maaf, untuk sementara hanya bagian I-II saja. Bagian III-VI belum .


Apakah yang sudah ditulis ini cukup membantu? Kalau malahan membuat bingung, mungkin sebaiknya proyek ini (menerjemahkan sejarah-sejarah ke-Kristen-an dari Catholic Encyclopedia) diganti yang lain. Ada saran yang lain itu apa?

Kalau cukup positif aku harap di masa depan akan ada Proyek untuk entry Catholic Encyclopedia mengenai Skisma Timur (munculnya Orthodox), Skisma Barat dan juga entry mengenai konsili-konsili ekumenis (bukan dokumen-dokumennya, tapi sejarahnya sesuai yang ditulis Catholic Encyclopedia). Nanti mungkin semuanya ditaruh di bagian tersendiri dengan subyek "Sejarah Gereja."

Bagian kedua yang cukup singkat, tapi memiliki satu kalimat yang buat pusing untuk menerjemahkan (sangat pusing actually), telah selesai.

Di bagian ini kalian akan mempelajari bagaimana pemberontakan yang dilakukan Protestant pada awalnya sangat berdarah (jadi jangan pikir bahwa Protestant itu sekedar si kecil yang ingin bebas dari kungkungan si besar yang berkuasa dengan segala kelemahannya).

Kalian juga akan membaca bagaimana setelah suatu daerah menjadi daerah kekuasaan Protestant, para Protestant itu malahan menerapakan aturan yang lebih ketat dan mengkungkung daripada apapun yang pernah dilakukan Gereja Katolik. Bahkan mereka cenderung memaksa.

Point lain yang tidak disebut di artikel ini, yaitu mengenai sampai mana kegananasan para Iconoclast Protestant. Menurut sejarah, mereka begitu ganasnya sampai relikui-relikui para kudus, yang bisa berupa potongan tangan, jantung, kepala atau bahkan tubuh sang kudus, mereka bakar. Hampir semua, kalau tidak semua, relikui para kudus tersebut sifatnya adalah incorrupt. Jadi, kalau tidak ada Protestantism, mungkin lebih banyak incorrput seperti Bernadette. Tapi dibakar oleh para.... Protestant.

Tentu saja hal-hal seperti ini biasanya tidak pernah diceritakan di pelajaran-pelajaran agama Protestant atau sekolah-sekolah teologi mereka, terutama yang di Indonesia.
Yang diceritakan paling mengenai heroisme si kecil (Protestant) yang melawan ke-otoriteran, ke-angkuhan, arogansi si besar (Gereja Katolik).

 

Sebenarnya sih, aku ingin kalian mengasah kemampuan google kalian sambil belajar sedikit sejarah. Aku pikir sebaiknya kalian cari sendiri sumber-sumber yang menceritakan tentang keganasan setan (tidak dapat disebut lain) dari para Iconoclast Protestant awal-awal. Ini fakta sejarah yang bisa ditemukan di banyak sumber. Protestant pun tidak bisa menyangkal yang ini.

Tapi... ini aku kasih satu sumber saja. Kalian google yang lain dan taruh di topik ini kalau ketemu sebagai pembelajaran kita semua:

Dari website Dave Armstrong

Church historian Warren H. Carroll describes the Calvinist iconoclastic riots in the Low Countries in 1566:
Sejarahwan Gereja Warren H. Carroll mendeskripsikan kerusuhan para iconoclastik Calvinist di Negara-Negara Bawah pada 1556:

[P]ada 20 Agustus datanglah 'murka Calvinist' di Antwerp. Hampir semua gambaran-gambaran (patung, ukir-ukiran, pahatan etc) dan lukisan-lukisan di 42 Gereja di Antwerp di hancurkan oleh berandalan-berandalan yang melakukannya siang dan malam, tanpa ada perlawanan [dari orang-orang]. Tindakan penghancuran ikon ini (ie. Iconoclasm) direncanakan oleh para pemimpin Calvinist dan dilakukan oleh orang-orang muda yang kebanyakan dibayar oleh mereka atau pendukung mereka ... biara-biara dan rumah-rumah tarekat religius dijarah dan perpustakaannya dibakar...

Kemurkaan tersebut menyebar bagai api. Tiga hari atau empat hari setelah itu lebih dari 400 Gereja, biara-biara, dan rumah-rumah tarekat religius diserang. Tabernakel dibuka paksa, Hosti-hosti diambil dan diinjak, dan tulang-tulang para kudus dikeluarkan dari tempat persemayanan dan digeret melalui tanah...

Di Amsterdam, walikota dan dewan kota mencoba melawan para iconoclast, tapi mereka kewalahan. Di Utrecht 'sejumlah besar harta karun seni dan jubah-jubah, termasuk seluruh perpustakaan para Franciscan, dibakar.' Di Delft, gerakan Iconoclasm diarahkan oleh Adrian Menninck, seorang pengusaha ternama, yang juga mengarahkan gerakan yang sama di The Hague. (Bukti-bukti sangatlah kuat bahwa serangan para iconoclast terorganisasi dan terkoordinasi rapi.)
Count dari Culemborg memotong altar di kapelnya sendiri dengan sebuah kapak, [dia juga] memerintahkan pelayan-pelayannya untuk membawa meja-meja ke Gereja yang sudah dirusak [lalu dia kemudian] duduk makan malam di Gereja rusak tersebut dan memakankan Hosti-Hosti yang telah dikonsekrasi dari ciborium kepada seekor burung nuri yang hinggap di lengannya. ...

... para Calvinist mendpatkan peluang baru dan mereka mengambil peluang itu dengan mengambil kendali kota-kota utama Flanders — Antwerp, Ghent dan Bruges — pada musim semi 1578. Di Hari Perayaan Tubuh Kristus [ie. Corpus Christi] pada Juni, para Calvinist menyerang prosesi religius Katolik di Brussels dan Liege, men-desekrasi Sakramen Maha Kudus, membanting salib-salib dan gambaran-gambaran (patung, ukir-ukiran, pahat-pahatan), dan membunuh banyak umat. Pada 10 Juni ada pemberontakan Calvinist di Utrecht dengan lebih banyak tindakan Iconoclasm; pada 28 Juni enam religius Katolik dibakar sampai mati di Ghent.

(The Cleaving of Christendom, vol. 4 of A History of Christendom, Front Royal, VA: Christendom Press, 2000, 323, 380)



Apakah ada Protestant di Indonesia yang tahu ini? Aku kira tidak. dan sebenarnya juga tidak ada Katolik yang tahu akan ini.

You know, Protestant sering me-refer kepada permintaan maaf Yohanes Paulus II dan meyakinkan orang lain (juga diri mereka sendiri) bahwa kesalahan ada di pihak Katolik. Dalam pikiran sederhana Protestant yang seperti ini, "minta maaf itu berarti mereka bersalah kan. Kalau tidak salah kan tidak minta maaf." Sungguh ironis sekali.

Memang banyak individu Gereja Katolik yang juga bersalah. Dan Yohanes Paulus II pun meminta maaf atas itu.

Tapi mana "maaf" dari Protestant?

Yang paling tragis [dan teologis] sebenarnya bukanlah fakta bahwa "maaf" dari Protestant itu tidak pernah terdengar, juga bukanlah fakta bahwa mereka begitu sok dan jumawa seakan-akan mereka-lah yang disalahi dan mereka berhak atas maaf itu. Yang paling tragis [dan teologis] adalah fakta bahwa sebenarnya Protestant tidak meminta maaf karena mereka tidak bisa minta maaf.

Sebagai suatu gerakan yang terpecah-pecah satu sama lain, Protestant tidak sekedar cuek terhadap apa yang terjadi antar denominasi-denominasi, mereka juga tidak punya keterkaitan historis dengan Protestant-Protestant awal. Jadi, tidak hanya umat denominasi A tidak begitu kebakaran jenggot kalau pendeta denominasi B melakukan bisnis human traficcking, umat denominasi A pun tidak akan terlalu peduli dengan apa yang dilakukan oleh Protestant-protestant awal yang merupakan cikal bakal munculnya mereka.

Dan, sebagaimana aku telah tekankan di salah satu topik (yang sebenarnya aku mau link-kan tapi gak ketemu di topik mana aku nulis itu), ini menunjukkan bahwa denominasi-denominasi Protestant SAMA SEKALI BUKAN PENGEJAWENTAHAN (harap-harap spelling-nya benar) DARI TUBUH MISTIK KRISTUS SEBAGAIMANA DITULIS PAULUS, "Karena itu jika satu anggota menderita, semua anggota turut menderita" [1Kor 12:26].

PS

http://socrates58.blogspot.com/2007/05/ ..-rationalize.html

A History of the Protestant Reformation in England and Ireland (1826), by the non-Catholic social reformer William Cobbett (1763-1835).

96. And yet, the calculating, cold-blooded and brazen BURNET has the audacity to say, that "such a man as Henry VIII. was necessary to bring about the Reformation!" He means, of course, that such measures as those of Henry were necessary; and, if they were necessary, what must be the nature and tendency of that "Reformation?"

97. The work of blood was now begun, and it proceeded with steady pace. All who refused to take the oath of supremacy; that is to say, all who refused to become apostates, were considered and treated as traitors, and made to suffer death accompanied with every possible cruelty and indignity. As a specimen of the works of BURNET's necessary reformer, and to spare the reader repetition on the subject, let us take the treatment of JOHN HOUGHTON, Prior of the Charter-house in London, which was then a convent of Carthusian monks. This Prior, for having refused to take the oath, which, observe, he could not take without committing perjury, was hanged at TYBURN. He was scarcely suspended when the rope was cut, and he alive on the ground. His clothes were then stripped off; his bowels were ripped up; his heart and entrails were torn from his body and flung into a fire; his head was cut from his body; the body was divided into quarters and parboiled; the quarters were then subdivided and hung up in different parts of the city; and one arm was nailed to the wall over the entrance into the monastery!

98. Such were the means, which BURNET says were necessary to introduce the Protestant religion into England. How different, alas! from the means by which the Catholic religion had been introduced by POPE GREGORY and Saint AUSTIN! These horrid butcheries were perpetrated, mind, under the primacy of Fox's great Martyr, CRANMER, and with the active agency of another ruffian, named THOMAS CROMWELL, whom we shall soon see sharing with CRANMER the work of plunder, and finally sharing, too, in his disgraceful end.




A History of the Protestant Reformation in England and Ireland (1826), oleh reformator sosial non-Katolik William Cobbett (1763-1835).

96. Dan lagi, si BURNET yang berdarah dingin dan tidak punya malu memiliki kelancangan untuk berkata, bahwa "orang seperti Henry VIII diperlukan untuk membawa Reformasi!" Maksudnya tentunya adalah, bahwa langkah-langkah yang diambil Henry merupakan langkah-langkah yang perlu; dan kalau langkah-langkah tersebut perlu, apa yang menjadi hakekat dan kecenderungan dari "Reformasi" tersebut?

97. Karya berdarah sekarang telah dimulai. Dan karya itu dilakukan dengan tahapan yang stabil. Semua yang menolak untuk mengambil sumpah supremasi [ie. sumpah bahwa Raja Inggris punya supremasi dalam hal keagamaan di Inggris]; yaitu, semua yang menolak untuk menjadi murtad dianggap dan diperlakukan sebagai pengkhianat-pengkhianat. Dan mereka dibuat mati menderita dengan segala kekejian dan ketidakhormatan yang mungkin dilakukan. Sebagai contoh dari karya si reformator [ie. si Henry VIII] yang menurut BURNET diperlukan, dan supaya pembaca tidak dijenuhkan oleh pengulangan atas masalah ini, marilah kita lihat perlakuan terhadap JOHN HOUGHTON, Prior dari Charter-house di London, yang pada saat itu adalah sebuah rumah tarekat religius rahib-rahib Chartusian. Prior ini, karena menolak mengambil sumpah yang tidak bisa dia ambil karena hal itu berarti melakukan kebohongan, digantung di TYBURN. Dia belumlah tampak tergantung diam ketika tali gantungan dipotong, dan dia masih hidup ketika [terjatuh] ke tanah. Baju-bajunya kemudian ditanggalkan; isi perutnya dirobek; jantung dan ususnya dipisahkan dari tubuhnya dan dilemparkan kedalam api; kepalanya dipenggal dari tubuhnya; tubuh itu kemudian dibagi menjadi beberapa bagian dan dimasak setengah matang; bagian-bagian tubuhnya kemudian dipecah-pecah lagi dan digantung di tempat-tempat berbeda di dalam kota; satu lengan dipakukan di tembok atas pintu masuk rumah tarekat!

98. Itulah cara-cara, yang kata BURNET diperlukan untuk memperkenalkan agama Protestant ke INggris. Bagaimana berbedanya semua itu dengan cara-cara yang dilakukan agama Katolik [ke Inggris] sebagaimana dilakukan oleh PAUS GREGORIUS dan Santo AUSTIN! Penjagalan yang mengerikan ini dilakukan, ingat, dibawah kekuasaan Martir agung-nya Fox, [yaitu] si CRANMER, dan dengan bantuan aktif oleh petualang lain bernama THOMAS CROMWELL, yang kita segera lihat [bagaimana dia] berbagi dengan CRANMER karya-karya perampokannya, dan [bagaimana dia] kemudian juga berbagi [dengan CRANMER] akhir hidup yang memalukan.


No further comment necessary.

 

Bagian ke-III telah selesai (Metode Penyebaran Reformasi). Pada bab ini kita mempelajarai apa saja yang dilakukan para pengikut Reformasi dalam menyebarkan ajaran baru mereka. Kita lihat bahwa cara-cara kekerasan (yang salah satunya adalah yang ditulis ) tidak dikecualikan dalam menyebarkan ajaran baru ini.

Si BacktoPurity merasa bahwa Gereja Katolik kurang menerapkan prisip marketing dan dia sebagai consumer tentunya harus dipuaskan kalau tidak mau ditinggalkan. Nah, dengan membaca bagian ketiga ini kita tahu darimana asal mentalitas seperti ini. Salah satu cara yang digunakan para Protestant awal untuk menyukseskan penyebaran ajaran barunya adalah membuat praktek-praktek dan ajaran-ajaran baru yang menyenangkan dan menyanjung banyak orang. Istilah marketing-nya mungkin "memuaskan pelanggan." Jadi bukannya "people conforms to God" tapi "God conforms to people."

Pada saat Reformasi para hierarkhi Gereja cukup cuek-cuek saja terhadap perkembangan yang terjadi. Mungkin sedikit banyak ini dikarenakan pemkiran bahwa "ah, dulu-dulu ya ada pemberontakan seperti itu [ex. John Huss, Wyclyff, Albigensians etc] tapi toh hanya riak-riak sesaat." Sayangnya mereka tidak menghadapi riak, tapi gelombang tsunami. Ini karena faktor-faktor yang menghambat merebaknya pemberontakan masa lalu telah hilang. Dahulu umat masih respect terhadap hierarkhi karena korupsi pejabat gerejawi tidak merebak seperti saat Reformasi, hubungan pemerintah sekuler dan Gereja juga masih baik.


Hal terakhir itulah yang terbukti sebagai faktor penentu. Tidak hanya pemerintahan sekuler tidak kooperatif dengan Gereja, mereka bahkan menggunakan segala kekuatan yang mereka punya, yang paling brutal dan kasar sekalipun, untuk melawan Gereja dan menyebarkan bidaah Protestantism. Prinsip "Cuius regio, illius et religio" dipraktekkan dengan full force bahkan tanpa mengindahkan hati nurani masyarakat yang hidup dalam daerah kekuasaan para pangeran sekuler yang Protestant.

Aku jadi tersenyum mengingat kata-kata terakhir di film "Luther The Movie" yang didanai denominasi Lutheran pada tahun 2003. Epilogue film tersebut berbunyi:

What happened at Augsburg pushed open the door of religious freedom. Martin Luther lived for another 16 years, preaching and teaching the Word. He and Katharina von Bora enjoyed a happy marriage and six children. Luther's influence extended into economics, politics, education and music, and his translation of the Bible became a foundation stone of the German language. Today over 540 million people worship in churches inspired by his Reformation.


Tampaknya mereka lupa prinsip "Cuius regio, illius et religio" yang justru mereka petisikan pada Confession of Augsburg tahun 1530.

Sungguh mengerikan akibat Reformasi/Protestantisme pada kehidupan dunia dan terlebih pada kehidupan akhirat yang kekal.

God, have mercy on us all!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar