Mengasihi Sesama

Mengasihi Sesama
Ibu Theresa dari Calcuta

Sabtu, 04 September 2021

KATOLIK ATAU PROTESTAN YANG BENAR

 

JIKA PROTESTAN BENAR,

Konsili-konsili ekumenis tidak lagi memiliki kuasa seperti yang dulu penah dimiliki.

 

Untuk beberapa abad pertama keberadaan Gereja, para uskup berkumpul dalam konsili-konsili dan menetapkan doktrin-doktrin yang benar dan mengutuk heresi-heresi, dengan mengeluarkan ketetapan yang diakui sebagai mengikat bagi semua orang beriman. Tetapi pada titik tertentu dalam sejarah, konsili-konsili ini semestinya tidak lagi memiliki otoritas pengajaran yang universal itu.

 

Sebaliknya, konsili-konsili itu melulu menjadi pertemuan seremonial para uskup Gereja – atau paling buruk, komplotan rahasia dari Gereja yang berkianat yang telah diambil alih oleh tradisi-tradisi manusia.

 

The Protestant Conception of Ecumenical Councils Protestants 

berpendapat bahwa tidak ada konsili Gereja, bahkan yang secara tradisional dianggap ekumenis (universal), membawa suatu otoritas – kecuali sejauh konsili itu secara akurat menafsirkan Kitab Suci yang dalam kasus ini otoritasnya adalah dari Kitab Suci bukan dari konsili.

 

Jadi 4 konsili pertama Gereja yang sebagian besar menjawab persoalan-persoalan trinitarian dan kristologis, dianggap “otoritatif” hanya sejauh konsili itu adalah deduksi akurat dari sabda-sabda Allah dalam Kitab Suci. Namun, banyak protestan menduga bahwa bahkan konsili-konsili awal ini mengandung kekeliruan. Sebagai contoh, hanya sedikit yang rela menerima bahwa Maria adalah “Bunda Allah,” seperti yang dinyatakan dalam konsili ekumenis ketiga di Efesus. Bahkan Martin Luther yang tidak memiliki persoalan dengan gelar ini, menentang (berpendapat) bahwa konsili Gereja secara umum mengandung kekeliruan, seperti yang dinyatakannya dalam pernyataan penutupnya yg terkenal di The Diet of Worms

 

Jika aku tidak diyakinkan oleh kesaksian Kitab Suci atau oleh akal budi yang jernih (karena aku tidak percaya baik paus maupun konsili-konsili, karena telah diketahui dengan baik bahwa mereka sering keliru dan bertentangan dalam diri mereka sendiri), aku diikat oleh Kitab Suci yang telah aku kutip dan hati nuraniku tertangkap oleh sabda Allah.

 

Luther di sini menghadirkan kepercayaan protestan yang umum bahwa konsili-konsili ekumenis telah keliru dan “bertentang satu sama lain” karena menyimpang dari arti sebenarnya dari sabda Allah seperti yang ditemukan dalam Kitab Suci. The Westminster Confession of Faith, dokumen konfesional paling penting dari protestantisme Calvinis mengaungkan kembali ketidakpercayaan Luther terhadap konsili-konsili Gereja:  

 

Semua sinode atau konsili sejak jaman para rasul, apakah umum (ekumenis) atau khusus, dapat keliru dan banyak telah keliru; karena itu sinode dan konsili itu tidak harus dijadikan kaidah iman atau praktis, tetapi digunakan sebagai bantuan untuk keduanya. Sebaliknya, Kitab Suci sendiri adalah satu-satunya kaidah otoritatif atas iman dalam protestantisme. Inilah ajaran yang dikenal dengan Sola Scriptura, yang akan kita eksplorasi lebih mendalam kemudian.

 

Namun, Protestan-protestan yang lebih tradisional seperti Anglikan dan komunitas-komunitas Reformasi memandang empat konsili pertama bersifat otoritatif. Mereka berpendapat bahwa suatu konsili untuk dianggap ekumenis (karena itu, otoritatif), haruslah dihadiri oleh semua lima patriark utama (uskup untuk kota atau wilayah-wilayah penting): Roma, Konstantinopel, Antiokia, Aleksandria, dan Yerusalem. Mereka mengklaim bahwa empat konsili pertama ini memenui kriteria. Tetapi mereka berargumentasi, karena pemisahan yang terjadi dalam Gereja sejak – khususnya sejak skisma Koptik dan Ortodoks Timur – menjadi tidak mungkin lagi kelima patriark hadir dalam satu konsili, sehingga secara praktis tidak mungkin menjadi konsili ekumenis sampai hari ini.

 

KARENA Katolik BENAR,

 

Konsili-konsili Gereja memiliki otoritas mengikat yang sama sampai hari ini seperti yang dimiliki sejak abad-abad pertama.

 

Gereja telah menyelenggarakan konsili-konsili ekumenis sejak jaman para rasul (abad pertama). Kita melihat contoh dan pola untuk konsili-konsili ini dalam Kis 15, Konsili Yerusalem. Gereja dihadapkan dengan persoalan apakah bangsa-bangsa lain yang menerima iman Kristiani harus disunat supaya selamat. Permulaan konsili adalah, Paulus dan Barnabas “dengan keras melawan dan membantah pendapat mereka (orang-orang Yahudi yang datang dari Yudea ke Antiokia), sehingga mereka “ditunjuk untuk pergi ke Yerusalem kepada para rasul dan tua-tua untuk membicarakan hal itu (sunat)” (Kis 15:2).

 

Setelah perdebatan lama di antara para rasul dan tua-tua, Petrus berdiri dan menjelaskan bagaimana Allah menganugerahkan Roh Kudus kepada bangsa-bangsa lain, dan bahwa keselamatan berasalah dri rahmat melalui iman – bukan dengan menaati hukum Musa. Para rasul kemudain membuat draft sebuah surat untuk dikirim ke gereja-gereja, yang di dalamnya orang-orang mengajarkan hal yang menggoyahkan dan mengelisahkan umat tanpa otoritas dari para rasul. Keputusan yang dibuat oleh konsili, yang dimulai dengan rumusan otoritatif, “adalah keputusan Roh Kudus dan keputusan kami.” Protestan mengakui otoritas konsili ini karena para rasul sendiri yang memimpinnya. Juga, konsili ini tercatat dalam Kitab Suci, jadi keputusannya bersifat otoritatif untuk alasan itu.

 

Konsili ekumenis pertama yang disidangkan adalah di Nicaea pada tahun 325. Dihadiri lebih dari 300 uskup, termasuk Hosius, Uskup Kordova dan utusan/legatus Paus Silvester. Tujuan utama dari konsili itu adalah untuk menentukan apakah pengajaran Arius, diakon dari Aleksandria yang menyangkal ke-Allah-an Kristus dan relasi yang sehakekat dengan Bapa, adalah kesesatan. Kebenaran-kebenaran ke-Allah-an Kristus dan ke-sehakekat-an-Nya dengan Bapa sebagai konsekuensinya dinyatakan sebagai dogma. Protestan menerima ketetapn konsili ini bahkan menunjuk padanya sebagai standar untuk ortodoksi Trinitarian. Banyak protestan saat ini masih mengucapkan Kredo Nicaea, bagian pertama yang dirumuskan di Nicaea. Mereka juga menerima konsili ekumenis kedua yang diselenggarakan di Konstantinopel tahun 381, yang secara dogmatis menegaskan kebenaran tentang Keilahian Roh Kudus, dengan mengutuk kesesatan Makedonius. Bagian kedua dari Kredo didaptkan pada konsili ini, dan mayoritas terbesar protestan dengan bangga mendeklamasikannya sebagai suatu pengakuan dari kepercayaan-kepercayaan mereka yang paling fundamental.

 

Konsili Efesus I dalam tahun 431 adalah konsili ekumenis ketiga yang mengutuk ajaran Nestorius bahwa Maria hanyalah ibu untuk hakekat kemanusiaan Kristus. Ajaran seperti itu telah sangat melukai teologi yang benar dari misteri Inkarnasi, yang membuat tidak mungkin mengatakan bahwa “Allah mati di salib untuk dosa-dosa kita.” Konsili ekumenis keempat diselenggarakan di Kalsedon pada tahun 451, yang menolak monofisitisme – kepercayaan bahwa Kristus hanya memiliki satu kodrat – dan menegaskan bahwa Yesus memiliki 2 kodrat dalam satu pribadi. 

 

Konsili-konsili ini membangun dasar untuk ortodoksi Trinitarian dan Kristologis yang diikuti oleh hampir semua protestan. Dalam kenyataannya, protestan percaya bahwa setiap orang, yang menolak kebenaran-kebenaran tersebut, menempatkan dirinya sendiri di luar (alasan utama mengapa mereka menganggap Mormon sebagai non-Kristen). Jadi protestan ingin mengafirmasi konsili-konsili ini sebagai konsili yang otoritatif. Namun konsili di Efesus juga mengajarkan bahwa Maria adalah Bunda Allah, suatu gelar yang membuat banyak protestan tidak tenang. Kita akan mengangkat persoalan itu dalam satu bab kemudian, tetapi poin pokoknya di sini adalah bahwa konsili-konsili ini menetapkan baik ortodoksi maupun, dalam pandangan protestan, juga ketetapan yang mengandung kekeliruan dan perlu dipertanyakan.

 

Banyak problem tersisa bagi protestan yang berusaha untuk menerima empat konsili pertama, sementara menolak yang lainnya. Konsili ekumenis kelima, Konstantinopel II, menyatakan Maria tetap perawan seumur hidupnya, suatu kepercayaan yang sangat ditolak oleh sebagian besar protestan. Namun, konsili berikutnya, diadakan dalam abad ke-7, mengutuk kepercayaan monothelite bahwa Kristus hanya memiliki satu kehendak. Konsili itu menentapkan bahwa Kristus memiliki dua kehendak, Ilahi dan manusiawi. Ini adalah suatu kebenaran yang protestan percayai sebagai komponen esensial untuk ortodoksi Kristologis.

 

Menjawab Keberatan-keberatan Protestan

 

Apakah masuk akal, seperti protestan nyatakan, bahwa konsili ekumenis adalah otoritatif sejauh konsili itu secara akurat merepresentasikan kebenaran biblis? Ketika kita melihat pada Konsili Yerusalem, kita melihat bahwa Gereja memutuskan bahan yang dipersoalkan dengan referensi pada otoritas para rasul yang Allah berikan dalam Gereja dan tidak bergantung pada PL (yang adalah satu-satunya “Kitab Suci” yang ada pada masa itu, dengan hanya sedikit surat telah ditulis waktu itu dan kanon yang ditetapkan masih beberapa tahun kemudian). Sesungguhnya, PL tidak cukup jelas untuk persoalan itu, baik perlunya sunat dan pratanda keselamatan Bangsa-bangsa lain. Jadi klaim bahwa konsili-konsili hanya otoritatif ketika sesuai dengan Kitab Suci – yang dengannya para reformator memaksudkan baik PL maupun PB – hanya sedikit masuk akal ketika diaplikasikan pada konsili contoh pertama.

 

Tetapi ada problem kedua dengan teori ini. Siapa yang memiliki otoritas untuk secara akurat menginterpretasi teks-teks Kitab Suci (dan karena itu mengatur apakah suatu konsili mengafirmasi atau menentang kebenaran-kebenaran Kitab Suci)? Luther percaya bahwa dia memilikinya (otoritas itu). Protestan-protestan lain mengklaim bahwa Luther keliru dan bahwa mereka memiliki kunci yang benar untuk pemahaman dari teks Kitab Suci itu. Problem beragamnya interpretasi protestan terhadap kebenaran Kitab Suci bertahan sampai hari ini. Tanpa suatu standar untuk menafsirkan Kitab Suci, sesuai dengan ujian ini, tidaklah mungkin untuk mengatakan dengan kepastian apakah konsili tertentu mengajarkan secara otoritatif. Bagaimana dengan teori 5-Patriark (yang dikenal dengan “Pentarchy”): bahwa kehadiran patriark-patriark utama adalah kriteria yang perlu untuk suatu konsili ekumenis? Kaisar Justinianus I  menyukai model pengaturan kekristenan ini, di mana 5 patriark dari jabatan uskup utama akan menjadi milik dari satu kekaisaran. Di akhir tahun 600an, Konsili Trullo (yang tidak pernah diterima sebagai otoritatif oleh Gereja Katolik) berusaha memberikan kepercayaan kepada teori pentarchy dengan memberi rangking pada 5 keuskupan patriarkal.

 

Tetapi menggunakan teori ini sebagai kriteria untuk mengakui konsili ekumenis pertama adalah problematis. Tidak ada patriark Konstantinopel di tahun 325 selama konsili Nicaea I, jd teori ini tidak dapat dipakai. Lebih lanjut, konsili ekumenis di Efesus tahun 431 mengutuk Nestorius, yang adalah patriark Konstantinopel. Sama halnya, konsili ekumenis di Kalsedon tahun 451 yang mengutuk Dioscorus, Patriark Aleksandria sebagai heretik. Tetapi Dioscorus menolak ekskomunikasi dan diakui oleh Gereja Koptik sebagai paus. Ketika patriark-patriark jatuh ke dalam skisma, teori Pentarchy tidak menyediakan kaidah untuk mengetahui pihak mana yang ortodoks dan mana yang skismatik.

 

Sebenarnya, teori ini adalah suatu kecocokan historis yang ditemukan oleh kaisar Byzantin dengan harapan menjaga keteraturan di kekaisarannya. Protestan modern telah mengumumkan teori itu sebagai jalan obyektif untuk mengidentifikasikan konsili-konsili yang otoritatif; tetapi seperti yang kita lihat, teori itu tidak dapat bekerja.

 

Kriteria Katolik untuk suatu Konsili Ekumenis

 

Jika tidak satupun teori protestan masuk akal, apa yang membuat suatu konsili tiu ekumenis, dan karena itu otoritatif? Sederhana saja: paus.

 

Uskup Roma adalah pengganti Petrus, yang padanya Kristus memberikan “kunci Kerajaan Surga” sekaligus otoritas untuk mengikat dan melepaskan (bdk. Mat 16:18-19). Jadi, selama konsili-konsili awal ini kita menemukan patriark-patriark lain memperlihatkan rasa hormat yang besar terhadap paus. Sebagai contoh, ketika memimpin Konsili Kalsedon (451) – yang menetapkan Kristus sungguh Allah sungguh manusia – Flavianus, Patriark Konstantinopel, menulis surat untuk paus tentang ekstremitas konflik religio-politis dan meminta intervensi paus:

 

Ketika aku memohon kepada Tahta Apostolik, Tahta Petrus, Pangeran Para Rasul, dan kepada seluruh anggota sinode suci, yang taat pada Yang Mulia, sekali kerumunan pasukan mengelilingi aku dan menghalangi jalanku ketika aku hendak mencari perlindungan ke altar suci... Karena itu, aku memohon kepada Yang Mulia untuk tidak mengijinkan hal-hal seperti itu diperlakukan dengan biasa saja... tetapi pertama-tama mengangkat atas nama perkara iman ortodoks kita, yang sekarang dihancurkan oleh tindakan-tindakan yang tidak sah... lebih lanjut mengeluarkan suatu instruksi otoritatif... sehingga iman seperti itu dapat diwartakan di mana saja oleh sidang sinode yang dipersatukan dari para bapa baik Timur maupun Barat. Jadi, hukum-hukum para bapa dapat berlaku dan semua yang telah dilakukan keliru dibuat nol dan kosong. Bawalah penyembuhan untuk luka yang mengerikan ini.

 

Demikian juga tindakan-tindakan dari konsili Kalsedon berbicara dengan penuh kuasa untuk primat dan otoritas Paus Leo:

 

Karena itu, Yang Mulia dan Terberkati, Leo, Uskup Agung Roma, melalui kami, dan melalui sinode tersuci yang hadir di sini bersama-sama dengan yang diberkati dan dimuliakan Petrus Rasul, yang adalah Batu Karang dan fondasi Gereja Katolik, dan fondasi iman yang ortodoks, telah melepaskannya [Dioskorus, Patriark Aleksandria] dari jabatan episkopatnya dan mengasingkan dari dirinya semua kelayakan imamatnya.

 

Uskup Roma adalah, dengan Rahmat Allah, penjamin terakhir atas ortodoksi. Bahkan ketika uskup-uskup dari keuskupan utama lain jatuh dalam heresi (sebagai contoh, selama krisis Arian di abad ke-3 dan ke-4), paus tetap setia. Satu-satunya kriteria untuk suatu konsili disebut ekumenis yang masuk akal secara historis adalah persetujuan dari paus. Bahkan dalam konsili Yerusalem dalam Kisah Para Rasul, kita melihat bahwa Petrus adalah yang pertama berbicara dan menyatakan iman yang ortodoks, suatu pratanda dari peran uskup-uskup Roma dalam konsili-konsili berikutnya.

 

Gereja Katolik adalah satu-satunya Gereja atau komunitas Kristen yang masih mempertahankan konsili-konsili ekumenis sampai hari ini. Tak ada kelompok lain yang berani mengklaim bahwa mereka memiliki satu konsili ekumenis. Bisa dimengerti karena jika anda menyadari bahwa tidak ada kelompok lain yang dipimpin oleh uskup Roma.

 

DILEMA PROTESTAN

Protestan mengklaim mereka tanpa ragu menerima otoritas dari empat konsili ekumenis pertama, yang menyatakan kebenaran-kebenaran dasar Kristianitas. Namun, mereka menolak ketetapan tertentu dari konsili-konsili itu, dan menerima ketetapan-ketetapan tertentu dari konsili-konsili yang  kemudian sementara menolak yang lainnya. Dan mereka tidak memiliki kaidah untuk menentukan mengapa empat konsili pertama adalah ekumenis tetapi satu yang kemudian tidak. dengan asumsi Gereja Katolik keliru tentang apa yang membuat suatu konsili itu ekumenis, (kita bisa bertanya) mengapa Allah merencanakan Gereja-Nya sedemikian, selama berabad-abad, konsili-konsili ini adalah jalan utama yang di dalamnya pokok-pokok iman yang paling penting dan vital  dipertajam dan secara otoritatif dinyatakan, tetapi kemudian mencabut otoritas-Nya dari konsili-konsili itu sehingga konsili-konsili itu tidak lagi dapat dipercaya?

 

[Tambahan: Jika protestan benar, berarti Allah keliru karena selama berabad-abad membiarkan Gereja-Nya jatuh dalam kekeliruan yang menyesatkan tanpa suatu kuasa otoritatif untuk menentukan pokok-pokok iman yang benar]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar