Mengasihi Sesama

Mengasihi Sesama
Ibu Theresa dari Calcuta

Sabtu, 04 September 2021

BOLEHKAH MENAFSIR ALKITAB SECARA PRIBADI?

 

BOLEHKAH MENAFSIR ALKITAB

SECARA PRIBADI?

 

Siapa yang berwenang menafsir Alkitab secara benar?

 

Kadang-kadang Gereja Katolik dikritik karena sangat membatasi penafsiran Alkitab secara pribadi. Sekali lagi apa yang ditulis oleh G.W. Bromiley patut kita kutip disini:

 

Bagi mereka [Roma Katolik] Firman Allah adalah kaidah yang mutlak. Segala tafsiran dari orang perorangan ditolak…. Siapakah yang tepat menafsirkan Alkitab? Jawaban Roma Katolik adalah, bahwa Alkitab terlalu sukar sehingga diperlukan kewibawaan lain yang dapat menentukan arti manakah yang tepat.

 

Ucapan semacam itu memang ada benarnya, lebih-lebih pada masa yang silam sebelum tahun 1965. Sebagai akibat dari kekuatiran akan penafsiran pribadi yang terlalu bebas, Gereja Katolik sejak Konsili Trente membatasi pembacaan Alkitab oleh kaum awam. Akibatnya, umat "dijauhkan" dari Alkitab. Namun sekarang keadaan seperti itu sudah banyak berubah sejak adanya angin baru yang menghembusi Konsili Vatikan II.

 

Akan tetapi, bahwa dengan catatan di atas pun, pernyataan Bromiley tidak seluruhnya benar. Sebelum Konsili Vatikan II pun pembacaan dan penafsiran Alkitab sebenarnya tidak dilarang bagi mereka yang mengenal seluk beluk Alkitab. Jadi, tidak setiap penafsiran pribadi ditolak, seperti yang dikatakan Bromiley. Hanya saja, memang benar bahwa menurut keyakinan Gereja Katolik yang pada akhirnya mempunyai wewenang untuk menafsir Alkitab secara resmi dan tidak dapat sesat adalah Kuasa Mengajar Gereja atau yang kita sebut Magisterium. Magisterium adalah Paus dalam persatuan dengan semua Uskup yang menjadi pewaris sah kuasa Petrus dan para rasul. Dalam konstitusi Dei Verbum art.12 Konsili Vatikan II menegaskan kembali soal ini:

 

"Semua hal sekitar penafsiran kitab suci ini akhirnya harus tunduk kepada penilaian Gereja, yang menjalankan perintah dan tugas illahi untuk memelihara dan menafsirkan Sabda Allah."

 

Manakah tafsiran pribadi yang ditolak Gereja?

 

Jawabannya ialah tafsiran-tafsiran yang bertentangan dengan pokok-pokok iman yang harus dipelihara oleh Gereja. Jadi, jika seseorang, misalnya, berpendapat bahwa roti dan anggur di dalam sakramen Ekaristi tidak sungguh-sungguh diubah menjadi Tubuh dan Darah Kristus, melainkan tetap roti dan anggur biasa yang hanya berfungsi sebagai lambang belaka dari kehadiran Yesus, maka Kuasa Mengajar Gereja berwenang menyatakan bahwa tafsiran itu keliru dan perlu ditarik kembali. Bagaimana hal ini dapat dipertanggung jawabkan? Mengapa diperlukan Magisterium?

 

Mengapa diperlukan Magisterium?

 

Bukan suatu bahwa Alkitab itu bukanlah suatu buku yang mudah. Sebaliknyalah, harus kita akui bahwa sering sekali kita frustasi karena kita tidak mampu memahami perikop atau ayat-ayat tertentu. Banyak sekali ayat yang ditulis ribuan tahun yang lalu tidak dapat kita pahami lagi. Jarak yang memisahkan kita dari dunia Alkitab terlalu jauh. Tetapi bahkan pada jaman rasul sendiripun ada kesukaran semacam itu. Surat-surat Paulus, misalnya, dianggap sukar, seperti tertulis dalam 2 Ptr 3:16:

 

"Dalam surat-suratnya (Paulus) itu adalah hal-hal yang sukar dipahami, sehingga orang-orang yang tidak memahaminya dan yang tidak teguh imannya, memutarbalikannya menjadi kebinasaan mereka sendiri, sama seperti yang juga mereka buat dengan tulisan-tulisan yang lain."

 

Justru karena kesukaran inilah maka dalam surat yang sama kita temukan nasehat ini:

 

"Yang terutama harus kamu ketahui, ialah bahwa nubuat-nubuat dalam kitab suci tidak boleh di-tafsirkan menurut kehendak sendiri, sebab tidak pernah nubuat dihasilkan oleh kehendak manusia, tetapi oleh dorongan Roh Kudus orang-orang berbicara atas nama Allah". (2 Ptr 1:20-21)

 

Jadi menafsir Alkitab itu tidak boleh seenaknya. Hal itu bisa mendatangkan kebinasaan bagi diri sendiri (2 Ptr 3:16). Sayang, pada kenyataannya, satu bab yang sama atau bahkan satu ayat yang sama dapat ditafsirkan secara berbeda-beda, bahkan kadang-kadang secara bertentangan. Orang yang satu bisa merasa terdorong oleh Roh Kudus untuk menafsirkan ayat tertentu secara demikian. Sedang orang lain yang sama-sama merasa terdorong oleh Roh Kudus mempunyai tafsiran yang bertentangan atas ayat yang sama itu. Contoh lain, orang yang satu menganggap Sabda Yesus, "Ambillah, makanlah, inilah Tubuh-Ku" (Mat 26:26), sebagai bahasa lambang belaka, sedang orang lain berpendapat bahwa ucapan itu mesti diartikan apa adanya, artinya bahwa Yesus menjanjikan kehadiran-Nya secara nyata dalam rupa roti dan anggur. Contoh lain lagi, sesudah kebangkitan-Nya Yesus bersabda kepada para rasul, "Terimalah Roh Kudus. Jikalau kamu mengampuni dosa orang, dosanya diampuni, dan jikalau kamu menyatakan dosa orang tetap ada, dosanya tetap ada" (Yoh 20:23). Ada orang yang menafsirkan ucapan itu sebagai mandat kepada para rasul saja, sedang orang lain menganggap bahwa mandat itu diberikan kepada para rasul dan kepada semua pengganti mereka disepanjang jaman.

 

Kalau begitu siapakah yang benar? Terpecah-belahkah Roh Kudus yang mengilhami para penafsir tersebut ataukah semua tafsiran tersebut benar? Tentunya tidak demikian. Kalau begitu, bagaimana kita bisa mengetahui penafsiran yang benar? Bagaimana kita bisa mengatakan bahwa ayat tertentu itu mengandung arti simbolis atau kiasan belaka dan bukan arti harafiahnya? Kapan kita bisa mengatakan bahwa suatu perintah Yesus hanya berlaku untuk para rasul-Nya saja dua ribu tahun yang lalu. Dan kapan perintah-Nya itu berlaku untuk semua pengikut-Nya disegala tempat dan jaman? Disinilah letak masalahnya. Gereja Katolik percaya bahwa kuasa menafsir Alkitab secara resmi dan benar ada ditangan Magisterium dengan pendasaran sebagai berikut.

 

Sabda Allah itu perlu diteruskan dengan setia kepada umat manusia di segala tempat dan di segala jaman. Oleh karena itu diperlukan Gereja Kristus untuk menjaga harta iman. Untuk tujuan inilah maka ada pimpinan suci dalam Gereja. Pimpinan Gereja inilah yang mempunyai Kuasa Mengajar yang disebut Magisterium. Mereka itulah yang mendapat bimbingan khusus dari Roh Kudus untuk memelihara dan menafsir Sabda Allah secara benar.

 

Dalam jaman Perjanjian Baru, penjaga dan pemelihara Injil Yesus Kristus adalah para rasul di bawah pimpinan Petrus. Jadi, bila ada keragu-raguan dalam hal iman maka para rasullah yang memutuskannya. Contohnya, konsili pertama di Yerusalem, seperti yang dikisahkan dalam Kis 15:1-21, diadakan untuk memutuskan masalah perlu tidaknya sunat yang diwajibkan bagi umat Perjanjian Lama. Gagasan bahwa para rasul adalah penjaga dan penerus setia dari harta iman menjadi jelas dalam surat-surat Paulus. Dalam I Kor 15:3 Paulus sendiri mengakui bahwa dia hanya meneruskan ajaran yang dia terima sendiri (langsung dari Tuhan atau dari para rasul lain). Juga dalam I Kor 11:23 Paulus berkata: "Sebab apa yang ku teruskan kepadamu, telah aku terima dari Tuhan…" Tentu saja tugas para rasul itu tidak dapat diteruskan disegala tempat dan segala jaman. Maka dari itu, para rasul minta kepada umat agar apa yang mereka terima itu di pelihara dengan baik. Paulus, misalnya,berkata kepada umat di Tesalonika: "Sebab itu, berdirilah teguh dan berpeganglah pada ajaran-ajaran yang kamu terima dari kami baik secara lisan maupun secara tertulis" (2 Tes 2:15). Jadi, seluruh umat ikut bertanggung jawab dalam penulisan dan pemeliharaan Sabda Allah itu. Akan tetapi tidak cukup menyerahkan tugas yang begitu penting itu kepada umat secara umum begitu saja. Diperlukan petugas-petugas resmi yang menggantikan tugas para rasul dalam pemeliharaan harta rohani yang telah disampaikan kepada umat. Dari sebab itu, Paulus meninggalkan Timotius di Efesus, dan Titus dipulau Kreta dengan tugas mengawasi jemaat-jemaat disana. Keduanya adalah wakil Paulus yang sah, dan diangkat berdasarkan penumpangan tangan (bdk 1 Tim 4:14). Kepada Timotius Paulus berpesan: "Peganglah segala sesuatu yang telah engkau dengar dari pada ku sebagai contoh ajaran sehat… Peliharalah harta yang indah yang telah di percayakan kepada kita, oleh Roh Kudus yang diam di dalam kita" (2 Tim 1:13-14). Selain wakil-wakil rasul semacam ini, ada juga penilik-penilik jemaat dan penatua-penatua yang bertugas mengajar, memimpin dan mengatur jemaat. Mereka itu dilantik oleh para rasul sendiri (Kis 14:14) atau oleh wakil rasul (Tit 1:5) melalui penumpangan tangan. Perlu diketahui bahwa dalam perkembangan Gereja (mulai abad III) jabatan penilik dan penatua itu berkembang masing-masing menjadi uskup dan imam.

 

Nampak dari uraian diatas bahwa untuk mewahyukan Diri-Nya demi keselamatan umat manusia, Allah dengan perantaraan Roh Kudus-Nya telah melakukan tiga hal yang penting ini:

 

1.   Menyampaikan Sabda-Nya kepada umat-Nya

2.   Mengilhami penulis-penulis suci untuk menuangkan Sabda Allah yang sudah diimani umat itu dalam "sabda manusia," yakni secara tertulis dalam Kitab Suci

3.   Menyediakan suatu sarana yang dibutuhkan untuk pemeliharaan serta penafsiran yang setia dari Sabda-Nya. Tidak cukup bahwa Allah menganugerahkan harta yang luar biasa itu kepada manusia; perlu juga Dia menyediakan pimpinan suci yang harus memelihara sabda-sabda-Nya dengan setia

Jadi, kita perlu mempunyai iman kepada Allah yang bersabda. Namun itu belum cukup. Menurut Gereja Katolik, kita harus juga mempunyai iman bahwa Gereja di lengkapi oleh Allah dengan struktur pimpinan suci yang dalam bimbingan Roh Kudus memelihara dan menafsirkan Sabda Allah. Berdasarkan kepercayaan inilah maka dalam hal tafsiran yang bertentangan dengan kebenaran-kebenaran iman yang dipercaya Gereja, setiap penafsir Katolik harus tunduk kepada penilaian Magisterium. Para penafsir harus sadar akan keterbatasan akal budi manusia dalam menafsirkan Alkitab. Namun ini tidak berarti bahwa mereka tidak boleh menafsir Alkitab secara pribadi, atau bahkan mereka menerima semua tafsiran Magisterium begitu saja secara pasif. Sebaliknya, diakui bahwa para penafsir itu menyumbangkan studi mereka kepada Magisterium, agar Magisterium bisa menggambil keputusan-keputusan yang lebih matang (Dei Verbum 12).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar