Mengasihi Sesama

Mengasihi Sesama
Ibu Theresa dari Calcuta

Sabtu, 04 September 2021

SEJARAH TERJADINYA PROTESTAN OLEH DEUSVULT

 

SEJARAH TERJADINYA PROTESTAN OLEH DEUSVULT

Aku mencoba menerjemahkan entry Reformation dari Catholic Encyclopedia. Upayaku ini supaya umat awam bisa mengerti sejarah-sejarah penting yang berkaitan dengan ke-Kristen-an. Karena memang ditujukan kepada umat yang awam, juga terhadap mereka yang bahasa Inggrisnya kurang baik, maka terjemahan entry ini tidak aku buat kaku tapi aku buat se-reader friendly mungkin. Oleh karena itu banyak perubahan-perubahan yang aku lakukan sehingga mungkin terjemahannya agak berbeda dengan aslinya. Nevertheless, aku mencoba agar substansi yang ingin disampaikan Catholic Encyclopedia tidak berubah. 

Bagi mereka yang Ingrisnya cukup bagus tapi merasa kesulitan dengan gaya bahasa literatur lama (ensiklopedia dipublikasikan tahun 1913) dan gaya bahasa kaku literatur akademis, aku harap terjemahan-ku yang aku usahakan se-reader friendly mungkin ini, bisa membantu. 

Rasanya masih perlu banyak koreksi….. silahkan diberi koreksi kalau perlu. 



******************************************** 


Reformasi (alias Protestantisme) 

Reformasi adalah istilah umum bagi gerakan religius yang muncul di Eropa barat pada abad ke-enam-belas yang mengklaim bertujuan [melakukan] perbaikan internal Gereja, namun kemudian memimpin sebuah pemberontakan melawan Gereja dan meninggalkan prinsip-prinsip kepercayaan Kristen. Kita akan me-review karakteristik-karakteristik umum dari gerakan ini dari beberapa titik tolak. 

I. Penyebab-Penyebab [Terjadinya] Reformasi; 
II. Gagasan-Gagasan dan tujuan-tujuan Awal Para Reformator; 
III. Metode-Metode Penyebaran Reformasi; 
IV. Penyebaran Reformasi di Berbagai Negara; 
V. Bentuk-Bentuk berbeda Dari Reformasi; 
VI. Hasil dan Konsekuensi Dari Reformasi.



I. PENYEBAB-PENYEBAB [TERJADINYA] REFORMASI 

Penyebab-penyebab [terjadinya] pemberontakan religius besar pada abad ke-enambelas harus ditelusuri kebelakang sampai pada abad ke-empatbelas. Ketika itu ajaran Gereja memang masih murni; [namun] kehidupan saleh masih belum banyak dijumpai di semua bagian Eropa, dan banyak institusi Gereja jaman pertengahan yang membangun [benificient] tetap melanjutkan karya mereka dengan tak terganggu. Kondisi tak-berbahagia apapun yang muncul [saat itu] kebanyakan disebabkan karena pengaruh sipil dan duniawi [profane] atau karena pelaksanaan otoritas para pejabat Gerejawi di kancah sipil; [dua hal tersebut] tidak terjadi dimana saja dengan tingkatan yang sama [ie. di daerah-daerah tertentu lebih parah dari yang lain]. Kehidupan religius dan kegerejaan [masih] terlihat tekun dan bervariasi di banyak tempat; karya-karya pendidikan dan amal berkelimpahan; seni-seni religius dalam berbagai bentuknya masih memiliki daya hidup; [kegiatan] misionaris domestik [masih] banyak dan berpengaruh; literatur-literatur yang saleh dan membangun cukup umum dan dihargai. Namun sedikit demi sedikit, kebanyakan dikarenakan semangat ganas [hostile] kekuasaan sipil yang dipelihara dan diperkuat oleh beberapa unsur-unsur tatanan baru, di berbagai bagian Eropa muncul kondisi-kondisi politik dan sosial yang menghambat aktivitas perombakan bebas oleh Gereja sendiri. Kondisi-kondisi politik dan sosial tersebut lebih menyukai orang-orang nekat dan tidak hati-hati. Orang-orang macam ini kemudian mengambil kesempatan unik yang ada untuk membebaskan semua potensi-potensi bidaah dan skisma yang sebelumnya dikekang berkat tindakan harmonis antara otoritas gerejawi dan sipil. 


A 

Sejak penjajahan orang-orang barbar Gereja telah mengakibatkan sebuah transformasi yang lengkap dan kebangkitan kepada ras-ras di Eropa Barat, dan juga sebuah perkembangan mulia kepada kehidupan religius dan intelektual. Kepausan menjadi pusat yang kuat bagi keluarga bangsa-bangsa Kristen, dan tetap seperti itu sampai berabad-abad. Dan dalam kesatuan dengan keuskupan dan klerus-klerus, kepausan menunjukkan sebuah aktifitas yang mulia. Dengan semakin penuh kembangnya organisasi gerejawi ternyata disadari bahwa aktivitas pemerintahan gerejawi tidak lagi terbatasi dalam ranah gerejawi, tapi aktivitas tersebut mempengaruhi hampir semua lingkup kehidupan masyarakat. Lambat laun sifat keduniawian, dimana ini sangat disesalkan, muncul dikalangan pejabat tinggi gerejawi. Para pejabat gerejawi menjadi kurang memperhatikan tujuan utama mereka, yaitu menuntun manusia kepada tujuan abadinya. Sementara yang menjadi perhatian mereka malahan adalah aktivitas duniawi. Kekuasaan politik, kepemilikan atas materi, kepemilikan atas posisi terhormat di khalayak umum, pembelaan terhadap hak-hak historis kuno dan berbagai kepentingan duniawi sudah terlalu sering menjadi sasaran utama para klerus yang memiliki jabatan tinggi. Kepedulian pastoral, terutama berkenaan dengan tujuan religius dan gerejawi, tertinggal kebelakang meskipun [ada dan muncul] upaya-upaya penuh semangat dan sukses dalam memperbaiki keburukan-keburukan yang ada. 


B 

Berhubungan dekat dengan yang ditulis diatas adalah berbagai penyimpangan dalam kehidupan-kehidupan para klerus dan masyarakat. Di Kuria Kepausan kepentingan-kepentingan politis dan kehidupan duniawi sering menjadi perkara utama. Banyak Uskup dan kepala biara (terutama di negara-negara dimana mereka juga merupakan pangeran-pangeran teritorial [ie. penguasa-penguasa lokal]) lebih menampilkan diri sebagai penguasa-penguasa sekuler daripada pelayan-pelayan Gereja. Banyak anggota dari cathedral chapter [ie. klerus-klerus yang diangkat untuk menjadi penasehat uskup, dan bila keuskupan kosong mereka mengambil alih sampai ada uskup baru] dan pejabat gerejawi yang mempunyai hak beneficed [ie. hak permanen yang diberikan Gereja kepada klerus untuk menerima pendapatan gerejawi atas jasa-jasa pelayanan spiritual] lebih peduli terhadap pendapatan mereka dan bagaimana menambah pendapatan itu, terutama dengan cara menyatukan beberapa prebend [ie. hak bagi anggota cathedral chapter untuk mendapat persentase tertentu dari pendapatan cathedral] (atau bahkan [beberapa persentase pendapatan] keuskupan-keuskupan]) ditangan satu orang. Orang ini kemudian menikmati pendapatan yang lebih besar dan kekuasaan yang lebih besar. Kemewahan kemudian merajalela dikalangan klerus-klerus pejabat tinggi, sementara klerus-klerus pejabat rendah ditindas. Pelatihan keilmuan dan kebiaraan bagi para klerus menurun jauh dari standard. Standard moral para klerus menjadi sangat rendah, dan praktek selibat tidak ditaati di semua tempat. Yang tidak kurang seriusnya adalah kondisi dari kebanyakan biara pria, dan bahkan biara wanita (kebanyakan anggota biara wanita adalah putri-putri bangsawan yang tidak menikah). Semua ini membuat prestis dari klerus yang dulunya tinggi menjadi rendah, dan anggota-anggota klerus di banyak tempat dipandang dengan hina oleh orang-orang. Sementara, mengenai kalangan umat awam Kristen sendiri, di banyak daerah-daerah, ketidakpedulian, takhyul, indifferentisme religius [ie. semua agama sama] dan ke-imoral-an merajalela. Meskipun begitu banyak upaya penuh semangat untuk memperbaiki kehidupan beragama muncul di berbagai tempat. Sehingga disamping kebusukan moral yang terjadi muncul juga banyak teladan-teladan akan kehidupan Kristen yang tulus dan benar. Sayangnya upaya-upaya perbaikan tersebut sering terbatas pada kalangan-kalangan tertentu. Sejak abad ke-empatbelas permintaan untuk "reformasi kepala dan tubuh" (reformatio in capite et in membris) telah diserukan dengan semaki nyaring oleh orang-orang yang sangat serius dan penuh pertimbangan. Sayangnya orang-orang yang tidak punya niatan bagi perbaikan religius juga ikut berseru-seru. Mereka sekedar ingin untuk mereformasi yang lain tapi tidak mereformasi diri sendiri dan mereka hanya memikirkan kepentingan diri sendiri. Seruan untuk reformasi kepala dan tubuh yang didiskusikan di banyak tulisan-tulisan dan menjadi topik perbincangan. Namun penekanan terhadap penyelewengan-penyelewengan yang terjadi sering dibesar-besarkan, dan hal ini semakin memperburuk pandangan masyarakat atas para klerus. Terlebih lagi ketika konsili-konsili pada abad ke-limabelas yang difokuskan pada upaya-upaya reformasi, tidak berhasil mencapai apa yang dihasilkan [konsili-konsili tersebut] secara ekstensif dan permanen. 


C 

Otoritas Tahta Suci juga ter-cacat-kan secara serius, sebagian karena kesalahan pemegang tahta (ie. Paus Roma) dan sebagian karena kesalahan penguasa-penguasa sekular. Pindahnya Paus ke Avignon (Perancis) pada abad ke-empatbleas merupakan kesalahan yang sangat fatal karena karakter universal dari kepausan menjadi rancu dalam benak masyarakat Kristen. Fase-fase tertentu dalam perselisihan dengan Louis the Bavarian dan dengan Spiritualist Franciscan jelas menunjukkan suatu kemunduran pada kekuasaan kepausan. Pukulan paling telak terhadap otoritas kepausan adalah peristiwa skisma kepausan atau lebih dikenal dengan nama skisma barat (1378-1418). Peristiwa ini membuat masyarakat Kristen Barat berpikiran bahwa boleh melakukan perang, dengan segala senjata spiritual dan material, kepada orang yang dianggap oleh banyak umat Kristen lain sebagai Paus yang sah. Setelah pemulihan kesatuan yang rusak karena skisma barat, upaya reformasi yang dilakukan kuria kepausan tidaklah menyeluruh. Humanisme dan idealisme-idealisme Renaissance dipupuk dengan penuh semangat di Roma. Dan sayangnya, kecenderungan-kecenderungan kafir dari gerakan ini, yang begitu bertentangan dengan hukum moral Kristen, telah begitu mempengaruhi kehidupan kebanyakan pejabat gerejawi tinggi sehingga pemikiran-pemikiran duniawi, kemewahan dan immoralitas dengan cepat merebak ditengah kehidupan gerejawi. Ketika otoritas gerejawi melemah di pucuk pimpinan, maka otoritas tersebut membusuk ditempat lainnya. Juga terjadi penyelewengan administratif yang serius dalam Kuria Kepausan. Administrasi gerejawi yang semakin tersentalisasi telah mengakibatkan banyak beneficed gerejawi yang didapat dari berbagai tempat dikumpulkan di Roma. Dan dalam mengabulkan pemberian hak beneficed tersebut kepada para klerus, lebih diperhatikan kepentingan yang meminta hak daripada keperluan spiritual masyarakat [ie. apakah masyarakat memerlukan pelayan dari pejabat gerejawi yang mendapat bayaran dari pelayanannya]. Berbagai macam pengecualian-pengecualian yang dibuat juga memunculkan penyelewengan-penyelewengan yang berat. Ketidakpuasan dirasakan secara luas diantara para klerus atas banyaknya pajak yang dikenakan oleh Kuria kepada pemegang beneficesgerejawi. Sejak abad ke-empatbelas pajak-pajak ini menimbulkan banyak keluhan-keluhan keras. Dengan semakin hilangnya rasa hormat banyak orang terhadap otoritas kepausan, penolakan tumbuh terhadap Kuria dan Kepausan. Sementara itu konsili-konsili reformatif [ie. tujuannya adalah mereformasi Gereja] pada abad ke-limabelas, bukannya memperbaiki situasi, tapi malahan memperburuk situasi dengan memperlemah kewibawaan otoritas gerejawi tertinggi karena kecenderungan dan langkah-langkah anti-kepausan yang dihasilkan konsili-konsili tersebut. 


D 

Pada kalangan penguasa daerah dan pemerintahan berkembang sebuah kesadaran nasionalis yang murni temporal dan pada tingkat tertentu ganas kepada Gereja; kuasa-kuasa jahat menjadi lebih sering mencampuri masalah-masalah gerejawi, dan pengaruh langsung para awam terhadap administrasi domestik Gereja terus bertambah. Selama masa abad ke-empatbelas dan ke-limabelas muncul konsep modern mengenai Negara. Pada jaman-jaman sebelumnya banyak masalah-masalah yang sifatnya sekular atau campuran [ie. sekular dan gerejawi] diregulasi atau diatur oleh Gereja, sesuai dengan perkembangan historis masyarakat Eropa. Dengan makin tumbuhnya kesadaran Negara, pemerintahan sekular berusaha mengendalikan semua hal dalam ranah kompetensi mereka, yang meskipun sebagian besar merupakan sesuatu yang sah-sah saja, namun dirasa baru dan lancang. Hal ini menimbulkan seringnya bentrokan antar Gereja dan Negara. Dan karena dekatnya hubungan historis antara Gereja dan Negara, Negara mulai melancangi wilayah kegerejaan. Selama Skisma Barat (1378-1418) paus-paus yang berseberangan mencari dukungan kepada kekuasaan sipil. Hal ini membuat kekuasaan sipil punya banyak kesempatan untuk mencampuri masalah-masalah gerejawi murni. Dan lagi, dalam upaya untuk memperkuat otoritas mereka dihadapan kecenderungan anti-kepausan, para paus abad ke-limabelas pada berbagai kesempatan sering mengalah terhadap kekuasaan sipil sehingga kekuasaan sipil menganggap perkara-perkara gerejawi berada dalam ranah kewenangan mereka. Di masa depan, Gereja berada dibawah, dan bukannya diatas, kekuasaan sipil. Bahkan Gereja semakin terancam menjadi bawahan total dari kekuasaan sipil. Seiring dengan berkembangnya kesadaran-diri di berbagai negara di Eropa, rasa kesatuan dan ketergantungan antar keluarga Kristiani bangsa-bangsa menjadi lemah. Kecemburuan antar negara bertambah, ke-egois-an merajalela, kesenjangan antara moralitas Kristen dan agama bertambah besar, dan ketidakpuasan dan kecenderungan-kecenderungan revolusioner menyebar cepat diantara orang-orang. Cinta akan kekayaan untuk sementara mendapat motivasi yang besar karena penemuan Dunia Baru, meningkatnya perdagangan, dan kemakmuran baru yang dialami kota-kota. Dalam kehidupan publik sebuah aktivitas yang bersisi-banyak dan menegangkan menampakkan dirinya. Hal ini, disamping bagaikan sebuah bayangan awal akan sebuah era baru juga mencenderungkan pikiran kebanyakan orang kepada perubahan-perubahan kepada masalah-masalah religius yang sebelumnya utuh tak-terbagi. 


E 

Munculnya Renaisans dan Humanisme memperkenalkan [secara sebagian] dan juga sangat memupuk kondisi-kondisi yang disebut sebelumnya. Kecintaan kepada kemewahan dengan segera dihubungkan dengan bangkitnya seni dan literatur kafir Graeco-Roman. Ini membuat idealisme-idealisme religius Kristen hilang. Budaya intelektual tinggi yang sekarang umum di kalangan awam (dimana sebelumnya budaya intelektual tinggi ini hanya terbatas di kalangan klerus) mulai mengambil bentuk yang sekuler. Dan bentuk sekuler baru dari budaya intelektual tinggi ini, dalam banyak kasus memupuk secara aktif dan praktik sebuah jiwa kafir, moralitas kafir dan pandangan-pandangan kafir. Sebuah bentuk mentalitas materialisme yang kasar dapat ditemukan di kalangan masyarakat atas dan kalangan pendidikan. Mentalitas ini dikarakterkan dengan cinta yang menjijikkan akan kesenangan, akan keinginan terhadap keuntungan (laba) dan akan sensualitas hidup yang semuanya sangat berlawanan dengan moralitas Kristen. Sedikit sekali ketertarikan terhadap perkara-perkara adikodrati yang masih tersisa. Munculnya tekhnik percetakan modern [ie. mesin cetak saat itu baru ditemukan oleh Guttenberg] memungkinkan penyebaran karya tulis pengarang-pengarang kafir dan pengarang humanistik yang mengikuti pemikiran mereka. Puisi-puisi dan roman-roman tak-bermoral, satir-satir yang menyindir pribadi-pribadi gerejawi dan institusi-institusi gerejawi, karya-karya dan lagu-lagu yang bersifat revolusioner; semua ini disirkulasikan bebas ke semua tempat dan menimbulkan kerusakan yang besar. Dengan semakin tumbuhnya Humanisme, idealisme ini mendengungkan seruan perang yang lantang terhadap Skolastisme masa itu. Ketika itu metode teologi tradisional telah terjerumus kedalam upaya menjawab pertanyaan-pertanyaan teologis secara sangat tekhnis dan rumit, sementara perlakuan yang solid dan meyeluruh terhadap ilmu teologi dengan sangat disesalkan telah menghilang dari kebanyakan sekolah dan tulisan. Para Humanist kemudian menggunakan metode-metode baru dan mendasarkan teologi atas Kitab Suci dan Bapa Gereja. Pada dasarnya langkah ini merupakan langkah yang baik yang mungkin saja memperbaharui pembelajaran teologi kalau dikembangkan dengan tepat. Namun kekerasan para Humanist, serangan-serangan berlebihan mereka kepada Skolastisme dan seringnya ketidakjelasan pengajaran mereka telah memunculkan perlawanan yang kuat dari wakil-wakil aliran skolastisme. Bagaimanapun gerakan baru ini [ie. Humanisme] telah memenangi simpati dunia awam dan simpati klerus-klerus yang menganutnya. Bahaya mulai terasa semakin dekat kalau-kalau terjadi reformasi yang tidak hanya terbatas pada metode-metode teologis tapi juga merambah kepada dogma-dogma gerejawi. Dan lebih parahnya, kalau reformasi seperti itu didukung oleh kalangan Humanist. 


[Karena parahnya situasi dan kondisi sebagaimana dideskripsikan diatas], medan bagi tumbuhnya gerakan-gerakan revolusioner dalam kalangan religius telah siap. Banyak peringatan-peringatan keras yang mengindikasikan adanya bahaya yang mendekat dan menggaungkan sebuah reformasi fundamental atas kondisi yang jahat saat itu, telah diucapkan. Peringatan-peringatan tersebut muncul berkat pengaruh gerakan-gerakan untuk melakukan reformasi dalam berbagai serikat-serikat [tarekat-tarekat] religius dan berkat pengaruh upaya-upaya kerasulan individu-individu yang bersemangat tinggi. Namun sebuah perbaikan umum atas kehidupan menggereja dan satu perbaikan yang seragam atas kondisi-kondisi jahat yang [seharusnya] dimulai di Roma sendiri sebagai pusat Gereja, tidak segera dilakukan. Dan dengan segera timbul suatu kondisi dimana yang dibutuhkan hanya satu dorongan dari luar Gereja untuk menggulirkan revolusi. Revolusi yang kemudian memotong sebagian besar Eropa Tengah dan hampir semua Eropa Utara dari kesatuan Gereja. 



II. GAGASAN-GAGASAN DAN TUJUAN-TUJUAN AWAL PARA REFORMATOR 

Dorongan pertama untuk memberontak muncul dengan timbulnya perlawanan Luther di Jerman dan Zwingli di Swiss-Jerman atas promulgasi indulgensi Paus Leo X untuk sumbangan terhadap pembangunan basilika St. Petrus di Roma. Merupakan kebiasan lama bagi paus-paus untuk menganugrahkan indulgensi bagi pembangunan sarana-sarana umum (contohnya: jembatan-jembatan). Dalam kasus-kasus tersebut ajaran sejati mengenai indulgensi sebagai penghapusan hukuman karena dosa (bukannya kesalahan atas dosa) selalu dipegang teguh dan syarat-syarat mutlak untuk mendapatkan indulgensi (terutama kewajiban untuk mengaku dosa dengan penyesalan sehingga mendapat absolusi atas dosa) selalu ditanamkan pada masyarakat. Namun anjuran untuk berderma selalu ditekankan. Padahal, derma, sebagai salah satu tindakan baik yang bisa dilakukan (selain berderma ada perbuatan baik lainnya yang bisa dilakukan, misalnya puasa, kerja bakti, berdoa rosario dll), hanya dianjurkan sebagai perbuatan baik tambahan/suplementer bagi syarat-syarat utama [ie. kewajiban untuk mengaku dosa dengan penyesalan sehingga mendapat absolusi atas dosa] untuk mendapatkan indulgensi. Para komisioner indulgensi berusaha mengumpulkan sebanyak mungkin uang derma dari indulgensi. Dan memang, sejak Skisma Barat, sering kebutuhan spiritual masyarakat tidak dipertimbangkan mendalam sebagai motif dalam pemberian indulgensi. Yang lebih sering dipertimbangkan adalah perlunya tindakan baik supaya indulgensi itu didapatkan. Dan sebagai konsekuensi penekanan terhadap perlunya tindakan baik tersebut, perlunya mendapatkan derma [dimana derma hanyalah salah satu bentuk tindakan baik yang bisa dilakukan untuk memenuhi syarat indulgensi] juga mendapatkan penekanan. Perang melawan bangsa Turki dan krisis-krisis lainnya, pembangunan gereja-gereja dan biara-biara, dan berbagai penyebab lainnya memicu Gereja untuk memberikan indulgensi-indulgensi pada abad ke-limabelas. Penyelewengan-penyelewengan yang terjadi dikemudiannya diperparah oleh fakta bahwa pemimpin-pemimpin sekular sering melarang promulgasi indulgensi di daerah kekuasaan mereka. Para pemimpin ini hanya mengijinkan bila sebagian dari hasil penerimaan indulgensi diberikan kepada mereka. Sehingga dalam prakteknya dan dalam benak masyarakat umum, promulgasi indulgensi membawa dampak ekonomis. Dan karena seringnya promulgasi indulgensi, banyak yang menganggap bahwa indulgensi adalah sekedar pajak yang memeras. Dengan sia-sia orang yang tulus menyuarakan keprihtainan mereka atas penyelewengan-penyelewengan ini. Penyelewengan-penyelewengan yang menimbulkan sikap pahit kepada kepemimpinan gereja, terutama Kuria Kepausan. Promulgasi indulgensi bagi basilika St. Petrus yang baru memberikan Luther kesempatan untuk menyerang indulgensi secara umum. Dan serangan Luther ini merupakan penyebab langsung Reformasi di Jerman. Beberapa waktu kemudian Zwingli menyerukan ajaran-ajarannya yang salah, sehingga memulai Reformasi di Swiss-Jerman. Keduanya (ie. Luther dan Zwingli) menyatakan bahwa mereka hanya menyerang penyelwengan-penyelwengan indulgensi; namun mereka kemudian dengan segera mengajarkan ajaran yang secara banyak cara berlawanan dengan ajaran Gereja. Sambutan yang luar biasa yang diterima Luther atas penampilan pertamanya, baik oleh kalangan humanist, beberapa teolog dan oleh para awam yang tulus, adalah dikarenakan ketidakpuasan dengan penyelawengan-penyelewengan yang ada. Tak lama kemudian pandangan salah Luther sendiri dan pengaruh dari beberapa pengikutnya membuat Luther jatuh dalam pemberontakan melawan otoritas gerejawi. Dan pemberontakan ini kemudian membawanya kepada ke-murtad-an dan skisma. Pendukung utama Luther adalah kalangan Humanist, para klerus tak bermoral, dan bangsawan tingkat rendahan yang dipenuhi kecenderungan revolusioner. Dengan segera tampak terbuktikan bahwa Luther bermaksud menggulingkan semua institusi fundamental Gereja. Dengan mulai memproklamirkan ajaran palsu "pembenaran oleh iman saja", Luther kemudian mulai menolak semua bantuan-bantuan adikodrati [yang perlu bagi pencapaian keselamatan manusia] (terutama sakramen-sakramen dan Misa), menolak didapatnya jasa oleh seseorang ketika dia melakukan perbuatan-perbuatan baik [meritoriousness of good works] (yang berakibat pengutukannya atas kaul-kaul kaum religius dan sistem kebiaraan Kristen secara umum), dan terakhir, menolak institusi hierarkhi ke-imam-an yang asli (terutama kepausan) dalam Gereja. Ajarannya akan Alkitab sebagai satu-satunya pedoman iman, digabung dengan penolakannya terhadap semua otoritas gerejawi, menghasilkan subyektifisme dalam hal iman. Atas serangan yang revolusioner ini Luther kehilangan dukungan banyak individu serius yang tidak berkehendak untuk memecah dengan Gereja. Namun disisi lain Luther mendapatkan dukungan dari semua unsur-unsur anti-kegerejaan, termasuk berbagai rahib dan suster yang meninggalkan biara dan melanggar kaul mereka, juga para imam yang mendukung perjuangannya dengan niat supaya bisa menikah. Dukungan dari penguasanya, Frederick dari Saxon, amatlah penting. Dengan segera pangeran-pangeran sekular dan magistrates kota menjadikan Reformasi sebagai pretext [ie. alasan palsu] untuk secara rancu mencampuri urusan-urusan yang murni gerejawi dan religius, untuk merampas properti-properti gerejawi dan membagi-bagikannya sekehendak hati, dan untuk menentukan iman apa yang harus diyakini rakyat dibawah pemerintahan mereka. Beberapa pengikut Luther bahkan berlaku lebih ektrim. Tindakan yang dilakukan para Anabaptist dan "Iconoclasts" [Ikonoklas adalah ajaran bidat bahwa patung, ikon, relik tidak boleh dijadikan sarana peribadatan dan devosi karena itu merupakan penyembahan kepada berhala] menunjukkan kemungkinan-kemungkinan ekstrim atas prinsip-prinsip yang diserukan Luther. Sementara pada peristiwa Perang Petani, unsur-unsur yang paling tertindas di Jerman [ie. para petani] mempraktekkan ajaran para reformator. Sekarang masalah-masalah gerejawi di-organisasi kembali atas dasar ajaran-ajaran baru; sehingga kekuasaan sekular tampak dengan jelas sebagai hakim agung dalam perkara-perkara yang murni religius dan secara total mereka mengabaikan adanya otoritas gerejawi yang independen. 

Pusat kedua atas Reformasi dibangun oleh Zwingli di Zurich. Meskipun Zwingli berbeda dalam banyak hal dari Luther dan bahkan lebih radikal dari Luther dalam transformasi yang dilakukannya atas perayaan Misa, sasaran dari pengikut-pengikutnya identik dengan para Lutheran. Pertimbangan politis memainkan peran yang besar dalam perkembangan Zwinglianisme. Dan setelah mayoritas anggota magistracy Zurich mendukung Zwingli, mereka menjadi pendukung yang gigih terhadap Reformasi. Dekrit-dekrit yang arbiter dikeluarkan oleh para magistrates mengenai organisasi gerejawi. Para anggota-anggota konsili yang tetap memegang teguh Iman Katolik sejati dikeluarkan dari konsili dan pelayanan-pelayanan Katolik (termasuk Misa) dilarang di kota [ie. Zurich].Kota dan canton (semacam "daerah istimewa") Zurich direformasi oleh otoritas sipil sesuai ide-ide Zwingli. Bagian lain swis-Jerman mengalami nasib yang sama. Swiss-Perancis mengembangkan reformasinya sendiri yang khas. Reformasi ini diorganisasi di Jenewa oleh Calvin. Calvinisme bisa dibedakan dengan Lutheranisme dan Zwinglianisme oleh ajarannya yang lebih kaku dan konsisten dan oleh ke-ketat-an aturan moralnya. Aturan moral yang ketat ini kemudian mengatur seluruh kehidupan domestik dan publik masyarakat. Organisasi gerejawi Calvin kemudian dideklarasikan sebagai sebuah hukum fundamental Republik Jenewa, dan otoritas setempat memberikan dukungan keseluruhan kepada reformator dalam pendirian pengadilan moral baru oleh Calvin. Kata-kata Calvin adalah otoritas tertinggi. Dan Calvin tidak mentoleransi kontradiksi apapun atas pandangannya atau atas peraturannya. Calvinisme masuk ke Jenewa dan negara-negara sekitarnya dengan kekerasan. Imam-imam Katolik diusir dan orang-orang ditekan dan dipaksa untuk menghadiri khotbah-khotbah yang Calvinistik. 

Di Inggris asal-muasal Reformasi sangatlah berbeda. Kali ini raja Henry VIII yang sensual dan tiranis, dengan dukungan Thomas Crammer yang dijadikan Uskup Agung Canterbury oleh sang raja, memecah negaranya dari kesatuan gerejawi karena Paus, sebagai penjaga sejati hukum Ilahi, menolak untuk mengakui perkawinan tidak sah Henry VIII dengan Anne Boleyn selama istri sah sang raja masih hidup. Dengan mengingkari kepatuhan terhadap Paus sang monarkh bertangan besi menetapkan dirinya sendiri sebagai hakim agung bahkan dalam masalah-masalah gerejawi. Perlawana dari orang-orang benar seperti Thomas More dan John Fisher diatasi dengan darah [ie. kekejian]. Namun sang raja berkeinginan untuk tidak merubah baik ajaran-ajaran Gereja dan hierarkhi gerejawi. Disamping itu Henry VIII juga bertanggung jawab agar sekumpulan ajaran dan aturan-aturan, yang ditolak Luther dan pengikut-pengikutnya, dimasukkan kedalam Act of Parliament (Six Articles) dengan sangsi hukuman mati. Begitu pula dengan di Inggris, kekuasaan sipil menganggap dirinya sebagai hakim agung dalam masalah iman, dan hal ini membangun dasar bagi inovasi-inovasi religius yang arbiter di kemudian hari. Dibawah kekuasaan Edward VI (1547-53), kelompok Protestant mendapat angin dan sejak itu memulai mempromosikan reformasi di Inggris menurut prinsip-prinsip Luther, Zwingli dan Calvin. Juga disini, kekerasan digunakan untuk menyebarkan ajaran-ajaran baru. Upaya terakhir dari gerakan Reformasi ini secara praktis terbatas di Inggris (lihat Anglikanisme). 



III. METODE PENYEBARAN REFORMASI [IE. PROTESTANTISME] 

Dalam pemilihan cara-cara untuk memperluas Reformasi, para pendiri Reformasi dan pendukung-pendukungnya tidaklah memilih cara-cara yang baik dan benar. Mereka malahan menggunakan segala aspek yang dapat mereka gunakan untuk memperluas gerakan mereka. 

A 

Pada awal-awalnya pengecaman terhadap penyelewengan-penyelewengan dalam kehidupan religius dan gerejawi merupakan metode-metode utama para reformator untuk memajukan rancangan mereka. Dengan cara ini mereka memenangkan simpati banyak orang yang tidak puas dengan kondisi-kondisi yang ada. Dan orang-orang ini siap untuk mendukung gerakan apapun yang menjanjikan perubahan. Namun yang secara efisien mendukung para reformator, yang dengan segera menyerang dengan keras otoritas kepausan karena mereka [para reformator] mengenal otoritas tersebut sebagai penjaga tertinggi dari Iman Katolik, adalah merebaknya kebencian. Kebencian kepada Roma dan anggota-anggota hierarkhi, yang disirami oleh keluhan-keluhan yang sah tentang penyelewengan-penyelewengan yang terjadi berkali-kali tanpa henti. Oleh karena itu muncul banyak karya-karya sindiran, yang kadang sangat vulgar, terhadap paus, para uskup dan secara umum kepada semua wakil-wakil otoritas gerejawi. Pamflet-pamflet tersebut di-edarkan dimana-mana ditengah masyarakat, dan karenanya rasa hormat kepada otoritas semakin digoncang keras. Pelukis-pelukis melukiskan karikatur yang memalukan dan merendahkan atas paus, para klerus dan biarawan sebagai ilustrasi atas teks-teks kasar di pamflet-pamflet. Berbekal apapun senjata yang bisa digunakan (bahkan yang paling menjijikkan dan tidak pantas sekalipun), peperangan melawan wakil-wakil Gereja ini, yang dianggap sebagai penyebab penyelewengan-penyelewengan gerejawi, mempersiapkan kondisi bagi diterimanya Reformasi. Pembedaan antara penyelewengan-penyelewengan yang bisa dikoreksi dengan kebenaran Kristen fundamental yang adikodrati tidak lagi diperhatikan; bersamaan dengan penyelewengan-penyelewengan dihilangkan juga institusi penting gerejawi yang eksis karena didirikan secara ilahi.. 

B 

Salah satu keuntungan lain bagi gerakan Reformasi adalah pepecahan yang terjadi di berbagai tempat antara otoritas gerejawi dan sipil. Bagi masyarakat Kristen Barat, perkembangan Negara kepada bentuk/konsep Negara modern menimbulkan banyak perselisihan antara klerus dan awam, antara uskup-uskup dan kota-kota, antara biara-biara dan pemerintahan-pemerintahan sipil regional. Ketika para reformator menarik semua otoritas dari para klerus, terutama semua pengaruh dalam perkara-perkara sipil, mereka [ie. para reformator] memampukan pangeran-pangeran dan otoritas dewan kota untuk mengakhiri perselisihan berlarut-larut tersebut dengan keuntungan di pihak mereka [ie. para pengeran dan otoritas dewan kota]. Hal ini mereka [ie. para pengeran dan otoritas dewan kota] lakukan dengan secara arbiter mengklaim bagi diri mereka sendiri semua hak-hak yang diperselisihkan [ie. diperselisihkan antara otoritas sekuler dan otoritas gerejawi], lalu mengusir hierarkhi [gerejawi] yang hak-haknya mereka rampas, lalu kemudian dengan otoritas mereka sendiri mendirikan sebuah organisasi gerejawi yang benar-benar baru. [Dengan begini] para klerus-klerus Reformator/Protestant sejak awal-awal hanya memiliki hak-hak yang diberikan oleh otoritas sipil. Sebagai konsekuensinya gereja-gereja nasional Reformator/Protestant secara total tunduk kepada otortias sipil. Dan para Reformator/Protestant sendiri, yang telah mempercayakan kepada kekuasaan sipil pelaksanaan prinsip-prinsip mereka [ie. para reformator/Protestant], tidak punya cara dan sarana-sarana untuk membebaskan diri dari ketundukan ini. 

C 

Sepanjang abad-abad sebelumnya, sejumlah besar yayasan telah didirikan dengan tujuan keagamaan, karya kasih [ie. rumah sakit, panti-panti etc], dan pendidikan. Yayasan-yayasan tersebut diberi sumber daya-sumber daya yang kaya. Gereja-Gereja, biara-biara, rumah sakit-rumah sakit dan sekolah-sekolah sering memiliki pendapatan yang besar dan bermacam barang-barang. Hal ini menimbulkan ke-iri-an penguasa-penguasa sekular. Reformasi memampukan para penguasa sekuler untuk men-sekuler-kan kekayaan Gerejawi yang melimpah tersebut. Ini karena para pemimpin Reformasi terus menerus melawan keras sentralisasi kekayaan-kekayaan tersebut di tangan para klerus. Oleh sebab itu para pangeran dan otoritas dewan kota diajak untuk menyita properti gerejawi dan menggunakan properti tersebut untuk tujuan-tujuan mereka. Pemimpin-pemimpin gerejawi diberi kepercayaan oleh para pangeran dan otoritas dewan kota untuk bertindak hanya sekedar sebagai pribadi-pribadi gerejawi untuk keperluan administrasi dan pengelolaan usufruct [ie. biaya sewa yang berhak diterima satu pihak meskipun properti yang disewakan bukan milik pihak tersebut]. Kemdian, dengan melanggar hukum aktual, para pangeran dan otoritas dewan kota mengubah pemimpin-pemimpin gerejawi menjadi pemimpin-pemimpin sekuler. Dengan cara ini para Reformator sukses mengeringkan Gereja dari kekayaan temporal yang digunakan Gereja untuk berbagai kebutuhan dan sukses mengalihkan beberapa kekayaan temporal tersebut bagi kepentingan mereka sendiri. 

D 

Emosi-emosi manusia, yang dirujuk oleh para Reformator dengan berbagai cara, adalah sarana lain dalam menyebarkan Reformasi. Gagasan-gagasan yang dibela oleh para inovator ini [ie. para "reformator," mereka disebut "inovator" karena pemikiran mereka yang sifatnya inovatif alias baru dan tidak ada sebelumnya], -- [yaitu] kebebasan Kristen, izin untuk berpikir [license of thought, maksudnya apapun boleh dipikirkan tidak peduli seburuk apapun pemikiran itu], hak dan kapasitas setiap individu untuk menemukan imannya sendiri di Alkitab, dan prinsip-prinsip lain -- adalah gagasan-gagasan yang sangat menggoda bagi banyak orang. Penghapusan institusi-institusi religius yang berfungsi sebagai pengekang kodrat manusia yang berdosa (pengakuan, tobat, puasa, pantang, kaul-kaul) membuat tertarik mereka yang dipenuhi nafsu seksual dan mereka yang tidak serius dalam hidup dan hanya menyukai kesenangan-kesenangan. Perang melawan ordo-ordo religius, melawan keperawanan dan selibat, melawan praktek kehidupan Kristen yang lebih tinggi, memenangkan banyak simpatisan bagi para Reformator. Mereka-mereka ini adalah orang yang tanpa panggilan yang serius telah masuk kedalam kehidupan religius karena motif-motif yang murni manusiawi dan duniawi. Mereka berkeinginan untuk terbebas dari kewajiban-kewajiban kepada Allah yang [mereka rasa] telah membebani [diri mereka], dan untuk bebas memuaskan kedahagaan sensual mereka. Semua ini bisa mereka lakukan dengan lebih mudah sebab penyitaan properti Gereja-Gereja dan biara-biara memungkinkan tersedianya tambahan-tambahan materi bagi mantan-biarawan dan mantan-biarawati, dan bagi romo-romo yang murtad. Dalam tulisan-tulisan dan pamflet-pamflet yang tak terhitung banyaknya para Reformator dengan sengaja dan sesering mungkin mengobarkan insting-insting manusia yang paling dasar. Karya-karya sindiran dan fitnah-fitnah tertulis yang sangat mengejutkan terhadap paus, Kuria Kepausan, para Uskup, Romo, biarawan dan biarawati yang tetap setia terhadap keyakinan Katolik mereka, dibuat dan disebarkan. Dengan bahasa yang paling vulgar dan kasar insitusi-institusi dan ajaran-ajaran Katolik didistorsikan dan kemudian diejek. Diantara kalangan bawah, yang sebagian besar tidak berpendidikan, yang merupakan unsur terlupakan dalam tatanan masyarakat, nafsu-nafsu dan insting-insting paling mendasar di-stimulasi dan ditekankan bagi kelangsungan Reformasi. 

E 

Pada awalnya banyak uskup menunjukkan ke-apatis-an yang besar terhadap para Reformer, merasa bahwa gerakan baru ini tidak penting; [hal ini memberi] pimpinan-pimpinan Reformator waktu yang lebih banyak untuk menyebarkan ajaran-ajaran mereka. Bahkan setelah beberapa waktu, banyak uskup yang punya kecenderungan duniawi, meskipun masih tetap setia kepada Gereja, punya sikap yang malas dalam memerangi bidaah ini dan dalam melaksanakan tindakan-tindakan antisipatif yang tepat untuk menghentikan penyebarannya. Hal yang sama juga terjadi pada klerus-klerus paroki yang sangat tidak peduli dan indifferen, dan melihat dengan tenang-tenang saja pembelotan orang-orang. Sementara disisi lain para Reformator menunjukkan semangat yang lebih besar untuk memperjuangkan idealisme mereka. Para Reformator tidak melewatkan cara apapun yang bisa mereka pakai: dengan kata-kata dan pena, dengan interaksi dengan orang-orang yang berpikiran asama, dengan ke-elegansi-an yang populer yang sudah sangat mahir dilakukan oleh pemimpin-pemimpin Reformasi, dengan khotbah-khotbah dan tulisan-tulisan populer yang merujuk kepada kelemahan pribadi-pribadi yang populer [tentunya pribadi Katolik], dengan menyalakan fanatisme kepada massa, singkatnya dengan menggunakan secara cerdik dan bersemangat setiap kesempatan dan peluang yang muncul. Mereka benar-benar membuktikan antusiasme yang tinggi bagi penyebaran ajaran mereka. Mereka melanjutkan dengan sangat cekatan dan meng-klaim bahwa mereka memegang dengan teguh kebenaran-kebenaran esensial Iman Katolik, bahwa mereka masih melakukan, pada awalnya, banyak unsur-unsur eksternal perayaan peribadatan Katolik, bahwa niat mereka hanyalah menghapuskan hal-hal yang didasarkan pada ciptaan manusia. Dengan demikian mereka berusaha menipu orang-orang mengenai tujuan sebenarnya dari aktivitas-aktivitas mereka. Mereka menemukan banyak lawan-lawan yang saleh dan juga bersemangat di kalangan klerus-klerus reguler dan sekuler. Namun, yang sebenarnya diperlukan, terutama pada saat-saat awal, adalah perlawanan yang dilakukan dengan terorganisasi, sistematis dan dalam skala universal terhadap reformasi palsu ini. 

F 

Banyak tata cara-tata cara baru yang diperkenalkan para Reformator membuat senang dan menyanjung banyak orang -- antara lain: penerimaan piala [Anggur] bagi seluruh umat [catatan DeusVult: sebelumnya yang minum dari piala hanya imam], penggunaan bahasa ibu di peribadatan, hymne-hymne religius populer digunakan dalam peribadatan, pembacaan Alkitab, peningkaran terhadap perbedaan esensial antara klerus dan awam. Dalam kategori ini termasuk juga ajaran-ajaran yang menarik bagi banyak orang -- antara lain justifikasi/pembenaran oleh iman saja tanpa rujukan terhadap perbuatan-perbuatan baik; penyangkalan kehendak bebas, yang memberikan alasan bagi kegagalan-kegagalan moral; kepastian pribadi akan keselamatan dalam iman (ie. keyakinan subyektif terhadap jasa-jasa Kristus); imamat universal, yang memberikan semua orang bagian langsung dalam fungsi-fungsi ke-imam-an dan administrasi gerejawi. 

G 

Terakhir, salah satu sarana utama yang digunakan dalam menyebarkan reformasi adalah penggunaan kekerasan oleh para pangeran dan otoritas dewan kota. Imam-imam yang tetap Katolik diusir dan diganti oleh pengikut ajaran baru, dan masyarakat dipaksa menghadiri peribadatan baru. Para umat Gereja yang setia dianiaya dengan berbagai cara, dan otoritas sipil memastikan bahwa iman dari keturunan orang-orang yang melawan keras Reformasi/Protestantisme dilemahkan secara gradual. Di banyak tempat, orang-orang dipisahkan dari Gereja dengan kekerasan yang brutal. Ditempat lain, untuk menipu orang-orang suatu kelicikan dilakukan dengan masih menggunakan ritus Katolik, meski hanya luarannya saja, dalam waktu yang lama, dimana para klerus Protestant menggunakan jubah-jubah gerejawi peribadatan Katolik. Sejarah Reformasi/Protestantisme menunjukkan dengan tak terbantahkan bahwa kekuasaan sipil adalah faktor utama dalam menyebarkan Reformasi/Protestantism di semua daerah, dan bahwa dalam analisa akhir bukanlah faktor religius yang menjadi penentu kemajuan penyebaran Reformasi/Protestantisme, tapi kepentingan-kepentingan dinasti-dinasti, politik dan sosial. Ini ditambah fakta bahwa pangeran-pangeran dan magistrate municipal yang bergabung dengan para Reformator/Protestant melakukan tirani atas hati nurani rakyat dan masyarakat mereka. Semua harus menerima agama yang diakui penguasa sipil. Prinsip "Cuius regio, illius et religio" (Agama disesuaikan dengan daerah) adalah hasil tumbuh-kembang Reformasi/Protestantisme, dan oleh prinsip itu para pengikut Reformasi/Protestantism, kapanpun mereka mendapatkan kekuasaan yang diperlukan, menerapkan dalam praktek. 



IV. PENYEBARAN REFORMASI/PROTESTANTISM DI BERBAGAI NEGARA 

A. Jerman dan Swiss-Jerman 

Reformasi/Protestantism dimulai di Jerman ketika Luther menempelkan thesis-thesisnya di pintu-pintu Gereja Wittenberg, 31 Oktober 1517. Luther menerima ekskomunikasi kepausan dan larangan kekaisaran namun dia dilindungi oleh penguasa daerahnya yaitu Elector Frederick dari Saxony. Meskipun dari luaran memperlihatkan sikap yang netral, Frederick mendorong pembentukan komunitas Lutheran di daerahnya untuk menandingi/melawan para Anabaptist. Ini terjadi setelah Luther kembali ke Wittenberg dan mengambil kepemimpinan gerakan reformasi disana. Adalah Luther yang memperkenalkan tata cara yang arbiter atas penyembahan Ilahi dan fungsi-fungsi religius, dimana dengan aturan baru ini sebuah badan organisasi bidat yang berlawanan dengan Gereja Katolik telah terbentuk. Itulah komunitas Lutheran. diantara pangeran-pangeran Jerman yang megaitkan diri dengan Luther dan mendukung upaya-upayanya adalah: 

* John dari Saxony (adik laki-laki Frederick); 

* Grand-Master Albet dari Prussia, yang mengubah daerah-daerah kekuasaannya menjadi sebuah duchy sekular dan menjadi chy, becoming its hereditary lord on accepting Lutheranism; 

* Dukes Henry dan Albert dari Mecklenburg; 

* Count Albert dari Mansfield; 

* Count Edzard dari East Friesland; 

* Landgrave Philip dari Hesse, yang menyatakan secara definitif dukungannya atas Reformasi/Protestantism setelah 1524.


Sementara itu di beberapa kota kekaisaran Jerman gerakan reformasi dimulai oleh pengikut-pengikut Luther -- terutama di Ulm, Augsburg, Nuremburg, Nördlingen, Strasburg, Constance, Mainz, Erfurt, Zwickau, Magdeburg, Frankfort-on-the-Main, dan Bremen. Pangeran-pangeran Lutheran membentuk Persekutuan Torgau pada 4 Mei 1526 sebagai pertahanan. Atas kemunculan mereka di Diet of Speyer pada 1526, mereka berhasil mendapatkan penetapan sebuah resolusi dimana setiap pangeran boleh mengambil sikap yang bisa mereka pertanggungjawabkan dihadapan kaisar dan Allah. Resolusi ini merujuk kepada Edict of Worms yang dibuat melawan Luther dan ajarannya yang salah. Dengan demikian ijin untuk memperkenalkan Reformasi/Protestantism ke daerah-daerah mereka diberikan kepada penguasa-penguasa teritorial. The Catholic estates became discouraged, sementara para pangeran Lutheran menuntut permintaan yang lebih muluk. Bahkan dekrit-dekrit yang benar-benar moderat dari diet of speyer (1529) menimbulkan protes dari Lutheran dan daerah-daerah Reformator/Protestant. 

Negosiasi pada Diet of Augsburg (1530), dimana ketika itu daerah-daerah yang menolak iman Katolik menjabarkan syhadat mereka (Pengakuan Augsburg), menunjukkan bahwa restorasi kesatuan religius tidak terjadi. Reformasi melanggeng lebar dan lebar. Baik Lutheranisme dan Zwinglianisme diperkenalkan ke daerah-daerah Jerman. Pada 1530, selain penguasa-penguasa dan kota-kota yang disebut diatas, Reformasi telah menyebar ke penguasa-penguasa Bayreuth, Ansbach, Anhalt, dan Brunswick-Lunenburg, dan di beberapa tahun kemudian Reformasi telah menyebar ke Pomerania, Jülich-Cleve, dan Wurtemberg. Di Silesia dan the duchy of Liegnitz Reformation also made great strides. Pada 1531 sebuah persekutuan yang dibuat untuk memperthankan diri dan sekaligus menyerang lawan telah tersepakati antara pangeran-pangeran dan kota-kota Protestant. Setelah pembaharuan persekutuan tesebut pada 1535, bergabunglah kota-kota dan pangeran-pangeran lain yang menyerukan Reformasi/Protestantism, antara lain Count Palatine Rupert of Zweibrücken, Count William of Nassau, kota-kota Augsburg, Kempten, Hamburg, dan lain-lain. Keuskupan Naumburg-Zeitz menjadi kosong dan Elector John Frederick dari Saxony mendudukkan dengan kekerasan pengkhotbah Lutheran Nicholas Amsdorf (bukannya provost cathedral, Julius von Pflug yang dipilih chapter), sementara dia sendiri menguasai pemerintahan sekuler. Duke Henry dari Brunswick-Wolfenbuttel diasaingkan pada 1542, dan reformasi/Protestantism diperkenalkan kedalam daerahnya dengan paksa. Di Cologne sendiri Reformasi hampir saja didirikan dengan paksa. Beberapa pejabat gerejawi ternyata terbukti nakal dengan tidak melakukan apapun menghadapi ajaran-ajaran baru yang menyebar setiap hari dan semakin berkembang. Di Pfalz-Neuburg dan kota-kota Halberstadt, Halle, etc., gerakan Reformasi/Protestantism menemukan pintu masuk. Runtuhnya Smalkaldic League (1547) malahan mempercepat penyebaran Reformasi: Julius von Pflug ditempatkan di keuskupan Naumburg, Duke Henry of Brunswick-Wolfenbuttel mendapatkan tanahnya, dan Hermann von Wied terpaksa melepas Keuskupan Cologne, dimana Iman Katolik terpelihara. 

Formula kesatuan yang ditetapkan di Diet of Augsburg pada 1547-48 (Augsburg Interim) tidak berhasil mencapai sasarannya meskipun formula itu diperkenalkan ke banyak daerah Protestant. Sementara itu pengkhianatan yang dilakukan Pangeran Moritz dari Saxony dengan membuat perjanjian rahasia dengan Henry II dari Perancis (musuh Jerman) dan membuat perserikatan dengan pangeran-pangeran Protestant (William dari Hesse, John Albert dari Mecklenburg, dan Albert dari Brandenburg), untuk berperang dengan kekaisaran dan sang kaisar, telah memecah kekuatan sang kaisar. Atas nasehat dari Charles, Raja Ferdinand menyelenggarakan Diet of Augsburg pada 1555. Setelah negosiasi yang panjang, ketetapan padat yang dikenal dengan Perdamaian Agama Augsburg dihasilkan.Dalam dua puluh dua paragraphnya, pakta ini mengandung ketentuan-ketentuan sebagai berikut: 

* antara daerah-daerah kekaisaran Katolik dan daerah-daerah yang diatur dalam Pengakuan Augsburg (para Zwinglian tidak dimasukkan dalam traktat tersebut) kedamaian dan keselarasan harus dijaga. 

* tidak boleh suatu daerah kekuasaan memaksa daerah lainnya atau rakyat-rakyatnya untuk berganti agama, ataupun berperang karena alasan agama; 

* bila ada pejabat tinggi gerejawi [Katolik] yang mengikrarkan Pengakuan Augsburg, maka dia akan kehilangan posisi gerejawinya termasuk semua jabatannya dan kompensasi-kompensasi finansial yang berkenaan dengan posisinya, tanpa prasangka terhadap kehomatan dan kepemilikan pribadinya. Atas ketetapan ini para daerah Lutheran memprotes: 

* properti gerejawi dari pemegang Pengakuan Augsburg yang mereka pegang sejak permulaan Reformasi, tetap berada dalam kepemilikan mereka; setelah 1555 kedua belah pihak tidak boleh menyita milik satu sama lain; 

* sampai keputusan damai antara badan-badan agama yang bersaing (diputus pada Diet of Ratisbon yang akan datang) yurisdiksi gerejawi dari hierarkhi Katolik di daerah-daearah Pengakuan Augsburg digantung; 

* bila terjadi konflik antara pihak-pihak mengenai tanah atau hak-hak, pertama-tama harus diupayakan untuk menyelesaikan perselisihan dengan arbitrase; 

* tidak ada daerah kekaisaran yang boleh melindungi rakyat-rakyat dari daerah lain dari pemimpin daerah [dimana mereka berasal] 

*setiap rakyat Kekaisaran punya hak untuk memilih dari dua agama yang diakui dan mempraktekkan agma tersebut di daerah lain tanpa hilangnya hak, kehormatan dan property (tanpa prasangka terhadap hak penguasa daerah atas rakyat dibawahnya); 

*termasuk dalam perdamaian ini adalah ksatria-ksatria bebas dan kota-kota bebas kekaisaran, dan orang-orang yang mendiami tempat tinggal kekaisaran harus diatur sesuai dengan ketetapan-ketetapan; 

*sumpah bisa dilakukan baik atas nama Allah atau atas Injil SuciNya.


Dengan perdamaian ini skisma agama di Kekaisaran Jerman telah terjadi; sejak itu daerah-daerah Katolik dan Protestant berada pada dua kubu yang berlawanan. Hampir semua Jerman, dari batas Belanda di barat sampai batas Polandia di timur, daerah Ordo Teutonik (ordo militer) di Prussia, Jerman Tengah dengan pengecualian bagaian barat yang lebih besar, dan (di Jerman Selatan) Wurtemburg, Ansbach, Pfalz-Zweibrucken, dan daerah-daerah kecil, dengan kota-kota bebas, telah mengikrarkan sebagai Lutheran. Sementara di Selatan dan Tenggara] yang masih lebih banyak Katolik, Lutheranisme mendapatkan dukungan secara besar maupun kecil. Calvinisme juga berkembang cukup lumayan luas. 

Namun Perdamaian Augsburg gagal menjamin keharmonisan yang diharapkan. Dengan membangkang terhadap ketetapan yang sudah jelas, beberapa pemimpin gerejawi (2 keuskupan agung, 12 keuskupan dan berbagai biara) direformasi dan disekulerkan sebelum permulaan abad ke-tujuhbelas. Sedang untuk perlindungan terhadap kepentingan Katolik dan untuk menandingi Persatuan Protestant, dibentuklah Liga Katolik. Perang Tiga Puluh Tahun kemudian terjadi. Sebuah perjuangan yang sangat mengancam bagi Jerman karena perang tersebut telah menyerahkan negara Jerman kepada musuh-musuhnya dari barat dan utara. Perang tersebut juga menghancurkan kekuatan, kekayaan dan pengaruh dari kekaisaran Jerman. Perdamaian Westphalia yang disetujui pada 1648 dengan Perancis di Munster dan dengan Swedia di Osnabrück, yang mengkonfirmasi status dari skisma religius yang terjadi di Jerman, menempatkan Calvinis dan gerakan Reformasi sejajar dengan para Lutheran, yaitu dengan memberi hak daerah-daerah Calvinis dan daerah-daerah Reformasi yang berada di bawah kaisar untuk memperkenalkan ajaran Reformasi [note: sebelumnya hak ini hanya diberikan kepada Lutheran]. Sejak saat itu penguasa teritorial bisa memaksa rakyat mereka untuk memeluk agama tertentu, dimana penguasa territorial wajib mengakui independensi mereka-mereka yang pada 1624 mendapatkan hak untuk melakukan peribadatannya sendiri. Pada titik ini absolutisme negara dalam perkara-perkara agama mencapai perkembangan tertinggi di Jerman. 

Di Swiss-Jerman hal yang mirip terjadi. Setelah Zurich menerima dan memperkenalkan dengan paksa Reformasi, [kota] Basle juga mengikuti. Di Basle John Œcolampadius dan Wolfgang Capito menggabungkan diri dengan Zwingli, menyebarkan ajaran Zwingli dan mendapatkan sebuah kemenangan untuk iamn yang baru tersebut. Anggota-anggota Katolik di Great Council [semacam dewan kota] diusir. Hal yang sama juga terjadi di Appenzell Outer Rhodes, Schaffhausen, dan Glarus. Setelah kegelisahan panjang, Reformasi juga diterima di Berne, dimana seorang Kartusian murtad, Franz Kolb, dengan Johann dan Berthold Haller, mengkhotbahkan Zwinglianisme; semua biara diberhentikan kegiatannya, dan kekerasan yang besar dilakukan untuk memaksakan Zwinglianisme kepada orang-orang di daerah tersebut. Kota St. Gall, dimana Joachim Vadianus berkhotbah, dan sebagain besar Graubunden juga mengadopsi agama baru tersebut.Di seluruh kekaisaran Zwinglianisme merupakan rival yang kuat bagi Lutheranisme dan sebuah konflik keras antara keduanya dimulai, meskipun telah ada negosiasi yang konstan untuk kesatuan. Di Swiss tidaklah pernah kurang usaha-usaha dilakukan untuk menghilangkan perpecahan religius yang terjadi. Pada Mei 1526 sebuah argumentasi religius diadakan di Baden. Pihak Katolik diwakili oleh Eck, Johann Faber, dan Murner. Pihak reformasi diwakili oleh Œcolampadius dan Berthold Haller. Hasilnya condong kepada pihak Katolik. Kebanyakan wakil-wakil daerah yang hadir menentang Reformasi. Dan tulisan-tulisan Luther dan Zwingli dilarang. Hal ini menimbulkan perlawanan balik dari daerah-daerah Reformasi. Pada 1527 Zurich menjalin aliansi dengan Constance; kemudian Basle, Bern, dan daerah-daerah Reformasi lain bergabung dengan Confederacy pada 1528. Dalam upaya perlindungan diri daerah-daerah Katolik membentuk aliansi pada 1529 untuk perlindungan iman sejati dalam teritorial mereka. Sebagai hasil dari peperangan yang terjadi, daerah-daerah Katolik mendapatkan sebuah kemenangan di Kappel, dan Zwingli dibantai di medan pertempuran. Zurich dan Berne dihibahi perdamaian dengan syarat bahwa tidak boleh ada tempat dimana orang diganggu karena agama dan bahwa ibadah-ibadah Katolik boleh dengan bebas diadakan di teritorial-teritorial bersama. Iman Katolik dipulihkan kembali di distrik-distrik tertentu Glarus dan Appenzell; Biara St. Gall dikembalikan kepada sang kepala biara, meskipun kota St. Gall sendiri tetap memeluk Reformasi. Namun di Zurich, Basle, Berne, dan Schaffhausen, pihak Katolik tidak mendapatkan hak-hak mereka. Reformaotr Swiss dengan segera mengkomposisi pernyataan formal kepercayaan mereka; yang cukup terkenal adalah Pengakuan Helvetic Pertama (Confessio Helvetica I), yang dituliskan oleh Bullinger, Myconius, Grynaeus, dan lain-lain (1536), dan Pengakuan Kedua yang ditulis oleh Bullinger pada 1564 (Confessio Helvetica II); yang terakhir diadopsi di kebanykan teritorial Reformasi yang ber-type Zwingli 

B. Kerajaan-Kerajaan Utara: Denmark, Norwegia dan Swedia 

Reformasi Lutheran berhasil masuk awal di Denmark, Norwegia (pada saat itu masih bersatu dengan Denmark), dan Swedia. Masuknya Lutheran terutama disebabkan pengaruh para bangsawan. Raja Christian II dari Denmark (1513-23) menyambut Reformasi dan menganggapnya sebagai sarana untuk melemahkan para bangsawan dan terutama para klerus (yang memiliki banyak properti) dan dengan demikian memperkuat kekuasaan takhtanya sendiri. Uapaya pertamanya untuk menyebarkan ajaran Guru Martin Luther pada 1520 tidak begitu berhasil; para baron dan para klerus dengan jabatan tinggi dengan segera menurunkan sang raja dari tahtanya atas tuduhan tirani, dan sebagai ganti dilantik sang paman Duke Frederick dari Schleswig dan Holstein. Holstein, yang diam-diam adalah pengikut Lutheran, menipu para uskup dan bangsawan dan bersumpah pada koronasi-nya (pe-mahkota-an) pada 1532 untuk menjaga agama Katolik. Namun setelah duduk di Tahta dia menunjukkan bias kepada pihak Reformator, terutama si pengkhotbah Hans Tausen. Pada Diet Odensee pada 1527 dia memberi kebebasan beragama kepada para Reformator, mengijinkan klerus untuk menikah dan memberikan hak kepada raja untuk mengkonfirmasi penempatan 11 Uskup [catatan DeusVult: hak penuh atas penempatan Uskup sebenarnya ada kepada Paus sementara masukan penguasa sekuler setempat juga sangat dihargai Gereja dan jadi bahan pertimbangan. Tapi yang dilakukan Holstein adalah memberikan raja hak eksklusif atas penempatan 11 Uskup tanpa berkonsultasi dengan Paus]. Lutheranisme disebarkan dengan cara-cara kekerasan, dan para pengikut setia agama Katolik ditekan. Putra dari Holstein, Christian III, yang telah me-reformasi Holstein sendiri, memasukkan ke penjara para uskup-uskup Denamark yang memprotes kenaikan tahtanya [ie. kenaikan tahta Holstein]. Chrisitan II juga mencari dukungan dari para baron. Kecuali Uskup Ronow dari Roskilde yang mati di penjara (1544), semua uskup setuju untuk mengundurkan diri dan tidak melawan ajaran baru [Reformasi]. Setelah persetujuan tersebut para uskup dibebaskan dan milik=milik mereka dikembalikan. Semua romo yang menantang Reformasi diusir, biara-biara ditekan dan Reformasi diperkenalkan ke mana-mana dengan paksa. Pada 1537 teman Luther, Johann Bugenhagen (Pomeranus), dipanggil dari Wittenberg ke Denmark untuk mengadakan Reformasi sesuai dengan ide-ide Luther. Di Diet of Copenhagen pada 1546 hak-hak terakhir pihak Katolik ditarik; hak waris dan hak kelayakan untuk jabatan apapun ditolak oleh mereka. Dan imam-imam Katolik dilarang berdiam di negara tersebut dengan sanksi hukuman mati. Di Norwegia Uskup Agung Olaus dari Trondhjem murtad ke Lutheranisme, tapi dipaksa meninggalkan negara karena dia mendukung raja yang diturunkan tahtanya, Christian II. Dengan bantuan para bangsawan Christian III memperkenalkan Reformasi ke Norwegia dengan paksaan. Islandia secara lebih lama menolak absolutisme kerajaan dan inovasi-inovasi agama. Uskup Holum, Jon Arason, yang teguh dipenggal kepalanya dan kemudian Reformasi menyebar dengan cepat setelah 1551. Beberapa hal eksternal yang Katolik masih dipertahankan – seperti gelar uskup dan pada tingkat tertentu pakaian-pakaian Liturgi serta bentuk-bentuk peribadatan. 

Di Swedia Reformasi juga diperkenalkan oleh penguasa-penguasa sekuler karena alasan-alasan politis. Gustavus Vasa, yang diserahkan kepada Christian II dari Denmark pada 1520 sebagai sandera dan kemudian melarikan diri ke Lubeck, dimana ditempat ini dia berkenalan dengan Lutheranisme, sadar manfaat apa yang bisa didapatkan dari Lutheranisme baginya. Setelah kembali ke Swedia, Gustavus Vasa menjadi penasehat kekaisaran pertama. Dan setelah dia menjadi raja mengikuti penurunan tahta Christian II di Denmark, Gustavus Vasa mencoba merubah Swedia menjadi sebuah monarki keturunan. Namun dia mengalah karena perlawanan para klerus dan bangsawan.. Reformasi membantunya mendapatkan apa yang dia inginkan, meskipun sulit memperkenalkan reformasi karena tingginya kesetiaan masyarakat kepada Iman Katolik. Dia menunjuk dua warga Swedia untuk posisi tinggi, dua bersaudara Olaf Peterson dan Lorenz Peterson, yang telah belajar di Wittenberg dan menerima ajaran Luther; salah satu ditunjuk sebagai court chaplain di Stockholm dan yang lainnya sebagai professor di Upsala. Keduanya bekerja secara rahasia unutk peneybaran Lutheranisme dan menggaet banyak pendukung, termasuk diakon agung (archdeacon] Lorenz Anderson, yang karena dukungannya tersebut diangkat sang kaisar sebagai penasehatnya. Dalam berhubungan dengan Paus Adrian VI dan wakil-wakil Paus, sang raja mempertontonkan kesetiaan yang tinggi kepada Gereja, sementara diluaran dia memberikan dukungan yang terus bertambah kepada inovasi-inovasi agama. Para Dominikan yang memberikan perlawanan yang kuat atas rancangan-rancangan sang raja diusir dari kerajaannya. Dan uskup-uskup yang melawan menerima berbagai tekanan. Setelah sebuah argumentasi religius di Universitas Upasala, sangraja memberikan kemenangan kepada Olaf Peterson dan berlanjut me-Lutheran-isasi universitas tersebut, menyita semua properti gerejawi dan melakukan cara apapun untuk memaksa para klerus untuk menerima doktrin baru tersebut. Sebuah pemberontakan yang populer memberi sang raja kesempatan untuk menuduh para uskup Katolik atas pengkhianatan. Pada 1527 Uskup Agung Upsala dan Uskup Westraes dihukum mati. Banyak pejabat gerejawi yang menyerah kepada keinginan sang raja; yang lain menolak dan menjalani penganiayaan yang penuh kekerasan, dan sebuah perlawanan yang heroik dilakukan oleh suster-suster Wadstena. Setelah Setelah Diet of Westraes pada 1527 kompromi yang besar dibuat kepada raja karena rasa takut terhadap penjajahan baru dari kaun Denmark, [termasuk dalam kompromi itu adalah] hak untuk menyita properti gereja, hak penunjukan dan pemecatan pejabat gerejawi dll. Beberapa bangsawan dengan segera berpaling ke pihak raja ketika muncul aturan yang memungkinkan seseorang mengambil kembali barang-barang yang disumbangkan oleh leluhur mereka kepada gereja sejak 1453. Aturan selibat para klerus dihapus, dan bahasa ibu mulai dipakai dalam peribadahan Ilahi. Sang raja menganggap dirinya sendiri sebagai pemimpin tertinggi dalam perkara agama dan memutus negara dari kesatuan Katolik.. Sinode Orebro (1529) menyelesaikan Reformasi. Namun kebanyakan hal-hal yang Katolik masih dipertahankan seperti: ritus-ritus eksternal, patung-patung dan gambar-gambar para kudus di Gereja, jubah-jubah liturgis, serta gelar uskup agung dan uskup. Kemudian pada 1544, Gustavus Vasa membuat aturan supaya tahta diwariskan melalui keturunan dari keluarganya. Banyak pemberontakan yang tertuju kepada sang raja dan aturan-aturan inovatif-nya diberantas dengan kekerasan yang berdarah. Pada periode lebih lanjut muncul persaingan-persaingan keagamaan dengan karakter politik sebagaimana yang telah terjadi. 

Calvinism juga menyebar sampai satu titik, dan eric XIV (1560-68) berupaya untuk mempromosikannya. Namun dia kemudian diturunkan tahtanya oleh para bangsawan karena tiranitasnya, dan saudara laki-lakinya, John III (1658-92) dijadikan raja. John III kemudian mengembalikan Iman Katolik dan mencoba mengembalikan negara kepada kesatuan dengan Gereja. Namun karena kematian istri pertamanya, seorang Katolik yang bersemanagt tinggi, Putri Katherina, antusiasme sang raja menurun karena dihadapakan pada berbagai kesulitan, plus istri kedua sang raja lebih menyukai Lutheranism. Ketika John III meninggal, anaknya, Sigismund, yang ketika itu sudah menjadi Raja Polandia dan punya sentimen yang Katolik, menjadi Raja Swedia. Namun pamannya, Duke Charles, penasehat kerajaan, memberi dukungan yang bersemangat kepada Reformasi dan Pengakuan Augsburg diperkenalkan pada Sinode Nasional Upsala pada 1593. Berhadapan dengan sang penasehat dan par bangsawan Swedia, Sigismund merasa tak berdaya; akhirnya (1600) dia diturunkan dari tahta sebagai seorang yang murtad dari "ajaran sejati" [ie. ajaran Reformasi], dan Charles diangkat menjadi raja. Gustavus Adolphus (1611-32), anak Charles, menggunakan Reformasi untuk meningkatkan kekuatan Swedia melalui kampanyenya. Reformasi kemudian ditegakkan dengan sukses di seluruh Swedia. 

C. Prancis dan Swiss-Prancis 

Di kalangan humanistik di Prancis, sebelum munculnya Reformasi, muncul sebuah gerakan yang kondusif kepada Reformasi. Pusat dari gerakan ini adalah Meaux, dimana Uskup Guillaume Briconnet menyukai gagasan-gagsan humanistik dan mistik, dan dimana para humanis dengan kecenderungan Lutheran, seperti Profesor Lefèvre d'Etaples, W. Farel, dan J. de Clerc, mengajar. Namun, kerajaan Perancis, universitas dan parlemen menentang inovasi religius, [sehingga] komunitas Lutheran di Meaux dibubarkan. Pusat yang lebih penting atas gerakan Reformasi dapat ditemukan di Selatan [Perancis] dimana sebelumnya para Waldensian dengan ajarannya yang bidat telah mempersiapkan tumbuh-kembangnya Reformasi. Ditempat ini kerusuhan publik terjadi, dimana di kerusuhan tersebut gambar-gambar dan patung-patung Kristus dan para kudus dihancurkan. Dalam kebanyakan kasus, parlemen mengambil langkah yang energetik melawan para inovator, meskipun dalam kalangan tertentu para inovator ini mendapatkan perlindungan – terutama oleh Margaret dari Valois, saudara perempuan Raja Francis I dan istri dari Henry d'Albret, Raja Navarre. Pemimpin-pemimpin Reformasi di Jerman berusaha memenangkan hati Raja Francis I yang sebenarnya bersekutu dengan pangeran-pangeran Protestant Jerman karena alasan politik. Namun sang raja tetap setia kepada Gereja dan menindas gerakan reformasi di seluruh kekuasaannya. Di distrik Tenggara, terutama di Provence dan Dauphine, pendukung dari ajaran-ajaran baru ini (ie. Reformasi alias Protestantisme) semakin bertambah berkat upaya-upaya para Protestant dari Switzerland dan Strasburg. Sampai pada akhirnya desekrasi dan perompakan Gereja-Gereja memaksa sang raja untuk mengambil langkah energetik melawannya. Setelah Calvinisme berdiri di Jenewa, pengaruhnya tumbuh dengan cepat di kalangan Protestant Perancis. Calvin muncul di Paris sebagai pembela gerakan religius baru pada 1533. Dai mendedikasikan "Institutiones Christianae Religionis"-nya kepada raja Perancis pada 1536 dan berangkat ke Jenewa di tahun tersebut. Setelah diusir dari Jenewa, Calvin kembali lagi pada 1541 dan memulai pendirian final dari organisasi religiusnya disana. Jenewa, dengan akademinya yang dimulai oleh Calvin, adalah pusat utama dari Reformasi dan secara prinsipil mempengaruhi Perancis. Pierre le Clerc mendirikan komunitas Calvinist pertama di Paris; komunitas-komunitas lainnya didirikan di Lyons, Orléans, Angers, dan Rouen. Tindakan-tindakan represif terbukti sia-sia. Uskup Jacques Spifamius dari Nevers beralih kepada Calvinisme, dan pada 1559 Paris menjadi saksi bisa diadakannya sebuah sinode umum oleh para Protestant-Protestant Perancis, dimana di sinode tersebut mereka mengadopsi syahdat yang calvinis dan memperkenalkan konstitusi presbyterial Swiss bagi komunitas Protestant di Perancis. Di Perancis pengikut reformasi semakin bertambah berkat dukungan kaum Waldensian; penyebaran literature-literatur bernafaskan Protestantisme dari Jenewa, Basel dan Strasburg; serta masuknya pengkhotbah-pengkhotbah Protestant secara stabil dari kota-kota tersebut [ie. Jenewa, Basel, Strasburg]. Pada saat kematian Raja Genry II (1559), para Calvinis Huguenots berkehendak untuk mengambil kesempatan untuk menambah kekuasaan mereka karena melemahnya pemerintahan. Janda Ratu, Catherine de Medici, adalah seorang perancang intrik yang ambisius, dan dia menetapkan kebijakan yang opurtunis. Dengan cepat aspirasi-aspirasi politik bertautan dengan pergerakan religius sehingga aspirasi-aspirasi politik tersebut menjadi luas dan semakin penting. Karena perlawanan terhadap dinasti yang saat itu memerintah dank arena perlawanan terhadap Dukes of Guise, para pangeran dari garis keturunan Bourbon menjadi pelindung para Calvinist; mereka ini adalah Antoine de Vendôme, Raja Navarre, dan saudara-saudaranya, khususnya Louis de Condé. Mereka diikuti oleh Constable-nya Montmorency 
[catatan DeusVult: "constable" adalah perwira militer yang mengambil komando saat sang monarkis tidak ada], yaitu Admiral Coligny dan saudaranya d'Andelot, dan Kardinal Odet de Châtillon, Uskup Beauvais. 

Meskipun ada hukum-hukum anti-ke-bidat-an, Calvinisme berkembang cukup stabil di Selatan Perancis. Ini terjadi ketika pada 17 Januari 1562, Janda Ratu, yang menjadi wali Raja Charles IX yang masih muda, mengeluarkan edict toleransi dimana ini membuat para Huguenot bebas mempraktekkan agama mereka diluar kota-kota dan tanpa senjata-senjata, namun [edict] tersebut juga melarang penghambatan dan kekerasan terhadap institusi Katolik dan memerintahkan pengembalian semua gereja-gereja dan semua barang kegerejaan yang diambil dari kaum Katolik. [Edict tersebut malahan] membuat kaum Calvinist semakin lancang dan mereka melakukan kekerasan yang menjijikkan terhadap kaum Katolik terutama di Selatan Perancis, dengan membunuh imam-imam Katolik bahkan di desa-desa sekitar Paris. Peristiwa di Vassy, Champagne pada 1 Maret 1562, dimana ajudan Duke of Guise terlibat dalam konflik dengan kaum Huguebots, memulai peranf saudara religius yang pertama di Perancis. Meskipun peraqng saudara ini berakhir dengan kekalahan kaum Huguenot, namun perang ini juga menyebabkan kerugian yang besar terhadap Umat Katolik Perancis. Relikui-relikui para kudus dibakar dan diceraiberaikan, gereja-gereja agung dijadikan abu dan banyak imam dibunuh. Lalu meskipun edict toleransi yang terdahulu ditarik, muncul Edict Amborius yang menganugrahkan kemudahan-kemudahan baru bagi bangsawan Calvinis. Setelah itu lima perang saudara lainnya terjadi, dimana ketika itu muncul yang disebut sebagai pembantaian Hari Santo Bartolomeus (24 Agustus 1572). Baru ketika garis keturunan Valois punah dengan matinya Henry III (1589), dan ketika Henry dari Navarre (yang memeluk Katolisme pada 1593) naik tahta, maka saat itu perang-perang agama dihentikan oleh Edict Nantes (13 April 1589); [edict] ini tidak hanya menganugrahkan kepada kaum Calvinis kebebasan beragama penuh dan diperolehkannya kaum Calvinis bekerja di semua instansi pemerintahan, bahkan termasuk posisi-posisi yang terhormat di Negara. Kesulitan-kesulitan yang sifatnya politis terus bertambah, dan Cardinal Richelieu punya tujuan untuk mengakhiri posisi-posisi berpengaruh yang dimiliki kaum Huguenot. Penangkapan benteng utama kaum calvinis, LaRochelle (28 Oktober 1628), akhirnya menumbangkan kekuatan Calvinis Perancis sebagai satu entitas politik. Beberapa waktu kemudian banyak dari mereka kembali ke Katolisme, meskipun masih ada banyak pengikut Calvinis di Perancis 

D. Italia and Spanyol 

Meskipun di tanah-tanah ini ada beberapa pengikut reformasi yang tak saling berkaitan muncul, tidak ada organisasi [yang bersifat reformasi] yang kuat dan ekstensif timbul di tanah-tanah tersebut. Disana-sini di Italia beberapa individu yang berpengaruh (contohnya Vittoria Colonna dan kalangannya) yang bersimpati terhadap gerakan mereformasi [gereja], namun mereka berkeingingan agar upaya tersebut muncul dari dalam, bukannya sebagai bentuk pemberontakan melawan Gereja. Sedikit rakyat Italia memeluk Lutheranisme atau Calvinisme, misalnya john valdez, sekretaris dari Viceroy [i. semacam gubernur] kota Naples. Di kota Turin, Pavia, Venice, Ferrara (dimana Duchess Renata bersimpati terhadap Reformasi), dan Florence bisa ditemui pengikut Luther dan Calvin, meskipun tidak se-ekstrim pengikut awal keduanya. Pengikut [kaum Protestant] yang lebih berkedudukan terpaksa meninggalkan negeri – Pietro Paolo Vergerio mengungsi ke Switzerland dan kemudian ke Wittenberg; Bernardinho Ochino menuju ke Jenewa dan kemudian menjadi professor di Oxford, starsburg, dan kemudian di Zurich. Dengan munculnya reformasi gerejawi yang sejati dalam semangat Konsili Trente, melalui aktivitas-aktivitas berbagai orang-orang kudus (seperti St. Charles Borromeo dan Philip Neri), melalui kewaspadaan para uskup dan kerajinan Inkuisisi, Reformasi terkecualikan di negara Italia. Di beberapa kalangan kecenderungan-kecenderungan rasionalistik dan anti-trinitarian memperlihatkan mukanya, dan Italia menjadi tampat kelahiran dua pelopor bidat, Laelius Socinus dan keponakannya Faustus Socinus, pendiri Socianisme 

Jalannya kejadian-kejadian juga sama di Spanyol sebagaimana di Italia. Meskipun ada upaya-upaya untuk menyebarkan tulisan-tulisan anti-kegerejaan, gerakan Reformasi tidak menghasilkan sukses, berkat kegigihan yang ditunjukkan oleh otoritas geraja dan negara dalam me-reaksi-balik upaya-upaya [para Reformator]. Sedikit warga Spanyol yang menerima ajaran-ajaran baru [kaum reformator] tidak mampu mengembangkan aktivitas rpereformasian di rumah mereka dan [terpaksa] hidup diluar negeri - misalnya - Francisco Enzinas (Dryander), yang membuat terjemahan Alkitab kedalam bahasa Spanyol, Juan Diaz, Gonsalvo Montano, Miguel Servede (Servetus), yang dikutuk calvin di Jenewa karena ajarannya yang melawan Trinitas dan kemudian diikat di tiang dan dibakar. 

E. Hungaria dan Transylvania 

Gerakan Reformsi menyebar di Hungaria melalui warga Hungaria yang telah belajar di Wittenberg dan memeluk Lutheranisme. Pada 1525 sebuah hukum yang ketat dikeluarkan untuk melawan pengikut ajaran bidat, namun jumlah pengikut ajaran bidat semakin bertambah terutama di kalangan bangsawan, yang punya niat menyita harta kegerejaan, dan di kalangan penduduk kota-kota bebas Kerajaan Hungaria. Kemenangan dan penaklukkan Turki serta perang antara Ferdinand dari Austria dan John Zapolya merupakan peristiwa-peristiwa yang sedikit banyak membantu para Protestant. Selain Lutheran juga muncul pengikut-pengikut Zwingli dan Calvin di negeri tersebut. Lima kota Lutheran di Hungaria Atas menerima Pengakuan Augsburg. Namun sedikit demi sedikit Calvinisme mendapat angin, meskipun pertikaian domestik antara sekte-sekte Protestant masih belum berhenti. Di Transylvania pedagang-pedagang dari Hermannstadt, yang bersentuhan dengan bidaah Luther di Peipzig, menyebarkan Protestantisme setelah tahun 1521. Sebuah sekolah Lutheran didirikan di Hermannstadt dan para bangsawan berusaha untuk menggunakan gerakan Reformasi sebagai sarana untuk menyita property para klerus. Pada 1529 ordo-ordo reguler dan para pejuang gigih Gereja diusir dari kota Hermannstadt. Di Krondstadt si pengkhotbah Lutheran Johann Honter naik pamor pada 1534, Misa dihapus dan peribadatan Ilahi diorganisasi sesuai model Lutheran. Pada sebuah sinode yang diadakan pada 1554 negara Saxon Transylvania memutuskan untuk memilih Pengakuan Augsburg, sementara wilayah pedalaman Magyar memilih Calvinisme. Di Diet of Klausenburg pada 1556 kebebsan beragama yang bersifat umum diperbolehkan dan property gerejawi disita untuk pertahanan negara dan pembangunan sekolah-sekolah Lutheran. Diantara para pendukung geraqkan Reformasi terus muncul perpecahan-perpecahan yang burujung jauh kedepan. Disamping Lutheran juga ada Unitarian (Socinian) dan Anabaptist, dan masing-masing dari sekte tersebut melakukan perang terhadap satu sama lain. Satu kelompok minoritas Katoliik bertahan diantara kaum Walachian Yunani. 

F. Polandia, Livonia, and Courland 

Penduduk Polandia berkenalan dengan Reformasi melalui murid-murid muda dari Universitas Wittenberg Jerman dan melalui Persaudaraan Bohemia dan Moravian. Uskup Agung Laski dari Gnesen dan Raja Sigismund I (1501-48) dengan penuh semangat menentang penyebaran ajaran bidat. Namun pendukung Reformasi berhasil merekrut pengikut di Universitas Krakow, di Posen dan di Dantzig. Dari Dantzig Reformasi menyebar ke Thorn dan Elbing, dan beberapa bangsawan menyukai ajaran baru [Reformasi]. Dibawah kepemimpinan Sigismund II yang lemah (1548-72) di Polandia tidak hanya muncul Lutheran dan Persaudaraan Bohemia, tapi juga Zwinlian, Calvinis dan Socinian. Pangeran Radziwill dan John Laski memilih calvinisme, dan Alkitab diterjemahjkan ke bahasa Polandia mengikuti pandangan golongan ini pada 1563. Meskipun ada upaya dari duta besar kepausan Aloisius Lippomano (1556-58) praktek agama dengan bebas secara diam-diam diberlakukan dari tiga kota tersebut, dan para bangsawan diperbolehkan mengadakan kegiatan peribadatan di rumah-rumah mereka. Sekte-sekte Protestant yang berbeda-beda berkelahi satu sama lain. Formulasi iman yang dittetapkan pada Sinode Umum sandomir pada 1570 oleh para Protestant, Lutheran, dan Persaudaraan Bohemia tidak menghasilkan kesatuan. Pada 1573 partai-partai bidat mendapapatkan perdamaian religius Warawa, dimana perdamaian ini menganugrahkan hak yang sama kepada Katolik dan "Pembangkang", dan memunculkan keadamaian permanent diantara kedua pihak. Oleh semangat berapi-api bagi dimulainya reformasi kegerejaan yang sejati, aktivitas-aktivitas para wakil kepausan serta para Uskup yang dilakukan dengan rajin, dan kerja para Yesuit, perkembangan lebih lanjut atas Reformasi dapat dicegah. 

Di Livonia dan Courland, yang merupakan wilayah Ordo Teutonik, jalannya penyebaran reformasi terjadai sama dengan yang terjadi di wilayah lain dari Ordo tersebut, yaitu di wilayah Prusia. Komandan Gotthard Kettler dari Courland memeluk Pengakuan Augsburg, dan mengubah tanah courland menjadi ke-duchy-an yang bersifat dinasti, dan dipersembahkan kepada Polandia. Di Livonia komandan Walter dari Plettenberg berusaha mengembangkan Lutheranisme yang telah diterima di Riga, Dorpat dan Reval sejak 1532, dan berharap supaya dirinya bebas dari Uskup Agung Riga. Ketika margrave William dari Brandenburg menjadi Uskup Agung Riga pada 1539, Lutheranisme dengan cepat mendapatkan hak eeksklusif dalam penyebarannya di Livonia. 

G. Belanda 

Selama pemerintahan Charles V tujuhbelas provinsi Belanda cukup kebal dari infeksi ajaran baru. Beberapa pengikut Luther memang muncul disana, dan berusaha menyebarkan tulisan-tulisan dan ajaran-ajaran Lutheran. Namun Charles V mengeluarkan edict yang keras menentang Lutheran dan menentang pencetakan dan penyebaran tulisan-tulisan para Protestant. Ajaran sesat Anbaptist mengakibatkan penindasan paksa gerakan tersebut, dan sampai 1555 Protestantisme tidak mengakar di negara Belanda. Pada tahun tersebut (1555) Charles V menganugrahkan Belanda kepada putranya Philip II yang tinggal di negara tersebut sampai 1559. Selama periode ini Calvinisme menyebar dengan pesat terutama di provinsi utara. Banyak bangsawan-bangsawan besar dan bangsawan rendahan yang miskin menggunakan Protestantisme untuk memanasi orang-orang yang cinta-damai untuk melawan administrasi raja, melawan tentara dan pejabat Spanyol, dan kekakuan pemerintahan. Ketidakpuasan terus menerus meningkat, terutama karena at8ran keras dari Duke of Alva dan penganiayaan berdarah yang dilakukannya. William dari Orange-Nassau, gubernur Provinsi Holand berusaha untuk mensukseskan kemenangan Calvinisme demi alas an politis, dan dia berhasil dalam usahanya di beberapa distrik utara.. Dia kemudian menempatkan dirinya sebagai kepala pemberontakan melawan kepemerintahan Spanyol. Dalam perang yang kemudian berlangsung provinsi-provinsi Utara (Niederlande) meneguhkan kemerdekaan mereka. Calvinisme berhasil mendapatkan bagi mereka kenaikan status ini. Pada 1581 semua praktek umum Iman Katolik dilarang. "Pengakuan Belgia" tahun 1562 telah memiliki didalamnya dasar-dasar Calvinis; oleh sinode-sinode Dordrecht pada 1574 dan 1618 Calvinisme mendapatkan bentuk tetapnya. Umat Katolik di negeri tersebut (sekitar dua-per-lima populasi) menjadi korban penindasan yang keras. Diantara kaum Calvinis di Belanda muncul konflik mengenaoi ajaran Predestinasi. 

H. Inggris dan Skotlandia 

Reformasi mendapatkan bentuk finalnya di Inggris selama pemerintahan Ratu Elizabeth (1583-1603). Atas dasar liturgy yang terdapat di "Book of Common Prayer" selama pemerintahan Edward IV (1547-53) dan pengakuan empat-puluh-dua artikel yang dikomposisi oleh Uskup Agung Cranmer dan Uskup Ridley pada 1552, dan setelah Ratu Mary [Maria] (1553-58) gagal mengembalikan kesatuan negaranya dengan Roma dan dengan iman Katolik, naiknya Anglikanisme diresmikan di Inggris oleh Elizabeth. Pengakuan empat-puluh-dua artikel kemudian direvisi menjadi Tiga-puluh-sembilan Artikel gereja Anglikan dan pada 1562 artikel tersebut menjadi norma atas syahadat agama Anglikan. Supremasi gerejawi dari ratu diakui dan sebuah sumpah (yaitu, Sumpah supremasi) ditetapkan bagi pengakuan ini sehingga siapapun yang melanggarnya akan terkena sangsi dipecat dari jabatan dan penyitaan harta-benda. Beberapa pejabat dan universitas menyerukan penolakan, dimana semua penolakan itu diantisipasi dengan kekerasan oleh pemerintahan. Mayoritas klerus rendah mengambil sumpah, dimana sumpah tersebut dituntutkan bagi seluruh anggota House of Common, seluruh pejabat gerejawi, seluruh barrister dan seluruh guru dengan ancaman sanksi yang semakin berat. Secara eksternal banyak bentuk peribadatan Katolik lama yang dipertahankan. Setelah kegagalan gerakan yang bersimpati kepada Mary Stuart dari Skotlandia, yang mengungsi ke Inggris pada 1568, penindasan umat Katolik Inggris berlanjut dengan semakin keras. Selain gereja Anglikan yang resmi di Inggris juga ada Calvinisitic Nonconformist yang menentang sebuah organisai Presbyterian yang popular; seperti kaum Katolik, mereka ini kemudian ditindas oleh penguasa-penmguasa Inggris. 

Di Skotlandia situasi politik dan sosial menimbulkan dorongan yang kuat bagi Protestantisme, dikarenakan ketidaktahuan dan kekasaran para klerus Katolik (dimana ini terutama diakibatkan oleh perselisihan yang terjadi secara konstan). Para bangsawan menggunakan Protestantisme sebagai senjata dalam perang mereka melawan kerajaan yang didukung oleh klerus tinggi. Sejak pemerintahan James V (1524-42) para pendukung ajaran Lutheran, seperti Patrick Hamilton, Henry Forest, dan Alexander Seton sang bapa pengakuan Raja, menyatakan diri sebagai Protestant. Dua yang pertama dihukum mati sementara yang terakhir melarikan diri keluar benua. Namun ajaran bidat terus menemukan pengikut baru. Pada saat kematian James V, putrid dan penerus sang raja masih berumur delapan hari. Jabatan regent [ie. Orang yang memimpin selama pemimpin sesungguhnya tidak mampu memimpin] jatuh kepada James Hamilton yang, meskipun sebelumnya punya sentiman Protestant, kembali ke pangkuan gereja katolik dan mendukung Uskup Agung David Beaton dalam upaya sang Uskup untuk mengambil tindakan-tindakan penuh semangat melawan pembawa-pembawa ajaran baru. Setelah eksekusi tokoh Protestant George wishart, pihak Protestant membentuk sebuah konspirasi melawan sang Uskup Agung, menyerangnya di istananya pada 1545, dan membunuhnya. Para pemberontak (salah satunya adalah John Knox), bergabung dengan 14o bangsawan dan kemudian membentengi diri mereka dalam istana. Knox pergi ke Jenewa pada 1546 dan memeluk Calvinisme, dan sejak 1555 dialah pemimpin Reformasi di Skotlandia, dimana kemudian gerakan tersebut memenangi pengakuan dalam bentuk Calvinisme. Kebingungan politis yang merebak di Skotlandia sejak kematian james V mem-fasilitasi masuknya Reformasi. 



V. BENTUK-BENTUK BERBEDA DARI REFORMASI 

Bentuk fundamental dari Reformasi/Protestantisme adalah Lutheranisme, Zwinglianisme, Calvinisme dan Anglikanisme. Namun pada masing-masing aliran muncul konflik yang diakibatkan perbedaan pandangan yang berbeda dari perwakilan-perwakilan individu. Dengan negosiasi, kompromi, perumusan formula kesatuan diupayakanlah kesatuan yang biasanya hanya sukses dalam jangka pendek. Protestantisme yang bersandarkan otoritas manusia, dihadapan kesatuan iman Gereja Katolik, menunjukkan suatu aspek perpecahan yang menyedihkan sejak permulaannya. Selain aliran-aliran utama ini muncul juga macam-macam bentuk Protestantisme lain, yang menyeleweng dari point-point esensial aliran-aliran utama, dan sedikit demi sedikit tumbuh bersama dengan pecahan-pecahan Protestantisme lainnya. Bentuk-bentuk utama dari aliran Protestantisme tersebut bisa di-review secara singkat. 

Kaum Anabpatist yang muncul di German dan Jerman-Swiss sejenak setelah munculnya Luther dan Zwingly berangan-angan melacak balik konsep Gereja kepada jaman Rasuli. Mereka menolak keabsahan baptisan anak, memandang ekaristi Kudus hanya sebagai upacara peringatan, dan berkeinghinan merestorasi Kerajaan Allah sesuai pandangan mereka yang bidat dan mistik. Meskipun diserang oleh Protestant lain, mereka mendapatkan pendukung di banyak tempat. Dari kaum ini juga muncul kaum Mennonites yang didirikan oleh Menno Simonis (d. 1561). 

Kaum Schwenkfeldians didirikan oleh Kaspar of Schwenkfeld, seorang penasehat Duke Frederick dari Liegnitz dan juga seorang kanon [ie. romo yang bertgas pada sebuah Katedral. Bisa juga berarti seorang religius]. Pada awalnya dia menghubungkan dirinya dengan Luther, tapi sejak 1525 dia menentang Kristologi Luther, dan juga konsepsi Luther atas Ekaristi, dan juga ajaran justifikasi Luther. Meski diserang oleh para Protestant German, pengikutnya dapat mebentuk beberapa komunitas. Kaum Schwenkfeldians masih ada di Amerika Utara. Sebastian Franck (1499-1542), seorang spiritualist murni, menolak semua bentuk organisasi kegerejaan dan memilih sebuah gereja tak kelihatan yang spiritual. Karena itu dia tidak mendirikan sebuah komunitas terpisah dan hanya berusaha uhntuk menyebarkan ideologi-ideologinya. 

Kaum socinian dan kaum anti-Trinitarian yang lain. Beberapa anggota individu Protestant awal menyerang ajaran fundamental Trinitas Kudus, terutama seorang Spanyol Miguel Servede (Servatus), yang tulisan-tulisannya, "De Trinitaris erroribus", dicetak pada 1531. Pendiri utama kaum anti-Trinitarian adalah Laelius Socinus, pengajar jurispondensi di Siena, dan keponakan laki-lakinya, Faustus Socianus. Setelah terpaksa mengungsi dari rumah mereka, mereka diam di berbagai tempat dan mendirikan komunitas-komunitas Socinian khusus. Faustus menyebarkan ajarannya terutama di Polandia dan Transylvania. 

Valentine Weigel (1533-1588) dan Jacob Böhme (d. 1624), seorang pembuat sepatu dari Gorlitz, mewakili beridirnya suatu pantheisme mistis yang mengajarkan bahwa wahyu eksternal dari Allah Alkitab hanya bisa dikenali melalui penerangan internal. Keduanya mendapatkan banyak murid. Pengikut Bohme kemudian mendapatkan nama Rosenkrauzer, karena dikatakan bahwa mereka mendapatkan petunjuk tersembunyi bernama Rosenkreuz. 

Kaum Pietist di Jerman memiliki Philip Jacob spener (1653-1705) sebagai pemimpin mereka. Pietisme utamanya muncul karena reaksi melawan ortodoksi Lutheran yang mandul, dan menganggap agama sebagai masalah hati [pribadi]. 

Kaum Komunitas Ilhami (The Inspiration Communities) yang berasal dari Jerman selama abad ketujuhbelas dan kedelapanbelas dengan berbagai visionaris apokaliptik [ie. akhir jaman]. Mereka menganggap bahwa Kerajaan roh Kudus telah tiba, dan meyakini karunia nubuat universal serta millennium [ie. Masa seribu tahun pemerintahan Kristus yang literal]. Diantara pendiri kaum visionaris ini adalah Johann Wilhelm Petersen (d. 1727), seorang superintendent di Luneberg, dan Johann Konrad Duppel (b. 1734), seorang ahli medis di Leiden. 

Aum Herrnhunter didirikan oleh Count Nicholas dari Zinzendorf (b. 1700; d. 1760). Di Hutberg, sebagaimana tempat itu disebut, dia mendirikan komunitas Herrnhut, terdiri dari Persaudaraan Moravian dan Protestant lain, dengan berpedoman pada sebuah konstitusi khusus. Ditekankan mengenai ajaran Penebusan dan disiplin moral yang keras diterapkan. Komunitas Persaudaraan ini menyebar di berbagai negara. 

Kaum Quakers didirikan oleh John George Fox dari Drayton di Leicestershire (1624-1691). Si pendiri menyukai sebuah spiritualisme visionaries, dan mendapatkan bahwa dalam jiwa manusia ada sebahagian intelegensi Ilahi. Semua anggota diperbolehkan untuk berkhotbah sesuai dorongan roh dalam diri mereka. Aturan moral sekte ini sangat ketat.. 

Kaum Methodist didirkan oleh john Wesley. Pada 1729 Wesley, saudaranya Charles, dan temannya Morgan dan Kirkham, menginsitusikan sebuah perkumpulan di Oxford untuk pengembangan kehidupan religius dan bertapa [ascetic], dan dari perkumpulan ini Methodisme berkembang. 

Kaum Baptist berasal di Inggris pada 1608. Mereka berkeyakinan bahwa baptisan hanya perlu bagi orang dewasa, mengimani Calvinisme dalam hal-hal esensial, dan beribadat pada hari Sabtu. 

Kaum Swedenborgian dinamai seturut pendiri mereka Emmanuel Swedenborg (d. 1772), putra dari usku-p Protestant Swedia. Dengan mayakini kemampuannya untuk berkomunikasi dengan dunia roh dan bahwa dia mempunya hubungani Ilahi, Swedenborg mendirikan komunitas New Jerusalem dengan suatu liutrgi special didasarkan oleh hubungan Ilahi yang diklaimnya. Dia mendapatkan banyak pengikut dan komunitasnya tersebar di banyak tempat. 

Kaum Irvingites dinamakan demikian menurut pendiri mereka yaitu Edward Irving, seorang warga Skotlandia yang sejak 1822 berkhotbah dalam sebuah kapel Presbyterian di London. 

Kaum Mormon didirikan oleh Joseph smith, yang memunculkan diri dengan suatu wahyu yang diklaim olehnya pada 1822. 

Disamping aliran-aliran sekunder gerekan Reformasi ini ada banyak denominasi-denominasi; karena dari gerqkan Reformasi evolusi bentuk-bentuk aliran baru selalui muncul, dan harus muncul, seturut dengan fakta dijadikannya subjektivisme yang rancu sebagai prinsip ajaran bidah ini pada abad ke-enambelas. 



VI. HASIL-HASIL DAN KONSEKUENSI-KONSEKUENSI GERAKAN REFORMASI 

Gerakan Reformasi menghancurkan kesatuan iman dan organisasi kegerejaan dari umat Kristen Eropa, memotong berjuta-juta dari Gereja Katolik sejati, dan merampok dari diri mereka porsi terbesar dari sarana-sarana keselamatan bagi pengembangan dan pemeliharaan kehidupan adikodrati. Kerusakan yang tak terhitungkan telah terjadi dari sudut pandang agama. Ajaran fundamental iman saja [ie.Sola Fide], yang diajarkan oleh para Protestant, menghasilkan kedangkalan kehidupan religius yang patut diprihatini. Kegigihan bagi perbuatan baik musnah, cara hidup bertapa [ascesticism] yang dipraktekkan oleh Gereja sejak pendiriannya dipandang dengan jijik, kegiatan-kegiatan sosial dan kegerejaaan tidak lagi secara patut dikembangkan, ketertarikan adikodrati menjauh ke latar belakang, dan aspirasi naturalistic yang mengarah ke hal-hal yang sekular merebak. Pengingkaran terhadap otoritas Gereja yang diinstitusikan secara ilahi, baik dalam hal ajaran ataupun pemerintahan kegerejaaan, membukakan pintu bagi setiap ke-eksentrik-an individu, dan mengakibatkan perpecahan sekte-sekte yang tak pernah berhenti serta mengakibatkan perselisihan yang tak pernah berakhir yang merupakan karakteristik dari Protestantisme, dan tidak dapat tidak akan berujung kepada ketidakpercayaan total yang memang harus terjadi mengingat pinsip-prinsip Protestantisme. Kebebasan kepercayaan sejati diantara para Protestant abad ke-enambelas tidak terdeteksi; sebaliknya, tirani terbesar atas masalah suara hati dipertunjukkan oleh para perwakilan Protestantisme. Bentuk Caesaropapisme [ie. Raja adalah pemimpin Gereja] yang paling merusak dipraktekkan karena pihak Protestant mengakui supremasi otoritas sekuler dalam perkara-perkara agama. Sehingga sejak awal muncul berbagai "gereja-gereja nasional" Protestant, yang sangat tidak sesuai dengan universalitas kekristenan dari Gereja Katolik. Dan "gereja-gereja nasional" ini bergantung kepada kehendak dari penguasa secular termasuk dalam hal iman dan organisasi. Dalam hal ini Reformasi/Protestantisme menjadi factor utama atas evolusi paham royalis absolute. Dalam setiap tempat dimana Protestantisme mendapatkan ingress, Protestantisme menjadi sebab penderitaan yang terucapkan diantara orang-orang; Protestantisme menyebabkan perang saudara yang berakhir puluhan tahun dengan segala kengerian dan penjarahan; orang-orang dijajah dan diperbudak; harta-harta seni dan manuskrip-manuskrip berharga yang tak terhitung jumlahnya dihancurkan; diantara sesama anggota negara dan bangsa bibit-bibit perselisihan ditebar. Jerman secara khusus, yang merupakan tempat asal Protestantisme, menjadi tempat yang penuh dengan keresahan yang menyedihkan karena Perang Tiga Puluh Tahun, dan kekaisaran German turun dari posisi pimpinan yang dipunyainya di Eropa sejak berabad-abad. Hanya sedikit demi sedikit kemudian luka-luka sosial yang diakibatkan Protestantisme sembuh. Dimana ini dikarenakan daya-daya yang tidak secara esensial berasal dari Protestantisme, tapi dikondisikan oleh factor-faktor histories. Namun korosi agama masih terus berlanjut terlepas dari sentiment religius tulus yang menjadi karakter dari pengikut-pengikut individual gerakan Protestantisme setiap waktu. 





Ditulis oleh J.P. Kirsch. Transcribed by Marie Jutras. 
The Catholic Encyclopedia, Volume XII. Dipublikasikan 1911. New York: Robert Appleton Company. Nihil Obstat 1 Juni 1911. Remy Lafort, S.T.D., Censor. Imprimatur. +John Cardinal Farley, Uskup Agung New York

Bagian kedua yang cukup singkat, tapi memiliki satu kalimat yang buat pusing untuk menerjemahkan (sangat pusing actually), telah selesai. 


Di bagian ini kalian akan mempelajari bagaimana pemberontakan yang dilakukan Protestant pada awalnya sangat berdarah (jadi jangan pikir bahwa Protestant itu sekedar si kecil yang ingin bebas dari kungkungan si besar yang berkuasa dengan segala kelemahannya). 

Kalian juga akan membaca bagaimana setelah suatu daerah menjadi daerah kekuasaan Protestant, para Protestant itu malahan menerapakan aturan yang lebih ketat dan mengkungkung daripada apapun yang pernah dilakukan Gereja Katolik. Bahkan mereka cenderung memaksa. 

Point lain yang tidak disebut di artikel ini, yaitu mengenai sampai mana kegananasan para Iconoclast Protestant. Menurut sejarah, mereka begitu ganasnya sampai relikui-relikui para kudus, yang bisa berupa potongan tangan, jantung, kepala atau bahkan tubuh sang kudus, mereka bakar. Hampir semua, kalau tidak semua, relikui para kudus tersebut sifatnya adalah incorrupt. Jadi, kalau tidak ada Protestantism, mungkin lebih banyak incorrput seperti Bernadette. Tapi dibakar oleh para.... Protestant. 


Tentu saja hal-hal seperti ini biasanya tidak pernah diceritakan di pelajaran-pelajaran agama Protestant atau sekolah-sekolah teologi mereka, terutama yang di Indonesia. Yang diceritakan paling mengenai heroisme si kecil (Protestant) yang melawan ke-otoriteran, ke-angkuhan, arogansi si besar (Gereja Katolik). 



PS 
Untuk kata magistrate/magistracy yang adalah istilah administratif perkotaan, aku tidak terjemahkan karena aku kurang tahu terjemahan yang tepat.

Sebenarnya sih, aku ingin kalian mengasah kemampuan google kalian sambil belajar sedikit sejarah. Aku pikir sebaiknya kalian cari sendiri sumber-sumber yang menceritakan tentang keganasan setan (tidak dapat disebut lain) dari para Iconoclast Protestant awal-awal. Ini fakta sejarah yang bisa ditemukan di banyak sumber. Protestant pun tidak bisa menyangkal yang ini. 

Tapi... ini aku kasih satu sumber saja. Kalian google yang lain dan taruh di topik ini kalau ketemu sebagai pembelajaran kita semua: 

Dari website Dave Armstrong 


Church historian Warren H. Carroll describes the Calvinist iconoclastic riots in the Low Countries in 1566: 

[O]n August 20 came the 'Calvinist fury' in Antwerp. Almost all the religious images and paintings in the 42 churches of Antwerp were destroyed without opposition by gangs working through the day and night. The iconoclasm was planned by Calvinist leaders and carried out by young men mostly paid by them or their supporters . . . Monasteries and convents were also despoiled and their libraries burned . . . 

The fury spread like wildfire. More than 400 churches, monasteries, and convents in Flanders alone were sacked during the next three or four days. Tabernacles were broken open, Hosts taken out and trampled, and the bones of saints disinterred and dragged through the dirt . . . 

In Amsterdam the mayor and the city council attempted to resist the iconoclasts, but were overwhelmed. In Utrecht 'great heaps of art treasures and vestments, including the entire library of the Friars Minor [Franciscans], were put to the torch.' In Delft the iconoclasm was directed by Adrian Menninck, a leading businessman, who went on to direct more of the same at The Hague. (Evidence is strong that the iconoclastic attacks were very well organized and coordinated.)
 The Count of Culemborg chopped down the altar in his own chapel with an ax, ordered his servants to bring tables into the wrecked church, sat down to dinner there, and fed consecrated Hosts from the ciborium to a parrot sitting on his wrist . . . 

. . . the Calvinists had a new opportunity, and they seized it by taking control of the principal cities of Flanders — Antwerp, Ghent and Bruges — in the spring of 1578. On the feast of Corpus Christi in June Calvinists attacked Catholic religious processions in Brussels and Liege, desecrating the Blessed Sacrament, smashing crucifixes and images, and killing many worshippers. On June 10 there was a Calvinist uprising in Utrecht, with more iconoclasm; on June 28 six Catholic religious were burned to death in Ghent. 

(The Cleaving of Christendom, vol. 4 of A History of Christendom, Front Royal, VA: Christendom Press, 2000, 323, 380)




Sejarahwan Gereja Warren H. Carroll mendeskripsikan kerusuhan para iconoclastik Calvinist di Negara-Negara Bawah pada 1556: 

[P]ada 20 Agustus datanglah 'murka Calvinist' di Antwerp. Hampir semua gambaran-gambaran (patung, ukir-ukiran, pahatan etc) dan lukisan-lukisan di 42 Gereja di Antwerp di hancurkan oleh berandalan-berandalan yang melakukannya siang dan malam, tanpa ada perlawanan [dari orang-orang]. Tindakan penghancuran ikon ini (ie. Iconoclasm) direncanakan oleh para pemimpin Calvinist dan dilakukan oleh orang-orang muda yang kebanyakan dibayar oleh mereka atau pendukung mereka ... biara-biara dan rumah-rumah tarekat religius dijarah dan perpustakaannya dibakar... 

Kemurkaan tersebut menyebar bagai api. Tiga hari atau empat hari setelah itu lebih dari 400 Gereja, biara-biara, dan rumah-rumah tarekat religius diserang. Tabernakel dibuka paksa, Hosti-hosti diambil dan diinjak, dan tulang-tulang para kudus dikeluarkan dari tempat persemayanan dan digeret melalui tanah... 

Di Amsterdam, walikota dan dewan kota mencoba melawan para iconoclast, tapi mereka kewalahan. Di Utrecht 'sejumlah besar harta karun seni dan jubah-jubah, termasuk seluruh perpustakaan para Franciscan, dibakar.' Di Delft, gerakan Iconoclasm diarahkan oleh Adrian Menninck, seorang pengusaha ternama, yang juga mengarahkan gerakan yang sama di The Hague. (Bukti-bukti sangatlah kuat bahwa serangan para iconoclast terorganisasi dan terkoordinasi rapi.)
 Count dari Culemborg memotong altar di kapelnya sendiri dengan sebuah kapak, [dia juga] memerintahkan pelayan-pelayannya untuk membawa meja-meja ke Gereja yang sudah dirusak [lalu dia kemudian] duduk makan malam di Gereja rusak tersebut dan memakankan Hosti-Hosti yang telah dikonsekrasi dari ciborium kepada seekor burung nuri yang hinggap di lengannya. ... 

... para Calvinist mendpatkan peluang baru dan mereka mengambil peluang itu dengan mengambil kendali kota-kota utama Flanders — Antwerp, Ghent dan Bruges — pada musim semi 1578. Di Hari Perayaan Tubuh Kristus [ie. Corpus Christi] pada Juni, para Calvinist menyerang prosesi religius Katolik di Brussels dan Liege, men-desekrasi Sakramen Maha Kudus, membanting salib-salib dan gambaran-gambaran (patung, ukir-ukiran, pahat-pahatan), dan membunuh banyak umat. Pada 10 Juni ada pemberontakan Calvinist di Utrecht dengan lebih banyak tindakan Iconoclasm; pada 28 Juni enam religius Katolik dibakar sampai mati di Ghent. 

(The Cleaving of Christendom, vol. 4 of A History of Christendom, Front Royal, VA: Christendom Press, 2000, 323, 380)



Apakah ada Protestant di Indonesia yang tahu ini? Aku kira tidak. dan sebenarnya juga tidak ada Katolik yang tahu akan ini. 


You know, Protestant sering me-refer kepada permintaan maaf Yohanes Paulus II dan meyakinkan orang lain (juga diri mereka sendiri) bahwa kesalahan ada di pihak Katolik. Dalam pikiran sederhana Protestant yang seperti ini, "minta maaf itu berarti mereka bersalah kan. Kalau tidak salah kan tidak minta maaf." Sungguh ironis sekali. 

Memang banyak individu Gereja Katolik yang juga bersalah. Dan Yohanes Paulus II pun meminta maaf atas itu. 

Tapi mana "maaf" dari Protestant? 

Yang paling tragis [dan teologis] sebenarnya bukanlah fakta bahwa "maaf" dari Protestant itu tidak pernah terdengar, juga bukanlah fakta bahwa mereka begitu sok dan jumawa seakan-akan mereka-lah yang disalahi dan mereka berhak atas maaf itu. Yang paling tragis [dan teologis] adalah fakta bahwa sebenarnya Protestant tidak meminta maaf karena mereka tidak bisa minta maaf

Sebagai suatu gerakan yang terpecah-pecah satu sama lain, Protestant tidak sekedar cuek terhadap apa yang terjadi antar denominasi-denominasi, mereka juga tidak punya keterkaitan historis dengan Protestant-Protestant awal. Jadi, tidak hanya umat denominasi A tidak begitu kebakaran jenggot kalau pendeta denominasi B melakukan bisnis human traficcking, umat denominasi A pun tidak akan terlalu peduli dengan apa yang dilakukan oleh Protestant-protestant awal yang merupakan cikal bakal munculnya mereka. 

Dan, sebagaimana aku telah tekankan di salah satu topik (yang sebenarnya aku mau link-kan tapi gak ketemu di topik mana aku nulis itu), ini menunjukkan bahwa denominasi-denominasi Protestant SAMA SEKALI BUKAN PENGEJAWENTAHAN (harap-harap spelling-nya benar) DARI TUBUH MISTIK KRISTUS SEBAGAIMANA DITULIS PAULUS, "Karena itu jika satu anggota menderita, semua anggota turut menderita" [1Kor 12:26]. 





PS 

http://socrates58.blogspot.com/2007/05/ ..-rationalize.html 

A History of the Protestant Reformation in England and Ireland (1826), by the non-Catholic social reformer William Cobbett (1763-1835). 

96. And yet, the calculating, cold-blooded and brazen BURNET has the audacity to say, that "such a man as Henry VIII. was necessary to bring about the Reformation!" He means, of course, that such measures as those of Henry were necessary; and, if they were necessary, what must be the nature and tendency of that "Reformation?" 

97. The work of blood was now begun, and it proceeded with steady pace. All who refused to take the oath of supremacy; that is to say, all who refused to become apostates, were considered and treated as traitors, and made to suffer death accompanied with every possible cruelty and indignity. As a specimen of the works of BURNET's necessary reformer, and to spare the reader repetition on the subject, let us take the treatment of JOHN HOUGHTON, Prior of the Charter-house in London, which was then a convent of Carthusian monks. This Prior, for having refused to take the oath, which, observe, he could not take without committing perjury, was hanged at TYBURN. He was scarcely suspended when the rope was cut, and he alive on the ground. His clothes were then stripped off; his bowels were ripped up; his heart and entrails were torn from his body and flung into a fire; his head was cut from his body; the body was divided into quarters and parboiled; the quarters were then subdivided and hung up in different parts of the city; and one arm was nailed to the wall over the entrance into the monastery! 

98. Such were the means, which BURNET says were necessary to introduce the Protestant religion into England. How different, alas! from the means by which the Catholic religion had been introduced by POPE GREGORY and Saint AUSTIN! These horrid butcheries were perpetrated, mind, under the primacy of Fox's great Martyr, CRANMER, and with the active agency of another ruffian, named THOMAS CROMWELL, whom we shall soon see sharing with CRANMER the work of plunder, and finally sharing, too, in his disgraceful end.
 



A History of the Protestant Reformation in England and Ireland (1826), oleh reformator sosial non-Katolik William Cobbett (1763-1835). 

96. Dan lagi, si BURNET yang berdarah dingin dan tidak punya malu memiliki kelancangan untuk berkata, bahwa "orang seperti Henry VIII diperlukan untuk membawa Reformasi!" Maksudnya tentunya adalah, bahwa langkah-langkah yang diambil Henry merupakan langkah-langkah yang perlu; dan kalau langkah-langkah tersebut perlu, apa yang menjadi hakekat dan kecenderungan dari "Reformasi" tersebut? 

97. Karya berdarah sekarang telah dimulai. Dan karya itu dilakukan dengan tahapan yang stabil. Semua yang menolak untuk mengambil sumpah supremasi [ie. sumpah bahwa Raja Inggris punya supremasi dalam hal keagamaan di Inggris]; yaitu, semua yang menolak untuk menjadi murtad dianggap dan diperlakukan sebagai pengkhianat-pengkhianat. Dan mereka dibuat mati menderita dengan segala kekejian dan ketidakhormatan yang mungkin dilakukan. Sebagai contoh dari karya si reformator [ie. si Henry VIII] yang menurut BURNET diperlukan, dan supaya pembaca tidak dijenuhkan oleh pengulangan atas masalah ini, marilah kita lihat perlakuan terhadap JOHN HOUGHTON, Prior dari Charter-house di London, yang pada saat itu adalah sebuah rumah tarekat religius rahib-rahib Chartusian. Prior ini, karena menolak mengambil sumpah yang tidak bisa dia ambil karena hal itu berarti melakukan kebohongan, digantung di TYBURN. Dia belumlah tampak tergantung diam ketika tali gantungan dipotong, dan dia masih hidup ketika [terjatuh] ke tanah. Baju-bajunya kemudian ditanggalkan; isi perutnya dirobek; jantung dan ususnya dipisahkan dari tubuhnya dan dilemparkan kedalam api; kepalanya dipenggal dari tubuhnya; tubuh itu kemudian dibagi menjadi beberapa bagian dan dimasak setengah matang; bagian-bagian tubuhnya kemudian dipecah-pecah lagi dan digantung di tempat-tempat berbeda di dalam kota; satu lengan dipakukan di tembok atas pintu masuk rumah tarekat! 

98. Itulah cara-cara, yang kata BURNET diperlukan untuk memperkenalkan agama Protestant ke INggris. Bagaimana berbedanya semua itu dengan cara-cara yang dilakukan agama Katolik [ke Inggris] sebagaimana dilakukan oleh PAUS GREGORIUS dan Santo AUSTIN! Penjagalan yang mengerikan ini dilakukan, ingat, dibawah kekuasaan Martir agung-nya Fox, [yaitu] si CRANMER, dan dengan bantuan aktif oleh petualang lain bernama THOMAS CROMWELL, yang kita segera lihat [bagaimana dia] berbagi dengan CRANMER karya-karya perampokannya, dan [bagaimana dia] kemudian juga berbagi [dengan CRANMER] akhir hidup yang memalukan.


No further comment necessary.

Bagian ke-III telah selesai (Metode Penyebaran Reformasi). Pada bab ini kita mempelajarai apa saja yang dilakukan para pengikut Reformasi dalam menyebarkan ajaran baru mereka. Kita lihat bahwa cara-cara kekerasan (yang salah satunya adalah yang ditulis ) tidak dikecualikan dalam menyebarkan ajaran baru ini. 

Si BacktoPurity merasa bahwa Gereja Katolik kurang menerapkan prisip marketing dan dia sebagai consumer tentunya harus dipuaskan kalau tidak mau ditinggalkan. Nah, dengan membaca bagian ketiga ini kita tahu darimana asal mentalitas seperti ini. Salah satu cara yang digunakan para Protestant awal untuk menyukseskan penyebaran ajaran barunya adalah membuat praktek-praktek dan ajaran-ajaran baru yang menyenangkan dan menyanjung banyak orang. Istilah marketing-nya mungkin "memuaskan pelanggan." Jadi bukannya "people conforms to God" tapi "God conforms to people." 


Pada saat Reformasi para hierarkhi Gereja cukup cuek-cuek saja terhadap perkembangan yang terjadi. Mungkin sedikit banyak ini dikarenakan pemkiran bahwa "ah, dulu-dulu ya ada pemberontakan seperti itu [ex. John Huss, Wyclyff, Albigensians etc] tapi toh hanya riak-riak sesaat." Sayangnya mereka tidak menghadapi riak, tapi gelombang tsunami. Ini karena faktor-faktor yang menghambat merebaknya pemberontakan masa lalu telah hilang. Dahulu umat masih respect terhadap hierarkhi karena korupsi pejabat gerejawi tidak merebak seperti saat Reformasi, hubungan pemerintah sekuler dan Gereja juga masih baik. 


Hal terakhir itulah yang terbukti sebagai faktor penentu. Tidak hanya pemerintahan sekuler tidak kooperatif dengan Gereja, mereka bahkan menggunakan segala kekuatan yang mereka punya, yang paling brutal dan kasar sekalipun, untuk melawan Gereja dan menyebarkan bidaah Protestantism. Prinsip "Cuius regio, illius et religio" dipraktekkan dengan full force bahkan tanpa mengindahkan hati nurani masyarakat yang hidup dalam daerah kekuasaan para pangeran sekuler yang Protestant. 

Aku jadi tersenyum mengingat kata-kata terakhir di film "Luther The Movie" yang didanai denominasi Lutheran pada tahun 2003. Epilogue film tersebut berbunyi: 

What happened at Augsburg pushed open the door of religious freedom. Martin Luther lived for another 16 years, preaching and teaching the Word. He and Katharina von Bora enjoyed a happy marriage and six children. Luther's influence extended into economics, politics, education and music, and his translation of the Bible became a foundation stone of the German language. Today over 540 million people worship in churches inspired by his Reformation.


Tampaknya mereka lupa prinsip "Cuius regio, illius et religio" yang justru mereka petisikan pada Confession of Augsburg tahun 1530. 

Sungguh mengerikan akibat Reformasi/Protestantisme pada kehidupan dunia dan terlebih pada kehidupan akhirat yang kekal. 

God, have mercy on us all!

Stanley wrote:

boleh bertanya disini? 

Saya tidak bisa menemukan link yg tepat, namun dari kisah2 yang pernah diceritakan oleh guru2 agama dan sejarah sejak SMP-SMU saya dulu, dikisahkan bhw pihak gereja' melakukan penyiksaan dan pembunuan terhadap banyak ilmuwan yang meriset sesuatu yang dinyatakan praktek sihir. 

Padahal, riset2nya itu sometimes hanya riset (contoh) kimia sederhana, cairan merah plus cairan biru jadi bening... ato riset2 fisika soal magnet dll. 

Situasi ini yg memici terjadinya jaman aufklarung atau masa pencerahan...dimana pada masa ini justru orang2 eropa mulai tidak percaya pada gereja, dan memberanikan diri untuk menerima penelitian ilmiah dengan pola pikir ilmiah tanpa didasari ajaran Tuhan. Atau bahasa singkatnya, mereka mulai menganggap gereja itu menghambat perkembangan ilmu pengetahuan. 

Nah pertanyaan saya... 
1. Benarkah keberadaan peristiwa2 tersebut? 
2. Kata gereja yg saya bold di atas itu sebenarnya merefer pada Protestan (dan denominasi2nya) atau Katolik? 

Pertanyaan no 2 itu saya anggap penting. Krn JIKA: 
A. Yang dimaksud adlh protestan... maka makin bertambahlah daftar 'dosa' para reformator itu, krn merekalah justru kini banyak skali orang eropa yg tidak mau mendasari penelitian ilmiahnya dgn hati nurani yg dibimbing RohKudus melalui GerejaNya. 

atau.. 

B. Yg dimaksud adlh katolik... berarti peristiwa tersebut seolah-olah membenarkan gerakan reformasi itu, krn menganggap katolik itu kolot dll (dan ini semakin 'mengunci' kita u/ mewartakan mengenai Kebenaran di dlm Katolik). Well, mgkn blm mengunci apologist sekelas DV sih...tp u/ yg msh newbie sperti saya jelas makin bingung. 

Btw, jgn berpikir : "Lha Stan napa ga tny ma guru mu?" ...wel... itu masa SMP SMU...dan yah,masa itu... berapa anak remaja yg 'care' pada imannya? Ketawa 

Thx and GBU.



setahuku yang paling banyak mitos kalau si Galileo pencetus teori heliosentris dipancung sama GK. 

ini ada penjelasan dr katolisitas.org: 
1. Ada banyak teori yang dikemukakan dalam kasus Galileo. Namun secara obyektif, kita melihat ada kesalahan yang dilakukan oleh pihak Galileo dan juga oleh Gereja. 
2. Sebelum Galileo, Nicolaus Copernicus (1473-1543) telah mempresentasikannya kepada Gereja Katolik tentang teori "heliocentric". Bahkan Vatican sendiri membantu untuk mempublikasikannya, setelah melalui proses editing. Dan akhirnya dipublikasikan dengan bantuan Cardinal Schomberg dan Tiedemann Giese, uskup dari Culm dengan persetujuan Paus Paul III. Hanya teori inidikatakan masih berupa " hipotesa". Tidak ada yang menentang hipotesa ini, termasuk Paus. Malah reaksi keras akan adanya teori ini datang dari teolog Protestan. Untuk lengkapnya, dapat dilihat di: New Advent - Nicolaus Copernicus. Jadi dari sini kita melihat bahwa Gereja Katolik tidak anti science, namun malah mendorong kemajuan science, yang diteruskan sampai sekarang. Sungguh sangat disayangkan bahwa banyak orang beranggapan bahwa Gereja menentang science dan menyembunyikan science dari manusia untuk mempertahankan kekuasaan. 
3. Galileo Galileo (1564-1642) yang tertarik dan mendukung teori heilocentric dari Copernicus, mencoba membuktikan bahwa teori heliocentric adalah benar, dengan beberapa argumentasi yang tidak memenuhi standard science pada waktu itu. Namun dengan keadaan tersebut, Galileo tetap berkeras bahwa teori yang dikemukakannya adalah benar. Hal inilah yang menjadikan pertentangan dengan Gereja Katolik pada saat itu. Dan hal ini menimbulkan kebingungan di kalangan umat. Kemudian Galileo menghadap tim investigasi di Roma dan dari situ dinyatakan bahwa teori heliocentric tidak dapat dibuktikan sesuai dengan standard science pada waktu itu, sehingga dinyatakan salah, juga bidaah dan anti Alkitab. Galileo harus mencabut pernyataannya, dan Galileo berjanji tidak akan mengajarkan teori ini lagi. 
4. Disinilah ada kesalahan Gereja Katolik yang mencoba memaksakan Alkitab sebagai acuan untuk science. Galileo benar ketika dia mengatakan bahwa Alkitab ditujukan untuk mengajarkan manusia bagaimana untuk mencapai surga. Bahkan kardinal Bellarmine yang mempunyai pengaruh besar pada waktu itu mengatakan "Saya katakan bahwa jika sebuah bukti yang konkrit ditemukan bahwa matahari tetap dan tidak berputar mengelilingi bumi, tetapi bumi mengelilingi matahari, maka menjadi sangat penting, secara hati-hati, untuk melakukan penjelasan dari beberapa ayat di Kitab Suci yang terlihat kontradiksi, dan kita lebih baik mengatakan bahwa kita telah salah menginterpretasikan semua ini daripada mengumumkan bahwa hal itu adalah salah seperti yang telah dibuktikan". Hal ini berarti bahwa Gereja Katolik mempunyai sikap bahwa kalau teori tersebut dapat dibuktikan sesuai dengan standard pembuktian science pada waktu itu, dan terbukti benar, maka Gereja akan berfikir bagaimana menginterpretasikan Alkitab, sehingga tidak bertentangan dengan kebenaran tersebut. Di sinilah Galileo benar, bahwa Alkitab bukanlah buku science, namun mengajarkan orang untuk mencapai surga. 
5. Walaupun Galileo telah berjanji mentaati untuk tidak mengajarkan teori tersebut, namun Galileo mengingkarinya dengan menerbitkan buku di tahun 1632. Dan kemudian Galileo dihadapkan pada tim investigasi dan kemudian Galileo menjalani tahanan rumah sambil melakukan penitensi. Namun sungguh sangat salah kalau dikatakan seolah-olah Galileo tidak diperlakukan tidak manusiawi, karena baik selama proses investigasi dan tahanan rumah, Galileo mendapatkan fasilitas yang sangat baik. Pada tahun 1642, dia meninggal dan 5 tahun sebelum meninggal dia mengalami kebutaan. Paus Urban VIII memberikan berkat khusus buat Galileo, dan jenasahnya dikuburkan di dalam Gereja Santa Croce di Florence. Hal ini dapat dibaca di New Advent - Galileo Galilei. 
6. Dari hal ini, sejarah membuktikan bahwa Gereja Katolik tidak membunuh Galileo. Apakah ada kesalahan yang dibuat oleh Gereja Katolik? Ya, terutama adalah tim investigasi pada waktu itu, yang mungkin kurang bijaksana menyikapi kasus ini. Di sisi yang lain, Galileo sendiri tidak dapat membuktikan kebenaran teorinya sesuai dengan standard science pada waktu itu dan tetap memaksakan sesuatu yang belum terbukti sebagai suatu kebenaran. Dari sinilah Cardinal Ratzinger mengutip Paul Feyerabend, seorang filsuf dari Austria yang mengatakan " Pada jaman Galileo, Gereja lebih setia terhadap akal budi dibandingkan dengan Galileo sendiri". Paus Yohanes Paulus II mengatakan bahwa "Pada akhir dari milenium ke dua, kita harus mengadakan pemeriksaan batin bagaimana kita sekarang, bagaimana Kristus telah membawa kita, dan bagaimana kita telah menyimpang dari Injil". Dan memang Gereja yang masih mengembara harus terus memurnikan diri, karena walaupun Gereja itu Kudus (karena Kepala dari Gereja, Kristus, adalah kudus), namun mempunyai anggota yang berdosa (KGK, 827). 

Dan saya ingin menggarisbawahi bahwa pada waktu Paus memberikan suatu doktrin yang tidak mungkin salah, harus memenuhi kriteria sebagai berikut (Lumen Gentium, 25; Code of Canon Law, 748. 1): 1) Dia berbicara dalam kapasitasnya sebagai Paus, bukan sebagai pribadi, 2) Pengajaran yang dilakukan adalah untuk seluruh dunia, bukan hanya untuk beberapa keuskupan, 3) Ajaran tersebut adalah dalam area iman dan moral - jadi bukan science. Dan kebenaran ini, dijanjikan oleh Yesus sendiri di Mat 16:16-19. 


nanti kalau nemu artikel lain ttg penganiayaan gereja baik katolik ato protestan, bisa di post lagi. 

thx to DV buat info dan kerja kerasnya menerjemahkan. 
jujur saya termasuk yang inggrisnya mepet2. Hehehe

(Dan Protestant itu tidak punya dasar sama sekali. Eksistensinya saja sama sekali tidak ada dasarnya (baru ada 1,500 tahun sesudah Yesus mati dan naik ke surga). Protestant jelas-jelas adalah bidah, yang jauh lebih parah daripada sesat.) 

Protestan itu dasarnya dari gereja Katolik yang ga bener Pak. Ga ada dasar apanya, kalo orang bener tuh ga mungkin ada yang protes, dan kalau mang sesat di Alkitab aja ditulis tar juga bakal berlalu. Nah kok sampe sekarang masih ada?



sebenarnya yang aku tulis dibaca tidak? Ini copy paste-nya: 

Luther pada awalnya memang komplain akan berbagai penyelewengan. dan itu sah-sah saja. Dan patut dicatat bahwa sebelum Luther banyak putra-putri Gereja yang meng-komplain penyelewengan-penyelewengan yang sama. Namun yang patut dicatat disini adalah: 

1. Luther bertindak lebih dari sekedar komplain akan penyelewengan. Dia mengkomplain ajaran yang sejati dimana dia mengajarkan bahwa manusia tidak punya kehendak bebas, dimana dia mengajarkan bahwa orang bisa yakin bawha dia pasti selamat (bertentangan dengan ayat-ayat Alkitab yang bisa dibaca dengan meng-klik kalimat ini), LUTHER MENGAJARKAN BAHWA UMAT KRISTEN BISA PUNYA LEBIH DARI SATU ISTRI KETIKA BANGSAWAN JERMAN PHILIP HESSE INGIN KAWIN LAGI! (silahkan klik disini kalau mau bukti!) Tahu tidak semua ini? Ada tidak di buku biografi Martin Luther yang kamu baca itu? 

2. Lebih dari komplain Luther akhirnya MEMISAHKAN DIRI DARI GEREJANYA YESUS KRISTUS DAN MENDIRIKAN "gereja" TANDINGAN DENGAN MERAMPAS PROPERTI GEREJA KATOLIK! Cawan-cawan emas untuk misa dirampas dan dicuri! Bahkan mayat-mayat para kudus Katolik yang dipersemayankan dikeluarkan, digeret, dan dibakar! Sungguh biadab! INI ADA TIDAK DI BUKU BIOGRAFI MARTIN LUTHER YANG KAMU BACA?? 

3. Sementara itu, putra-putri Gereja yang mempunyai komplain terhadap penyelewengan Gereja berusaha merubah Gereja dari dalam dan memperbaiknya. Bukan membuat "gereja" tandingan dari luar untuk digunakan menghancurkan Gereja Kristus! Beda mereka dengan Luther bagai langit dan bumi.



Lalu, kalau keberadaan Protestant sampai saat ini menjadi bukti atau justifikasi atas eksistensi dan misinya yang kudus, maka tentunya keberadaan Islam sejak dulu sampai sekarang juga menjadi bukti bahwa Islam itu adalah agama yang direstui Allah Bapa, Putra dan Roh Kudus. Begitu? (taktanya, Islam ada lebih dulu daripada Protestant. Islam didirkan Mohammad, seorang manusia sebagaimana Luther, pada tahun 600-an) 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar