Mengasihi Sesama

Mengasihi Sesama
Ibu Theresa dari Calcuta

Rabu, 05 Desember 2012

Katekismus Gereja Katolik Dalam Setahun - 056

KGK hari ke 56

Versi Bahasa Indonesia


III. "Ia menciptakan mereka sebagai pria dan wanita"

Persamaan dan perbedaan yang dikehendaki Allah

369. Pria dan wanita diciptakan, artinya, dikehendaki Allah dalam persamaan yang sempurna di satu pihak sebagai pribadi manusia dan di lain pihak dalam kepriaan dan kewanitaannya. "Kepriaan" dan "kewanitaan" adalah sesuatu yang baik dan dikehendaki Allah: keduanya, pria dan wanita, memiliki martabat yang tidak dapat hilang, yang diberi kepada mereka langsung oleh Allah, Penciptanya.5 Keduanya, pria dan wanita, bermartabat sama "menurut citra Allah". Dalam kepriaan dan kewanitaannya mereka mencerminkan kebijaksanaan dan kebaikan Pencipta.

370. Allah sendiri sama sekali tidaklah menurut citra manusia. Ia bukan pria, bukan juga wanita. Allah adalah Roh murni, pada-Nya tidak bisa ada perbedaan jenis kelamin. Namun dalam "kesempurnaan-kesempurnaan" pria dan wanita tercermin sesuatu dari kesempurnaan Allah yang tidak terbatas: ciri khas
seorang ibu6 dan ciri khas seorang ayah dan suami.7

"Untuk satu sama lain" – satu "dwitunggal"

371. Allah menciptakan pria dan wanita secara bersama dan menghendaki yang satu untuk yang lain. Sabda Allah menegaskan itu bagi kita melalui berbagai tempat dalam Kitab Suci: "Tidak baik, kalau manusia itu seorang diri saja. Aku akan menjadikan penolong baginya yang sepadan dengan dia" (Kej 2:18). Dari antara binatang-binatang manusia tidak menemukan satu pun yang sepadan dengan dia (Kej 2:19-20). Wanita yang Allah "bentuk" dari rusuk pria, dibawa kepada manusia. Lalu berkatalah manusia yang begitu bahagia karena persekutuan dengannya, "Inilah dia, tulang dari tulangku dan daging daridagingku" (Kej 2:23). Pria menemukan wanita itu sebagai aku yang lain, sebagai sesama manusia.

372. Pria dan wanita diciptakan "satu untuk yang lain", bukan seakan-akan Allah membuat mereka sebagai manusia setengah-setengah dan tidak lengkap, melainkan Ia menciptakan mereka untuk satu persekutuan pribadi, sehingga kedua orang itu dapat menjadi "penolong" satu untuk yang lain, karena di satu pihak mereka itu sama sebagai pribadi ("tulang dari tulangku"), sedangkan di lain pihak mereka saling melengkapi dalam kepriaan dan kewanitaannya. Dalam perkawinan Allah mempersatukan mereka sedemi-kian erat, sehingga mereka "menjadi satu daging" (Kej 2:24) dan dapat meneruskan kehidupan manusia: "Beranak-cuculah dan bertambah banyaklah; penuhilah bumi" (Kej 1:28). Dengan meneruskan kehidupan kepada anak-anaknya, pria dan wanita sebagai suami isteri dan orang-tua bekerja sama dengan karya Pencipta atas cara yang sangat khusus.1 [1652, 2366]

373. Menurut rencana Allah, pria dan wanita memiliki panggilan supaya sebagai "wakil" yang ditentukan Allah, "menaklukkan dunia".[307] Keunggulan ini tidak boleh menjadi kelaliman yang merusak. [2415] Diciptakan menurut citra Allah, yang "mengasihi segala yang ada" (Keb 11:24), pria dan wanita terpanggil untuk mengambil bagian dalam penyelenggaraan ilahi untuk makhluk-makhluk lain. Karena itu, mereka bertanggung jawab untuk dunia yang dipercayakan Allah kepada mereka.
IV. Manusia dalam firdaus

374. Manusia pertama diciptakan sebagai makhluk yang baik dan di tempatkan dalam persaha-batan dengan Penciptanya dan dalam keselarasan dengan diri sendiri dan dengan ciptaan yang berada di sekitarnya. [54] Hanya oleh kemuliaan penciptaan baru dalam Kristus, persahabatan dan harmoni ini dapat dilampaui.

375. Gereja menjelaskan perlambangan bahasa biblis dalam terang Perjanjian Baru dan tradisi secara otentik dan mengajarkan bahwa nenek moyang kita Adam dan Hawa di tempatkan dalam satu keadaan "kekudusan dan keadilan" yang asli (Konsili Trente: DS 1511). Rahmat kekudusan yang asli itu adalah "berpartisipasi dalam kehidupan ilahi" (LG 2). [1997]

376. Oleh sinar rahmat ini kehidupan manusiawi diperkuat menurut segala aspek. Selama manusia tinggal dalam hubungan erat dengan Allah ia tidak perlu mati2 atau berseng-sara.3 [1008, 1502] Keselarasan batin dari pribadi manusiawi, keselarasan antara pria dan wanita,4 dan keselarasan antara pasangan suami isteri pertama dan seluruh ciptaan merupakan keadaan yang dinamakan "keadilan purba".

377. "Kekuasaan" atas dunia yang diberikan oleh Allah kepada manusia sejak awal, dilaksana-kan pada tempat pertama sekali di dalam manusia itu sendiri yaitu kekuasaan atas diri sendiri. Manusia dalam seluruh kodratnya utuh dan teratur, karena ia bebas dari tiga macam hawa nafsu,5 yang membuat dia menjadi hamba kenikmatan hawa nafsu,ketamakan akan harta duniawi, dan penonjolan diri yang bertentangan dengan petunjuk akal budi. [2514]

378. Bukti hubungan baik dengan Allah ialah bahwa Allah menempatkan manusia dalam "kebun".1 [2415] Ia hidup di dalamnya "untuk mengusahakan dan memelihara" taman itu (Kej 2:15). Pekerjaan itu untuk pria dan wanita bukan kerja paksa,2 melainkan kerja sama dengan Allah demi penyempurnaan ciptaan yang kelihatan. [2427]

379. Seluruh keselarasan keadilan purba, yang rencana Allah persiapkan untuk manusia, hilang karena dosa nenek moyang kita.


Versi Bahasa Inggris

Read the Catechism: Day 56

Part1:The Profession of Faith (26 - 1065)
Section2:The Profession of the Christian Faith (185 - 1065)
Chapter1:I Believe in God the Father (198 - 421)
Article1:"I believe in God the Father almighty, Creator of heaven and earth" (199 - 421)
Paragraph6:Man (355 - 384)
III. "MALE AND FEMALE HE CREATED THEM"
Equality and difference willed by God
369     Man and woman have been created, which is to say, willed by God: on the one hand, in perfect equality as human persons; on the other, in their respective beings as man and woman. "Being man" or "being woman" is a reality which is good and willed by God: man and woman possess an inalienable dignity which comes to them immediately from God their Creator. Man and woman are both with one and the same dignity "in the image of God". In their "being-man" and "being-woman", they reflect the Creator's wisdom and goodness.
370     In no way is God in man's image. He is neither man nor woman. God is pure spirit in which there is no place for the difference between the sexes. But the respective "perfections" of man and woman reflect something of the infinite perfection of God: those of a mother and those of a father and husband.
"Each for the other" — "A unity in two"
371     God created man and woman together and willed each for the other. The Word of God gives us to understand this through various features of the sacred text. "It is not good that the man should be alone. I will make him a helper fit for him." None of the animals can be man's partner. The woman God "fashions" from the man's rib and brings to him elicits on the man's part a cry of wonder, an exclamation of love and communion: "This at last is bone of my bones and flesh of my flesh." Man discovers woman as another "I", sharing the same humanity.
372     Man and woman were made "for each other" — not that God left them half-made and incomplete: he created them to be a communion of persons, in which each can be "helpmate" to the other, for they are equal as persons ("bone of my bones...") and complementary as masculine and feminine. In marriage God unites them in such a way that, by forming "one flesh", they can transmit human life: "Be fruitful and multiply, and fill the earth." By transmitting human life to their descendants, man and woman as spouses and parents cooperate in a unique way in the Creator's work.
373     In God's plan man and woman have the vocation of "subduing" the earth as stewards of God. This sovereignty is not to be an arbitrary and destructive domination. God calls man and woman, made in the image of the Creator "who loves everything that exists", to share in his providence toward other creatures; hence their responsibility for the world God has entrusted to them.
IV. MAN IN PARADISE
374     The first man was not only created good, but was also established in friendship with his Creator and in harmony with himself and with the creation around him, in a state that would be surpassed only by the glory of the new creation in Christ.
375     The Church, interpreting the symbolism of biblical language in an authentic way, in the light of the New Testament and Tradition, teaches that our first parents, Adam and Eve, were constituted in an original "state of holiness and justice". This grace of original holiness was "to share in...divine life".
376     By the radiance of this grace all dimensions of man's life were confirmed. As long as he remained in the divine intimacy, man would not have to suffer or die. The inner harmony of the human person, the harmony between man and woman, and finally the harmony between the first couple and all creation, comprised the state called "original justice".
377     The "mastery" over the world that God offered man from the beginning was realized above all within man himself: mastery of self. The first man was unimpaired and ordered in his whole being because he was free from the triple concupiscence that subjugates him to the pleasures of the senses, covetousness for earthly goods, and self-assertion, contrary to the dictates of reason.
378     The sign of man's familiarity with God is that God places him in the garden. There he lives "to till it and keep it". Work is not yet a burden, but rather the collaboration of man and woman with God in perfecting the visible creation.
379     This entire harmony of original justice, foreseen for man in God's plan, will be lost by the sin of our first parents.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar