Salam
Saulus
Versi Bahasa Indonesia
III. Pengetahuan tentang Allah menurut Ajaran Gereja
1.36. "Bunda
Gereja kudus memegang teguh dan mengajar bahwa Allah, sumber dan tujuan segala
makhluk, dapat diketahui dari segala makhluk ciptaan, melalui sinar kodrati
akal budi manusia" (Konsili Vatikan I: DS 3004)[1]. Tanpa kemampuan ini manusia tidak dapat
menerima wahyu Allah. Manusia memiliki kemampuan ini karena ia diciptakan
"menurut citra Allah"[2]. [355]
3 37. Namun, dalam kondisi sejarah di mana ia berada,
manusia mengalami banyak kesulitan untuk mengenal Allah hanya dengan bantuan
sinar akal budinya. [1960]
"Walaupun akal budi manusia, untuk berbicara
secara sederhana saja, melalui kekuatan kodrati dan sinarnya benar-benar dapat
sampai kepada pengertian yang benar dan pasti mengenai satu Allah yang
berkepribadian, yang melindungi dan membimbing dunia ini dengan
penyelenggaraannya, namun terdapat pula halangan yang tidak sedikit bahwa akal
budi itu akan mempergunakan secara berdaya guna dan berhasil, kemampuan yang
merupakan bakat pembawaan sejak lahir. Karena kebenaran yang menyangkut Allah
serta hubungan antara Allah dan manusia sungguh melampaui tata dunia yang
kelihatan; kalau diterapkan pada cara hidup manusia untuk membentuknya, maka
kebenaran-kebenaran itu akan menuntut pengurbanan diri dan penyangkalan diri.
Akan tetapi, akal budi manusia mengalami kesulitan dalam usahanya untuk mencari
kebenaran-kebenaran yang demikian itu, bukan hanya karena dorongan panca indera
dan khayalan, melainkan juga karena nafsu yang salah, yang merupakan akibat
dari dosa asal. Maka, terjadilah bahwa manusia dalam hal-hal yang demikian itu,
mudah meyakinkan diri sendiri bahwa apa yang mereka tidak inginkan sebagai
benar adalah palsu atau paling kurang tidak pasti" (Pius XII Ens.
"Humani Generis": DS 3875).
3.38 Karena
itu, perlu bahwa oleh wahyu ilahi, manusia tidak hanya diterangi mengenai apa
yang mengatasi daya akal budinya, tetapi juga mengenai apa yang sebenarnya
dapat diterobos oleh akal budi dalam masalah-masalah agama dan susila",[2036] sehingga "juga dalam
kondisi umat manusia dewasa ini hal-hal itu dapat diketahui oleh semua orang
tanpa kesulitan, dengan kepastian yang jitu, tanpa mencampur-adukkannya dengan
suatu kekeliruan" (ibid., 3876)[3].
IV. Bagaimana Berbicara tentang Allah
4.39 Gereja berkeyakinan, bahwa akal budi manusia dapat mengenal
Allah. Dengan itu, ia memperlihatkan kepercayaan teguh bahwa mungkin sekali
ia berbicara tentang Allah kepada semua manusia dan dengan semua manusia.[851] Keyakinan itu mendasari
dialognya dengan agama-agama lain, dengan filsafat dan dengan ilmu
pengetahuan, tetapi juga dengan kaum tak beriman dan dengan kaum ateis.
4 40. Karena pengetahuan kita tentang Allah itu
terbatas, maka pembicaraan kita
tentang Allah pun demikian juga. Kita hanya dapat berbicara tentang Allah
dari sudut pandang ciptaan dan sesuai
dengan cara mengerti dan cara
berpikir manusiawi kita yang
terbatas.
6. 41. Segala makhluk menunjukkan keserupaan
tertentu dengan Allah, terutama manusia yang diciptakan menurut citra
Allah. Karena itu, aneka ragam kesempurnaan makhluk ciptaan (kebenarannya,
kebaikannya, keindahannya) mencerminkan kesempurnaan Allah yang tidak terbatas.[213, 299] Maka, berdasarkan kesempurnaan
makhluk ciptaan, kita dapat membuat pernyataan tentang Allah "sebab orang
dapat mengenal Khalik dengan membanding-bandingkan kebesaran dan keindahan
ciptaan-ciptaan-Nya" (Keb 13:5).
7. 42 Allah itu agung melebihi setiap makhluk.[212, 300] Karena itu, kita harus
membersihkan pembicaraan kita tentang Dia terus-menerus dari segala
keterbatasan, dari segala gambaran, dari segala ketidaksempurnaan, supaya
jangan menggantikan Allah "yang tidak terucapkan, yang tidak dimengerti,
yang tidak kelihatan, yang tidak dibayangkan" (Liturgi santo Yohanes
Kristostomus, Doa Syukur Agung) dengan gambaran-gambaran manusiawi kita tentang
Dia. Kata-kata manusiawi kita tidak pernah akan mencapai misteri Allah.[370]
Versi Bahasa Ingris
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar