Mengasihi Sesama

Mengasihi Sesama
Ibu Theresa dari Calcuta

Jumat, 19 April 2013

Katekismus Gereja Katolik Dalam Setahun - 187

KGK ke 187

V. * Nilai dan tuntutan cinta suami isteri

1643. "Cinta kasih suami isteri mencakup suatu keseluruhan. Di situ termasuk semua unsur pribadi: tubuh beserta naluri-nalurinya, daya kekuatan perasaan dan afektivitas, aspirasi roh maupun kehendak. Yang menjadi tujuan yakni: kesatuan yang bersifat pribadi sekali; kesatuan yang melampaui persatuan badani dan mengantar menuju pembentukan satu hati dan satu jiwa; kesatuan itu memerlukan sifat tidak terceraikan dan kesetiaan dalam penyerahan diri secara timbal balik yang definitif, dan kesatuan itu terbuka bagi kesuburan. Pendek kata: itulah ciri-ciri normal setiap cinta kasih kodrati antara suami dan isteri, tetapi dengan makna baru, yang tidak hanya menjernihkan serta meneguhkan, tetapi juga mengangkat cinta itu, sehingga menjadi pengungkapan nilai-nilai yang khas Kristen". (FC 13).

Perkawinan itu satu dan tidak terceraikan

1644. Cinta suami isteri dari kodratnya menuntut kesatuan dan sifat yang tidak terceraikan dari persekutan pribadi mereka, yang mencakup seluruh hidup mereka: "mereka bukan lagi dua, melainkan satu" (Mat 19:6).4 "Mereka dipanggil untuk tetap bertumbuh dalam kesatuan mereka melalui kesetiaan dari hari ke hari terhadap janji Perkawinannya untuk saling menyerahkan diri seutuhnya" (FC 19). Persatuan manusia ini diteguhkan, dijernihkan, dan disempurnakan oleh persatuan dalam Yesus Kristus yang diberikan dalam Sakramen Perkawinan. Ia memperdalam diri dengan hidup iman bersama dan oleh Ekaristi yang diterima bersama.

1645. "Karena kesamaan martabat pribadi antara suami dan isteri, yang harus tampil dalam kasih sayang timbal balik dan penuh-purna, jelas sekali nampaklah kesatuan Perkawinan
1 Bdk. LG 41.
2 Bdk. Gal 6:2.
3 Bdk. FC 13.
4 Bdk. Kej 2:24.
yang dikukuhkan oleh Tuhan" (GS 49, 2). Poligami melawan martabat yang sama suami isteri dan cinta dalam keluarga, yang unik dan eksklusif.1

Kesetiaan dalam cinta suami isteri

1646. Dari kodratnya cinta Perkawinan menuntut kesetiaan yang tidak boleh diganggu gugat oleh suami isteri. Itu merupakan akibat dari penyerahan diri dalamnya suami isteri saling memberi diri. Cinta itu sifatnya definitif. Ia tidak bisa berlaku hanya "untuk sementara". "Sebagaimana saling serah diri antara dua pribadi, begitu pula kesejahteraan anak-anak, menuntut kesetiaan suami isteri yang sepenuhnya, dan menjadikan tidak terceraikannya kesatuan mereka mutlak perlu" (GS 48, 1).

1647. Alasan terdalam ditemukan dalam kesetiaan Allah dalam perjanjian-Nya dan dalam kesetiaan Kristus kepada Gereja-Nya. Oleh Sakramen Perkawinan suami isteri disang-gupkan untuk menghidupi kesetiaan ini dan untuk memberi kesaksian tentangnya. Oleh Sakramen, maka Perkawinan yang tak terceraikan itu mendapat satu arti baru yang lebih dalam.

1648. Mengikat diri untuk seumur hidup kepada seorang manusia, dapat kelihatan berat, malahan tidak mungkin. Maka lebih penting lagi untuk mewartakan kabar gembira, bahwa Allah mencintai kita dengan cinta yang definitif dan tak terbatalkan, bahwa suami isteri mengambil bagian dalam cinta ini, bahwa cinta ini menopang dan membantu mereka dan bahwa mereka dapat menjadi saksi-saksi cinta Allah yang setia melalui kesetiaan mereka. Suami isteri, yang dengan bantuan Allah memberi kesaksian ini dalam keadaan yang sering kali sangat sulit, berhak atas terima kasih dan bantuan dari persekutuan gerejani.2

1649. Tetapi ada situasi, di mana hidup bersama dalam keluarga, karena alasan-alasan yang sangat bervariasi, praktis tidak mungkin lagi. Dalam keadaan semacam ini Gereja mengizinkan, bahwa suami isteri secara badani berpisah dan tidak perlu lagi tinggal bersama. Tetapi Perkawinan dari suami isteri yang berpisah ini tetap sah di hadirat Allah; mereka tidak bebas untuk mengadakan Perkawinan baru. Dalam situasi yang berat ini perdamaian merupakan penyelesaian yang terbaik, jika mungkin. Jemaat Kristen harus membantu orang-orang ini, agar dapat menanggulangi situasi hidup mereka ini secara Kristen dan dalam kesetiaan kepada ikatan Perkawinannya yang tak terpisahkan.3

1650. Dalam banyak negara, dewasa ini terdapat banyak orang Katolik yang meminta perceraian menurut hukum sipil dan mengadakan Perkawinan baru secara sipil. Gereja merasa diri terikat kepada perkataan Yesus Kristus: "Barang siapa menceraikan isterinya lalu kawin dengan perempuan lain, ia hidup dalam perzinaan terhadap isterinya itu. Dan jika si isteri menceraikan suaminya dan kawin dengan laki-laki lain, ia berbuat zina" (Mrk 10:11-12). Karena itu, Gereja memegang teguh bahwa ia tidak dapat mengakui sah ikatan yang baru, kalau Perkawinan pertama itu sah. Kalau mereka yang bercerai itu kawin lagi secara sipil, mereka berada dalam satu situasi yang secara obyektif bertentangan dengan hukum Allah. Karena itu, mereka tidak boleh menerima komuni selama situasi ini masih berlanjut. Dengan alasan yang sama mereka juga tidak boleh melaksanakan tugas-tugas tertentu dalam Gereja. Pemulihan melalui Sakramen Pengakuan hanya dapat diberikan kepada mereka yang menyesal, bahwa mereka telah mencemari tanda perjanjian dan kesetiaan kepada Kristus, dan mewajibkan diri supaya hidup dalam pantang yang benar.

1651. Kepada orang-orang Kristen yang hidup dalam situasi ini dan yang sering kali mempertahankan imannya dan ingin mendidik anak-anaknya secara Kristen, para imam dan seluruh jemaat harus memberi perhatian yang wajar, supaya mereka tidak menganggap diri seakan-akan terpisah dari Gereja, karena mereka sebagai orang yang dibaptis dapat dan harus mengambil bagian dalam kehidupannya.
1 Bdk. FC 19.
2 Bdk. FC 20.
3 Bdk. FC 83; CIC, cann. 1151-1155.

"Hendaklah mereka didorong untuk mendengarkan Sabda Allah, menghadiri kurban Ekaristi, tabah dalam doa, menyumbang kepada karya-karya cinta kasih dan kepada usaha-usaha jemaat demi keadilan, membina anak-anak mereka dalam iman Kristen, mengembangkan semangat serta praktik ulah tapa, dan dengan demikian dari hari ke hari memohon rahmat Allah" (FC 84).

Kesediaan untuk kesuburan

1652. "Menurut sifat kodratinya lembaga Perkawinan sendiri dan cinta kasih suami isteri tertujukan kepada lahirnya keturunan serta pendidikannya, dan sebagai puncaknya bagaikan dimahkotai olehnya" (GS 48, 1).
"Memang anak-anak merupakan karunia Perkawinan yang paling luhur, dan besar sekali artinya bagi kesejahteraan orang-tua sendiri. Allah sendiri bersabda: Tidak baiklah manusia hidup seorang diri (Kej 2:18); lagi: Dia... yang sejak semula menjadikan mereka laki-laki dan perempuan (Mat 19:4), Ia bermaksud mengizinkan manusia, untuk secara khusus ikut serta dalam karya penciptaan-Nya sendiri, dan memberkati pria maupun wanita sambil berfirman: Beranak-cucu dan bertambah banyaklah (Kej 1:28). Oleh karena itu pengembangan kasih suami isteri yang sejati, begitu pula seluruh tata hidup berkeluarga yang bertumpu padanya, tanpa memandang kalah penting tujuan-tujuan Perkawinan lainnya, bertujuan supaya suami isteri bersedia untuk penuh keberanian bekerja sama dengan cinta kasih Sang Pencipta dan Penyelamat, yang melalui mereka makin memperluas dan memperkaya keluarga-Nya" (GS 50, 1).

1653. Kesuburan cinta kasih suami isteri terlihat juga di dalam buah-buah kehidupan moral, rohani, dan adikodrati, yang orang-tua lanjutkan kepada anak-anaknya melalui pendi-dikan. Orang-tua adalah pendidik yang pertama dan terpenting.1 Dalam arti ini, maka tugas mendasar dari perkawinan dan keluarga terletak dalam pengabdian kehidupan.2

1654. Suami isteri yang tidak dikarunia Tuhan dengan anak-anak, masih dapat menjalankan kehidupan berkeluarga yang berarti secara manusiawi dan Kristen: Perkawinan mereka dapat menghasilkan dan memancarkan cinta kasih, kerelaan untuk membantu, dan semangat berkurban.

VI. * Gereja-Rumah tangga

1655. Kristus memilih supaya dilahirkan dan berkembang dalam pangkuan keluarga Yosef dan Maria. Gereja itu tidak lain dari "keluarga Allah". Sejak awal, pokok Gereja sering kali dibentuk dari mereka yang menjadi percaya "dengan seluruh keluarganya".3 Ketika mereka bertobat, mereka juga menginginkan, agar "seisi rumah mereka" menerima keselamatan.4 Keluarga-keluarga yang menjadi percaya ini adalah pulau-pulau kehidupan Kristen di dalam dunia yang tidak percaya.

1656. Dewasa ini, di suatu dunia yang sering kali berada jauh dari iman atau malahan bermu-suhan, keluarga-keluarga Kristen itu sangat penting sebagai pusat suatu iman yang hidup dan meyakinkan. Karena itu Konsili Vatikan II menamakan keluarga menurut sebuah ungkapan tua "Ecclesia domestica" [Gereja-rumah tangga] (LG 11).5 Dalam pangkuan keluarga "hendaknya orang-tua dengan perkataan maupun teladan menjadi pewarta iman
1 Bdk. GE 3.
2 Bdk. FC 28.
3 Bdk. Kis 18:8.
4 Bdk. Kis 16:31 dan 11:14.
5 Bdk. FC 21.
pertama bagi anak-anak mereka; orang-tua wajib memelihara panggilan mereka masing-masing, secara istimewa panggilan rohani" (LG 11, 2).

1657. Disini dilaksanakan imamat yang diterima melalui Pembaptisan, yaitu imamat bapa keluarga, ibu, anak-anak, semua anggota keluarga atas cara yang paling indah "dalam menyambut Sakramen-Sakramen, dalam berdoa dan bersyukur, dengan memberi kesaksian hidup suci, dengan pengingkaran diri serta cinta kasih yang aktif" (LG 10). Dengan demikian keluarga adalah sekolah kehidupan Kristen yang pertama dan "suatu pendidikan untuk memperkaya kemanusiaan" (GS 52, 1). Di sini orang belajar ketabahan dan kegembiraan dalam pekerjaan, cinta saudara sekandung, pengampunan dengan jiwa besar, malahan berkali-kali dan terutama pengabdian kepada Allah dalam doa dan dalam penyerahan hidup.

1658. Kita harus memperhatikan lagi satu kategori umat, yang akibat situasi nyata kehidupannya – yang sering tidak mereka pilih secara sukarela – begitu dekat dengan hati Yesus dan karena itu patut mendapat penghargaan dan perhatian istimewa dari pihak Gereja, terutama dari para pastor: jumlah besar kelompok orang yang tidak kawin. Banyak dari mereka hidup tanpa keluarga manusiawi, karena mereka miskin. Beberapa orang menanggulangi situasi kehidupan mereka dalam jiwa sabda bahagia, di mana mereka dengan sangat baik mengabdi kepada Allah dan sesama. Bagi mereka semua, harus dibuka pintu-pintu keluarga, "Gereja-rumah tangga" dan pintu keluarga besar, Gereja. "Tidak ada seorang pun di dunia tanpa keluarga. Gereja adalah rumah tangga dan keluarga bagi siapa pun juga, khususnya bagi mereka yang letih lesu dan berbeban berat (Mat 11:28)" (FC 85).

TEKS-TEKS SINGKAT

1659. Santo Paulus berkata: "Hai suami, kasihilah isterimu sebagaimana Kristus telah mengasihi jemaat. Rahasia ini besar; tetapi yang aku maksudkan ialah hubungan Kristus dengan jemaat" (Ef 5:25. 32).

1660. Perjanjian Perkawinan, yang dengannya seorang pria dan seorang wanita membentuk persekutan hidup dan cinta kasih yang mesra, diciptakan oleh Khalik dan dilengkapi dengan hukum tersendiri. Berdasarkan ciri kodratnya perjanjian ini diarahkan kepada kesejahteraan suami isteri serta kepada pengadaan keturunan dan pendidikan anak-anak. Perjanjian Perkawinan antara umat yang telah dibaptis ditingkatkan oleh Kristus Tuhan, ke martabat Sakramen.1

1661. Sakramen Perkawinan adalah tanda untuk perjanjian antara Kristus dan Gereja. Ia memberi rahmat kepada suami isteri, agar saling mencintai dengan cinta, yang dengannya Kristus mencintai Gereja. Dengan demikian rahmat Sakramen menyempur-nakan cinta manusiawi suami isteri, meneguhkan kesatuan yang tak terhapuskan dan menguduskan mereka di jalan menuju hidup abadi.2

1662. Perkawinan berakar dalam kesepakatan dari pihak-pihak yang mengadakan perjanjian, artinya dalam kehendak saling menyerahkan diri secara definitif, supaya hidup dalam perjanjian Perkawinan yang setia dan subur.
1 Bdk. GS 48, 1; CIC, can. 1055 §1.
2 Bdk. Konsili Trente: DS 1799.

1663. Oleh karena Perkawinan menempatkan suami isteri dalam status kehidupan resmi dalam Gereja, maka tepat bahwa Perkawinan secara publik dilaksanakan dalam kerangka perayaan liturgi di depan imam (atau di depan saksi yang diberi kuasa oleh Gereja untuk maksud tersebut), di depan para saksi Perkawinan dan di depan jemaat beriman.

1664. Sifat kesatuan, tak terceraikan, dan kesediaan untuk kesuburan adalah sangat hakiki bagi Perkawinan. Poligami tidak sesuai dengan kesatuan Perkawinan. Perceraian memisahkan apa yang Allah telah persatukan; penolakan untuk menjadi subur, menghapus dari hidup Perkawinan, "anugerah yang paling utama", anak (GS 50, 1).

1665. Mereka yang bercerai, yang kawin lagi selama suami atau isteri sah masih hidup, melanggar rencana dan perintah Allah sebagaimana diajarkan Kristus. Mereka memang tidak dipisahkan dari Gereja namun mereka tidak boleh menerima komuni kudus. Namun mereka masih dapat menata kehidupan mereka secara Kristen, terutama dengan mendidik anak-anak mereka dalam iman.

1666. Keluarga Kristen adalah tempat anak-anak menerima pewartaan pertama mengenai iman. Karena itu tepat sekali ia dinamakan "Gereja-rumah tangga" - satu persekutuan rahmat dan doa, satu sekolah untuk membina kebajikan-kebajikan manusia dan cinta kasih Kristen.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar