Sebuah tulisan yang perlu buat kita, saya ambil dari millis katolik APIK diterjemahkan ElzethL
"Deklarasi Dominus Iesus" adalah Deklarasi yang dikeluarkan oleh Kongregasi
untuk Doktrin Iman (CDF) yang menjelaskan tentang keunikan dan ke-universal-an
keselamatan untuk seluruh umat manusia di dalam Yesus Kristus dan Gereja
Katolik. Dominus Iesus menjelaskan tentang bagaimana kita melihat Gereja
Katolik, dalam hubungannya dengan agama-agama lain.
Dibawah ini adalah tanya jawab yg ditujukan kepada Cardinal Joseph Ratzinger, yg
pada saat itu menjabat sebagai Prefect of the Congregation for the Doctrine of
the Faith (CDF) atas keberatan2 (terutama dari pihak "gereja-gereja"
non-Katolik) dari Deklarasi Dominus Iesus ini.
Sumber: http://www.ewtn.com/library/theology/obdomihs.htm
----------------------------------------------------
Pada sebuah interview yang diterbitkan pada tanggal 22 September 2000,
“Allgemeine Zeitung” Frankfurt mengundang Kardinal Joseph Ratzinger, Kepala dari
Kongregasi Ajaran Iman, untuk menjawab beberapa keberatan prinsipal yang muncul
berkenaan dengan Deklarasi Dominus Iesus. Meskipun pertanyaan dan
jawaban-jawaban dalam diskusi ini berada dalam konteks Negara Jerman, hasil
interview tersebut menawarkan penjelasan penjelasan yang dapat diaplikasikan dan
juga berguna diluar konteks tersebut. Karenanya, surat kabarL'Osservatore Romano
menerbitkan terjemahan interview tersebut dalam bahasa Italia, dengan
mengabaikan bagian yang khusus membahas situasi di Jerman saja. Tulisan dibawah
ini merupakan terjemahan dari versi Italia dari interview tersebut.
-----------------------------------------------
Q: Yang Mulia, anda memimpin sebuah struktur dimana ada “kecenderungan untuk
menanamkan ideology dan ingin benar benar memasuki elemen elemen iman yang asing
dan bersifat fundamental”. (Reaksi dalam bentuk) kecaman dan keluhan termuat
dalam sebuah diskusi yang diterbitkan minggu yang lalu di bagian yang berbahasa
Jerman dari European Society for Catholic Theology.
PB XVI: Saya harus mengakui bahwa saya memang sangat terganggu dengan
pernyataan-pernyataan semacam ini. Sudah cukup lama saya berusaha meresapi (dan
sekarang saya benar benar mengerti) makna dari ungkapan ungkapan ini, yakni
ketika konsep-konsep fundamentalisme, Roma sentris dan absolutisme selalu
dipertanyakan. Saya dapat memberikan beberapa pernyataan tanpa perlu menunggu
(pertanyaan), karena (pertanyaan-pertanyaan yang sama) itu terus menerus
diulang, tanpa mempedulikan topik yang sedang dibahas.
Q: Apakah anda ingin mengatakan bahwa kritik-kritik tersebut salah karena
terlalu sering dipertanyakan ?
PB XVI: Tidak. Saya hanya ingin mengatakan bahwa tipe kritik tuduhan semacam ini
sebenarnya tidak dapat menjelaskan (atau memberikan jawaban terhadap) topic
topic tersebut.
Beberapa (orang) mengetengahkan kritik kritik baru yang benar benar tidak perlu
diperhatikan, karena mereka selalu memandang semua yang keluar dari Roma dengan
kaca mata politik dan pengerahan kekuasaan, dan tidak berhasil mendapatkan
content (isi) nya.
Q: Isi (kritik-kritik tersebut) memang menghebohkan. Adalah sangat mengejutkan
ketika sebuah dokumen yang menyatakan bahwa ke-Kristenan adalah satu satunya
sumber kebenaran dan (kemudian menyatakan bahwa) status ‘gerejawi’ (ecclesial)
dari Gereja-gereja Anglikan dan Protestant yang tidak diakui akan bertentangan
dengan posisi tersebut ?
PB XVI: Saya ingin pertama tama mengekspresikan kesedihan dan kekecewaan saya
bahwa reaksi dari masyarakat luas, dengan beberapa pengecualian yang patut saya
syukuri, telah benar benar mengabaikan tema Deklarasi (Dominus Iesus) yang
sesungguhnya. Dokumen yang dimaksud dimulai dengan kata kata “Dominus Iesus”
(Yesus adalah Tuhan); ini adalah bentuk singkat dari iman yang ditulis di dalam
Surat Pertama kepada Umat di Korintus (12:3), dimana St. Paulus telah merangkum
inti sari dari ke-Kristenan: bahwa Yesus adalah Tuhan.
Dengan Deklarasi ini, diikuti dengan tindakan tindakan selanjutnya yang
dilakukan dengan perhatian dan keinginan penuh, Sri Paus hendak menawarkan
kepada dunia, sebuah pengertian yang dalam dan pengakuan yang sungguh sungguh
pada Yesus Kristus sebagai Tuhan untuk menyambut Tahun Suci, dengan demikian
membawa makna central yang rentan terhadap penafsiran luar yang salah tersebut
ke tengah tengah peringatan (tahun suci) ini.
Q: Ketidak sukaan yang timbul di masyarakat sangat dipengaruhi oleh “ketegasan”
(deklarasi ini). Di dalam puncak perayaan Tahun Suci, apakah tidak sebaiknya
(Gereja atau anda) mengirimkan sinyal / pernyataan kepada agama lain dan tidak
malah meminta ketegasan iman seseorang?
PB XVI: Kita dapat melihat bahwa situasi di awal millennium ini mirip dengan apa
yang digambarkan oleh St.Yohanes di akhir bab 6 dari Injilnya: Yesus dengan
jelas telah menjelaskan sifat ke-ilahian-Nya dalam Sakramen Ekaristi. Di ayat 66
kita baca “Mulai dari waktu itu banyak murid-murid-Nya mengundurkan diri dan
tidak lagi mengikut Dia”. Dalam banyak diskusi akhir akhir ini, iman pada
Kristus beresiko dikaburkan dan kemudian diabaikan dalam pembicaraan
selanjutnya. Dengan dokumen ini, Bapa Suci, sebagai Penerus Rasul Paulus, ingin
mengatakan: "Tuhan, kepada siapakah kami akan pergi? Perkataan-Mu adalah
perkataan hidup yang kekal; dan kami telah percaya dan tahu, bahwa Engkau adalah
Yang Kudus dari Allah." (Yoh 6:68ff). Dokumen ini ditujukan bagi segenap orang
Kristen untuk membuka diri mereka masing masing untuk mengakui Yesus Kristus
sebagai Tuhan, sehingga dapat membawa makna yang besar bagi Tahun Suci. Saya
senang bahwa Mr Kock, Kepala dari Gereja Gereja Protestant Jerman, menyadari
elemen penting ini dalam tulisannya, yang kemudian dibandingkan dengan Deklarasi
Barmen 1934, dimana Bekenende Kirche yang baru diterbitkan menolak Church of the
Reich yang didirikan oleh Hitler. Prof. Jüngel dari Tübingen juga menemukan –
diluar keberatan-keberatannya di bagian ecclesiologis – semangat apostolic
seperti yang ada di dalam deklarasi Barmen. Kemudian, Kepala Gereja Anglikan,
Uskup Carey, mengungkapkan rasa terimakasihnya dan memutuskan untuk mendukung
tema inti dari Deklarasi tersebut. Mengapa, sebaliknya, mayoritas komentator
mengabaikan hal hal ini ? Akan sangat menyenangkan kalau saya dapat menerima
penjelasan.
Q: Elemen yang menghebohkan yang membahas tentang nature politis-ecclesialistiks
dibahas di bagian tentang Eukumene. Eberhard Jüngel, dalam pernyataannya tentang
bagian evangelical, menegaskan bahwa dokumen tersebut mengesampingkan fakta
bahwa semua Gereja “dengan cara mereka masing-masing” sebenarnya ingin menjadi
yang sudah menjadi kenyataan mereka sekarang: “Gereja yang satu kudus, katholik
dan apostolic”. Jadi apakah Gereja Katholik membohongi diri sendiri dengan
mengklaim memiliki hak yang eksklusif, karena, menurut Jüngel, ia juga membagi
hak ini dengan Gereja Gereja yang lain?
PB XVI: Pembahasan ecclesiologis dan eukumene yang sekarang diperbincangkan oleh
semua orang hanya mencakup sebagian kecil dari dokumen, dimana kami merasa perlu
untuk menuliskannya untuk menekankan kehidupan dan kehadiran nyata Kristus di
dalam sejarah. Saya terkejut bahwa Jüngel menyatakan bahwa Gereja yang satu
kudus, katolik dan apostolic sudah hadir di dalam semua Gereja dengan caranya
sendiri sendiri dan bahwa (jika saya benar benar mengerti apa yang beliau
maksudkan) beliau menganggap bahwa masalah kesatuan Gereja sudah terselesaikan.
Padahal “beberapa Gereja” tersebut saling bertentangan satu sama lainnya! Jika
mereka semua adalah (satu) Gereja “dengan cara mereka masing masing”, maka
Gereja (yang satu) ini adalah sebuah kumpulan dari kontradiksi-kontradiksi yang
tidak bisa menawarkan arah yang benar benar jelas kepada umat manusia.
Q: Tapi apakah sebuah ketidak-mungkinan yang efektif (yang sekarang terjadi)
juga berakar dari ketidak-mungkinan normative (yang sudah pasti) ?
PB XVI: Bahwa semua komunitas gerejawi yang ada sekarang harus menyerukan konsep
Gereja yang sama bagi saya akan berlawanan dengan kesiapan (kondisi) mereka
masing masing. Luther mengklaim bahwa Gereja, dari sudut pandang theologi dan
spiritual, harus tidak berada dalam struktur institusi Gereja Katholik, yang
menurutnya adalah wadah Antikristus. Dalam pandangannya, Gereja hadir dimanapun
sang Firman dinyatakan dengan benar dan sakramen sakramen dijalankan dengan cara
yang benar. Kemudian Luther sendiri berpendapat bahwa tidak mungkin untuk
menganggap bahwa Gereja Gereja lokal adalah sama dengan Gereja (Kristus); mereka
adalah institusi institusi eksternal yang membantu dan diperlukan, namun bukan
Gereja dari sudut pandang theology. Dan siapa yang sekarang akan mengatakan
bahwa stuktur struktur yang terbentuk secara tidak disengaja dalam sejarah,
seperti Gereja Hesse-Waldeck dan Schaumburg-Lippe, adalah (model) Gereja yang
sama seperti yang diklaim oleh Gereja Katholik? Adalah sangat jelas bahwa
Persatuan Gereja Gereja Lutheran Jerman (VELDK) dan Persatuan Gereja Gereja
Protestant di Jerman (EKD) tidak ingin disebut sebagai “Gereja”. Penelitian
secara realistic menunjukkan kenyataan bahwa Gereja bagi umat Protestant berada
diantara, dan tidak termasuk dalam institusi-institusi yang disebut dengan
Gereja Gereja regional. Hal ini sudah didiskusikan sebelumnya.
Q: Fakta yang terjadi adalah kaum Evangelis merasa tersinggung dengan definisi
“komunitas gerejawi”. Reaksi yang keras terhadap dokumen anda adalah bukti yang
nyata.
PB XVI: Terus terang saya melihat bahwa pernyataan dari rekan rekan Lutheran
tersebut tidak masuk akal, i.e., yaitu bahwa kami harus mempertimbangkan
struktur struktur yang berasal dari kejadian kejadian historis tersebut sebagai
Gereja, sama seperti kami mempercayai Gereja Katholik, dimana setiap Gereja yang
didirikan berdasarkan suksesi apostolic dapat ditemukan dalam semua Keuskupan.
Mungkin akan lebih tepat bagi rekan rekan Evangelis untuk mengatakan kepada kami
bahwa bagi mereka Gereja adalah sesuatu yang berbeda, sebuah realita dinamis
yang tidak terikat dengan institusi, atau merupakan bagian dari suksesi
apostolik. Pertanyaannya kemudian bukan apakah Gereja Gereja yang ada sekarang
ini semuanya adalah Gereja (yang dibentuk dengan cara) yang sama, yang jelas
bukan itu masalah yang sebenarnya, tapi apa yang ada atau tidak ada di dalam
Gereja (mereka). Dengan cara berpikir demikian, kami tidak merasa menyinggung
pihak manapun dengan berkata bahwa struktur struktur Evangelis yang ada sekarang
bukanlah Gereja dari sudut pandang dan yang diinginkan Gereja Katholik (terhadap
struktur Gereja Gerejanya). Mereka sendiri tidak memiliki keinginan untuk
menjadi seperti itu.
Q: Apakah pertanyan ini telah dibicarakan dalam Konsili Vatikan II ?
PB XVI: Konsili Vatikan II berusaha untuk menerima cara pandang Gereja yang
berbeda ini dengan menyatakan bahwa Gereja Gereja Evanglisasi adalah bukan
Gereja Gereja dengan pengertian yang sama seperti yang diklaim oleh Gereja
Katholik, tapi bahwa “elemen elemen keselamatan dan kebenaran” dapat ditemukan
di dalamnya. Mungkin kata “elemen-elemen” bukanlah pilihan kata yang terbaik.
Dalam setiap kesempatan, kesan yang ingin ditimbulkan adalah untuk
mengindikasikan sebuah visi gerejawi dimana Gereja tidak hanya hadir sebagai
struktur namun juga dalam kegiatan kegiatan pengabaran Injil dan pelaksanaan
sakramen sakramen. Metode debat yang dilakukan selama ini sangat keliru. Saya
berharap saya tidak perlu untuk menjelaskan bahwa Deklarasi yang dikeluarkan
oleh Kongregasi Ajaran Iman hanya menekankan kembali teks teks Konsili dan
dokumen dokumen pasca konsili, tanpa menambahkan maupun mengurangi apapun.
Q: Di sisi lain, Eberhard Jüngel melihat sesuatu yang berbeda. Kenyataan bahwa
Konsili Vatikan II tidak menyatakan dengan jelas bahwa satu satunya Gereja
Kristus yang eksklusif adalah Gereja Katholik Roma membingungkan Jüngel. Di
Konstitusi Lumen gentium, hanya dikatakan bahwa Gereja Kristus ‘subsists in’
dalam Gereja Katholik, yang di pimpin oleh Penerus St. Petrus dan para Uskup
yang berada dalam ‘communion’ (persatuan, agreement) dengannya”, tidak ada kesan
eksklusivitas dengan menggunakan kata Latin “subsistit”.
PB XVI: Sekali lagi saya tidak bisa mengerti alasan dari rekan saya, Jüngel.
Saya berada di sana, dalam Konsili Vatikan II ketika kata “subsistit” dipilih
dan saya bisa mengatakan saya benar benar mengerti (latar belakang dan alasan
alasannya). Saya agak menyesal karena tidak bisa menjelaskan dengan detail dalam
interview (ini). Paus Pius XII, dalam surat Ensikliknya menyatakan: Gereja
Katholik Roma adalah (“is”, bentuk tunggal) satu-satunya Gereja Yesus Kristus.
Ini menyatakan sebuah identitas yang lengkap, yang juga menjelaskan mengapa
tidak ada Gereja diluar komunitas Katholik. Namun, permasalahannya adalah ini
bukan : menurut ajaran (Gereja) Katholik, yang juga sudah dinyatakan dengan
jelas oleh Paus Pius XII, Gereja Gereja lokal dari Gereja Timur yang terpisah
dengan Roma adalah juga Gereja Gereja lokal yang authentik; komunitas komunitas
yang berkembang dari (gerakan) Reformasi dipandang secara berbeda, seperti yang
telah saya katakan. Disini Gereja (dari gerakan Reformasi) (hanya) ada ketika
suatu peristiwa sedang terjadi.
Q: Tapi kemudian tidakkah kita seharusnya mengatakan: tidak ada yang dapat
mengklaim diri sebagai Gereja yang satu. Ia (Gereja) terpecah pecah menjadi
beberapa bagian?
PB XVI: Pada kenyataannya, sekarang ini banyak (gereja) yang menganggap dirinya
demikian. Hanya pecahan pecahan Gereja yang ada, dan (orang) harus menemukan
yang terbaik dari pecahan pecahan itu. Namun jika (keadaannya) seperti ini, kita
mengesahkan subjektivisme: dan kemudian setiap orang akan menciptakan
keKristenannya sendiri dan pada akhirnya pilihan pribadinyalah yang paling
berperan.
Q: Mungkin orang Kristen benar benar memiliki kebebasan untuk menafsirkan “jalan
jalan (yang banyak)” ini secara subyektif atau individu.
PB XVI: Gereja Katholik, seperti Gereja Orthodox, telah mengambil kesimpulan
bahwa definisi seperti ini tidak sejalan dengan janji Kristus dan ketaatan
kepada Nya. Gereja Kristus benar benar ada dan tidak terpecah pecah. Ia (Gereja
Kristus) bukanlah sebuah impian yang tidak dapat diwujudkan namun adalah benar
benar sebuah realitas yang konkrit. Kata “subsistit” tepatnya bermakna demikian:
Tuhan menjamin keberadaan Gereja, meskipun terdapat banyak kesalahan dan dosa,
yang pasti akan bisa ditemukan di dalam nya (Gereja). Dengan “subsistit”, maksud
sebenarnya adalah hendak mengatakan bahwa, meskipun Tuhan selalu menepati
janjiNya, namun juga ditemukan realitas gerejawi di luar komunitas Katholik, dan
kontradiksi inilah yang merupakan dorongan yang paling kuat untuk menginginkan
persatuan. Jika Konsili (Vatikan II) hanya bermaksud menyatakan bahwa Gereja
Yesus Kristus juga ditemukan di dalam Gereja Katholik, maka itu akan menjadi
sesuatu yang dangkal dan tidak bermakna. Konsili (Vatikan II) pasti akan
berkontradiksi dengan seluruh iman Gereja dalam sejarah, dimana tidak ada
seorang Bapa Konsili pun yang berpikir demikian.
Q: Argumen-argument Jüngel bersifat philology (hanya di seputar bahasa,
penggunaan kata) dan ia menyatakan bahwa interpretasi dari Kongregasi Ajaran
Iman, yang baru saja anda terangkan, dapat “menyesatkan”. Kenyataannya, menurut
terminology Gereja awal, Allah yang Esa juga “subsists”, dan tidak pada satu
pribadi saja tapi pada ketiganya. Pertanyaan berikut ini muncul dari pengertian
tadi: Jika, Tuhan sendiri “subsists” dalam perbedaan antara Bapa, Putera dan Roh
Kudus dan ketiganya tidak terpisah dari Dia, sehingga menciptakan tiga yang
berbeda tapi tetap sama, kenapa (konsep, cara pandang) ini tidak bisa
diapplikasikan kepada Gereja, yang merepresentasikan “misteri trinitas” di
dunia?
PB XVI: Dengan sangat menyesal sekali lagi saya harus mengatakan ketidak
setujuan terhadap (pendapat) Jüngel. Pertama tama, kita perlu melihat bahwa
Gereja Barat, ketika menerjemahkan formula Trinitas ke dalam bahasa Latin, tidak
secara langsung mengadopsi formula (Gereja) Timur, dimana Tuhan adalah satu
mahluk di dalam tiga hypostasis (“subsistences”), tapi menerjemahkan kata
hypostasis dengan istilah “pribadi” (person), karena tidak ada padanan dalam
bahasa Latin untuk kata “subsistence” dan karenanya (kata tersebut: person)
tidak tepat untuk menyatakan ketunggalan dan kejamakan antara Bapa, Putra dan
Roh Kudus.
Meskipun demikian, secara khusus saya benar benar menentang kecenderungan yang
semakin meluas untuk mentransfer (pengertian) misteri Trinitas langsung kepada
(pengertian tentang) Gereja. (Pengertian tersebut) tidak dapat dibandingkan
(tidak sepadan). Dengan cara (pandang) seperti ini akhirnya kita akhirnya akan
mempercayai tiga tuhan.
----------------------------------------------------------
bersambung..(2)
Q: Pendek kata, mengapa “perbedaan” antara Bapa, Putera dan Roh Kudus bisa
dianalogikan dengan perbedaan yang ada pada komunitas gerejawi? Apakah formula
yang dikemukan Jüngel tidak memuaskan atau kurang harmonis?
PB XVI: Ada banyak ketidak setujuan (kontradiksi) diantara komunitas komunitas
gerejawi, dan ketidak setujuan (kontradiksi) terhadap apa! Ketiga “pribadi”
membentuk ketunggalan Tuhan dengan kesatuan yang otentik dan sempurna. Ketika
para Bapa Konsili mengganti kata “is” dengan kata “subsistit”, mereka pasti
melakukannya untuk alasan yang tepat. Konsep yang diekspresikan dengan “is”
(suatu kondisi yang belum terlaksana) terlalu luas dibandingkan jika
diekspresikan dengan kata “to subsist”. “To subsist” adalah sebuah cara yang
tepat untuk ‘berada’ (being, menjelaskan kondisi yang sekarang ada), yaitu untuk
menempatkan diri sendiri sebagai subyek (yang harus melaksanakan / menjalankan
suatu tugas). Sehingga Konsili Bapa Gereja ingin mengatakan bahwa keberadaan
Gereja yang menjadi entitas yang lebih luas dari Gereja Katholik Roma, namun
didalamnya (dalam Gereja Katholik Roma) ia (Gereja) mendapatkan, dengan cara
yang tidak dapat dibandingkan, karakter subyek yang sejati dan tepat.
Q: Mari kita mundur selangkah. Seseorang dijejali dengan kata kata yang asing
yang seringkali ditemui di dalam dokumen Gereja. Anda sendiri telah mengemukakan
bahwa ekspresi “elemen elemen kebenaran”, yang dipermasalahkan sekarang ini,
dapat dikatakan kurang tepat (untuk dipakai). Apakah ekspresi (yang ditimbulkan
dari) kata “elemen elemen kebenaran” akan melukai konsep kimia dari kebenaran?
Suatu kebenaran yang terdiri dari berbagai system elemen? Atau apakah ide untuk
memisahkan kebenaran dari kesalahan atau kebenaran parsial dengan menggunakan
berbagai macam dalil adalah sesuatu hal yang terlalu dipaksakan, karena beberapa
dalil dapat mengurangi ke-kompleks-an Allah menjadi satu jalan pasti yang
ditunjukkan oleh sebuah kompas ?
PB XVI: Konstitusi Konsili Vatikan II tentang Gereja menyatakan “elemen elemen
pengudusan dan kebenaran” ditemukan juga di luar struktur Gereja yang kelihatan
(fisik) (n.8); Ketetapan tentang Eukumene memberikan beberapa contoh: “Sabda
Allah yang tertulis, hidup dalam rahmat, iman, pengharapan, kemurahan hati
(derma), dan karunia karunia Roh Kudus lainnya yang besifat interior maupun
elemen elemen yang kelihatan” (n.3). Mungkin ada kata lain yang lebih baik
selain “elemen elemen”, namun maksud sesungguhnya adalah sangat jelas: kehidupan
iman yang dijalankan oleh Gereja terdiri dari struktur multidimensional dimana
berbagai macam elemen dapat ditemukan di dalam atau di luar nya.
Q: Walaupun demikian, tidakkah mengejutkan bahwa ada keinginan untuk membuat
sebuah fenomena yang tidak membutuhkan verifikasi empiris, seperti iman
religius, dapat dijelaskan dengan memakai dalil dalil tertentu?
PB XVI: Jika menyangkut iman dan untuk membuatnya dapat dimengerti melalui dalil
dalil, (sebuah) dogma akan menjadi tidak bermakna jika dipandang sebagai sebuah
kumpulan dari dalil dalil: inti dari iman (seseorang) diekspresikan melalui
pengakuannya, dimana peristiwa istimewa tersebut terjadi pada sakramen
pembaptisan yang merupakan bagian dari proses eksistensi diri. Ini adalah sebuah
keinginan untuk mengambil arah baru dalam hidup, dimana meskipun kita tidak
memberikan diri kita namun tetap telah menerimanya sebagai sebuah hadiah. Arah
baru dalam kehidupan kita ini juga bermaksud mengingatkan bahwa kita dibentuk
dari ego dan kepentingan diri kita yang kemudian masuk ke dalam komunitas kaum
beriman yang disebut dengan Gereja. Point penting dari formula pembabtisan
adalah pengakuan (kedaulatan) kepada Allah Tritunggal. Dogma dogma selanjutnya
tidak lebih dari suatu penegasan terhadap pengakuan ini untuk memastikan bahwa
orientasi fundamental, penyerahan diri kepada Allah yang hidup, tidak sampai
dibelokkan. Hanya jika sebuah dogma dipandang dengan cara seperti ini maka dogma
tersebut dapat dimengerti secara tepat.
Q: Apakah itu berarti bahwa dari perspektif spiritual seseorang tidak pernah
dapat menjangkau inti dari iman?
PB XVI: Tidak, kepastian dari iman Kristen memiliki inti tersendiri. Itu (iman)
bukan sebuah pencelupan diri kedalam sebuah dimensi mistik yang tidak
terekspresikan dimana seseorang tidak mungkin dapat mencapai intinya. Allah yang
dipercayai oleh orang orang Kristen telah menunjukkan wajah dan hatinya kepada
kita dalam Yesus Kristus: ia telah menunjukkan diriNya sendiri kepada kita.
Seperti yang dikatakan St. Paulus, ke-konkrit-an Allah ini adalah sebuah skandal
bagi orang orang Yunani pada masa tersebut dan, tentu saja, sampai dengan
sekarang (bagi banyak orang). Hal ini (ketidak setjuan, penentangan ini) tidak
dapat dihindarkan.
Q: Orang terkejut dengan kepolosan orang orang yang berada di dalam lingkup
Gereja dimana mereka terlihat seperti “terluka” atau “penuh dengan penderitaan”
terhadap definisi iman yang menekankan pada isi (makna) dan bukan pada bentuk.
Bagaimana anda menjelaskan nilai moral dari pertentangan intelektual ini, yang
sekarang seperti menjadi kebiasaan bagi para theolog ?
PB XVI: Bukan hanya moralisasi namun juga politisasi: Magisterium dipandang
sebagai sebuah kekuasaan yang harus dilawan dengan kekuatan yang lain. Pada abad
terakhir ini, Ignaz Döllinger menyatakan ide untuk melawan Magisterium Gereja
dengan opini public dimana para theology harus memainkan peranan penting disini.
Walaupun begitu, orang orang beriman pada waktu itu secara bulat dan tegas
menolak posisi Döllinger dan memilih untuk mendukung Konsili Vatikan I. Saya
percaya bahwa beberapa reaksi yang keras dapat dijelaskan dengan fakta bahwa
beberapa theology merasa kebebasan akademis mereka terancam dan ingin membela
misi intelektual mereka. Secara natural, sikap yang tegas ini juga dipengaruhi
oleh iklim yang dipengaruhi oleh kultur sekular, yang lebih cocok dengan
Protestanteisme daripada Gereja Katholik.
Q: Saya merasakan adanya sebuah ironi ketika anda berbicara tentang misi
intelektual dari para theolog. Lalu bagaimana dengan kebebasan akademis dari
para theolog Katholik? Apakah keharusan agar sifat theology Gereja selalu setia
kepada sebuah doktrin adalah sebuah pengkondisian? Dan seringkali tidak ada
transparansi (persyaratan) untuk memberikan ijin untuk mengajarkan doktrin
Gereja (yaitu nihil obstat)?
PB XVI: Bagi theology, keselarasan terhadap iman Gereja tidak berarti menyerah
kepada kondisi yang asing bagi theology itu sendiri. Sesuai dengan sifat
dasarnya, theology berusaha untuk mengerti iman Gereja, yang merupakan
presaposisi (paradigma yang mendahului) eksistensinya. Dalam beberapa kasus,
para pemimpin Gereja Evangelikal terpaksa harus meninggalkan sisi akademis dari
misi pengajaran mereka, karena mereka telah meninggalkan dasar dasar dari misi
tersebut. Khususnya bagi kita dan nihil obstat, pertama tama kita harus selalu
ingat bahwa tidak ada seorangpun memiliki hak untuk mengajar. Fakultas theology
tidak diijinkan untuk mengkomunikasikan alasan mengapa seorang kandidat tidak
dipilih atau apa yang mendorong mereka membuat keputusan tersebut. Kita
menjelaskan kepada para Uskup mengapa, menurut kami, nihil obstat tidak boleh
dianugerahkan kepada seorang kandidat. Bagaimana cara untuk menyampaikan ini,
terserah kepada sang Uskup. Dalam beberapa kasus, kami membuka tanya jawab
kepada para kandidat, dimana penjelasan yang diberikannya dapat mengubah
keputusan dari negative menjadi positif.
Q: Inti kritik Peter Hünermann adalah: dengan menekankan kewajiban untuk
melakukan sumpah setia, para theolog dan biarawan juga diharuskan untuk hanya
memegang teguh sebagai ajaran yang sah, segala sesuatu yang berhubungan secara
tidak langsung dengan kebenaran iman, tidak termasuk didalamnya wahyu yang
eksplisit.
PB XVI: Saya telah menjelaskan persepsi yang salah ini dalam dua artikel saya
Stimmen der Zeit di tahun 1999 dan dalam kontribusi saya pada buku Wolfgang
Beinert, Gott - ratlos vor dem Bösen?, terbitan tahun yang sama, jadi saya akan
menjelaskan secara singkat saja. Hünermann mengarahkan kritiknya pada apa yang
disebutnya level kedua dari pengakuan iman, yang membedakan antara ajaran yang
valid dan tidak terpisahkan dengan Wahyu dengan Wahyu yang benar dan sejati itu
sendiri. Sama sekali tidak benar untuk mengatakan bahwa para Bapa Konsili
Vatikan I dan II menolak pembedaan ini. Malah yang benar adalah yang sebaliknya.
Konsep dari pe-Wahyuan telah diperluas pada awal era modern ini dengan
berkembangnya pemikiran historis. Ditariklah suatu perbedaan antara yang ‘benar
benar diwahyukan’ dan yang ‘ditarik atau diartikan dari pe-wahyuan’ itu sendiri,
yang tidak benar benar terpisah dari (wahyu) itu sendiri atau ‘secara langsung’
termuat didalamnya. Peng-historis-an konsep Wahyu tidak pernah ada di abad
Pertengahan. Konsep pemisahan kedua level ini baru muncul pada Konsili Vatikan I
melalui pembedaan antara “credenda” (untuk dipercaya) dan “tenenda” (untuk
diimani). Uskup Agung Pilarczyk dari Cincinnati baru baru ini telah menjelaskan
konsep ini dalam dokumen : Papers from the Vallombrosa Meeting (2000). Dan juga,
cukuplah kita mencoba membolak balik buku buku theology pada masa pre konsili
hanya untuk mengetahui bahwa inilah yang sebenarnya ingin ditulis, meskipun
rincian dari level kedua diperdebatkan sampai hari ini. Konsili Vatikan II
umumnya menerima pembedaan yang diformulasikan oleh Konsili Vatikan I, dan malah
mempertegasnya. Saya tidak dapat mengerti bagaimana seseorang bisa menyatakan
sebaliknya.
Q: Kritik yang terbesar tidak mempedulikan pembedaan ini sebesar klaim mereka
terhadap autoritas mengajar tertinggi dari magisterium yang hanya dikatakan
berstatus “Memiliki dasar yang kuat secara Theology”, dimana meskipun memiliki
landasan yang kuat, banyak keberatan yang terus disampaikan dan (sampai
sekarang) belum benar benar dapat dieliminasi.
PB XVI: Tentu saja, dalam suatu ajaran yang harus diimani (“tenenda”) ada makna
yang lebih dalam dari sekedar “Memiliki dasar yang kuat secara Theology”; dimana
yang terakhir disebutkan masih dapat diubah. Literature yang ada menyebutkan
beberapa ajaran moral Gereja yang penting dalam “tenenda” ini (contohnya
penolakan euthanasia dan membantu bunuh diri), dan apa yang dinamakan dengan
fakta fakta dogmatis (contoh bahwa Uksup Roma adalah Penerus dari St. Petrus,
yang memiliki legitimasi terhadap Konsili Eukumene, dll).
Q: Mari kita kembali ke dokumen Kongregasi anda yang sedang diperdebatkan.
Meskipun tidak dinyatakan gagal untuk menjelaskan isi dari pada bentuk,
Deklarasi Dominus Iesus sering dituduh sebagai pendekatan yang kurang bijaksana
yang mengganggu pemimpin pemimpin agama dan denominasi lain. Cardinal Sterzinsky
dari Berlin mengatakan bahwa dalam pembentukan theologis penting untuk selalu
memperhatikan “kapan, dimana dan bagaimana” dalam pengajaran. Dalam dokumen
dokumen dari Roma, kelihatannya hal ini agak diabaikan. Dan Uskup Lehmann dari
Mainz mengatakan bahwa ia akan lebih menyukai “sebuah teks yang ditulis dengan
gaya yang memiliki semangat perdamaian yang besar”, dan mereka ingin tahu sampai
dimana Kongregasi Doktrim Iman bekerja sama dengan autoritas autoritas
perdamaian lain ketika menyiapkan dokumen tersebut. Yang dimaksud olehnya disini
adalah Konsili Dialog Antar Agama dan Konsili Bagi Persatuan Orang Kristen.
PB XVI: Mengenai kerjasama dengan autoritas autoritas perdamaian lain, Presiden
dan Sekretaris dari Konsili Bagi Persatuan Umat Kristen, Kardinal Cassidy dan
Uskup Casper, adalah anggota dari Kongregasi kami, demikian juga Presiden dari
Konsili Dialog Antara Agama, Kardinal Arinze. Mereka semua berkontribusi dalam
masalah ini sama seperti saya. Sebagai kepala (pemimpin), sesungguhnya, (saya)
hanyalah yang pertama namun setara dengan (anggota) yang lainnya, yang
bertanggung jawab terhadap pengaturan pengerjaan dokumen. Ketiga anggota
Kongregasi yang telah saya sebutkan sebelumnya turut berperan aktif dalam
penyusunan dokumen itu, dan (dokumen tersebut) telah berulang kali
dipresentasikan pada rapat Kardinal dan sekali pada rapat plenary dimana semua
anggota hadir. Sayangnya, Cardinal Cassidy dan Uskup Kasper sesuaidengan
persetujuan bersama, tidak mengikuti beberapa sesi, meskipun mereka telah
diberitahu tentang tanggal rapat ini jauh jauh hari. Walaupun begitu, mereka
menerima semua (copy) dokumen dan persetujuan tertulis mereka juga telah
dikomunikasikan kepada para peserta dan didiskusikan dengan seksama.Q: Apakah
(pendapat) mereka didengarkan?
PB XVI: Hampir semua usulan dari mereka berdua diterima, karena dalam hal
semacam ini kesatuan pendapat dari Konsili adalah sangat penting. Lebih lanjut
lagi, saya benar benar dapat memahami bahwa Uskup Jerman benar benar sensitive
terhadap kesulitan kesulitan yang muncul dari situasi yang terjadi di negara
kami. Namun juga ada sudut pandang lain. Baru baru ini, ketika saya sedang dalam
perjalanan pulang saya bertemu dengan dua orang yang mengatakan pada saya: “Kami
adalah misionaris di Afrika. Kami benar benar merindukan kata kata tersebut!
Kami terus menerus mengalami kesulitan, dan kaum misionaris tambah lama menjadi
tambah sedikit”. Saya benar benar tersentuh dengan ungkapan terimakasih mereka
berdua, sebagai pewarta Injil di garis terdepan. Dan ini hanyalah salah satu
reaksi dari banyak reaksi sejenis. Kebenaran selalu tidak pernah mengenakkan dan
terasa mengganggu. Kata kata Yesus seringkali sangat keras dan dinyatakan tanpa
banyak penghalusan dan diplomasi. Walter Kasper dengan tepat mengatakan bahwa
sensasi yang diakibatkan oleh dokumen tersebut dapat mengurangi problem problem
komunikasi, karena bahasa doctrinal klasik, yang biasanya dipakai dalam dokumen
kami sebagai kelanjutan dari teks teks dari Konsili Vatikan II, adalah sangat
berbeda dari yang biasa digunakan di suratkabar dan media. Dan kemudian teks
tersebut harus diinterpretasikan bukannya terus menerus dicela.
Q: Dalam diskusi tentang dokumen dari Kongregasi anda, kemungkinan dan batasan
dari eukumenisme sekali lagi ditanyakan. Problem dari proyek eukumene tidak
berkisar hanya pada ada atau tidaknya tendensi dari kedua kubu untuk berusaha
mengesampingkan perbedaan dan tidak lagi menganggap keinginan untuk menang
sebagai hal yang penting. Dalam sebuah artikel 15 tahun yang lalu, Theologische
Quartalschrift, anda telah mengingatkan untuk tidak memandang “eukumenisme
sebagai sebuah tugas diplomatic yang bernuansa politik”, dan anda mengkritik
“negosiasi eukumene” yang terjadi pada periode pasca konsili. Apa sebenarnya
maksudnya?
PB XVI: Pertama tama, saya akan membedakan antara dialog theologi dengan politik
atau negosiasi bisnis. Dialog theologi tidak ditujukan untuk menemukan apa saja
yang dapat diterima dan akhirnya cocok bagi kedua belah pihak, namun dengan
menemukan kesamaan yang mendalam diantara bentuk bentuk bahasa yang berbeda
tersebut dan dengan belajar untuk membedakan apa yang hanya terjadi dalam
periode sejarah tertentu dengan apa yang benar benar fundamental. Ini
dimungkinkan terutama karena pengertian dari Pengalaman berTuhan dan Diri
sendiri telah berubah, ketika permasalahan bahasa dapat dilihat sebagai penyebab
perpecahan tersebut dan pemahaman baru yang fundamental dapat mengalir dari
keinginan yang telah menyebabkan perpecahan itu sendiri.
---------------------------------------------------------
bersambung.... (3)
Q: Apakah anda dapat memberikan sebuah contoh ?
PB XVI: Dapat ditemukan dengan jelas pada doktrin pembenaran: pengalaman
religius Luther telah terkondisi secara essensial oleh aspek yang rumit dari
murka Allah dan sebuah keinginan untuk mendapatkan kepastian akan pengampunan
dan keselamatan. Meski demikian, pengalaman akan murka Allah benar benar telah
dilupakan di era kita sekarang, dan pendapat bahwa Allah tidak dapat memusnahkan
siapapun telah demikian berkembang diantara orang-orang Kristen. Dalam konteks
yang sangat berbeda sekarang, mereka dapat mencari keserasian dari kedua sisi
tersebut, bermula dari Alkitab, sebagai dasar bersama. Sehingga saya tidak dapat
menemukan kontradiksi, diantara, Dominus Iesus, yang hanya menegaskan ide
sentral dari Konsili, dengan persetujuan (terhadap theology) pembenaran. Sangat
penting untuk mengadakan dialog dengan kesabaran yang besar, dengan penghormatan
yang dalam dan, terutama, kejujuran total. Tantangan agnostikisme kepada kita
semua adalah untuk meninggalkan konsep konsep historis dan kembali kepada inti
dari permasalahan. Sebagai contoh, kembali kepada point sebelumnya dari diskusi
kita, kejujuran berarti tidak menerapkan konsep yang sama tentang Gereja kepada
Gereja Katholik ataupun salah satu Gereja yang dibentuk dari batasan batasan
prinsip yang lampau.
Q: Kemudian, setelah publikasi dari dokumen anda apakah formulasi eukumene dari
“pendamaian perbedaan” masih berlaku ?
PB XVI: Saya dapat menerima konsep dari “pendamaian perbedaan”, jika itu tidak
berarti penyamaan isi dan pengabaian pertanyaan tentang kebenaran sehingga
(seolah olah) kita dapat menganggap diri kita tetap satu, meskipun kita masing
masing percaya dan mengajarkan hal yang berbeda. Dalam pikiran saya konsep ini
dapat digunakan dengan baik, jika itu bermakna bahwa, meskipun perbedaan
perbedaan yang ada diantara kita, yang tidak membuat kita menganggap diri kita
sebagai sekedar kepingan dari Gereja Yesus Kristus yang kehadirannya tidak benar
benar nyata, kita tetap bertemu di dalam damai Kristus dan berdamai satu sama
lain, sehingga, kita melihat perpecahan kita tidak sesuai dengan keinginan Tuhan
dan kesedihan ini mendorong kita kepada persatuan dan untuk berdoa kepadaNya
dalam penerangan bahwa kita semuanya merindukan cintaNya.
Q: Seringkali orang membaca satu bagian dari tulisan Paus dan pembantu
pembantunnya yang merelatifkan perpecahan keKristenan dalam perlakuan
dialektikal sejarah penyelamatan. Sri Paus kemudian berbicara tentang “sebuah
alasan metahistoris” tentang perpecahan tersebut dan, dalam bukunya Crossing the
Treshold of Hope, ia bertanya: “Apakah mungkin perpecahan ini juga merupakan
sebuah jalan yang terus menerus mengarahkan Gereja untuk menemukan harta yang
tersimpan dalam Injil Kristus dan dalam penebusan yang telah diselesaikan oleh
Kristus? Mungkin semua harta ini tidak akan dapat muncul jika yang sebaliknya
yang terjadi. Jadi perpecahan orang orang Kristen dipandang sebagai sebuah
pekerjaan pengajaran oleh Roh Kudus, seperti yang dikatakan oleh Sri Paus
dimana, penting adanya suatu “pengajaran khusus” bagi pengetahuan manusia dan
perbuatan manusia. Anda sendiri menulis: “Meskipun perpecahan adalah pekerjaan
manusia dan juga dosa manusia, namun disitu hadir sebuah dimensi yang sesuai
bagi pekerjaan Allah”. Jika memang demikian, orang orang bertanya hak apa yang
memperbolehkan pengajaran ilahi ditentang dengan mengidentifikasi Gereja Kristus
sebagai Gereja Katholik Roma. Apakah impresi konseptual yang dikecam dalam
dialog eukumene juga ditemukan dalam spekulasi sejarah penyelamatan oleh
pengajaran Allah ?
PB XVI: Ini adalah topic pembicaraan yang sulit mengenai kebebasan manusia dan
kepemimpinan Allah. Tidak ada jawaban yang valid dalam bentuk yang absolute
karena kita tidak dapat melampaui batasan manusiawi, dan karenanya kita tidak
dapat membuka misteri yang menghubungkan kedua elemen ini. Apa yang telah anda
kutip dari Bapa Suci dan bagi saya mungkin dapat disejajarkan dengan istilah
yang sangat terkenal bahwa Allah menulis lurus dengan garis garis yang bengkok.
Garis garis tersebut tetap bengkok dan ini berarti bahwa perpecahan tersebut
diakibatkan oleh dosa manusia. Dosa tidak bisa dipandang sebagai hal yang
positif karena membawa pertumbuhan dan kemudian dosa dimengerti sebagai sesuatu
yang dapat dilampaui oleh pertobatan dan dapat dihapuskan dengan pengampunan.
St. Paulus harus menjelaskan kepada jemaat di Roma tentang ambiguitas yang
muncul dari pengajarannya tentang rahmat, dimana, karena dosa maka rahmat
diberikan kepada manusia, maka manusia bisa toleran terhadap dosa (Rom 6:19).
Kemampuan Tuhan untuk mengubah dosa kita menjadi sesuatu yang baik sama sekali
tidak berarti bahhwa dosa itu adalah baik. Dan fakta bahwa Allah dapat membuat
perpecahan menghasilkan buah yang baik tidak membuat (perpecahan) itu sebagai
sesuatu yang positive di dalam dirinya sendiri. Impresi konseptual yang muncul
adalah karena ketidak mampuan kita untuk mengerti hubungan antara kebebasan
untuk berbuat dosa dan menjadi bebas karena rahmat. Rahmat yang membebaskan juga
dikenal melalui fakta bahwa, di lain sisi, Gereja tidak mengecil dan pecah
menjadi pecahan pecahan yang saling berlawanan dalam mimpi yang tidak dapat
direalisasikan. Melalui rahmat Tuhan, Gereja sebagai subyek benar benar hadir
dan subsists dalam Gereja Katholik; janji Kristus adalah jaminan bahwa subyek
ini tidak akan dapat dimusnahkan. Namun di sisi lain, memang benar bahwa subyek
ini terluka, dimana ada realitas gereja yang berfungsi diluar dirinya. Dalam
fakta seperti itulah, tragedy dosa dan keluasan janji Tuhan yang bersifat
paradoks benar benar muncul. Jika ketegangan (paradoksikal) ini dihilangkan
untuk menghasilkan suatu formula yang benar benar jelas, dan dikatakan bahwa
semua komunitas gereja adalah sang Gereja, dan bahwa semuanya, dengan ketidak
sepahaman diantaranya, adalah Gereja yang satu dan kudus, maka tidak ada lagi
eukumenisme, karena tidak ada lagi alasan untuk mencari keutuhan yang autentik.
Q: Pertanyaan yang sama dapat diajukan lagi dari sudut pandang yang lain: apakah
pertanyaan tentang profesi religius berhubungan dengan keselamatan pribadi.
Mengapa misi, mengapa ada ketidak setujuan terhadap “kebenaran” dan dokumen
dokumen Vatikan jika, pada akhirnya manusia dapat mencapai Tuhan melalui banyak
jalan?
PB XVI: Dokumen tersebut tidak mengulangi ide subyektivisme dan relativisme
dimana semua orang dapat menjadi suci dengan caranya sendiri. Ini adalah sebuah
interpretasi yang sinis, dimana saya merasakan sebuah ketidak setujuan pada
pertanyaan tentang kebenaran dan etika yang benar. Dokumen tersebut sejalan
dengan Konsili bahwa Tuhan memberikan penerangan kepada semua orang. Mereka yang
mencari kebenaran akan menemukan diri mereka berada di jalan yang membawanya
kepada Kristus, dan juga kepada jalan yang membawanya kepada komunitas dimana ia
benar benar hadir dalam sejarah, yaitu, dalam Gereja. Mencari kebenaran,
mendengarkan suara hati dari dirinya, terus menerus memurnikan pendengaran, ini
semua adalah kondisi yang perlu dilakukan oleh semua orang untuk mendapatkan
keselamatan. Itu semua sangat penting, dan terhubung secara objective dengan
Kristus dan Gereja. Dengan cara ini, kita dapat mengatakan bahwa agama agama
yang lain memiliki tata cara ibadat dan doa yang dapat mempersiapkannya untuk
menerima Injil, pada situasi dan terang pengajaran dimana hati manusia
disadarkan untuk membuka diri sendiri kepada kuasa Tuhan. Namun kita juga dapat
mengatakan bahwa hal ini tidak terjadi pada semua system peribadatan. Karena ada
beberapa (siapapun yang mengetahui sedikit sejarah tentang agama akan setuju)
yang menjauhkan manusia dari rahmat. Jadi kehati hatian dan pemurnian diri bisa
didapatkan dengan menjalani kehidupan yang mengikuti kata hati dan membantu
untuk mengidentifikasi perbedaan perbedaan, sebuah keterbukaan yang, pada
akhirnya, bertujuan untuk menjadi milik Kristus sepenuhnya.
Untuk alasan inilah dokumen tersebut dapat menegaskan bahwa misi tersebut tetap
penting, karena menawarkan pengertian yang dibutuhkan semua orang dalam
pencariannya akan kebenaran dan ketuhanan.
Q: Namun pertanyaannya tetap: karena, seperti yang telah anda katakan,
keselamatan dapat diperoleh melalui semua jalan, asalkan seseorang hidup
berdasarkan suara hatinya, apakah kemudian misi tidak menjadi kehilangan
kepentingan theologisnya? Karena apalagi yang dapat dimaknakan dari ide
“hubungan yang intim dan objective” antara jalan keselamatan non-Katholik dan
Kristus, jika tidak karena Kristus sendiri membuat perbedaan yang besar antara
kebenaran keselamatan yang “penuh” dan yang “kurang penuh”, karena, jika Ia
hadir sebagai sarana keselamatan, Ia selalu dan secara logis benar benar hadir
secara “penuh”.
PB XVI: Saya tidak pernah mengatakan bahwa keselamatan dapat diperoleh melalui
semua jalan. Suara hati, keinginan untuk tetap fokus kepada kebenaran dan tujuan
kebajikan, adalah jalan satu satunya, meskipun dapat mengambil bermacam macam
bentuk karena banyaknya pribadi dan situasi. Yang baik akan selalu tunggal, dan
kebenaran tidak berkontradiksi di dalam dirinya sendiri. Fakta bahwa manusia
tidak dapat mencapainya atau yang lainnya tidak merelatifkan kebutuhan akan
kebenaran dan kebajikan. Untuk alasan ini tidaklah cukup untuk tetap berada di
dalam agama yang diwarisi dari orang tuanya, namun seseorang harus terus mencari
kebenaran sejati dan kemudian dapat melampaui batasan agamanya sendiri. Ini
dapat berarti jika kebenaran dan kebajikan benar benar ada. Akan tidak mungkin
untuk mengikuti jalan Kristus jika Ia tidak pernah ada. Hidup dengan mata hati
yang terbuka, memurnikan diri sendiri dan terus menerus mencari pencerahan
adalah kondisi kondisi yang tidak terpisahkan dari keselamatan manusia.
Mewartakan kebenaran, adalah, membuat terang tersebut bercahaya (tidak
menempatkannya “dibawah dipan, tapi diatas kaki dian”), mutlak penting.
Q: Bukan konsep dari Gereja yang menganggu orang Protestant, namun interpretasi
Alkitab dalam Dominus Iesus, yang menyatakan bahwa orang harus melawan
“kecenderungan untuk membaca dan menginterpretasikan Kitab Suci diluar Tradisi
Magisterium Gereja” dan “presuposisi… yang mengahalangi pengertian dan
penerimaan akan kebenaran wahyu”. Jüngel berkata: “pemahaman yang keliru
terhadap autoritas Magisterium Gereja akan mengurangi autoritas Kitab Suci”.
PB XVI: Dengan 500 tahun pengalaman, eksegese modern telah secara jelas
mengakui, disertai dengan literature modern dan filosofi bahasa, bahwa
interpretasi pribadi akan Alkitab tidak akan pernah menghasilkan pengertian yang
utuh. Adolf von Harnack pada tahun 1928, dengan keterusterangannya yang khas,
dalam korespondensinya dengan Erik Peterson mengatakan bahwa “apa yang disebut
dengan ‘prinsip formal’ dari Lutheranism lama adalah sebuah ketidak mungkinan
yang sudah berada dalam tahap yang kritis; dan sebaliknya, (prinsip prinsip)
yang dimiliki oleh (Gereja) Katholik masih lebih baik”. Ernst Käsemann telah
menunjukkan bahwa prinsip (norma/kaidah) Kitab Suci yang demikian tidak mengarah
kepada kesatuan Gereja, melainkan (kepada) pengakuan (iman) yang beraneka ragam.
Akhir akhir ini, salah satu exegete Evangelis yang terpenting, Ulrich Luz, telah
menunjukkan bahwa “Sola Scriptura” telah membuka jalan kepada semua kemungkinan
interpretasi. Dan akhirnya, generasi pertama dari gerakan Reformasi juga
diharuskan untuk mencari “titik sentral dari Alkitab”, untuk mendapatkan kunci
interpretasi yang ternyata tidak dapat diekstrapolasikan dari teks teks yang
ada. Satu contoh praktis lain: dalam sebuah diskusi dengan Gerd Lüdemann, ada
seorang professor yang menolak kebangkitan dan ketuhanan Kristus, dll., telah
ditunjukkan disana bahwa Gereja Evangelis tidak dapat melakukan (pembuktian)
tanpa (kuasa atau petunjuk dari) sebuah Magisterium. Ketika bentuk dari iman
menjadi kabur dalam arus arus untuk melawan usaha exegese (materialistis,
feministis, exegese liberal, etc.), secara nyata terbukti bahwa pernyataan iman,
dan dengan demikian Tradisi Gereja yang hidup, adalah yang dapat menjamin
interpretasi yang sesungguhnya dari Kitab Suci, dan dapat melindungi dari
subyektifitisme dan menjaga keaslian dan keotentikannya. Dengan demikian
Magisterium tidaklah menghilangkan autoritas dari Kitab Suci namun benar benar
menjaganya dengan menempatkan diri dibawahnya dan membiarkan iman timbul dan
mengalir dari padanya.
Q: Deklarasi yang dikeluarkan oleh Kongregasi anda menunjukkan perlunya
penerimaan terhadap “suksesi apostolic” sebagai kriteria penting untuk dapat
disebut sebagai “Gereja Saudara” oleh Gereja Katholik Roma. Orang Protestant
seperti Jüngel menolak prinsip ini karena tidak alkitabiah. Baginya, penerus
dari Para Rasul bukanlah para Uskup melainkan kanon (prinsip/norma/kaidah)
alkitab. Dalam pandangannya, setiap orang yang hidup sesuai dengan Alkitab
adalah penerus Para Rasul.
PB XVI: Pernyataan bahwa kanon adalah penerus Para Rasul adalah sesuatu yang
dilebih lebihkan dengan mencampur adukkan hal hal yang sangat berbeda. Kanon
Alkitab dihadirkan oleh Gereja dalam sebuah proses yang terus berlangsung hingga
abad ke lima. Kanon tersebut, dengan demikian, tidak akan ada tanpa pengawalan
dari penerus Para Rasul dan, pada saat yang sama, menetapkan kriteria kriteria
pelayanan mereka. Sabda yang tertulis tidak dapat menggantikan saksi hidup, sama
seperti yang ada setelahnya tidak dapat menggantikan sabda yang tertulis. Para
saksi hidup dan sabda yang tertulis saling menegaskan satu sama lain. Kita semua
berbagi struktur keuskupan dalam gereja sebagai cara untuk berada bersama (in
communion) dengan Para Rasul, dengan Gereja Awal dan dengan Gereja Orthodox; ini
seharusnya memberikan sebuah alasan untuk refleksi. Ketika dinyatakan bahwa
seseorang yang hidup berdasarkan Alkitab adalah penerus dari Para Rasul,
pertanyaan berikut ini akan menjadi tidak memiliki jawaban : siapa yang
memutuskan apa yang dimaksud dengan hidup sesuai dengan Alkitab dan siapa yang
memutuskan bahwa seseorang benar benar telah melakukannya? Ide bahwa penerus
Para Rasul bukanlah para Uskup melainkan kanon alkitab jelas adalah sebuah
penolakan dari konsep Gereja Katholik. Pada saat yang sama, kita diharapkan
untuk dapat menerima konsep dari Gereja-gereja Reformasi. Ini adalah sebuah
logika yang terus terang tidak bisa saya mengerti.
Cardinal Joseph Ratzinger
Di sini, dirumah ini,di Gereja Katolik Roma, telah kutentukan, dengan iman, pemikiran, dengan segenap hati, segenap kekuatan dan segenap akalbudiku, pilihanku masuk dalam gereja yang didirikan oleh Yesus Kristus di atas sang batukarang rasul Petrus. Gereja ini akhirnya dinamakan Gereja Katolik Roma. Penamaan ini digunakan untuk menunjukkan identitas gereja yang setia kepada ajaran semula dari Yesus Kristus dan yang diteruskan para rasul.
Mengasihi Sesama
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Membaca tanya jawab ini saya semakin jelas dan yakin akan acaran gereja Katolik yng kudus dan apostolik. Terima kasih.
BalasHapusTentu saja, benar. Cuma memang kita harus belajar terus mengenai iman katolik kita supaya gak tersesat.
BalasHapus