Tulisan
DeusVult dari www.ekaristi.org
Seminggu
mengerjakan.
Quote:
Dear Doddy,
Wow, sepertinya si admin sangat
excited sekali dengan tulisan saya. Tapi bahan yang diberi terlalu banyak dan
saya tidak sempat membacanya satu per satu. Apalagi beberapa pertanyaan yang
muncul sama. Ini saya sempatkan membalas salah satu tanggapan dari penjawab,
dan mungkin ini tanggapan terakhir dari saya, karena beberapa hal: 1) Saya
merasa penjawab menjawab dengan emosi dan sedikit ad hominem, jadi sebenarnya
saya tidak terlalu tertarik untuk melanjutkan berdiskusi.
Aneh sekali. Dimanakah ad hominemnya? Bukannya justru aku melangkah lebih jauh
dengan secara lebih charitable menafsirkan secara positif perkataannya yang
mudah diartikan secara negatif (ie. "ketidakbergunaan iman yang dibicarakan Yakobus di pasal 2 harus dipahami dalam
konteks penghakiman terakhir."
Dugaanku adalah si B. Stefanus K.
ingin melepas diri dari kewajiban diskusi dengan cara menuduh aku ber-ad
hominem (dimana hal ini tidak pernah terjadi). Alasan sebenarnya bukan itu.
Kita coba lihat saja nanti dimana terjadinya ad hominem tersebut.
Quote:Apalagi dia banyak salah
memahami konsep dan teks Alkitab. Jawabannya cenderung dogmatis dan
anakronistik. Dia banyak merujuk situs Katolik, bila demikian lebih baik kamu
juga cari sumber-sumber Kristen lain yang sudah menjawab pertanyaan dia. Semua
keberatan yang diajukan sudah dijawab koq. So, daripada saya buang waktu
mending kamu cari sendiri saja forum apologetis Kristen.
1. Akan ditanggapi dibawah
tulisan-tulisanku yang katanya salah paham, coba kita lihat siapa yang salah
paham. Kita juga akan lihat kebenaran tuduhan anachronistic (menempatkan
sesuatu [ie. orang, benda, peristiwa] pada urutan khronologi yang salah).
2. Mengenai dogmatis, well tentu
saja kita harus dogmatis. Tidak hanya aku, tapi juga B. Stefanus K.. Karena toh
yang kita diskusikan adalah kebenaran dogma. Kalau memang B. Stefanus K. tidak
ingin dogmatis, apakah dia mau tidak mengakui kebenaran iman reformed-nya dan
memeluk iman Katolik? Tidak, kan.
3. Situs Katolik yang dirujuk
HANYA UNTUK MENUNJUKKAN KUTIPAN BAPA GEREJA. Tulisan Bapa Gereja itu pun bisa
diambil dari situs Protestant kalau mau. Coba
CCEL.org dimana ada bukunya Philip Schaff, seorang Protestant, yang ada online
karena copyright-nya sudah habis.
4.a. Kita dari ekaristi.org sudah
menunjukkan bahwa kita mampu menyanggah argumen yang diajukan dari situs
Protestant berbahasa Inggris. Bahkan kita sudah menunjukkan bantahan kita
terhadap penggunaan secara ekstensif, tapi keliru, kutipan-kutipan Bapa Gereja
oleh Protestant non-Indonesia berkali-kali (Contohnya: di topik "Bapa Gereja mengajarkan Sola Fide?" dimana diajukan tulisan Steve Rudd dari bible.ca, dan
secara pribadi aku menanggapi penggunaan kutipan dari
William Webster oleh member Pondok Renungan Carmen). Jadi sebaiknya si B. Stefanus K. tidak menganggap bahwa kita
akan mati kutu hanya karena dirujukkan ke situs Protestant luar negeri termasuk
artikelnya James White dan kroni-kroni-nya. Aku pribadi bisa menanggapinya
dengan tuntas tanpa merujukkan artikelnya James White ke artikelnya apologist
Katolik lain.
4.b. Sebaliknya, kita belum
melihat kapabilitas B. Stefanus K. dalam menghadapi rujukan ke situs-situs luar
negeri. Padahal, kalau kita ingat kembali, dialah yang sebelumnya MEMINTA (bahkan
mungkin MENUNTUT) rujukan ke situs-situs luar negeri: "Awal mula
saya kira artikel ini cukup berbobot, namun ternyata isinya tidak akademis.
Saya harap artikel lain yang kamu berikan lebih berbobot daripada dua artikel
sebelumnya ya. Mungkin kamu lebih baik memberikan artikel dari situs resmi
apologet Katolik, semisal Patrick Madrid, Robert Sungenis atau Scott Hann gitu,
daripada artikel kalangan awam yang sama sekali tidak memahami inti persoalan."
4.c. Ketika diberi rujukan ke
situs luar negeri Katolik yang sekedar mengkompilasi kutipan Bapa Gereja
(tulisan Bapa Gerejanya secara komplit sendiri ada banyak di situs-situs
Protestant, misalnya ccel.org) dan rujukan ke situs dari apologist Katolik
Robert Sungenis.... si B. Stefanus K. malahan menganjurkan untuk mencari
sendiri situs-situs Protestant yang menjawab situs-situs Katolik tersebut
karena dia tidak ingin buang waktu, bukannya menerima tantangan yang dia ajukan
sendiri.
5. Silahkan si B. Stefanus K.
menunjukkan situs Protestant yang katanya "Semua keberatan yang diajukan sudah dijawab koq." Hal seperti ini tidak pernah terjadi.
Quote:2) Waktu saya makin
terbatas, apalagi saya harus mempersiapkan lamaran saya bulan april dan
pernikahan bulan oktober, jadi saya harus memprioritaskan hal-hal ini dulu. 3)
Perdebatan dua kubu ini memang mungkin tidak akan berakhir, jadi kalau kamu
berusaha mencari "yang menang" mungkin tidak akan ketemu karena tiap
kubu kekeuh dengan konsepnya masing-masing. Di luar sana masing-masing pihak
juga terus berdebat tanpa habis, dan masing-masing merasa diri benar. Saya rasa
semua berpulang pada presuposisi yang terbentuk dan anugerah Tuhan. So, Lebih
baik banyaklah berdoa ya ...
Maaf tidak bisa berdiskusi dengan kamu lebih lama, tapi saya harap kami bisa
memahami. Thanks. GBU
1. Yang "menang," dalam arti yang "benar" tentu SANGAT BISA
DITENTUKAN. Justru kalau tidak bisa ditentukan, maka Roh Kudus telah gagal
untuk menuntun Gereja yang didirikan Yesus ke kebenaran, sebagaimana di
sabdakan Yesus sendiri (Yoh 16:13). Dan yang benar, tentu saja PASTI Gereja
yang didirikan Kristus pada 33 masehi! Karena itulah yang disabdakan Kitab Suci
("... the church of the living
God, the pillar and ground of the truth"
- 1Tim 3:15). Yang benar TIDAK MUNGKIN insitusi BUATAN MANUSIA yang BARU ADA
1,500 tahun setelah Yesus hidup, mati dan bangkit!
2. Saling merasa benar tidak
membuat kebenaran menjadi dua atau tiga atau empat. Kebenaran cuma satu.
Kalaupun ada banyak pihak yang saling merasa benar, pasti hanya satu yang
benar-benar benar.
Quote:
Tanggapan:
Saya rasa penjawab tidak memahami proses komunikasi. Dalam ilmu komunikasi ada
yang namanya encoding, transmisi dan decoding. Decoding adalah usaha memahami
apa yang sudah diencode, dalam hal ini teks Kitab Suci. Bagaimanapun, Decoding
merupakan usaha interpretasi. Termasuk, penerjemahan teks (yang merupakan usaha
decoding) merupakan interpretasi Anda terhadap sebuah encoding. Dalam hal ini
Luther menerjemahkan sesuai dengan pemahaman yang ia pahami dari konteks
keseluruhan surat Roma (mungkin lebih baik penjawab membaca dulu bagaimana
retorika Paulus dalam surat Roma). Lalu, saya rasa bila Anda mengingkari bahwa
terjemahan merupakan sebuah penafsiran, lebih baik Anda jangan membaca Alkitab
terjemahan apapun, termasuk Indonesia, sebab ada banyak unsur interpretasi
terjemahan di dalamnya.
Paulus tidak menulis dalam
kode-kode, jadi apa yang mau di-decode? Surat Roma bukanlah pesan rahasia
militer yang harus di-encode supaya tidak bisa dibaca para musuh dan kemudian
di-decode oleh sekutu yang tahu kode-kodenya.
Si B. Stefanus K. tampaknya
berusaha dengan susah payah mencari pembenaran atas tindakan Luther
sampai-sampai menggunakan argumen yang sama sekali absurd.
Point-nya cukup simple, tugas
penerjemah adalah menerjemahkan secara setia naskah yang ada dihadapannya. Dia
tidak diperbolehkan memberi tafsiran atau pemahamannya dalam terjemahannya
(paling tidak, kalau dia mau melakukannya dia harus menaruhnya dalam catatan
kaki).
Aku pribadi sudah sejak lama
tidak mengandalkan Alkitab Indonesia karena terjemahannya parah (bukannya
karena ada interpretasinya). Tapi kalau memang ada buku terjemahan yang
di-imbuh-i oleh interpretasi-interpretasi penerjemah maka sebaiknya buku itu
dibuang karena menyesatkan. Si penerjemah telah memasukkan kata-katanya kedalam
mulut penulis asli buku tersebut. Itu adalah suatu hal yang tabu bagi seorang
penerjemah.
Sebagai seseorang yang tulisannya
banyak di copy/paste orang, aku selalu meminta pihak yang meng-copy/paste
tulisanku untuk tidak menambahi apa yang ada dengan segala tafsiran, komentar
dan lain-lain dalam tubuh tulisan tersebut. Paling tidak kalau mau ditambahkan
harus ditunjukkan kalau itu penambahan yang bukan dari penulis, yaitu dengan menaruh tambahan ke dalam kolon,
"[tambahan]," inilah tekhnik standard menulis yang tidak dipahami B.
Stefanus K..
Luther sama sekali tidak memberi
kolon pada kata "hanya."
Dan patut diingat bahwa tidak ada
terjemahan lain yang punya kata "hanya" selain terjemahan Luther.
Bahkan John Wyclif sendiri tidak memberi kata "hanya" di Roma 3:28:
Roma
3:28 ([Wycliffe Bible) |
Quote:Tanggapan:
sekali lagi, bila Anda memahami retorika yang diajukan Paulus maka penambahan
kata “hanya” bukan merupakan masalah, sebab ia mengatakan bahwa bila memang
perbuatan baik memiliki peran, pertanyaannya sederhana, siapa yang bisa
melakukannya? Paulus jelas mengatakan bahwa tidak ada seorang pun yang bisa
sebab “semua orang telah berbuat dosa dan telah kehilangan kemuliaan Allah”
(Rm. 3:23), dan tidak ada seorang pun yang berbuat baik (3:12). Itulah
sebabnya, karena tidak ada yang bisa, maka manusia murni membutuhkan anugerah
Allah, sebab tidak satupun usaha manusia yang bisa membawanya kepada
keselamatan. Apakah ada usaha manusia? Sekali lagi Efesus 2:8-9 memberi jawaban
kepada kita.
Bila memang tidak ada seorang pun
yang mampu melakukan perbuatan baik, apakah ini memberi hak bagi Luther untuk
menambahkan kata "hanya?" TENTU SAJA TIDAK. Kenapa? Karena masalah
justifikasi tidak sekedar terdiri dari dua aspek yang mutually exclusive, yaitu
"iman" dan "perbuatan."
KALAUPUN masalah justifikasi
terdiri dari "iman" dan "perbuatan" dimana keduanya adalah
mutually exclusive, maka akan sah-sah saja seseorang mengatakan bahwa kalau
yang satu tidak ada, maka hanya yang lainnya-lah yang boleh ada. Tapi, sekali
lagi, masalah justifikasi tidak terdiri dari dua aspek (ie. "iman"
dan "perbuatan") yang mutually exclusive.
Sebagaimana telah aku tuliskan,
masih ada harapan (yang menyelamatkan, Rom 8:24) dan kasih (yang berada diatas
"iman" dan "harapan," 1Kor 13:13).
Quote:
Tanggapan:
Saya rasa Anda harus belajar memahami konteks bahasa Yunaninya. Ayat ke 10
merupakan kesimpulan dari pembahasan ayat 1-9. Karena semua orang seharusnya
binasa (ay. 1-3), tetapi oleh kasih karunia Allah diselamatkan (ay. 4-8), maka
jangan ada yang membanggakan diri (ay. 9), sebab baik keselamatan maupun iman
itu merupakan kasih karunia Allah (ay. 8). Bahkan kita yang sudah diselamatkan
itu, ternyata diciptakan Allah untuk melakukan pekerjaan baik yang dipersiapkan
Allah sebelumnya (ay. 10). Ide ini diulang kembali dalam pasal 4-5, karena kita
sudah menjadi manusia baru (dalam artian telah diselamatkan), maka hiduplah
anak-anak terang, bukan hiduplah sebagai anak-anak terang supaya menjadi
manusia baru. Memang ini tidak bermakna otormatis seperti yang Anda sangka (sekali
lagi Anda tidak memahami dengan baik konsep Alkitab yang saya kemukakan), ini
lebih bermakna logis. Keselamatan seharusnya membuat seseorang berbuat baik,
bukan otomatis berbuat baik. Tidak bisa dipungkiri bahwa manusia masih memiliki
kelemahan, sehingga berbuat baik tetap merupakan pergumulan sepanjang hidup.
Penyodoroan terjemahan yang Anda lakukan sebenarnya tidak memiliki signifikansi
apa-apa.
1. Dikatakan bahwa aku harus
memahami konteks bahasa Yunani, tapi B. Stefanus K. tidak memberi argumen bahasa
Yunani. So, what in the world is he talking about?
2. Nah, dalam jawaban diatas kita
melihat bagaimana B. Stefanus K.
TELAH MELAKUKAN KESALAHAN YANG AMAT SANGAT FATAL... SEKALI.
2.a. Kesalahan tersebut terdapat
dalam tulisannya yang berikut: "Memang
ini tidak bermakna otormatis seperti yang Anda sangka (sekali lagi Anda tidak
memahami dengan baik konsep Alkitab yang saya kemukakan), ini lebih bermakana
logis. Keselamatan seharusnya membuat seseorang berbuat baik, bukan otomatis
berbuat baik."
2.b. Diatas B. Stefanus K.
mengatakan bahwa orang yang selamat tidak otomatis berbuat baik. Jadi ada orang
selamat yang berbuat baik, ada orang selamat yang TIDAK berbuat baik (karena
perbuatan baik tidak otomatis. Pemahaman seperti itu adalah pemahan yang tidak sesuai
dengan doktrin Protestantisme, termasuk reformed, tentang Sola Fide dan peran
perbuatan
2.c. Lalu bagaimana pemahaman
Protestant, termasuk reformed, yang benar? Well, bagi Protestant pembenaran
terjadi satu kali saat seseorang mempunyai iman yang menyelamatkan. Iman jenis
yang menyelamatkan ini adalah iman yang sudah pasti membuahkan perbuatan baik.
Orang yang beriman jenis ini (jenis iman yang menyelamatkan) dia pasti
dimampukan berbuat baik. Perbuatan baik adalah BUAH dari iman yang
menyelamatkan tersebut. Nah, karena baik buruknya pohon diketahui dari buahnya,
maka begitu pula dengan iman. Seseorang dikatakan memiliki iman yang
menyelamatkan kalau dia melakukan perbuatan baik. Jadi ketika ada orang yang
mengklaim punya iman yang menyelamatkan tapi tidak berbuat baik, maka itu
tandanya dia tidak selamat (ie. imannya bukan jenis iman yang menyelamatkan).
Sebaliknya kalau ada orang beriman yang berbuat baik, maka dia bisa memastikan
diri bahwa dia memiliki iman yang menyelamatkan (dimana ini berarti dia sudah
pasti selamat).
The Westminster Confession of Faith
(1646AD) |
2.d. Berikut tulisan John Calvin (yang dipuja reformed):
John
Calvin - The Institute of Christian Religion (book 3, Ch 16) |
Menurut Calvin justifikasi SELALU DIIKUTI oleh pengudusan (sanctification).
Nah, dalam pengudusan inilah muncul perbuatan-perbuatan baik. Jadi menurut
Calvin orang yang dijustifikasi, pasti akan berbuat baik.
2.e. Singkatnya, menurut Protestant, orang yang sudah pasti selamat pasti
otomatis berbuat baik (karena orang yang sudah pasti selamat pasti telah
memiliki jenis iman yang menyelamatkan yang otomatis memampukan seseorang untuk
berbuat baik). Nah, inilah yang berkebalikan dari apa yang dikatakan B. Stefanus
K..
2.f. Kalau B. Stefanus K. tidak
percaya silahkan tanya Stephen Tong atau James White dan kroninya "apakah
benar keselamatan [ie. orang yang selamat] tidak otomatis berbuat baik?"
3.a. Selain melakukan kekeliruan
pemahaman terhadap ajaran Protestant sendiri (termasuk Protestant reformed), B.
Stefanus K. juga tampaknya keliru memahami sanggahanku atas penggunaan Ef
2:8-9. Dari tulisannya diatas, tampaknya si B. Stefanus K. mengira bahwa aku
menyanggah penggunaannya Ef 2:8-9 dengan menekankan Ef 2:10 (dimana ada kata
"pekerjaan baik" alias "good works"). Meski ini sering
ditekankan oleh apologist Katolik terhadap apologist Protestant namun,
sebagaimana bisa dilihat, aku sama sekali tidak menyinggung Ef 2:10
3.b. Sanggahanku atas penggunaan
Ef 2:8-9 hanyalah sekedar mengingatkan dirinya bahwa di ayat tersebut tidak
dikatakan bahwa perbuatan baik adalah "bukti" keselamatan. Dan
atas sanggahan ini B. Stefanus K. tidak menjawab. Dan tidak akan pernah bisa
karena toh di ayat tersebut memang sama sekali tidak di-indikasi-kan bahwa
perbuatan baik adalah "bukti" keselamatan.
Quote:Soal Matius 7, Anda bingung
dengan konsep otomatis dan resiprok yang Anda ciptakan sendiri. Orang yang
berbuat baik seharusnya melakukan perbuatan baik, namun tidak semua orang yang
melakukan perbuatan baik adalah orang yang selamat. Justru saya yang harusnya
bertanya mengapa dengan berbuat baik mereka tidak selamat? Kami memahami, dalam
kedaulatan-Nya, Allah bisa memakai siapa saja, termasuk orang yang tidak
diselamatkan. Lagipula, secara hakiki, mereka bukan pembuat kebaikan sejati,
sebab Tuhan menilai mereka sebagai pembuat kejahatan. Konteksnya jelas bahwa
perbuatan baik mereka hanya merupakan bentuk kemunafikan, bukan berdasarkan
relasi dengan Allah.1.a. Awalnya B. Stefanus
K. mengatakan, "Perbuatan baik merupakan
bukti bukan syarat keselamatan."
Ini tentunya sesuai dengan teologi Protestantnya bahwa perbuatan baik itu
menunjukkan bahwa iman yang dimilki seseorang adalah iman yang menyelamatkan.
1.b. Oleh karena itulah aku
merujuk kepada Matius 7:24 dimana ditunjukkan bahwa orang yang memanggil Yesus
"Tuhan" (berarti mereka ini mempunyai iman) dan berbuat baik,
ternyata tidak masuk surga. Padahal semestinya menurut teologi Protestant orang
yang beriman dan kemudian berbuat baik adalah orang yang punya iman yang
menyelamatkan. Dan oleh karena itu mestinya, menurut teologi Protestant, orang
ini selamat. Tapi toh di ayat Matius tersebut mereka tidak selamat.
1.c. Itulah argumenku atas Mat
7:24. Aku tidak berargumen bahwa, "orang
yang berbuat baik seharusnya melakukan perbuatan baik, namun tidak semua orang
yang melakukan perbuatan baik adalah orang yang selamat."
2. Bila seorang Katolik ditanya,
"mengapa dengan berbuat baik mereka
tidak selamat" maka jawabannya
adalah karena Katolik tidak meganut Sola-Sola-an. Maksudnya, kita tidak
menganut Sola Fide (Hanya Iman) ataupun Sola Perbuatan Baik. Bahkan doktrin
bahwa manusia bisa selamat karena Sola Perbuatan Baik sudah di-anathema Konsili
Trent:
THE ECUMENICAL COUNCIL OF TRENT |
Quote:Tanggapan:
Kisah ini harus dilihat dalam konteks yang benar. Legitimasi Kornelius menjadi
pengikut Kristus memang terjadi saat Petrus datang kepadanya, tetapi dalam
bagian awal nas ini dikatakan bahwa ia “takut akan Allah …. Dan senantiasa
berdoa kepada Allah,” jadi sebelumnya ia telah beriman lebih dulu kepada Allah
yang benar, dan di situ poinnya. Lagipula, turunnya Roh Kudus dalam pasal 10
harus dilihat dalam konteks perwujudan Kis. 1:8, soal menjadi saksi “sampai ke
ujung bumi” dan dimulainya suatu “umat Perjanjian Baru.”
1.a. Lagi-lagi B. Stefanus K. merujuk kepada "konteks." Seakan-akan
semua argumen bisa diselesaikan dengan melihat konteks. Seakan-akan hanya
argumen dia-lah yang sesuai konteks. Sedangkan argumen orang lain adalah
argumen yang tidak sesuai dengan konteks.
1.b. Argumen "konteks"
dia sebenarnya hanyalah penafsiran Protestantnya atas ayat-ayat itu. Jadi
sebenarnya yang ingin dia katakan adalah, "kamu keliru, ayat itu harus
dilihjat dari konteksnya, yaitu konteks yang sesuai dengan Protestant.
1.c. Faktanya, konteks sejati
ayat tersebut sebenarnya bertentangan dengan pemahamannya.
2.a. Disini kembali lagi kita lihat B. Stefanus K.
melakukan kesalahan fundamental. Apakah itu? Dia menganggap bahwa pada saat manusia dibenarkan/dijustifikasikan Roh
Kudus TIDAK LANGSUNG tinggal dalam diri manusia tersebut. Padahal, dalam
tata keselamatan Perjanjian Baru yang diakui
SEMUA UMAT KRISTEN TERMASUK REFORMED (bila B. Stefanus K. tidak
percaya silahkan tanya Stephen Tong atau James White dan kroninya), pada saat
manusia dibenarkan/dijustifikasikan Roh Kudus akan tinggal dalam dirinya.
Eph 1:13-14 (Revised
Standard Version) |
2.b. John Calvin pun, yang dipuja
reformed, mengajarkan bahwa pada saat seseorang dibenarkan/dijustifikasikan Roh
Kudus tinggal dalam diri orang tersebut. Pembahasan Calvin bisa dibaca di buku 3, bab 1, Institute of Christian
Religion. Silahkan dibaca semuanya
karena di-keseluruhannya tiulah Calvin dengan sejelas-jelasnya menunjukkan
bagaimana pada orang yang dibenarkan Roh Kudus dengan segera tinggal
didalamnya.
2.c. Nah, bagi Protestant
pembenaran atau justifikasi terjadi pada saat seseorang mendapatkan iman yang
menyelamatkan. Berarti kalau Kornelius sudah mempunyai iman karena dia takut
akan Allah (sebagaimana dikatakan B. Stefanus K.), maka seharusnya pada saat
itu pula Roh Kudus tinggal dalam diri Kornelius. Tapi menurut Kitab Suci, Roh
Kudus baru tinggal dalam diri Kornelius setelah Petrus datang dan memberitakan
injil kepadanya.
2.d. Ini berarti pada saat
Kornelius dikatakan "takut akan Allah" (Kis 10:2) dia BELUM
dibenarkan. Dia baru dibenarkan ketika Roh Kudus turun kepadanya (Kis
10:44-48). Nah, karena Kornelius baru dibenarkan saat itu, maka segala doa dan
perbuatan baiknya (Kis 10:2) dilakukan SEBELUM dia dibenarkan. Namun toh doa
dan perbuatan baik tersebut berkenan di hadapan Allah [Kis 10:4, 31]!
2.e. Oleh karena itu perkataan B. Stefanus K. sebelumnya bahwa "perbuatan baik ini terjadi setelah mereka dipilih menjadi umat
Allah" adalah keliru. (Patut dicatat bahwa ini memang teologi
Protestant. Yaitu bahwa perbuatan baik baru bernilai setelah orang dibenarkan.
Gereja Katolik sendiri mengajarkan bahwa perbuatan baik tetap bernilai entah
sebelum atau sesudah orang dibenarkan [bedanya, kalau seseorang yang sudah
dibenarkan melakukan perbuatan baik, maka dia akan mendapatkan hadiah surgawi.
Sementara kalau perbuatan baik dilakukan sebelum pembenaran, maka perbuatan
baik itu berfungsi menambah rahmat supaya orang tersebut sesegera mungkin masuk
ke proses pembenaran awal, yaitu pembaptisan]).
Quote:Tanggapan:
Sebenarnya saya juga bisa balik menuduh, karena Kaum Katolik sudah
diindoktrinasi gereja bahwa perbuatan baik itu perlu maka ketika menemukan ayat
yang jelas menyatakan bahwa perbuatan baik tidak menyelamatkan maka ayat itu
diabaikan atau dibuang begitu saja. Mungkin penjawab perlu membuktikan dimana
bagian kami tidak konsisten, sebab justru saya telah menunjukkan inkonsistensi
konsepsi Anda. Kembali kita lihat
ketidak-paham-an B. Stefanus K. terhadap ajaran Katolik.
1. Gereja Katolik mengajarkan
bahwa keselamatan hanya bisa didapat melalui rahmat Allah. Tidak satu pun yang
dilakukan manusia, baik beriman
maupun berbuat baik yang bisa mendatangkan baginya rahmat
pembenaran/justifikasi.
THE ECUMENICAL COUNCIL OF TRENT |
2.a. Lalu dimana peran "iman" dan "perbuatan" yang dalam
teologi Katolik, dan Kitab Suci, dipandang perlu? Ini dengan lengkap dijawab di
Sessi ke-enam Konsili Trent mengenai justifikasi. Tapi untuk singkatnya:
2.b. Iman dipandang perlu karena tanpa iman tidaklah mungkin kita menyenangkan
Allah (Ibr 11:6). Agar kita bisa dibenarkan, maka pada awalnya harus ada iman.
Sekalipun begitu, perlu diingat bahwa iman yang harus ada tersebut tidak
menyebabkan justifikasi. Penyebab justifikasi adalah rahmat Allah. Jadi,
khronologinya adalah: Allah, atas kehendak baikNya, berniat untuk
menjustifikasikan seseorang. Niat Allah ini tidak didasari oleh apapun
[termasuk apapun yang dilakukan manusia] kecuali kehendak baikNya tersebut.
Karena niat tersebut maka Allah memberi iman kepada orang tersebut, karena
untuk proses justifikasi awalnya harus ada iman (Ibr 11:6). Setelah iman ada
maka orang itu bisa dibenarkan dan pembenaran pertama kali ini terjadi saat
pembaptisan. (patut dicatat bahwa
ini adalah proses yang terjadi pada orang dewasa. Pada bayi prosesnya lain.
Bayi, yang tidak bisa punya iman, langsung dibaptis sehingga bayi tersebut
terbenarkan/terjustifikasi. Pada saat pembenaran tersebut "kebiasaan
iman" ["the habit of faith"] di-infusi-kan kepada si bayi.)
2.c. Sementara itu perbuatan baik dipandang perlu karena Tuhan memerintahkannya
(Mat 28:20; Yoh 14:15). Perbuatan baik ini, yang hanya bisa dilakukan dengan
rahmat Allah [yaitu perbuatan baik adikodrati, bukannya perbuatan baik
kodrati], akan semakin membenarkan kita (Yak 2:21) dan membantu kita mencapai
keselamatan sebagaimana dikatakan St. Petrus:
2Pet 1:5-11 (Revised
Standard Version) |
3. Semua skema ini konsisten
dengan semua ayat dan tidak ada yang ditolak dan dikontradiksi. Tidak seperti
Protestantisme.
4. Si B. Stefanus K. mengatakan
bahwa aku "perlu membuktikan dimana
bagian kami tidak konsisten."
Tulisan pajang lebar ini menunjukkan ketidakkonsistenan-ketidakkonsistenan
doktrin Protestant dengan Kitab Suci. Tidak hanya itu, aku juga menunjukkan
ketidakkonsistenan B. Stefanus K. dengan iman Protestant Reformed sendiri.
Quote:
DeusVult:
2. Penulis kemudian berusaha merekonsiliasikan Yak 2:24 dengan Rom 4:1-3.
Dikatakannya, "Paulus menyatakan secara eksplisit bahwa Abraham dibenarkan
melalui iman saja (tanpa perbuatan)" ini keliru karena kata "iman
saja" tidak ada di Rom 4:1-3.
Tanggapan:
Mungkin penjawab perlu memperbaiki penalaran berbahasanya. Konsep ini muncul
jelas dari pernyataan Paulus, ia mengontraskan iman dan perbuatan dalam konteks
keselamatan, jelas menunjukkan bahwa perbuatan yang menyelamatkan bagi Paulus
bukanlah jawaban, ia menunjukkan bahwa imanlah yang menyelamtkan. Saya rasa
lebih baik penjawab memahami lebih dulu makna dan retorika teks ini.
Iman memang menyelamatkan. Tapi
Paulus tidak mengatakan bahwa "iman saja" menyelamatkan.
Sampai B. Stefanus K. menemukan
frase "iman saja" yang katanya "eksplisit" di pernyataan
Paulus di Rom 4:1-3, maka sebaiknya dia tidak menyuruhku "memperbaiki penalaran berbahasanya" dan "memahami
lebih dulu makna dan retorika teks ini."
Quote:Tanggapan:
Sekali lagi, bagi saya, penjawab tidak memahami konsep yang saya ajukan dan
memutarbalik maksud saya (3a). Iman dalam konteks Paulus berbicara soal legal,
dalam artian status dibenarkan di hadapan Allah. Sementara iman yang
dikemukakan Yakobus merupakan iman yang justru akan dibuktikan dalam konteks
penghakiman akhir (bukan seperti yang Anda pahami dalam 3b). Yakobus menyatakan
bahwa pada penghakiman akhir, bila orang mengaku diri beriman namun tidak ada
buah dari iman itu, maka pada dasarnya iman itu merupakan iman yang mati. Ini
berarti, meminjam bahasa Paulus, pada dasarnya, ia merupakan orang yang tidak
memiliki iman dalam arti legal.
1. Menurut B. Stefanus K., aku
"tidak memahami konsep yang saya
ajukan dan memutarbalik maksud saya."
Padahal aku sudah menunjukkan kepadanya bahwa Paulus tidak sekedar berbicara
soal legal sebagaimana dia argumenkan tapi juga berbicara mengenai penghakiman
akhir, yang menurutnya merupakan konteks dari Yakobus (lihat 3.c. dimana bagian
ini dibahas). Dari sisi Yakobus aku juga menunjukkan bagaimana argumennya bahwa
Yakobus menggunakan konteks penghakiman akhir tidak bisa diterima (lihat 3.d.
dimana bagian ini dibahas). Jadi aku memahami argumennya dan telah
menyanggahnya ke akar-akarnya.
2. Dan karena di bagian ini si B.
Stefanus K. hanya mengulang kembali argumennya yang lama (bukannya meng-address
jawabanku atas arguemen tersebut) karena dia merasa aku tidak memahami
argumennya maka tidak ada yang lain yang bisa aku tambahkan (kecuali sekedar
memperjelas dan menunjukkan bahwa aku memahami argumennya dan telah
menyanggahnya di post sebelumnya).
Quote:Tanggapan:
Saya rasa saya sudah membahas hal ini, namun sepertinya tidak disimak. Konteks
ini harus dipahami dalam retorika Paulus. Ingat bahwa akhirnya Paulus
mengungkapan bahwa bila perbuatan menjadi tolok ukur maka tidak ada seorang pun
yang bisa diselamatkan (3:23). Karena itu, di tengah ketidakmampuan manusia
untuk selamat, Allah datang dan menyelamatkan manusia melalui iman (3:21-27).
Coba pahami berdasarkan konteks pembicaraan Paulus dan retorikanya.
1. Lagi-lagi disini si B. Stefanus K. menyebut "konteks" ini dan
"konteks" itu. Dia seharusnya menyadari bahwa konteks sejati Kitab
Suci tidak berpihak padanya.
2. Patut dicatat bahwa di jawaban
diatas si B. Stefanus K. sekali lagi mengulang argumen di tulisannya yang
pertama kali. Dia sama sekali tidak meng-address argumen-ku atas tulisannya
bagaimana Paulus juga berbicara mengenai pembenaran dalam konteks penghakiman
akhir (Rom 2:5-12). Dimana sebelumnya B. Stefabnus K. menyatakan bahwa Paulus
tidak berbicara mengenai pemebnaran dalam konteks penghakiman akhir.
Quote:Tanggapan:
Anda memahami Kitab Yakobus dalam konteks yang salah, itu merupakan pemerkosaan
terhadap makna teks Yakobus. Konteks Yakobus jelas menunjukkan penghakiman
ilahi, bila bukan, memangnya pengadilan mana yang bisa menghukum masalah iman
atau memandang muka?
1. Pengadilan yang juga bisa
menghakimi masalah iman adalah pengadilan Gereja (Mat 18:15-19, kata
"jemaat" di ayat tersebut berasal dari kata "ekklesia" yang
merupakan akar dari kata Portugis "iggreja" yang kemudian menjadi
kata bahasa Indonesia "gereja").
2. Masalah "memandang muka"
tidak berhubungan dengan suatu penghakiman yang tidak memandang muka (toh
pengadilan sekular sekalipun juga berprinsip tidak memandang muka, sebagaimana
disimbolkan sang Nona Keadilan yang matanya ditutup). Perkataan "memandang
muka" dituliskan Yakobus agar saudara-saudaranya tidak memandang muka (Yak
2:1, 9).
Quote:
Tanggapan:
Justru Anda yang tidak melihat makna teks dengan baik. Penjawab hanya berasumsi
bukan berargumen. Dikotomi ini memang konklusi dari teks (dan saya sudah
menunjukkannya), konteks pembicaraan iman mereka mengenai iman memang berbeda,
maka cobalah untuk melihat teks dengan jujur bukan dengan kacamata doktrin
gereja.
Dikotomi itu cuma ada karena
doktrin Protestant bahwa pembenaran itu HANYA satu kali dan HANYA oleh iman.
Dikotomi itu tidak akan ada kalau
B. Stefanus K. mengimani bahwa pembenaran bisa terjadi LEBIH DARI SATU KALI dan
bahwa PERBUATAN JUGA MEMBENARKAN. Dalam kerangka pikir ini tidak perlu ada dikotomi. Dan kerangka pikir inilah yang lebih
setia terhadap Kitab Suci karena tidak perlu menciptakan
dikotomi-dikotomi.
Quote:
Tanggapan:
Saya rasa jelas jawabannya, bagi kami ia pasti ke sorga. Roma 9 mengatakan
bahwa mereka (dalam arti umat pilihan Allah) disebut umat pilihan bahkan ketika
mereka belum tahu berbuat baik dan jahat (ay. 11). Di sini Paulus ingin
menunjukkan bahwa ketika mereka belum bisa berbuat apa-apa ternyata mereka
sudah dipilih, ini berarti tanpa perbuatan pun ternyata mereka sudah
diselamatkan sebab mereka sudah lebih dulu dipilih (dalam arti diselamatkan).
Cobalah pahami teologi Paulus dengan utuh, bukan asal comot.
Pertanyaan lanjutannya adalah: bila memang Abraham bisa masuk surga kalau
dia mati sebelum dia mengorbankan Ishak maka bukankah ini berarti bahwa
perbuatan Abraham (yang menggenapkan pembenarannya) menjadi tidak perlu
dilakukan? Berarti iman baraham TIDAK SEMPURNA karena tidak disempurnakan oleh
perbuatan (Yak 2:22)? Bukannya kalau begitu orang yang sudah benar tidak perlu
berbuat baik dan tidak perlu takut pembenarannya tidak tergenapkan oleh perbuatan
karena toh kalau mereka mati tanpa menggenapkan iman mereka dalam perbuatan,
mereka tetap ke surga?
Quote:
Tanggapan:
Saya rasa Anda harus memberikan bukti bahwa pembenaran terjadi lebih dari
sekali. Juga jelaskan apa makna perkataan Yesus: “sudah selesai!”Anda tidak
membantah argumen saya, hanya mengasumsikan salah, namun tidak menunjukkan
letak kesalahannya. Cobalah berdiskusi dengan ilmiah bukan dengan pola pikir
dogmatis. Bila Anda yakin teks Kitab Suci mendukung konsepsi Anda, buktikanlah!
1.a. Bukti pertama yang paling
nyata akan bahwa justifikasi/pembenaran terjadi lebih sekali terlihat dari
kisah Abraham yang dijadikan contoh oleh Paulus dan Yakobus. Paulus jelas-jelas
menyatakan bahwa Abraham dibenarkan saat Kej 15 (Rom 4:1-5) sementara Yakobus
mengatakan bahwa Abaraham dibenarkan juga pada Kej 22 (Yak 2:21-24). Dari sini
saja telah terlihat terjadi dua kali justifikasi/pembenaran. Hanya
Protestant-lah yang ngotot menafikan ayat Kitab Suci tersebut karena lebih
setia terhadap tradisi manusia.
1.b. Yang menarik Kitab Suci juga
mencatat peristiwa lain dimana Abraham juga dibenarkan. Yaitu di Surat Ibrani
bab 11 dimana dijelaskan tentang apa itu iman (Ibr 11:1-3) dan kemudian
diberikan contoh aplikasi iman oleh tokoh-tokoh iman (Ibr 11:4-40). Salah satu
tokoh iman yang dijadikan contoh adalah Abraham.
1.c. Di Ibrani bab 11 dikatakan bahwa Abraham melakukan tindakan iman pada ayat
11:8 (saat dia dipanggil Allah untuk meninggalkan tanah kelahirannya, tanah Ur,
yang makmur [lihat Kejadian bab 12]), lalu pada 11:9 (saat Abraham menjelajah
menuju ke tanah perjanjian bersama ank-anaknya [lihat dari Kejadian bab 12
sampai Abraham mati di Kejadian 24]), lalu pada 11:17 (saat Abraham mengorbakan
Ishak [lihat Kejadian bab 22]).
1.d. Nah, Yakobus mengatakan
bahwa Abraham dijustifikasi/dibenarkan saat mengorbankan Ishak. Sementara itu
di Surat Ibrani tindakan-tindakan iman Abraham pada 11:8-9 diparalelkan dengan
di 11:17 dimana Abraham mengorbankan Ishak. Ini berarti ketiga-tiganya adalah
sama-sama merupakan proses justifikasi/pembenaran! Belum lagi mengingat
pembenaran Abraham sebagaimana ditulis Paulus [Rom 4:1-4], sehinga berdasarkan
Kitab Suci Abraham dibenarkan sebanyak 4 kali!
1.e. Yang penting untuk dicatat
pula adalah pararelitas tindakan iman dan pengorbanan Ishak sekaligus
menunjukkan bahwa seseorang bisa dibenarkan atas dasar iman DAN atas dasar
perbuatan. Ini sudah sangat sesuai dengan ajaran Gereja Katolik.
2.a. Nah, dari pararelitas tiga
kisah Abraham di Ibrani 11 kita mengetahui bahwa setiap kali dikatakan "by
faith" ("karena iman") di bab tersebut, maka konteksnya adalah
pembenaran (lihat argumen 1.d. diatas).
2.b. Kesimpulan ini dikuatkan oleh kisah Nuh di Ibr 11:7 dimana "karena
iman," Nuh yang membangun bahtera disebutkan menjadi "an heir of the
righteousness which comes by faith" (dari Revised Standard Version,
sementara versi Indonesia, "menerima kebenaran sesuai imannya").
Padahal kata yang digunakan untuk "righteousness" dan
"kebenaran" adalah kata Yunani "dikaiosune" yang akar
katanya adalah "dikaio." Berarti jelas bahwa iman Nuh di Ibr 11:7
adalah iman yang membenarkan.
2.c. Dan sekali lagi kesimpulan
ini dikuatkan mengingat di Ibr 11:31 dikisahkan tentang iman Rahab si Pelacur.
Padahal di Yakobus 2:25 tindakan Rahab ini disebut sebagai tindakan yang
membenarkannya.
2.d. Jadi setiap tindakan iman yang
disebut di Ibrani bab 11 adalah tindakan iman yang menimbulkan pembenaran! Dari
sini muncul banyak konsekuensi yang menunjukkan bahwa pembenaran terjadi lebih
dari satu kali.
3. Berdasarkan kesimpulan 2.a.
sampai 2.d. diatas maka terlihat bahwa Musa juga dibenarkan sebanyak tiga kali
pada tiga kesempatan yang berbeda (Ibr 11:24, 27, 28).
4. Kitab Suci sendiri menunjukkan
bahwa justifikasi/pembenaran adalah suatu proses yang terjadi terus menerus,
bukannya hanya terjadi satu kali dan selesai (menurut Protestantisme
justifikasi terjadi satu kali saja, setelah itu yang terjadi adalah pengudusan
[sanctification] dan pengudusan ini
tidak berhubungan dengan keselamatan sebagaimana justifikasi, tapi cuma
menambah hadiah bagi mereka yang sudah selamat) :
Revelation 22:11 -
Revised Standard Version |
Kata
"righteous/justified/right" adalah terjemahan dari kata Yunani
"dikaio," yaitu justifikasi alias pembenaran. Dan dari sini kita
lihat bahwa orang yang dibenarkan/dijustifikasikan terus menerus membenarkan
dirinya bukannya berhenti sekali dan selesai.
Tanggapan:
Lho, Anda mengikuti konsep pembenaran yang dikemukakan orang Yahudi atau yang
dikemukakan Paulus? Gimana toh? Lagipula, bila memang konsep penghapusan dosa
ala Yahudi sudah cukup, untuk apa Yesus datang untuk mati bagi kita?
Buang-buang tenaga saja.
1. Si B. Stefanus K. rupanya lupa
argumennya sendiri. Masalahnya bukanlah apakah kematian Yesus merupakan sesuatu
yang "buang-buang tenaga saja" atau apakah "konsep
penghapusan dosa ala Yahudi sudah cukup."
Masalahnya adalah, dasar argumennya yang keliru tehadap Rom 2:6-11.
2. Bisa kita lihat kembali bahwa
ketika Rom 2:6-11 diajukan oleh pihak Katolik untuk membuktikan bahwa perbuatan
itu perlu, B Stefanus K. menjawab bahwa "perbuatan (dalam hal ini ketaatan terhadap Taurat) berperan dalam
keselamatan." Namun sayangnya "semua manusia tidak bisa memenuhi standar kebaikan yang dituntut
Allah ini."
3. Nah, atas pernyataan tersebut
maka aku menunjukkan bahwa Taurat tidak mengajarkan bahwa hanya yang bisa
melakukan semua hukum tanpa dosalah yang selamat. Karena toh di Taurat sendiri
ada berbagai petunjuk bagaimana seseorang bisa menghapuskan dosanya sehingga
dia kemudian bisa terus taat kepada Taurat sampai mati. Jadi untuk mematuhi
Taurat tidak perlu orang harus sempurna tanpa dosa.
4. Fakta diatas menggugurkan keberatan B. Stefanus K. bahwa Taurat tidak bisa
dilakukan dan oleh karena itu Taurat tidak bisa membenarkan. Faktanya, Taurat
bisa dilakukan (karena toh dosa tidak membatalkan ketaatan pada Taurat) dan
Taurat pun bisa membenarkan (Rom 2:13).
5.a. Disini kita bisa melihat
suatu kesalahpahaman klise atas perbedaan antara Hukum Taurat Perjanjian Lama
dan Hukum Perjanjian Baru. Di Kitab Suci sering dijelaskan ketidaksempurnaan
Taurat dan kesempurnaan Hukum Baru. Namun sedikit sekali umat Kristen (baik
Katolik maupun Protestant) yang memahami dimana bedanya, apa salah Hukum
Taurat, apa kehebatan Hukum Perjanjian Baru dan hal lain-lain yang berkaitan.
B. Stefanus K. menunjukkan pemahaman yang keliru atas
hubungan/interaksi/perbedaan kedua hukum tersebut. Kekeliruan yang juga
diyakini banyak umat Katolik dan umat Protestant lain.
5.b. Lalu apakah hubungan/interaksi/perbedaan
dari kedua hukum tersebut? Hal ini tidak akan dibahas karena terlalu panjang.
Tapi sebagai bacaan lebih lanjut, silahkan baca bagian
pertama dari buku kedua Summa Theologica, pertanyaan 98 sampai 108.
Tanggapan:
Saya rasa coba pahami dulu keseluruhan nas Gal. 5:1-14, beserta latar
belakangnya. Konteksnya jelas, salah satunya, soal perpecahan dalam jemaat
(6:1-10). Dalam pasal 4:21-31, Paulus menunjukkan bahwa mereka adalah anak-anak
Perjanjian yang tidak lagi hidup di bawah kuk perhambaan (5:1-14). Dan karena
itu seharusnya mereka hidup menurut roh, bukan menurut daging (5:16-26). Tetapi
nyatanya mereka masih hidup dalam perpecahan, iri hati, kedengkian, dsb, padahal
orang yang melakukan hal-hal ini tidak akan mendapat bagian dalam kerajaan
Allah (5:21). Sehingga di sini, Paulus sedang mengajak mereka merefleksi diri
mereka, terutama mengenai status keselamatan mereka. Jelas ayat ini tidak
menunjukkan signifikansi perbuatan baik dalam hal keselamatan melainkan
perbuatan baik sebagai sesuatu yang seharusnya inheren dalam keselamatan. Bila
penjawab merasa ini dogmatis coba paparkan konsep Anda
1. Kembali lagi kita diajak untuk
"melihat konteks."
2. B. Stefanus K. kemudian
berkesimpulan, "ayat ini tidak menunjukkan
signifikansi perbuatan baik dalam hal keselamatan melainkan perbuatan baik
sebagai sesuatu yang seharusnya inheren dalam keselamatan." Kesimpulan ini aneh bin ajaib. Kalau memang perbuatan baik
adalah sesuatu yang inherent dalam keselamatan (entah dari buku orang reformed
siapa dia mengambil gagasan ini) lalu mengapa sesuatu yang inherent tersebut
menjadi tidak signifikan? Dari seluruh nasehat Paulus agar seseorang berbuat
baik di Galatia bab 5, menurut B. Stefanus K. perbuatan itu tidak signifikan?
Lalu mengapa Paulus bersusah payah menasehatkan umat untuk berbuat baik?
Quote:Soal 1 Kor. 13:13 yang Anda
kutip, keutamaan kasih di sini bukan dalam arti kedudukan dalam keselamatan,
tapi dalam arti keabadiaan. Iman dan pengharapan memang akan berakhir ketika
kita di sorga, sebab apa gunanya iman dan pengharapan ketika kita sudah bertemu
dengan Tuhan. jadi, Anda salah comot ayat.
1. Tidak disebutkan bahwa keutamaan "kasih" di 1Kor 13:13 adalah
karena "kasih"-lah yang masih akan ada di surga.
2. Sebaliknya di 1Kor 13:2
jelas-jelas ditunjukkan, DALAM KONTEKS DUNIA, bahwa kalau seseorang mempunyai
iman yang bisa memindahkan gunung, tapi tidak mempunyai "kasih" maka
dia adalah "nothing" alias "bukan apa-apa."
3. Benar-benar gegabah si B.
Stefanus K. untuk TIDAK menempatkan "kasih" diatas segala-galanya
termasuk dalam keselamatan.
Tanggapan:
Ayat ini harus dilihat dalam terang yang benar. Ayat ini berbicara mengenai
kasih persaudaraan, sebuah tema yang ada dalam sepanjang Alkitab. Mengapa harus
ada kasih itu? Yohanes memberikan jawaban terbaik, “Sebab Allah adalah kasih”
(1Yoh. 4:8). Dan dalam bagian sebelumnya ia berujar, “barang siapa tidak
mengasihi, ia tidak mengenal Allah.” Mengenal di sini jelas bukan dalam artian
“tahu” tapi jelas terkait “relasi.” Ingat bahwa kata “tahu” (Yun. Ginosko) juga
berarti relasi intim. Sehingga kesimpulannya, mengapa seorang yang tidak
mengasihi dihukum oleh Allah? Sebab pada dasarnya ia tidak mengenal Allah. saya
rasa jawabannya jelas, dan sekali lagi, tidak ada unsur perbuatan di sini.
1. Cara argumen si B. Stefanus K.
benar-benar membuat frustrasi. Bagaimana mungkin dari suatu penafsiran yang
tidak ada kaitannya dengan permasalahan yang aku ajukan [ie. bahwa menurut Mat
25 31-46 perbuatan menjadi penentu keselamatan] kemudian muncul kesimpulan
gampangan yang menyanggah perlunya perbuatan di Mat 25:31-46 sebagaimana aku
ajukan? Benar-benar aneh bin ajaib.
2. Sepertinya modus operandi B.
Stephen K. adalah sebagai berikut: Ketika diberi ayat yang menunjukkan
kekeliruan Protestantisme dia kemudian mencoba mengaburkan isu dengan merujuk
ke konteks-konteks. Lalu dia kemudian membuat suatu penafsiran irelevant dan
tiba-tiba muncul kesimpulan yang menunjukakn bahwa penafsirannya sesuai konteks
dan membuktikan bahwa Protestant tidak keliru.
3. Dan sekali lagi, B. Stefanus K.
masih gagal menjawab mengapa di
Mat 25:31-46 perbuatan menjadi penentu keselamatan seseorang!
Untuk fokusnya, mungkin lebih baik
kita berfokus pada satu persoalan lebih dulu. Saya rasa konsep sola fide bukan
konsep utama yang dipertentangkan, jadi mungkin untuk sementara kita berdiskusi
lebih dulu soal sola scriptura, baru setelah itu soal topik lain. Karena
pembahasan topik lain akan berdasar pada sejauh apa otoritas Kitab Suci
diterima.
1. Aku sendiri tidak masalah
apakah mau Sola Scriptura dulu atau Sola Fide dulu atau bersamaan.
2. Dan dalam diskusi dengan Protestant aku hanya menggunakan Kitab Suci tanpa
merujuk kepada otoritas Gereja Katolik. Sementara rujukan kepada Bapa Gereja
hanya untuk menunjukkan bahwa iman umat Kristen awal adalah sama dengan iman
Gereja Katolik.
3. Justru B.Stefanus K. lah yang
tidak mendasarkan pada otoritas Kitab Suci karena dia secara terus menerus
mengkotak-kotakkan Kitab Suci sesuai doktrin Protestantnya. Kitab Suci dibuat
supaya cocok dengan doktrin Protestant.
Tanggapan:
Tentu tidak, sebab yang mereka suruh taati ialah pengajaran yang berasal dari
mereka bukan penafsiran atas ajaran mereka dari bapa gereja. Lalu, darimanakah
sumber utama pengajaran mereka, jelas sumber tertulis yang mereka tuliskan
sendiri, yakni Alkitab. Kami menerima tradisi selama tradisi itu tidak
betentangan dengan tradisi tangan pertama, yakni Alkitab.
1. Disini kita lihat
kekurangpahaman B. Stefanus K. terhadap iman Katolik ataupun bahkan iman para
Bapa Gereja Awal.
2.a. Yang dimaksud "Tradisi
lisan" (atau seringkali disebut "Tradisi" saja) adalah apa saja
yang diajarkan oleh para rasul BUKAN PARA BAPA GEREJA. Sebagaimana ditulis di
2Tes 2:15, para rasul mengajar secara tertulis dan lisan. Dan keduanya masih
ditransmisikan sampai sekarang. Untuk pengajaran tertulis bentuknya adalah
Kitab Suci. Sementara untuk ajaran lisan (alias "Tradisi") yang
sifatnya "lisan" harus dilihat dari tulisan para Bapa Gereja,
keputusan-keputusan Gereja, serta tindakan-tindakan Gereja.
2.b. Tulisan Bapa Gereja Awal BUKAN Tradisi lisan. Tapi dari tulisan tersebut
kita bisa meng-extract Tradisi Lisan. Oleh karena itu perlu peran Gereja yang
tidak bisa salah ("... the church of the living God, the pillar and
bulwark of the truth" - 1 Tim 3:15) untuk memilah-milah mana yang
merupakan Tradisi lisan dari tulisan para Bapa Gereja Awal.
3. Sekali lagi, para rasul
mengajar secara Lisan dan Tertulis. Kedua bentuk pengajaran tersebut masih ada
dan diteruskan sampai sekarang. Nah, sementara Protestant cuma memilih yang
satu, Gereja Katolik memeluk kedua-duanya karena keduanya sama-sama pewartaan
Sabda Allah dari para rasul. Satu saja tidak menghasilkan Sabda Allah yang
utuh.
Quote:
Tanggapan:
Saya ras bila penjawab membaca dengan baik, dia akan mengerti bahwa maksud
distorsi di sini dalam artian salah tafsir. Dalam hal ajaran tentu tidak
mungkin, sebab penulis menerima langsung dari Tuhan. Lebih lagi, mereka
diilhami Tuhan ketika mereka menulis. Lalu apakah teks Alkitab kita bisa
dipercaya? Saya rasa Anda perlu mempelajari studi Kritik Tekstual dan historika
tektual untuk mengetahui kredibilitas teks Akitab yang luar biasa.
1. Jadi distorsi yang dimaksudkan B. Stefanus K. adalah "salah tafsir"
2. Namun toh problema-nya tetap
sama. Kalau memang "untuk sesuatu yang berbentuk tulisan saja bisa terjadi
distorsi [alias 'salah tafsir']"
lalu bagaimana kita yakin terhadap kredibilitas tolak ukur yang bisa "salah tafsir" ini?
Quote:
Tanggapan:
Tentu saya mengimani pemeliharaan berita tersebut bila penulisnya tetap hidup
sampai saat ini, sebab ia bisa menjadi penguji benar tidaknya suatu ajaran.
Kisah para patriakh memang diteruskan melalui tradisi lisan, tetapi ingat siapa
penulisnya? Musa. Seorang yang menerima wahyu langsung dari Allah.
1. Kalau penulis suatu ajaran
harus hidup untuk mengkonfirmasi kebenaran ajarannya maka bukannya kredibilitas
Kitab Suci, tidak hanya kredibilitas Tradisi Lisan, patut dipertanyakan?
Sehingga untuk mengkonfirmasi apakah manuskrip kitab Kejadian ini yang benar
atau yang itu yang benar (atau bahkan apakah Kitab Kejadian itu sendiri adalah
kitab yang benar) si penulis harus hidup untuk ditanyai.
2. Si B. Stefanus K. sendiri
pasti memiliki kitab Kejadian di Alkitabnya. Lalu darimana dia bisa
mengkonfirmasi bahwa kitab itu layak masuk ke Kitab Suci sementara penulisnya
tidak ada untuk ditanyai?
Quote:Bila demikian mengapa Anda
tidak menuduh Musa seorang yang lemah iman? Mengapa ia menuliskan wahyu yang ia
terima? Tidak percayakah ia akan penjagaan Allah terhadap kebenaran-Nya?
Sedangkan bagaimana tradisi lisan sekarang? Memang siapa bapa gereja yang
berani mengklaim tulisannya diilhamkan Allah? Justru bila iman Anda besar
mengapa perlu Alkitab atau tradisi tertulis dari bapa-bapa gereja? Justru
karena tidak memadainya tradisi lisan lah maka penulis Alkitab menuliskan
firman yang mereka terima. Saya rasa ini jelas sekali.
1.a. Si B. Stefanus K. tampaknya
mengira bahwa Musa adalah seorang Protestant Sola Scripturist yang hanya
mewariskan Tradisi tertulis, padahal Musa juga mewariskan Tradisi Lisan. Jadi
Musa punya iman bahwa Allah akan memelihara Tradisi tertulis darinya DAN
memeilihara Tradisi lisan darinya.
1.b. Salah satu Tradisi lisan dari Musa terlihat di 2Tim 3:8:
2Tim 3:8 -
Revised Standard Version |
Siapakah si Jannes dan Jambres
yang menentang Musa? Silahkan cari di seluruh Perjanjian Lama maka nama
tersebut tidak akan pernah disebut. Namun kita tahu bahwa Jannes dan Jambres
adalah dua penyihir Firaun yang bertanding "sihir" dengan Musa dan
Harun (Keluaran 7:8-13).
1.c. Darimana Paulus tahu nama
kedua orang itu padahal nama tersebut tidak disebutkan di Perjanjian Lama mana
pun? Tentunya dari Tradisi lisan.
1.d. Masih banyak contoh Tradisi
lisan dari jaman musa lainnya yang tampil di Perjanjian Baru. Namun untuk
sementara, satu itu saja dahulu.
2. Klaim seseorang bahwa
tulisannya di-ilhami Allah tidak membuktikan apa-apa. Karena toh Mohammad,
Joseph Smith, dan lain-lain juga mengklaim bahwa tulisan mereka di-ilhamkan
Allah.
3. Yang di-klaim para Bapa Gereja Awal adalah agar ajaran para Bapa Gereja
harus digunakan sebagai rule of faith [regula
fidei]. Ada banyak pernyataan seperti in tapi aku akan kutipkan dua saja.
Dari St. Athanasius (296-373AD) dan dari Konsili Ekumenis Chalcedon (451AD)
"We are PROVING
that THIS view has been TRANSMITTED from FATHER to FATHER, but ye, O modern
Jews and disciples of Caiaphas, how many FATHERS CAN YE ASSIGN to your
phrases? Not one of the understandings and wise; for all abhor you,
but the devil alone; none but he is your father in this apostasy, who both in
the beginning sowed you with the seed of this IRRELIGION, and now persuades
you to slander the ECUMENICAL Council, for committing to writing, not YOUR
doctrines, but that which from the BEGINNING those who were eyewitnesses and
ministers of the Word have handed down to us. For the faith which the COUNCIL
has confessed in writing, that is the faith of the Catholic Church; to assert
this, the BLESSED FATHERS so expressed themselves while condemning the Arian
heresy..." - De Decretis 27 |
4. Tradisi lisan SAJA jelas tidak
memadai. Harus ada Tradisi Tertulis. Karena memang di 2Tes 2:15 diajarakan
untuk mematuhi yang lisan dan yang tertulis. Gereja Katolik tidak Sola Tradisi,
juga tidak Sola Scriptura. Baik Sola Tradisi maupun Sola Scriptura (sebagaimana
di-iman-i Protestant) adalah ajaran yang bertentangan dengan Kitab Suci
sendiri.
Tanggapan:
Sepertinya Anda tidak memahami dunia Perjanjian Baru dan latar belakangnya
dengan baik. Cobalah belajar dulu. Surat 2 Tesalonika muncul karena jemaat
salah memahami pesan yang disampaikan dalam 1 Tesalonika. Lagipula, sebagaimana
kelemahan jemaat Tesalonika sebagai manusia yang tidak diilhamkan, maka kami
juga tidak mempercayai tradisi bapa gereja selama mereka belum diuji dengan
tardisi yang diilhamkan, yakni Alkitab, sebab bapa gereja juga tidak
diilhamkan.
1. Kalau masalah di-ilhamkan, toh Mohammad juga meng-klaim tulisannya
di-ilhamkan.
2. Dan Tradisi tidak berasal dari para Bapa Gereja, tapi berasal dari
para rasul yang diilhami. B. Stefanus K. sebaiknya segera memahami point
penting ini.
Tanggapan:
Saya tidak menulis kata “saja,” tetapi cukup. Anda terlalu melebih-lebihkan.
Paulus tidak menyebut adanya tradisi lisan di sana, padahal dalam banyak bagian
ia juga menyebut tradisi lisan. Bila demikian, jelas bahwa untuk pembentukan
kehidupan, keselamatan, doktrin dan moral, Alkitab lah yang berperan, bukan
tradisi lisan. Tradisi lisan tidak disebut sebagai diilhamkan maka keyakinan
kami pasti bisa salah. Tetapi ketika tradisi lisan itu dituliskan oleh para
rasul dan menjadi Kitab Suci, maka tradisi itu tidak bisa salah, sebab yang
diilhamkan Allah ialah tulisannya (2Tim. 3:16).
1. B. Stefanus K. berkata, "Paulus tidak menyebut adanya tradisi lisan di sana." Well, so what kalau Paulus tidak menyebut tradisi lisan di
ayat tersebut? Toh masih ada ayat-ayat lain misalnya:
2Thess 2:15 -
Revised Standard Version |
Nah, apakah si B. Stefanus K. akan teriak "konteks-konteks" lagi?
Coba kita lihat nanti.
Tanggapan:
Pertama, harus dilihat bahwa konteksnya ialah tradisi lisan dari para rasul.
Berarti tradisi lisan yang diterima harus dari para rasul langsung bukan dari
bapa gereja, sebab mereka bukan saksi mata langsung kehidupan Yesus. Coba
tunjukkan tradisi lisan dari para rasul yang masih ada, selain dalam Alkitab.
Bukan yang dari bapa gereja. Kedua, yang tidak bisa salah, sebab diilhamkan
ialah tulisannya. Apakah ajaran para rasul bisa salah? Ada kemungkinan bisa.
Lihat bagaimana Paulus menegur Petrus atas sikapnya yang munafik. Mungkin Anda
beragumen itu merupakan sikap moral Petrus? Namun penting diingat bahwa sikap
moral seorang pemimpin juga merupakan ajarannya terhadap pengikutnya.
1. Sekali lagi aku tegaskan dan jelaskan bahwa Tradisi lisan yang dimaksud
Gereja Katolik adalah Tradisi Lisan yang berasal dari para rasul. Bukan dari
Bapa Gereja.
2. Tradisi lisan yang masih ada
selain di Alkitab adalah kanon Kitab Suci.
3. Ajaran rasul mana yang bisa
salah? Sebaiknya B. Stefanus K. bertanya kepada Stephen Tong atau James White
dan kroninya apakah ajaran rasul bisa salah. Tampaknya dia sendiri juga tidak
pasti karena dia menulis "ada
kemungkinan bisa."
4. Teguran Paulus terhadap Petrus
toh bukan karena ajaran Petrus yang salah, tapi karena tindakan Petrus yang
tidak sesuai dengan ajarannya sendiri (karena justru Petrus-lah yang menerima
wahyu dan mengajarkan bahwa apa yang haram sudah tidak haram lagi [Kis
10:9-16]).
Quote:
Tanggapan:
Tidak, juga umat Kristen awal membaca Kitab Suci PL bukan? Lagipula, seperti
sudah saya jelaskan, apa gunanya Alkitab bila para nabi dan rasul masih hidup?
Saya pun mengamini bahwa mungkin Alkitab tidak dibutuhkan bila Musa sampai
Yohanes masih sehat saat ini. Justru karena para rasul sudah tidak lagi ada,
maka kita membutuhkan ajaran yang murni dari mereka dalam bentuk tulisan. Juga,
tradisi lisan tidak memungkinkan menjadi penyampai kebenaran sebab manusia
memiliki kecenderungan mengubah, menambah atau mengurangi isi berita. Sebuah
pertanyaan sederhana, bila memang para rasul merasa tradisi lisan sudah cukup,
mengapa mereka menuliskan Alkitab? Jawabnya sederhana, karena Allah sendiri
mengehndaki adanya tradisi tertulis (Kell. 24:4; Ul. 28:69; Ul. 31:26; Yos.
24:25-26, cf. 1:7; 1Sam. 10:25; Yes. 8:1; 30:8; Dan. 9:2; Yoh. 16:13, cf.
17:17, dst). Jelas bahwa Allah ingin supaya wahyu-Nya ditulis dalam Kitab Suci,
bukan tradisi ekstra-biblikal. Mengklaim bahwa semua wahyu Allah tidak ditulis
berarti sama sama saja menganggap para nabi dan rasul tidak taat terhadap Allah
dengan mengurangi wahyu-Nya. dan saya rasa ini konsep yang keterlaluan.
1. Bisa ditanyakan ke B. Stefanus K. apakah Sola Scriptura bisa dipraktekkan
HANYA dengan Perjanjian Lama? Kalau bisa, mengapa dia tidak buang Perjanjian
Baru dari Alkitabnya?
2. Kita tidak membicarakan jaman
ketika para rasul masih hidup. Tapi jaman setelah rasul terakhir mati (ie.
Yohanes), yaitu jaman setelah 100AD. Dan faktanya, sebagaimana telah aku tulis,
di jaman ketika mayoritas umat Kristen tidak bisa membaca dan tidak punya
Alkitab dengan lengkap, iman mereka justru lebih kuat daripada kita-kita
sekarang yang memble-memble.
3. Tulisan B. Stefanus K. bahwa
"tradisi lisan tidak memungkinkan
menjadi penyampai kebenaran sebab manusia memiliki kecenderungan mengubah,
menambah atau mengurangi isi berita"
telah melalaikan fakta bahwa kisah tentang Adam, Nuh, Abraham, Ishak, Yakub
diteruskan secara lisan dari orang ke orang sampai akhirnya pesan lisan itu
sampai kepada Musa untuk kemudian dituliskan. Jadi kalau Tradisi lisan memang
tidak memungkinkan untuk menjadi penyampai kebenaran, maka sebaiknya kisah
tentang Adam, Nuh, Abraham, Ishak, Yakub dll dibuang dari Kitab Suci.
Bagaimana?
4. Dan atas pertanyaan B.
Stefanus K., "bila memang para rasul
merasa tradisi lisan sudah cukup, mengapa mereka menuliskan Alkitab," aku sekali lagi akan menegaskan bahwa GEREJA KATOLIK TIDAK
MENGANUT SOLA TRADISI. GEREJA KATOLIK TIDAK PERNAH MENGAJARKAN BAHWA TRADISI
SAJA CUKUP. BAIK KITAB SUCI DAN TRADISI HARUS ADA. GEREJA KATOLIK TIDAK
MENGAJARKAN SOLA TRADISI ATAUPUN SOLA SCRIPTURA!
Quote:
Tanggapan:
Konsep ekspilisit mengenai pengilhaman Alkitab memang muncul jelas di sini,
tetapi dalam bagian lain jelas melimpah ruah. Misalnya, formula pengutipan
rasul Matius terhadap PL (dengan demikian genaplah nas yang berkata, dsb). Ini
menunjukkan bahwa penulis Alkitab menganggap Kitab Suci sebagai otoritas
mereka. Bahkan Yesus ketika dicobai tidak mengutip dari tradisi lisan tetapi
dari Kitab Suci. Sedangkan konsep yang diduga “mengesahkan” Petrus hanya muncul
sekali. Bahkan menariknya, ayat ini tidak muncul bahkan dalam Injil Markus,
Injil yang merupakan catatan kotbah Petrus.
Simple saja, B. Stefanus K.
menerima otoritas ayat Mat 16:18 yang diilhami Allah atau tidak? Kalau memang
ayat itu dipertanyakan, silahkan si B. Stefanus K. membuangnya.
Quote:
Tanggapan:
Ayat yang diajukan hanya menunjukkan bahwa Yesus lah yang menjadi penguasa
gereja selama-lamanya, bukan Petrus. Jadi bukan soal suksesi tapi soal
kekekalan pemerintahan Allah. Coba cari ayat yang lebih tepat, penjawab salah
ayat.
Argumennya adalah sebagai berikut: karena Gereja Yesus akan ada selama-lamanya,
maka tentunya orang-orang yang dipercayai Yesus untuk menggembalakan
domba-dombaNya di Bumi harus ada terus sampai selamanya. Masalahnya usia
manusia tidak selama-lamanya. Oleh karena itu perlu ada pengganti yang punya
otoritas sebagaimana orang yang dipercayai Yesus tersebut.
Quote:
Tanggapan:
Memang Petrus menjadi primus inter pares, tetapi tetap tidak ada indikasi bahwa
ia menjadi “tuhan” kecil. Kunci di sini bukan dalam arti kekuasaan misterius
dari Allah melainkan dalam konteks keselamatan oleh karena pemberitaan Injil.
Ingat juga bahwa setelah Yesus memujinya, dalam perikop selanjutnya, ia dihujat
oleh Yesus sebagai “iblis” (ay. 23). Dalam Kisah Rasul, dia diutus oleh para
rasul (Kis. 8; mengapa “tuhan” bisa diutus rasul lain?). Dia juga masih harus
mempertanggungjawabkan tindakannya (Kis. 11), bila ia adalah pengganti Tuhan,
mengapa tindakannya tidak di take it for granted? Dalam kasus Kis. 15, yang
memiliki peran besar bukanlah dia, melainkan Yakobus. Bahkan dalam Galatia,
diceritakan bahwa “tuhan” ini ditegur oleh Paulus. Mengapa demikian?
1. Siapa juga yang bilang bahwa
Petrus menjadi "tuhan kecil?" Bukannya yang menjadi "tuhan
kecil" adalah para Protestant yang bisa menafsirkan Kitab Suci sekehendak
hatinya dan mencari jemaat.
2. Sekalipun Petrus dihujat, tapi
toh dia tetap dipercaya untuk menggembalakan domba-dombaNya. Jadi tampaknya
Yesus, sang Allah, lebih yakin terhadap Petrus daripada si B. Stefanus K.
Mungkin B. Stefanus K. merasa dia lebih paham Petrus daripada Yesus. Nah,
sekarang siapa yang menjadi "tuhan kecil?"
3.a. Mengenai Kis 15. Dalam konsili tersebut kita lihat bahwa pada awalnya
banyak terjadi perdebatan antara para rasul dan tetua (Kis 15:6-7). Namun
setelah Petrus BERDIRI dan mengemukakan pendapatnya SEMUANYA DIAM (Kis 15:12).
Ini menunjukkan otoritasnya untuk menghentikan perdebatan antara sesama rasul
dan juga antar tetua. Hal ini juga terjadi di saat pemilihan Yudas. Pada
peristiwa itu Petrus BERDIRI dan memimpin jalannya pemilihan pengganti Yudas.
3.b. Kalau dikatakan Yakobus mengambil peran besar, lalu kenapa bukan dia yang
menghentikan perbedatan? Lagipula, keputusan Yakobus adalah keputusan yang
segaris dengan Petrus. Yakobus tidak menambahkan hal yang berbeda dari Petrus.
4.a Petrus bukan "tuhan" karena itu tidak masalah baginya untuk
ditegur. Petrus ditegur Paulus karena dia tidak melakukan apa yang dia sendiri
ajarkan.
4.b. Paus juga bukan "tuhan" yang tidak boleh ditegur (tapi jangan
sembarang negur).
Quote:Ya, para rasul mengganti
kedudukan Yudas dengan “seorang yang datang berkumpul dengan para murid selama
Tuhan Yesus bersama-sama dengan mereka.” Nah, siapakah di antara bapa gereja
yang memenuhi kriteria ini? salah satu syarat kerasulan ialah seorang saksi
abad pertama tentang kebangkitan Kristus (bnd. Kis. 1:22; 1Kor. 9:1; 15:5-8).
Karena itu, tentu tidak akan ada suksesi apostolik pada siapaun termasuk pada
paus, sebab mereka bukan saksi mata kebangkitan Kristus.
1. Kata yang digunakan digunakan di Kis 1:20 adalah "episkope" alias
"bishoprick" alias "uskup:"
Acts 1:20 20
For it is written in the book of Psalms, Let his habitation be desolate, and
let no man dwell therein: and his bishoprick let
another take. |
Dan kita lihat bahwa Uskup-uskup
memang bisa dipilih sebagaimana tertulis di 1Tim 3:1-7 dan Ti 1:7-8.
Kriteria-kriteria Uskup juga sudah disebut disitu. Oleh karena itu ayat-ayat
ini menunjukkan adanya suatu kepenerusan yang apostolik. Kepenerusan yang
berawal dari para rasul ke para suksesor mereka.
2. Paulus dan Barnabas disebut rasul (Kis 14:13). Padahal mereka tidak pernah
bersama dengan para rasul sejak pembaptisan Yesus sampai kebangkitanNya.
3. Tulisan dari J. N. D. Kelly yang Protestant:
"[W]here in
practice was [the] apostolic testimony or tradition to be found? . .
. The most obvious answer was that the apostles had committed it orally to
the Church, where it had been handed down from generation to generation. . .
. Unlike the alleged secret tradition of the Gnostics, it was entirely public
and open, having been entrusted by
the apostles to their successors, and by these in turn to those who
followed them, and was visible in the Church for all who cared to look for
it" (Early Christian Doctrines,
37). |
Quote:Lagipula, coba pikirkan
setelah Petrus mati (sekitar tahun 60’an), apakah penggantinya lebih “berkuasa”
daripada Rasul Yohanes yang masih hidup sampai tahun 90’an? Padahal Yohanes
merupakan seorang rasul dan salah satu sokoguru jemaat. Sekali lagi, tidak ada
bukti bahwa otoritas Petrus ditransmisikan pada penerusnya. Yang diterukan
ialah berita kebenarannya bukan kedudukannya.
Tepat sekali! PENGGANTI PETRUS
LEBIH BERKUASA ATAS GEREJA DARIPADA YOHANES KETIKA YOHANES SENDIRI MASIH HIDUP!
Berikut apa yang aku tulis dahulu:
DeusVult Perhatikan tanggal pemerintahan Paus supaya tahu ke-kuno-an
dari ketetapan-ketetapan berikut:
|
Tanggapan:
Anda salah memahami lagi. Saya tidak mengatakan harus ada paralelnya, tetapi
apakah ide itu dimunculkan hanya sekali atau tidak? Bila dimunculkan hanya
sekali harus ditaati, mengapa Anda tidak mencuci kaki seperti yang Yesus
lakukan? Mengapa Anda tidak melakukan cium kudus seperti yang diajarkan Paulus?
Kita harus berhati-hati terhadap ide yang dimunculkan hanya sekali, bahkan
tidak mendapat perhatian dari yang bersangkutan sendiri.
1. Bisa ditanyakan kepada B. Sefanus K.: Dimana diajarkan bahwa ide yang
dimunculkan sekali tidak harus ditaati?
2. Cuci kaki dilakukan umat
Katolik pada hari Kamis Putih.
3. Tentang cium kudus. Cium kudus
tidak hanya terdapat di satu ayat saja tapi lebih dari satu ayat (Rom 16:15;
1Kor 16:20; 2Kor 13:12; 1Tess 2:56; 1Pet 5:14). Praktek memang dilakukan Gereja
Katolik. Bahkan tercatat kisah dimana St. Hugh dari Lincoln bersikeras memegang
dan menggoncangkan mantel Raja Richard I dari Inggris sampai sang raja kemudian
tersenyum dan memberi ciuman bagi sang santo sebagaimana seharusnya seorang
saudara Kristen. Dalam masa sekarang ciuman hanya diberikan pada upacara khusus
seperti penahbisan dan dilakukan antar imam/diakon.
Quote:
Tanggapan:
Argumen ini tidak jelas maksudnya. Petrus memang menjadi seorang yang berperan
dalam pendirian gereja, tetapi bukan menjadi “tuhan” gereja. Gereja tidak
pernah dikaitkan dengan Petrus, gereja tidak disebut jemaat Petrus tetapi
jemaat Allah. Asumsi penjawab tidak membutikan apa-apa. Lagipula gereja yang
dimaksud Yesus ialah gereja secara umum (orang-orang yang beriman kepada-Nya),
bukan gereja di Roma.
1. Siapa juga yang bilang bahwa
Petrus dijadikan "'tuhan' gereja?"
2. Argumen tersebut kurang jelas
karena seharusnya B. Stefanus K. menyertakannya dengan bagian bawahnya. Tapi
dia membahasnya terpisah. Lengkapnya adalah seperti ini:
DeusVult: Kedua
hal tersebut dikaitkan dengan
fakta bahwa Petrus diberi amanat untuk menggembalakan domba Yesus dan fakta
bahwa harus ada kepenerusan dalam Gereja Kristus sampai akhir jaman,
menunjukkan adanya suatu institusi yang otoritatif (dan tak-bisa-salah
mengingat 1Tim 3:15) bagi umat Kristen. |
Jadi, sebagaimana aku juga tulis,
paragraph diatas dikaitkan dengan fakta di paragraph dibawahnya.
Quote:
Tanggapan:
Lompatan logika penjawab terlalu absurd. Dalam jemaat mula-mula tidak ada model
institusi terpusat seperti yang Anda bayangkan. Ingat bahwa sistem kepemimpinan
terpusat baru ada pada masa Konstantin. Sebelum Konstantin dan Agustinus gereja
masih bersifat lokal. Kesatuan gereja sebelum masa ini (termasuk pada zaman
bapa-bapa gereja seperti Ireneus, Cyprian, dan Tertulian) hanya dalam bentuk
kesatuan pengakuan iman. Konsili ekumenikal pertama, yakni Nicea, baru
terlaksana pada tahun 325 M dan pada saat itu pun tidak ada kesatuan organisasi
gereja. Lebih lanjut, kesatuan gereja yang diklaim berada di bawah kepausan
pada dasarnya terbentuk pada masa Paus Leo 1 (461 M). Semua rasul ada dalam
kedudukan yang setara. Tiap gereja lokal memiliki otoritas sendiri-sendiri.
1.a. Diatas sudah disajikan
tindakan Paus Clement yang menunjukkan sistem hierarkhi yang berpusat di Roma.
2. Berikut adalah berbagai kutipan dari Bapa Gereja Awal sebelum 325Ad yang
menunjukkan Roma sebagai pusat Gereja Kristus, perhatikan tanggal-tanggalnya:
Dionysius
of Corinth "Today we have observed the Lord’s holy day, in which we have read your letter [Pope
Soter]. Whenever we do read it [in church], we shall be able to profit
thereby, as also we do when we
read the earlier letter written to us by Clement" (Letter to Pope
Soter in Eusebius, Church History 4:23:11 [A.D. 170]). |
Dionysius dari Korintus adalah
seorang Uskup Korintus. Korintus sendiri, pada jaman tersebut, termasuk Gereja
Timur. Namun toh terlihat dari tulisan sang Uskup Korintus bahwa surat-surat
para Uskup Roma (ie. Paus Soter dan Paus Clement sebelumnya) dibacakan dalam
perayaan Liturgi Ilahi [Misa-nya Gereja Timur] di hari Minggu. Ini menunjukkan
penghormatan mereka terhadap kepala Gereja.
Irenaeus 3. The blessed
apostles, then, having founded and built up the Church, committed into the
hands of Linus the office of the episcopate. Of this Linus, Paul makes mention in the
Epistles to Timothy. To him succeeded Anacletus; and after him, in the third place from the
apostles, Clement was
allotted the bishopric. This man, as he had seen the blessed apostles, and
had been conversant with them, might be said to have the preaching of the
apostles still echoing [in his ears], and their traditions before his eyes.
Nor was he alone [in this], for there were many still remaining who had
received instructions from the apostles. In the time of this Clement, no
small dissension having occurred among the brethren at Corinth, the Church in
Rome despatched a most powerful letter to the Corinthians, exhorting them to
peace, renewing their faith, and declaring the tradition which it had lately
received from the apostles, proclaiming the one God, omnipotent, the Maker of
heaven and earth, the Creator of man, who brought on the deluge, and called
Abraham, who led the people from the land of Egypt, spoke with Moses, set
forth the law, sent the prophets, and who has prepared fire for the devil and
his angels. From this document, whosoever chooses to do so, may learn that
He, the Father of our Lord Jesus Christ, was preached by the Churches, and
may also understand the apostolical tradition of the Church, since this
Epistle is of older date than these men who are now propagating falsehood,
and who conjure into existence another god beyond the Creator and the Maker
of all existing things. To this Clement there succeeded Evaristus. Alexander followed Evaristus; then, sixth from the
apostles, Sixtuswas
appointed; after him, Telephorus,
who was gloriously martyred; then Hyginus;
after him,Pius; then after
him, Anicetus. Sorer having succeeded
Anicetus, Eleutherius does
now, in the twelfth place from the apostles, hold the inheritance of the
episcopate. In this order, and by this succession, the ecclesiastical
tradition from the apostles, and the preaching of the truth, have come down
to us. And this is most abundant proof that there is one and the same
vivifying faith, which has been preserved in the Church from the apostles
until now, and handed down in truth. - (Against Heresies 3:3:2-3 [A.D. 189]). |
Santo Irenaeus adalah Uskup Lyon.
Dia juga adalah murid dari St. Polycarp yang mati dibakar, dimana St. Polycarp
sendiri adalah murid dari Rasul Yohanes. Kutipan diatas berasal dari suratnya
melawan kaum Gnostik. St. Irenaeus berargumen bahwa doktrin kaum Gnostik tidak
didasari oleh tradisi apostolik yang dijaga dengan setia oleh Gereja yang bisa
melacak suksesi Uskup-Uskup mereka kepada ke-12 rasul yang adalah Uskup-Uskup
pertama Gereja Kristus. Menurut Irenaeus, seluruh Gereja harus setuju dengan
Gereja Roma karena otoritas-nya yang utama. Dari situ dia kemudian menunjukkan
suksesi Uskup Roma dari Petrus (ie. "the blessed apostle")
sampai ke Eleutherius.
Cyprian
of Carthage "The Lord says to Peter: ‘I say to you,’ he says, ‘that
you are Peter, and upon this rock I will build my Church, and the gates of
hell will not overcome it. And to you I will give the keys of the kingdom of
heaven; and whatever things you bind on earth shall be bound also in heaven,
and whatever you loose on earth, they shall be loosed also in heaven’ [Matt.
16:18–19]). ... On him [Peter] he builds the Church, and to him he gives the
command to feed the sheep [John 21:17], and although he assigns a like power
to all the apostles, yet he founded a single chair [cathedra], and he
established by his own authority a source and an intrinsic reason for that
unity. Indeed, the others were also what Peter was [i.e., apostles],
but a primacy is given to Peter,
whereby it is made clear that there is but one Church and one chair. So
too, all [the apostles] are shepherds, and the flock is shown to be one, fed
by all the apostles in single-minded accord. If someone does not hold fast to this unity of Peter, can he imagine
that he still holds the faith? If he [should] desert the chair of Peter upon
whom the Church was built, can he still be confident that he is in the
Church?" (The Unity of the Catholic Church 4; 1st edition [A.D.
251]). "Cyprian to [Pope] Cornelius, his brother. Greeting. . .
. We decided to send and are sending a letter to you from all throughout the
province [where I am] so that all
our colleagues might give their decided approval and support to you and to
your communion, that is, to both the unity and the charity of the Catholic
Church" (Letters 48:1, 3 [A.D. 253]). "Cyprian to Antonian, his brother. Greeting ... You wrote ... that I should forward a
copy of the same letter to our colleague [Pope] Cornelius, so that,
laying aside all anxiety, he
might at once know that you held communion with him, that is, with the
Catholic Church" (ibid., 55[52]:1). "Cornelius was made bishop by the decision of God and of
his Christ, by the testimony of almost all the clergy, by the applause of the
people then present, by the college of venerable priests and good men ...
when the place of Fabian, which is the place of Peter, the dignity of the
sacerdotal chair, was vacant. Since it has been occupied both at the will of
God and with the ratified consent of all of us, whoever now wishes to become bishop must do so outside [the Church].
For he cannot have ecclesiastical rank who does not hold to the unity of the
Church" (ibid., 55[52]:8). |
Dari tulisan-tulisan St. Cyprian
Uskup Carthage, Afrika, kita tahu betapa pentingnya uskup-uskup lain untuk menunjukkan
kesatuan mereka dengan Paus. Kalau orang ingin menjadi Uskup tanpa persekutuan
dengan sang Uskup Roma, maka dia hanya akan menjadi seorang "Uskup"
yang berada di luar Gereja dan tanpa jabatan kegerejaan.
Tertullian |
Pada jaman Tertullian muncul
pandangan yang keras bahwa umat yang melakukan perzinahan dan percabulan tidak
akan mendapatkan Sakramen Tobat. Tertullian termasuk orang yang menganut
pandangan ini. Atas pandangan yang bidat dan sesat ini kemudian Paus Calistus
memberi ketetapan resmi bagi seluruh Gereja Kristus bahwa orang yang melakukan
perzinahan dan percabulan boleh diampuni dosanya. Dalam fragment dari
Tertullian diatas kita lihat bagaimana Tertullian mengatakan bahwa edict sang
Paus adalah final dan bahwa sang Pasu adalah Uskup dari para Uskup.
Firmilian |
Firmilian adalah seorang Romo dan
merupakan murid dari Origen. Latar belakang surat tersebut adalah pertikaian
antara Paus Stephen dengan St. Cyprian dari Carthage yang disebut diatas. Romo
Firmilian membela pendapat keliru dari St. Cyprian bahwa para bidat harus
dibaptis ulang kalau mereka bertobat, sementara Paus Stephen melarang
pembaptisan ulang. Bisa dilihat dari tulisan Firmilian bahwa Paus Stephen
menyombongkan posisinya dalam jajaran uskup-uskup karena dia memegang suksesi
dari Petrus. Terlepas dari nada menyindir Firmilian, kita ketahui dari surat
tersebut bahwa Paus Stephen sendiri menyadari keutamaannya dari semua Uskup
karena dia mendapatkan suksesi dari Petrus. Firmilian sendiri bisa saja dengan
mudah meruntuhkan klaim "arogant" Paus Stephen dengan mengatakan
bahwa semua Uskup punya wibawa yang sama atau bahwa otoritas Petrus tidak
diteruskan. Tapi Firmilian tidak melakukan itu karena di jaman tersebut sudah
diketahui dengan baik kekuasaan utama Uskup Roma atas seluruh Gereja Kristus.
3. Kisah tentang Paus Viktor (memerintah
189-199AD) yang aku terjemahkan dari tulisan Patrick Madrid di majalah
Envoy (yang merupakan
bagian dari bukunya Pope Fiction).
DeusVult: |
4. Berikut adalah kisah tentang
Paus Calistus (memerintah 217-222AD)
juga aku terjemahkan dari tulisan Patrick Madrid di majalah
Envoy:
DeusVult: |
5. Berikut Kisah dari seorang Kaisar Pagan/Kafir Roma bernama Aurelian yang
membuktikan bahwa seorang pagan/kafir pun mengetahui bahwa puncak kekuasaan
Gereja Kristen terletak pada Uskup Roma:
DeusVult: |
6. Pelajaran sejarah diatas sudah
cukup untuk menunjukkan bagaimana SEBELUM 325AD umat Kristen awal DAN pihak
non-Kristen jaman itu memaklumi kepemimpinan Uskup Roma terhadap seluruh umat
Kristen. Ini sudah sesuai dengan Mat 16:18-19 dan Yoh 21:15-17.
Quote:Paulus tidak
mempertanggungjawabkan perjalanannya pada gereja di Yerusalem tetapi Antiokhia
di Siria. Timotius sebagai gembala gereja Efesus tidak mendapat wejangan dari
Petrus tetapi dari Paulus. Kepenerusan di sini terkait konteks pemberitaan
Injil bukan otoritas rasuli. Jadi, argumen yang diajukan tidak berdasar
1. Aku tidak tahu dasar yang digunakan B. Stefaus K. untuk mengatakan bahwa
"Paulus tidak
mempertanggungjawabkan perjalanannya pada gereja di Yerusalem tetapi Antiokhia
di Siria," jadi tidak ada yang bisa
aku tanggapi.
2. Wejangan bisa diberikan siapa
saja dalam rantai kepemimpinan. Tidak ada larangan sesama uskup saling memberi
wejangan. Bahkan tidak ada larangan umat memberi wejangan terhadap Uskup.
3. Kepenerusan yang dimaksud jelas-jelas kepenerusan rasuli karena kata yang
digunakan adalah "episkope" yang juga digunakan untuk penerus Yudas
sebagai rasul di Kis 1:20.
Quote:
Tanggapan:
Tidak ada argumen, hanya asumsi. Tidak perlu saya tanggapi, lagipula sudah saya
jelaskan gereja dalam pengertian apa.
1. Asumsi? Itu adalah tulisan
yang di-ilham-kan Allah.
2. Definisi B.Stefanus K. akan
"Gereja" adalah sebuah definisi yang sebegitu umumnya sehingga tidak
sesuai dengan makna khusus dan ilahi Gereja sebagaimana dipahami Kitab Suci
(e.g. Ef 5:23-27, 29, 32). Singkatnya "Gereja" yang dipahami Kitab
Suci bukanlah kumpulan sembarang orang sebagaimana coba di argumen-kan B.
Stefanus K.. Sebaiknya B. Stefanus K. menambah pengetahuan ekklesiologi-nya.
Quote:
Tanggapan:
Ya, tetapi gereja dalam artian umum bukan gereja lokal tertentu apalagi gereja
Katolik Roma. Lagipula supremasi di sini juga terkait dengan tugas gereja
sebagai pemberita Injil Kerajaan Allah bukan menjadi “tuhan.”
1. Mengenai "tetapi gereja dalam artian
umum bukan gereja lokal tertentu apalagi gereja Katolik Roma," akan ditanggapi dibawah.
2. Gereja adalah tubuhnya Tuhan
Allah (Ef 5:23, 30; Kol 1:18, 24). Tuhan Allah itu begitu mencintai Gereja
sampai mati baginya (Ef 5:25). Gereja dan Kristus, sebagai kepala dan tubuh,
adalah tak terpisahkan (Ef 1:22-23; Ef 5:29). Sebegitu tak terpisahkannya Yesus
dan Gereja sampai-sampai Saulus yang tidak pernah menganiaya Yesus atau bahkan
bertemu Yesus dikatakan telah menganiaya diriNya (Kis 9:4-5). Yang dilakukan
Saulus adalah menganiaya Gereja, namun karena Gereja adalah tubuh Kristus, maka
Yesus juga teraniaya. Inilah kesatuan Gereja dan Kristus. Inilah ekklesiologi
Kristen. Sekali lagi, sebaiknya B. Stefanus K. menambah pengetahuan
ekklesiologinya.
Quote:
Tanggapan:
Argumen ini menggelikan dan tidak akademis. Katolik yang dimaksud di sini ialah
dalam artian umum dan terbuka, bukan Katolik Roma. Bila demikian, maka kami pun
tetap katolik sebab kami tidak membatasi berita keselamatan pada etnis atau
golongan tertentu. Anda perlu belajar memahami sejarah lebih baik.
B. Stefanus K. mengatakan bahwa dia Katolik? Bukankah dia Protestant Reformed
yang baru muncul 1500 tahun di Eropa setelah Yesus wafat di Israel? Jadi
Reformed-nya si B. Stefanus K. tidak mungkin Gereja yang sudah ada sejak Yesus
mendirikannya diatas Kephas pada tahun 33AD, tidak mungkin Gereja Katolik yang
disebut St. Ignatius dari Antiokia [murid Yohanes Penginjil], tidak mungkin
Gereja Katolik yang dituliskan para Bapa Gereja Awal.
Sebaiknya B. Stefanus K.-lah yang
membaca sejarah secara lebih baik. dia sama sekali tidak paham kehidupan Gereja
purba, tidak tahu Bapa Gereja Awal dan lain-lain.
Quote:
Tanggapan:
Pertama, kami tidak terlalu memfavoritkan karya bapa gereja, sebab pemahaman
iman mereka bisa salah. Kedua, gereja yang dimaksud di sana bukan dalam artian
gereja terpusat tetapi gereja lokal secara universal sebagai penerus Injil
Kristus. Coba pahami teks dengan baik. Sistem kepausan baru muncul pada abad
kelima, sehingga tentu tidak mungkin bapa-bapa gereja awal mengakui sistem
kepemimpinan terpusat. Klemens menyebut suksesi namun bukan dalam pengertian
rasul, melainkan penilik (episcopate). Pahami bahwa pada masa gereja awal,
penilik dan penatua merupakan jabatan yang sama (lihat 1Tim. 3:1-7; cf. Tit.
1:5), baru kemudian pada adab kedua ada sistem yang lebih kompleks. Lebih lagi,
lihat bahwa dia menyebut orang-orang (jamak) bukan tunggal. Ini jelas merujuk
pada konteks regenerasi kepemimpinan di gereja lokal, bukan sistem kepausan
apalagi rasuli. Ignatius dan Ireneus memang menekankan otoritas gereja, namun
bukan pada institusinya tetapi pada pesan Injil yang dibawa. Ingat bahwa
tulisan mereka merupakan respon terhadap ajaran sesat yang meneruskan ajaran di
luar kebenaran Kristus.
1.a. Mantan romo Martin Luther,
John Calvin, James White dan kroninya, Stephen Tong juga bisa salah dalam hal
iman. Lalu kalau mengapa kita harus percaya terhadap mereka daripada Bapa
Gereja Awal yang hidup di jaman yang
lebih dekat dengan para rasul dan bahkan mendengar sendiri pengajaran dari para rasul (seperti Ignatius dari
Antiokia, Polycarp dll)? Mengapa kita harus lebih percaya mereka daripada para
Bapa Gereja Awal yang dianiaya tapi tetap beriman dan memperkokoh
pondasi-pondasi iman Kristen? Apakah mereka (Luther, Calvin etc) lebih pandai
dan lebih kudus dari para Bapa Gereja Awal?
1.b. Terlebih masalah
"iman" hanyalah salah satu hal yang bisa kita dapat dari memahami
tulisan para Bapa Gereja Awal. Hal lain yang tidak kalah pentingnya adalah kita
memahami bagaimana kehidupan Gereja di jaman yang dekat dengan para rasul. Kita
memahami SEJARAH GEREJA. Dari situ kita bisa melihat apakah "gereja"
kita sekarang ini sesuai dengan Gereja purba yang jelas-jelas didirikan Yesus
Kristus.
2. Kepemimpinan terpusat Gereja alias kepausan sudah ditunjukkan melalui
bukti-bukti tulisan para Bapa Gereja dan bukti-bukti sejarah diatas.
3. Para rasul adalah cikal bakal
alias proto-Uskup Gereja. Ini karena jabatan seorang rasul juga disebut jabatan
Uskup (Kis 1:20).
4. Memang benar bahwa pada
awal-awal Gereja jabatan Uskup (episkope) dan Romo (presbyteros) saling
overlap. Namun point ini irrelevan karena yang mau di-argumen-kan adalah bahwa
Uskup adalah penerus rasul (kalau mau diargumen-kan bisa dibuat topik
tersendiri, dan bisa ditunjukkan bagaimana perkembangan ajaran [doctrinal
development] mengenai perbedaan peran Uskup dan Romo adalah perkembangan ajaran
yang sah sebagaimana perkembangan ajaran mengenai Trinitas dalam iman kristen).
Dan argumen ini terbukti dari fakta bahwa posisi Yudas adalah posisi
"episkope" (Kis 1:20).
5. B. Stefanus K. mengatakan, "Ignatius
dan Ireneus memang menekankan otoritas gereja, namun bukan pada institusinya
tetapi pada pesan Injil yang dibawa"
tanpa menunjukkan bukti. Sementara aku sendiri sudah menunjukkan bukti diatas
bagaimana Ignatius, Irenaeus dan Bapa Gereja Awal lainnya sebelum 325 AD
mengimani suatu Gereja yang institusional dibawah kepemimpinan satu gembala
universal yaitu Uskup Roma sebagai penerus Petrus (sesuai dengan Yoh
21:15-17)
Quote:Tanggapan:
Ini pertanyaan konyol. Tidak, sebab mereka tidak memenuhi kriteria kanonisasi.
Mereka tidak diterima secara luas oleh jemaat mula-mula, penulisnya tidak memiliki
kaitan apostolik, juga tidak ada ortodoksinya, dalam artian bertentangan dengan
kitab-kitab lain. Sekarang saya tanya balik, bila kelak gereja menganggap Quran
sebagai kitab suci apa Anda akan menerima?
1. Menurut B. Stefanus K. Quran,
Kitab Mormon dll "tidak memenuhi kriteria
kanonisasi." Lalu apakah kriteria
kanonisasi itu? Apakah disebutkan di Kitab Suci apa saja yang menjadi kriteria
kanonisasi? Tidak. Lalu darimana B. Stefanus K. tahu bahwa Quran Kitab Mormon,
Didache, Shepard of Hermas, Injil Thomas, Proto-evangelium Yakobus dll tidak
termasuk kanon? Siapakah Protestant yang men-sortir buku-buku tersebut dan
kriteria apa yang diapakainya? Dan kapankah itu dilakukan?
2.a. B. Stefanus K. merujuk
kepada kriteria kanonisasi seperti, "tidak diterima secara luas oleh jemaat mula-mula, penulisnya tidak
memiliki kaitan apostolik, juga tidak ada ortodoksinya, dalam artian
bertentangan dengan kitab-kitab lain."
Pertanyaannya: kriteria-kriteria ini ditemukan dimana di Kitab Suci? Apakah
cuma ini? Kalau kriteria-kriteria ini tidak ada di Kitab Suci apakah
kriteria-kriteria ini didapat dari Tradisi?
2.b. Tidak hanya itu, sebagai
seorang Sola Scripturist B. Stefanus K. harus menunjukkan dari Kitab Suci
kenapa Kitab Wahyu, misalnya, memenuhi kriteria tersebut.
3. Atas pertanyaan B. Stefanus K.
"bila kelak gereja menganggap Quran
sebagai kitab suci apa Anda akan menerima"
maka jawabannya adalah "Gereja tidak mungkin menerima Kitab baru lagi
karena Gereja Katolik secara tak-bisa-salah telah menyatakan bahwa Kanon telah
ditutup." Jadi tidak hanya Quran, tapi juga surat ke-tiga Paulus kepada
jemaat Korintus, Shepard of Hermas, Didache, proto-evangelium Yakobus dll yang
dulu dibaca jemaat awal di Gereja-Gereja tidak akan dapat masuk ke dalam kanon.
Quote:
Tanggapan:
Tetapi sejarah menunjukkan bahwa sejak abad pertama kitab-kitab kanonik telah
diterima oleh gereja. Wibawa ini muncul bukan karena mereka diterima gereja,
tetapi karena tulisan-tulisan ini memiliki wibawa maka diterima oleh gereja
abad pertama. Menemukan di sini dalam arti menemukan kembali apa yang dipercaya
gereja mula-mula. Pada gereja mula-mula, jemaat tidak akan bingung tentang mana
tulisan yang dianggap berotoritas, tetapi, seperti sudah saya jelaskan, ketika
muncul banyak bidat yang mendasarkan diri pada kitab suci, di sana mulai banyak
spekulasi mengenai mana kitab yang berotoritas. Gereja bukan menentukan tetapi
menemukan kanon yang sebenarnya sudah ada sejak abad pertama. Saya rasa untuk
jelasnya coba baca tulisan F.F. Bruce, Dokumen-Dokumen Perjanjian Baru.
1. Cukup aneh bahwa B. Stefanus
K. mengacu pada suatu "sejarah" yang "menunjukkan
bahwa sejak abad pertama kitab-kitab kanonik telah diterima oleh gereja." Bukannya dia adalah Protestant Sola Scriptura? Bagaimana
mungkin dia merujuk masalah imani [ie. kanon] tidak kepada Kitab Suci tapi
kepada "sejarah?"
2.a. Gereja awal tidak hanya
menerima wibawa kitab yang kanon, tapi juga wibawa dari kitab yang tidak kanon
(seperti Shepard of Hermas, Didache, Protoevangelium Yakobus, Akta Paulus,
Wahyu Petrus dan lain-lain). Silahkan lihat disini.
2.b. Tidak hanya itu banyak
Gereja awal yang menolak kitab yang kanon (seperti Wahyu Yohanes, Surat Yudas,
Surat Ibrani, Surat-surat Yohanes dll). Silahkan lihat disini
3. Sekali lagi patut dicatat
bahwa di argumen kali ini si B. Stefanus K. tidak menunjukkan satu ayat pun
dari Kitab Suci yang bisa digunakan untuk menentukan kanon. Yang dia lakukan
adalah merujuk kepada sejarah... kepada... TRADISI. Karena tanpa Tradisi lisan
kita tidak tahu mana yang kanon mana yang bukan (sebab Kitab Suci tidak memberi
informasi tentang kanon).
Quote:
Tanggapan:
Bukan, tetapi otoritas kitab itu sendiri. Ingat bahwa banyak bapa gereja
bertentangan mengenai penerimaan beberapa kitab. Tetapi tolok ukurnya jelas
bukan tulisan mereka tetapi penerimaan pada gereja mula-mula dan otoritas
rasuli tulisan tersebut. Gereja abad pertama tidak pernah bingung tentang
tulisan mana yang dianggap berotoritas, kebingungan baru terjadi pada abad
selanjutnya, ketika muncul bidat dan segala macamnya yang mengklaim mendasarkan
kosepnya pada kitab suci.
1. B. Stefanus K. tetap ngotot
bahwa standard yang digunakan bukan Tradisi lisan tapi "otoritas kitab itu sendiri."
Tapi bukannya sejak awal dia tidak dapat menghasilkan satu ayat pun dari Kitab
Suci yang bisa menunjukkan apa saja kitab yang kanon? Bahkan bukannya dia
sendiri juga menggunakan kriteria "sejarah" dan kriteria lain yang sama sekali tidak ada dasar ayat
Kitab Sucinya?
2. Kembali lagi kita lihat
bagaimana B. Stefanus K. mengajukan suatu kriteria kanon yang tidak ada di
Kitab Suci, yaitu, "tolok
ukurnya jelas bukan tulisan mereka tetapi penerimaan pada gereja mula-mula dan
otoritas rasuli tulisan tersebut."
Mengapa kok tolak ukurnya tidak ayat-ayat Kitab Suci sendiri? Bukannya B.
Stefanus K. adalah Sola Scripturist?
3. B. Stefanus K. mengatakan
bahwa "Gereja abad pertama tidak
pernah bingung tentang tulisan mana yang dianggap berotoritas." Tapi ini irrelevant. Masalahnya bukan bingung atau tidak
bingung. Tapi bagaimanakah caranya seorang Sola Scripturist mengetahui kitab
mana yang kanon HANYA BERDASRKAN Kitab Suci dan tidak berdasarkan Tradisi lisan
Gereja atau bahkan sejarah, yang menurut B. Stefanus K. tidak di-ilham-kan
Allah.
Quote:
Tanggapan:
Maaf, saya tidak menerima katekisasi ini, ini merupakan argumen dogmatis.
Paragraph dari Katekismus Gereja Katolik dikutipkan karena sebelumnya B.
Stefanus K. mengatakan , "gereja
berhak menentukan pedoman sendiri (di atas Alkitab)." Atas pemahaman yang salah akan iman Katolik inilah aku
mengutipkan Katekismus untuk menunjukkan pemahaman iman Katolik yang benar.
Quote:
Tanggapan:
Ini cuma asumsi, bukan argumen. Lagipula sudah saya tunjukkan bahwa pandangan
Agustinus tidak mewakili pandangan gereja awal. Konsep ekklesiologi gereja
mula-mula jelas berbeda dengan Agustinus yang hidup pada masa gereja telah
memiliki struktur terpusat. Konsep ekklesiologi awal tidak terpusat seperti
yang ada pada masa Agustinus.
1. B. Stefanus K. seharusnya menjelaskan mana yang asumsi. Adalah fakta bahwa
ke-kristenan Barat dipengaruhi secara signifikan oleh dua orang. Yang pertama
adalah St. Agustinus yang kedua adalah St. Thomas Aquinas. Calvin, Luther dan
para proto-Protestant lainnya mengutip St. Agustinus dalam tulisan-tulsian
mereka (aku kurang tahu apakah mereka mengutip St. Thomas, Luther tampaknya
kurang tahu tentang tulisan St. Thomas).
2. Diatas juga sudah dibuktikan
bagaimana sebelum masa St. Agustinus pun Gereja sudah memiliki struktur yang
terpusat pada Uskup Roma sebagai penerus Petrus.
Quote:
Tanggapan:
Sama saja, argumen dan situs yang diajukan ialah situs Katolik, tentu
argumennya juga akan bias bukan? Lalu, saya tidak menerima semua tradisi bapa
gereja. Maka lebih baik berdiskusilah dengan landasan Kitab Suci lebih dulu,
bukan dengan tradisi bapa gereja karena saya meyakini tidak semua ajaran bapa
gereja benar. Bila demikian cobalah juga melihat situs http://beggarsallreformation.blogspot.c
..n-church-fathers, dimana
di sana ditunjukkan kontras antara gereja Katolik dan ajaran bapa gereja.
1. Situs Katolik yang aku tunjukkan ke B. Stefanus K. hanya memuat kutipan Bapa
Gereja Awal tanpa mengambil kesimpulan. Karena memang sejak awal kita
mempersilahkan Protestant melihat sendiri apa yang dikatakan Bapa Gereja Awal.
Jadi bagaimana bisa dikatakan, "tentu
argumennya juga akan bias bukan?"
2. Kalau Bapa Gereja tidak semuanya benar sementara Mantan Romo Luther, Calvin,
Stephen Tong, James White dan kroninya juga tidak semuanya benar, lalu kenapa
lebih percaya terhadap kelompok yang kedua? Padahal kelompok yang pertama hidup
di jaman yang dekat dengan jaman rasul, lebih kudus (karena banyak
penganiaayaan dan hidup d jaman yang lebih murni) dan lebih pintar dari
kelompok yang kedua? Bahkan ada Bapa Gereja yang merupakan murid dari
murid-murid Yesus dan ada juga generasi keduanya (murid dari muirdnya murid
Yesus).
3. Aku bisa tanggapi artikel dari Bugay atau kroninya James White yang lain
yang ada disitu (ie. blog Beggars All) kalau B. Stefanus K., atau siapapun
kroninya James White, bersedia meladeni. Silahkan. Aku menunggu. Kita (umat
Katolik) cukup familier dengan blog Beggars All. Begitu familiernya
sampai-sampai seorang Katolik membuat blog parodi Beggars All yang dinamakanBeggars All: Deformation and
Apologetics (kata
"reformation" diganti "deformation" karena memang reformasi
[alias protestantisme] sama sekali bukan reformasi tapi merupakan deformasi).
Isinya cukup lucu (if you are a Catholic , dan kalau kalian familer dengan James white dan kroninya).
Quote:
Tanggapan:
Doddy, saya tidak ada waktu untuk membaca tulisan ini, bila mungkin tolong
disarikan argumennya.
Sederhananya, Protestant menyajikan kutipan-kutipan dari para Bapa Gereja yang
mereka klaim mengajarkan Sola Scriptura. Moderator shmily dan aku kemudian
menunjukkan konteks dari kutipan yang diajukan Protestant dan menunjukkan
konteks lebih luas dari buku atau bab yang ditulis si Bapa Gereja. Dan dari
situ terlihat bahwa Protestant telah menyimpulkan secara keliru apa yang
dituliskan para Bapa Gereja Awal. Mereka sama sekali tidak mengimani Sola
Scriptura dan mengimani pentingnya Tradisi lisan yang terlihat dari ajaran para
Bapa-Bapa sebelum mereka dan ajaran Gereja sendiri.
Quote:
Tanggapan:
Argumen ini anakronistik. Istilah Katolik di sini bukan dalam artian Katolik
Roma tetapi gereja yang terbuka tehadap siapapun. Dengan demikian, dalam
pengertian tersebut, kami pun tetap katolik. Mat. 16:18 juga tidak berarti
gereja secara institusi, tetapi gereja dalam artian jemaat Allah. Kalau Anda
belajar bahasa Yunani (seperti sudah saya jelaskan), kata “ekklesia” memiliki
konsep bukan pada institusinya melainkan pada komunitasnya.
1 Yang dimaksud Gereja Katolik tentunya adalah Gereja Katolik Roma yang sudah
ada sejak Yesus mendirikannya pada 33AD, bukan pengertian "katolik"
alias "universal" dari Gereja. Jadi, bagaimana mungkin
"gereja"-nya si B. Stefanus K. adalah Gereja Katolik kalau
"gereja" tersebut baru didirikan para Protestant 1500 tahun setelah
Yesus hidup, mati dan bangkit? Coba B. Stefanus K. melacak sejarah
"gereja"-nya. Coba B. Stefanus K. merenungkan ini, "kapankah
Protstantisme muncul? Dan kapankah Yesus mendirikan GerejaNya?"
2. Bahkan SEMUA para
Protestant-protestant pertama (mantan Romo Luther, Calvin dll) pada masa
kecilnya dibaptis, di-krisma dan mengikuti Misa di Gereja Katolik. Mereka
adalah umat Gereja Katolik yang membelot mengikuti sang Bapa Kebohongan (Yoh
8:44). Kalau mereka tidak membelot maka selamanya mereka akan tetap berada di
Gereja Katolik. Dan "gereja"-nya si B. Stefanus K. tidak akan ada.
3. Jadi yang anachronistik itu adalah si B. Stefanus K. karena dia begitu
ignorance-nya terhadap fakta sejarah yang sudah sangat jelas ini.
Quote:Tanggapan:
Pertama, Newman adalah seorang Katolik, tentu pernyataannya juga bias. Kedua,
seperti yang saya katakan berulang kali, makna Katolik yang dimasukkan
anakronistik. Jadi pahamilah sejarah dengan baik. Ketiga, konsili Nicea kedua
merupakan konsili yang telah terdistorsi dengan politisasi gereja, jadi kami
tidak menerima pengakuan konsili ini.
1. Newman lahir sebagai
Protestant Anglican. Karena research-nya terhadap sejarah Gereja maka kemudian
dia menjadi Katolik. Karena tidak ada kesimpulan lain yang bisa disimpulkan
dari mempelajari sejarah Gereja kecuali bahwa Gereja yang ada dalam sejarah
awal adalah Gereja Katolik dan sama sekali bukan Protestant yang baru ada 1500
tahun setelah Yesus lahir, bangkit dan mati.
2. Mengenai tuduhan
"anachronistik" sudah dijawab diatas serta ditunjukkan bahwa B.
Stefanus K. lah yang anachronistik. Dia tidak menyadari bahwa
"gereja"-nya dan iman-nya baru ada 1500 tahun setelah Yesus lahir,
wafat dan bangkit. Sebaiknya B. stefanus K. belajar sejarah Gereja, jangan
melulu Alkitab atau bahkan tulisan-tulisan White dan kroninya.
3. Silahkan B. Stefanus K.
membuktikan tuduhan, "konsili
Nicea kedua merupakan konsili yang telah terdistorsi dengan politisasi gereja,
jadi kami tidak menerima pengakuan konsili ini." Kalau tuduhan itu cuma sebatas itu maka aku hanya bisa
menjawab dengan mengatakan "kamu keliru B. Stefanus K."
Tanggapan:
Lihat kriteria pengganti Yudas yang sudah saya jelaskan. Suksesi dalam artian
regenerasi memang kami terima tetapi jelas mereka tidak memliki otoritas
kerasulan yang sama dengan para rasul. Sebab setelah para rasul meninggal,
murid-murid mereka tidak pernah disebut sebagai “rasul.” Terlebih lagi tidak
ada lagi rasul paska kematian Yohanes, coba baca artikel di situs http://sovereigntruth.com/index.php?opt
..ies&Itemid=54
1. . Stefanus K. mengkritik bahwa aku menampilkan situs-situs Katolik. Tapi
bisa dilihat bahwa rujukan ke soverigntruth.com ini adalah rujukan ke sekian
kali B. Stefanus K. ke situs-situs Protestant. Tampaknya B. Stefanus K. tidak
kenal apa yang namanya "konsistensi."
2. Gereja Katolik pun mengakui bahwa tidak semua wibawa yang dimiliki para
rasul diteruskan kepada para Uskup pengganti mereka. Namun paling tidak wibawa
kepemimpinan masing-masing Uskup dan wibawa kepemimpinan khusus Petrus terhadap
seluruh Gereja tetap ada. Sejarah membuktikan bagaimana para Uskup dan para
Paus (sebagai Uskup Roma) menjalankan wibawa tersebut.
3. Dan harus ditekankan bahwa sekalipun Gereja Katolik mengakui bahwa ada
wibawa para rasul (selain Petrus) yang tidak terturunkan kepada para Uskup
(yang bukan Uskup Roma), namun masih ada perbedaan dengan Protestant mengenai
wibawa apa saja yang diturunkan dan yang tidak diturunkan.
Quote:
Tanggapan:
Sudah saya jelaskan di atas, memang dalam arti kepemimpinan gereja lokal iya,
tetapi bukan dalam arti otoritas kerasulan.
Setuju. Tapi dengan tambahan sebagaimana no.2 dan no.3 diatasnya.
Tanggapan:
Sekali lagi, gereja Katolik di sini bukan dalam artian Katolik Roma tetapi
katolik secara umum. Lagipula Ignatius melihat keunikan gereja dalam artian
sebagai pembawa berita Injil bukan karena menjadi “tuhan” kecil.
1. Argumen "gereja Katolik di sini
bukan dalam artian Katolik Roma tetapi katolik secara umum" sudah di-address diatas.
2. Sementara aku menunjukkan link
dimana terdapat kutipan St. Ignatius dari Antiokia yang membuktikan argumenku
bagaimana suksesi apostolik terjaga di Gereja Katolik, si B. Stefanus K.
mengatakan "Lagipula Ignatius melihat
keunikan gereja dalam artian sebagai pembawa berita Injil bukan karena menjadi
'tuhan' kecil" tanpa bukti apapun.
Jadi sebenarnya apa dasar dari argumen si B. Stefanus K. tersebut? Apakah dia
pernah membaca ketujuh surat St. Ignatius dari Antiokia ?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar