sumber ekaristi.org
Asal
muasal Skisma Timur yang memunculkan Orthodox
Berikut adalah
terjemahan dari Catholic Encyclopedia:
Eastern Schism
Nanti dibawah
aku akan juga terjemahkan detail kejadian seputar skisma Photius dan Michael
Caerularius yang merupakan dua peristiwa yang sangat mempengaruhi Skisma Timur
ini.
Skisma Timur
Sejak masa
Diotrephes (3Yoh 1:9-10) telah terjadi skisma-skisma secara
berkelanjutan, yang paling banyak adalah di Timur. Arianisme menyebabkan sebuah skisma yang
besar; skisma pihak Nestorian dan Monophysite masih berlangsung.
Namun yang dimaksudkan "Skisma Timur" biasanya adalah pertikaian memprihatinkan yang menimbulkan perpisahan dengan kebanyakan umat Kristen Timur, skisma yang memunculkan
Gereja yang terpisah yang disebut "Gereja Orthodok."
I. PERSIAPAN YANG LAMA BAGI TERJADINYA SKISMA
Skisma Timur tidak bisa dianggap sebagai akibat dari satu buah pertikaian.
Tidaklah benar bahwa setelah perdamaian sempurna berabad-abad, lalu karena satu
perselisihan, hampir setengah kekristenan jatuh. Peristiwa seperti itu pastilah
tidak ada duanya dalam sejarah, kecuali ada suatu bidaah besar. Sementara pada
perselisihan yang menimbulkan Skisma Timur, pada awalnya tidak ada ke-bidaah-an
dalam pertikaian yang terjadi, ataupun ada ketidaksetujuan yang tak ada harapan
untuk terselesaikan mengenai Iman. Kasusnya adalah sebuah skisma murni, sebuah
perpecahan persekutuan bersama yang diakibatkan oleh kemarahan dan perasaan tidak suka, bukan karena
teologi yang berlawanan. Jikalau sebelumnya semua baik-baik saja maka
tidaklah mungkin kalau ratusan uskup tiba-tiba memecahkan diri dari persekutuan
dengan kepala mereka. Skisma besar tersebut (ie. Skisma Timur) adalah buah dari
proses yang gradual [catatan DeusVult:
"gradual" = "meningkat atau bertambah dengan derajat yang
reguler dan secara terus menerus"]. Penyebab
awalnya harus dicari berabad-abad sebelum ada kecurigaan akan terjadinya
skisma. Ada sejumlah skisma sementara yang mengendorkan ikatan persekutuan dan
mempersiapkan jalan bagi terjadinya Skisma Timur. Dua perpecahan besar (dilakukan
Photius dan Michael Caerularius) yang diingat sebagai asal-muasal dari
keadaan sekarang ini, telah telah diperbaiki setelah kejadiannya. Secara lebih
tepat skisma yang terjadi pada saat ini bisa dilacak saat pihak Timur
menolak Konsili Florence pada 1472. Jadi, meskipun nama Photius dan
Caerularius memang dapat dikaitkan dengan bencana skisma, karena pertikaian
dengan keduanya merupakan unsur utama dari cerita mengenai Skisma Timur, namun tidak
boleh dipikirkan bahwa mereka adalah penyebab skisma satu-satunya ataupun
penyebab skisma yang pertama-tama. Kalau kita mengelompokkan cerita mengenai
asal-muasal Skisma Timur dengan memulai dari masa Photius dan masa Caerularius
maka kita harus menjelaskan penyebab-penyebab awal yang mempersiapkan
terjadinya peristiwa tersebut (ie. peristiwa
yang berkenaan dengan Photius dan peristiwa yang berkenaan dengan Caerularius),
dan kita harus mencatat bahwa setelah terjadinya kedua peristiwa tersebut ada
kesatuan sementara.
Penyebab awal dari semuanya adalah pengasingan gradual antara Timur dan Barat.
Secara pokok pengasingan ini tidak terelakkan. Masyarakat Timur dan Barat mengelompokkan diri kepada dua pusat yang berbeda sebagai pusat langsung. Mereka menggunakan ritus yang berbeda dan mempunyai bahasa yang berbeda. Kita harus
membedakan posisi Paus sebagai seorang kepala kasat mata atas seluruh
kekristenan dari tempatnya sebagai Patriakh
Barat. Posisi tersebut dan pendapat bahwa semua uskup setara
dalam jurisdiksi adalah dua hal yang sama sekali
tidak diketahui pada masa Gereja awal. Sejak awal
kita menemukan sebuah hierarkhi ber-gradual dari Uskup-uskup metropolitan
[sekarang disebut "Uskup Agung"], exarches [bentuk
plural dari "exarch" yang berarti metropolitan alias Uskup Agung yang
yurisdiksinya melampaui keuskupannya] dan primat [yaitu uskup yang mempunyai
otoritas superior tidak hanya atas uskup-uskup dalam provinsinya, seperti yang
dipunyai seorang metropolitan alias Uskup Agung, tapi juga otoritas atas
beberapa provinsi dan beberapa metropolitan]. Kita sejak
awal kita menemukan gagasan bahwa seorang uskup
mewarisi kewibawaan pendiri tahtanya, sehingga uskup yang merupakan
pengganti Rasul mempunyai hak dan keistimewaan khusus [ie. privilege].
Adanya hirarkhi yang gradual ini penting untuk menjelaskan posisi Paus.
Dia bukanlah superior langsung dari setiap uskup; dia adalah kepala dari
sebuah organisasi kompleks dan detail, bagaikan puncak dari sebuah pyramid yang bersusun meruncing. Pemikiran umat Kristen awal adalah bahwa para patriakh adalah kepala-kepala kekristenan; lalu lebih lanjut para umat Kristen tahu bahwa kepala
Patriakh berada di Roma. Namun kepala langsung tiap-tiap Gereja
adalah para Patriakh. Setelah
Konsili Chalcedon (451) kita harus menghitung lima
ke-patriakh-an: Roma, Constantinople, Alexandria,
Antiokia dan Yerusalem.
Perbedaan antara
Timur dan Barat, pertama-tamanya, adalah bahwa Paus di Barat bukan hanya kepala imam tertinggi, tapi
juga patriakh local. Bagi umat Kristen Timur dia adalah seorang
otoritas yang jauh dan asing, tempat
banding terakhir bagi pertanyaan-pertanyaan
serius, setelah patriakh-patriakh mereka sendiri tidak mampu menjawabnya.
Namun bagi umat Latin di Barat, dia adalah kepala langsung, otoritas langsung atas metropolitan-metropolitan [ie.uskup agung – uskup agung] mereka,
banding pertama dari uskup-uskup mereka. Sehingga semua kesetiaan di Barat
langsung menuju ke Roma. Roma adalah Bunda Gereja dalam banyak artian, adalah karena misionaris yang dikirim dari
Romalah Gereja-Gereja local Barat didirikan. Sebaliknya kesetiaan umat Kristen Timur
pertama-tama mengarah ke patriakh mereka
sendiri, sehingga selalu ada
bahaya terbaginya rasa
kesetiaan kalau sang patriakh bertikai dengan Paus. Hal ini tidak
terjadi di Barat. Oleh karena itu, kejatuhan dari ratusan uskup Timur,
kejatuhan jutaan umat Kristen sederhana, bisa dilacak oleh skisma yang
dilakukan para patriakh. Bila keempat patriakh Timur menyetujui suatu tindakan
maka bisa disimpulkan bahwa metropolitan-metropolitan [ie. uskup agung - uskup agung] dan uskup-uskup mereka akan mengikuti para patriakh dan bahwa romo-romo dan umat-umat akan
mengikuti uskup-uskup mereka. Jadi organisasi Gereja,
dalam satu cara, telah mempersiapkan landasan bagi sebuah kontras (yang mungkin
akan menjadi suatu rivalitas) antara patriak pertama di Barat bersama dengan
pengikut Latinnya yang luas, dan dengan para Patriakh Timur dengan pengikut
mereka.
Hal lebih lanjut
yang patut diketahui adalah perbedaan ritus dan bahasa. Masalah ritus mengikut kepada suatu ke-patriakh-an, dan hal ini
menciptakan suatu perbedaan yang dengan
mudah dipahami oleh umat Kristen sederhana. Seorang awam Syria, Yunani atau
Mesir mungkin tidak memahami mengenai hukum kanon yang berkenaan dengan para
patriakh, namun dia tidak mungkin tidak menyadari bahwa seorang uskup atau
romo Latin yang kebetulan sedang bepergian merayakan Misteri Kudus dalam cara
yang sangat aneh, dan kemudian me-label uskup/romo latin tersebut sebagai orang
asing (yang mungkin mencurigakan). Sementara itu di Barat, Ritus Roma
pertama-tama mempengaruhi [peribadatan umat], lalu kemudian menggantikannya. Sementara
di Timur secara gradual terjadi hal yang sama berkenaan dengan Ritus Byzantine..
Jadi kita punya bibit atas dua kesatuan. Tidak diragukan lagi kedua belah pihak paham bahwa ritus yang
lain merupakan cara yang sah dalam merayakan misteri yang sama, namun perbedaan
yang ada membuat sulit pengucapan doa bersama. Kita melihat bahwa perkara
ini merupakan sebuah perkara yang penting dalam sejumlah tuduhan yang
berkenaan dengan masalah-masalah ritual yang diajukan oleh Caerularius
ketika dia mencari-cari dasar untuk pertikaian.
Bahkan detail
atas bahasa merupakan sebuah unsur penyebab perpisahan [antara Barat
dan Timur]. Memang benar bahwa Timur tidak pernah seluruhnya
terpengaruh budaya hellenistik sebagaimana Barat pun tidak pernah sepenuhnya terpengaruh budaya Latin. Meskipun demikian, Yunani memang telah menjadi bahasa
internasional di Timur. Pada konsili-konsili di Timur semua uskup berbicara bahasa
Yunani. Jadi sekali lagi kita mempunyai dua kesatuan dalam hal bahasa — Yunani
bagi Timur dan Latin bagi Barat. Sulit untuk membayangkan bagaimana
detail mengenai bahasa ini menjadi sebuah sebab dari pengasingan, namun memang tidak
diragukan lagi banyak kesalahpahaman timbul dan berkembang hanya karena
orang-orang tidak bisa memahami satu sama lain. Karena saat
perselisihan-perselishan ini timbul, masih sangat sedikit orang yang mampu
berbahasa asing. Baru ketika jaman Renaissance timbul-lah masa dimana tata
bahasa dan kamus-kamus yang mempermudah [pembelajaran bahasa asing]. St Gregorius I (d. 1604) merupakan seorang
duta kepausan di Constantinople, namun tampaknya dia tidak mempelajari
bahasa Yunani; Paus Vigilius (540-55) menghabiskan delapan tahun yang tak bahagia
di Constantinople namun dia tidak pernah
belajar bahasa Yunani. Photius merupakan seorang pelajar dengan pengetahuan mendalam pada
jamannya, namun dia tidak paham Latin. Ketika Leo IX (memerintah 1048-54) menulis
dalam bahasa Latin kepada Peter III dari Antiokia, Peter III terpaksa menyerahkan surat tersebut ke Constantinople
untuk mengetahui isinya. Kasus-kasus tersebut terjadi secara berkelanjutan dan
membingungkan semua hubungan Timur dan Barat. Pada
konsili-konsili, duta-duta kepausan memberi sambutan
kepada para bapa konsili dalam bahasa Latin dan tidak seorang pun yang memahami mereka; ketika
konsili berjalan dengan menggunakan bahasa Yunani sebagai bahasa pengantar,
para duta kepausan pun bertanya-tanya apa yang terjadi. Jadi muncul
kecurigaan dari kedua belah pihak. Penerjemah terpaksa dipanggil; namun
apakah versi mereka bisa dipercaya? Kaum Latin, khususnya, punya kecurigaan
yang sangat dalam atas rancangan kaum yunani dalam perkara ini. Para duta
diminta untuk menandatangani dokumen yang mereka sendiri tidak paham atas dasar
jaminan bahwa tidak ada satupun [dalam dokumen tersebut] yang mengkompromi
[posisi kepausan]. Dan hal-hal kecil membuat begitu banyak perbedaan. Contoh
yang paling terkenal, bertahun-tahun kemudian, adalah dekrit [Konsili ekumenis]
Florence dan bentuk-bentuk kath on tropon,
quemadmodum, menunjukkan seberapa banyak
kebingungan yang bisa disebabkan oleh penggunaan dua bahasa.
Gabungan
penyebab-penyebab tersebut menghasilkan dua bagian kekristenan, Timur
satu bagian dan Barat satu bagian. Masing-masing
terbedakan dari yang lainnya dalam banyak cara.
Penyebab-penyebab tersebut memang tidaklah cukup untuk [dijadikan penyebab]
atas perpecahan dua bagian tersebut; hanya saja, yang bisa kita catat adalah adanya
suatu kesadaran akan keberadaan dua entitas, tertorehkannya suatu garis
batas untuk pertama kali, dimana rivalitas, kecemburuan, kebencian bisa dengan
mudah memotong tepat digaris batas kedua pihak.
II. PENYEBAB PENGASINGAN
Rivalitas dan
kebencian muncul karena beberapa sebab. Tidak diragukan lagi sebab pertama,
dan merupakan akar dari semua pertikaian, adalah kenaikan posisi
Tahta Constantinople. Kita sering melihat bagaimana empat ke-patriakh-an
Timur, dalam batasan tertentu, dikontraskan dengan kesatuan tunggal
Barat. Kalau saja tetap ada kesatuan seperti itu di Timur, maka masalah
yang lebih jauh tidaklah perlu terjadi. Apa yang memperkuat ke-kontras-an
[antara empat ke-patriakh-an Timur dan satu ke-patriakh-an Barat] dan yang
membuatnya menjadi sebuah rivalitas adalah kenaikan secara gradual otoritas
Patriakh Constantinople atas ketiga ke-patriakh-an
lainnya. Adalah Constantinople yang mengikat
Timur menjadi satu tubuh, menyatukannya
melawan Barat. Adalah upaya terus
menerus Patriakh sang kaisar [ie. Pariakh Constantinople] untuk menjadi semacam paus Timur, sehingga
menjadi sederajat mungkin dengan [Paus
Roma], yang merupakan sumber sejati dari semua masalah.. Pada satu sisi, kesatuan
[Gereja Timur] dibawah Constantinople telah membuat semacam Gereja rival yang
bisa ber-oposisi dengan Roma; di sisi lain, [dalam seluruh upaya] sang Uskup Byzantine [untuk
memajukan posisi Contantinople], mereka menemukan hanya satu penghalang
nyata, yaitu oposisi terus menerus dari para Paus. Sementara itu sang
kaisar adalah teman dan sekutu utama mereka selalu. Dan memang kebijakan sentralisasi kaisar
yang menjadi penyebab bagi rancangan untuk menjadikan Tahta Constantinople
sebagai suatu pusat. Patriakh-patriakh lain yang posisinya diubah bukanlah lawan yang berbahaya.
Dilemahkan oleh pertikaian berkenaan dengan bidah monophysite yang tak
berhenti, kehilangan kebanyakan gembala jagaan, lalu kemudian dibuat berada
dalam kondisi tanpa pengharapan oleh karena penaklukan Moslem, uskup-uskup
Aleksandria dan Antiokia tidak dapat mencegah tumbuhnya
Constantinople. Dan memang lambat laun mereka kemudian menerima degredasi [posisi] mereka dengan rela dan menjadi ornament tak bergerak di Istana
Patriakh yang baru. Yerusalem pun dihantam oleh
skisma-skisma dan Moslem, dan Yerusalem adalah sebuah
ke-patriakh-an baru yang hanya mempunyai hak-hak yang
paling kecil dari kelima ke-patriarkh-an.
Di sisi
lain, dalam setiap langkah kedepan Constantinople, selalu ada oposisi dari
Roma. Ketika tahta baru tersebut [ie.Constantinople] mendapatkan kehormatan
titular [ie. dalam namanya saja] pada Konsili Pertama Constantinople (381,
kanon 3), Roma menolak menerima kanon tersebut (ketika itu Roma
tidak terwakili di konsili tersebut) [Constantinople
I tahun 381 pada awalnya adalah sekedar konsili local Timur yang bahkan tidak
dihadiri semua pihak Timur sendiri]; ketika konsili
ekumenis chalcedon pada 451 menjadikan Constantinople sebagai ke-patriakh-an
sejati (kanon 28) para duta dan Paus sendiri menolak untuk mengakui apa
yang telah dilakukan [catatan
DeusVult: ini karena keputusan untuk mengesahkan kanon tersebut dilakukan
setelah para duta kepausan meninggalkan konsili untuk kembali menuju Roma]; saat sang penerus dari para uskup sufragan yang dulunya mematuhi
Heraclea [Constantinople dulunya memang tahta sufragan dibawah Heraclea], yang begitu teracuni oleh kenaikan posisinya, mengambil
gelar "patriakh ekumenis," lagi-lagi Paus Roma Kuno yang dengan
tegas mengecam kesombongan mereka. Oleh karena itu kita bisa memahami
rasa iri dan kebencian dalam pikiran sang patriakh baru [ie.
Patriakh Constantinople] sampai-sampai mereka bersedia untuk menghempaskan
sepenuhnya suatu otoritas yang selalu berada dihadapan setiap langkah
mereka. Fakta bahwa pihak-pihak Timur lainnya bergabung dengan mereka
[ie. para Patriakh Constantinople] merupakan buah dari
otoritas yang berhasil mereka ambil alih dari uskup-uskup Timur lainnya. Jadi kita tiba pada pertimbangan penting dalam permasalahan ini.
Skisma Timur bukanlah sebuah gerakan yang muncul di seluruh Timur;
skisma Timur bukanlah sebuah pertikaian antara dua institusi besar;
Skisma Timur secara esensial adalah pemberontakan
satu tahta, yaitu Constantinople, yang berkat
perlakuan kaisar kepadanya sebagai anak emas, berhasil mendapatkan
suatu pengaruh yang besar sehingga berkat pengaruh itu Constantinople mampu
menggeret para patriakh lain [yang tak senang dengan pengeretan tersebut]
kedalam skisma.
Kita telah
melihat bagaimana sufragan-sufragan dari para patriakh
secara alami akan mengikuti kepala mereka. Kalau saja Constantinople berdiri
sendiri maka skisma yang dilakukannya hanya akan menimbulkan pengaruh yang relatif kecil. Apa yang membuat situasi menjadi begitu serius adalah
fakta bahwa pihak Timur lain pada akhirnya bergabung bersamanya. Ini
dikarenakan upaya Constantinople yang sangat sukses dalam menempatkan diri
sebagai kepala Tahta di Timur. Jadi tindakan menaikkan posisi yang
dilakukan Constantinople secara tak diragukan lagi adalah penyebab dari
skisma besar tersebut [ie. Skisma Timur]. Tindakan tersebut membuatnya
berkonflik dengan Roma dan membuat sang patriakh Byzantine [ie. Patriakh
Constantinople] hampir secara tak terelakkan menjadi musuh Paus; dan
pada saat yang sama [kenaikan posisi tersebut] membuatnya berada dalam suatu
posisi dimana kebenciannya berarti kebencian seluruh pihak Timur.
Atas apa yang
terjadi, kita harus ingat bagaimana sepenuhnya tidak berdasar, benar-benar baru
[ie. tidak pernah ada sebelumnya], dan tidak kanonik upaya Constantinople untuk
meningkatkan statusnya. Tahta Constantinople bukanlah tahta apostolik, tidak
mempunyai tradisi mulia, tidak punya alasan apapun atas pengambilalihannya
atas posisi pertama di Timur, dimana pengambilalihan tersebut hanyalah
akibat sampingan dari kegiatan politik sekuler. Uskup histories pertama
dari Byzantium [ie. Constantinople]
adalah Metrophanes (312-25); dia bahkan bukan seorang metropolitan
[ie. uskup agung], rankingnya adalah ranking terendah yang bisa dimiliki
seorang uskup dari sebuah keuskupan, seorang sufragan dari Heraclea. Hanya itulah seharusnya yang bisa dijabat oleh para
penerusnya. Para penerusnya seharusnya tidak memiliki kuasa untuk
mempengaruhi siapapun kalau saja kaisar Constantin tidak memilih kota mereka
sebagai ibukotanya. Selama perkembangan [statusnya] para uskup
Constantinople tidak menyembunyikan diri dalam mendasarkan klaim mereka tidak
pada dasar apapun kecuali pada fakta bahwa mereka sekarang adalah uskup dari ibukota
negara. Adalah sebagai uskup-uskup kekaisaran, sebagai fungsionaris istana kekaisaran, mereka ini naik
kepada tempat kedua di ke-kristen-an. Legenda mengenai St. Andreas yang
mendirikan tahta mereka adalah pemikiran yang muncul jauh kemudian; pemikiran
tersebut sekarang ditinggalkan semua ahli. Klaim Constantinople sejujurnya
adalah klaim yang sangat Erastian [ie.pandangan bahwa Gereja harus tunduk kepada negara], yaitu
kalau Caesar bisa mendirikan ibukotanya dimanapun dia suka, maka dia
[ie. Caesar], sebagai gubernur sipil, bisa memberikan ranking kegerejaan
dalam suatu hierarkhi terhadap tahta manapun yang dia suka.
Kanon 28 dari konsili ekumenis Chalcedon [yang ditetapkan setelah para duta kepausan
meninggalkan konsili, dan Paus pun tidak pernah
mengakuinya] menyatakan fakta diatas dalam banyak kata. [Kanon
itu menyatakan bahwa] Constantinople telah menjadi Roma
Baru, karenanya uskupnya akan mempunyai
kehormatan sebagaimana
patriakh Roma Kuno dan menjadi yang kedua
setelahnya. Hanya butuh kelancangan sedikit lagi untuk meng-klaim bahwa sang
kaisar bisa memindahkan semua hak kepausan kepada uskup yang kotanya dia
jadikan kota kekaisaran.
Biarlah diingat
bahwa naiknya Constantinople, kecemburuannya kepada Roma, pengaruhnya yang tak disenangi diatas semua pihak Timur adalah Erastianisme murni ["Erastianisme adalah pandangan bahwa
Gereja harus tunduk kepada negara], sebuah penyerahan atas semua yang
dari Allah kepada Kaisar. Dan tak ada apapun yang lebih labil daripada mendasarkan
hak-hak kegerajaan atas politik sekuler. Bangsa Turki pada 1453 memotong
pondasi dari ambisi Byzantine [ie. Constantinople]. Sekarang tidak
ada kaisar dan tidak ada Istana untuk memberi pembenaran atas posisi
patriakh. Kalau kita menerapkan kembali prinsip yang dijadikan dasar [untuk
menaikkan posisi Constantinople, yaitu bahwa kewibawaan suatu tahta kegerajaan
didasarkan dari posisi kepemerintahan dimana tahta itu berada], [maka
Constantinople] akan tenggelam ke tempat terendah [karena sekarang
Constantinople menjadi Turki yang Islam] sedangkan sang Patriakh Ke-Kristen-an
akan bertempat di Paris, London, New York [karena tempat-tempat itulah ibukota
dunia berada]. Sementara itu prinsip kanon kuno dan sejati dari superioritas
Tahta-Tahta Apostolik tetap tidak tersentuh
oleh perubahan politik [dibandingkan kalau kita memakai
prinsip yang digunakan Constantinople sebagai dasar untuk menaikkan posisinya].
Disamping asal-muasal ilahi dari Kepausan, upaya menaikkan posisi Constantinople
merupakan suatu pelanggaran buruk atas hak-hak dari Tahta Apostolik
Aleksandria dan Antiokia. Kita tidak perlu heran ketika para Paus,
meskipun posisi mereka sebagai yang pertama tidak dipermasalahkan, menolak
gangguan terhadap hak-hak kuno [dari Tahta Apostolik Aleksandria dan
Antiokia] oleh ambisi dari sang uskup kekaisaran [dalam menaikkan posisi
keuskupannya sendiri untuk sejajar dengan Tahta-Tahta Apostolik kuno
tersebut].
Jauh sebelum Photius telah ada skisma-skisma antara Constantinople dan Roma, semuanya sembuh pada waktunya, namun secara alamiah
semua itu cenderung memperlemah rasa akan adanya suatu kesatuan esensial
[yang ada antara Barat dan Timur]. Sejak awal daripada Tahta Constantinople
sampai kepada skisma besar pada 867, daftar pecahnya persekutuan yang terjadi
memang sangat signifikan. Ada limapuluh-lima tahun
skisma (343-98) ketika terjadi permasalahan dengan
para Arian, sebelas tahun karena deposisi St. Yohanes Khrysostomus
(404-15), tigapuluh-lima tahun skisma Acacia (484-519), empatpuluh-satu
tahun skisma Monothelite (640-81), enampuluh-satu tahun karena Iconoclasm.
Jadi selama 544 tahun (323-867) tidak kurang dari 203 tahun dijalani
Constantinople dalam kondisi skisma. Kita catat juga bahwa pada setiap
pertikaian yang terjadi Constantinople berada di pihak
yang salah; dan juga, oleh persetujuan para
Orthodoks pula-lah, Roma dalam semua skisma
tersebut berdiri tegak bagi yang benar [ie.Othodoks
pun setuju bahwa dalam semua skisma yang terjadi antara 323-867, Roma-lah yang
benar]. Dan pada ketika itupun kita sudah bisa
melihat bahwa pengaruh sang
kaisar (yang secara alami selalu mendukung patriakh-nya
sendiri [ie.Patriakh Constantinople]) , dalam kebanyakan kasus, selalu menggeret
sejumlah besar uskup Timur ke dalam skisma.
III. PHOTIUS DAN CAERULARIUS
Cukuplah alamiah bahwa skisma-skisma besar [skisma-nya Photius
dan skisma-nya Caerularius], yang secara langsung bertanggungjawab
atas kondisi sekarang ini, seharusnya merupakan pertikaian local di
Constantinople. Skisma-skisma besar tersebut sama sekali bukan suatu keluhan umum dari seluruh Timur. Pada saat
terjadinya kedua skisma tersebut [skisma-nya Photius dan skisma-nya
Caerularius] tidak ada alasan apapun kenapa uskup-uskup [Timur] lainnya harus
bergabung dengan Constantinople dalam pertikaian Constantinople dengan Roma,
kecuali bahwa mereka telah terbiasa meminta perintah-perintah pada kota kekaisaran. Pertikaian
yang dibuat si Photius merupakan sebuah pembangkangan menjijikkan
atas tatanan kegerejaan yang sah. Tanpa bisa
dipertanyakan lagi Ignatius adalah uskup yang sah [saat itu]; Ignatius telah memerintah secara damai selama sebelas tahun. Lalu Ignatius menolak Komuni kepada seseorang yang berdosa karena menjalani incest [ie. hidup secara suami-istri dengan
kerabat yang masih sangat dekat] secara public (857). Namun orang
itu adalah sang regent [regent adalah orang yang
memerintah selama kaisar yang asli tidak mampu], Bardas, jadi pemerintah mencopot Ignatius dan menaikkan
Photius ke tahta. Paus Nicholas I tidak punya pertikaian
dengan Gereja Timur; Paus tidak punya
pertikaian dengan tahta Byzantine [ie. Constantinople]. Paus membela bagi hak-hak seorang uskup
yang sah [ie. Ignatius]. Baik Ignatius maupun Photius telah secara formal mengajukan banding kepadanya. Hanyalah ketika
Photius sadar bahwa pembelaannya kalah maka kemudian dia dan kekaisaran lebih memilih skisma daripada tunduk (867). Bahkan pada saat inipun masih diragukan apakah
telah terjadi skisma Timur secara umum atau belum. [Ini karena]
pada konsili yang memulihkan Ignatius kepada tahtanya (869) para
patriakh yang lain menyatakan bahwa mereka dulunya menerima keputusan
paus yang sebelumnya [keputusan bahwa Ignatius-lah patriakh yang asli,
bukan Photius]
Namun Photius telah membentuk satu faksi anti-Roma yang tidak pernah
terbubarkan setelah [segala kemelut berakhir]. Efek dari pertikaian Photius,
meskipun sifatnya murni pribadi dan meskipun sudah didamaikan dengan
matinya Ignatius yang kemudian didamaikan untuk kedua kalinya lagi saat
Photius jatuh, adalah menyatukan semua kecemburuan lama
Constantinople terhadap Roma kepada satu pribadi (ie.Photius). Kita bisa
melihat ini pada keseluruhan terjadinya peristiwa Skisma Photius. Permasalahan
mengenai hak palsu Photius [sebagai seorang Patriakh sementara
Patriakh yang sah, Ignatius, masih ada] tidak [layak dijadikan penyebab]
atas ledakan kesengitan kepada sang Paus, kepada apapun yang berbau Barat dan
Latin [dimana] ini kita ketahui dari dokumen-dokumen kekaisaran, dari surat-surat
Photius, dari Akta-Akta sinode yang diadakan Photius pada 879, dari
semua sikap faksinya. Sebenarnya yang menyebabkan semua itu adalah meledaknya
kesengitan selama berabda-abad karena sebuah alasan palsu [ie. pretext]
yang lemah; kepenolakan sengit atas campur tangan Roma ini datang dari
orang-orang yang tahu peristiwa-peristiwa kuno bahwa Roma adalah penghalang
rencana-rencana dan ambisi-ambisi mereka. Terlebih, Photius memberikan
kepada kaum Byzantine sebuah senjata yang baru dan kuat. Seruan bidah
sering digaungkan di sepanjang masa; dan hal ini tidak pernah gagal untuk
menimbulkan ketidakpuasan massal. Namun [sebelum Photius] tidak pernah
terpikirkan oleh siapapun untuk menuduh seluruh bahwa Barat terlibat
dalam bidah yang sangat merusak. Sebelumnya kasus-kasus yang terjadi adalah
penolakan terhadap penggunaan otoritas kepausan dalam kasus-kasus individu yang
tak berhubungan. [Namun pada masa
Photius] gagasan baru [si Patriakh Constantinople tersebut] membawa peperangan
ke kemah sang musuh dengan sebuah perasaan dendam. Enam tuduhan Phoitus
[kepada Roma] cukup konyol, sebegitu konyolnya sehingga kita bisa heran
mengapa seorang pelajar yang besar seperti Photius tidak memikirkan sesuatu yang lebih cerdik lagi, paling tidak di permukaannya saja.
Namun tuduhan Photius tersebut merubah situasi sehingga keuntungan
berada di pihak Timur. Ketika Photius menyebut
kaum Latin "pembohong-pembohong, pelawan-pelawan Allah, pelayan-pelayan
Antikristus", masalahnya bukan lagi
pelecehan terhadap superior kegerejaannya [ie. Paus adalah superior dari
Photius]. Sekarang Photius mendapatkan peran yang lebih efektif, dia
adalah kampiun ortodoksi yang tidak puas
terhadap si bidat.
Setelah Photius, John Bekkos mengatakan bahwa ada "perdamaian sempurna"
antara Timur dan Barat. Namun perdamaian tersebut hanya di permukaan.
Agenda-agenda Photius tidaklah mati. Agenda-agenda tesebut masih belum terlihat
pada faksi yang dia tinggalkan, faksi yang masih membenci Barat, dan
yang siap untuk memutuskan kesatuan sekali lagi dengan berlandaskan
alasan palsu apapun. Faksi yang masih ingat akan tuduhan bidat kepada kaum
Latin dan siap untuk membangkitkan tuduhan itu kembali. Pastilah sejak masa
Photius, kebencian dan kejijikan kepada kaum Latin merupakan sebuah warisan
dari banyak klerus Byzantine. Bagaimana mengakarnya dan bagaimana luas
sebarannya bisa dilihat dengan ledakan besar yang absolute 150 tahun kemudian dibawah
[ke-patriakh-an] Michael Caerularius (1043-58). Bahkan pada saat ini
tidak ada bayangan apapun atas sebuah alasan palsu. Tidak ada seorang pun
yang mempertanyakan hak Caerularius sebagai Patriakh; sang Paus tidak mencampuri urusan
Caerularius sama sekali. Lalu tiba-tiba pada 1053 dia mengirimkan
sebuah deklarasi perang, lalu menutup semua gereja Latin di
Constantinople, melontarkan sejumlah
tuduhan-tuduhan tak jelas, dan mempertunjukkan
dengan berbagai cara bahwa dia menginginkan suatu skisma, tampaknya
hanya dikarenakan dia telah merasakan nikmatnya
tidak bersekutu dengan Barat. Caerularius
mendapatkan apa yang dia inginkan. Setelah
sejumlah agresi tak terkendali, yang tak pernah ada
duanya dalam sejarah gereja, setelah dia mulai
mencoret nama Paus dari diptych-nya [ie. dua tatakan dari batu
yang ada ukirannya], para duta kepausan meng-ekskomunikasinya (16 Juli
1054). Namun pada saat itu masih belum ada pemikiran akan
terjadinya suatu ekskomunikasi umum atas Gereja Byzantine, ataupun
bahkan ekskomunikasi semua [Gereja] Timur. Para duta kepausan dengan
hati-hati menghindari hal tersebut dalam Bulla mereka. Mereka mengakui
bahwa sang Kaisar (Constantine IX, yang sangat terganggu oleh keseluruhan
pertikaian tersebut), dewan Senator, dan mayoritas penduduk kota [Constantinople]
adalah [orang yang] "sangat saleh dan ortodoks". Mereka meng-ekskomunikasi
Caerularius, Leo dari Achrida dan pengikut-pengikut mereka.
Pertikaian
inipun sebenarnya tidak perlu menghasilkan sebuah kondisi skisma yang lebih
permanen sebagaimana pula bila terjadi ekskomunikasi uskup yang memberontak.
Tragedi yang sebenarnya adalah bahwa secara gradual semua Patriakh Timur
berpihak kepada Caerularius. Mereka mematuhinya dengan mencoret nama Paus dari diptych [ie.
dua tatakan dari batu yang ada ukirannya] mereka, dan memilih atas kerelaan
mereka sendiri untuk berbagai dalam skisma yang [dilakukan Caerularius]. Pada
awalnya mereka tampaknya tidak ingin berlaku seperti itu. John III dari
Antiokia jelas menolak ber-skisma atas ajakan
Caerularius. Namun, lambat laun, kebiasan meminta
perintah-perintah [ie.keputusan-keputusan] kepada Constantinople
terbukti terlalu kuat. Sang kaisar
([pada saat ini yang menjabat] bukan Constantine IX, tapi penerusnya) berada di
pihak patriakh-nya dan mereka [i.e semua Patriakh Timur] telah belajar
dengan baik untuk menganggap kaisar sebagai Tuan
mereka dalam
perkara-perkara spiritual. Sekali lagi, adalah
pengambilalihan otoritas oleh Constantinople, Erastianisme [ie.
pandangan bahwa Gereja hrus tunduk kepada negara] kaum Timur yang mengubah sebuah pertikaian pribadi
menjadi sebuah skisma besar. Kita juga melihat bagaimana gagasan
Photius untuk menyebut kaum Latin sebagai
bidat telah dipelajari. Caerularius mempunyai sebuah
daftar, yang lebih panjang dan lebih parah, mengenai tuduhan-tuduhan
seperti [yang dibuat Photius]. Poin-poin [tuduhan Caerularius] berbeda dari
Photius; dia telah melupakan Filioque, dan telah menemukan sebuah bidaah baru berkenaan
dengan penggunaan roti azyme oleh kaum Latin. Namun tuduhan
yang sesungguhnya [sebenarnya] tidak begitu penting, [yang penting adalah] gagasan menyatakan bahwa kaum
Latin adalah orang yang mustahil karena mereka adalah bidat,
merupakan gagasan yang dirasa sangat berguna [bagi kaum Timur]. [Tuduhan bidat tersebut] sangat menghina dan [tuduhan tersebut] memberi kepada para
pemimpin-pemimpin yang skismatik kesempatan
memperoleh peran paling efektif, yaitu peran
sebagai pembela Iman sejati.
IV. SETELAH CAERULARIUS
Dalam satu arti, skisma tersebut telah komplit. Apa yang pada awalnya
adalah dua bagian dari Gereja yang sama, apa yang telah menjadi dua entitas yang siap untuk pecah, sekarang adalah dua Gereja rival. Namun, sebagaimana
sebagaimana ada skisma-skisma sebelum Photius, begitu pula ada reuni-reuni
setelah Caerularius. Pada konsili Lyons Kedua pada 1274 dan [pada] Konsili
Florence pada 1439 tercapai reuni yang diharapkan orang-orang untuk
[menyatukan perpecahan] selamanya. Sayangnya, kedua reuni tersebut tidak
abadi, keduanya tidak mempunyai basis yang kuat atas pihak Timur. Faksi
anti-Latin yang laten sejak dahulu dan kemudian dibentuk dan
diorganisasi oleh Photius, sekarang telah menjadi Gereja
"Orthodox" secara keseluruhan dibawah Caerularius. Proses
tersebut bersifat gradual, namun sekarang telah komplit. Pada awalnya
Gereja Slavia (Rusia, Servia [Serbia], Bulgaria etc.) tidak melihat adanya
suatu alasan mengapa mereka mesti memutus persekutuan dengan Barat
karena seorang Patriakh Constantinople marah terhadap Paus. Namun kebiasaan
merujuk kepada ibukota kekaisaran lambat laun mempengaruhi mereka juga.
Mereka menggunakan ritus Byzantine, mereka adalah Timur; jadi mereka
berpihak kepada Timur. Caerularius dengan cerdik telah berhasil menyajikan persoalannya sebagai persoalan kaum Timur; tampaknya
persoalannya adalah permasalahan mengenai Byzantine versus Latin,
meskipun ini sangat tidak adil.
Pada Konsili
Lyons, dan lagi pada Konsili Florence, reuni (bagi pihak timur) adalah sebuah
perpanjangan tindakan politis dari Pemerintahan [Timur]. Sang Kaisar
menginginkan kaum Latin untuk berperang bagi dirinya melawan bangsa Turki. Jadi
dia sudah siap untuk memasrahkan apapun — sampai bahaya berlalu. Cukup jelas
pada saat-saat ini motivasi agama hanya menggerakkan pihak Latin. Kita [ie.
pihak Latin] tidak untung apapun; kita tidak mau apapun dari mereka [ie. pihak
Timur]. Kaum Latin punya banyak hal yang bisa ditawarkan, mereka [ie.kaum
Latin] siap untuk memberi bantuan.. Yang mereka minta sebagai balasan adalah
berakhirnya tontonan yang memprihatinkan dan aib akan suatu kekristenan yang
terpecah. Pihak Byzantine tidak peduli terhadap motivasi agama; atau
lebih tepatnya, bagi mereka agama berarti terus melanjutkan skisma.
Mereka begitu sering memanggil kita [ie. kaum Latin] sebagai bidat
sehingga mereka mulai meyakininya. Reuni [bagi mereka] adalah suatu
kondisi yang tidak menyenangkan dan memalukan supaya tentara [bangsa] datang
dan melindungi mereka. Umat-umat awam Timur sudah begitu terlatih dalam
kebencian mereka akan Azymite [color-darkred][catatan
DeusVult: "tak beragi," maksudnya roti tak beragi. Gereja Timur
menggunakan roti beragi][/b][/color]. dan perubah-syahadat, sehingga semangat
mereka terhadap apa yang mereka anggap Orthodoksi menang atas ketakutan mereka terhadap bangsa Turki. Ungkapan "lebih baik turban sang Sultan daripada tiara sang
Paus" mencerminkan dengan tepat pemikiran mereka. Ketika uskup-uskup
yang menandatangani dekrit reuni pulang, mereka setiap kali disambut
dengan badai seruan ketidakpuasan sebagai pengkhianat iman Orthodox. Setiap kali reuni
berakhir secepat dibuatnya [reuni tersebut]. Tindakan skisma terakhir
adalah ketika Dionysius I dari Constantinople (1467-72) memanggil sinode dan
secara formal menolak persatuan (1472). Sejak saat itu tidak pernah ada
interkomuni; sebuah Gereja "Orthodox" yang luas terbentuk,
tampaknya puas dengan kondisi skisma dengan uskup yang mereka masih akui
sebagai patriakh pertama ke-kristen-an [ie.Paus Roma].
V. ALASAN-ALASAN ATAS SKISMA SAAT INI
Dalam kisah yang memprihatinkan ini kita mencatat beberapa poin. Adalah lebih
mudah untuk memahami bagaimana suatu skisma berlanjut daripada bagaimana skisma itu bermula. Skisma gampang dibuat; namun sangatlah sulit untuk diperbaiki.
Insting religius sikapnya selalu konservatif; ada kecenderungan kuat untuk
melanjutkan kondisi yang telah berlangsung. Pada awalnya para skismatik
adalah para innovator [ie. pihak yang memunculkan sesuatu yang baru yang
belum pernah ada sebelumnya] yang ceroboh; kemudian dengan berlalunya abad
alasan mereka tampak sebagai alasan yang lebih kuno; alasan lebih kuno yang merupakan iman sejati
para Bapa Gereja. Umat Kristen Timur
khususnya mempunyai insting konservatif ini secara kuat. Mereka takut
kalau reuni dengan Roma berarti suatu pengkhianatan terhadap Iman lama, pengkhianatan atas Gereja
Orthodox, pengkhianatan terhadap apa yang telah mereka pegang secara heroik
selama berabad-abad ini. Bisa dikatakan bahwa skisma Timur berlanjut karena
daya inersia [ie. dari istilah fisika yang berarti kecenderungan suatu
benda untuk tetap pada kondisi sebelumnya. Kalau kondisi sebelumnya diam, maka
benda akan cenderung diam. Kalau bergerak, maka benda akan cenderung
bergerak].
Pada asal
muasalnya kita harus membedakan antara kecenderukan skismatik dan peristiwa
actual atas meledaknya kecenderungan tersebut. Namun alasan atas keduanya
sudah tidak ada lagi saat ini. Kecenderungannya adalah kecemberuan yang
disebabkan oleh naiknya posisi Tahta Constantinople. Perkembangan posisi
Constantinople telah berakhir sejak dulu sekali. Pada tiga abad terakhir
Constantinople telah kehilangan hampir semua tanah yang dulunya dimiliki. Tidak
ada yang lebih ditolak oleh umat Kristen Ortodoks modern daripada naiknya
otoritas apapun oleh patriakh ekumenis diluar ke-patriakh-annya yang mengecil. Tahta
Byzantine telah lama menjadi mainan bangsa Turki, [bagai] benda yang bisa
dijual kepada penawar tertinggi. Tentunya sekarang harga diri yang [telah
menjadi cukup] menyedihkan ini bukan lagi alasan bagi skisma oleh hampir
100,000,000 umat Kristen. Bahkan [dua] penyebab langsung dari perpecahan
sudah tidak ada lagi. [Yang pertama adalah] permasalahan akan hak-hak
Ignatius dan Photius [ie. siapa Patriakh yang sah] bahkan tidak dipedulikan
lagi oleh kaum Ortodoks setelah sebelas abad.; [sedangkan penyebab langsung
kedua yaitu] ambisi dan kelancangan Caerularius telah terkubur
bersamanya. Tidak ada lagi yang tersisa atas penyebab-penyebab asli
Skisma Timur.
Tidak
benar-benar ada masalah apapun yang berkenaan dengan doktrin. Masalahnya
bukan bidaah, tapi skisma. Dekrit Florence [mengantisipasi segala
perasaan tidak enak yang mungkin muncul dari mereka]. Tidak ada alasan nyata
mengapa mereka tidak menandatangani dekrit tersebut sekarang. Mereka menolak
infallibilitas Paus dan Konsepsi Tanpa Noda [ie. ajaran bahwa
Perawan Maria dikandung tanpa noda dosa asal], mereka bertikai atas Api
Penyucian, atas konsekrasi dengan menggunakan kata-kata institusi,
prosesi Roh Kudus, dalam setiap hal tersebut [mereka] salah paham terhadap
dogma yang mereka tolak. Tidak sulit untuk ditunjukkan bahwa atas semua
poin-poin tersebut Bapa Gereja mereka sendiri [ie.para Bapa Gereja
Timur] sepakat dengan ajaran Gereja Latin, Gereja yang hanya meminta
mereka untuk kembali kepada ajaran kuno Gereja mereka sendiri.
Itulah sikap
yang benar terhadap Ortodoks, selalu. Mereka mempunyai
ketakutan [bahwa mereka] akan dilatinisasi., [bahwa mereka akan] mengkhianati
Iman kuno. Kita harus menekankan bahwa tidak ada pikiran untuk
me-latin-kan mereka, dan bahwa iman kuno bukanlah tidak cocok,
malahan menuntut kesatuan dengan tahta utama yang dipatuhi para Bapa Gereja mereka sendiri. Pada hukum kanon mereka tidak ada yang perlu diubah kecuali
penyelewengan-penyelewengan seperti penjualan posisi uskup dan Erastianisme
[ie. pandangan bahwa Gereja harus tunduk pada negara] yang dikecam teolog
mereka sendiri. Selibat, roti tak beragi, dan yang lain
adalah kebiasaan Latin yang tidak pernah terpikirkan seorang pun untuk
dipaksakan kepada mereka. Mereka tidak perlu menambahkan filioque kepada syahadat mereka;
ritus terhormat mereka tidak akan disentuh. Tidak ada satu uskup pun
yang perlu dipindah dan hampir tidak ada satu hari raya pun yang perlu
diubah (kecuali perayaan St.
Photius pada 6 Februari). Yang diminta hanya agar mereka kembali ke
tempat dimana Bapa Gereja mereka berdiri, untuk memperlakukan Roma
sebagaimana Athanasius, Basil, Chrysostom memperlakukannya. Bukan kaum
Latin, tapi merekalah yang telah meninggalkan iman para Bapa Gereja mereka.
Tidak ada permaluan untuk melangkah balik ketika seseorang [memang] telah
melanglang ke jalan yang salah karena pertikaian pribadi yang telah lama
terlupakan. Mereka seharusnya juga melihat bagaimana parahnya skandal
perpecahan terhadap tujuan bersama. Mereka seharusnya juga berkeinginan untuk
mengakhiri jeritan iblis [skisma] ini. Dan kalau mereka benar-benar
menginginkannya, caranya tidak harus menjadi sulit. Karena, memang,
setelah enam abad skisma kita bisa menyadari dari sudut pandang kedua pihak bahwa
skisma bukan hanya yang kejahatan terbesar di Kekristenan, tapi juga
merupakan kejahatan paling sia-sia di Kekristenan.
Informasi publikasi
Ditulis oleh
Adrian Fortescue. Di-transcribed oleh Judy Levandoski.
The Catholic
Encyclopedia, Volume XIII. Diterbitkan pada 1912. New York: Robert Appleton
Company. Nihil Obstat, 1 February 1912. Remy Lafort, D.D., Censor. Imprimatur.
+John Cardinal Farley, Uskup Agung New York
trus
saat ini bagaimana nasib keempat patriakh tersebut (yerusalem, anthiokia,
constantinopel dan alexandria) ??? |
Diluar Gereja Katolik masih ada yang mengklaim sebagai patriarkh
keempatnya. Bahkan ada patriark tandingan untuk ke-patriarkh-an yang sama.
Untuk Gereja Katolik sendiri, menurut Catholic Encyclopedia:
Patriarch and Patriarchate, masih ada. Tapi: 1)
pembagian wilayahnya tidak sama dengan dulu, 2) tidak semuanya punya
yurisdiksi, ada yang cuma Patriark titular [dalam gelar saja, tapi tanpa
yurisdiksi]. Silahkan baca lebih lanjut di bab V di entry encyclopedia tersebut
(yang "A. Catholics").
lagibelajar
wrote: |
sambil
baca2 link di atas .. mau nanya lagi ahh ... |
Roma, Antiokia, Alexandria didirikan langsung oleh para rasul.
Roma dan Antiokia oleh St. Petrus, Alexandria oleh St.
Markus.
Mengenai Yerusalem, meskipun dikatakan bahwa St. Yakobus saudara
Yesus adalah Uskup pertama Yerusalem, tapi kondisi Yerusalem yang
sangat tidak bersahabat terhadap umat Kristen pada masa itu tidak
memungkinkan menjadi ke-patriarkhan. Pada konsili Nicea
(325AD) Yerusalem diberi gelar kehormatan sebagai ke-patriarkh-an.
Constantinople baru diakui sebagai ke-patriarkh-an, setelah lama ngotot
ingin menjadi ke-patriarkh-an, pada konsili Lateran (1215AD) oleh
Gereja.
Quote: |
trus siapa yang mendirikannya ?? apa dasar berdirinya ??? dan
bagaimana proses pengankatan/pemilihan patriakh2 tersebut pada masa itu ??? |
Yang mendirikan Roma dan Antiokia adalah Petrus. Yang mendirikan
Alexandria adalah St. Mark.
Yerusalem sendiri susah ditentukan siapa yang mendirikan. Bisa dkatakan kalau
setelah Nicea I, Yerusalem dijadikan ke-patriarkh-an.
Ke-patriakrh-an dari Constantinople ditetapkan pada 1215AD di konsili Lateran.
Quote: |
trus bagaimana hubungan /komunikasi yang terjalin antara
patriakh2x itu ??? sebatas "say hello " kah ?? atau ada semacam
koordinasi diantara mereka ?? |
Kalau para Patriarkh masa kini yang bersekutu
penuh dengan Katolik, ya mereka berhubungan seperti Uskup-Uskup Indonesia berhubungan
dengan Uskup Luar Negeri dan berhubungan dengan kuria kepausan Vatikan.
Constantinople baru diakui sebagai ke-patriarkh-an, setelah lama
ngotot ingin menjadi ke-patriarkh-an, pada konsili Lateran (1215AD) oleh
Gereja. |
DeusVult
wrote: |
|
Konstantinopel diangkat menjadi Kepatriarkhan pada tahun yang sama
dengan Yerusalem (sebelum itu hanya Roma, Alexandria, dan Antiokhia yang
merupakan Kepatriarkhan). Selama berabad-abad Roma selalu enggan mengakui
Konstantinopel sebagai takhta dengan kehormatan kedua (karena dalam
pandangan Roma, Kepatriarkhan harus terhubung dengan Rasul Petrus
seperti halnya Roma, Alexandria-karena Markus adalah murid Petrus-,
dan Antiokhia terhubung dengan Petrus). Tahun 1215 adalah untuk pertama kalinya
Roma berlapang dada menerima Patriarkh Latin Konstantinopel (ini pun bukan
yang Yunaninya) duduk di tempat kehormatan kedua dalam Konsili.
lagibelajar
wrote: |
trus apa bedanya antiokia dgn roma ,mereka sama2 didrikan oleh
St Petrus,kalau memanmg kita sepakati bahwa seorang uskup mewarisi kewibawaa
pendiri tahtanya,harusnya uskup antiokia sama derajatnya dgn uskup roma donk
.. |
Petrus hanya di martir di Roma, dan bukan di Antiokhia.
lagibelajar
wrote: |
||
|
Karena keutamaan penerus Petrus tidak didasarkan pada pendirian suatu
ke-patriarkh-an oleh Petrus. KALAU memang pendirian suatu ke-patriarkh-an
mendasari keutamaan penerus Petrus, maka memang seharusnya Roma dan Antiokia saling
meng-klaim keutamaan.
Athanasios
wrote: |
||||
|
Memang ada benarnya bahwa pada 1215-lah Constantinople ditempatkan di
tempat kedua.
Lalu darimana info pendirian ke-Patriarkh-an Constantinople yang sama dengan
Yerusalem itu?
Lalu darimana info pendirian ke-Patriarkh-an Constantinople yang
sama dengan Yerusalem itu? |
First
Council of Constantinopel I (381)
Can 3. Because it is new
Rome, the bishop of Constantinople is to enjoy the privileges of honour
after the bishop of Rome
Inilah untuk pertama kalinya
Konstantinopel mendapat 'tempat kedua' dalam Gereja, tetapi Roma selalu
menolaknya dengan alasan hanya tahta yang berhubungan dengan Petrus (Roma,
Alexandria, dan Antiokhia) yang berhak mendapat status Patriarkh (tradisi ini
bermula dari Paus St. Damasus). Untuk alasan yang sama Leo menolak Kanon 28
Konsili Khalsedon (Roma selalu menjadi pendukung fanatik Kanon 6 Konsili Nicaea
dan tidak menginginkan ada tambahan kepatriarkhan baru)
Dalam Konsili Chalcedon
Uskup Yerusalem mendapat 'tempat kehormatan' ke 5, tetapi Kanon Konsili tidak
menyinggung apa-apa soal pengangkatan ini. Dan baru pada Kanon 36 Konsili
Quinsext kedudukannya diteguhkan dalam Kanon
36.Renewing the laws made by
the one hundred and fifty Holy Fathers who assembled in this God-guarded imperial
capital city, and by the six hundred and thirty of those who assembled in
Chalcedon, we decree that the throne of Constantinople shall enjoy equal
seniorities (or priorities) with the throne of older Rome, and in
ecclesiastical matters shall be magnified like the latter, coming second after
the latter; after which the throne of the great city of the Alexandrians shall
come next, then that of Antioch, and after this the throne of the city of the
Jerusalemites.
Harap diperhatikan jika
Konsili Konstantinopel I memberikan kehormatan kedua kepada Konstantinopel
dengan alasan itu adalah 'Roma baru' (logika yang diikuti oleh Konsili
Chalcedon di Kan 28, dan seterusnya sampai Konsili Florence), Roma beranggapan
bahwa hubungan dengan Petrus adalah kriteria utama. Dalam Decretum Gelasianum tertulis:
3. Therefore first is the
seat at the Roman church of the apostle Peter 'having no spot or wrinkle or any
other [defect]'.
However the second place was
given in the name of blessed Peter to Mark his disciple and gospel-writer at
Alexandria, and who himself wrote down the word of truth directed by Peter the
apostle in Egypt and gloriously consummated [his life] in martyrdom.
Indeed the third place is
held at Antioch of the most blessed and honourable apostle Peter, who lived
there before he came to Roma and where first the name of the new race of the
Christians was heard.
DV …
Tapi kanon-kanon itu tidak diakui Gereja.
Begini, yang ditanyakan
"lagibelajar" adalah kapan pendirian ke-patriarkh-an.
Sementara itu pada 1215 dikatakan di CE: Patriarch and Patriarchate bahwa baru
pada saat itulah Constantinople diakui sebagai yang kedua setelah Roma. So,
bisa jadi 1215 BUKAN tahun pendirian ke-patriakrh-an Constantinople
TAPI hanya merupakan tahun kapan Constantinople diakui sebagai yang kedua
setelah Roma (meskipun bisa juga dipahami bahwa pada 1215 ke-patriarkh-an
Constantinople didirikan karena pada saat itulah Roma mengakui).
Jadi kalau memang ada sumber yang
mengatakan bahwa ke-patriarkh-an Constantinople didirikan SELAIN pada tahun
1215, maka bisa disimpulkan kalau tulisan di CE: Patriarch and Patriarchate itu
hanya berkenaan mengenai tempat kedua bagi Constantinople, bukannya mengenai
pendirian ke-patriakrkh-an Constantinople. Tapi
kalau tidak ada, maka tampaknya kita harus menyimpulkan bahwa pada 1215
ke-patriarkh-an Constantinople berdiri DAN dianggap sebagai kedua oleh
Gereja Katolik untuk pertama kali.
Athanasios
wrote: |
|
Ya, itu adalah logikanya Orthodox yang tidak diterima oleh
Gereja Katolik, and for good reason. Kalau logika itu memang benar, maka
tentunya di jaman sekarang Uskup New York atau Los Angeles atau London atau
Swiss (yang merupakan "pusat" dunia) harus dijadikan kedua setelah
Roma (argumen ini juga digunakan oleh penulis entry Eastern Schism yang aku
terjemahkan di topik ini). Kacau juga kalau Roger "Cardinal" Mahoney
(Uskup Agung Los Angeles) menjadi second to Pope Benedict XVI .
DeusVult
wrote: |
Tapi kanon-kanon itu tidak diakui Gereja. |
Kanon 6 Konsili Konstantinopel diakui (itu kan Konsili Oikumene!),
perlawanan Roma sepertinya sia-sia, karena semua Konsili sesudahnya selalu
menempatkan Konstantinopel pada tempat kehormatan kedua, dan karena kemudian
Antiokhia dan Alexandria mengalami kejatuhan karena skisma
dan berada di luar kekaisaran maka tidak bisa terhindarkan
Konstantinopel berada di tempat kedua (bagaimana mungkin Keuskupan
Alexandria yang di zaman St. Gregorius Agung hanya punya 7 paroki,
bisa menjadi second to the Pope).
DeusVult
wrote: |
So, bisa jadi 1215 BUKAN tahun pendirian ke-patriakrh-an
Constantinople TAPI hanya merupakan tahun kapan Constantinople diakui sebagai
yang kedua setelah Roma (meskipun bisa juga dipahami bahwa pada 1215
ke-patriarkh-an Constantinople didirikan karena pada saat itulah Roma
mengakui). |
Cara baca yang kedua tidaklah mungkin. Ingat, bahwa tahun 1215
tempat itu diberikan kepada Patriarkh Latin Konstantinopel. Hal ini menunjuk
kepada keadaan zaman itu, saat orang-orang Frankish (Crusader) menginvasi
Konstantinopel dan kemudian Paus mengangkat seorang Latin untuk menduduki
tahta Keuskupan Konstantinopel, sementara yang skismatik Yunani ia
singkirkan. Karena Uskup Latin ini diberi gelar Patriarkh jadi Paus sudah
mengakui Kepatriarkhan ini eksis sebelum 1215 (pertama kalinya orang Latin
ditunjuk sebagai Patriarkh Konstantinopel terjadi di tahun 1204).
Harap diingat bahwa 1215 adalah pengakuan Roma, dalam arti Roma
tidak lagi banyak protes kalau Konstantinopel ditempatkan di tempat kedua. Dulu,
Roma juga mengakui tetapi sambil menggerutu di belakang. Sekarang, mereka
mengakui dengan lebih ikhlas.
DeusVult
wrote: |
Tapi kalau tidak ada, maka tampaknya kita harus menyimpulkan
bahwa pada 1215 ke-patriarkh-an Constantinople berdiri DAN dianggap sebagaio
kedua oleh Gereja Katolik untuk pertama kali. |
Singkatnya, Kepatriarkhan diakui oleh Gereja Katolik sejak Konsili
Oikumene (Roma memberi pengakuan hanya setengah hati, dan kadang-kadang
berusaha mengembalikan keadaan ke seperti Konsili Nicaea, tetapi gagal), dan
kemudian baru mengakui dengan sepenuh hati pada tahun 1215.
Athanasios
wrote: |
||
|
Kanon 6 yang mana? Kanon 6 dari Constantinople I tidak mengangkat
Constantinople sebagai ke-patriarkh-an. Dan kalaupun kanon itu mengangkat
ke-patriarkh-an, yang diakui Gereja atas Constantinople I cuma kredo-nya.
Lalu Konsili mana saja yang menempatkan Constantinople sebagai
yang kedua? Toh setiap kali itu diusahakan Roma selalu menolak, sampai akhirnya
Roma memberi posisi itu pada 1215. Jadi tidak ada satu pun konsili ekumenis
yang diakui Gereja Katolik yang memberi Constantinople posisi kedua sampai 1215AD.
Mengenai kejatuhan ataupun ukuran yurisdiksi Alexandria dan
Antiokia, itu kan tidak otomatis membuat Constantinople naik ranking. Yang bisa
menaikkan toh keputusan Paus Roma.
Quote: |
||
|
Toh tidak harus demikian. Sekalipun si Uskup Latin diberi gelar
Patriakrh, tidak harus tahta yang dulu tersebut adalah ke-patriarkh-an. Toh
Paus bisa saja langsung mengangkat +Ignatius Soeharyo sebagai Patriarkh
Yogyakarta dan langsung menjadikan Yogyakarta ke-patriakrh-an (padahal
sebelumnya Yogyakarta bukan ke-patriarkh-an).
Quote: |
Harap diingat bahwa 1215 adalah pengakuan Roma, dalam arti Roma
tidak lagi banyak protes kalau Konstantinopel ditempatkan di tempat kedua.
Dulu, Roma juga mengakui tetapi sambil menggerutu di belakang. Sekarang,
mereka mengakui dengan lebih ikhlas. |
Bukannya sampai jaman Cerularius pun Cardinal Humbert (duta Paus
Roma) meng-address Cerularius sebagai seorang Uskup Agung (bukan Patriakrh).
Kalaupun ada "pengakuan diam-diam" itu mungkin cuma upaya diplomatis
dan untuk memudahkan dialog dengan mereka.
Kalau masalah menggerutu, bukannya Constantinople yang sejak
sebelum 1014 terus menggerutu ingin dinaikkan rankingnya (bahkan kalau bisa
sejajar atau diatas Roma) atas alasan yang superficial (karena kota itu telah
menjadi ibukota negara).
Quote: |
||
|
Tapi konsili ekumenis yang mana? Constantinople I hanya kredonya
yang diakui.
Dan bagaimana mungkin Roma
gagal kalau secara resmi (ie. versi Roma yang adalah pedoman) Constantinople
tidak pernah menjadi kedua sampai 1215? (meskipun secara praktis, para Gereja
Timur kala itu memang selalu consult ke Constantinople, sebagaimana dijelaskan
artikel CE: Eastern Schism yang aku terjemahkan di topik ini, sehingga bisa
dikatakan mereka merendahkan diri dan menjunjung Constantinople)
Jadi sebelum 1215 toh secara
resmi keadaannya tetap seperti 325 (Nicea I)? (meskipun secara praktis para
Gereja Timur selalu konsultasi ke Constantinople).
agibelajar
wrote: |
||
|
Patriakrh Constantinople yang Latin itu dibedakan dari Patriakrh
Constantinople yang Yunani. Yang Yunani adalah para skismatik yang
perpecahannya dijabarkan di topik ini. Sedankan yang Latin dibuat semasa
para Prajurit Salib menguasai Constantinople pada abad ke 13 oleh para
Prajurit Salib dan beberapa klerus yang bersama dengan mereka saat itu (Paus
sendiri tidak memerintahkan hal seperti ini).
agibelajar
wrote: |
||
|
Paus Innocent III tidak memerintahkan para Prajurit Salib tapi
karena sudah terjadi maka dia make the best of the situation dan mengesahkan
Gereja Latin Constantinople dengan seorang Patriarkh Latin.
DeusVult
wrote: |
Kanon 6 yang mana? Kanon 6 dari Constantinople I tidak
mengangkat Constantinople sebagai ke-patriarkh-an. Dan kalaupun kanon itu
mengangkat ke-patriarkh-an, yang diakui Gereja atas Constantinople I cuma
kredo-nya. |
Kanon 6 dari Konsili Konstantinopel. Yang diakui dogmatis memang
hanya Kredonya, tetapi kanon-kanon disiplinernya mempunyai
kewibawaan.
DeusVult
wrote: |
Lalu Konsili mana saja yang menempatkan Constantinople sebagai
yang kedua? Toh setiap kali itu diusahakan Roma selalu menolak, sampai
akhirnya Roma memberi posisi itu pada 1215. Jadi tidak ada satu pun konsili
ekumenis yang diakui Gereja Katolik yang memberi Constantinople posisi kedua
sampai 1215AD. |
Konstantinopel I, apakah selain dari hal yang dogmatis itu berarti
kanon Konsili tidak diakui? kedua, sekalipun para Paus menentang, tetapi hanya
satu kali mereka menentang secara resmi yaitu saat Leo I menolak mengakui
Kanon 28 Konsili Kalsedon, namun kenyataannya penolakan itu di-ignore dan
Gereja di Timur berjalan menurut Kanon 28, dan para Paus sesudah Leo tidak
mempermasalahkan kenyataan bahwa Konstantinopel bekerja menurut yurisdiksi yang
ada di Kanon 28 dan menjadi tahta terhormat ke 2 dalam Gereja Universal (karena
Antiokhia dan Alexandria semakin subordinate kepada Konstantinopel).
DeusVult
wrote: |
Mengenai kejatuhan ataupun ukuran yurisdiksi Alexandria dan
Antiokia, itu kan tidak otomatis membuat Constantinople naik ranking. Yang
bisa menaikkan toh keputusan Paus Roma. |
Kenyataannya adalah Alexandria dan Antiokhia langsung dengan rela
memberikan tempat itu kepada Konstantinopel, dan semakin lama mereka semakin
'dekat' dengan Konstantinopel. Roma tidak bisa berbuat apa-apa untuk
menghalangi naiknya Konstantinopel.
DeusVult
wrote: |
Toh tidak harus demikian. Sekalipun si Uskup Latin diberi gelar
Patriakrh, tidak harus tahta yang dulu tersebut adalah ke-patriarkh-an. Toh
Paus bisa saja langsung mengangkat +Ignatius Soeharyo sebagai Patriarkh
Yogyakarta dan langsung menjadikan Yogyakarta ke-patriakrh-an (padahal
sebelumnya Yogyakarta bukan ke-patriarkh-an). |
Dalam Gereja tahta mendahului
si uskup. Jadi yang diangkat menjadi kepatriarkhan adalah tahtanya
bukan pertama-tama orangnya (uskupnya). Ambil contoh
kalau Joseph Ratzinger bukan lagi Uskup
Roma maka otomatis ia berhenti menjadi Paus. Kehormatan
itu ada pada keuskupan Roma dan bukan pada J Ratzinger.
DeusVult
wrote: |
Bukannya sampai jaman Cerularius pun Cardinal Humbert (duta Paus
Roma) meng-address Cerularius sebagai seorang Uskup Agung (bukan Patriakrh).
Kalaupun ada "pengakuan diam-diam" itu mungkin cuma upaya
diplomatis dan untuk memudahkan dialog dengan mereka. |
Kalau ini indikasinya, maka pada Konsili Chalcedon sekalipun Paus
Leo I hanya disebut sebagai Archbishop Leo.
DeusVult
wrote: |
|
Kenyataannya adalah pada Konsili-konsili Oikumene setelah
Konstantinopel, tatanan yang dipakai untuk mengatur tempat duduk berdasarkan
kehormatan adalah yang versi Konstantinopel dengan Pentarchy (dan
Konstantinopel ada di tempat kedua). Hanya saja Konsili-konsili itu kan tak
satupun yang diselenggarakan di Roma, dan legat Paus tidak bisa
menghalang-halanginya. Ketika Roma (Gereja Latin) mulai menjadi tuan rumah,
saat itu skisma sudah terjadi. Dan baru setelah ada Kepatriarkhan Latin
diberilah tempat kedua kepada tahta Konstantinopel (apa dasarnya? ya Roma
mengacu kepada kebiasaan Konsili sebelumnya
Athanasios
wrote: |
||||
|
Bukannya "yang diakui dogmatis dari Constantinople I adalah
kredonya," tapi "yang diakui dari Constantinople I hanya kredonya."
Artinya kanon-nya pun tidak diakui Gereja Katolik.
Kalau wibawa kanon itu diakui mestinya Paus Leo I (yang dianggap santo oleh
Orthodox) tidak cerewet terhadap kanon 28 Chalcedon.
A History of the Church - To the
Eve of the Reformation by Msgr Phillip Hughes
|
Quote: |
kedua, sekalipun para Paus menentang, tetapi hanya satu kali
mereka menentang secara resmi yaitu saat Leo I menolak mengakui Kanon 28
Konsili Kalsedon, namun kenyataannya penolakan itu di-ignore dan Gereja di
Timur berjalan menurut Kanon 28, dan para Paus sesudah Leo tidak
mempermasalahkan kenyataan bahwa Konstantinopel bekerja menurut yurisdiksi
yang ada di Kanon 28 dan menjadi tahta terhormat ke 2 dalam Gereja Universal
(karena Antiokhia dan Alexandria semakin subordinate kepada Konstantinopel). |
Kalau penolakan ketundukan terhadap pimpinan membuktikan
ke-absahan tindakan penolakan tesebut, maka kacaulah sistem hierarkhi.
Aku belum check, tapi sekalipun benar bahwa Paus-Paus tidak
mempermasalahkan penyerobotan tidak sah yang dilakukan Constantinople, toh ini
bisa dijelaskan dengan alasan bahwa mereka (ie. para paus) mencoba bersikap
diplomatis.
Namun secara resmi dan hukum, Constantinople
tidak mendapat tempat kedua (mungkin juga ke-patriarkh-an) sampai 1215.
Quote: |
||
|
Yang bisa memberi ke-patriarkh-an ataupum memberikan tempat kedua
kepada Constantinople (atau keuskupan manapun) toh bukan Alexandria dan
Antiokia.
Roma tidak berbuat apa-apa karena as far as they concern, Constantinople memang
masih dibawah (ie. tidak naik).
Quote: |
||
|
Ok, lah, Contohnya kurang tepat. Bisa disesuaikan. Jadi katakanlah
tiba-tiba Benediktus XVI membuat Tahta Yogyakarta sebagai ke-Patriarkh-an dan
secara bersamaan mengangkat Uskup Yogyakarta menduduki ke-patriakrh-an yang
telah terbentuk.
Quote: |
||
|
Berbeda. Dalam surat menyurat pun tidak jarang Paus atau Patriarkh
disebut sekedar Uskup atau bahkan imam (presbyterous).
Tapi di Chalcedon jelas-jelas tidak ada maksud bahwa penyebutan
Leo sebagai seorang Archbishop itu bermaksud bahwa dia HANYALAH sekedar
Archbishop. Berbeda dengan sikap Cardinal Humbert terhadap Michael
Cerularius.
Quote: |
||
|
Tindakan itu bisa dijelaskan sebagai upaya diplomatis.
agibelajar
wrote: |
Om
DV Bila kita lihat
di pada
paragraph terakhir ... |
Sebagai latihan dan tanda bahwa kamu telah memahami sejarah skisma
timur yang panjang dan rumit ini, maka coba kamu simpulkan sendiri dari tulisan
panjang tersebut. Kalau kamu memahami dengan benar, maka jawabanya bisa didapat
dari memahami tulisan tersebut.
lagibelajar
wrote: |
||
bisa dijelaskan lebih lanjut mengenai ini om ?? |
Ini juga ada di sejarah skisma timur yang sudah aku
terjemahkan. Jadi, silahkan dibaca lagi.
lagibelajar
wrote: |
||
|
Ini jawaban yang kurang tepat. Jawaban seperti ini adalah sebuah
jawaban kalau pertanyaannya adalah: "sejak kapankah skisma yang terjadi
saat in dimulai?"
Quote: |
tetapi
kalau misalnya kita sepakat dgn ini ,satu pertanyaan muncul dlm pikiran saya
,knapa setelah itu masih ada konsili ekumenis ??? |
Siapa bilang pihak Timur tidak hadir? Yang tidak hadir kan pihak
Timur YANG SKISMATIK, sementara pihak Timur yang TIDAK SKISMATIK hadir.
Lalu, kalaupun pihak Timur
tidak hadir itu juga tidak membuat suatu konsili tidak ekumenis. Tidak ada
batasan khusus tentang jumlah Uskup yang hadir. Apalagi batasan khusus bahwa
Uskup barat harus hadir sekian dan Uskup Timur sekian.
DeusVult
wrote: |
Bukannya "yang diakui dogmatis dari Constantinople I adalah
kredonya," tapi "yang diakui dari Constantinople I hanya kredonya."
Artinya kanon-nya pun tidak diakui Gereja Katolik. Kalau wibawa kanon itu
diakui mestinya Paus Leo I (yang dianggap santo leh Orthodox) tidak cerewet
terhadap kanon 28 Chalcedon. |
Dari NewAdvent: First Council of
Constantinople
The famous third canon declares that because Constantinople is New
Rome the bishop of that city should have a pre-eminence of honour after the
Bishop of Old Rome. Baronius wrongly maintained the non-authenticity of this canon,
while some medieval Greeks maintained (an equally erroneous thesis) that it
declared the bishop of the royal city in all things the equal of the
pope. The purely human reason of Rome's ancient authority, suggested by
this canon, was never admitted by the Apostolic See, which always based its
claim to supremacy on the succession of St. Peter. Nor did Rome
easily acknowledge this unjustifiable reordering of rank among the ancient
patriarchates of the East. It was rejected by the papal legates at
Chalcedon. St. Leo the Great (Ep. cvi in P.L., LIV, 1003, 1005) declared that
this canon has never been submitted to the Apostolic See and that it was a
violation of the Nicene order. At the Eighth General Council in 869 the
Roman legates (Mansi, XVI, 174) acknowledged Constantinople as second in
patriarchal rank. In 1215, at the Fourth Lateran Council (op. cit., XXII,
991), this was formally admitted for the new Latin patriarch, and in 1439, at
the Council of Florence, for the Greek patriarch (Hefele-Leclercq, Hist. des
Conciles, II, 25-27). The Roman correctores of Gratian (1582), at dist. xxii,
c. 3, insert the words: "canon hic ex iis est quos apostolica Romana sedes
a principio et longo post tempore non recipit."
Roma tidak keberatan akan status Patriarkal Konstantinopel (sama
seperti halnya Roma tidak keberatan atas status Patriarkal Yerusalem). Yang
menjadi keberatan Roma hanya karena Konstantinopel diberi
kehormatan melampaui Alexandria dan Antiokhia.
Sebagaimana yang dapat kita baca di NewAdvent tidak ada
keberatan Roma mengenai status patriarkal Konstantinopel. Logikanya, tradisi
Romawi sebagaimana ada dalam Decretum Gelasianum (yang sudah aku
kutip sebelumnya) semua tahta utama Gereja harus
memiliki hubungan dengan St. Petrus. Jadi kalau Roma
berkeberatan dengan Konstantinopel seharusnya Roma juga keberatan dengan
Yerusalem. Namun, keberatan hanya diarahkan kepada
Konstantinopel karena Konstantinopel ditempatkan di no. 2 dan melampaui
Alexandria dan Antiokhia.
Kalau seandainya Konstantinopel ditempatkan di no. 4 atau no. 5,
Roma tidak akan bawel
DeusVult
wrote: |
Berbeda.
Dalam surat menyurat pun tidak jarang Paus atau Patriarkh disebut sekedar
Uskup atau bahkan imam (presbyterous). |
Kalau anggapan kamu benar, maka Humbert melanggar Kanon 21
Konsili Oikumene ke 8 yang diadakan untuk membereskan skisma Photius.
Berbeda dengan Chalcedon
etc yang mungkin bermasalah, maka dalam Konsili ini tidak ada keberatan apapun
dari Roma.
Tentang Konsili
tersebut:
Fourth Council of
Constantinople
Tentang Kanonnya: http://www.piar.hu/councils/ecum08.htm
Athanasios
wrote: |
Roma
tidak keberatan akan status Patriarkal Konstantinopel (sama seperti halnya
Roma tidak keberatan atas status Patriarkal Yerusalem). Yang menjadi
keberatan Roma hanya karena Konstantinopel diberi kehormatan melampaui
Alexandria dan Antiokhia. |
Ah, jadi paling tidak SEBELUM Constantinople IV (869AD)
Constantinople telah diakui sebagai ke-Patriakrh-an dan pada konsili inilah
posisi kedua bagi Constantinople diakui Roma.
Jadi yang jelas diketahui tanggalnya adalah pengakuan Roma
terhadap posisi kedua Constantinople (yaitu 869AD, saat Konsili Ekumenis
Constantinople IV).
Tanggal kapan ke-patriakrh-an Constantinople persis berdiri belum
diketahui. Tapi paling tidak itu terjadi SEBELUM Constantinople IV
(869AD).
Apakah 381 (ie. Constantionople I) bisa dijadikan tanggal
berdirinya ke-patriakrh-an? Rasanya tidak. Memang dikatakan di CE, "Nor did
Rome easily acknowledge this unjustifiable reordering of rank among the ancient patriarchates of
the East." Tapi kata "Patriarchates" disitu tidak harus
berarti bahwa pad saat itu Constantinople sudah menjadi ke-patriarkh-an menurut
Roma. Bisa jadi si penulis CE menggunakan istilah "patriarchate" karena meng-antisipasi bahwa Constantinople
memang kemudian menjadi sebuah ke-patriakrh-an.
Quote: |
||
|
Ya. Tampaknya Cardinal Humbert memang telah keliru. Aku juga kurang aware
mengenai isi dari Constantinople IV (869AD).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar