JIKA PROTESTAN BENAR,
Konsili-konsili
ekumenis tidak lagi memiliki kuasa seperti yang dulu penah dimiliki.
Untuk beberapa abad pertama
keberadaan Gereja, para uskup berkumpul dalam konsili-konsili dan menetapkan
doktrin-doktrin yang benar dan mengutuk heresi-heresi, dengan mengeluarkan
ketetapan yang diakui sebagai mengikat bagi semua orang beriman. Tetapi pada
titik tertentu dalam sejarah, konsili-konsili ini semestinya tidak lagi
memiliki otoritas pengajaran yang universal itu.
Sebaliknya, konsili-konsili
itu melulu menjadi pertemuan seremonial para uskup Gereja – atau paling buruk,
komplotan rahasia dari Gereja yang berkianat yang telah diambil alih oleh
tradisi-tradisi manusia.
The Protestant
Conception of Ecumenical Councils Protestants
berpendapat bahwa tidak ada
konsili Gereja, bahkan yang secara tradisional dianggap ekumenis (universal),
membawa suatu otoritas – kecuali sejauh konsili itu secara akurat menafsirkan
Kitab Suci yang dalam kasus ini otoritasnya adalah dari Kitab Suci bukan dari
konsili.
Jadi 4 konsili pertama Gereja
yang sebagian besar menjawab persoalan-persoalan trinitarian dan kristologis,
dianggap “otoritatif” hanya sejauh konsili itu adalah deduksi akurat dari
sabda-sabda Allah dalam Kitab Suci. Namun, banyak protestan menduga bahwa
bahkan konsili-konsili awal ini mengandung kekeliruan. Sebagai contoh, hanya
sedikit yang rela menerima bahwa Maria adalah “Bunda Allah,” seperti yang
dinyatakan dalam konsili ekumenis ketiga di Efesus. Bahkan Martin Luther yang
tidak memiliki persoalan dengan gelar ini, menentang (berpendapat) bahwa
konsili Gereja secara umum mengandung kekeliruan, seperti yang dinyatakannya
dalam pernyataan penutupnya yg terkenal di The Diet of Worms:
Jika aku tidak diyakinkan oleh kesaksian Kitab Suci
atau oleh akal budi yang jernih (karena aku tidak percaya baik paus maupun
konsili-konsili, karena telah diketahui dengan baik bahwa mereka sering keliru
dan bertentangan dalam diri mereka sendiri), aku diikat oleh Kitab Suci yang
telah aku kutip dan hati nuraniku tertangkap oleh sabda Allah.
Luther di sini menghadirkan
kepercayaan protestan yang umum bahwa konsili-konsili ekumenis telah keliru dan
“bertentang satu sama lain” karena menyimpang dari arti sebenarnya dari sabda
Allah seperti yang ditemukan dalam Kitab Suci. The Westminster Confession of Faith,
dokumen konfesional paling penting dari protestantisme Calvinis mengaungkan
kembali ketidakpercayaan Luther terhadap konsili-konsili Gereja:
Semua sinode atau konsili sejak jaman para rasul, apakah
umum (ekumenis) atau khusus, dapat keliru dan banyak telah keliru; karena itu
sinode dan konsili itu tidak harus dijadikan kaidah iman atau praktis, tetapi
digunakan sebagai bantuan untuk keduanya. Sebaliknya, Kitab Suci sendiri adalah
satu-satunya kaidah otoritatif atas iman dalam protestantisme. Inilah ajaran
yang dikenal dengan Sola Scriptura, yang akan kita eksplorasi lebih mendalam
kemudian.
Namun, Protestan-protestan
yang lebih tradisional seperti Anglikan dan komunitas-komunitas Reformasi
memandang empat konsili pertama bersifat otoritatif. Mereka berpendapat bahwa
suatu konsili untuk dianggap ekumenis (karena itu, otoritatif), haruslah
dihadiri oleh semua lima patriark utama (uskup untuk kota atau wilayah-wilayah
penting): Roma, Konstantinopel, Antiokia, Aleksandria, dan Yerusalem. Mereka
mengklaim bahwa empat konsili pertama ini memenui kriteria. Tetapi mereka
berargumentasi, karena pemisahan yang terjadi dalam Gereja sejak – khususnya
sejak skisma Koptik dan Ortodoks Timur – menjadi tidak mungkin lagi kelima
patriark hadir dalam satu konsili, sehingga secara praktis tidak mungkin
menjadi konsili ekumenis sampai hari ini.
KARENA Katolik BENAR,
Konsili-konsili
Gereja memiliki otoritas mengikat yang sama sampai hari ini seperti yang
dimiliki sejak abad-abad pertama.
Gereja telah menyelenggarakan
konsili-konsili ekumenis sejak jaman para rasul (abad pertama). Kita melihat
contoh dan pola untuk konsili-konsili ini dalam Kis 15, Konsili Yerusalem.
Gereja dihadapkan dengan persoalan apakah bangsa-bangsa lain yang menerima iman
Kristiani harus disunat supaya selamat. Permulaan konsili adalah, Paulus dan
Barnabas “dengan keras melawan dan membantah pendapat mereka (orang-orang
Yahudi yang datang dari Yudea ke Antiokia), sehingga mereka “ditunjuk untuk
pergi ke Yerusalem kepada para rasul dan tua-tua untuk membicarakan hal itu
(sunat)” (Kis 15:2).
Setelah perdebatan lama di
antara para rasul dan tua-tua, Petrus berdiri dan menjelaskan bagaimana Allah
menganugerahkan Roh Kudus kepada bangsa-bangsa lain, dan bahwa keselamatan
berasalah dri rahmat melalui iman – bukan dengan menaati hukum Musa. Para rasul
kemudain membuat draft sebuah surat untuk dikirim ke gereja-gereja, yang di
dalamnya orang-orang mengajarkan hal yang menggoyahkan dan mengelisahkan umat tanpa otoritas dari para rasul.
Keputusan yang dibuat oleh konsili, yang dimulai dengan rumusan otoritatif,
“adalah keputusan Roh Kudus dan keputusan kami.” Protestan mengakui otoritas
konsili ini karena para rasul sendiri yang memimpinnya. Juga, konsili ini
tercatat dalam Kitab Suci, jadi keputusannya bersifat otoritatif untuk alasan
itu.
Konsili ekumenis pertama yang
disidangkan adalah di Nicaea pada tahun 325. Dihadiri lebih dari 300 uskup,
termasuk Hosius, Uskup Kordova dan utusan/legatus Paus Silvester. Tujuan utama
dari konsili itu adalah untuk menentukan apakah pengajaran Arius, diakon dari
Aleksandria yang menyangkal ke-Allah-an Kristus dan relasi yang sehakekat
dengan Bapa, adalah kesesatan. Kebenaran-kebenaran ke-Allah-an Kristus dan
ke-sehakekat-an-Nya dengan Bapa sebagai konsekuensinya dinyatakan sebagai
dogma. Protestan menerima ketetapn konsili ini bahkan menunjuk padanya
sebagai standar untuk
ortodoksi Trinitarian. Banyak protestan saat ini masih mengucapkan Kredo
Nicaea, bagian pertama yang dirumuskan di Nicaea. Mereka juga menerima konsili
ekumenis kedua yang diselenggarakan di Konstantinopel tahun 381, yang secara
dogmatis menegaskan kebenaran tentang Keilahian Roh Kudus, dengan mengutuk
kesesatan Makedonius. Bagian kedua dari Kredo didaptkan pada konsili ini, dan
mayoritas terbesar protestan dengan bangga mendeklamasikannya sebagai suatu
pengakuan dari kepercayaan-kepercayaan mereka yang paling fundamental.
Konsili Efesus I dalam tahun
431 adalah konsili ekumenis ketiga yang mengutuk ajaran Nestorius bahwa Maria
hanyalah ibu untuk hakekat kemanusiaan Kristus. Ajaran seperti itu telah sangat
melukai teologi yang benar dari misteri Inkarnasi, yang membuat tidak mungkin
mengatakan bahwa “Allah mati di salib untuk dosa-dosa kita.” Konsili ekumenis
keempat diselenggarakan di Kalsedon pada tahun 451, yang menolak monofisitisme
– kepercayaan bahwa Kristus hanya memiliki satu kodrat – dan menegaskan bahwa
Yesus memiliki 2 kodrat dalam satu pribadi.
Konsili-konsili ini membangun
dasar untuk ortodoksi Trinitarian dan Kristologis yang diikuti oleh hampir
semua protestan. Dalam kenyataannya, protestan percaya bahwa setiap orang, yang
menolak kebenaran-kebenaran tersebut, menempatkan dirinya sendiri di luar
(alasan utama mengapa mereka menganggap Mormon sebagai non-Kristen). Jadi
protestan ingin mengafirmasi konsili-konsili ini sebagai konsili yang
otoritatif. Namun konsili di Efesus juga mengajarkan bahwa Maria adalah Bunda
Allah, suatu gelar yang membuat banyak protestan tidak tenang. Kita akan
mengangkat persoalan itu dalam satu bab kemudian, tetapi poin pokoknya di sini
adalah bahwa konsili-konsili ini menetapkan baik ortodoksi maupun, dalam
pandangan protestan, juga ketetapan yang mengandung kekeliruan dan perlu
dipertanyakan.
Banyak problem tersisa bagi
protestan yang berusaha untuk menerima empat konsili pertama, sementara menolak
yang lainnya. Konsili ekumenis kelima, Konstantinopel II, menyatakan Maria
tetap perawan seumur hidupnya, suatu kepercayaan yang sangat ditolak oleh sebagian
besar protestan. Namun, konsili berikutnya, diadakan dalam abad ke-7, mengutuk
kepercayaan monothelite bahwa Kristus hanya memiliki satu kehendak. Konsili itu
menentapkan bahwa Kristus memiliki dua kehendak, Ilahi dan manusiawi. Ini
adalah suatu kebenaran yang protestan percayai sebagai komponen esensial untuk
ortodoksi Kristologis.
Menjawab
Keberatan-keberatan Protestan
Apakah masuk akal, seperti
protestan nyatakan, bahwa konsili ekumenis adalah otoritatif sejauh konsili itu
secara akurat merepresentasikan kebenaran biblis? Ketika kita melihat pada
Konsili Yerusalem, kita melihat bahwa Gereja memutuskan bahan yang dipersoalkan
dengan referensi pada otoritas
para rasul yang Allah berikan dalam Gereja dan tidak
bergantung pada PL (yang adalah satu-satunya “Kitab Suci” yang ada pada masa
itu, dengan hanya sedikit surat telah ditulis waktu itu dan kanon yang
ditetapkan masih beberapa tahun kemudian). Sesungguhnya, PL tidak cukup jelas
untuk persoalan itu, baik perlunya sunat dan pratanda keselamatan Bangsa-bangsa
lain. Jadi klaim bahwa konsili-konsili hanya otoritatif ketika sesuai dengan
Kitab Suci – yang dengannya para reformator memaksudkan baik PL maupun PB –
hanya sedikit masuk akal ketika diaplikasikan pada konsili contoh pertama.
Tetapi ada problem kedua
dengan teori ini. Siapa yang memiliki otoritas untuk secara akurat
menginterpretasi teks-teks Kitab Suci (dan karena itu mengatur apakah suatu
konsili mengafirmasi atau menentang kebenaran-kebenaran Kitab Suci)? Luther
percaya bahwa dia memilikinya (otoritas itu).
Protestan-protestan lain mengklaim bahwa Luther keliru dan bahwa mereka memiliki
kunci yang benar untuk pemahaman dari teks Kitab Suci itu. Problem beragamnya
interpretasi protestan terhadap kebenaran Kitab Suci bertahan sampai hari ini.
Tanpa suatu standar untuk menafsirkan Kitab Suci, sesuai dengan ujian ini,
tidaklah mungkin untuk mengatakan dengan kepastian apakah konsili tertentu
mengajarkan secara otoritatif. Bagaimana dengan teori 5-Patriark (yang dikenal
dengan “Pentarchy”): bahwa kehadiran patriark-patriark utama adalah kriteria
yang perlu untuk suatu konsili ekumenis? Kaisar Justinianus I menyukai
model pengaturan kekristenan ini, di mana 5 patriark dari jabatan uskup utama
akan menjadi milik dari satu kekaisaran. Di akhir tahun 600an, Konsili Trullo
(yang tidak pernah diterima sebagai otoritatif oleh Gereja Katolik) berusaha
memberikan kepercayaan kepada teori pentarchy dengan memberi rangking pada 5
keuskupan patriarkal.
Tetapi menggunakan teori ini
sebagai kriteria untuk mengakui konsili ekumenis pertama adalah problematis.
Tidak ada patriark Konstantinopel di tahun 325 selama konsili Nicaea I, jd
teori ini tidak dapat dipakai. Lebih lanjut, konsili ekumenis di Efesus tahun
431 mengutuk Nestorius, yang adalah patriark
Konstantinopel. Sama halnya, konsili ekumenis di Kalsedon tahun 451 yang
mengutuk Dioscorus, Patriark Aleksandria sebagai heretik. Tetapi Dioscorus
menolak ekskomunikasi dan diakui oleh Gereja Koptik sebagai paus. Ketika
patriark-patriark jatuh ke dalam skisma, teori Pentarchy tidak menyediakan
kaidah untuk mengetahui pihak mana yang ortodoks dan mana yang skismatik.
Sebenarnya, teori ini adalah
suatu kecocokan historis yang ditemukan oleh kaisar Byzantin dengan harapan
menjaga keteraturan di kekaisarannya. Protestan modern telah mengumumkan teori
itu sebagai jalan obyektif untuk mengidentifikasikan konsili-konsili yang
otoritatif; tetapi seperti yang kita lihat, teori itu tidak dapat bekerja.
Kriteria
Katolik untuk suatu Konsili Ekumenis
Jika tidak satupun teori
protestan masuk akal, apa yang membuat suatu konsili tiu ekumenis, dan karena
itu otoritatif? Sederhana saja: paus.
Uskup Roma adalah pengganti
Petrus, yang padanya Kristus memberikan “kunci Kerajaan Surga” sekaligus
otoritas untuk mengikat dan melepaskan (bdk. Mat 16:18-19). Jadi, selama
konsili-konsili awal ini kita menemukan patriark-patriark lain memperlihatkan
rasa hormat yang besar terhadap paus. Sebagai contoh, ketika memimpin Konsili
Kalsedon (451) – yang menetapkan Kristus sungguh Allah sungguh manusia –
Flavianus, Patriark Konstantinopel, menulis surat untuk paus tentang
ekstremitas konflik religio-politis dan meminta intervensi paus:
Ketika aku memohon kepada Tahta Apostolik, Tahta
Petrus, Pangeran Para Rasul, dan kepada seluruh anggota sinode suci, yang taat
pada Yang Mulia, sekali kerumunan pasukan mengelilingi aku dan menghalangi
jalanku ketika aku hendak mencari perlindungan ke altar suci... Karena itu, aku
memohon kepada Yang Mulia untuk tidak mengijinkan hal-hal seperti itu diperlakukan
dengan biasa saja... tetapi pertama-tama mengangkat atas nama perkara iman
ortodoks kita, yang sekarang dihancurkan oleh tindakan-tindakan yang tidak
sah... lebih lanjut mengeluarkan suatu instruksi otoritatif... sehingga iman
seperti itu dapat diwartakan di mana saja oleh sidang sinode yang dipersatukan
dari para bapa baik Timur maupun Barat. Jadi, hukum-hukum para bapa dapat
berlaku dan semua yang telah dilakukan keliru dibuat nol dan kosong. Bawalah
penyembuhan untuk luka yang mengerikan ini.
Demikian juga
tindakan-tindakan dari konsili Kalsedon berbicara dengan penuh kuasa untuk
primat dan otoritas Paus Leo:
Karena itu, Yang Mulia dan Terberkati, Leo, Uskup
Agung Roma, melalui kami, dan melalui sinode tersuci yang hadir di sini bersama-sama
dengan yang diberkati dan dimuliakan Petrus Rasul, yang adalah Batu Karang dan
fondasi Gereja Katolik, dan fondasi iman yang ortodoks, telah melepaskannya
[Dioskorus, Patriark Aleksandria] dari jabatan episkopatnya dan mengasingkan
dari dirinya semua kelayakan imamatnya.
Uskup Roma adalah, dengan
Rahmat Allah, penjamin terakhir atas ortodoksi. Bahkan ketika uskup-uskup dari
keuskupan utama lain jatuh dalam heresi (sebagai contoh, selama krisis Arian di
abad ke-3 dan ke-4), paus tetap setia. Satu-satunya kriteria untuk suatu
konsili disebut ekumenis yang masuk akal secara historis adalah persetujuan
dari paus. Bahkan dalam konsili Yerusalem dalam Kisah Para Rasul, kita melihat
bahwa Petrus adalah yang pertama berbicara dan menyatakan iman yang ortodoks,
suatu pratanda dari peran uskup-uskup Roma dalam konsili-konsili berikutnya.
Gereja Katolik adalah
satu-satunya Gereja atau komunitas Kristen yang masih mempertahankan
konsili-konsili ekumenis sampai hari ini. Tak ada kelompok lain yang berani mengklaim
bahwa mereka memiliki satu konsili ekumenis. Bisa dimengerti karena jika anda
menyadari bahwa tidak ada kelompok lain yang dipimpin oleh uskup Roma.
DILEMA PROTESTAN
Protestan mengklaim mereka
tanpa ragu menerima otoritas dari empat konsili ekumenis pertama, yang
menyatakan kebenaran-kebenaran dasar Kristianitas. Namun, mereka menolak
ketetapan tertentu dari konsili-konsili itu, dan menerima ketetapan-ketetapan
tertentu dari konsili-konsili yang
kemudian sementara menolak yang lainnya. Dan mereka tidak
memiliki kaidah untuk menentukan mengapa empat konsili pertama adalah ekumenis
tetapi satu yang kemudian tidak. dengan asumsi Gereja Katolik keliru tentang
apa yang membuat suatu konsili itu ekumenis, (kita bisa bertanya) mengapa Allah
merencanakan Gereja-Nya sedemikian, selama berabad-abad, konsili-konsili ini
adalah jalan utama yang di dalamnya pokok-pokok iman yang paling penting dan
vital dipertajam dan secara otoritatif dinyatakan, tetapi kemudian
mencabut otoritas-Nya dari konsili-konsili itu sehingga konsili-konsili itu
tidak lagi dapat dipercaya?
[Tambahan: Jika protestan benar, berarti Allah
keliru karena selama berabad-abad membiarkan
Gereja-Nya jatuh dalam kekeliruan yang menyesatkan tanpa suatu kuasa otoritatif
untuk menentukan pokok-pokok iman yang benar]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar