Reformasi (alias Protestantisme)
Aku
mencoba menerjemahkan entry Reformation dari Catholic Encyclopedia. Upayaku ini
supaya umat awam bisa mengerti sejarah-sejarah penting yang berkaitan dengan
ke-Kristen-an. Karena memang ditujukan kepada umat yang awam, juga terhadap
mereka yang bahasa Inggrisnya kurang baik, maka terjemahan entry ini tidak aku
buat kaku tapi aku buat se-reader friendly mungkin. Oleh karena itu
banyak perubahan-perubahan yang aku lakukan sehingga mungkin terjemahannya agak
berbeda dengan aslinya. Nevertheless, aku mencoba agar substansi yang ingin
disampaikan Catholic Encyclopedia tidak berubah.
Bagi mereka yang Ingrisnya cukup bagus tapi merasa
kesulitan dengan gaya bahasa literatur lama (ensiklopedia dipublikasikan tahun
1913) dan gaya bahasa kaku literatur akademis, aku harap terjemahan-ku yang aku
usahakan se-reader friendly mungkin ini, bisa membantu.
Rasanya masih perlu banyak koreksi….. silahkan diberi
koreksi kalau perlu.
********************************************
Reformasi (alias
Protestantisme)
Reformasi adalah istilah umum bagi gerakan religius yang
muncul di Eropa barat pada abad ke-enam-belas yang mengklaim bertujuan
[melakukan] perbaikan internal Gereja, namun kemudian memimpin sebuah
pemberontakan melawan Gereja dan meninggalkan prinsip-prinsip kepercayaan
Kristen. Kita akan me-review karakteristik-karakteristik umum dari
gerakan ini dari beberapa titik tolak.
I. Penyebab-Penyebab
[Terjadinya] Reformasi;
II. Gagasan-Gagasan dan tujuan-tujuan Awal Para Reformator;
III. Metode-Metode Penyebaran
Reformasi;
IV. Penyebaran Reformasi di Berbagai Negara;
V. Bentuk-Bentuk berbeda Dari Reformasi;
VI. Hasil dan Konsekuensi Dari Reformasi.
I. PENYEBAB-PENYEBAB
[TERJADINYA] REFORMASI
Penyebab-penyebab [terjadinya] pemberontakan religius
besar pada abad ke-enambelas harus ditelusuri kebelakang sampai pada abad
ke-empatbelas. Ketika itu ajaran Gereja memang masih murni; [namun] kehidupan
saleh masih belum banyak dijumpai di semua bagian Eropa, dan banyak institusi
Gereja jaman pertengahan yang membangun [benificient] tetap melanjutkan
karya mereka dengan tak terganggu. Kondisi tak-berbahagia apapun yang muncul
[saat itu] kebanyakan disebabkan karena pengaruh sipil dan duniawi [profane]
atau karena pelaksanaan otoritas para pejabat Gerejawi di kancah sipil; [dua
hal tersebut] tidak terjadi dimana saja dengan tingkatan yang sama [ie. di
daerah-daerah tertentu lebih parah dari yang lain]. Kehidupan religius dan
kegerejaan [masih] terlihat tekun dan bervariasi di banyak tempat; karya-karya
pendidikan dan amal berkelimpahan; seni-seni religius dalam berbagai bentuknya
masih memiliki daya hidup; [kegiatan] misionaris domestik [masih] banyak dan
berpengaruh; literatur-literatur yang saleh dan membangun cukup umum dan
dihargai. Namun sedikit demi sedikit, kebanyakan dikarenakan semangat ganas [hostile]
kekuasaan sipil yang dipelihara dan diperkuat oleh beberapa unsur-unsur tatanan
baru, di berbagai bagian Eropa muncul kondisi-kondisi politik dan sosial yang
menghambat aktivitas perombakan bebas oleh Gereja sendiri. Kondisi-kondisi
politik dan sosial tersebut lebih menyukai orang-orang nekat dan tidak
hati-hati. Orang-orang macam ini kemudian mengambil kesempatan unik yang ada
untuk membebaskan semua potensi-potensi bidaah dan skisma yang sebelumnya
dikekang berkat tindakan harmonis antara otoritas gerejawi dan sipil.
A
Sejak penjajahan orang-orang barbar Gereja telah
mengakibatkan sebuah transformasi yang lengkap dan kebangkitan kepada ras-ras
di Eropa Barat, dan juga sebuah perkembangan mulia kepada kehidupan religius
dan intelektual. Kepausan menjadi pusat yang kuat bagi keluarga bangsa-bangsa
Kristen, dan tetap seperti itu sampai berabad-abad. Dan dalam kesatuan dengan
keuskupan dan klerus-klerus, kepausan menunjukkan sebuah aktifitas yang mulia.
Dengan semakin penuh kembangnya organisasi gerejawi ternyata disadari bahwa
aktivitas pemerintahan gerejawi tidak lagi terbatasi dalam ranah gerejawi, tapi
aktivitas tersebut mempengaruhi hampir semua lingkup kehidupan masyarakat. Lambat
laun sifat keduniawian, dimana ini sangat disesalkan, muncul dikalangan pejabat
tinggi gerejawi. Para pejabat gerejawi menjadi kurang memperhatikan tujuan
utama mereka, yaitu menuntun manusia kepada tujuan abadinya. Sementara yang
menjadi perhatian mereka malahan adalah aktivitas duniawi. Kekuasaan politik,
kepemilikan atas materi, kepemilikan atas posisi terhormat di khalayak umum,
pembelaan terhadap hak-hak historis kuno dan berbagai kepentingan duniawi sudah
terlalu sering menjadi sasaran utama para klerus yang memiliki jabatan tinggi.
Kepedulian pastoral, terutama berkenaan dengan tujuan religius dan gerejawi,
tertinggal kebelakang meskipun [ada dan muncul] upaya-upaya penuh semangat dan
sukses dalam memperbaiki keburukan-keburukan yang ada.
B
Berhubungan dekat dengan yang ditulis diatas adalah
berbagai penyimpangan dalam kehidupan-kehidupan para klerus dan masyarakat. Di
Kuria Kepausan kepentingan-kepentingan politis dan kehidupan duniawi sering
menjadi perkara utama. Banyak Uskup dan kepala biara (terutama di negara-negara
dimana mereka juga merupakan pangeran-pangeran teritorial [ie.
penguasa-penguasa lokal]) lebih menampilkan diri sebagai penguasa-penguasa
sekuler daripada pelayan-pelayan Gereja. Banyak anggota dari cathedral
chapter [ie. klerus-klerus yang diangkat untuk menjadi penasehat uskup, dan
bila keuskupan kosong mereka mengambil alih sampai ada uskup baru] dan pejabat
gerejawi yang mempunyai hak beneficed [ie. hak permanen yang diberikan
Gereja kepada klerus untuk menerima pendapatan gerejawi atas jasa-jasa
pelayanan spiritual] lebih peduli terhadap pendapatan mereka dan bagaimana
menambah pendapatan itu, terutama dengan cara menyatukan beberapa prebend
[ie. hak bagi anggota cathedral chapter untuk mendapat persentase
tertentu dari pendapatan cathedral] (atau bahkan [beberapa persentase
pendapatan] keuskupan-keuskupan]) ditangan satu orang. Orang ini kemudian
menikmati pendapatan yang lebih besar dan kekuasaan yang lebih besar. Kemewahan
kemudian merajalela dikalangan klerus-klerus pejabat tinggi, sementara
klerus-klerus pejabat rendah ditindas. Pelatihan keilmuan dan kebiaraan bagi
para klerus menurun jauh dari standard. Standard moral para klerus menjadi
sangat rendah, dan praktek selibat tidak ditaati di semua tempat. Yang tidak
kurang seriusnya adalah kondisi dari kebanyakan biara pria, dan bahkan biara
wanita (kebanyakan anggota biara wanita adalah putri-putri bangsawan yang tidak
menikah). Semua ini membuat prestis dari klerus yang dulunya tinggi menjadi
rendah, dan anggota-anggota klerus di banyak tempat dipandang dengan hina oleh
orang-orang. Sementara, mengenai kalangan umat awam Kristen sendiri, di banyak
daerah-daerah, ketidakpedulian, takhyul, indifferentisme religius [ie. semua
agama sama] dan ke-imoral-an merajalela. Meskipun begitu banyak upaya penuh
semangat untuk memperbaiki kehidupan beragama muncul di berbagai tempat.
Sehingga disamping kebusukan moral yang terjadi muncul juga banyak
teladan-teladan akan kehidupan Kristen yang tulus dan benar. Sayangnya
upaya-upaya perbaikan tersebut sering terbatas pada kalangan-kalangan tertentu.
Sejak abad ke-empatbelas permintaan untuk "reformasi kepala dan
tubuh" (reformatio in capite et in membris) telah diserukan dengan
semakin nyaring oleh orang-orang yang sangat serius dan penuh pertimbangan.
Sayangnya orang-orang yang tidak punya niatan bagi perbaikan religius juga ikut
berseru-seru. Mereka sekedar ingin untuk mereformasi yang lain tapi tidak
mereformasi diri sendiri dan mereka hanya memikirkan kepentingan diri sendiri.
Seruan untuk reformasi kepala dan tubuh yang didiskusikan di banyak
tulisan-tulisan dan menjadi topik perbincangan. Namun penekanan terhadap
penyelewengan-penyelewengan yang terjadi sering dibesar-besarkan, dan hal ini
semakin memperburuk pandangan masyarakat atas para klerus. Terlebih lagi ketika
konsili-konsili pada abad ke-limabelas yang difokuskan pada upaya-upaya
reformasi, tidak berhasil mencapai apa yang dihasilkan [konsili-konsili
tersebut] secara ekstensif dan permanen.
C
Otoritas Tahta Suci juga ter-cacat-kan secara serius,
sebagian karena kesalahan pemegang tahta (ie. Paus Roma) dan sebagian karena
kesalahan penguasa-penguasa sekular. Pindahnya Paus ke Avignon (Perancis) pada
abad ke-empatbleas merupakan kesalahan yang sangat fatal karena karakter universal
dari kepausan menjadi rancu dalam benak masyarakat Kristen. Fase-fase tertentu
dalam perselisihan dengan Louis the Bavarian dan dengan Spiritualist Franciscan
jelas menunjukkan suatu kemunduran pada kekuasaan kepausan. Pukulan paling telak terhadap otoritas kepausan adalah peristiwa
skisma kepausan atau lebih dikenal dengan nama skisma barat (1378-1418).
Peristiwa ini membuat masyarakat Kristen Barat berpikiran bahwa boleh melakukan
perang, dengan segala senjata spiritual dan material, kepada orang yang
dianggap oleh banyak umat Kristen lain sebagai Paus yang sah. Setelah pemulihan
kesatuan yang rusak karena skisma barat, upaya reformasi yang dilakukan kuria
kepausan tidaklah menyeluruh. Humanisme dan idealisme-idealisme Renaissance
dipupuk dengan penuh semangat di Roma. Dan sayangnya,
kecenderungan-kecenderungan kafir dari gerakan ini, yang begitu bertentangan
dengan hukum moral Kristen, telah begitu mempengaruhi kehidupan kebanyakan
pejabat gerejawi tinggi sehingga pemikiran-pemikiran duniawi, kemewahan dan
immoralitas dengan cepat merebak ditengah kehidupan gerejawi. Ketika otoritas
gerejawi melemah di pucuk pimpinan, maka otoritas tersebut membusuk ditempat
lainnya. Juga terjadi penyelewengan administratif yang serius dalam Kuria
Kepausan. Administrasi gerejawi yang semakin tersentalisasi telah mengakibatkan
banyak beneficed gerejawi yang didapat dari berbagai tempat dikumpulkan
di Roma. Dan dalam mengabulkan pemberian hak beneficed tersebut kepada
para klerus, lebih diperhatikan kepentingan yang meminta hak daripada keperluan
spiritual masyarakat [ie. apakah masyarakat memerlukan pelayan dari pejabat
gerejawi yang mendapat bayaran dari pelayanannya]. Berbagai macam
pengecualian-pengecualian yang dibuat juga memunculkan
penyelewengan-penyelewengan yang berat. Ketidakpuasan dirasakan secara luas
diantara para klerus atas banyaknya pajak yang dikenakan oleh Kuria kepada
pemegang benefices gerejawi. Sejak abad ke-empatbelas pajak-pajak ini
menimbulkan banyak keluhan-keluhan keras. Dengan semakin hilangnya rasa hormat
banyak orang terhadap otoritas kepausan, penolakan tumbuh terhadap Kuria dan
Kepausan. Sementara itu konsili-konsili reformatif [ie. tujuannya adalah
mereformasi Gereja] pada abad ke-limabelas, bukannya memperbaiki situasi, tapi
malahan memperburuk situasi dengan memperlemah kewibawaan otoritas gerejawi
tertinggi karena kecenderungan dan langkah-langkah anti-kepausan yang
dihasilkan konsili-konsili tersebut.
D
Pada kalangan penguasa daerah dan pemerintahan berkembang
sebuah kesadaran nasionalis yang murni temporal dan pada tingkat tertentu ganas
kepada Gereja; kuasa-kuasa jahat menjadi lebih sering mencampuri
masalah-masalah gerejawi, dan pengaruh langsung para awam terhadap administrasi
domestik Gereja terus bertambah. Selama masa abad ke-empatbelas dan ke-limabelas
muncul konsep modern mengenai Negara. Pada jaman-jaman sebelumnya banyak
masalah-masalah yang sifatnya sekular atau campuran [ie. sekular dan gerejawi]
diregulasi atau diatur oleh Gereja, sesuai dengan perkembangan historis masyarakat
Eropa. Dengan makin tumbuhnya kesadaran Negara, pemerintahan sekular berusaha
mengendalikan semua hal dalam ranah kompetensi mereka, yang meskipun sebagian
besar merupakan sesuatu yang sah-sah saja, namun dirasa baru dan lancang. Hal
ini menimbulkan seringnya bentrokan antar Gereja dan Negara. Dan karena
dekatnya hubungan historis antara Gereja dan Negara, Negara mulai melancangi
wilayah kegerejaan. Selama Skisma Barat (1378-1418) paus-paus yang
berseberangan mencari dukungan kepada kekuasaan sipil. Hal ini membuat
kekuasaan sipil punya banyak kesempatan untuk mencampuri masalah-masalah
gerejawi murni. Dan lagi, dalam upaya untuk memperkuat otoritas mereka
dihadapan kecenderungan anti-kepausan, para paus abad ke-limabelas pada
berbagai kesempatan sering mengalah terhadap kekuasaan sipil sehingga kekuasaan
sipil menganggap perkara-perkara gerejawi berada dalam ranah kewenangan mereka.
Di masa depan, Gereja berada dibawah, dan bukannya diatas, kekuasaan sipil.
Bahkan Gereja semakin terancam menjadi bawahan total dari kekuasaan sipil.
Seiring dengan berkembangnya kesadaran-diri di berbagai negara di Eropa, rasa
kesatuan dan ketergantungan antar keluarga Kristiani bangsa-bangsa menjadi
lemah. Kecemburuan antar negara bertambah, ke-egois-an merajalela, kesenjangan
antara moralitas Kristen dan agama bertambah besar, dan ketidakpuasan dan
kecenderungan-kecenderungan revolusioner menyebar cepat diantara orang-orang.
Cinta akan kekayaan untuk sementara mendapat motivasi yang besar karena
penemuan Dunia Baru, meningkatnya perdagangan, dan kemakmuran baru yang dialami
kota-kota. Dalam kehidupan publik sebuah aktivitas yang bersisi-banyak dan
menegangkan menampakkan dirinya. Hal ini, disamping bagaikan sebuah bayangan
awal akan sebuah era baru juga mencenderungkan pikiran kebanyakan orang kepada
perubahan-perubahan kepada masalah-masalah religius yang sebelumnya utuh
tak-terbagi.
E
Munculnya Renaisans dan Humanisme memperkenalkan [secara
sebagian] dan juga sangat memupuk kondisi-kondisi yang disebut sebelumnya. Kecintaan
kepada kemewahan dengan segera dihubungkan dengan bangkitnya seni dan literatur
kafir Graeco-Roman. Ini membuat idealisme-idealisme religius Kristen
hilang. Budaya intelektual tinggi yang sekarang umum di kalangan awam (dimana
sebelumnya budaya intelektual tinggi ini hanya terbatas di kalangan klerus)
mulai mengambil bentuk yang sekuler. Dan bentuk sekuler baru dari budaya
intelektual tinggi ini, dalam banyak kasus memupuk secara aktif dan praktik
sebuah jiwa kafir, moralitas kafir dan pandangan-pandangan kafir. Sebuah bentuk
mentalitas materialisme yang kasar dapat ditemukan di kalangan masyarakat atas
dan kalangan pendidikan. Mentalitas ini dikarakterkan dengan cinta yang
menjijikkan akan kesenangan, akan keinginan terhadap keuntungan (laba) dan akan
sensualitas hidup yang semuanya sangat berlawanan dengan moralitas Kristen.
Sedikit sekali ketertarikan terhadap perkara-perkara adikodrati yang masih
tersisa. Munculnya tekhnik percetakan modern [ie. mesin cetak saat itu baru
ditemukan oleh Guttenberg] memungkinkan penyebaran karya tulis
pengarang-pengarang kafir dan pengarang humanistik yang mengikuti pemikiran
mereka. Puisi-puisi dan roman-roman tak-bermoral, satir-satir yang menyindir
pribadi-pribadi gerejawi dan institusi-institusi gerejawi, karya-karya dan
lagu-lagu yang bersifat revolusioner; semua ini disirkulasikan bebas ke semua
tempat dan menimbulkan kerusakan yang besar. Dengan semakin tumbuhnya
Humanisme, idealisme ini mendengungkan seruan perang yang lantang terhadap
Skolastisme masa itu. Ketika itu metode teologi tradisional telah terjerumus
kedalam upaya menjawab pertanyaan-pertanyaan teologis secara sangat tekhnis dan
rumit, sementara perlakuan yang solid dan meyeluruh terhadap ilmu teologi
dengan sangat disesalkan telah menghilang dari kebanyakan sekolah dan tulisan.
Para Humanist kemudian menggunakan metode-metode baru dan mendasarkan teologi
atas Kitab Suci dan Bapa Gereja. Pada dasarnya langkah ini merupakan langkah
yang baik yang mungkin saja memperbaharui pembelajaran teologi kalau dikembangkan
dengan tepat. Namun kekerasan para Humanist, serangan-serangan berlebihan
mereka kepada Skolastisme dan seringnya ketidakjelasan pengajaran mereka telah
memunculkan perlawanan yang kuat dari wakil-wakil aliran skolastisme.
Bagaimanapun gerakan baru ini [ie. Humanisme] telah memenangi simpati dunia
awam dan simpati klerus-klerus yang menganutnya. Bahaya mulai terasa semakin
dekat kalau-kalau terjadi reformasi yang tidak hanya terbatas pada
metode-metode teologis tapi juga merambah kepada dogma-dogma gerejawi. Dan
lebih parahnya, kalau reformasi seperti itu didukung oleh kalangan Humanist.
[Karena parahnya situasi dan kondisi sebagaimana
dideskripsikan diatas], medan bagi tumbuhnya gerakan-gerakan revolusioner dalam
kalangan religius telah siap. Banyak peringatan-peringatan keras yang
mengindikasikan adanya bahaya yang mendekat dan menggaungkan sebuah reformasi
fundamental atas kondisi yang jahat saat itu, telah diucapkan.
Peringatan-peringatan tersebut muncul berkat pengaruh gerakan-gerakan untuk melakukan
reformasi dalam berbagai serikat-serikat [tarekat-tarekat] religius dan berkat
pengaruh upaya-upaya kerasulan individu-individu yang bersemangat tinggi. Namun
sebuah perbaikan umum atas kehidupan menggereja dan satu perbaikan yang seragam
atas kondisi-kondisi jahat yang [seharusnya] dimulai di Roma sendiri sebagai
pusat Gereja, tidak segera dilakukan. Dan dengan segera timbul suatu kondisi
dimana yang dibutuhkan hanya satu dorongan dari luar Gereja untuk menggulirkan
revolusi. Revolusi yang kemudian memotong sebagian besar Eropa Tengah dan
hampir semua Eropa Utara dari kesatuan Gereja.
II. GAGASAN-GAGASAN DAN TUJUAN-TUJUAN AWAL PARA
REFORMATOR
Dorongan pertama untuk memberontak muncul dengan timbulnya
perlawanan Luther di Jerman dan Zwingli di Swiss-Jerman atas promulgasi indulgensi Paus
Leo X untuk sumbangan terhadap pembangunan basilika St. Petrus di Roma.
Merupakan kebiasan lama bagi paus-paus untuk menganugrahkan indulgensi bagi
pembangunan sarana-sarana umum (contohnya: jembatan-jembatan). Dalam
kasus-kasus tersebut ajaran sejati mengenai indulgensi sebagai penghapusan hukuman karena dosa
(bukannya kesalahan atas dosa)
selalu dipegang teguh dan syarat-syarat mutlak untuk mendapatkan indulgensi
(terutama kewajiban untuk mengaku dosa dengan penyesalan
sehingga mendapat absolusi atas dosa) selalu ditanamkan pada masyarakat. Namun
anjuran untuk berderma selalu ditekankan. Padahal, derma, sebagai salah satu
tindakan baik yang bisa dilakukan (selain berderma ada perbuatan baik lainnya
yang bisa dilakukan, misalnya puasa, kerja bakti, berdoa rosario dll), hanya
dianjurkan sebagai perbuatan baik tambahan/suplementer bagi syarat-syarat utama
[ie. kewajiban untuk mengaku dosa dengan penyesalan sehingga mendapat absolusi
atas dosa] untuk mendapatkan indulgensi. Para komisioner indulgensi berusaha
mengumpulkan sebanyak mungkin uang derma dari indulgensi. Dan memang, sejak
Skisma Barat, sering kebutuhan spiritual masyarakat tidak dipertimbangkan
mendalam sebagai motif dalam pemberian indulgensi. Yang lebih sering
dipertimbangkan adalah perlunya tindakan baik supaya indulgensi itu didapatkan.
Dan sebagai konsekuensi penekanan terhadap perlunya tindakan baik tersebut,
perlunya mendapatkan derma [dimana derma hanyalah salah satu bentuk tindakan
baik yang bisa dilakukan untuk memenuhi syarat indulgensi] juga mendapatkan
penekanan. Perang melawan bangsa Turki dan krisis-krisis lainnya, pembangunan
gereja-gereja dan biara-biara, dan berbagai penyebab lainnya memicu Gereja
untuk memberikan indulgensi-indulgensi pada abad ke-limabelas.
Penyelewengan-penyelewengan yang terjadi dikemudiannya diperparah oleh fakta
bahwa pemimpin-pemimpin sekular sering melarang promulgasi indulgensi di daerah
kekuasaan mereka. Para pemimpin ini hanya mengijinkan bila sebagian dari hasil
penerimaan indulgensi diberikan kepada mereka. Sehingga dalam prakteknya dan
dalam benak masyarakat umum, promulgasi indulgensi membawa dampak ekonomis. Dan
karena seringnya promulgasi indulgensi, banyak yang menganggap bahwa indulgensi
adalah sekedar pajak yang memeras. Dengan
sia-sia orang yang tulus menyuarakan keprihatinan mereka atas
penyelewengan-penyelewengan ini. Penyelewengan-penyelewengan yang menimbulkan
sikap pahit kepada kepemimpinan gereja, terutama Kuria Kepausan. Promulgasi
indulgensi bagi basilika St. Petrus yang baru memberikan Luther kesempatan
untuk menyerang indulgensi secara umum. Dan serangan Luther ini merupakan
penyebab langsung Reformasi di Jerman. Beberapa waktu kemudian Zwingli
menyerukan ajaran-ajarannya yang salah, sehingga memulai Reformasi di
Swiss-Jerman. Keduanya (ie. Luther dan Zwingli) menyatakan bahwa mereka hanya
menyerang penyelewengan-penyelewengan indulgensi; namun mereka kemudian dengan
segera mengajarkan ajaran yang secara banyak cara berlawanan dengan ajaran
Gereja. Sambutan yang luar biasa yang diterima Luther atas penampilan
pertamanya, baik oleh kalangan humanist, beberapa teolog dan oleh para awam
yang tulus, adalah dikarenakan ketidakpuasan dengan penyelewengan-penyelewengan
yang ada. Tak lama kemudian pandangan salah Luther sendiri dan pengaruh dari
beberapa pengikutnya membuat Luther jatuh dalam pemberontakan melawan otoritas
gerejawi. Dan pemberontakan ini kemudian membawanya kepada ke-murtad-an dan
skisma. Pendukung utama Luther adalah kalangan Humanist, para klerus tak
bermoral, dan bangsawan tingkat rendahan yang dipenuhi kecenderungan
revolusioner. Dengan segera tampak terbuktikan bahwa Luther bermaksud
menggulingkan semua institusi fundamental Gereja. Dengan mulai memproklamirkan
ajaran palsu "pembenaran oleh iman saja", Luther kemudian mulai
menolak semua bantuan-bantuan adikodrati [yang perlu bagi pencapaian
keselamatan manusia] (terutama sakramen-sakramen dan Misa), menolak didapatnya
jasa oleh seseorang ketika dia melakukan perbuatan-perbuatan baik [meritoriousness
of good works] (yang berakibat pengutukannya atas kaul-kaul kaum religius
dan sistem kebiaraan Kristen secara umum), dan terakhir, menolak institusi
hierarkhi ke-imam-an yang asli (terutama kepausan) dalam Gereja. Ajarannya akan
Alkitab sebagai satu-satunya pedoman iman, digabung dengan penolakannya
terhadap semua otoritas gerejawi, menghasilkan subyektifisme dalam hal iman.
Atas serangan yang revolusioner ini Luther kehilangan dukungan banyak individu
serius yang tidak berkehendak untuk memecah dengan Gereja. Namun disisi lain
Luther mendapatkan dukungan dari semua unsur-unsur anti-kegerejaan, termasuk
berbagai rahib dan suster yang meninggalkan biara dan melanggar kaul mereka,
juga para imam yang mendukung perjuangannya dengan niat supaya bisa menikah.
Dukungan dari penguasanya, Frederick dari Saxon, amatlah penting. Dengan segera
pangeran-pangeran sekular dan magistrates kota menjadikan Reformasi
sebagai pretext [ie. alasan palsu] untuk secara rancu mencampuri
urusan-urusan yang murni gerejawi dan religius, untuk merampas
properti-properti gerejawi dan membagi-bagikannya sekehendak hati, dan untuk
menentukan iman apa yang harus diyakini rakyat dibawah pemerintahan mereka.
Beberapa pengikut Luther bahkan berlaku lebih ektrim. Tindakan yang dilakukan
para Anabaptist dan "Iconoclasts" [Ikonoklas adalah ajaran bidat
bahwa patung, ikon, relik tidak boleh dijadikan sarana peribadatan dan devosi
karena itu merupakan penyembahan kepada berhala] menunjukkan
kemungkinan-kemungkinan ekstrim atas prinsip-prinsip yang diserukan Luther. Sementara pada
peristiwa Perang Petani, unsur-unsur yang paling tertindas di Jerman [ie. para
petani] mempraktekkan ajaran para reformator. Sekarang masalah-masalah gerejawi
di-organisasi kembali atas dasar ajaran-ajaran baru; sehingga kekuasaan sekular
tampak dengan jelas sebagai hakim agung dalam perkara-perkara yang murni
religius dan secara total mereka mengabaikan adanya otoritas gerejawi yang
independen.
Pusat kedua atas Reformasi dibangun oleh Zwingli di
Zurich. Meskipun Zwingli berbeda dalam banyak hal dari Luther dan bahkan lebih
radikal dari Luther dalam transformasi yang dilakukannya atas perayaan Misa,
sasaran dari pengikut-pengikutnya identik dengan para Lutheran. Pertimbangan
politis memainkan peran yang besar dalam perkembangan Zwinglianisme. Dan
setelah mayoritas anggota magistracy Zurich mendukung Zwingli, mereka
menjadi pendukung yang gigih terhadap Reformasi. Dekrit-dekrit yang arbiter
dikeluarkan oleh para magistrates mengenai organisasi gerejawi. Para
anggota-anggota konsili yang tetap memegang teguh Iman Katolik sejati
dikeluarkan dari konsili dan pelayanan-pelayanan Katolik (termasuk Misa)
dilarang di kota [ie. Zurich].Kota dan canton (semacam "daerah
istimewa") Zurich direformasi oleh otoritas sipil sesuai ide-ide Zwingli.
Bagian lain swis-Jerman mengalami nasib yang sama. Swiss-Perancis mengembangkan
reformasinya sendiri yang khas. Reformasi ini diorganisasi di Jenewa oleh
Calvin. Calvinisme bisa dibedakan dengan Lutheranisme dan Zwinglianisme oleh
ajarannya yang lebih kaku dan konsisten dan oleh ke-ketat-an aturan moralnya. Aturan moral yang ketat ini kemudian mengatur seluruh kehidupan
domestik dan publik masyarakat. Organisasi gerejawi Calvin kemudian
dideklarasikan sebagai sebuah hukum fundamental Republik Jenewa, dan otoritas
setempat memberikan dukungan keseluruhan kepada reformator dalam pendirian
pengadilan moral baru oleh Calvin. Kata-kata Calvin adalah otoritas
tertinggi. Dan Calvin tidak mentoleransi kontradiksi apapun atas pandangannya
atau atas peraturannya. Calvinisme masuk ke Jenewa dan negara-negara sekitarnya
dengan kekerasan. Imam-imam Katolik diusir dan orang-orang ditekan dan dipaksa
untuk menghadiri khotbah-khotbah yang Calvinistik.
Di Inggris asal-muasal Reformasi sangatlah berbeda. Kali
ini raja Henry VIII yang sensual dan tiranis, dengan dukungan Thomas Crammer
yang dijadikan Uskup Agung Canterbury oleh sang raja, memecah negaranya dari
kesatuan gerejawi karena Paus, sebagai penjaga sejati hukum Ilahi, menolak
untuk mengakui perkawinan tidak sah Henry VIII dengan Anne Boleyn selama istri
sah sang raja masih hidup. Dengan mengingkari kepatuhan terhadap Paus sang
monarkh bertangan besi menetapkan dirinya sendiri sebagai hakim agung bahkan
dalam masalah-masalah gerejawi. Perlawanan
dari orang-orang benar seperti Thomas More dan John Fisher diatasi dengan darah
[ie. kekejian]. Namun sang raja berkeinginan untuk tidak merubah baik
ajaran-ajaran Gereja dan hierarkhi gerejawi. Disamping itu Henry VIII juga
bertanggung jawab agar sekumpulan ajaran dan aturan-aturan, yang ditolak Luther
dan pengikut-pengikutnya, dimasukkan kedalam Act of Parliament (Six
Articles) dengan sangsi hukuman mati. Begitu pula dengan di Inggris,
kekuasaan sipil menganggap dirinya sebagai hakim agung dalam masalah iman, dan
hal ini membangun dasar bagi inovasi-inovasi religius yang arbiter di kemudian
hari. Dibawah kekuasaan Edward VI (1547-53), kelompok Protestant mendapat angin
dan sejak itu memulai mempromosikan reformasi di Inggris menurut
prinsip-prinsip Luther, Zwingli dan Calvin. Juga disini, kekerasan digunakan
untuk menyebarkan ajaran-ajaran baru. Upaya terakhir dari gerakan Reformasi ini
secara praktis terbatas di Inggris (lihat Anglikanisme).
III. METODE PENYEBARAN REFORMASI [IE. PROTESTANTISME]
Dalam pemilihan cara-cara untuk memperluas Reformasi, para
pendiri Reformasi dan pendukung-pendukungnya tidaklah memilih cara-cara yang
baik dan benar. Mereka malahan menggunakan
segala aspek yang dapat mereka gunakan untuk memperluas gerakan mereka.
A
Pada awal-awalnya pengecaman terhadap
penyelewengan-penyelewengan dalam kehidupan religius dan gerejawi merupakan
metode-metode utama para reformator untuk memajukan rancangan mereka. Dengan
cara ini mereka memenangkan simpati banyak orang yang tidak puas dengan kondisi-kondisi
yang ada. Dan orang-orang ini siap untuk mendukung gerakan apapun yang
menjanjikan perubahan. Namun yang secara efisien mendukung para reformator,
yang dengan segera menyerang dengan keras otoritas kepausan karena mereka [para
reformator] mengenal otoritas tersebut sebagai penjaga tertinggi dari Iman
Katolik, adalah merebaknya kebencian. Kebencian kepada Roma dan anggota-anggota
hierarkhi, yang disirami oleh keluhan-keluhan yang sah tentang
penyelewengan-penyelewengan yang terjadi berkali-kali tanpa henti. Oleh karena
itu muncul banyak karya-karya sindiran, yang kadang sangat vulgar, terhadap
paus, para uskup dan secara umum kepada semua wakil-wakil otoritas gerejawi.
Pamflet-pamflet tersebut di-edarkan dimana-mana ditengah masyarakat, dan karenanya
rasa hormat kepada otoritas semakin digoncang keras. Pelukis-pelukis melukiskan
karikatur yang memalukan dan merendahkan atas paus, para klerus dan biarawan
sebagai ilustrasi atas teks-teks kasar di pamflet-pamflet. Berbekal apapun
senjata yang bisa digunakan (bahkan yang paling menjijikkan dan tidak pantas
sekalipun), peperangan melawan wakil-wakil Gereja ini, yang dianggap sebagai
penyebab penyelewengan-penyelewengan gerejawi, mempersiapkan kondisi bagi
diterimanya Reformasi. Pembedaan antara penyelewengan-penyelewengan yang bisa
dikoreksi dengan kebenaran Kristen fundamental yang adikodrati tidak lagi
diperhatikan; bersamaan dengan penyelewengan-penyelewengan dihilangkan juga
institusi penting gerejawi yang eksis karena didirikan secara ilahi..
B
Salah satu keuntungan lain bagi gerakan Reformasi adalah
pepecahan yang terjadi di berbagai tempat antara otoritas gerejawi dan sipil.
Bagi masyarakat Kristen Barat, perkembangan Negara kepada bentuk/konsep Negara
modern menimbulkan banyak perselisihan antara klerus dan awam, antara
uskup-uskup dan kota-kota, antara biara-biara dan pemerintahan-pemerintahan
sipil regional. Ketika para reformator menarik semua otoritas dari para klerus,
terutama semua pengaruh dalam perkara-perkara sipil, mereka [ie. para reformator]
memampukan pangeran-pangeran dan otoritas dewan kota untuk mengakhiri
perselisihan berlarut-larut tersebut dengan keuntungan di pihak mereka [ie.
para pengeran dan otoritas dewan kota]. Hal ini mereka [ie. para pengeran dan
otoritas dewan kota] lakukan dengan secara arbiter mengklaim bagi diri mereka
sendiri semua hak-hak yang diperselisihkan [ie. diperselisihkan antara otoritas
sekuler dan otoritas gerejawi], lalu mengusir hierarkhi [gerejawi] yang
hak-haknya mereka rampas, lalu kemudian dengan otoritas mereka sendiri
mendirikan sebuah organisasi gerejawi yang benar-benar baru. [Dengan begini]
para klerus-klerus Reformator/Protestant sejak awal-awal hanya memiliki hak-hak
yang diberikan oleh otoritas sipil. Sebagai konsekuensinya gereja-gereja
nasional Reformator/Protestant secara total tunduk kepada otortias sipil. Dan
para Reformator/Protestant sendiri, yang telah mempercayakan kepada kekuasaan
sipil pelaksanaan prinsip-prinsip mereka [ie. para reformator/Protestant],
tidak punya cara dan sarana-sarana untuk membebaskan diri dari ketundukan ini.
C
Sepanjang abad-abad sebelumnya, sejumlah besar yayasan
telah didirikan dengan tujuan keagamaan, karya kasih [ie. rumah sakit,
panti-panti etc], dan pendidikan. Yayasan-yayasan
tersebut diberi sumber daya-sumber daya yang kaya. Gereja-Gereja, biara-biara,
rumah sakit-rumah sakit dan sekolah-sekolah sering memiliki pendapatan yang
besar dan bermacam barang-barang. Hal ini menimbulkan ke-iri-an
penguasa-penguasa sekular. Reformasi memampukan para penguasa sekuler untuk
men-sekuler-kan kekayaan Gerejawi yang melimpah tersebut. Ini karena para
pemimpin Reformasi terus menerus melawan keras sentralisasi kekayaan-kekayaan
tersebut di tangan para klerus. Oleh sebab itu para pangeran dan otoritas dewan
kota diajak untuk menyita properti gerejawi dan menggunakan properti tersebut
untuk tujuan-tujuan mereka. Pemimpin-pemimpin gerejawi diberi kepercayaan oleh
para pangeran dan otoritas dewan kota untuk bertindak hanya sekedar sebagai
pribadi-pribadi gerejawi untuk keperluan administrasi dan pengelolaan usufruct
[ie. biaya sewa yang berhak diterima satu pihak meskipun properti yang
disewakan bukan milik pihak tersebut]. Kemudian, dengan melanggar hukum aktual,
para pangeran dan otoritas dewan kota mengubah pemimpin-pemimpin gerejawi
menjadi pemimpin-pemimpin sekuler. Dengan cara ini para Reformator sukses
mengeringkan Gereja dari kekayaan temporal yang digunakan Gereja untuk berbagai
kebutuhan dan sukses mengalihkan beberapa kekayaan temporal tersebut bagi
kepentingan mereka sendiri.
D
Emosi-emosi manusia, yang dirujuk oleh para Reformator
dengan berbagai cara, adalah sarana lain dalam menyebarkan Reformasi.
Gagasan-gagasan yang dibela oleh para inovator ini [ie. para
"reformator," mereka disebut "inovator" karena pemikiran
mereka yang sifatnya inovatif alias baru dan tidak ada sebelumnya], -- [yaitu]
kebebasan Kristen, izin untuk berpikir [license of thought, maksudnya
apapun boleh dipikirkan tidak peduli seburuk apapun pemikiran itu], hak dan
kapasitas setiap individu untuk menemukan imannya sendiri di Alkitab, dan
prinsip-prinsip lain -- adalah gagasan-gagasan yang sangat menggoda bagi banyak
orang. Penghapusan institusi-institusi religius yang berfungsi sebagai
pengekang kodrat manusia yang berdosa (pengakuan, tobat, puasa, pantang,
kaul-kaul) membuat tertarik mereka yang dipenuhi nafsu seksual dan mereka yang
tidak serius dalam hidup dan hanya menyukai kesenangan-kesenangan. Perang
melawan ordo-ordo religius, melawan keperawanan dan selibat, melawan praktek
kehidupan Kristen yang lebih tinggi, memenangkan banyak simpatisan bagi para
Reformator. Mereka-mereka ini adalah orang yang tanpa panggilan yang serius
telah masuk kedalam kehidupan religius karena motif-motif yang murni manusiawi
dan duniawi. Mereka berkeinginan untuk terbebas dari kewajiban-kewajiban kepada
Allah yang [mereka rasa] telah membebani [diri mereka], dan untuk bebas
memuaskan kedahagaan sensual mereka. Semua ini bisa mereka lakukan dengan lebih
mudah sebab penyitaan properti Gereja-Gereja dan biara-biara memungkinkan
tersedianya tambahan-tambahan materi bagi mantan-biarawan dan mantan-biarawati,
dan bagi romo-romo yang murtad. Dalam
tulisan-tulisan dan pamflet-pamflet yang tak terhitung banyaknya para
Reformator dengan sengaja dan sesering mungkin mengobarkan insting-insting
manusia yang paling dasar. Karya-karya sindiran dan fitnah-fitnah tertulis yang
sangat mengejutkan terhadap paus, Kuria Kepausan, para Uskup, Romo, biarawan
dan biarawati yang tetap setia terhadap keyakinan Katolik mereka, dibuat dan
disebarkan. Dengan bahasa yang paling vulgar dan kasar insitusi-institusi dan
ajaran-ajaran Katolik didistorsikan dan kemudian diejek. Diantara kalangan
bawah, yang sebagian besar tidak berpendidikan, yang merupakan unsur terlupakan
dalam tatanan masyarakat, nafsu-nafsu dan insting-insting paling mendasar
di-stimulasi dan ditekankan bagi kelangsungan Reformasi.
E
Pada awalnya banyak uskup menunjukkan ke-apatis-an yang
besar terhadap para Reformer, merasa bahwa gerakan baru ini tidak penting; [hal
ini memberi] pimpinan-pimpinan Reformator waktu yang lebih banyak untuk
menyebarkan ajaran-ajaran mereka. Bahkan setelah beberapa waktu, banyak uskup
yang punya kecenderungan duniawi, meskipun masih tetap setia kepada Gereja,
punya sikap yang malas dalam memerangi bidaah ini dan dalam melaksanakan
tindakan-tindakan antisipatif yang tepat untuk menghentikan penyebarannya. Hal
yang sama juga terjadi pada klerus-klerus paroki yang sangat tidak peduli dan
indifferen, dan melihat dengan tenang-tenang saja pembelotan orang-orang.
Sementara disisi lain para Reformator menunjukkan semangat yang lebih besar
untuk memperjuangkan idealisme mereka. Para Reformator tidak melewatkan cara
apapun yang bisa mereka pakai: dengan kata-kata dan pena, dengan interaksi
dengan orang-orang yang berpikiran sama, dengan ke-elegansi-an yang populer
yang sudah sangat mahir dilakukan oleh pemimpin-pemimpin Reformasi, dengan
khotbah-khotbah dan tulisan-tulisan populer yang merujuk kepada kelemahan
pribadi-pribadi yang populer [tentunya pribadi Katolik], dengan menyalakan
fanatisme kepada massa, singkatnya dengan menggunakan secara cerdik dan
bersemangat setiap kesempatan dan peluang yang muncul. Mereka benar-benar
membuktikan antusiasme yang tinggi bagi penyebaran ajaran mereka. Mereka melanjutkan
dengan sangat cekatan dan meng-klaim bahwa mereka memegang dengan teguh
kebenaran-kebenaran esensial Iman Katolik, bahwa mereka masih melakukan, pada
awalnya, banyak unsur-unsur eksternal perayaan peribadatan Katolik, bahwa niat
mereka hanyalah menghapuskan hal-hal yang didasarkan pada ciptaan manusia.
Dengan demikian mereka berusaha menipu orang-orang mengenai tujuan sebenarnya
dari aktivitas-aktivitas mereka. Mereka menemukan banyak lawan-lawan yang saleh
dan juga bersemangat di kalangan klerus-klerus reguler dan sekuler. Namun, yang
sebenarnya diperlukan, terutama pada saat-saat awal, adalah perlawanan yang
dilakukan dengan terorganisasi, sistematis dan dalam skala universal terhadap
reformasi palsu ini.
F
Banyak tata cara-tata cara baru yang diperkenalkan para
Reformator membuat senang dan menyanjung banyak orang -- antara lain:
penerimaan piala [Anggur] bagi seluruh umat [catatan DeusVult: sebelumnya yang
minum dari piala hanya imam], penggunaan bahasa ibu di peribadatan, hymne-hymne
religius populer digunakan dalam peribadatan, pembacaan Alkitab, peningkaran
terhadap perbedaan esensial antara klerus dan awam. Dalam kategori ini termasuk
juga ajaran-ajaran yang menarik bagi banyak orang -- antara lain
justifikasi/pembenaran oleh iman saja tanpa rujukan terhadap
perbuatan-perbuatan baik; penyangkalan kehendak bebas, yang memberikan alasan
bagi kegagalan-kegagalan moral; kepastian pribadi akan keselamatan dalam iman
(ie. keyakinan subyektif terhadap jasa-jasa Kristus); imamat universal, yang memberikan
semua orang bagian langsung dalam fungsi-fungsi ke-imam-an dan administrasi
gerejawi.
G
Terakhir, salah satu sarana utama yang digunakan dalam
menyebarkan reformasi adalah penggunaan kekerasan oleh para pangeran dan
otoritas dewan kota. Imam-imam yang tetap Katolik diusir dan diganti oleh
pengikut ajaran baru, dan masyarakat dipaksa menghadiri peribadatan baru. Para
umat Gereja yang setia dianiaya dengan berbagai cara, dan otoritas sipil
memastikan bahwa iman dari keturunan orang-orang yang melawan keras
Reformasi/Protestantisme dilemahkan secara gradual. Di banyak tempat,
orang-orang dipisahkan dari Gereja dengan kekerasan yang brutal. Ditempat lain,
untuk menipu orang-orang suatu kelicikan dilakukan dengan masih menggunakan
ritus Katolik, meski hanya luarannya saja, dalam waktu yang lama, dimana para
klerus Protestant menggunakan jubah-jubah gerejawi peribadatan Katolik. Sejarah
Reformasi/Protestantisme menunjukkan dengan tak terbantahkan bahwa kekuasaan
sipil adalah faktor utama dalam menyebarkan Reformasi/Protestantism di semua
daerah, dan bahwa dalam analisa akhir bukanlah faktor religius yang menjadi
penentu kemajuan penyebaran Reformasi/Protestantisme, tapi
kepentingan-kepentingan dinasti-dinasti, politik dan sosial. Ini ditambah fakta
bahwa pangeran-pangeran dan magistrate municipal yang bergabung dengan
para Reformator/Protestant melakukan tirani atas hati nurani rakyat dan
masyarakat mereka. Semua harus menerima agama yang diakui penguasa sipil.
Prinsip "Cuius regio, illius et religio" (Agama disesuaikan dengan
daerah) adalah hasil tumbuh-kembang Reformasi/Protestantisme, dan oleh prinsip
itu para pengikut Reformasi/Protestantism, kapanpun mereka mendapatkan
kekuasaan yang diperlukan, menerapkan dalam praktek.
********************************************
Maaf, untuk sementara hanya bagian I-II saja. Bagian
III-VI belum .
Apakah yang sudah ditulis ini cukup membantu? Kalau
malahan membuat bingung, mungkin sebaiknya proyek ini (menerjemahkan
sejarah-sejarah ke-Kristen-an dari Catholic Encyclopedia) diganti yang lain.
Ada saran yang lain itu apa?
Kalau cukup positif aku harap di masa depan akan ada
Proyek untuk entry Catholic Encyclopedia mengenai Skisma Timur (munculnya
Orthodox), Skisma Barat dan juga entry mengenai konsili-konsili ekumenis (bukan
dokumen-dokumennya, tapi sejarahnya sesuai yang ditulis Catholic Encyclopedia).
Nanti mungkin semuanya ditaruh di bagian tersendiri dengan subyek "Sejarah
Gereja."
Bagian kedua yang cukup singkat, tapi
memiliki satu kalimat yang buat pusing untuk menerjemahkan (sangat pusing
actually), telah selesai.
Di bagian ini kalian akan mempelajari bagaimana
pemberontakan yang dilakukan Protestant pada awalnya sangat berdarah (jadi
jangan pikir bahwa Protestant itu sekedar si kecil yang ingin bebas dari
kungkungan si besar yang berkuasa dengan segala kelemahannya).
Kalian juga akan membaca bagaimana setelah suatu daerah
menjadi daerah kekuasaan Protestant, para Protestant itu malahan menerapakan
aturan yang lebih ketat dan mengkungkung daripada apapun yang pernah dilakukan
Gereja Katolik. Bahkan mereka cenderung memaksa.
Point lain yang tidak disebut di artikel ini, yaitu
mengenai sampai mana kegananasan para Iconoclast Protestant. Menurut
sejarah, mereka begitu ganasnya sampai relikui-relikui para kudus, yang bisa
berupa potongan tangan, jantung, kepala atau bahkan tubuh sang kudus, mereka
bakar. Hampir semua, kalau tidak semua, relikui para kudus tersebut sifatnya
adalah incorrupt. Jadi, kalau tidak ada Protestantism, mungkin lebih banyak
incorrput seperti Bernadette. Tapi dibakar oleh para.... Protestant.
Tentu saja hal-hal seperti ini biasanya tidak pernah
diceritakan di pelajaran-pelajaran agama Protestant atau sekolah-sekolah
teologi mereka, terutama yang di Indonesia. Yang
diceritakan paling mengenai heroisme si kecil (Protestant) yang melawan
ke-otoriteran, ke-angkuhan, arogansi si besar (Gereja Katolik).
Sebenarnya
sih, aku ingin kalian mengasah kemampuan google kalian sambil belajar sedikit
sejarah. Aku pikir sebaiknya kalian cari sendiri sumber-sumber yang
menceritakan tentang keganasan setan (tidak dapat disebut lain) dari para
Iconoclast Protestant awal-awal. Ini fakta sejarah yang bisa ditemukan di
banyak sumber. Protestant pun tidak bisa menyangkal yang ini.
Tapi... ini aku kasih satu sumber saja. Kalian google yang
lain dan taruh di topik ini kalau ketemu sebagai pembelajaran kita semua:
Dari
website Dave Armstrong
|
Apakah ada Protestant di Indonesia yang tahu ini? Aku kira
tidak. dan sebenarnya juga tidak ada Katolik yang tahu akan ini.
You know, Protestant sering me-refer kepada permintaan
maaf Yohanes Paulus II dan meyakinkan orang lain (juga diri mereka sendiri)
bahwa kesalahan ada di pihak Katolik. Dalam pikiran sederhana Protestant
yang seperti ini, "minta maaf itu berarti mereka bersalah kan. Kalau
tidak salah kan tidak minta maaf." Sungguh ironis sekali.
Memang banyak individu Gereja Katolik yang juga bersalah.
Dan Yohanes Paulus II pun meminta maaf atas itu.
Tapi mana "maaf" dari Protestant?
Yang paling tragis [dan teologis] sebenarnya bukanlah
fakta bahwa "maaf" dari Protestant itu tidak pernah terdengar, juga
bukanlah fakta bahwa mereka begitu sok dan jumawa seakan-akan mereka-lah yang
disalahi dan mereka berhak atas maaf itu. Yang paling tragis [dan teologis]
adalah fakta bahwa sebenarnya Protestant tidak meminta maaf karena mereka
tidak bisa minta maaf.
Sebagai suatu gerakan yang terpecah-pecah satu sama lain,
Protestant tidak sekedar cuek terhadap apa yang terjadi antar
denominasi-denominasi, mereka juga tidak punya keterkaitan historis dengan
Protestant-Protestant awal. Jadi, tidak hanya umat denominasi A tidak begitu
kebakaran jenggot kalau pendeta denominasi B melakukan bisnis human
traficcking, umat denominasi A pun tidak akan terlalu peduli dengan apa
yang dilakukan oleh Protestant-protestant awal yang merupakan cikal bakal
munculnya mereka.
Dan, sebagaimana aku telah tekankan di salah satu topik
(yang sebenarnya aku mau link-kan tapi gak ketemu di topik mana aku nulis itu),
ini menunjukkan bahwa denominasi-denominasi Protestant SAMA SEKALI BUKAN
PENGEJAWENTAHAN (harap-harap spelling-nya benar) DARI TUBUH MISTIK KRISTUS
SEBAGAIMANA DITULIS PAULUS, "Karena itu jika satu anggota menderita,
semua anggota turut menderita" [1Kor 12:26].
PS
http://socrates58.blogspot.com/2007/05/
..-rationalize.html
A History of the Protestant Reformation in England and
Ireland (1826), by the non-Catholic
social reformer William Cobbett (1763-1835). |
No further comment necessary.
Bagian ke-III telah selesai (Metode
Penyebaran Reformasi). Pada bab ini kita mempelajarai apa saja yang dilakukan
para pengikut Reformasi dalam menyebarkan ajaran baru mereka. Kita lihat bahwa
cara-cara kekerasan (yang salah satunya adalah yang ditulis ) tidak
dikecualikan dalam menyebarkan ajaran baru ini.
Si BacktoPurity
merasa bahwa Gereja Katolik kurang menerapkan prisip marketing dan dia sebagai
consumer tentunya harus dipuaskan kalau tidak mau ditinggalkan. Nah, dengan membaca bagian ketiga ini kita tahu darimana asal mentalitas
seperti ini. Salah satu cara yang digunakan para Protestant awal untuk
menyukseskan penyebaran ajaran barunya adalah membuat praktek-praktek dan
ajaran-ajaran baru yang menyenangkan dan menyanjung banyak orang. Istilah
marketing-nya mungkin "memuaskan pelanggan." Jadi bukannya
"people conforms to God" tapi "God conforms to people."
Pada saat
Reformasi para hierarkhi Gereja cukup cuek-cuek saja terhadap perkembangan yang
terjadi. Mungkin sedikit banyak ini dikarenakan pemkiran bahwa "ah,
dulu-dulu ya ada pemberontakan seperti itu [ex. John Huss, Wyclyff,
Albigensians etc] tapi toh hanya riak-riak sesaat." Sayangnya mereka tidak
menghadapi riak, tapi gelombang tsunami. Ini karena faktor-faktor yang
menghambat merebaknya pemberontakan masa lalu telah hilang. Dahulu umat masih
respect terhadap hierarkhi karena korupsi pejabat gerejawi tidak merebak
seperti saat Reformasi, hubungan pemerintah sekuler dan Gereja juga masih baik.
Hal terakhir itulah yang terbukti sebagai faktor penentu.
Tidak hanya pemerintahan sekuler tidak kooperatif dengan Gereja, mereka bahkan
menggunakan segala kekuatan yang mereka punya, yang paling brutal dan kasar
sekalipun, untuk melawan Gereja dan menyebarkan bidaah Protestantism. Prinsip "Cuius
regio, illius et religio" dipraktekkan dengan full force bahkan
tanpa mengindahkan hati nurani masyarakat yang hidup dalam daerah kekuasaan
para pangeran sekuler yang Protestant.
Aku jadi tersenyum mengingat kata-kata terakhir di film
"Luther The Movie" yang didanai denominasi Lutheran pada tahun 2003.
Epilogue film tersebut berbunyi:
What happened at Augsburg pushed open the door of
religious freedom. Martin Luther lived
for another 16 years, preaching and teaching the Word. He and Katharina von
Bora enjoyed a happy marriage and six children. Luther's influence extended
into economics, politics, education and music, and his translation of the
Bible became a foundation stone of the German language. Today over 540
million people worship in churches inspired by his Reformation. |
Tampaknya mereka lupa prinsip "Cuius regio, illius
et religio" yang justru mereka petisikan pada Confession of
Augsburg tahun 1530.
Sungguh mengerikan akibat Reformasi/Protestantisme pada
kehidupan dunia dan terlebih pada kehidupan akhirat yang kekal.
God, have mercy on us all!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar