http://www.integratedcatholiclife.org/2012/01/dr-kreeft-freewill-and-predestination/
KEHENDAK BEBAS dan PREDESTINASI
oleh Dr.Peter Kreef
Jika Allah bukanlah kasih tetapi hanya pengetahuan, maka sulit atau tidak
mungkin untuk melihat bagaimana kehendak bebas manusia dan predestinasi dapat
benar kedua2nya. Tetapi jika Allah adalah kasih, maka pasti ada jalan.
Kebebasan dan predestinasi adalah salah satu yang paling sering ditanyakan
diantara mahasiswa2 saya. Sebagian karena perhatiannya yang besar dari
masyarakat modern akan kebebasan, tetapi saya juga berpikir, sebagian besar
alasan yang tanpa disadari adalah bahwa secara intuisi kita tahu kedua hal ini
pasti benar karena mereka adalah pemutar balik dari setiap cerita yang bagus.
Jika sebuah kisah tidak memiliki alur, tidak ada takdirnya/tujuan, dan jika
kejadian2nya serampangan / untung2 an dan berubah2, itu bukanlah sebuah kisah
besar.
Setiap cerita yang bagus memiliki unsur takdir Ilahi, unsur pewajaran
seolah-olah itu memang ditulis oleh Allah. Tapi setiap kisah juga meninggalkan
kebebasan karakternya. Penulis kecil dapat mendobrak dan memaksakan
karakter2nya kedalam pembentukkannya, tetapi semakin hebat seorang penulis,
pembaca akan semakin jelas melihat tokoh-tokohnya adalah orang yang nyata dan
bukan hanya konsep-konsep mental. Semakin karakter2 itu mendekati memiliki
kehidupannya sendiri yang seakan melompat dari halaman kedalam kehidupan nyata,
semakin hebatlah penulis itu. Tentu saja, Allah adalah penulis terbesar dari
semua. Karena hidup manusia adalah kisahnya maka Ia harus memiliki keduanya
takdir Ilahi dan kebebasan.
Pertama2, mari kita lihat disisi yang disebut takdir. Saya pikir, predestinasi
adalah sebuah kata yang menyesatkan, karena itu terlalu menggantungkan cara
berpikir kita yang sementara/fana. Allah bukanlah pre(sebelum) atau post
(setelah) dari segala sesuatu tetapi Ia adalah kini untuk segala sesuatu. Allah
tidak melihat deretan kartu domino atau bola kristal, Ia tidak harus menunggu
untuk apa pun dan juga tidak bertanya-tanya apa yang akan terjadi. Tidak ada
yang tidak pasti bagiNya, seperti masa depan yang tidak pasti untuk kita. Tidak
ada predestinasi (ditakdirkan sebelumnya) tetapi takdir (sifat kekinian), tidak
ada mentakdirkan tetapi takdir (sifat kekinian). Takdir ini diikuti
kemahatahuan dan kekekalan Ilahi, tapi keinginan bebas kita diikuti kasih
Ilahi. Untuk mencintai seseorang adalah untuk membuat mereka bebas, tetapi
memperbudak mereka selalu adalah cinta yang tidak sempurna/cacat.
Sekarang karena cinta Ilahi adalah yang paling esensi dari Allah, sementara
kemahatahuan dan kemahakuasaan hanyalah atribut2 dari esensi itu, maka bila
salah satu dari kebenaran ini (takdir dan kehendak bebas) yang harus datang
lebih dahulu, dalam arti yang lebih original dan tak dapat ditawar dengan yang
lainnya, maka itu adalah kebebasan.
Saya tidak berpikir kedua kebenaran itu perlu dikompromikan. Saya pikir kita
dapat memberikan keadilan yang semaksimalnya akan kedaulatan Allah seperti
seorang Calvinis dan keadilan semaksimalnya akan kehendak bebas manusia seperti
penganut aliran Baptis dan itu tidak akan mengkompromikan yang paling esensi
dari Allah untuk menolak predestinasi.
Arminianisme, sudut pandang teologis yang menolak predestinasi dan menekankan
peran kehendak bebas manusia dalam menerima rahmat dari Allah mungkin salah,
tapi itu salah relatif secara teknis, pada tingkat teoritis. Menyangkal
kehendak bebas manusia, di sisi lain, akan segera menghilangkan sesuatu yang
penting untuk kehidupan Kristen yaitu tanggung jawab pribadi. Jika saya adalah
robot, bahkan robot yang diprogram secara Ilahi, hidup saya tidak lagi memiliki
drama pilihan yang nyata dan berubah menjadi sebuah formula, penguraian dari
naskah yang telah tertulis.
Allah sangat mengasihi saya untuk mengizinkan itu. Dia akan segera berkompromi
dengan kekuasaanNya daripada kebebasan saya. Sebenarnya, Allah tidak melakukan
keduanya. Justru kuasaNya memberikan kepada saya kebebasan ini. Aquinas
menyatukan kebebasan dengan predestinasi dengan mengatakan bahwa kasih Allah
begitu berkuasa sehingga Ia tidak hanya mendapatkan apa yang diinginkanNya
tetapi juga mendapatkan dengan cara yang Allah inginkan. Tidak hanya semuanya
terjadi karena kehendak Allah, tetapi itu juga terjadi dengan cara yang Allah
kehendaki.
Terjadi tanpa kebebasan layaknya hal2 yang bersifat alam seperti hujan yang
turun dan hal2 yang terjadi secara bebas seperti pilihan2 manusia. Sebuah
kekuasaan yang lebih kecil bisa mendapatkan apa yang diinginkan tetapi bukan
dengan cara seperti yang diinginkannya, tetapi kemahakuasaan mendapatkan
keduanya. Dan cara yang diinginkan kemahakuasaan adalah perbuatan manusia
dilakukan dengan kebebasan. Dengan kata lain, kebebasan dan predestinasi adalah
dua sisi dari satu koin. Penulis yang Mahakuasa memilih untuk menulis kisah
tentang manusia yang bebas, tidak sekedar pohon2 atau mesin2, itu berarti kita
benar-benar bebas. Kita bebas justru karena Allah itu Mahakuasa dalam segala
hal.
Jika kasih dan kuasa bukanlah satu, kita akan mendapatkan kebuntuan yang
klasik, konflik yang tak berujung antara keduanya tetapi setelah anda melihat
pusatnya adalah cinta, maka segala sesuatunya masuk kesebuah tempat seperti
jari-jari dalam roda.Kesatuan kasih dan kuasa, juga membuat kita tidak perlu
takut akan kuasa Allah, karena itu adalah cintaNya yang sangat besar, oleh
karenanya kita tidak dapat gunakan dengan tanpa cinta. Dan juga kita tidak
perlu takut cintaNya akan pernah gagal, karena Ia Mahakuasa dan berkuasa.
TanganNya yang Maha yang menabur bintang2 disekeliling galaksi seperti butiran
pasir itu begitu mencintai umat manusia sehingga membiarkan umat manusia memaku
tangannya disalib, semua untuk cinta. Satu2nya yang mengasihi kita bahkan
sampai mati, kelemahan yang Agung adalah kekuatan yang tak terbatas.
Sebenarnya, jika kita hanya percaya dan mengingat kesatuan dari dua hal ini
yaitu kasih dan kuasa Allah dan percaya bahwa kedua atribut ini yang paling
tidak dapat dikurangi dari Allah, maka hasil nyata yang dapat dibayangkan dalam
kehidupan kita adalah transformasi yang paling revolusioner akan sukacita dan
percaya diri.
Untuk melihat ini semua mari kita membaca ulang Roma 8: 31-39.
"Apakah yang akan kita katakan tentang ini? "Apakah kebenaran dari
konsekwensi yang tak terelakkan bahwa Allah yang Mahakuasa begitu mencintai
kita sehingga tidak menyayangkan anakNya sendiri tetapi menyerahkanNya untuk
kita semua? Sesederhana ini bahwa : "Apakah Ia tidak juga mengaruniakan
segala sesuatu kepada kita bersama-sama dengan Dia?" Hal ini mengikuti
sepanjang masa bahwa "tidak ada sesuatu makhluk lainnya yang akan dapat
memisahkan kita dari kasih Allah" Tidak, kasih Allah bahkan lebih pasti
dari malam hari yang diikuti siang hari dimana hukum fisika dapat berubah
dihadapan hukum alam Allah yang abadi.
Jika Allah itu Mahakuasa dan Mahakasih, maka "dalam segala hal Allah
bekerja untuk kebaikan bagi mereka yang mencintaiNya, "bahkan dalam
penganiayaan, penyiksaan dan kematian!" Karena meski "demi namaMu,
kami dibunuh sepanjang hari' juga "dalam semuanya itu kita lebih dari
pemenang." Mengapa? Karena penyiksaan2 ini dan segala sesuatunya, untuk
melayani satu tujuan dari pikiran dan hati Allah yang kehendakNya hanya untuk
kebaikan kita.
Allah melakukan apa yang diajarkannya: kemurnian dan kesederhanaan hati, cinta
100 persen.
Satu-satunya jalan keluar dari kasih-Nya bukanlah kesempatan atau penderitaan
atau kematian tetapi adalah dosa yang mematikan. Dan bahkan dosa masa lalu
dapat bekerja untuk kebaikan kita melalui pertobatan saat sekarang.
Hanya bila kita menghendakinya, segala hal bekerja mendatangkan kebaikan bagi
kita karena segala hal adalah kasih Allah. Ini begitu sederhana sehingga hanya
seorang anakpun atau orang yang telah menjadi seperti anak kecil dapat
memahaminya.
"Aku bersyukur kepada-Mu, Bapa, Tuhan langit dan bumi, karena semuanya itu
Engkau sembunyikan bagi orang bijak dan orang pandai, tetapi Engkau nyatakan
kepada orang kecil " (Mat 11:25).
Free Will and Predestination
by : Dr.Peter Kreef
If God is not love but only knowledge, then it is difficult or impossible to
see how human free will and divine predestination can both be true. But if God
is love, there is a way.
Freedom and predestination is one of the most frequently asked questions among
my students—partly because of modern man's great concern for freedom, but also,
I think, for the largely unconscious reason that we intuitively know both these
things must be true because they are the warp and woof of every good story. If
a story has no plot, no destiny – if its events are haphazard and arbitrary –
it is not a great story.
Every good story has a sense of destiny, of fittingness as if it were written
by God. But every story also leaves its characters free. Lesser writers may
jimmy and force their characters into molds, but the greater the writer the
more clearly the reader sees that his characters are real people and not just
mental concepts. The more nearly the characters have a life of their own and
seem to leap off the page into real life, the greater a writer we have. God, of
course, is the greatest writer of all. Since human life is his story, it must
have both destiny and freedom.
Let's look first at the side called destiny. Predestination is a misleading
word, I think, for it concedes too much to our temporal way of thinking. God is
not pre or post anything. He is present to everything. God does not look down
rows of dominoes or into crystal balls. He does not have to wait for anything.
Nor does he wonder what will happen. Nothing is uncertain to him, as the future
is uncertain to us. There is not predestination but destination, not predestiny
but destiny. This follows from divine omniscience and eternity.
But our free will follows from the divine love. To love someone is to make them
free. To enslave them is always a defect of love.
Now since divine love is God's very essence, while omniscience and omnipotence
are only attributes of that essence, therefore if one of these two truths had
to come first – in the sense of being more primordial and non-negotiable than
the other – it would have to be freedom.
I do not think either truth needs to be compromised. I think we can do as much
justice to the sovereignty of God as a Calvinist and as much justice to the
free will of man as a Baptist. Yet it would not compromise the very essence of
God to deny predestination.
Arminianism, the theological viewpoint that denies predestination and
emphasizes the role of man's free will in receiving grace from God, may be
wrong. But it is wrong at a relatively technical, theoretical level. Denying
human free will, on the other hand, would cut out something immediately
essential to the Christian life: personal responsibility. If I am a robot, even
a divinely programmed robot, my life no longer has the drama of real choice and
turns into a formula, the unrolling of a pre-written script.
God loves me too much to allow that. He would sooner compromise his power than
my freedom.
Actually, he does neither. It is precisely his power that gives me my freedom.
Aquinas reconciles freedom with predestination by saying that God's love is so
powerful that he not only gets what he wants but he also gets it in the way
that he wants. Not only is everything done that God wills to be done, but it is
also done in the way he wants it to be done.
It happens without freedom in the case of natural things like falling rain and
freely in the case of human choices. A power a little less than total may get
what it wants without getting it in the way that it wants it. But omnipotence
gets both. And the way omnipotence wants human acts done is freely.
In other words, freedom and predestination are two sides of one coin. The
omnipotent author chose to write a story about free human beings, not just
trees or machines. That means we are really free. We are free precisely because
God is all-powerful.
If love and power were not one, we would have the classic standoff, an unending
conflict between the two. Once you see the center, love, everything else falls
into place like spokes in a wheel. The oneness of love and power is also why we
need not fear God's power: it is his very love. Therefore, it cannot be used
lovelessly. And it is also why we need not fear that his love will ever fail,
for it is omnipotent. It is power. The very hands that tossed the galaxies
around like grains of sand loved mankind so much that they let mere men nail
them to the cross, all for love. The One who loved us even unto death, the
supreme weakness, is infinite strength.
In fact, if we only believe and remember the unity of these two things, God's
love and God's power, if we only believe in the two attributes that can least
be subtracted from God, the practical result will be the most revolutionary
transformation of joy and confidence imaginable in our lives.
To see this all we need do is reread Romans 8:.31-39. "What then shall we
say to this?" What is the inevitable consequence of the fact that the
omnipotent God loves us so much that he "did not spare his own Son but
gave him up for us all?" Simply this: "Will he not also give us all
things with him?" It follows as the night the day that not "anything
else in all creation, will be able to separate us from the love of God."
No, it follows even more surely than the night follows the day, for the laws of
physics will change before the laws of God's nature ever will.
If God is all-powerful and all-loving, then "in everything God works for
good with those who love him." Even in persecution, torture, and death!
For although "for thy sake we are being killed all the day long," yet
"in all these things we are more than conquerors." Why? Because these
tortures, like everything, serve the one single end of the single-minded and
single-hearted God who wills only our good.
He practices what he preaches: purity and simplicity of heart, 100 percent
love. The only way out of his love is not chance or suffering or death, but
deadly sin. And even past sins can work for our good through present
repentance.
If only we will it, everything works for our good because everything is God's
love. It's so simple that only a child could understand it, or one who has
become like a child. "I thank thee, Father, Lord of heaven and earth,"
said Jesus, "that thou hast hidden these things from the wise and
understanding and revealed them to babes" (Mt 11:25).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar