SURAT
KANTOR KUDUS MENGENAI PERLUNYA GEREJA KATOLIK
Monsignor Joseph Clifford Fenton
[sebuah excerpt dari edisi 1952 American Ecclesiastical Review. Semua
penekanan tebal berasal dariku, DeusVult]
------
Ilmu Teologi suci telah sangat dibantu oleh tindakan Uskup Agung Cushing dalam
mempublikasikan teks lengkap dan terjemahan Inggris resmi dari surat Kantor
Kudus mengenai perlunya Gereja bagi keselamatan. Surat ini, ketiga dari tiga
dokumen Roma yang secara langsung berkenaan dengan dogma ini [ie. perlunya
Gereja bagi keselamatan] sepanjang sepuluh tahun terakhir, mengandung
penjelasan yang akurat dan otoritatif atas sebuah kebenaran yang diwahyukan
secara ilahi yang sering ditafsirkan dengan keliru dalam tulisan-tulisan
Katolik saat ini. Publikasi dari dokumen ini dapat dan harus membawa sebuah
perbaikan dalam penanganan dogma akan perlunya Gereja bagi keselamatan dalam
literatur populer Katolik.
Teks dari surat tersebut terdiri dari duapuluh-empat paragraf. Tiga paragraf
yang pertama adalah perkenalan, dan berbicara mengenai keadaan-keadaan yang
memicu keluarnya pesan [dari surat] tersebut. Enambelas paragraf selanjutnya
berkutat dengan "explanationes…ad doctrinam pertinentes." Lima
paragraf terakhir mengandung "invitamenta atque exhortationes, quae ad
disciplinam spectant."
Dalam perkenalan, surat tersebut meneguhkan bahwa [surat itu] berkenaan dengan
sebuah kontroversi yang berat dan serius yang telah ditimbulkan (exitata)
oleh orang-orang yang berhubungan dengan Pusat St. Benediktus dan Kolose
Boston. Surat tersebut lebih lanjut menyatakan bahwa Kantor Kudus berkeyakinan
bahwa kontroversi tersebut timbul pertama-tama karena sebuah kegagalan dalam
memahami secara tepat dan untuk menghargai aksioma "extra ecclesiam
nulla sallus," dan bahwa perselisihan itu menjadi pahit oleh karena
fakta bahwa beberapa dari mereka yang berhubungan dengan Pusat St. Benediktus
dan dengan Kolose Boston menolak hormat dan taat kepada otoritas gerejawi yang
sah.
Baik disini dan dalam bagian doktrinal dari surat tersebut kita menjumpai
sebuah implikasi jelas bahwa Kantor Kudus sadar akan banyaknya jenis kesalahan
mengenai perlunya Gereja Katolik bagi keselamatan. Ketika surat tersebut
menempatkan [kepada siapa] kesalahan atas semakin pahitnya kontroversi
[tersebut harus dibebankan], surat tersebut secara langsung menyalahkan
kelompok Pusat St. Benediktus, yang bersalah atas ketidakhormatan dan
ketidakpatuhan. Ketika, disisi lain, dokumen tersebut berbicara mengenai asal
muasal dari perselisihan tersebut, dokumen tersebut dengan enteng menyatakan
bahwa kotroversi itu sendiri [timbul karena] kegagalan untuk mengenal dan
menghargai rumusan "extra ecclesiam nulla sallus." Mereka yang
telah mempelajari dalam tingkatan se-mendetail apapun banyaknya tulisan-tulisan
modern mengenai subyek ini sudah cukup sadar bahwa ada beberapa penjelasan
keliru atas dogma ini yang dipublikasikan selama bagian pertama dari abad
ini.[1]
Karena itu, apa yang membuat surat dari Kantor Kudus ini sangat begitu penting
adalah fakta bahwa surat tersebut bertujuan, tidak hanya untuk mengoreksi
kesalahtafsiran dasar dari dogma yang dilakukan oleh kelompok Pusat St.
Benediktus, tapi menunjukkan kualitas doktrinal dari ajaran itu sendiri dan
untuk menawarkan sebuah garis yang akurat, penuh dan otoritatif atas penafsiran
[dogma EENS tersebut]. Dalam mencapai tujuannya, surat Kantor Kudus sejauh ini
telah memberi para teolog Katolik pemaparan yang paling lengkap dan paling
detail, atas dogma bahwa Gereja Katolik adalah perlu bagi keselamatan, yang
pernah datang dari magisterium Gereja.
Porsi doktrinal yang spesifik dari surat Kantor Kudus dimulai dengan sebuah
paragraf yang mengulangi apa yang diajarkan oleh Konsili Vatikan [Pertama]
mengenai kebenaran yang mana kita terikat untuk mempercayai dengan kepatuhan
iman yang Katolik dan ilahi. Surat tersebut mengatakan kepada kita bahwa "Kami
terikat oleh iman yang ilahi dan Katolik untuk mempercayai semua hal yang
terkandung dalam sabda Allah, apakah itu di Kitab Suci atau Tradisi (quae in
verbo Dei scripto vel tradito continentur), dan [semua hal] yang diajukan
oleh Gereja untuk dipercayai sebagai sesuatu yang diwahyukan secara ilahi."[2]
Nah, ajaran-ajaran yang kita wajib percayai dengan kepatuhan iman yang Katolik
dan ilahi adalah kebenaran-kebenaran yang kita kenal sebagai dogma-dogma Gereja
Katolik. Dogma-dogma ini adalah kebenaran-kebenaran yang dikhotbahkan
rasul-rasul Yesus Kristus kepada GerejaNya sebagai pernyataan-pernyataan yang
telah dikomunikasikan secara adikodrati [supernatural] atau diwahyukan
oleh Allah sendiri. [Dogma-dogma tersebut] mendasari obyek terpusatan atau
terutama dari aktivitas mengajar takdapatsalah Gereja.
Adalah penting untuk dicatat bahwa surat Kantor Kudus kita itu
mendeskripsikan doktrin "bahwa tidak ada
keselamatan diluar Gereja," tidak hanya sebagai
suatu ajaran yang takdapatsalah, tapi juga sebagai suatu dogma. Surat
itu bersikeras, dengan kata lain, bahwa ajaran ini tidak hanya sesuatu yang
[sekedar] berhubungan dengan pesan Allah yang umum dan adikorati [supernatural],
tapi [doktrin tersebut] termasuk dalam pesan yang diwahyukan itu sendiri.
Doktrin tersebut dihadirkan sebagai sebuah kebenaran yang diberikan para rasul
sendiri kepada Gereja sebagai sebuah pernyataan yang diwahyukan Allah secara
adikodrati [supernatural] kepada manusia melalui Tuhan Kita [ie. Yesus
Kristus]. [Doktrin tersebut] adalah salah satu dari kebenaran-kebenaran yang
mana Gereja berkepentingan secara utama dan esensial.
Sehingga dalam menyebutkan ajaran ini sebagai sebuah dogma Gereja, surat Kantor
Kudus hanya mengulangi apa yang telah diajarkan oleh Paus Pius IX di allocution beliau Singulari
quadam, yang dikeluarkan 9 Desember 1854, dan di ensikliknya Quanto
conficiamur moerore, yang dipublikasikan pada 10 Agustus 1863.[3] Karenanya
dokumen kita [ie. surat Kantor Kudus] tidak membuat sumbangsih baru atas point
tertentu ini. [Surat Kantor Kudus] hanya mengingatkan, suatu generasi yang
mungkin telah lupa akan fakta tersebut, suatu kebenaran tertinggi yang ajaran
yang berkenaan dengannya adalah bagian aktual dari wahyu umum ilahi.
Surat kita [ie. Surat Kantor Kudus] juga membawakan dua konsekuensi penting
atas fakta bahwa ajaran akan pentingnya Gereja bagi keselamatan abadi
sebenarnya adalah sebuah dogma Katolik. Implikasi pertama adalah bahwa
kebenaran ini adalah salah satu dari "perkara-perkara yang
selalu dikhotbahkan Gereja dan tidak akan pernah berhenti untuk dikhotbahkan."
Implikasi kedua ditemukan dalam fakta bahwa Allah telah mempercayakan penjelasan
yang otoritatif dan takdapatsalah dari kebenaran-kebenaran yang diwahyukan
tersebut, tidak kepada keputusan pribadi, tapi kepada otoritas mengajar Gereja
saja. Kedua implikasi ini sangatlah penting bagi teolog kontemporer [ie. saat
ini]. Pada faktanya, Bapa Suci sendiri mengambil dua poin tersebut dalam
ensikliknya Humani Generis, yang, meskipun muncul dua tahun sebelum
publikasi teks penuh dari surat Kantor Kudus tersebut, sebenarnya telah ditulis
setahun setelah dokumen [dari kantor Kudus] ini [ditulis]. [4]
Dalam konteks diskusi saat ini dan kesalahpahaman yang memicu penulisan surat
kita ini [ie. surat dari Kantor Kudus], pengingat-ingat bahwa Gereja tidak
pernah berhenti untuk mengkhotbahkan dan tidak akan pernah berhenti untuk
mengkhotbahkan kebenaran bahwa Gereja adalah penting bagi keselamatan manusia
adalah [pengingat-ingat] yang tepat waktu dan berguna. Adalah penting untuk
dicatat bahwa surat [Kantor Kudus] menggunakan istilah "praedicare, mengkhotbahkan."
Dengan menggunakan kata ini, dokumen tersebut meyakinkan kita bahwa, sepanjang
bagian sejarahnya, Gereja Katolik terus menerus menetapkan secara umum dan
secara terbuka ajaran yang diterimanya dari Allah melalui Tuhan Kita dan
rasul-rasulNya. Karenanya Kantor Kudus bertindak lebih dari sekedar meneguhkan
bahwa Gereja selalu memelihara dan menjaga pusaka doktrinalnya. [Kantor Kudus]
bersikeras bahwa Gereja tidak pernah berhenti untuk mengajarkan dogmanya
sendiri.
Nah ada kecenderungan lama diantara beberapa penulis Katolik untuk membayangkan
bahwa beberapa dogma Gereja cenderung menjadi kadaluarsa, dan bahwa, atas
kepentingan kemajuannya sendiri, Gereja tidak bersikeras dengan ketat atas
ajaran-ajaran yang dianggap tidak selaras dengan kondisi-kondisi modern. Paus
Leo XIII mengkritik dengan keras salah satu aspek dari kecenderungan ini dalam
suratnya Testem benovolentiae.[5] Sudahlah sangat jelas bahwa salah
satu dogma Gereja yang oleh musuh-musuhnya [ie. musuh-musuh Gereja] paling
tidak sejalan dengan pemikiran modern saat ini adalah ajaran bahwa tidak ada
keselamatan diluar Gereja sejati. Secara bersamaan sebuah mentalitas seperti
yang dimiliki kelompok Pusat St. Benediktus cenderung berkeyakinan bahwa,
paling tidak dijaman kita, Gereja universal sedang tidak mengajarkan dogma
mengenai perlunya Gereja bagi keselamatan manusia secara efektif.
Terlebih, pernyataan Kantor Kudus ini datang sebagai sebuah teguran kepada
bentuk yang lebih ekstrim dari teori "state of siege"
["keadaan saling menunggu saat yang tepat untuk memulai gerakan"], yang
menurut teori itu Gereja telah dengan satu cara memodifikasi kehidupan
doktrinalnya sejak hari-hari Konsili Trent dengan mengambil posisi defensif.
Surat kita meyakinkan kita pada titik ini bahwa Gereja tidak akan pernah
melewatkan atau melunakkan dogma apapun demi kepentingan suatu mentalitas
defensif atau demi alasan lainnya.
Implikasi atau konsekuensi yang kedua yang dicatat oleh surat Kantor Kudus juga
sama-sama tepat waktu. Dalam bersikeras atas fakta bahwa Penyelamat Kita telah
mengungkung penjelasan dari dogmaNya, bukan kepada keputusan pribadi, tapi
kepada magisterium Gereja saja, surat ini menjadikan jelas bahwa umat Katolik
harus dituntun dalam pemahaman mereka akan kebenaran yang diwahyukan oleh
guru-guru resmi dari Gereja Katolik, dan tidak hanya oleh pengarang-pengarang
pribadi, tidak peduli bagaimana ingenious [ie. pandai dan
orisinil] dan berpengaruh [pengarang-pengarang pribadi tersebut]. Dan, untuk
menempatkan perkara se-konkrit mungkin, umat Katolik tidak boleh menerima
ajaran apapun dari penulis-penulis pribadi, meskipun ketika ajaran-ajaran ini
kelihatan seperti selaras dengan mentalitas modern, kalau ajaran-ajaran ini
tidak secara ketat selaras dengan ajaran magisterium. Adalah cukup jelas bahwa
ajaran pribadi seperti inilah yang dihadirkan diwaktu-waktu sekarang ini,
[yaitu ajaran pribadi] mengenai subyek perlunya Gereja bagi keselamatan dan
dalam bagian-bagian lain ekklesiologi [ie. ilmu kegerejaaan].
Tiga paragraf pertama dalam porsi doktrinal dari surat Kantor Kudus berkenaan dengan
fakta bahwa ajaran "tidak ada keselamatan diluar Gereja"
adalah sebuah dogma iman Katolik, dan dengan dua konsekuensi yang mengikuti
fakta tersebut. Sisa dari bagian doktrinal (satu-satunya bagian yang mana kita
berkepedulian langsung dalam artikel ini) diberikan bagi suatu pemaparan atas
bagaimana Gereja sendiri memahami dan mengajarkan dogma mengenai perlunya
[Gereja] bagi keselamatan abadi. Dalam beberapa paragraf ini, para teolog akan
menemukan tiga pembedaan, yang telah lama digunakan para teolog
tradisional Gereja dalam penjelasan mereka akan perlunya Gereja bagi
keselamatan, dihadirkan untuk pertama kalinya secara jelas dan
berketetapan dalam sebuah pernyataan otentik magisterium Gereja sebagaimana
digunakan oleh Gereja yang mengajar itu sendiri dalam pemahaman dan
penjelasannya [ie. Gereja] atas dogma tersebut. [Tiga pembedaan] itu
adalah (1) pembedaan antara necessity of precept [ie. perlu
sebagai aturan] dan necessity of means [ie. perlu sebagai
sarana], (2) pembedaan antara berada dalam gereja secara re dan
berada didalamnya secara voto, dan (3) pembedaan antara
niat/keinginan eksplisit dan niat/keinginan implisit untuk masuk ke Gereja
Katolik. Justru karena semua pembedaan [tersebut] digunakan pertama kali
dalam sebuah dokumen magisterium untuk menjelaskan perlunya Gereja bagi
keselamatan sehingga surat [Kantor Kudus] ini adalah salah satu dokumen Roma
yang paling penting masa kini.
Pertama, Kantor Kudus menunjukkan kita bahwa pembedaan klasik antara necessity
of precept [ie. perlu sebagai aturan] dan necessity of means [ie.
perlu sebagai sarana], yang telah lama digunakan oleh para teolog kompeten
dalam menjelaskan dogma perlunya Gereja bagi keselamatan, telah masuk kedalam
pemahaman dan penjelasan Gereja sendiri akan doktrin [akan perlunya Gereja bagi
keselamatan] tersebut. Berkenaan dengan perlunya Gereja sebagai aturan [the
church’s necesity of precept], surat tersebut membawakan fakta bahwa
perintah, "untuk di-inkorporasi-kan oleh baptisan kepada tubuh Mistik
Kristus, yang adalah Gereja, dan tetap bersatu kepada Kristus dan kepada
WakilNya," adalah salah satu perintah yang benar-benar diberikan Tuhan
Kita kepada rasul-rasulNya untuk diajarkan kepada semua bangsa. Dokumen
tersebut lalu menjelaskan perlunya Gereja sebagai aturan berarti bahwa "tidak
seorangpun akan diselamatkan, [kalau dia] mengetahui bahwa Gereja telah
diinstitusikan secara ilahi oleh Kristus, tapi menolak untuk tunduk kepada
Gereja atau menarik ketaatan dari Paus Roma, Wakil Kristus di bumi."
Surat Kongregasi Suci karenanya menyatakan secara eksplisit bahwa ada sebuah
perintah yang serius yang dikeluarkan oleh Tuhan Kita sendiri kepada semua
manusia, sebuah perintah agar mereka masuk dan tetap berada dalam Gereja
sejati. Orang yang melanggar perintah itu akan bersalah atas sebuah dosa yang
besar. Kalau dia mati dalam kondisi ketidakpatuhan atas kehendaknya sendiri
itu, dia secara tidak terhindarkan lagi akan hilang selamanya [ie. ke neraka].
Begitulah makna dasar dari perlunya Gereja sebagai aturan, sebagaimana dijelaskan
oleh surat dari Kantor Kudus, dan sebagaimana dipahami oleh Gereja
sendiri.
Bagaimanapun, dokumen ini juga mengajarkan kita bahwa ada lebih dari sekedar
sebuah necessity of precept [ie. perlu sebagai aturan] yang
berkenaan dengan dogma perlunya Gereja Katolik bagi keselamatan. Dokumen
tersebut bersikeras atas fakta bahwa Tuhan Kita "juga
mendekritkan Gereja sebagai sebuah sarana keselamatan yang tanpanya tidak
seorangpun dapat masuk kerajaan kemuliaan abadi." Dengan kata lain,
Tuhan Kita telah melakukan dua hal: Dia memerintahkan semua orang untuk masuk
kedalam Gereja; dan dia telah mendirikan masyarakat ini [ie. Gereja dan orang
didalamnya] sebagai salah satu dari sumberdaya adikodrati [supernatural]yang
tanpanya tidak seorangpun dapat menikmati Pandangan Kebahagiaan [Beatific
Vision] sebagai seorang anggota Gereja jaya di surga.
Pernyataan dari Kantor Kudus ini sangatlah penting dalam bidang teologi
dogmatis. Selama tahun-tahun belakangan ada banyak upaya dari beberapa penulis
Katolik untuk menyajikan perlunya Gereja bagi keselamatan secara eksklusif atau
hampir secara eksklusif hanya sebagai sebuah necessity of precept [perlu
sebagai aturan]. Sekarang dengan suara otoritatif Gereja Roma sendiri
meyakinkan kita bahwa Gereja adalah perlu baik dengan necessity of
precept [ie. perlu sebagai aturan] dan dengan necessity of
means [ie. perlu sebagai sarana]. Surat [dari Kantor Kudus] ini adalah
dokumen otoritatif pertama dimana kebenaran ini diajukan secara jelas dan
eksplisit.
Juga [dinyatakan] pada saat yang sangat tepat adalah penggunaan surat tersebut
akan pembedaan teologis klasik antara berada dalam Gereja secara re dan
berada didalamnya secara voto. Karenanya mereka yang ingin
menjelaskan ajaran Katolik atas point ini harus menggunakan dua pembedaan ini (necessity
of precept yang berbeda dengan necessity of means: berada
dalam Gereja secara re yang berbeda dengan berada dalam Gereja
secara voto.), kalau mereka [hendak] bertindak sebagai pendukung
kebenaran Katolik yang beriman. Adalah menarik untuk dicatat bahwa Kantor Kudus
tidak menggunakan istilah seperti "jiwa dan tubuh Gereja," atau
"Gereja sebagai sarana biasa [ordinary] keselamatan," dalam
menetapkan apa yang selalu dipahami Gereja sendiri sebagai arti dari perlunya
Gereja bagi keselamatan abadi.
Terlebih, juga adalah menarik untuk melihat konotasi dari istilah "votum"
dan "desiderium," digunakan dalam komunikasi [dari] Kantor
Kudus tersebut. Istilah-istilah ini diterjemahkan, tidak secara taktepat, tapi
mungkin kurang mengena, dalam terjemahan Inggris resmi dari surat itu sebagai
"desire" dan "yearning" [Catatan
DeusVult: aku terjemahkan di surat Kantor Kudus sebagai "keinginan"
dan "kerinduan"]. Dalam menggunakan istilah-istilah tersebut Kantor Kudus
menjadikan jelas bahwa, agar selamat, manusia harus bergandeng kepada Gereja
secara aktual atau secara re, atau bergabung kepada Gereja oleh
sebuah tindakan kehendak yang asli, berniat atau berkeinginan untuk menjadi
anggota-anggota.
Dengan kata lain, menurut konotasi dari dua istilah tersebut, votum eksplisit
atas mana seorang manusia bisa bergabung dengan Gereja sehingga mencapai
keselamatannya haruslah sebuah keinginan atau niatan yang nyata, dan tidak
sekedar velleity [ie. sekedar keinginan tingkat paling lemah
yang tidak disertai upaya untuk mendapatkan apa yang diinginkan]. Tindakan
kehendak dimana votum akan Gereja yang implisit dan yang
menyelamatkan itu terkandung, harus lebih dari sekedar velleity.
Operasi tersebut juga harus merupakan sebuah tindakan kehendak yang efektif dan
nyata.
Dalam mengajarkan bahwa sebuah votum atau sebuah desiderium akan
Gereja dapat, dalam keadaan tertentu, dengan cukup membawa seseorang kepada
pencapaian Pandangan Kebahagiaan [Beatific Vision], kita tidak boleh
lupa bahwa surat Kantor Kudus juga menggunakan suatu prosedur yang telah
digunakan oleh para teolog Katolik tradisional selama bertahun-tahun. [Surat
tersebut] mengklasifikasikan Gereja sendiri, juga dengan sakramen Baptisan dan
Tobat, diantara "bantuan-bantuan kepada keselamatan yang diarahkan kepada tujuan
akhir manusia, tidak oleh keperluan intrinsik [intrinsic necessity],
tapi oleh institusi ilahi." Sebaliknya, tentu saja, [surat tersebut] mengimplikasikan
eksistensi dari sumberdaya-sumberdaya lain yang di-tata kepada tujuan akhir
manusia menurut keperluan intrinsik [intrinsic necessity]. Realitas
seperti Gereja itu sendiri, dan sakramen Baptisan dan Tobat, bisa dalam keadaan
tertentu mencapai efeknya ketika hal-hal tersebut [i.e realitas Gereja,
sakramen Baptisan dan Tobat] diproses dan digunakan hanya dalam niatan atau
keinginan. Bantuan-bantuan dari klasifikasi yang lain, seperti
rahmat pengudusan, iman, dan kasih, harus, disisi lain, dimiliki
atau digunakan secara secara re agar [bantuan-bantuan
tersebut] dapat mencapai tujuannya.
Surat tersebut mengaplikasikan prinsip tersebut ketika surat itu meyakinkan
kita bahwa, agar supaya manusia mendapatkan keselamatan abadi, "tidaklah
selalu dipersyaratkan bahwa dia di-inkorporasi-kan kedalam Gereja secara aktual
sebagai seorang anggota, tapi adalah perlu bahwa paling tidak dia bersatu
dengannya [ie. Gereja] oleh keinginan dan kerinduan."
Hal tersebut, tentunya, merupakan ajaran yang eksplisit dari para teolog
tradisional Katolik sejak masa Thomas Stapleton dan St. Robert Bellarmine.[6]
Merupakan sesuatu yang tidak luar biasa bagi teologi Katolik [untuk
mengajarkan] bahwa seorang manusia dapat diselamatkan kalau, ketika menemukan
bahwa tidaklah mungkin untuk bergabung dengan Gereja sebagai seorang anggota,
dia benar-benar secara tulus berniat atau berkeinginan untuk hidup dalam
masyarakat ini.
Kantor Kudus kemudian melanjutkan melawan apa yang mungkin merupakan kesalahan
yang paling penting dan paling keras kepala dari kelompok Pusat St. Benediktus
ketika [Kantor Kudus dalam suratnya] menjelaskan bahwa "keinginan
ini tidak perlu selalu bersifat eksplisit, sebagaimana yang terdapat pada
katekumen"; tapi "ketika seseorang pribadi terlibat dalam
ketidaktahuan yang tidak bisa diatasi [invincible ignorance] Allah
menerima juga suatu keinginan implisit, [yang dinamakan demikian] karena
[keinginan implisit tersebut] termasuk didalam disposisi yang baik dari jiwa
dimana seorang pribadi ingin kehendaknya diselaraskan kepada kehendak Allah."
Cukup layak untuk dicatat bahwa para teolog Gereja tidak pernah
memasukkan ajaran akan Gereja itu sendiri sebagai bagian dari
kebenaran-kebenaran adikodrati [supernatural] yang harus diyakini secara
eksplisit jikalau ada suatu [persyaratan] minimum yang perlu bagi sebuah
tindakan iman ilahi yang sejati dan menyelamatkan. Surat Kantor Kudus ini,
bagaimanapun, tidak membahas theological reasoning tersebut
[ie. mengenai syarat minimum yang perlu], tapi langsung mengarah kepada ajaran
Paus Pius XII di ensikliknya Mystici Corporis untuk mendukung
[apa yang dituliskan surat itu]. Ensiklik tersebut secara efektif mengajarkan
kemungkinan keselamatan bagi orang-orang yang hanya memiliki suatu keinginan
implisit untuk masuk dan hidup didalam Gereja Katolik.
Dalam teks Mystici Corporis, Paus yang Berdaulat secara jelas dan
otoritatif mengajarkan syarat-syarat bagi keanggotaan aktual dalam Gereja. Dia
meng-issu-kan sebagai ajarannya sendiri doktrin Bellarminian [ie. doktrin yang
diajarkan St. Robert Bellarmine] bahwa "Secara aktual hanya
mereka yang termasuk sebagai anggota-anggota Gereja [adalah mereka] yang telah
dibaptis dan mengikrarkan iman sejati, dan yang tidak secara patut disayangkan
memisahkan diri mereka sendiri dari kesatuan Tubuh, atau dikecualikan [dari
kesatuan Tubuh] oleh otoritas yang sah karena kesalahan-kesalahan berat yang
telah dilakukan."[7] Dia juga, bagaimanapun, berbicara mengenai kemungkinan
keselamatan bagi mereka yang "berhubungan kepada Tubuh
Mistik sang Penebus oleh suatu kerinduan dan keinginan bawah sadar, (inscio
quodam desiderio ac voto)." Dia menggambarkan individu-individu
seperti itu sebagai [orang-orang] yang hidup dalam kondisi "dimana
mereka tidak dapat pasti akan keselamatan mereka" karena "mereka
masih tetap terkurangkan dari banyak karunia-karunia dan bantuan-bantuan
surgawi yang hanya bisa dinikmati dalam Gereja Katolik"[8]
Kantor Kudus menafsirkan ajaran-ajaran dari Mystici Corporis ini
sebagai sebuah pengutukan atas dua kesalahan. Salah satunya, yang dipertahankan
secara eksplisit oleh anggota-anggota kelompok Pusat St. Benediktus, adalah
ajaran bahwa tidak seorang pun terselamatkan kalau dia hanya memiliki sebuah
keinginan atau niatan implisit untuk memasuki Gereja. [Ajaran] yang lain adalah
ajaran bahwa manusia-manusia bisa selamat "dengan sama baiknya (aequaliter)"
dalam agama apapun. Untuk pengutukan atas kekeliruan yang terakhir tersebut,
surat [Kantor Kudus] mengacu kepada dua pernyataan oleh Paus Pius IX, allocution beliau Singulari
quadam dan ensiklik beliau Quanto conficiamur moerore.[9]
Akhirnya surat tersebut membawakan dua point yang oleh banyak penulis yang
membahas masalah ini dilewati terlalu cepat. [Surat tersebut] bersikeras
bahwa, agar efektif bagi keselamatan abadi, niatan atau keinginan
apapun untuk memasuki Gereja, apakah eksplisit atau implisit, harus digerakkan
oleh kasih sempurna. Tidak ada kebaikan yang cuma berada dalam lingkup
kodrati [natural] dapat mencukupi untuk menyelamatkan manusia, bahkan
ketika orang itu sendiri benar-benar berniat untuk masuk dan hidup dalam Gereja
sejati Yesus Kristus. Ketidak-beranggotaan Gereja,
bahkan pada seseorang yang ingin menjadi Katolik, tidak dengan cara apapun
membebaskan [dia] dari perlunya faktor-faktor yang dipersyaratkan bagi
pencapaian Pandangan Kebahagiaan [Beatific Vision] menurut keperluan intrinsik
[intrinsic necessity], dan tidak sekedar oleh alasan peng-institusi-an
ilahi.
Terlebih, Kantor Kudus juga bersikeras atas perlunya iman yang
adikodrati [supernatural] dan sejati pada setiap orang yang mendapatkan
keselamatan abadi. Seorang manusia bisa [punya] ketidaktahuan yang tidak
bisa diatasi [invincibly ignorance] akan Gereja Katolik, dan tetap
diselamatkan oleh karena sebuah keinginan atau niatan implisit untuk masuk dan
hidup kedalam masyarakat tersebut. Tapi kalau dia selamat, dia
mendapatkan Pandangan Kebahagiaan [Beatific Vision] sebagai orang yang
telah mati dengan iman adikodrati [supernatural] yang asli. Dia harus
secara aktual dan secara eksplisit menerima beberapa kebenaran definitif
tertentu yang telah diwahyukan secara adikodrati [supernatural] oleh
Allah. Dia harus menerima secara eksplisit dan tepat sebagai kebenaran yang
diwahyukan eksistensi Allah sebagai Kepala dari tatanan adikodrati [supernatural]
dan fakta bahwa Allah mengganjar yang baik dan menghukum kejahatan. Surat kita
[ie. surat dari Kantor Kudus] secara jelas menyinggung dengan singkat akan perlunya
[hal tersebut] ketika surat itu mengutip, dalam mendukung ajaran [yang
dibawanya] mengenai perlunya iman adikodrati [supernatural] dalam semua
yang terselamatkan, kata-kata dari Surat kepada umat Ibrani: "Karena
dia yang datang kepada Allah harus mempercayai bahwa Allah itu ada dan [Dia]
adalah pengganjar [hadiah] bagi mereka yang mencariNya."[10]
Sekarang banyak teolog yang mengajarkan bahwa kandungan eksplisit minimum
dari iman yang adikodrati [supernatural] dan menyelamatkan termasuk,
tidak hanya kebenaran akan eksistensi Allah dan tindakanNya sebagai Pengganjar
yang baik dan Penghukum yang jahat, tapi juga misteri Trinitas dan Inkarnasi.
Harus dicatat bahwa pada titik ini tidak ada petunjuk niatan apapun dari Kantor
Kudus, dalam mengutip teks dari Surat kepada umat Ibrani ini, untuk mengajarkan
bahwa kepercayaan eksplisit dalam misteri Trinitas dan Inkarnasi tidak
dipersyaratkan bagi pencapaian keselamatan.Dalam konteks surat tersebut,
Kongregasi Suci mengutip ayat [dari Surat kepada umat Ibrani] tepatnya sebagai
bukti dari pernyataannya bahwa sebuah keinginan yang implisit akan
Gereja tidak dapat menghasilkan efek tersebut [ie. efek masuk kedalam Gereja]
"kecuali seseorang mempunyai iman yang adikodrati [supernatural]."
Namun, ajaran dari surat tersebut harus dilihat [dalam terang] ajaran Katolik
lainnya. Dan adalah benar-benar merupakan bagian dari ajaran Katolik
bahwa kebenaran-kebenaran terwahyukan yang mendasar harus diterima dan
dipercayai secara eksplisit, meskipun ajaran-ajaran lain yang terkandung
dalam deposito iman boleh, dalam keadaan tertentu dipercayai hanya dengan iman
implisit. Iman yang sejati dan adikodrati [supernatural], harus kita
ingat, bukanlah sekedar kesiapan untuk mempercayai, tapi sebuah kepercayaan
aktual, penerimaan aktual atas ajaran-ajaran definitif yang secara aktual telah
diwahyukan secara adikodrati [supernatural] oleh Allah kepada manusia,
sebagai sesuatu yang benar.[11] Terlebih, iman yang adikodrati [supernatural]
dan menyelamatkan ini adalah sebuah penerimaan atas ajaran-ajaran ini, bukan
sebagai ajaran yang dapat dipastikan secara kodrati [natural], tapi
justru karena [ajaran tersebut adalah] pernyataan yang diwahyukan, yang harus
diterima atas otoritas Allah yang telah mewahyukannya kepada manusia.
Porsi doktrinal dari surat Kantor Kudus diakhiri dengan deklarasi bahwa, dalam
terang apa yang diajarkan dokumen itu sendiri, "sudahlah
terbukti bahwa hal-hal yang diajukan dalam [terbitan] periodik 'from the
Housetops,' fascicle 3, sebagai ajaran Gereja Katolik yang asli
adalah jauh dari itu [ie. jauh dari ajaran Gereja Katolik asli] dan merupakan
sesuatu yang sangat merusak baik kepada mereka yang berada dalam Gereja dan
mereka diluarnya." Terbitan dari from the Housetops yang disebut
oleh Surat [Kantor Kudus] mengandung hanya satu artikel, ditulis oleh Tn.
Raymond Karam dari kelompok Pusat St. Benediktus, dan berjudul "Tanggapan
kepada seorang Liberal."
Kesalahan yang paling penting yang terkandung dari artikel itu adalah pengingkaran
akan kemungkinan keselamatan bagi setiap orang yang hanya mempunyai keinginan
implisit untuk masuk Gereja Katolik. Juga ada ajaran buruk mengenai persyaratan
bagi justifikasi, yang terbedakan dari persyaratan bagi keselamatan. Kesalahan
yang pertama [ie. kesalahan artikel periodik From the Housetops yang
membedakan antara persyaratan mengenai justifikasi dan persyaratan mengenai
keselamatan] telah diindikasikan dalam terbitan sebelumnya dari The
American Ecclesiastical Review.[12]
Surat Kantor Kudus sejauh ini adalah pernyataan otoritatif yang paling komplit
mengenai perlunya Gereja bagi keselamatan dan [atas penjelasan dari ajaran
tersebut] yang pernah dikeluarkan tahta Suci sampai saat ini. Sejumlah besar
dokumen dahulu kala telah meneguhkan dogma tersebut. Ensiklik Mystici
Corporis menunjukkan dengan jelas bahwa penjelasan dari ajaran ini
melibatkan sebuah pengakuan akan fakta bahwa keselamatan adalah mungkin bagi
manusia-manusia "yang berhubungan kepada Tubuh Mistik sang Penebus oleh suatu
kerinduan dan keinginan bawah sadar,"[13] Ensiklik Humani
Generis mengecam dengan keras mereka yang "mereduksi menjadi sebuah
rumusan kosong perlunya berada dalam Gereja sejati untuk memperoleh keselamatan
abadi."[14]
Masihlah tetap bagi dokumen saat ini untuk menyatakan dan untuk mempergunakan
pembedaan antara necessity of precept [ie. perlu sebagai
aturan] dan necessity of means [ie. perlu sebagai sarana],
untuk menjelaskan yang terakhir [ie. necessity of means] dalam
artian berada dalam Gereja secara re dan secara voto,
dan secara eksplisit membedakan antara niatan eksplisit dan implisit untuk
memasuki Gereja. Karena [surat Kantor Kudus] tersebut telah melakukan hal-hal
itu, dan karena surat itu telah menggabungkan ajaran mengenai perlunya Gereja
dengan ajaran-ajaran akan perlunya iman dan [perlunya] kasih, surat Kantor
Kudus akan berdiri sebagai salah satu pernyataan doktrinal yang otoritatif di
jaman modern ini.
+Joseph Clifford Fenton
The Catholic University of America
Washington, D.C.
Surat dari Kongregasi Suci Kantor Kudus
[Catatan DeusVult: Sekarang namanya "Kongregasi Ajaran
Iman"]
Surat dari kantor Kudus yang penting ini diawali dengan sebuah surat dari Uskup
Agung Boston yang Terkudus.
Surat dari Uskup Agung Cushing
Kongregasi Suci Tertinggi Kantor Kudus telah memeriksa masalah mengenai
Romo Leonard Feeney dan Pusat St. Benediktus. Setelah mempelajari dengan
hati-hati publikasi yang dikeluarkan oleh Pusat tersebut, dan setelah
mempertimbangkan semua hal yang berkenaan dengan kasus ini, Kongregasi Suci
telah memerintahkan aku untuk mempublikasikan, dalam keseluruhannya, surat yang
telah dikirimkan Kongregasi tersebut kepadaku pada 8 Agustus 1949. Paus
Tertinggi, Yang Tersuci, Paus Pius XII, telah memberikan persetujuan penuh
kepada keputusan ini. Dalam kepatuhan, karenanya, kami mempublikasikan, dalam
keseluruan, teks Latin dari surat tersebut sebagaimana diterima dari Kantor
Kudus bersama dengan sebuah terjemahan Ingris yang juga telah disetujui oleh
Tahta Suci.
Diberikan di Boston, Massachusett, 4 September 1952.
Walter J. Furlong, Penasehat
+ Richard J. Cushing, Uskup Agung Boston.
SURAT DARI KANTOR KUDUS [ie. Kongregasi Ajaran Iman]
Dari Markas Pusat Kantor Kudus, 8 Agustus 1949.
Yang Mulia:
Kongregasi Suci Tertinggi ini telah mengikuti secara penuh perhatian
kemunculan dan arah dari kontroversi besar yang ditimbulkan oleh
anggota-anggota tertentu dari "Pusat St. Benediktus" and "Kolose
Boston" dalam hal penafsiran aksioma: "Diluar Gereja tidak ada
keselamatan."
Setelah memeriksa semua dokumen yang perlu dan berguna dalam masalah ini,
diantaranya informasi dari kantor arsip anda, begitu juga banding-banding dan
laporan-laporan dimana anggota-anggota "Pusat St. Benediktus"
menjelaskan pendapat-pendapat dan keluhan-keluhan mereka, dan juga berbagai
dokumen lain yang berkenaan kepada kontroversi [ini], [yang di]kumpulkan secara
resmi, Kongregasi Suci ini yakin bahwa kontroversi yang patut disayangkan ini
timbul dari fakta bahwa aksioma, "diluar Gereja tidak ada
keselamatan," tidak dipahami dan ditimbang dengan benar, dan bahwa
kontroversi tersebut telah menjadi lebih pahit karena gangguan disilin serius
yang timbul atas fakta bahwa beberapa anggota-anggota dari insitusi yang
disebut diatas menolak penghormatan dan ketaatan kepada otoritas yang sah.
Sesuai dengannya, para Kardinal yang tersohor dan terhormat [catatan
DeusVult: mungkin terjemahan Most Eminent dan Most Reverend itu kurang
tepat] dari Kongregasi Tertinggi ini, dalam sebuah sessi pertemuan yang
diadakan pada Rabu, 27 Juli 1949, berkenan memberikan persetujuan bahwa
penjelasan-penjelasan berikut berkenaan dengan ajaran, dan juga bahwa ajakan
dan penganjuran yang patut untuk mendisiplinkan [seyogyanya] diberikan:
Kami
terikat oleh iman yang ilahi dan Katolik untuk mempercayai semua hal yang
terkandung dalam sabda Allah, apakah itu di Kitab Suci atau Tradisi, dan
[semua hal] yang diajukan oleh Gereja untuk dipercayai sebagai sesuatu yang
diwahyukan secara ilahi, bukan hanya melalui keputusan meriah tapi juga
melalui kuasa [ie. "office"] mengajar biasa dan universal (Denzinger,
n. 1792). Namun
dogma ini harus dimengerti dalam artian yang dimengerti Gereja sendiri.
Karena, bukanlah kepada keputusan pribadi Penebus Kita memberikan penjelasan
mengenai hal-hal yang terkandung dalam deposito iman, tapi kepada otoritas mengajar
Gereja. Nah,
pertama-tama, Gereja mengajarkan bahwa dalam perkara ini ada pertanyaan
mengenai sebuah perintah yang ketat oleh Yesus Kristus. Karena Dia secara
eksplisit menginstruksikan kepada rasul-rasulNya untuk mengajarkan kepada
semua bangsa untuk melakukan segala sesuatu yang Dia sendiri perintahkan (Mat
28:19-20). Nah,
diantara perintah-perintah Kristus, yang tidak kita yakini paling bawah,
adalah [bahwa] kita diperintahkan untuk di-inkorporasi-kan oleh baptisan
kepada tubuh Mistik Kristus, yang adalah Gereja, dan tetap bersatu kepada
Kristus dan kepada WakilNya, yang melalui [sang Wakil tersebut] Dia sendiri
secara kasat mata memerintah Gereja di bumi. Karenanya,
tidak seorangpun akan diselamatkan, [kalau dia] mengetahui bahwa Gereja telah
diinstitusikan secara ilahi oleh Kristus, tapi menolak untuk tunduk kepada
Gereja atau menarik ketaatan dari Paus Roma, Wakil Kristus di bumi. Tidak
hanya Sang Penyelamat memerintahkan agar semua bangsa masuk Gereja, tapi Dia
juga mendekritkan Gereja sebagai sebuah sarana keselamatan yang tanpanya
tidak seorangpun dapat masuk kerajaan kemuliaan abadi. Dalam
kerahiman takterbatasnya Allah telah menghendaki bahwa efek-efek, diperlukan
bagi seseorang untuk diselamatkan, dari bantuan-bantuan kepada keselamatan
yang diarahkan kepada tujuan akhir manusia, tidak oleh keperluan intrinsik [intrinsic
necessity], tapi oleh institusi ilahi, juga dapat didapatkan dalam
keadaan-keadaan tertentu ketika bantuan-bantuan tersebut digunakan hanya
dalam keinginan dan kerinduan. Ini kita lihat jelas dinyatakan dalam Konsili
Kudus Trent, baik pada acuan kepada sakramen regenerasi [ie. baptisan] dan
pada acuan kepada sakramen tobat (Denzinger, nn. 797, 807). Yang
sama dalam tingkatannya sendiri juga harus dinyatakan dengan teguh akan
Gereja, sepanjang dia [ie. Gereja] adalah bantuan yang umum kepada
keselamatan. Karenanya, jikalau seseorang bisa mendapatkan keselamatan abadi,
tidaklah selalu dipersyaratkan bahwa dia di-inkorporasi-kan kedalam Gereja
secara aktual sebagai seorang anggota, tapi adalah perlu bahwa paling tidak
dia bersatu dengannya [ie. Gereja] oleh keinginan dan kerinduan. Namun
keinginan ini tidak perlu selalu bersifat eksplisit, sebagaimana yang terdapat
pada katekumen; tapi ketika seseorang pribadi terlibat dalam ketidaktahuan
yang tidak bisa diatasi [invincible ignorance] Allah menerima juga
suatu keinginan implisit, [yang dinamakan demikian] karena [keinginan
implisit tersebut] termasuk didalam disposisi yang baik dari jiwa dimana
seorang pribadi ingin kehendaknya diselaraskan kepada kehendak Allah. Hal-hal
ini jelas diajarkan dalam surat dogmatis yang di-issu-kan oleh Paus yang
Berdaulat, Paus Pius XII pada 29 Juni 1943, Mengenai Tubuh Mistik Kristus [Mystici
Corporis Christi] (AAS, Vol. 35, an. 1943, p. 193 ff.). Sebab dalam surat
ini Paus Yang Berdaulat jelas membedakan antara mereka yang secara aktual
di-inkorporasi-kan kedalam Gereja sebagai anggota-anggota, dan mereka yang
bersatu kepada Gereja hanya oleh keinginan. Ketika
membahas anggota-anggota dimana tubuh Mistik Kristus di dunia terdiri dari,
Paus terhormat yang sama berkata: "Secara aktual hanya mereka yang
termasuk sebagai anggota-anggota Gereja [adalah mereka] yang telah dibaptis
dan mengikrarkan iman sejati, dan yang tidak secara patut disayangkan
memisahkan diri mereka sendiri dari kesatuan Tubuh, atau dikecualikan [dari
kesatuan Tubuh] oleh otoritas yang sah karena kesalahan-kesalahan berat yang
telah dilakukan." Tapi
tidak boleh dipikirkan bahwa tiap jenis keinginan apapun untuk memasuki
Gereja telah memadai untuk [membuat] seseorang diselamatkan. Adalah perlu
bahwa keinginan tersebut yang membuat seseorang dihubungkan dengan Gereja,
digerakkan oleh kasih sempurna. Tidak pula keinginan yang implisit akan
menghasilkan efek ini, kecuali seseorang mempunyai iman yang adikodrati [supernatural]:
"Karena dia yang datang kepada Allah harus mempercayai bahwa Allah itu
ada dan [Dia] adalah pengganjar [hadiah] bagi mereka yang mencariNya"
(Ibr 11:6). Konsili Trent mendeklarasikan (Sessi VI, Bab. 8): "Iman
adalah permulaan keselamatan seseorang, dasar dan akar dari semua pembenaran,
tanpanya tidaklah mungkin untuk menyenangkan Allah dan mendapatkan
persahabatan dengan anak-anakNya" (Denzinger, n. 801). Dari
apa yang telah dikatakan sudahlah terbukti bahwa hal-hal yang diajukan dalam
[terbitan] periodik from the Housetops, fascicle 3,
sebagai ajaran Gereja Katolik yang asli adalah jauh dari itu [ie. jauh dari
ajaran Gereja Katolik asli] dan merupakan sesuatu yang sangat merusak baik
kepada mereka yang berada dalam Gereja dan mereka diluarnya. Dari
deklarasi-deklarasi ini yang berkenaan dengan ajaran, mengikut beberapa
kesimpulan yang berkenaan dengan disiplin dan perlakuan, dan yang tidak dapat
tak-diketahui oleh mereka yang secara bersemangat membela [ajaran] perlunya,
dimana semua orang terikat [atas keperluan tersebut], berada dalam Gereja
sejati dan tunduk kepada otoritas Paus Roma dan Uskup-Uskup "yang
ditempatkan Roh Kudus . . . untuk memerintah Gereja" (Acts 20:28). Karena
itu, tidak dapat dimengerti bagaimana Pusat St. Benediktus bisa secara
konsisten meng-klaim sebagai sekolah Katolik dan ingin dianggap
sebagaimananya [ie. sebagai sekolah Katolik], dan tidak mematuhi preskripsi
kanon 1381 dan 1382 dari Hukum Kanon, dan tetap eksis sebagai sebuah sumber
perpecahan dan pemberontakan melawan otoritas gerejawi dan sebagai sumber
gangguan banyak suara hati. Terlebih,
adalah diluar pemahaman bagaimana seorang anggota dari sebuah Institusi
religius, yaitu Romo Feeney, menyatakan diri sendiri sebagai seorang
"Pembela Iman," dan pada saat yang sama tidak ragu-ragu untuk
menyerang instruksi katekesis yang dinyatakan oleh otoritas yang sah, dan
bahkan tidak takut untuk menerima ancaman sanksi berat oleh kanon-kanon kudus
karena pelanggaran yang serius akan tugasnya sebagai seorang kaum religius,
seorang imam, dan seorang anggota biasa dari Gereja. Pada
akhirnya, tidaklah bisa dengan bijaksana ditoleransi bahwa umat-umat Katolik
tertentu dapat meng-klaim bagi diri mereka sendiri hak untuk mempublikasikan
sebuah periodikal, dengan tujuan untuk menyebarluaskan ajaran-ajaran
teologis, tanpa ijin dari otoritas Gereja yang kompeten, yang disebut "imprimatur,"
sebagaimana diatur dalam kanon-kanon suci. Karenanya,
biarlah mereka yang dalam bahaya berat sedang melawan Gereja, dengan serius
mengingat bahwa setelah "Roma berbicara" mereka tidak dapat
dimaklumi bahkan oleh alasan ketulusan iman [catatan DeusVult: untuk
frase "good faith" aku terjemahkan "ketulusan
iman"]. Tentunya, ikatan dan tugas atas kepatuhan mereka [ie.
orang-orang Pusat St. Benediktus] kepada Gereja adalah lebih berat daripada
mereka yang masih berhubungan dengan Gereja "hanya melalui suatu
keinginan bawah sadar." Biarlah mereka sadar bahwa mereka adalah
anak-anak Gereja yang dengan penuh kasih dipelihara oleh susu-susu ajaran dan
sakramennya, dan karenanya, setelah mendengarkan suara jelas dari sang Bunda
[ie. Gereja sebagai bunda], mereka tidak dapat lepas dari ketidaktahuan yang
timbul atas kesalahan mereka sendiri, dan karenanya kepada mereka terkenakan
tanpa batasan prinsip: ketundukan kepada Gereja Katolik dan kepada Paus Yang
Berdaulat dipersyaratkan sebagai sesuatu yang perlu bagi keselamatan. |
Dalam mengirimkan surat ini, aku menyatakan penghargaan
tertinggiku, dan tetap,
Your Excellency's most devoted, [Catatan DeusVult: tidak
diterjemahkan]
+ F. Cardinal Marchetti-Selvaggiani.
A. Ottaviani, Penilai.
(Pribadi); Kantor Kudus, 8 Agustus 1949.
Dengan
susah payah aku terjemahkan Suprema Haec Sacra DAN,
ini yang penting, tulisan Mgr. Joseph Clifford Fenton yang menjelaskan
dokumen tersebut.
Patut dibaca untuk memahami dogma "extra ecclesiam nulla salus"
(diluar Gereja tidak ada keselamatan) dengan benar. Aku harap kalian membaca
tulisan Mgr. Fenton dahulu BARU membaca dokumen Suprema Haec Sacra. Karena
itulah aku tempatkan tulisan Mgr. Fenton di atas.
Silahkan di copy/paste dan diberikan kepada yang berkepentingan terutama para
hierarkhi yang masih kurang memahami ajaran penting ini.
TAPI HARAP DIINFORMASIKAN DARIMANA TERJEMAHAN INI KAMU DAPATKAN,
SEBAB BANYAK SEKALI ISTILAH TEOLOGIS YANG AKU TERJEMAHKAN SEMAMPUKU, SEHINGGA
MUNGKIN SALAH. Jadi nanti kalau ada orang yang kebingungan, mereka bisa
langsung menuju ke forum ini.
Pertama akan aku hadirkan versi Inggrisnya yang merupakan bahan asli dari yang
aku terjemahkan (terjemahan Indo dibawah):
THE HOLY OFFICE LETTER ON THE NECESSITY OF THE CATHOLIC CHURCH
Monsignor Joseph Clifford Fenton
[an excerpt from the 1952 edition of the American Ecclesiastical Review.
Bold emphasizes are mine, ie. DeusVult]
------
The science of sacred theology has been greatly aided by Archbishop Cushing’s
action in publishing the full text and the official English translation of the
Holy Office letter on the Church’s necessity for salvation. This letter, the
third of three Roman documents to directly deal with this dogma over the course
of the last ten years, contains the accurate and authoritative explanation of a
divinely revealed truth that had been very frequently misinterpreted in recent
Catholic writing. The publication of this document can and should serve to
bring about a decided improvement in the treatment of the dogma of the Church’s
necessity for salvation in our popular Catholic literature.
The text of the letter consists of twenty-four paragraphs. The first three of
these are introductory, and speak of the circumstances that prompted the
issuance of this message. The following sixteen deal with "explanationes…ad
doctrinam pertinentes." The last five paragraphs contain "invitamenta
atque exhortationes, quae ad disciplinam spectant."
In the introduction, the letter asserts that it is dealing with a grave or
serious controversy which has been stirred up (excitata) by people
connected with St. Benedict Center and Boston College. It further states that
the Holy Office believes that the controversy arose in the first place because
of a failure properly to grasp and to appreciate the axiom "extra
Ecclesiam nulla sallus," and that the dispute became embittered by
reason of the fact that some of those associated with St. Benedict Center and
with Boston College refused respect and obedience to legitimate ecclesiastical
authorities.
Both here and in the doctrinal part of the letter we encounter the clear
implication that the Holy Office is taking cognizance of many varieties of
mistakes about the Catholic Church’s necessity for salvation. When the letter
sets out to place the blame for the embitterment of the controversy, it
directly inculpates the St. Benedict Center group, which was guilty of
disrespect and disobedience to ecclesiastical authority, and which,
incidentally, was originally punished precisely for that disobedience. When, on
the other hand, the document speaks of the origin of the dispute, it simply
ascribes the controversy itself to a failure to know and to appreciate the
formula "extra ecclesiam nulla sallus." Those who have studied
in any detail the copious modern writings on this subject are well aware that
there have been several faulty explanations of this dogma published during the
first part of the present century.[1]
Thus what makes this letter from the Holy Office so outstandingly important is
the fact that it sets out, not only to correct the basic misinterpretation of
the dogma made by the St. Benedict Center group, but to show the doctrinal
quality of the teaching itself and to offer an accurate, full, and
authoritative outline of its explanation. In accomplishing its purpose, the
Holy Office letter has given to Catholic theologians by far the most complete
and detailed exposition of the dogma that the Catholic Church is necessary for
salvation which has yet to come from the ecclesiastical magisterium.
The specifically doctrinal portion of the Holy Office letter opens with a
paragraph which repeats what the
Vatican Council taught about those truths which we are bound to believe with
the assent of divine and Catholic Faith. The letter tells us that "we are
bound to believe with divine and Catholic faith all of those things contained
in God’s message that comes to us by way of Scripture or Tradition (quae in
verbo Dei scripto vel tradito continentur), and which are proposed by the
Church, not only in solemn judgment, but also by its ordinary and universal
teaching activity, to be believed as divinely revealed."[2]
Now the teachings we are obliged to believe with the assent of divine and
Catholic faith are the truths which we know as the dogmas of the Catholic
Church. These dogmas are truths which the apostles of Jesus Christ preached to
His Church as statements which had been supernaturally communicated or revealed
by God Himself. They constitute the central or primary object of the Church’s
infallible teaching activity.
It is important to note that our Holy Office letter describes the doctrine
"that there is no salvation outside the Church,"
not only as an infallible teaching, but also as a dogma. It
insists, in other words, that this doctrine is not merely something connected
with God’s public and supernatural message, but that it belongs to the revealed
message itself. The doctrine is presented as a truth which the apostles
themselves delivered to the Church as a statement which God had supernaturally
revealed to men through Our Lord. It is one of the truths with which the Church
is primarily and essentially concerned.
In thus designating this teaching as a dogma of the Church, the Holy Office
letter merely repeated what Pope Pius IX had taught in his allocution Singulari
quadam, issued Dec. 9, 1854, and in his encyclical Quanto
conficiamur moerore, published on Aug. 10, 1863.[3] Thus our document does
not make any new contribution on this particular point. It merely recalls, for
a generation which might have forgotten the fact, the sovereign truth that the
teaching with which it is concerned is an actual part of divine public
revelation.
Our letter also brings out two important consequences of the fact that the
doctrine of the Church’s necessity for eternal salvation is actually a Catholic
dogma. The first implication is that this truth is one of "those
things which the Church has always preached and will never cease to preach."
The second implication is to be found in the fact that God has entrusted the
authoritative and infallible explanation of these revealed truths, not to
private judgment, but to the teaching authority of the Church alone. Both of
these implications are highly important for our contemporary theologians. As a
matter of fact, the Holy Father himself took up these two points in his
encyclical Humani generis, which, though it appeared two years
before the publication of the full text of the Holy Office letter, was actually
written a year after this document.[4]
In the context of the present discussion and the misunderstandings which
occasioned the writing of our letter, the reminder that the Church has never
ceased to preach and will never cease to preach the truth that it is necessary
for man’s salvation is timely and advantageous. It is important to note that
the letter uses the term "praedicare, to
preach." By employing this word, the document assures us that,
during every part of its history, the Catholic Church continues to set forth
publicly and openly the teaching it has received from God through Our Lord and
His apostles. Thus the Holy Office does more than merely affirm that the Church
has always conserved and guarded its doctrinal treasures. It insists that the
Church has never ceased to teach its own dogma.
Now there has been a long tendency on the part of some Catholic writers to imagine
that certain dogmas of the Church tend to grow obsolete, and that, in the
interests of its own progress, the Church does not insist too rigorously upon
those teachings which are represented as out of touch with modern conditions.
Pope Leo XIII reproved one aspect of this tendency in his letter Testem
benevolentiae.[5] It is perfectly manifest that the one dogma of the Church
which its enemies would consider as least in line with the currents of modern
thought is the teaching that there is no salvation outside of the true Church.
Similarly a mentality like that of the St. Benedict Center group would tend to
hold that, at least in our time, the Church universal has not been teaching the
dogma of its own necessity for man’s salvation effectively.
Moreover, this statement of the Holy Office letter comes as a rebuke to the
more extreme forms of the much discredited "state of siege" theory,
according to which the Church has in some way modified its doctrinal life since the days of the Council
of Trent by adopting an artificially defensive position. Our letter assures us
at this point that the Church will never pass over or soft-pedal any of its
dogmas, in the interests of a so-called defensive mentality or for any other
reason.
The second implication or consequence noted by the Holy Office letter is
equally timely. In insisting upon the fact that Our Saviour has confined the
explanation of His dogma, not to private judgment, but to the ecclesiastical
magisterium alone, the letter makes it perfectly clear that Catholics are to be
guided in their understanding of revealed truth by the official teachers of the
Church, and not by any merely private authors, however ingenious and
influential these latter may be. And, to put the matter as concretely as
possible, Catholics are not to accept any teachings of private writers, even
when these teachings seem particularly in harmony with the modern mentality, if
these teachings are not strictly in accord with the doctrine of the
magisterium. It is quite obvious that private teachings of this sort have been
presented in recent times, on the subject of the Church’s necessity for
salvation and in other sections of ecclesiology.
These first three paragraphs in the doctrinal portion of the Holy Office letter
deal with the fact that the teaching that "there is no salvation
outside the Church" is a dogma of the Catholic faith, and with two of the
consequences that follow upon that fact. The remainder of the doctrinal section
(the only one with which we are directly concerned in this article) is given
over to an exposition of the way in which the Church itself understands and
teaches the dogma of its own necessity for eternal salvation. In these few
paragraphs, theologians will find that three distinctions, long
used by the Church’s traditional theologians in their explanation of the
Church’s necessity for salvation, are here, for the first time,
presented clearly and decisively in an authentic statement of the Church’s
magisterium as employed by the teaching Church itself in its own
understanding and explanation of the dogma. They are (1) the
distinction between a necessity of precept and the necessity of means, (2) the
distinction between belonging to the Church in re and
belonging to it in voto, and (3) the distinction between an
explicit and an implicit intention or desire to enter the Catholic Church.
It is precisely because all of these distinctions are used for the first time
in a document of the magisterium to explain the Church’s necessity for
salvation that this letter is one of the most important Roman documents of
recent times.
First, the Holy Office shows us that the classical distinction between the
necessity of precept and the necessity of means, long used by competent
theologians in explaining the dogma of the Church’s necessity for salvation,
actually enters into the Church’s own understanding and explanation of this
doctrine. Dealing with the Church’s necessity of precept, the letter brings out
the fact that the command, "to be incorporated by Baptism
into the Mystical Body of Christ, which is the Church, and to remain united to
Christ and to His Vicar." Is one of the orders which Our Lord actually commissioned
His apostles to teach to all nations. The document goes on to explain the
Church’s necessity of precept to mean that "no one will be saved who,
knowing the Church to have been divinely established by Christ, nevertheless
refuses to submit to the Church or withholds obedience from the Roman Pontiff,
the Vicar of Christ on earth."
The Sacred Congregation’s letter thus states explicitly that there is a serious
command issued by Our Lord Himself to all men, a command that they should enter
and remain within the true Church. The man who disobeys that command is guilty
of serious sin. If he should die in that state of willful disobedience, he will
inevitably be lost forever. Such is the basic meaning of the Church’s necessity
of precept, as explained by the letter from the Holy Office, and as understood
by the Church itself.
This document also teaches us, however, there is more than a necessity of
precept involved in the dogma of the Catholic Church’s necessity for salvation.
It insists upon the fact that Our Lord has "also decreed the Church
to be a means of salvation, without which no one can enter the kingdom of
eternal glory." In other words, Our Saviour has done two things: He has
commanded all men to enter the Church; and He has established this society as
one of the supernatural resources apart from which no man can enjoy the
Beatific Vision as a member of the Church triumphant in heaven.
This statement by the Holy Office is tremendously important in the field of
dogmatic theology. For many years past there have been attempts on the part of
some Catholic writers to depict the Church’s necessity for salvation as
exclusively or almost exclusively a mere necessity of precept. Now the
authoritative voice of the Roman Church itself assures us that the Church is
necessary both with the necessity of
precept and with the necessity of means. This letter is the first authoritative
document in which this truth is set forth clearly and explicitly.
Likewise of tremendous moment is the letter’s use of the classical theological
distinction between belonging to the Church in re and
belonging to it in voto. Henceforth those who wish to explain
Catholic teaching on this point should use these two distinctions (necessity of
precept as distinct from necessity of means: belonging to the Church in re as
distinct from belonging to it in voto.), if they are to act as
faithful exponents of Catholic truth. It is interesting to note that the Holy
Office has made no use of such terminology as "the soul and the body of
the Church," or "the Church as the ordinary means of salvation,"
in setting forth what the Church itself has always understood as the meaning of
its own necessity for eternal salvation.
Furthermore, it is also interesting to see the connotations of the terms "votum"
and "desiderium," used here by the Holy Office communication.
These terms are translated, not incorrectly, but perhaps somewhat inadequately,
in the official English translation of the letter as "desire"
and "yearning." In employing these terms the Holy Office makes it clear
that, in order to be saved, men must either be attached to the Church actually
or in re as members, or be joined to the Church by a genuine
act of the will, intending or desiring to become members.
In other words, according to the connotations of these two terms, the
explicit votum by which a man may be joined to the Church so
as to achieve his salvation must be a real desire or intention, and not a mere
velleity. The act of the will in which the implicit salvific votum of the
Church is contained must likewise be more than a mere velleity. This operation
also must be a real and effective act of the will.
In teaching that a votum or a desiderium of the Church can,
under certain circumstances, suffice to bring a man to the attainment of the
Beatific Vision, we must not forget that the Holy Office letter likewise uses a
procedure which has been employed by the traditional Catholic theologians for
many years. It classifies the Church itself, along with the sacraments of
Baptism and Penance, among "those helps to salvation
which are directed toward man’s final end, not by intrinsic necessity, but only
by divine institution." Conversely, of course, it thus implies the existence of
other resources which are ordered to man’s ultimate goal by way of intrinsic
necessity. Realties like the Church itself, and the sacraments of Baptism and
Penance, may under certain circumstances achieve their effect when they are
processed or used only in intention or desire. Helps of the other
classification, like sanctifying grace, faith, and charity, must, on the other
hand, be possessed or used in re if they are to achieve their
purpose at all.
The letter applies this principle when it assures us that, in order for a man
to obtain eternal salvation, "it is not always required
that he be incorporated into the Church actually as a member, but it is
necessary that at least he be united to her by desire and longing."
Such, of course, has been the explicit teaching of traditional Catholic
theologians since the days of Thomas Stapleton and St. Robert Bellarmine.[6] It
is a commonplace of Catholic theology that a man could be saved if, finding it
impossible to actually to join the Church as a member, he really sincerely
intended or desired to live within this society.
The Holy Office then proceeds against what has been perhaps the most obstinate
and important error of the St. Benedict Center group when it explains that
"this desire need not always be explicit, as it is in catechumens";
but that "when a person is involved in invincible ignorance, God accepts
also an implicit desire, so called because it is included in that good
disposition of soul whereby a person wishes his will to be conformed to the
will of God."
It is noteworthy that the theologians of the Church have never included
the doctrine of the Church itself among those supernatural truths which must be
held explicitly if there is to be the necessary minimum for an act of true and
salvific divine faith. The Holy Office letter, however, does not go to this
theological reasoning, but directly to the authoritative teaching of Pope Pius
XII in his encyclical Mystici Corporis to back up its
contention. That encyclical effectively taught the possibility of salvation for
persons who have only an implicit desire to enter and to live within the
Catholic Church.
In the text of the Mystici Corporis, the Sovereign Pontiff clearly
and authoritatively taught the requisites
for actual membership in the Church. He issued as his own teaching the
Bellarminian doctrine that "Actually only those are
to be included as members of the Church who have not been so unfortunate as to
separate themselves from the unity of the Body, or been excluded by legitimate
authority for grave faults committed."[7] He likewise,
however, spoke of the possibility of salvation for those who "are
related to the Mystical Body by a certain unconscious yearning and desire (inscio
quodam desiderio ac voto)." He depicted such individuals as existing
in a state "in which they cannot be sure of their salvation"
since "they still remain deprived of those many heavenly gifts and
helps which can only be enjoyed in the Catholic Church."[8]
The Holy Office interprets these teachings of the Mystici Corporis as
a condemnation of two errors. One of them, that defended explicitly by members
of the St. Benedict Center group, is the doctrine that no man be saved if he
has only an implicit desire or intention to enter the Church. The other is the
teaching that men may be saved "equally well (aequaliter)" in
any religion. For the previous condemnation of this latter error the letter
refers to two pronouncements by Pope Pius IX, his allocution Singulari
quadam and his encyclical Quanto conficiamur moerore.[9]
Finally the letter brings out two points which many of the writers who have
dealt with this question have passed over all too quickly. It insists that, in
order to be effective for eternal salvation, any intention or desire of
entering the Church, whether explicit or implicit must be animated by perfect
charity. No benevolence on a merely natural plane can suffice to save man,
even when that man actually intends to enter and to live within the true Church
of Jesus Christ. Non-membership in the Church, even on the part of a man who
wishes to become a Catholic, does not in any way dispense from the necessity of
those factors which are requisite for the attainment of the Beatific Vision by
intrinsic necessity, and not merely by reason of divine institution.
Furthermore, the Holy Office also insists upon the necessity of true and
supernatural faith in any man who attains eternal salvation. A man may be invincibly
ignorant of the Catholic Church, and still be saved by reason of an implicit
desire or intention to enter and to live within that society. But, if
he is saved, he achieves the Beatific Vision as one who has died with genuine
supernatural faith. He must actually and explicitly accept as certain some
definite truths which have been supernaturally revealed by God. He must
accept explicitly and precisely as revealed truths the existence of God as the
Head of the supernatural order and the fact that God rewards good and punishes
evil. Our letter manifestly alludes to this necessity when it quotes, in
support of its teaching on the necessity of supernatural faith in all those who
are saved, the words of the Epistle to the Hebrews: "For he
who comes to God must believe that God exists and is a rewarder of those who
seek Him."[10]
Now most theologians teach that the minimum explicit content of supernatural
and salvific faith includes, not only the truths of God’s existence and of His
action as the Rewarder of good and the Punisher of evil, but also the mysteries
of the Blessed Trinity and the Incarnation. It must be noted at this point that
there is no hint of any intention on the part of the Holy Office, in citing
this text from the Epistle to the Hebrews, to teach that explicit belief in the
mysteries of the Blessed Trinity and of the Incarnation is not required for the
attainment of salvation. In the context of the letter, the Sacred
Congregation quotes this verse precisely as a proof of its declaration that an
implicit desire of the Church cannot produce its effect "unless
a person has supernatural faith."
Still, the teaching of the letter must be seen against the backdrop of the rest
of Catholic doctrine. And it is definitely a part of the Catholic doctrine that
certain basic revealed truths must be accepted and believed explicitly, even
though other teachings contained in the deposit of faith may, under certain
circumstances, be believed with only an implicit faith. True and supernatural
faith, we must remember, is not a mere readiness to believe, but an actual
belief, but an actual belief, the actual acceptance as certainly true of
definite teachings which have actually been revealed supernaturally by God to
man.[11] Furthermore, this salvific and supernatural faith is an acceptance of
these teachings, not as naturally ascertainable doctrines, but precisely as
revealed statements, which are to be accepted on the authority of God who has
revealed them to man.
The doctrinal portion of the Holy Office letter ends with the declaration that,
in the light of what the document itself has taught, "it is
evident that those things which are proposed in the periodical 'From the
Housetops,' fascicle 3, as the genuine teaching of the Catholic Church are far
from being such and are very harmful both to those within the Church and those
without." The issue of From the Housetops to which
the letter refers contained only one article, written by Mr. Raymond Karam of
the St. Benedict Center group, and entitled "Reply to a Liberal."
The most important error contained in that article was a denial of the
possibility of salvation for any man who had only an implicit desire to enter
the Catholic Church. There was likewise bad teaching on the requisites for
justification, as distinguished from the requisites for salvation. The first of
these faults has been indicated in a previous issue of The American
Ecclesiastical Review.[12]
The Holy Office letter is by far the most complete authoritative statement on
and explanation of the Church’s necessity for salvation yet issued by the Holy
See. A tremendous number of documents in the past have asserted the dogma. The
encyclical Mystici Corporis showed clearly that the
explanation of this teaching involved a recognition of the fact that salvation
is possible for men "who are related to the Mystical Body of the Redeemer by a
certain unconscious yearning and desire."[13] The encyclical
Humani generis reproved those who "reduce to an empty formula the
necessity of belonging to the true Church in order to gain eternal
salvation."[14]
It remained for the present document to state and to use the distinction
between the necessity of precept and the necessity of means, to explain this
latter in terms of belonging to the Church in reand in voto,
and explicitly to distinguish between explicit and implicit intentions of
entering the Church. Because it has done these things, and because it has
joined up the teaching on the Church’s necessity with the doctrines of the
necessity of faith and of charity, the Holy Office letter will stand as one of
the most important authoritative doctrinal statements of modern times.
+Joseph Clifford Fenton
The Catholic University of America
Washington, D.C.
Letter of the Sacred Congregation of the Holy Office
This important Letter of the Holy Office is introduced by a letter of the Most
Reverend Archbishop of Boston.
Letter of Archbishop Cushing
The Supreme Sacred Congregation of the Holy Office has examined again the
problem of Father Leonard Feeney and St. Benedict Center. Having studied
carefully the publications issued by the Center, and having considered all the
circumstances of this case, the Sacred Congregation has ordered me to publish,
in its entirety, the letter which the same Congregation sent me on the 8th of
August, 1949. The Supreme Pontiff, His Holiness, Pope Pius XII, has given full
approval to this decision. In due obedience, therefore, we publish, in its
entirety, the Latin text of the letter as received from the Holy Office with an
English translation of the same approved by the Holy See.
Given at Boston, Mass., the 4th day of September, 1952.
Walter J. Furlong, Chancellor
+ Richard J. Cushing, Archbishop of Boston.
________________________________________
LETTER OF THE HOLY OFFICE
From the Headquarters of the Holy Office, Aug. 8, 1949.
Your Excellency:
This Supreme Sacred Congregation has followed very attentively the rise
and the course of the grave controversy stirred up by certain associates of
"St. Benedict Center" and "Boston College" in regard to the
interpretation of that axiom: "Outside the Church there is no
salvation."
After having examined all the documents that are necessary or useful in this
matter, among them information from your Chancery, as well as appeals and
reports in which the associates of "St. Benedict Center" explain
their opinions and complaints, and also many other documents pertinent to the controversy,
officially collected, the same Sacred Congregation is convinced that the
unfortunate controversy arose from the fact that the axiom, "outside the
Church there is no salvation," was not correctly understood and weighed,
and that the same controversy was rendered more bitter by serious disturbance
of discipline arising from the fact that some of the associates of the
institutions mentioned above refused reverence and obedience to legitimate
authorities.
Accordingly, the Most Eminent and Most Reverend Cardinals of this Supreme
Congregation, in a plenary session held on Wednesday, July 27, 1949, decreed,
and the august Pontiff in an audience on the following Thursday, July 28, 1949,
deigned to give his approval, that the following explanations pertinent to the
doctrine, and also that invitations and exhortations relevant to discipline be
given:
We
are bound by divine and Catholic faith to believe all those things which are
contained in the word of God, whether it be Scripture or Tradition, and are
proposed by the Church to be believed as divinely revealed, not only through
solemn judgment but also through the ordinary and universal teaching office
(Denzinger, n. 1792). Now,
among those things which the Church has always preached and will never cease
to preach is contained also that infallible statement by which we are taught
that there is no salvation outside the Church. Now,
in the first place, the Church teaches that in this matter there is question
of a most strict command of Jesus Christ. For He explicitly enjoined on His
apostles to teach all nations to observe all things whatsoever He Himself had
commanded (Matt. 28: 19-20). Now,
among the commandments of Christ, that one holds not the least place by which
we are commanded to be incorporated by baptism into the Mystical Body of
Christ, which is the Church, and to remain united to Christ and to His Vicar,
through whom He Himself in a visible manner governs the Church on earth. Therefore,
no one will be saved who, knowing the Church to have been divinely
established by Christ, nevertheless refuses to submit to the Church or
withholds obedience from the Roman Pontiff, the Vicar of Christ on
earth. Not
only did the Savior command that all nations should enter the Church, but He
also decreed the Church to be a means of salvation without which no one can
enter the kingdom of eternal glory. However,
this desire need not always be explicit, as it is in catechumens; but when a
person is involved in invincible ignorance God accepts also an implicit
desire, so called because it is included in that good disposition of soul
whereby a person wishes his will to be conformed to the will of God. These
things are clearly taught in that dogmatic letter which was issued by the
Sovereign Pontiff, Pope Pius XII, on June 29, 1943, On the Mystical Body of
Jesus Christ (AAS, Vol. 35, an. 1943, p. 193 ff.). For in this letter the
Sovereign Pontiff clearly distinguishes between those who are actually
incorporated into the Church as members, and those who are united to the
Church only by desire. Discussing
the members of which the Mystical Body is-composed here on earth, the same
august Pontiff says: "Actually only those are to be included as members
of the Church who have been baptized and profess the true faith, and who have
not been so unfortunate as to separate themselves from the unity of the Body,
or been excluded by legitimate authority for grave faults committed." But
it must not be thought that any kind of desire of entering the Church
suffices that one may be saved. It is necessary that the desire by which one
is related to the Church be animated by perfect charity. Nor can an implicit
desire produce its effect, unless a person has supernatural faith: "For
he who comes to God must believe that God exists and is a rewarder of those
who seek Him" (Heb. 11:6). The Council of Trent declares (Session VI,
chap. 8): "Faith is the beginning of man's salvation, the foundation and
root of all justification, without which it is impossible to please God and
attain to the fellowship of His children" (Denzinger, n. 801). From
what has been said it is evident that those things which are proposed in the
periodical From the Housetops, fascicle 3, as the genuine teaching of the
Catholic Church are far from being such and are very harmful both to those
within the Church and those without. Hence,
one cannot understand how the St. Benedict Center can consistently claim to
be a Catholic school and wish to be accounted such, and yet not conform to
the prescriptions of canons 1381 and 1382 of the Code of Canon Law, and
continue to exist as a source of discord and rebellion against ecclesiastical
authority and as a source of the disturbance of many consciences. Furthermore,
it is beyond understanding how a member of a religious Institute, namely
Father Feeney, presents himself as a "Defender of the Faith," and
at the same time does not hesitate to attack the catechetical instruction
proposed by lawful authorities, and has not even feared to incur grave
sanctions threatened by the sacred canons because of his serious violations
of his duties as a religious, a priest, and an ordinary member of the
Church. Finally,
it is in no wise to be tolerated that certain Catholics shall claim for
themselves the right to publish a periodical, for the purpose of spreading
theological doctrines, without the permission of competent Church authority,
called the "imprimatur," which is prescribed by the sacred
canons. Therefore,
let them who in grave peril are ranged against the Church seriously bear in
mind that after "Rome has spoken" they cannot be excused even by
reasons of good faith. Certainly, their bond and duty of obedience toward the
Church is much graver than that of those who as yet are related to the Church
"only by an unconscious desire." Let them realize that they are
children of the Church, lovingly nourished by her with the milk of doctrine
and the sacraments, and hence, having heard the clear voice of their Mother,
they cannot be excused from culpable ignorance, and therefore to them apply
without any restriction that principle: submission to the Catholic Church and
to the Sovereign Pontiff is required as necessary for salvation. |
In sending this letter, I declare my profound esteem, and
remain,
Your Excellency's most devoted,
+ F. Cardinal Marchetti-Selvaggiani.
A. Ottaviani, Assessor.
(Private); Holy Office, 8 Aug., 1949.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar