BOLEHKAH MENAFSIR ALKITAB
SECARA PRIBADI?
Siapa yang berwenang
menafsir Alkitab secara benar?
Kadang-kadang Gereja
Katolik dikritik karena sangat membatasi penafsiran Alkitab secara pribadi.
Sekali lagi apa yang ditulis oleh G.W. Bromiley patut kita kutip disini:
Bagi mereka [Roma Katolik]
Firman Allah adalah kaidah yang mutlak. Segala tafsiran dari orang perorangan
ditolak…. Siapakah yang tepat menafsirkan Alkitab? Jawaban Roma Katolik adalah,
bahwa Alkitab terlalu sukar sehingga diperlukan kewibawaan lain yang dapat
menentukan arti manakah yang tepat.
Ucapan semacam itu memang ada benarnya, lebih-lebih pada masa yang
silam sebelum tahun 1965. Sebagai akibat dari kekuatiran akan penafsiran
pribadi yang terlalu bebas, Gereja Katolik sejak Konsili Trente membatasi
pembacaan Alkitab oleh kaum awam. Akibatnya, umat "dijauhkan" dari
Alkitab. Namun sekarang keadaan seperti itu sudah banyak berubah sejak adanya
angin baru yang menghembusi Konsili Vatikan II.
Akan tetapi, bahwa dengan catatan di atas pun, pernyataan Bromiley
tidak seluruhnya benar. Sebelum Konsili Vatikan II pun pembacaan dan penafsiran
Alkitab sebenarnya tidak dilarang bagi mereka yang mengenal seluk beluk
Alkitab. Jadi, tidak setiap penafsiran
pribadi ditolak, seperti yang dikatakan Bromiley. Hanya saja, memang benar
bahwa menurut keyakinan Gereja Katolik yang pada akhirnya mempunyai wewenang
untuk menafsir Alkitab secara resmi dan tidak dapat sesat adalah Kuasa Mengajar
Gereja atau yang kita sebut Magisterium. Magisterium adalah Paus dalam persatuan
dengan semua Uskup yang menjadi pewaris sah kuasa Petrus dan para rasul. Dalam
konstitusi Dei Verbum art.12 Konsili
Vatikan II menegaskan kembali soal ini:
"Semua hal sekitar
penafsiran kitab suci ini akhirnya harus tunduk kepada penilaian Gereja, yang
menjalankan perintah dan tugas illahi untuk memelihara dan menafsirkan Sabda
Allah."
Manakah tafsiran pribadi
yang ditolak Gereja?
Jawabannya ialah tafsiran-tafsiran yang bertentangan dengan
pokok-pokok iman yang harus dipelihara oleh Gereja. Jadi, jika seseorang,
misalnya, berpendapat bahwa roti dan anggur di dalam sakramen Ekaristi tidak
sungguh-sungguh diubah menjadi Tubuh dan Darah Kristus, melainkan tetap roti
dan anggur biasa yang hanya berfungsi sebagai lambang belaka dari kehadiran
Yesus, maka Kuasa Mengajar Gereja berwenang menyatakan bahwa tafsiran itu
keliru dan perlu ditarik kembali. Bagaimana hal ini dapat dipertanggung
jawabkan? Mengapa diperlukan Magisterium?
Mengapa diperlukan
Magisterium?
Bukan suatu bahwa Alkitab itu bukanlah suatu buku yang mudah.
Sebaliknyalah, harus kita akui bahwa sering sekali kita frustasi karena kita
tidak mampu memahami perikop atau ayat-ayat tertentu. Banyak sekali ayat yang
ditulis ribuan tahun yang lalu tidak dapat kita pahami lagi. Jarak yang
memisahkan kita dari dunia Alkitab terlalu jauh. Tetapi bahkan pada jaman rasul
sendiripun ada kesukaran semacam itu. Surat-surat Paulus, misalnya, dianggap
sukar, seperti tertulis dalam 2 Ptr 3:16:
"Dalam surat-suratnya
(Paulus) itu adalah hal-hal yang sukar dipahami, sehingga orang-orang yang
tidak memahaminya dan yang tidak teguh imannya, memutarbalikannya menjadi
kebinasaan mereka sendiri, sama seperti yang juga mereka buat dengan tulisan-tulisan yang lain."
Justru karena kesukaran inilah maka dalam surat yang sama kita
temukan nasehat ini:
"Yang terutama harus
kamu ketahui, ialah bahwa nubuat-nubuat dalam kitab suci tidak boleh
di-tafsirkan menurut kehendak sendiri, sebab tidak pernah nubuat dihasilkan
oleh kehendak manusia, tetapi oleh dorongan Roh Kudus orang-orang berbicara
atas nama Allah". (2 Ptr 1:20-21)
Jadi menafsir Alkitab itu tidak boleh seenaknya. Hal itu bisa
mendatangkan kebinasaan bagi diri sendiri (2 Ptr 3:16). Sayang, pada
kenyataannya, satu bab yang sama atau
bahkan satu ayat yang sama dapat ditafsirkan
secara berbeda-beda, bahkan
kadang-kadang secara bertentangan. Orang
yang satu bisa merasa terdorong oleh Roh Kudus untuk menafsirkan ayat tertentu
secara demikian. Sedang orang lain yang sama-sama merasa terdorong oleh Roh
Kudus mempunyai tafsiran yang bertentangan atas ayat yang sama itu. Contoh lain, orang yang satu menganggap Sabda Yesus,
"Ambillah, makanlah, inilah Tubuh-Ku" (Mat 26:26), sebagai bahasa
lambang belaka, sedang orang lain berpendapat bahwa ucapan itu mesti diartikan
apa adanya, artinya bahwa Yesus menjanjikan kehadiran-Nya secara nyata dalam
rupa roti dan anggur. Contoh lain lagi, sesudah kebangkitan-Nya Yesus bersabda
kepada para rasul, "Terimalah Roh Kudus. Jikalau kamu mengampuni dosa
orang, dosanya diampuni, dan jikalau kamu menyatakan dosa orang tetap ada,
dosanya tetap ada" (Yoh 20:23). Ada orang yang menafsirkan ucapan itu
sebagai mandat kepada para rasul saja, sedang orang lain menganggap bahwa
mandat itu diberikan kepada para rasul dan kepada semua pengganti mereka disepanjang
jaman.
Kalau begitu siapakah yang benar? Terpecah-belahkah Roh Kudus yang
mengilhami para penafsir tersebut ataukah semua tafsiran tersebut benar?
Tentunya tidak demikian. Kalau begitu, bagaimana kita bisa mengetahui
penafsiran yang benar? Bagaimana kita bisa mengatakan bahwa ayat tertentu itu
mengandung arti simbolis atau kiasan belaka dan bukan arti harafiahnya? Kapan
kita bisa mengatakan bahwa suatu perintah Yesus hanya berlaku untuk para
rasul-Nya saja dua ribu tahun yang lalu. Dan kapan perintah-Nya itu berlaku
untuk semua pengikut-Nya disegala tempat dan jaman? Disinilah letak masalahnya.
Gereja Katolik percaya bahwa kuasa menafsir Alkitab secara resmi dan benar ada
ditangan Magisterium dengan pendasaran sebagai berikut.
Sabda Allah itu perlu diteruskan dengan setia kepada umat manusia
di segala tempat dan di segala jaman. Oleh karena itu diperlukan Gereja Kristus
untuk menjaga harta iman. Untuk tujuan inilah maka ada pimpinan suci dalam
Gereja. Pimpinan Gereja inilah yang mempunyai Kuasa Mengajar yang disebut
Magisterium. Mereka itulah yang mendapat bimbingan khusus dari Roh Kudus untuk
memelihara dan menafsir Sabda Allah secara benar.
Dalam jaman Perjanjian Baru, penjaga dan pemelihara Injil Yesus
Kristus adalah para rasul di bawah pimpinan Petrus. Jadi, bila ada
keragu-raguan dalam hal iman maka para rasullah yang memutuskannya. Contohnya,
konsili pertama di Yerusalem, seperti yang dikisahkan dalam Kis 15:1-21,
diadakan untuk memutuskan masalah perlu tidaknya sunat yang diwajibkan bagi
umat Perjanjian Lama. Gagasan bahwa para rasul adalah penjaga dan penerus setia
dari harta iman menjadi jelas dalam surat-surat Paulus. Dalam I Kor 15:3 Paulus
sendiri mengakui bahwa dia hanya meneruskan ajaran yang dia terima sendiri
(langsung dari Tuhan atau dari para rasul lain). Juga dalam I Kor 11:23 Paulus
berkata: "Sebab apa yang ku teruskan
kepadamu, telah aku terima dari Tuhan…" Tentu saja tugas para rasul
itu tidak dapat diteruskan disegala tempat dan segala jaman. Maka dari itu,
para rasul minta kepada umat agar apa yang mereka terima itu di pelihara dengan
baik. Paulus, misalnya,berkata kepada umat di Tesalonika: "Sebab itu,
berdirilah teguh dan berpeganglah pada ajaran-ajaran yang kamu terima dari kami
baik secara lisan maupun secara tertulis" (2 Tes 2:15). Jadi, seluruh umat
ikut bertanggung jawab dalam penulisan dan pemeliharaan Sabda Allah itu. Akan
tetapi tidak cukup menyerahkan tugas yang begitu penting itu kepada umat secara
umum begitu saja. Diperlukan petugas-petugas resmi yang menggantikan tugas para
rasul dalam pemeliharaan harta rohani yang telah disampaikan kepada umat. Dari
sebab itu, Paulus meninggalkan Timotius di Efesus, dan Titus dipulau Kreta
dengan tugas mengawasi jemaat-jemaat disana. Keduanya adalah wakil Paulus yang
sah, dan diangkat berdasarkan penumpangan tangan (bdk 1 Tim 4:14). Kepada
Timotius Paulus berpesan: "Peganglah segala sesuatu yang telah engkau
dengar dari pada ku sebagai contoh ajaran sehat… Peliharalah harta yang indah
yang telah di percayakan kepada kita, oleh Roh Kudus yang diam di dalam
kita" (2 Tim 1:13-14). Selain wakil-wakil rasul semacam ini, ada juga
penilik-penilik jemaat dan penatua-penatua yang bertugas mengajar, memimpin dan
mengatur jemaat. Mereka itu dilantik oleh para rasul sendiri (Kis 14:14) atau
oleh wakil rasul (Tit 1:5) melalui penumpangan tangan. Perlu diketahui bahwa
dalam perkembangan Gereja (mulai abad III) jabatan penilik dan penatua itu
berkembang masing-masing menjadi uskup dan imam.
Nampak dari uraian diatas bahwa untuk mewahyukan Diri-Nya demi
keselamatan umat manusia, Allah dengan perantaraan Roh Kudus-Nya telah
melakukan tiga hal yang penting ini:
1. Menyampaikan Sabda-Nya
kepada umat-Nya
2. Mengilhami penulis-penulis
suci untuk menuangkan Sabda Allah yang sudah diimani umat itu dalam "sabda
manusia," yakni secara tertulis dalam Kitab Suci
3. Menyediakan suatu sarana
yang dibutuhkan untuk pemeliharaan serta penafsiran yang setia dari Sabda-Nya. Tidak cukup bahwa Allah menganugerahkan harta
yang luar biasa itu kepada manusia; perlu juga Dia menyediakan pimpinan suci
yang harus memelihara sabda-sabda-Nya dengan setia
Jadi, kita perlu mempunyai iman kepada Allah yang bersabda. Namun
itu belum cukup. Menurut Gereja Katolik, kita harus juga mempunyai iman bahwa Gereja di lengkapi oleh Allah dengan struktur
pimpinan suci yang dalam bimbingan Roh Kudus memelihara dan menafsirkan Sabda
Allah. Berdasarkan kepercayaan inilah maka dalam hal tafsiran yang
bertentangan dengan kebenaran-kebenaran iman yang dipercaya Gereja, setiap penafsir
Katolik harus tunduk kepada penilaian Magisterium. Para
penafsir harus sadar akan keterbatasan akal budi manusia dalam menafsirkan
Alkitab. Namun ini tidak berarti bahwa mereka tidak boleh menafsir Alkitab
secara pribadi, atau bahkan mereka menerima semua tafsiran Magisterium begitu
saja secara pasif. Sebaliknya, diakui bahwa para penafsir itu menyumbangkan
studi mereka kepada Magisterium, agar Magisterium bisa menggambil
keputusan-keputusan yang lebih matang (Dei Verbum 12).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar