Fundamentalis
Kristen
Tidak ada kelompok Kristen yang tumbuh lebih pesat daripada fundamentalis. Dan
banyak dari mereka yang berpindah menjadi seorang fundamentalis berasal dari
Gereja Katolik — kebanyakan umat Katolik yang tidak terdidik dengan baik mengenai
iman Katolik. Untuk menghentikan "kekeringan rohani" ini, untuk
menjawab tantangan fundamentalis dan, yang paling utama, untuk mengerti iman
kita lebih baik, Peter Kreeft membahas lima poin konflik utama: (1) Alkitab,
(2) kodrat dan otoritas Gereja, terutama Paus, (3) bagaimana caranya ke surga,
(4) Maria dan para kudus, dan (5) sakramen-sakramen, terutama Sakramen
Ekaristi.
Omong-omong, Alkitab siapakah ini?
Kita tidak perlu menjadi kesal dalam membela keyakinan kita. Meskipun banyak
fundamentalis berpikir bahwa Gereja Katolik berada di bawah kendali Setan dan
semua atau hampir semua umat Katolik akan menuju ke neraka, tidak semua
berpikir demikian − dan kita seharusnya tidak berpikir yang sama terhadap
mereka.
Namun iman mereka sering didasari oleh pemikiran yang sempit, terkadang itulah
aslinya, baik di dalam hal kejujuran pribadi maupun dalam hal ortodoksi
Kristen. Fundamentalisme bukanlah kelompok kecil sekte non-Kristen seperti New
Age atau Unification Church (Moonies). Hal-hal yang mana umat Katolik dan para
fundamentalis sepakat lebih penting daripada hal-hal yang tidak kita sepakati,
meskipun demikian yang terakhir sangat penting juga.
Karena sumber semua iman fundamentalis adalah Alkitab, kita akan mulai dari
sana. Para fundamentalis akan selalu menempatkan sebuah argumen berdasarkan
Kitab Suci. Tapi apakah yang mereka percayai mengenai Alkitab? Kita tidak dapat
mengerti mereka kecuali kita terlebih dahulu mengerti devosi mereka yang dalam
terhadap Kitab Suci sebagai standar mutlak mereka.
Kita semua membutuhkan sebuah "pengadilan terakhir" yang final, tidak
dapat diragukan, tidak dapat dikritisi, dimana kompromi-kompromi sudah tidak
ada lagi. Kebanyakan dunia modern rohaninya terseok-seok karena tidak memiliki
standar mutlak. Terlebih lagi, kita membutuhkan standar mutlak yang kongkrit
dan tidak hanya suatu standar multak yang abstrak saja. Idealisme seperti
"yang baik, yang benar dan yang indah" atau "gagasan mengenai
Tuhan," tidak akan berhasil. Jika Tuhan adalah standar mutlak kita, Ia harus
menyentuh kita dimanapun kita berada.
Para fundamentalis dan umat Katolik setuju bahwa titik pertemuan ini adalah
Kristus. Kita juga setuju bahwa Alkitab adalah inspirasi ilahi, bersifat
infalibel dan otoritatif yang mengarahkan kita menuju pengenalan akan Kristus.
Tapi kita tidak sepakat mengenai hal-hal lainnya, terutama mengenai Gereja dan
relasinya dengan Alkitab. Para fundamentalis mengambil Kitab Suci keluar dari
konteks sejarah Gereja yang menulisnya, meng-kanonisasi-nya, menjaganya dan
sekarang mengajar dan mengartikannya. Bagi umat Katolik, itu seperti mengambil
seorang bayi dari ibunya.
Mengabaikan Bunda Gereja tentu saja adalah kesalahan. Namun hal ini menjadi
keuntungan dalam hal mencintai Bayi Alkitab, kebaikan yang kita harus hormati
dan tiru. Kita dapat terlalu sedikit mencintai hal-hal lain, namun kita tidak
dapat mencintai Alkitab terlalu banyak. Kita dapat mencintainya secara salah.
Tapi kita tidak salah mencintainya.
Tujuh hal yang dipercayai para fundamentalis tentang Alkitab adalah bahwa
Alkitab (1) supernatural, (2) terinspirasi, (3) infalibel, (4) cukup, (5)
otoritatif, (6) literal, dan (7) praktikal. Umat katolik juga mempercayai
hal-hal tersebut — namun dengan cara yang berbeda.
(1) Para fundamentalis menekankan keilahian Kitab Suci, asal-usulnya yang
supernatural: Kitab Suci adalah Firman Allah, bukan hanya kata-kata manusia.
Penulis utama semua kitab yang ada di dalamnya adalah Allah yang sama; itulah
mengapa Kitab Suci berbentuk satu buku, tidak dalam bentuk banyak buku. Umat Katolik
tentu saja sepakat. Tetapi para fundamentalis biasanya tidak mau menekankan
atau bahkan mengakui sisi manusiawi para penulis Alkitab. Pandangan mereka
mengenai Kitab Suci, yaitu Firman Allah dalam bentuk kata-kata manusia, sama
seperti pandangan bidaah Doketis terhadap Kristus: mengakui kodrat ilahi namun
tidak mengakui kodrat manusiawi-Nya.
Ketika seseorang memperhatikan sisi manusiawi ini seperti yang terlihat pada
perbedaan yang besar dalam gaya bahasa antara Kejadian 1-3 dan Kejadian 12-50,
atau antara Yesaya 1 dan 2, dengan demikian menyimpulkan bahwa bagian-bagian
yang berbeda tersebut ditulis oleh orang yang berbeda, atau masalah psikologis
pribadi St. Paulus dan sisi-sisi kerasnya (seperti 1 Kor 7:6-9, 25-26; Gal
5:12), para fundamentalis secara otomatis berpikir: "Itu liberalisme,
modernisme!" Mereka tidak dapat melihat bahwa ini adalah mukjizat yang
terbesar yang pernah ada yaitu Allah menulis Alkitab tanpa menghilangkan sisi
manusiawi penulis-penulisnya.
(2) Hal ini membawa kita menuju poin kedua. Para fundamentalis percaya bahwa
Alkitab diinspirasi (dinafasi) oleh Allah, namun seringkali mereka berpikir
prosesnya adalah Allah mendikte para penulis Kitab Suci kata-demi-kata. Para
fundamentalis percaya akan "inspirasi paripurna (total) dan verbal
[kata-demi-kata]."
Sayangnya, kita bahkan tidak memiliki tulisan asli kitab-kitab yang ada di
dalam Alkitab, jadi kita tidak yakin secara pasti apa kata-kata yang tepat
tertulis disana. Ada beberapa kesalahan kecil dalam penyalinan, untuk tulisan-tulisan
yang terawal yang kita miliki tidak secara penuh sepakat satu dengan yang
lainnya — meskipun ada 99 persen kesamaaan verbal diantara manuskrip-manuskrip
yang berbeda-beda, tidaklah demikian halnya dengan tulisan-tulisan yang lebih
kuno lainnya.
Kadangkala kamu juga menemukan para fundamentalis mengklaim inspirasi ilahi
untuk versi King James! Motivasi utama dibalik gagasan bodoh ini adalah
menghalangi Modernisme bahkan dalam hal penerjemahan. Banyak
terjemahan-terjemahan Alkitab modern bukanlah benar-benar terjemahan melainkan
interpretasi atau parafrasa dengan menggunakan prinsip "penyamaan
dinamis" — yaitu penerjemah membayangkan apa yang hendak ditulis penulis
kitab itu jika mereka menulis dengan bahasa modern saat ini. Penerjemahan kata-kata
asli yang tertulis tidaklah dilakukan. Para fundamentalis hendak memperhatikan
ketelitian kata demi kata, meskipun ekstrim, nampaknya tidak seburuk
dugaan-dugaan yang tidak pasti dari kaum revisionis.
(3) Para fundamentalis terpaksa melakukan ini untuk melindungi infalibilitas
Alkitab. Kembali mereka bertarung menghadapi para Modernis, yang mengaburkan
dan kemudian menghilangkan beberapa bagian yang membuatnya tidak nyaman
(contohnya yang mengajarkan mukjizat-mukjizat atau hukum moral yang mutlak).
Umat Katolik setuju bahwa Kitab Suci itu infalibel, yaitu bebas dari kesalahan
dalam pesannya, namun tidaklah bebas dari kesalahan gramatikal, kesalahan
matematis, atau kesalahan ilmiah.
Contohnya, ketika suatu bagian Alkitab berbicara mengenai "keempat penjuru
bumi" (the four corners of the earth), Alkitab menggambarkan kepercayaan
umum Ibrani kuno yaitu bumi itu datar; sehingga bagian ini bukanlah bermaksud
menjelaskan bentuk bumi melainkan kemuliaan Allah.
(4) Perbedaan penting antara para fundamentalis dan umat Katolik adalah
mengenai kecukupan Kitab Suci, prinsip "sola scriptura" Luther. Para
fundamentalis bersikeras mereka tidak membutuhkan Gereja untuk mengartikan
Kitab Suci, karena mereka mengklaim bahwa (a) Kitab Suci itu jelas, atau (b)
Kitab Suci mengartikan dirinya sendiri, atau (c) Roh Kudus mengartikan Kitab
Suci langsung kepada mereka.
Ketiga pengganti Gereja itu terlihat sekali tidak cukup: (a) Kitab Suci tidak
jelas, seperti Kitab Suci sendiri akui (2 Pet 3:15-16). Jika Kitab Suci memang
jelas, mengapa ada banyak sekali denominasi Protestan yang berbeda-beda,
masing-masing mengklaim setia kepada Kitab Suci? (b) Kitab Suci tidak
mengartikan dirinya sendiri, kecuali pada kejadian dimana penulis Perjanjian
Baru mengutip atau merujuk ke suatu bagian Perjanjian Lama, (c) Yang terakhir,
semua bidaah mengklaim bimbingan Roh Kudus juga. Bersandar kepada kriteria
pribadi sangat berbahaya dan telah menimbulkan perpecahan sepanjang sejarah.
Argumen terkuat mengenai perlunya Gereja yang infalibel untuk menjamin Alkitab
yang infalibel adalah fakta bahwa Gereja (para murid) menulis Alkitab dan
(penerus mereka) menetapkannya dengan mendaftarkan kanon kitab-kitab yang akan
dimasukkan ke dalam Alkitab. Pendapat umum mengatakan bahwa kamu tidak dapat
mendapatkan lebih dari yang kurang; Kamu tidak dapat mendapatkan efek infalibel
dari penyebab yang falibel. Itu tidak mungkin.
Umat Katolik sepakat dengan para fundamentalis bahwa Kitab Suci itu cukup dan
bahwa Kitab Suci berisi segala sesuatu yang penting untuk diketahui demi
keselamatan. Jika tidak demikian, para Protestan tidak akan diselamatkan! Umat
Katolik juga setuju dengan para fundamentalis bahwa Kitab Suci menyediakan
dasar dari segala dogma dan kepercayaan lebih lanjut. Tetapi para fundamentalis
bersikeras bahwa semua dogma harus ada secara eksplisit di dalam Kitab Suci,
sedangkan umat Katolik melihat Kitab Suci sebagai benih atau tumbuhan muda:
Kepenuhan dogma Gereja Katolik adalah pertumbuhan dari pewahyuan awalnya.
(5) Mengenai otoritas Alkitab, umat Katolik sepakat dengan para fundamentalis
bahwa otoritas Alkitab adalah mutlak dan final. Umat Katolik tidak sepakat
mengenai apakah Alkitab merupakan satu-satunya otoritas dan apakah Alkitab
dapat mempertahankan otoritasnya tanpa adanya Gereja yang otoritatif untuk
menjaga dan mengartikannya. Banyak denominasi Protestan memulai dengan
fundamentalisme otoritatif lalu terperosok kepada Modernisme yang tidak
otoritatif.
(6) Prinsip terlemah dalam fundamentalisme adalah perlunya pengartian literal
semua (atau hampir semua) yang ada di dalam Alkitab. Bahkan para fundamentalis
tidak dapat mengambil perumpamaan atau metafora yang disampaikan Yesus seperti
"Akulah pintu" secara literal, para fundamentalis mengartikan Alkitab
secara literal mulai dari awal hingga akhir Alkitab sehingga membawa kekacauan
eskatologis. Meski Kitab Kejadian yang menampilkan adanya semacam evolusi
(1:20a; 24a; 2:7a), ini merupakan suatu kata yang kotor bagi para
fundamentalis. Dan meskipun Yesus sendiri tidak mengetahui kapan dunia akan
berakhir (Mat 24:36), para fundamentalis suka membuat perkiraan-perkiraan –
semuanya salah.
Disini para fundamentalis membuat kesalahan-kesalahan yang sama seperti para
Modernis: mengacaukan pengertian obyektif dengan keyakinan pribadi, mengartikan
Kitab Suci menurut keyakinannya sendiri daripada pengertian pengarang kitab
tersebut. Bentuk literal Kejadian 1-3 dan Wahyu jelas-jelas merupakan simbolis,
sama seperti kisah-kisah mujizat benar-benar literal.
Para fundamentalis juga mengacaukan prinsip literal dengan otoritas, takut
kalau-kalau kamu mengartikan suatu bagian secara non-literal, kamu
menghilangkan otoritasnya. Tapi tidaklah demikian adanya; seseorang dapat
membuat sebuah gagasan yang otoritatif dalam bahasa simbolis, misalnya mengenai
kekuasaan ("tangan kanan yang kuat") Tuhan.
Ada satu bagian yang diartikan para fundamentalis secara non-literal, yaitu
"Inilah Tubuh-Ku." Para fundamentalis tiba-tiba menjadi seperti para
Modernis ketika berbicara mengenai Ekaristi.
(7) Yang terakhir, kekuatan terbesar fundamentalisme tidak datang dari teori
melainkan dari praktek. Prinsip-prinsip alkitabiah para fundamentalis lemah,
namun praktek mereka membaca, mempelajari, mempercayai dan devosi terhadap
Alkitab sangat kuat. Ini adalah poin utama Alkitab: lihat Mat 7:24-27.
Bahkan disini ada beberapa kebingungan. Dalam mengartikan Alkitab secara
literal, mereka terkadang menggunakannya secara literal pada tempat yang tidak
tepat (contohnya Mrk 16:18 sebagai dasar "memegang ular"). Namun
sedikit yang melakukan Matius 19:21 secara literal seperti St. Fransiskus.
Dari semua kekuatan dan kelemahan itu, itulah dasar keyakinan para
fundamentalis terhadap Alkitab. Apa yang dibutuhkan diatas semuanya adalah
suatu discernment, adanya kehendak baik, sehingga kita semua dapat belajar dari
yang baik dan menghindari yang buruk. Kita tidak perlu berkaca pada pola pikir
mereka yang tertutup ataupun menjadi terlalu terbuka dalam berpikir.
Tidak peduli seberapa jujur dan bersemangatnya para fundamentalis percaya, apa
yang mereka percayai bukanlah kepenuhan deposit iman ortodoks yang sudah
disampaikan kepada para kudus sejak dahulu. Jika kita memiliki separuh semangat
yang dimiliki para fundamentalis untuk iman mereka yang kecil untuk iman kita
yang besar, kita dapat memenangkan dunia.
Siapa yang memiliki otoritas di sini?
Semua keyakinan yang membedakan umat Katolik dari para fundamentalis berasal
dari otoritas mengajar Gereja.
Karena umat Katolik percaya akan Gereja, mereka percaya hal-hal yang lebih
penuh, lebih kompleks dan misterius daripada yang dimiliki para fundamentalis.
Oleh karena itu, Gereja adalah bagian penting dalam keragaman.
Dalam pandangan fundamentalis, Gereja Katolik mengangkat dirinya melebihi
Alkitab, menambah-nambahkan Firman Allah: Ini adalah penyalahgunaan kekuasaan
untuk berbicara atas nama Allah.
Namun bagi umat Katolik, para fundamentalis menempatkan Alkitab sebagai
pengganti Gereja, sebagai "paus kertas" mereka. Fundamentalis hanya
memiliki sebuah buku (Alkitab) tapi tidak memiliki pengajar yang hidup (Gereja).
Para
fundamentalis percaya bahwa Alkitab yang membentuk Gereja. Mereka menerima
sebuah Gereja hanya karena gagasan ini tertulis di dalam Alkitab. Sebaliknya,
umat Katolik percaya kepada Alkitab karena Gereja yang mengajarnya,
meng-kanonisasi-nya (yaitu menetapkan kitab-kitabnya) dan membentuknya (para
murid menulis Perjanjian Baru).
Minggu
yang lalu kita melihat gagasan fundamentalis mengenai Alkitab dan
membandingkannya dengan pandangan Katolik. Kini kita harus melakukan hal yang
sama dengan gagasan-gagasan fundamentalis terhadap Gereja.
Poin
terpenting di sini adalah bahwa pandangan fundamentalis merupakan sesuatu yang
baru sedangkan pandangan Katolik merupakan sesuatu yang tua. Gereja Katolik dan
klaim-klaimnya telah berlangsung selama lebih dari 19 abad, fundamentalisme
kurang dari seabad. Oleh karena itu, alasan historis Gereja Katolik sangat
kuat. Para fundamentalis harus mempercayai bahwa Gereja Kristen mula-mula telah
menjadi sangat sesat (yaitu Katolik) sangat awal sekali, dan kemudian menjadi
benar (yaitu fundamentalis) sangat terlambat. Dengan kata lain, Roh Kudus pasti
telah tertidur selama 19 abad diantaranya.
Para
fundamentalis umumnya mengetahui sedikit sekali sejarah Gereja. Mereka tidak
mengetahui berapa banyak doktrin-doktrin Katolik dapat dilacak kembali ke
belakang ke jaman Bapa-Bapa Gereja awal – contohnya permohonan kepada Uskup
Roma untuk menyelesaikan perbedaan-perbedaan pendapat secara definitif di
seluruh Gereja yang terjadi pada awal hidup Gereja pada abad pertama; atau bahwa
Misa, bukan khotbah mengenai Alkitab, adalah tindakan penyembahan utama dalam
seluruh penggambaran komunitas Kristen.
Lima perbedaan utama antara para fundamentalis dan umat Katolik berpusat pada
(1) kodrat, (2) misteri, (3) otoritas, (4) struktur dan (5) akhir dari Gereja.
Para
fundamentalis sepakat dengan umat Katolik bahwa Gereja didirikan oleh Allah,
tidak hanya oleh manusia. Bagi seorang fundamentalis, Gereja bukan hanya
kelompok sosial religius, sama halnya seperti seorang modernis. Namun ketika
para fundamentalis melihat bahwa Allah memerintahkan awal Gereja, mereka tidak
melihat bahwa Ia tetap berkenan di dalamnya secara dekat, seperti jiwa hidup di
dalam tubuh dan seperti Ia hidup di dalam jiwa para umat beriman. Bagi seorang
fundamentalis, asal mula Gereja bersifat ilahi dan kodrat Gereja adalah
manusia.
Para
fundamentalis memandang Gereja dengan cara yang berlawanan dengan pandangan
mereka terhadap Alkitab. Mereka yakin akan identitas ilahi Kitab Suci dan tidak
begitu memperhatikan atau mengabaikan sisi manusiawi pengarangnya. Namun mereka
menekankan sisi manusiawi Gereja dan mengabaikan sisi ilahinya. Dengan kata
lain, mereka adalah bidaah Doketis mengenai Alkitab dan adalah bidaah Arian
mengenai Gereja. (Doketisme adalah bidaah awal yang menyangkal kodrat manusiawi
Kristus; Arianisme menyangkal kodrat ilahi-Nya.) Kekatolikan sajalah yang
percaya secara konsisten misteri dua kodrat Kristus, dan Gereja dan Alkitab.
Para fundamentalis sering menuduh umat Katolik dengan kesalahan orang-orang
Farisi dan suka mengutip Markus 7:7-8, kecaman Yesus terhadap orang-orang
Farisi karena mengajar tradisi-tradisi manusia. Paus dan para uskup adalah
manusia dan para fundamentalis tidak suka terhadap pemikiran mempercayai
manusia-manusia itu sebagai otoritas ilahi. Namun mereka tidak konsisten,
karena mereka mempercayai penulis-penulis Alkitab yang juga adalah manusia
sebagai otoritas ilahi, dan (tentu saja) mereka mempercayai Kristus sebagai
otoritas ilahi, karena Ia juga adalah manusia. Jadi, prinsip bahwa Allah dapat
dan telah berbicara melalui otoritas manusia adalah prinsip dasar Kristus dan
Kitab Suci.
Mungkin jalan termudah untuk melihat perbedaan itu adalah sebagai berikut: Para
fundamentalis melihat Gereja sebagai pemberian manusia (sebagai sarana penyembahan)
kepada Allah, namun umat Katolik melihatnya sebagai pemberian Allah (sebagai
sarana keselamatan) kepada manusia. Bagi para fundamentalis, kita masing-masing
telah diselamatkan dan kemudian bergabung dalam suatu kelompok paduan suara
gerejani untuk menyanyikan ucapan syukur kita kepada Allah. Bagi umat Katolik,
kita telah diselamatkan dengan menjadi bagian dari Gereja, Tubuh mistik
Kristus, seperti Nuh dan keluarganya diselamatkan dengan dimasukkan ke dalam
bahtera. (Banyak Bapa Gereja menggunakan bahtera sebagai simbol Gereja.)
Hal ini seperti – untuk memperluas metafora itu – para fundamentalis memilih
diselamatkan dengan cara mengandalkan jaket penyelamat pribadinya, kemudian
bergabung bersama dalam suatu persaudaraan.
Bagi umat Katolik, Gereja adalah "Tubuh mistik Kristus." Gereja
adalah suatu "misteri." Para fundamentalis tidak mengerti kategori
ini. "Misteri" terdengar seperti pagan bagi mereka. Mereka
menginginkan agama mereka jelas dan sederhana. Mereka tentu saja akan mengakui
bahwa jalan Tuhan bukanlah jalan kita dan seringkali terlihat misterius bagi
kita. Namun mereka tidak ingin Gereja mereka menjadi misterius seperti Allah,
karena mereka menganggapnya bukan sebagai perpanjangan tangan Allah melainkan
manusia.
Dengan kata lain, mereka berpikir bahwa "misteri" hanyalah kegelapan
dan kebingungan. Namun dalam teologi Katolik ini adalah hal positif: terang
yang tersembunyi, kearifan yang tersembunyi.
Para fundamentalis berkata bahwa mereka menekankan "Gereja yang tidak
kelihatan" daripada "Gereja yang kelihatan" dan menuduh umat
Katolik terlalu berlebihan mengenai Gereja yang kelihatan. Para fundamentalis
mengambil pembedaan yang tajam diantara dua dimensi Gereja ini sehingga mereka
dapat menjelaskan pernyataan-pernyataan Kitab Suci yang kuat mengenai Gereja
sebagai "Gereja yang tidak kelihatan" (jumlah jiwa yang diselamatkan,
diperkenalkan kepada Allah) dan bukan sebagai Gereja yang kelihatan yang ada di
bumi.
Mengapa? Karena jika mereka mengacu kepada pernyataan-pernyataan mengenai
Gereja yang kelihatan, klaim-klaim Gereja Katolik bahwa Gereja ini tunggal,
tersebar di seluruh dunia, Gereja yang yang dapat melacak sejarahnya hingga ke
masa Kristus, tetap mengampuni dosa-dosa dan menjalankan otoritas mengajar
dalam nama-Nya; klaim-klaim tersebut tentu akan terlihat benar bagi Gereja
Katolik ketimbang Gereja yang kelihatan lainnya.
Para fundamentalis juga memiliki prinsip-prinsip yang sangat individualis
mengenai gereja. Pengertian Katolik mengenai suatu organisme tunggal yang besar
dan tersebar di seluruh dunia, sesuatu yang nyata, tidak ada di dalam
fundamentalisme. Gereja Ortodoks Timur biasanya memiliki pengertian yang lebih
kuat mengenai misteri dan keagungan Gereja daripada kebanyakan umat Katolik
Barat modern. Mereka merupakan bagian timur dari spiritualitas Roma sama
seperti letak geografisnya – bersifat lebih mistik. Para fundamentalis berada
di bagian barat Roma – terlalu Amerika.
Perbedaan ketiga berpusat pada otoritas Gereja. Ini merupakan akibat dari poin
sebelumnya: Para fundamentalis tidak memahami pandangan Katolik mengenai Gereja
sebagai suatu entitas mistik agung, suatu masyarakat ilahi yang tidak kelihatan
yang hadir secara simultan di surga dan di bumi, menghubungkan surga dan bumi
sedekat hubungan jiwa manusia dengan tubuhnya. Tidak adanya pemahaman ini,
otoritas hanya dapat berarti kekuasaan, khususnya kekuasaan politik. Oleh
karena itu, para fundamentalis kadang terdengar seperti musuh bebuyutan mereka,
para modernis, ketika mengkritisi "otoritas" dan kekuasaan politik
Roma. Para fundamentalis dan modernis yang tidak memiliki pemahaman Katolik
mengenai Gereja dan otoritasnya lebih daripada sekedar "politis."
Tapi para fundamentalis sendiri cenderung menjadi cukup otoritatif pada tingkat
personal – contohnya di dalam keluarga mereka. Mereka lebih memiliki keinginan
dibandingkan kebanyakan orang untuk memerintah dan mematuhi otoritas jika hal
ini alkitabiah. Masalah yang membedakan kita bukanlah otoritas seperti itu
namun dimanakah otoritas dapat ditemukan: Gereja atau Alkitab saja?
Struktur komunitas Kristen juga membedakan kita. Para fundamentalis biasanya
mengkritisi Gereja "hirarkis." Hal ini seringkali merupakan masalah
politik ketimbang masalah agama, terkadang berakar dari egalitarianisme Amerika
(paham akan adanya kesamaan hak) ketimbang masalah agama. Namun ketika hal ini
merupakan masalah agama, kritik yang ada biasanya merupakan salah satu dari
tiga bentuk berikut ini:
Pertama, para fundamentalis menuduh umat Katolik melakukan penyembahan terhadap
Gereja dan hirarki, terutama Paus. Ada suatu ketakutan akan penyembahan berhala
yang digabungkan dengan ketakutan terhadap sistem kepausan menjadi satu, suatu
kebingungan antara prinsip yang baik (anti penyembahan berhala) dengan
kesalahpahaman fakta yang tidak dapat diterima. Saya telah bertemu banyak umat
Katolik yang mencintai Paus dan (sayangnya) beberapa membencinya, saya tidak
pernah bertemu atau mendengar ada yang menyembahnya!
Kedua, hirarki tertuduh korupsi hanya karena itu adalah sebuah hirarki: Hirarki
secara struktur dan kultur sangat asing bagi Amerika. (Begitu pula hirarki para
malaikat "tidak-Amerika." Tapi itu tidak berarti hirarki para
malaikat korup.) Tentu saja 500 tahun yang lalu ada beberapa hal yang benar
mengenai tuduhan ini, namun para fundamentalis tetap melanjutkan pertarungan
Luther.
Ketiga, seringkali ada prasangka rasial yang tidak dapat diterima terhadap Paus
yang merupakan orang Italia. Beberapa orang, ketika mereka mendengar
"orang Italia," langsung berpikiran "mafia" dan
"Machiavelli." Unsur ini jarang diterima, namun tetap memainkan peran
dalam prasangka-prasangka anti-paus.
Diatas semua kritik yang tidak rasional tersebut, saya tidak pernah menemukan
argument teologis yang kuat melawan kepausan. Paus kita saat ini telah
melakukan banyak hal untuk mengurangi ketakutan-ketakutan fundamentalis dengan
kepribadiannya yang suci, kata-kata yang bijak dan perlawanan yang keras
terhadap aborsi dan terhadap teolog-teolog kontemporer yang berlebihan.
Yang terakhir, para fundamentalis dan umat Katolik memiliki pandangan-pandangan
yang berbeda pada akhir atau tugas dari Gereja. Bagi para fundamentalis, tugas
itu hanyalah dua hal: mendidik mereka yang telah diselamakan dan menginjili
mereka yang belum diselamatkan. Bagi umat Katolik, keduanya adalah penting,
namun ada dua tugas lagi.
Pertama, umat Katolik juga menekankan tugas Gereja yang mendunia – keadilan
sosial dan karya-karya cinta kasih seperti membangun rumah sakit dan memberi
makan orang-orang miskin. Para fundamentalis mengatakan bahwa Gereja "tidak
seharusnya terlibat di dalam politik" (meskipun banyak dari mereka kini
telah terjun ke dalam dunia politik). Dan kapan terakhir kali kamu melihat
sebuah rumah sakit fundamentalis.
Kedua, tetap ada lagi suatu tujuan penting. Penginjilan, pendidikan dan pelayanan
sosial adalah tujuan penting dalam pandangan Katolik. Gereja ada untuk dunia,
ya (tujuan pertama dari tiga tujuan tersebut), namun di dalam pengertian yang
lebih penting dunia ada untuk Gereja, untuk kejayaan abadi dan kesempurnaannya.
Ketika kita berbicara mengenai kejayaan abadi kita memikirkan Gereja sebagai
Gereja yang tidak kelihatan, bersifat "mistik;" namun ada suatu
kesatuan substansial antara Gereja yang tidak kelihatan dan Gereja yang
kelihatan, diantara Gereja sebagai organisme-dalam dan Gereja sebagai
organisasi-luar, antara jiwa dan tubuhnya, sama seperti antara jiwa manusia
dengan tubuhnya.
Kamu dapat melihat hal mistik ini seperti kamu dapat melihat seorang manusia.
Hal tersuci yang dapat kamu lihat di atas bumi memiliki takhtanya di Roma,
hatinya di dalam roti dan anggur di atas altar dan jemarinya yang sedekat
sesamamu.
Para fundamentalis tidaklah secara eksplisit menyangkal pandangan Katolik
mengenai Gereja; mereka hanya tidak memahaminya. Mereka mungkin memiliki
hal-hal untuk diajarkan kepada kita mengenai semangat mereka yang berapi-api
dalam kehidupan religius, namun kita memilik banyak hal yang dapat diajarkan
kepada mereka mengenai pendiangan yang kita miliki.
Sebuah pendiangan tanpa api akan menjadi dingin dan gelap. Api tanpa pendiangan
adalah bencana.
Perlunya Sakramen-sakramen
Ada empat unsur dalam doktrin Katolik mengenai apa itu sakramen.
Fundamentalisme tidak suka kepada keempatnya. Sakramen adalah tanda yang
memberikan pengaruh bagi yang menerimanya, yang diadakan Kristus untuk
mengaruniakan rahmat.
Pertama, sakramen adalah tanda dan simbol. Fundamentalisme tidak suka dengan
simbolisme. Fundamentalisme memiliki mentalitas "tidak ada yang tidak
masuk akal." Simbol-simbol terlalu puitis bagi pemikiran keras kepalanya
untuk menerima, baik itu yang ada di dalam Kitab Suci ataupun di dalam
sakramen.
Kedua, sakramen memberikan pengaruh bagi yang menerimanya, yaitu tanda dan
hal-hal tertentu. Fundamentalisme kemudian terjebak dalam prinsip mereka bahwa
Kitab Suci harus diartikan secara literal saja atau secara simbolis saja, dan
bukan keduanya (seperti St. Tomas dari Akuino).
Menurut St. Tomas dari Akuino, karena Allah adalah pembentuk sejarah,
kejadian-kejadian sejarah dapat menjadi tanda, juga dapat memberikan pengaruh.
Sebagai contoh, terbelahnya Laut Merah memberikan pengaruh yaitu keselamatan
dari Mesir bagi umat Israel dan juga menjadi tanda akan adanya keselamatan dari
dosa dan kematian melalui Kristus. Para fundamentalis menolak simbolisme pada
kejadian-kejadian historis, dan menolak "kehadiran nyata" dan
pengaruh-pengaruh ketika berbicara tentang tanda-tanda sakramen. "Inilah
Tubuh-Ku" diartikan penuh sebagai simbolis, hanya simbolis; namun untuk
semua bagian Kitab Suci lainnya mereka melihat bukan sebagai simbolis sama
sekali
Ketiga, sakramen diadakan oleh Kristus. Para fundamentalis sepakat, namun
membatasi sakramen-sakramen hanya Sakramen Pembaptisan dan Sakramen Ekaristi
(yang mereka sebut "Perjamuan Tuhan"). Kemudian timbul pertanyaan:
Bagaimana kamu tahu apakah suatu sakramen telah diadakan oleh Kristus atau
tidak? Bagaimana kamu tahu Ia tidak berniat untuk menjadikan pembasuhan kaki
sebagai suatu sakramen? (Lihat Yoh 13:1-15.) Bagaimana kamu tahu berapa banyak
sakramen yang diadakan-Nya? Kamu membutuhkan Gereja-Nya untuk mengajarmu, untuk
menjelaskan dan menetapkan sakramen-sakramen. (Ini tidak dilakukan secara
eksplisit untuk ketujuh sakramen hingga abad ke-11.)
Keempat, sakramen-sakramen memberikan rahmat. Mereka "bekerja."
Kenyataannya mereka bekerja ex opere operato, berdasarkan mereka sendiri
ketimbang berdasarkan atau sebagai akibat dari disposisi subyektif penerimanya.
Mereka seperti makanan jasmani: Bayam memberikan kamu zat besi karena seperti
itulah bayam, bukan karena siapakah kamu. Rahmat sakramental adalah nyata,
obyektif, bersifat ontologi.
Hal terakhir ini adalah keberatan utama para fundamentalis. Hal ini terlihat
seperti sihir bagi mereka. Kita mendengar tiga kritik dasar mengenai
sakramen-sakramen dari para fundamentalis: Bagi mereka doktrin Katolik adalah
sihir, eksternalisme, dan kepercayaan pagan.
Pertama, para fundamentalis salah memahami ex opere operato. Ketika mengatakan
sakramen-sakramen seperti sihir dalam satu cara pandang (obyektif, bukan
subyektif) janganlah mengatakan sakramen-sakramen seperti sihir dalam cara
pandang lainnya. Sihir bersifat impersonal dan otomatis, namun
sakramen-sakramen seperti pemberian. Sakramen berasal dari pemberi (Allah),
bukan penerima (kita), dan sakramen harus diterima secara bebas agar dapat
diperoleh.
Para fundamentalis sering menggunakan argumen-argumen seperti ini: Berdasarkan
doktrin Katolik, jika air yang digunakan dalam pembaptisan tidak mengenai dahi
si bayi, karena kesalahan yang tidak disengaja, maka jika si bayi meninggal ia
menuju ke neraka atau limbo, tidak ke surga; dan jika ada seseorang yang hendak
mengakukan dosa beratnya mengalami kecelakaan lalu-lintas dalam perjalanannya
untuk mengaku dosa, ia akan menuju ke neraka ketimbang api penyucian atau
menuju ke api penyucian ketimbang ke surga; tidakkah itu konyol? (Para
fundamentalis juga biasanya tidak memahami api penyucian; mereka berpikir bahwa
berada di api penyucian bersifat kekal ketimbang sementara.)
Para fundamentalis sudah memiliki prinsip untuk memahami rahmat sakramental
dalam teologi keselamatan mereka. Keselamatan adalah suatu pemberian Allah
(obyektif) sehingga keselamatan harus dapat diterima secara bebas oleh manusia
(subyektif) agar "bekerja."
Di dalam teologi Katolik, "baptisan kerinduan" membawa rahmat yang
sama dengan pembaptisan dengan air, dan kehendak yang tulus untuk mengakukan
dosa di mata Allah dianggap sebagai pengakuan dosa itu sendiri.
Tidak hanya harus ada unsur subyektif dari kerinduan dan pilihan dan kehendak
pada unsur obyektif sakramen dari materi sakramen, namun jika materi obyektif
sakramen tidak ada karena hal-hal yang tidak terhindarkan, kehendak subyektif
saja dapat menyelesaikannya. Para fundamentalis tidak tahu akan hal ini dalam
teologi Katolik. Hal ini terutama disebabkan karena hampir semua fundamentalis
mempercayai sebuah buku saja, buku yang berisi kesalahan informasi yang parah
yang ditulis oleh Lorraine Boettner untuk kritik-kritik anti-Katolik mereka,
ketimbang membaca dokumen-dokumen resmi Katolik.
Kritik kedua ialah bahwa tujuan langsung sakramen-sakramen Katolik bersifat
keluar (eksternal) dan tidak memperhatikan hati dan roh dimana Allah dapat
ditemukan. Para fundamentalis selalu melihat adanya suatu pemisahan, bahkan
suatu kontradiksi, antara sakramentalisme dengan kesalehan pribadi. Bagi mereka,
semakin sakramental suatu agama, semakin tidak saleh pengikutnya; dan semakin
banyak dimiliki suatu kesalehan pribadi dari suatu agama, semakin tidak
sakramental agama tersebut.
Ada beberapa jawaban terhadap kritik ini. Pertama, Allah berkehendak mengadakan
sakramen yang bersifat eksternal agar kita terbebas dari subyektifitas.
Sakramen yang bersifat eksternal membantu devosi karena sakramen membawa kita
keluar dari diri kita sendiri; sakramen membuat kita mempercayai Allah.
Kedua, sakramen-sakramen membantu devosi dengan menjadi penguji iman. Kita
percaya bukan karena apa yang nampak, atau karena bukti, atau pengalaman, atau
perasaan, atau alasan, melainkan karena adanya otoritas ilahi. St. Tomas dari
Akuino menggambarkannya dengan indah dalam hymne mengenai Kristus yang hadir
dalam Ekaristi:
Sight, taste and touch in Thee are each deceived; The ear alone most safely is
believed I believe all the Son of God has spoken; Than Truth's own word there
is no truer token.
Ketiga, sakramen-sakramen yang bersifat eksternal menghilangkan kecenderungan
materialistis kita untuk berpikir mengenai segala sesuatu yang nyata diluar
kesadaran kita sebagai materi, untuk berpikir mengenai roh secara subyektif dan
materi secara obyektif, sehingga membuat Allah menjadi subyektif ketimbang
obyektif. (Jika kamu tahu Descartes, kamu akan melihat betapa modernnya
fundamentalisme itu. Fundamentalisme didasarkan pada dualisme fundamental
modern Descartes: materi atau roh.)
Keberatan
ketiga dari fundamentalis terhadap sakramentalisme Katolik adalah bahwa
sakramen merupakan takhayul pagan. Sakramen terlalu naturalis dan mengijinkan
terlalu banyak kuasa spiritual terhadap materi − sama seperti pagan yang
mengajarkan bahwa pepohonan dihuni oleh roh-roh atau dewa-dewi dan petir disebabkan
oleh dewa-dewi. Para fundamentalis sering menuduh umat Katolik melunakkan
pembedaan antara Sang Pencipta dengan ciptaan dengan cara meninggikan hasil
ciptaan manusia (air, roti, anggur) sehingga memiliki kuasa-kuasa ilahi di
dalam sakramen-sakramen.
Jawaban Katolik adalah bahwa paganisme jelas sudah benar pada intuisi dasarnya
(tentu saja tidak di dalam hal detail-detail berhalanya). Materi jauh melebihi
pemikiran modern (termasuk para fundamentalis). Umat Katolik tidak hanya
memiliki sakramen-sakramen melainkan keutuhan pandangan sakramental dunia.
Itulah sebabnya mereka membangun katedral-katedral.
Menarik untuk diperhatikan ketika para fundamentalis berada di dalam suatu
katedral bernuansa Gothik. Mereka biasanya terlihat tidak nyaman dan merasa
bersalah, karena menurut mereka memperindah suatu materi dan menikmati
keindahan materi begitu dalam adalah dosa. Paling tidak mereka merasa gelisah
dan tidak senang. Mereka heran mengapa mereka tidak membangun
katedral-katedral. Jawabannya adalah karena katedral dibangun bukan untuk
menempatkan umat Katolik melainkan untuk menempatkan Ekaristi.
Jawaban terbaik terhadap kritik-kritik para fundamentalis mengenai
sakramen-sakramen adalah Kristus. Jika materi diangkat sehingga memiliki kuasa
di dalam sakramen-sakramen terlihat tidak mungkin dan tidak menunjukkan sikap
orang beriman, apakah yang diangkat di dalam diri Kristus? Mengapa tidak
mengkritisi doktrin pengakuan iman mengenai Kristus bersifat pagan? Apakah ini
naturalisme, membawa Allah turun kepada manusia dan materi? Apakah terlalu
takhayul, terlalu supernatural suatu sikap mengangkat materi kepada suatu
tingkatan yang lebih tinggi sehingga menjadi benar-benar tubuh Allah yang
berinkarnasi? Apakah terlalu rendah bagi Allah untuk menjadi manusia dan terlalu
tinggi bagi manusia untuk menjadi Allah? Apakah terlalu rendah bagi roh untuk
bersatu di dalam materi dan terlalu tinggi bagi materi untuk bersatu dengan roh
di dalam manusia yang adalah tubuh dan jiwa?
Sesaat sebelum Kristus mengadakan Ekaristi, menurut Injil Yohanes, Ia membasuh
kaki para murid-Nya. Inkarnasi itu sendiri seperti Atlas merendahkan diri untuk
mengangkat seluruh dunia ke surga di atas bahunya. Kematian Kristus dan
pemakamannya adalah contoh terbesar dari perendahan ilahi ini demi mengangkat
umat manusia. Itulah jalan Allah; sakramen-sakramen menunjukkan kerendahan
hati-Nya yang mengagumkan. Merupakan kebanggaan yang tidak diinginkan, bahkan
suatu sifat keangkuhan rohani bagi para fundamentalis untuk beranggapan bahwa
sakraman-sakramen terlalu pagan, terlalu naturalis, terlalu materialis.
Saya ingat sekali betapa sukarnya saya menghilangkan perasaan itu setelah saya
berpindah menjadi Katolik. Pikiran saya telah menerima seluruh doktrin Katolik,
namun sakramentalisme merupakan satu hal yang mana insting Protestan saya
mendapatkan masalah pencernaan yang parah. Pemikiran bahwa roti ini benar-benar
merupakan tubuh Tuhan membuat saya bingung.
Tapi tidak bagi Allah. Ia merendahkan diri-Nya untuk menang. Dan kita harus
merendahkan diri untuk dimenangkan. Orang kudus terbesar seperti seekor bayi
burung yang membuka mulutnya agar ibunya dapat memasukkan makanan. Umat Katolik
diberi makan oleh Bunda Gereja. Para fundamentalis memilih diet.
Berdoa dengan para kudus
Satu cara yang baik untuk memahami keyakinan saya adalah dengan bertanya:
Perbedaan-perbedaan apa yang dihasilkan? Devosi kepada para kudus membuat
paling tidak tujuh perbedaan penting bagi umat Katolik. Dalam tiap kasus, para
fundamentalis menganggap Kekatolikan terlalu mistis bagi mereka.
Pertama, para kudus membuat suatu perbedaan pada doa kita. Kita tidak sendiri
ketika kita berdoa. Kita dikelilingi oleh para kudus. Jika ada suatu pengalaman
yang membawa saya menuju Perahu Petrus, hal ini menyadarkan saya bahwa ketika
saya berdoa, saya tidak sendirian, melainkan bersatu dengan Petrus dan Paulus,
Agustinus dan Tomas dari Akuino dan seluruh malaikat dan para kudus di dalam
Bahtera besar itu.
Tapi para fundamentalis berpikir bahwa umat Katolik berdoa kepada para kudus
sama seperti kita berdoa kepada Allah, padahal kita hanya meminta para kudus
untuk berdoa bagi kita kepada Allah. Jika pemikiran para fundamentalis itu
benar, hal itu tentu saja merupakan penyembahan berhala. Ada suatu
kesalahpahaman besar di sini yang datang dari perubahan makna kata
"berdoa" (pray). Berdoa digunakan dalam arti "memohon"
(request); sekarang berdoa biasanya hanya berarti "menyembah"
(worship).
Satu-satunya alasan yang mungkin bagi para fundamentalis dalam keberatan mereka
terhadap praktek ini (karena mereka juga meminta sesama mereka untuk berdoa
satu sama lain) adalah mereka tahu bahwa para kudus, mereka yang telah
meninggal dan sudah berada di surga, tidak mendengar atau peduli mengenai kita.
Dengan kata lain, mereka secara implisit mengklaim tahu bahwa kematian
memisahkan Gereja di bumi dengan Gereja di surga secara rohani seperti halnya
secara jasmani, sehingga doa-doa tidak dapat "menembus" penghalang
kematian.
Sebabnya adalah mereka tidak memiliki pandangan Katolik mengenai Gereja sebagai
Tubuh Mistik Kristus, Mereka mengakui bahwa Gereja adalah milik Kristus, dan
bahwa Gereja adalah Tubuh-Nya, karena gagasan-gagasan itu secara eksplisit
diajarkan di dalam Kitab Suci. Tetapi mereka menolak bagian "mistik."
Bukan para kudus yang tidak kelihatan yang menjadi masalah – itu akan menjadi
keberatan para materialis. Bukan, para fundamentalis percaya akan sesuatu yang
tidak kelihatan (Allah, jiwa, surga). Doktrin ini tidak hanya mengenai sesuatu
yang tidak kelihatan melainkan mengenai sesuatu yang mistik. Bagi mereka mistik
bermula dari sesuatu yang tidak jelas, berpusat pada diri, dan berakhir pada
kekacauan.
Para kudus membuat suatu perbedaan, yang kedua, terhadap kematian. Kematian
tidak memisahkan kita. Gereja Penziarah (di bumi), Gereja Pejuang (di api penyucian)
dan Gereja Pemenang (di surga) adalah satu Gereja. Lagi, eklesiologi ini
terlalu mistis bagi para fundamentalis. Meskipun Ibrani 12:1 mengatakan bahwa
"kita mempunyai banyak saksi, bagaikan awan yang mengelilingi kita,"
para fundamentalis mengartikannya bukan sebagai para kudus yang hidup di surga
yang mengamati kita, melainkan sebagai para martir yang wafat di bumi di masa
lalu yang "mengelilingi" kita hanya di ingatan kita. (Kata Yunani itu
memiliki arti "martir" dan "saksi.")
Seorang penulis Presbiterian menceritakan kisahnya setelah ayahnya meninggal
ketika ia berumur 12 tahun, ia berdoa bagi ayahnya dan telah menjadi
kebiasaannya sebelum beranjak tidur. Ibunya mendengarnya dan memarahinya:
"Putraku, kamu tidak boleh melakukan itu lagi. Kita bukan umat
Katolik." Ia mengatakan bahwa ia merasa ibunya seperti telah membanting
pintu besi besar tepat di depan wajahnya; karena ia yakin bahwa kematian
jasmani ayahnya tidaklah berarti isolasi spiritual.
Jiwa manusia menjerit melawan kejayaan yang nampak pada kematian; kejayaan
kematian akan keberadaan. Seorang ahli filsafat Katolik dari Perancis, Gabriel
Marcel, menyebut kematian sebagai "ujian keberadaan." Jika keberadaan
adalah jiwa-ke-jiwa dan bukan hanya tubuh-ke-tubuh, maka kematian, yaitu
menghilangnya tubuh, tidak menghilangkan keberadaan.
Para kudus membuat suatu perbedaan, yang ketiga, terhadap kodrat Gereja. Gereja
bukan hanya apa yang dapat kita lihat ("Gereja yang kelihatan"). Juga
bukan hanya "Gereja yang tidak kelihatan" dalam arti jumlah jiwa di
bumi yang ditebus. Gereja adalah suatu organisme spiritual tunggal dengan suatu
kesatuan kosmis keberadaan surga, bumi dan api penyucian. Sekali lagi, ini
adalah kualitas mistik doktrin Katolik yang ditakuti para fundamentalis.
Terlalu mengerikan bagi mereka.
Keempat, para kudus membuat perbedaan terhadap arti komunitas. Memperhitungkan
para kudus di dalam komunitas Gereja kita saat ini berarti memperoleh suatu
pandangan mistik mengenai komunitas, tidak hanya suatu pandangan politis,
psikologis dan sosiologis. Artinya, kita adalah tangan dan kaki sesama kita,
dan "sesama" termasuk mereka yang telah meninggal, sama halnya dengan
mereka yang masih hidup. Keluarga spiritual manusia begitu kuat sama seperti
kebanyakan keluarga ketika kematian membuat hubungan menjadi tidak terlihat dan
ketika kehidupan membuat hubungan itu menjadi terlihat. "Mistik"
disini juga menakuti para fundamentalis.
Kelima, para kudus membuat perbedaan terhadap kepahlawanan. Bangsa kita
(Amerika) adalah masyarakat pertama di dalam sejarah yang tidak memiliki
pahlawan – kecuali kita tetap memiliki para kudus. Para fundamentalis terkadang
dapat menjadi cukup heroik dalam kehidupan pribadi mereka, namun mereka adalah
orang Amerika pada umumnya dengan kecurigaan "penyembahan-pahlawan"
itu terlalu aristokratis, hirarkis, dan mistis. Mereka lebih memilih polos,
menghargai orang yang mereka dapat lihat ketimbang pahlawan-pahlawan yang luar
biasa, superior, dan tidak kelihatan dari masa lalu. (Para fundamentalis juga
cenderung mengabaikan masa lalu karena denominasi-denominasi mereka terlalu
kini.)
Keenam, para kudus membuat perbedaan terhadap pengharapan. Setiap orang dapat
menjadi orang kudus. Ini merupakan tujuan dan karya setiap orang. Kita
dipanggil untuk menjadi kudus. Pengharapan ini adalah sesuatu yang tinggi dan
agung; tapi para fundamentalis, meskipun memiliki pengharapan akan surga,
mereka hanya berharap bagaimana dapat mencapai surga, untuk
"diselamatkan" (dibenarkan). Pengarapan Katolik juga termasuk
pengharapan untuk disempurnakan (dikuduskan).
Yang terakhir, para kudus membuat perbedaan terhadap arti. Mereka memberikan
kita arti kehidupan, tujuan keberadaan kita, yaitu pengudusan. Bagi para
fundamentalis, Yesus disebut "Penyelamat" karena Ia menyelamatkan
kita dari neraka, yaitu dari hukuman dosa. Bagi umat Katolik, Ia disebut
"Penyelamat" karena "Ia akan menyelamatkan umat-Nya dari
dosa-dosa mereka."
Sekarang, selain pada satu masalah "berdoa kepada" para kudus,
kebanyakan perbedaan diantara kita adalah masalah penekanan atau perasaan
ketimbang doktrin. Tetapi ketika berbicara mengenai Maria, orang kudus
terbesar, doktrin memisahkan dengan tajam. Para fundamentalis menyebut
Mariologi sebagai Mariolatry (Penyembahan Maria). Bagian ini paling sering
diperdebatkan.
Namun disini juga ada perbedaan dalam perasaan dibalik perdebatan itu. Para
fundamentalis akan menjadi lebih terbuka terhadap doktrin-doktrin Maria (Maria
Dikandung Tanpa Dosa dan Maria Diangkat ke Surga) jika mereka mengerti motif
dibalik devosi kepada Maria.
Apa yang memotivasi devosi Katolik kepada Maria adalah sesuatu yang bahkan
lebih dari keistimewaan jasmani Maria sebagai Bunda Allah, yaitu ketaatannya
yang mengagumkan. Itu adalah keunggulan spiritualnya, modelnya yang sempurna
bagi kekudusan. Kita dapat membedakan tujuh aspek terkait dengan kekudusan
Maria dan membandingkannya dengan penekanan fundamentalisme yang berlawanan.
Pertama, Maria tersembunyi, hampir tidak kelihatan. Ia "menyimpan segala
perkara itu di dalam hatinya dan merenungkannya." Sama seperti Yohanes
Pembaptis, Maria ada sebelum Kristus. (Itulah sebabnya Kristus menyebut Yohanes
Pembaptis nabi terbesar (Mat 11:11) karena misinya adalah "Ia harus makin
besar, tetapi aku harus makin kecil." (Yoh 3:30). Maria disebut terbesar
karena ia adalah yang terkecil. Para fundamentalis memiliki keberatan mengenai
Maria yang memiliki peran dalam misi Kristus. Kenyataannya jelas adalah
kebalikannya. Maria seperti udara pagi hari bagi matahari yang terbit (the
rising sun); the Rising Son (Sang Putra yang Bangkit)!
Kedua, Maria adalah sosok yang rendah hati, sederhana (modest), tersembunyi,
hampir Oriental dibandingkan dengan ketidaksopanan dan keagresifan orang
Amerika dari kebanyakan fundamentalis.
Ketiga, Maria pendiam. Para fundamentalis berbicara banyak. Agama mereka
berpusat pada kata-kata di suatu buku, bukan misteri-misteri sakramental di
dalam suatu Gereja. "Allah ada di sorga dan engkau di bumi; oleh sebab
itu, biarlah perkataanmu sedikit." (Pengkhotbah 5:2) Ini juga merupakan
sikap Yesus; pernahkah kamu memperhatikan betapa pendeknya doa-doa dan
khotbah-Nya? Para fundamentalis berkhotbah berjam-jam. Maria tahu lebih banyak
mengenai cinta daripada kotbah yang panjang itu. Cinta mencari keheningan.
Maria pasti telah membaca Pengkhotbah; sebagai contoh adalah permohonanya
kepada Kristus di Kana sederhana, "Mereka kehabisan anggur." Dan
perintahnya kepada pelayan-pelayan (dan kepada kita) juga sederhana, "Apa
yang dikatakan kepadamu, buatlah itu!" (Yoh 2:3,5).
Keempat, Maria bersifat kewanitaan, sosok model wanita "Terpujilah engkau
diantara wanita" (Blessed art thou among women; Luk 1:28). Seperti
Kristus, ia adalah anggur baru; ia melebihi kategori dan perkiraan-perkiraan
kita.
Kelima, Maria memiliki sikap sukarela. Fiat-nya ("Jadilah padaku menurut
perkataanmu itu." (Luk 1:38)) adalah rahasia sederhana yang terbesar dari
seluruh kekudusan: hasrat untuk mengatakan "ya" kepada kehendak
kekasih ilahinya. Para fundamentalis tidak lebih baik dan tidak lebih buruk
dalam hal ini ketimbang orang-orang Kristen lainnya. Para kudus, dari
definisinya, lebih baik dalam hal ini; dalam hal kekudusan.
Keenam, Maria itu sederhana, simple. Tidak ada yang lebih, tidak ada yang
ditambahkan pada hal sederhana ini: kemurnian (kesetiaan) hati. Lebih akan
menguranginya. Para fundamentalis jarang menunjukkan kesederhanaan ini. (Untuk
masalah ini, kebanyakan umat Katolik juga.)
Ketujuh, Maria itu heroik. Ia layak mendapatkan "hyperdulia,"
penghormatan tertinggi bagi manusia. Para fundamentalis berpikir kita
memberikannya latria, pemujaan yang hanya layak diberikan bagi Allah saja.
Mereka bahkan biasanya tidak memberikan dulia kepada Maria, penghormatan
terhadap orang yang memiliki kekudusan yang baik. (Seperti yang telah ditulis
sebelumnya, mereka cenderung curiga terhadap superioritas; sangat asing bagi
orang Amerika.)
Pengaruh Maria dan para kudus terhadap karakter dan devosi kita bahkan lebih
penting ketimbang pengaruh mereka pada keyakinan kita. Tanpa para kudus, devosi
kita akan membosankan dan tidak heroik (seperti fundamentalisme). Tanpa Maria,
kekudusan kita akan menjadi sisi maskulin saja, laki-laki secara rohani.Maria
menggambarkan anima kita, fungsi feminim jiwa kita. Para fundamentalis
cenderung menjadi maskulin berlebihan secara rohani; verbal, agersif, jelas,
non-mistik.
Pengaruh lain yang diberikan Maria pada devosi kita adalah bahwa melalui Maria,
materi dikuduskan. Allah memasuki materi melalui seorang ibu! Para
fundamentalis percaya ini tetapi tidak merasakannya. Spiritualitas mereka
menekankan ke dalam, hal yang subyektif. Mereka cenderung mengabaikan materi
dan berkonsentrasi pada roh.
Fundamentalisme harus memahami istilah-istilah dengan kepenuhan Inkarnasi dan
sakramentalisasi materi serta Maria jika mereka berharap untuk mengerti
Kekatolikan – dan itu adalah langkah besar bagi mereka untuk diambil.
Tetapi banyak yang telah mengambil langkah itu. Banyak orang yang berpindah
menjadi Katolik datang dari fundamentalisme. Bagi para fundamentalis sering
merasa ada suatu kekosongan sakramental dalam agama mereka. Akhir-akhir ini
telah ada banyak perpindahan dari Kekatolikan menuju Fundamentalisme untuk
alasan yang sama: Banyak umat Katolik merasa ada kekosongan rohani karena
banyak imam Katolik dan para pengajar merampas dari umatnya, doktrin dan
moralitas yang jelas dan kuat dengan alasan "semangat Vatikan II."
Di kedua kasus, kebutuhan hati perlu diisi. Hanya kepenuhan iman Katolik yang
dapat melakukannya. Modernisme, Katolik atau non-Katolik, tidak dapat
melakukannya; fundamentalisme pun tidak.
Selesai______________Kreeft, Peter. "Fundamentalists." National
Catholic Register. (Oktober, 1988).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar