1864 "Therefore
I tell you, every sin and blasphemy will be forgiven men, but the blasphemy
against the Spirit will not be forgiven." (Mt 12:31; cf. Mk 3:29; Lk
12:10.) There are no limits to the mercy of God, but anyone who
deliberately refuses to accept his mercy by repenting, rejects the
forgiveness of his sins and the salvation offered by the Holy Spirit. (Cf.
John Paul II, DeV 46.). Such hardness of heart can lead to final
impenitence and eternal loss. |
Ioannes Paulus PP.
II Dominum
et vivificantem
|
Bunuh diri termasuk dosa
besar.
Dosa menghujat Roh Kudus adalah
ketidakbertobatan sampai akhir.
Orang yang bunuh diri bukan tidak mungkin
bertobat sebelum dia mati. Bisa saja dia bertobat saat sekarat (ie. mendapat
perfect contrition) atau biasa saja bunuh dirinya gagal sehingga dia hidup dan
bisa bertobat. Jadi tidak bisa dikatakan bahwa bunuh diri adalah
ketidakbertobatan sampai akhir.
Kalau dia tidak sempat bertobat, tentu saja
dia pasti masuk neraka.
Tentu patut diingat bahwa sesuatu itu dosa berat
tidak hanya karena materinya yang berat [grave] (bunuh diri adalah
materi berat), tapi juga ada dua syarat yang harus dipenuhi, yaitu dilakukan
dengan pengetahuan penuh dan kerelaan penuh (baca topik "dosa
berat dan dosa ringan"). Jadi
kalau orang gila bunuh diri, maka bisa jadi dia tidak berdosa berat.
Namun secara umum, orang yang bunuh diri pasti
melakukan dosa berat dan pasti masuk neraka.
Menjalani hidup sebagai korban selama hidupnya di dunia ini, dan
jiwanya masih harus ke api abadi? |
Coba balik bertanya pada diri sendiri, "apakah karena aku sudah menderita
seumur hidupku maka itu memberiku hak untuk masuk surga? Apakah itu memberiku
hak untuk tidak masuk neraka?"
Topik "menhadapi
orang agnostik??"
ini mungkin relevan.
Mengenai interaksi Charity dan shmily,
Baca Catholic
Encyclopedia: Suicide
Gereja mestinya, as far as I know, masih tidak memperkenankan orang yang mati
karena bunuh diri untuk dimakamkan secara Katolik. Ini adalah sikap yang
bijaksana mengingat kejahatan dari bunuh diri itu sendiri.
Tentu ini tidak berarti bahwa orang seperti ini pasti masuk neraka (begitu pula
orang yang mati dalam kondisi ter-anathema atau ter-ekskomunikasi, tidak selalu
berarti bahwa mereka pasti masuk neraka).
agak jauh melenceng, tapi ada sedikit point yg menurut saya
masih agak sedikit berhubungan dgn topik ini. |
Kalau melihat Injil maka yang dilakukan Yesus, sesuai dengan pengkategorian
di Catholic
Encyclopedia: Suicide adalah
jenis "negative indirect suicide."
Namun pemahaman negative indirect suicide ini harus benar-benar dipahami. Ini
adalah sebuah pengkategorian tindakan yang berbeda dari pemahaman akan bunuh
diri yang umum.
Pemahaman umum "bunuh diri" adalah jenis "positive direct,"
dan Yesus tidak melakukan yang ini.
But, to be clear Yesus tidak membunuh diriNya sendiri. Yang membunuh diriNya
adalah orang lain. Dia membiarkan orang lain itu melakukan tindakan jahat
tersebut (dimana para orang lain ini sebenarnya diberi rahmat yang cukup
[sebagaimana semua umat manusia] untuk tidak melakukan perbuatan jahat).
Summa
Theologica: Whether Christ was slain by another or by Himself?
Kemudian, |
Seperti berbohong dan kontrasepsi, bunuh diri selalu merupakan dosa berat (Summa
Theologica, part II of book II, Question 64, article 5). Karena itu bunuh diri tidak pernah
dibolehkan atas alasan apapun.
Jadi kalau orang berpikir, "aku akan bunuh diriku supaya si X, Y, Z bisa
selamat." maka dia berdosa karena menggunakan bunuh diri sebagai cara
(means) untuk menyelamatkan seseorang. Tidak pernah boleh menggunakan cara
(means) yang salah untuk tujuan akhir yang mulia (Katekismus 1753).
Tapi kalau orang itu berpikir, "aku akan menjadikan tubuhku perisai supaya
ledakan granat tidak mengenainya, meskipun aku bisa mati," lalu kemudian
dia mati, maka orang ini mungkin tidak berdosa berat [dan juga mungkin berdosa
berat].
Beda keduanya adalah, yang pertama menjadikan bunuh diri sebagai cara untuk
mendapatkan tujuan akhir. Sementara yang kedua tidak. Menjadikan tubuh sebagai
perisai ≠ bunuh diri (toh bisa saja dia tidak mati).
Lalu kembali ke tiga pendaki gunung itu.
Kalau salah satu berpikir, "aku akan bunuh diri supaya yang lain bisa
selamat," maka orang ini telah berdosa besar dan pasti masuk neraka.
Disini dia menggunakan cara yang dosa untuk mendapatkan hasil yang mulia. Itu
salah.
Namun kalau salah satu berpikir, "aku akan potong tali ini supaya yang
lain bisa hidup" maka dia tidak berdosa. Karena cara yang dilakukan untuk
mencapai tujuan mulia (keselamatan kawannya) bukanlah bunuh diri, tapi memotong
talinya. Toh tindakan itu tidak selalu berakhir pada kematian. Apalagi kalau
orang yang memotong tali ini sempat berdoa kepada Allah supaya menjaga jiwanya.
Tidak hanya dia tidak berdosa, tapi dia telah melakukan kebajikan yang patut
diberi ganjaran di surga.
Harap kalian hati-hati dalam melihat perbedaannya.
Entah dia Islam, Katolik atau pagan, dia punya hati nurani yang
seharusnya memberinya pengetahuan kebenaran kodrati dan rasa bersalah. Dalam
hati nurani setiap manusia, entah apapun agamanya, Roh Kudus telah memberikan
hukum-hukumNya. Tapi karena penghujatannya pada Roh Kudus, hati nuraninya
tidak lagi terinspirasi oleh kehadiran Roh Kudus dan hukum-hukumNya.
Akibatnya fatal, rasa penyesalannya atas perbuatan dosa hilang. |
Ajaran Gereja dengan tingkat De Fide (yang berarti tidak bisa salah)
mengajarkan bahwa sebatas kemampuan naturalnya saja (ie. tanpa rahmat) manusia
tidak mampu tahu semua kebenaran moral yang ada dalam tatanan kodrati [ex.
hukum natural yang ada dalam hati tiap manusia, Rom 2:15] (apalagi kebenaran
supernatural seperti iman yang berada dalam tatanan adikodrati). Ini ada di
Fundamentals of Catholic Dogma-nya Ludwig Ott. Sayangnya mata masih berat
sehingga aku tidak mengecheck lagi untuk menulis dasar-dasar Kitab Suci dan
Tradisinya.
Jadi saya tetap berpendapat bahwa ini adalah contoh yang tepat
bagaimana penghujatan pada Roh Kudus (entah bagaimana dia melakukannya) telah
membuat manusia tidak lagi menyesali suatu perbuatan dosa. Dan dosa semacam
itu tak terampuni sampai kekal. |
Tidak diketahuinya apakah orang ini err in good faith atau memang obstinate in
error membuat tidak bisanya disimpulkan bahwa dia menghujat Roh Kudus. Karena
itu contohnya tidak tepat.
Hanya karena ajaran Islam (menurut tafsiran Imam Samudra)
membenarkannya bukan berarti kejahatan yang dilakukannya bukan suatu dosa.
Sama seperti ajaran Islam yang membenarkan adanya aborsi untuk kasus tertentu
(seperti perkosaan) bagi janin berusia di bawah 40 hari sama sekali tidak
berarti bahwa mereka yang melakukannya tidak berdosa. |
Masalahnya sebenarnya bukanlah apakah yang dia lakukan itu dosa atau tidak.
Tapi apakah dosa yang dia lakukan itu adalah dosa menghujat Roh Kudus.
Tidak semua dosa berat yang mengakibatkan hukuman neraka adalah dosa menghujat
Roh Kudus.
Selain itu tidak ada penjelasan spesifik seperti apa contoh
penghujatan terhadap Roh Kudus itu. Oleh karenanya kita hanya bisa melihat
dari buahnya: tidak adanya rasa penyesalah atas kejahatan yang dilakukannya
(dalam kasus Imam Samudra yang begitu membenci 'orang kafir' dan 'agama
kafir') adalah contoh terbaik dari akibat yang muncul atas penghujatan
terhadap Roh Kudus. |
Dia tidak menyesal karena dia tidak merasa itu dosa. Dia merasa bahwa dia
melakukan apa yang diperintahkan Allahnya.
Orang yang berdosa terhadap Roh Kudus tahu kalau dia berdosa, tapi tidak
bertobat.
Note: aku edit secara substansial replyku
kepada nowoahmad2 di halaman 2 tentang
apakah Yesus melakukan bunuh diri.
Disini saya cuma mau menegaskan bahwa dalam hati nurani setiap
manusia, apapun orientasi kepercayaannya, ada hukum-hukum kodrati yang
membuatnya tahu dan seharusnya merasa bersalah atas suatu kejahatan yang
dilakukannya. Meski ini kadarnya tentu berbeda-beda untuk setiap orang. |
Hukum kodrati itu tidak mampu membuat orang beriman, dimana iman adalah
pengetahuan akan Allah yang benar plus segala yang diwahyukanNya (what the
Church teaches). Rahmat mutlak perlu.
Janganlah dalam rangka menunjukkan betapa bobroknya Islam lalu berpaling kepada
ajaran semi-pelagianisme/pelagianisme. Islam sendiri sangat Pelagian.
Dari mana anda tahu kalau di dalam lubuk hatinya yang terdalam
Imam Samudra tidak tahu dirinya 'berdosa'? |
Dan kamu tahu? Apakah kamu berangkat dari asumsi Pelagian diatas lalu
menyimpulkan bahwa Imam samudra tahu?
And that is why contoh Imam samudra tidak tepat.
Menurutku sih, melihat apa yang dikatakan dan dilakukan dia,
pembenaran-pembenarannya atas tindakannya, dia tidak tahu. Orang yang sangat
miitan biasanya begitu terbutakan oleh kekeliruannya sehinga dia tidak tahu itu
keliru. Ini adalah pendapatku yang fallible.
Tapi apa yang terjadi pada Imam Samudra sungguh berbeda, dia
sungguh-sungguh dengan kesadaran penuh menutup kemungkinan untuk menyesal dan
bertobat. Saya kira kesadaran yang begitu teguh dan radikal semacam ini
merupakan buah dari penghujatan terhadap Roh Kudus (entah bagaimana dia
melakukannya). |
Tapi ada juga kemungkinan lain bahwa kejadian hukuman mati belum menimpa
dirinya sehingga ia masih berani bilang begitu.
Akan lain situasinya bila hukuman mati sudah di-exec, dan pada detik-detik
terakhir hidupnya, rahmat Tuhan datang lalu membuat dia tiba-tiba berbisik,
"Tuhan Yesus ampunilah aku..." lalu Dor ! Dor !
Kesadaran yang radikal untuk menolak segala bentuk penyesalan
inilah yang saya lihat sebagai contoh dari buah yang muncul akibat
penghujatan terhadap Roh Kudus. |
Ya, pada saat ia masih hidup.
Akan lain situasinya bila hidup seseorang akan berakhir dalam beberapa detik
lagi.
Kalau kamu terus berada dalam ketidakbertobatan itu,
maka pastilah, 100%, abosulut, tidak dapat ditawar lagi, kamu akan
masuk neraka dengan segala siksanya disana untuk selama-lamanya.
Itulah pilihanmu yang "mengklaim punya sebuah 'hak' untuk tetap berada dalam
kejahatan" sehingga atas pilihan itu kamu "menutup dirinya dalam dosa, sehingga tidak memungkinkan
bagi pertobatannya."
Oh, dan mungkin untuk menenangkan dirimu
sendiri kamu akan mencoba berkonsultasi dengan Romo modernist yang menganggap
bahwa konmtrasepsi itu bukan dosa (di luar negeri banyak, di Indonesia juga
pasti banyak sekali). si Romo modernist dengan mentalitas "Allah=kasih
sehingga semuanya ok-ok saja pokoknya kasih" akan menenangkan kamu dan
menentramkan kekhawatiranmu.
Well, Romo seperti itu adalah seorang gembala
buta yang menuntun orang yang buta. Dia dan orang yang dituntunnya akan masuk
ke jurang api abadi (Mat 15:14):
CASTI CONNUBII (On Christian Marriage) |
Member rudi_a, kamu berjalan di tempat.
Postinganmu yang terakhir hanyalah me-recylce
hal-hal sebelumnya.
Aku sudah mempresentasikan secara sederhana
dan gamblang apa yang menjadi akar permasalahanmu. Aku akan ulangi.
1. Tidak mampu
melakukan perintah Allah dengan alasan "susah." |
Now, bukannya kamu menghadapinya dan
mengkonfrontasi dirimu dengan masalah ini kamu malahan mengulang lagi dengan
contoh-contoh yang sama ("tuing-tuing" itu hanyalah recycle dari
point 2).
Dan yang amat sangat mengganggu adalah kamu
malahan terus ngobrol mengenai segala pemikiranmu yang decadence.
Forum ini tidak akan menjadi tempat bagi syiar cara
pikirmu itu.
You have a problem [tho you think you don't],
deal with it.
Selanjutnya kamu dilarang melakukan syiar tersebut.
Post yang seperti itu akan dihapus.
Post-mu yang berikutnya sebaiknya berisi a
real progress mengatasi masalahmu.
PS
Salah satu dari banyaknya individu-individu
aneh yang muncul di internet adalah individu yang mendapatkan kenikmatan dari
melakukan syiar pemikirannya (whether pemikiran itu adalah
real, atau hasil imajinasinya).
Moderator ekaristi.org cukup berpengalaman
terhadap individu-individu aneh di internet dan akan mengambil langkah
sepatutnya.
api selama dia tidak menutup sama sekali kemungkinan pertobatan
maka ini belum sampai pada taraf menghujat Roh Kudus. Untuk orang tersebut
Roh Kudus masih memberi kesempatan untuk mencurahkan rahmat pertobatan pada
waktu yang tepat, jadi bukannya tak terampuni. |
Orang-orang seperti diatas berharap Allah akan memaklumi
"keterpaksaan" mereka sambil mereka terus melakukan per buatan itu.
Ketika seseorang tahu perbuatannya dosa tapi tidak punya niat untuk tidak
melakukannya dan memang tetap dia lakukan (bukannya punya niat tapi gagal
sehingga perbuatan itu terlakukan lagi dan lagi), maka dia menghujat Roh
Kudus.
Jadi berdasarkan Catholic Encyclopedia, berarti Yesus melakukan
bunuh diri dong ? (yaitu dgn cara: negative indirect suicide) |
Ya. Menurut definisinya CE, bukan menurut pemahaman umum.
Yang membunuh Yesus adalah orang lain.
Berarti Yesus melakukan dosa (dosa berat) dong, karena telah
melakukan bunuh diri ? |
Tidak. Karena definisi CE atas bunuh diri lebih luas dari definisi umum bunuh
diri yang sempit dimana dalam definisi itu CE sendiri mengakui bahwa itu bukan
dosa.
Jadi meskipun Yesus tidak melakukan bunuh diri secara aktif
(positif direct), tapi Yesus tetap dinyatakan melakukan bunuh diri, karena
tindakan Yesus yang membiarkan diri tidak melakukan usaha utk terhindar dari
kematian, menurut Catholic Encyclopedia, tetap tergolong bunuh
diri (yaitu:by omitting to do what is necessary to escape death
(negative indirect suicide)). |
Tentunya yang dilakukan Yesus sama dengan yang dilakukan para polisi, pemadam
kebakaran, pekerja tambang, misionaris (or pendakwah bagi Islam) di daerah
barbar, dokter di karantina orang berpenyakit menular etc etc.
Kalau Yesus mau dimasukkan kedalam suatu definisi bunuh diri sebagaimana di CE,
maka orang-orang itu juga. Apakah mereka melakukan dosa berat? No.
Masalahnya adalah pendefinisian CE yang terlalu luas.
Yesus memang tidak melakukan jenis "positive direct
suicide'', tapi Dia (Yesus) tetap telah melakukan bunuh diri, karena melakukan
negative indirect suicide (by omitting to do what is necessary to escape
death), yg juga tergolong dalam definisi/kriteria Suicide (bunuh diri)
menurut Catholic Encyclopedia, ya kan ? |
Katakan saja bahwa Yesus "bunuh diri" dalam arti seorang polisi,
pemadam kebakaran, dokter, pendakwah etc juga bunuh diri.
Masalahnya di definisinya.
Jangan terlalu dipikirkan.
alu Mengapa Katolik (Paus Benediktus XVI) melarang segala bentuk
Euthanasia ? |
Aku yakin sekali bahwa presepsimu tentang "segala bentuk Euthanasia"
berbeda dengan presepsi Paus Benediktus XVI.
Tentang tidak meneruskan pengobatan dengan alasan mahalnya obat atau
efektifitas tindakan medis meragukan itu sudah dibahas di Katekismus Gereja
Katolik
2278 Menghentikan tindakan medis yang
luarbiasa atau yang mahal dan berbahaya yang tidak setimpal dengan hasil yang
diharapkan, dapat dibenarkan. Dengan itu orang tidak ingin
menyebabkan kematian, tetapi hanya menerimanya karena tidak dapat
menghindarinya. Keputusan harus dilakukan oleh pasien sendiri, kalau ia dapat
dan mampu untuk itu, atau kalau tidak, oleh orang yang diberi kuasa secara
hukum, di mana selalu dihormati keinginan wajar dan kepentingan benar dari
pasien.
2279 Meskipun nyatanya kematian sudah dekat, perawatan yang biasanya diberikan
kepada orang sakit, tidak boleh dihentikan. Memakai cara untuk mengurangkan
rasa sakit, untuk meringankan penderitaan orang yang sakit payah, malahan
dengan bahaya memperpendek kehidupan secara moral dapat dipandang sesuai dengan
martabat manusia, kalau kematian tidak dikehendaki sebagai tujuan atau sebagai
sarana, tetapi hanya diterima dan ditolerir sebagai sesuatu yang tidak dapat
dihindarkan.Perawatan orang yang menghadapi ajalnya adalah satu bentuk cinta
kasih tanpa pamrih yang patut dicontoh. Karena alasan ini, maka perawatan itu
harus digalakkan.
Jadi posisi Katolik adalah seperti itu
|
Ya kalau dia terus begitu sampai mati.
Haydock penjelasannya sbb :
Ver. 2. Thy sins are forgiven thee. We do not find that the
sick man asked this; but it was the much greater benefit, and which every one
ought to prefer before the health of the body. Wi. — He says this, because he wished
to declare the cause of the disease, and to remove it, before he removed the
disease itself. He might also desire to shew the paralytic, what he ought to
have prayed for in the first place. M. — The sick man begs for corporal health,
but Christ first restores to him the health of his soul, for two reasons: 1st.
That be might insinuate to the beholders, that the principal intent of his
coming into the world was to cure the evils of the soul, and to let them know
that the spiritual cure ought most to be desired and petitioned for. Corporal
infirmities, as we learn in many places of the sacred text, are only the
consequences of the sins of the patient. In S. John (ch. iii.), Christ bids the
man whom he had healed, to sin no more, lest something worse should befall him;
and S. Paul says, that many of the Corinthians were afflicted with various
diseases, and with death, on account of their unworthily receiving the body of
the Lord. A second reason why Christ forgave the sick man his sins, was, that
he might take occasion from the murmurs of the Pharisees, to speak more plainly
of his power and divinity, which he proved not only by restoring the man
instantaneously to health, but by another miracle equally great and conclusive,
which consisted in seeing the thoughts they had never expressed; for the
evangelist observes, that they murmured in their hearts. He afterwards cures
the sick man to shew, says he, that the Son of man has power to forgive sins.
Jansen. — We may here observe likewise, that when Christ
afterwards gave his apostles their mission, and empowered them to preach to the
whole world, he communicates this same power to them, and seems to refer to the
miracles which he had wrought, to prove that he himself had the power which he
gave to them. All power, says he, is given to me in heaven and on earth. As the
Father sent me, so I send you. . . . Whose sins you shall forgive, they are
forgiven. A. — Seeing their faith. It does not follow from hence, as Calvin
would have it, that faith alone will save us. For S. Chrysos. says, "Faith
indeed is a great and salutary thing, and without it there is no gaining
salvation." But this will not of itself suffice without good works; for S.
Paul admonishes us, who have made ourselves deserving a participation of the
mysteries of Christ, thus, (Heb. c. iv.) "Let us hasten, therefore, to enter
into that rest." He tells us to hasten, that is, faith alone will not
suffice, but we must also strive all our life by good works to render ourselves
worthy to enter the kingdom of heaven: for if those Israelites, who murmured
and would not bear the calamities of the desert, were not, on that account,
permitted to enter the land of promise, how can we think ourselves worthy of
the kingdom of heaven, (figured by the land of promise) if we will not in this world
undergo the labours of good works. S. Chrysos. — From hence S. Ambrose
concludes, that our Saviour is moved to grant our petitions through the
invocation of saints, as he even forgave this man his sins through the faith of
those that brought him. Of how much greater efficacy then will not the prayers
of the saints be?
Barardius. — Christ does not always require faith in the
sick who desire to be cured, but seems to have dispensed with it on many
occasions; for example, in the cases of those he cured possessed by the devil.
S. Chrys. — Son, &c. O the wonderful humility of the God-man! Jesus looks
with complacence on this miserable wretch, whom the Jewish priests disdain to
look upon, and in the midst of all his miseries calls him his son. S. Tho.
Aquin. —
They had read what Isaias had said: I am, I am he who
destroyeth thy sins: ego sum, ego sum ipse, qui deleo iniquitates tuas, xliii.
25.: but they had not read, or, at least they had not understood what the same
prophet says,
liii. 6. The Lord hath heaped upon him the iniquity of us
all: posuit Dominus in eo iniquitatem omnium nostrum. Nor had they remembered
the testimony of the Baptist: behold the Lamb of God, behold him who taketh
away the sins of the world. John i. 29. Mald.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar