SEPUTAR PERSOALAN DALAM APOLOGETIKA KATOLIK
Jawaban yang meyakinkan, itulah
maksud segala sesuatu tentang apologetika. Masalahnya, untuk dapat meyakinkan
orang lain, pertama kita harus meyakinkan diri sendiri dulu. Satu-satunya cara
untuk itu hanyalah belajar. Tidak bisa kita mengandaikan bahwa kita sudah
mengerti segala sesuatu tentang iman kita. Tindakan iman untuk percaya kepada
Kristus perlu disempurnakan dengan mendalami isi iman Gereja, orang yang satu
lebih daripada orang yang lain. Hanya dengan itulah seorang bisa sampai pada
kebajikan iman yang sejati.
Saya pernah merasa bahwa
mempelajari isi iman Gereja itu tidak terlalu diperlukan. Akan tetapi, suatu
ketika saya kaget sekali ketika membaca sebuah buku bahwa Gereja Katolik tidak
pernah mengajarkan bahwa kodrat manusia itu rusak akibat dosa asal. Ketika saya
periksa dalam Katekismus Gereja Katolik, hal itu ternyata benar. Dalam
Katekismus Gereja Katolik artikel 405, Gereja menegaskan bahwa kodrat manusiawi
tidak rusak sama sekali akibat dosa asal. Setelah coba mencari tahu apa maksud
pernyataan tersebut, saya semakin gelisah ketika menyadari betapa serius
pernyataan ini. Paham Gereja tentang kodrat manusia ini memiliki kaitan erat
dengan doktrin tentang Inkarnasi dan penebusan.
Minat saya atas apologetika
semakin besar saat saya membaca buku-buku tentang pertobatan intelektual.
Ternyata secara historis banyak orang yang akhirnya percaya kepada Kristus
hanya setelah melalui pergumulan intelektual. Mereka bersaksi bahwa mereka mau
dibaptis setelah diyakinkan. Memang, saya tetap percaya bahwa rahmat Allahlah
yang bekerja di balik itu. Akan tetapi, tidak bisa disangkal bahwa Tuhan Allah
sering juga memakai orang-orang tertentu untuk mewartakan kebenaran-kebenaran
secara meyakinkan. Setiap pertanggungjawaban iman yang meyakinkan dengan
sendirinya ialah pewartaan juga.
Apa itu apologetika? Secara
sederhana apologetika berarti mengetahui alasan rasional atas keyakinan
tertentu. Dasar dari apologetika Katolik ialah 1 Ptr 3:15b-16:
“… siap sedialah pada segala waktu untuk memberi pertanggungan
jawab kepada tiap-tiap orang yang meminta pertanggungan jawab dari kamu tentang
pengharapan yang ada padamu, tetapi haruslah dengan lemah lembut dan hormat,
dan dengan hati nurani yang murni, supaya mereka, yang memfitnah kamu karena
hidupmu yang saleh dalam Kristus, menjadi malu karena fitnahan mereka itu.”
Salah satu metode yang
ditawarkan dari abad ke abad untuk berapologet ialah dengan mempelajari
keberatan-keberatan (antitesis) pihak lain terhadap keyakinan kita. St. Thomas
dari Aquinas memakai metode ini untuk seluruh karya Summa Theologica-nya yang
fenomenal. Setelah mengetahui antitesis, Thomas memberikan tanggapannya, sering
dengan mengutip teks-teks yang berwibawa, entah itu dari Kitab Suci, dokumen Konsili,
ataupun pandangan tokoh-tokoh besar yang pernah ada.
Metode St. Thomas adalah suatu
metode yang baik. Namun, saya memlih untuk tidak mengikuti metode tersebut
secara ketat dalam pekerjaan kali ini. Saya lebih suka memberikan uraian yang
membutuhkan perhatian lebih dari pembacaan, tetapi sekaligus lebih ringan.
Pertanyaan-pertanyaan di bawah
ini amat tidak lengkap. Memang bukan maksud saya untuk membuat suatu buku
pegangan apologetika. Cukuplah bila pertanyaan-pertanyaan di bawah ini bisa
menjadi sarana untuk belajar berapologetika.
1. Mengapa Gereja Katolik Menghormati Maria?
Maria sebagai ibu Tuhan Yesus
Kristus mempunyai peranan yang penting dalam rencana keselamatan Allah. Dia
adalah wanita yang telah dipersiapkan sejak awal untuk melahirkan Juru Selamat
dunia, seperti yang dinubuatkan oleh nabi Yesaya: “Lihatlah, seorang perawan
akan mengandung seorang anak, dan akan melahirkan seorang putera, dan ia akan
menamakan Dia Imanuel.” (Yes 7:14, bdk. Mat 1:23). Sehingga di dalam Gereja
sudah sejak awal berkembang devosi kepada Maria. Devosi kepada Maria telah
memperkaya kehidupan rohani dalam Gereja Katolik. Namun kadang-kadang dapat
dijumpai dalam sebagian kecil umat Katolik yang melakukan devosi kepada Maria
secara berlebih-lebihan. Devosi yang berlebihan justru mengurangi dan
mengaburkan ajaran iman Gereja Katolik tentang Maria dan menimbulkan
tuduhan-tuduhan keliru dari pihak Protestan. Mereka menganggap orang Katolik
menyembah Maria dan tentunya hal ini tidak benar, karena Gereja Katoliktidak
menyembah Maria,melainkan Gereja Katolikmenghormati Maria:
“Tepatlah bahwa ia dihormati
oleh Gereja dengan kebaktian istimewa. Memang sejak zaman kuno santa Perawan
dihormati dengan gelar ‘Bunda Allah’; dan dalam segala bahaya dan kebutuhan
mereka umat beriman sambil berdoa mencari perlindungannya . . . Kebaktian Umat
Allah terhadap Maria . . . meskipun bersifat istimewa, namun secara hakiki
berbeda dengan bakti sembah sujud, yang dipersembahkan kepada Sabda yang
menjelma seperti juga kepada Bapa dan Roh Kudus, lagi pula sangat
mendukungnya.” (Lumen Gentium, 66).
Kutipan di atas menegaskan
bahwa Gereja Katolik tidak pernah mengajarkan umatnya menyembah Maria, tetapi
Gereja mengajarkan agar umatnya menghormati Maria.
Ajaran Gereja Katolik tentang
Maria berasal dari tradisi umat Kristen sejak awal, bukti tertua yang ditemukan
bahwa sejak semula umat Kristen awali sudah menghormati Maria, terdapat pada
tembok-tembok katakombe, yaitu tempat kediaman dan kuburan Kristen di bawah
tanah. Pada katakombe St Priscilla di Roma ditemukan lukisan Bunda Maria dengan
Yesus, Puteranya, dan berdasarkan penelitian ilmiah, diperkirakan lukisan ini
berasal dari tahun 100 dan 200 M. Di samping itu dalam tulisan-tulisan apokrif
dan ajaran-ajaran banyak tokoh Gereja tentang Maria menunjukkan penghormatan
kepada Maria sejak awal, misalnya dalam doa Ekaristi yang disusun St. Hipolitus
dari Roma (170-235 M) nama Maria sudah disebut. Ini menunjukkan bahwa
penghormatan kepada Maria dalam Gereja Katolik berasal dari tradisi umat
Kristen awali dan mempunyai dasar Alkitab yang jelas dan kuat. Baru setelah itu
diteguhkan dan diresmikan menjadi dogma Gereja. Pada dasarnya ajaran Gereja
tentang Maria bersumber dan berpusat pada pribadi Yesus Kristus sendiri, sama
sekali tidak mengurangi peranan Yesus Kristus sebagai satu-satunya Penyelamat
dan Pengantara kepada Bapa, tetapi justru menjelaskan iman akan Yesus Kristus.
Apa yang Gereja Katolik percaya
dan ajarkan tentang Maria, berakar dalam iman akan Kristus, tetapi sekaligus
juga menjelaskan iman akan Kristus. (Katekismus Gereja Katolik, 487)
Penghormatan kepada Maria tidak
menjadi monopoli Gereja Katolik saja, karena Gereja Orthodoks dan Gereja
Anglikan pun menghormati Maria, demikian juga saat terjadi perpecahan dalam
tubuh Gereja Katolik yang menimbulkan gerakan reformasi yang dimulai oleh
Martin Luther, yang akhirnya melahirkan gereja-gereja Protestan. Para
reformator sendiri (Luther, Kalvin, Zwingli) serta teolog Protestan awal masih
menghormati Maria dan menerima ajaran Gereja Kuno tentang Maria (Bunda Allah,
keperawanan Maria sebelum dan sesudah mengandung, kesucian Maria). Mereka hanya
memprotes devosi kepada Maria yang berlebih-lebihan yang berkembang pada abad
pertengahan dalam Gereja Katolik.
Baru sejak abad XVI, seiring
perpecahan yang semakin lebar antara Gereja Katolik dan Protestan, sebagai
sikap anti Katolik, di kalangan umat Protestan pada waktu itu berkembang juga
sikap anti Maria. Akibatnya, devosi kepada Maria yang diwariskan oleh para
reformator (Luther, Kalvin, Zwingli) berangsur-angsur memudar dalam kalangan
umat Protestan.
Namun, harus pula dikatakan
bahwa penghormatan terhadap Maria tidak hilang seluruhnya dari gereja
Protestan. Dalam ibadat gereja Lutheran, misalnya masih ada beberapa hari raya
yang mengenangkan Maria. Bahkan, akhir-akhir ini dalam gereja Protestan, ada
beberapa teolog Protestan yang mau kembali pada pendirian para reformator dalam
penghormatan kepada Maria. Di Jerman, ada komunitas para suster Protestan yang
bernama “the Evangelical Sisterhood of Mary”, yang didirikan oleh Basilea
Schlink. Maria mempunyai tempat yang penting dalam penghayatan iman mereka. Itu
tampak nyata dari nama kongregasi mereka. Selain itu, di Taize, Perancis,
seorang Protestan yang bernama Roger Schultz mendirikan komunitas ekumene, yang
anggotanya terdiri dari biarawan-biarawan Katolik maupun Protestan yang hidup
bersama. Di dalam komunitas Taize ini penghormatan terhadap Maria mempunyai
tempat yang penting dalam peribadatan mereka.
Ada seorang mistici jaman ini,
Marthe Robin (1902-1981), Perancis, yang sebagian besar hidupnya dijalani dalam
kelumpuhan total. Selama bertahun-tahun ia bahkan tidak dapat makan sama
sekali, dan hanya ditopang oleh kekuatan Hosti Kudus yang disambutnya setiap
hari. Ia pernah menyatakan: “Agama Kristen, kalau tanpa Maria, bercacat. Allah
telah menentukan, bahwa kita tidak hanya mempunyai Bapa yang ada di Surga,
melainkan juga seorang Bunda Surgawi. Maka tidak mungkinlah kita menyingkirkan
bunda kita dengan tidak menderita rugi sendiri.”
2. Mengapa Maria disebut tetap perawan?
Salah satu ajaran iman Gereja
Katolik yang sering ditentang pihak Protestan ialah doktrin bahwa Maria tetap
perawan baiksebelum,pada saat, dansesudahmelahirkan. Umumnya mereka
mengemukakan keberatan-keberatan berdasarkan teks-teks Kitab Suci, khususnya
ayat-ayat yang menyebutkan bahwa Yesus mempunyai saudara-saudari (Mat 13:55,
Mrk 3:31, Gal 1:19). Mereka menafsirkan ayat-ayat itu dan menyimpulkan bahwa
Yesus mempunyai saudara-saudari kandung, sehingga dengan demikian menurut
mereka, Maria tidaklah tetap perawan, sebab sesudah Yesus, Maria masih
melahirkan anak-anak yang lain.
Ajaran Gereja Katolik tentang
keperawanan Maria, baik sebelum, pada waktu, dan sesudah melahirkan telah
menjadi pokok ajaran iman Gereja sejak abad ketiga. Ini dapat dilihat dengan
diakuinya ajaran tersebut dalam syahadat-syahadat dan secara khusus diteguhkan
kembali oleh Konsili Konstantinopel II (553). Akhirnya ajaran tersebut
ditegaskan kembali dalam Konsili Vatikan II yang menyatakan: “Puteranya tidak
mengurangi keutuhan keperawanannya, melainkan justru menyucikannya.”(Lumen
Gentium, 57).
Ajaran ini telah lama ada di
dalam Gereja, jauh sebelum terjadi perpecahan antara Gereja Katolik Roma dan
Gereja Protestan. St Agustinus, uskup Hippo dan pujangga Gereja, menyatakan
bahwa “Maria tetap perawan, ketika ia mengandung Puteranya, perawan ketika ia
melahirkanNya, perawan ketika ia menyusuiNya. Selalu perawan.” Martin Luther
sendiri, sebagai salah satu reformator Protestan, tidak pernah menolak
keperawanan Maria. Ia hanya meneruskan tradisi Gereja yang sudah ada. Dalam
salah satu khotbahnya pada Pesta Yesus dipersembahkan di Bait Allah (2
Pebruari), ia berkata: “Sebagaimana Maria itu perawan sebelum ia diberi kabar
oleh malaikat Tuhan dan sebelum ia melahirkan Yesus, demikian ia juga tetap
perawan pada waktu ia melahirkanNya dan sesudahnya.” Calvin, salah seorang
tokoh reformator Protestan bahkan pernah mencela orang yang berkata bahwa Maria
mempunyai anak selain Yesus.
Keberatan yang timbul dari
beberapa umat Protestan tentang keperawanan Maria sesudah melahirkan dapat
ditinjau dari ayat Kitab Suci yang berbunyi: “Yusuf mengambil Maria sebagai
isterinya, tetapi tidak bersetubuh dengan dia sampai ia melahirkan anaknya
laki-laki dan Yusuf menamakan Dia Yesus.”(Mat 1:24-25). Dalam tafsiran mereka
kata “sampai” dalam ayat ini berarti sesudah melahirkan Yesus, Maria bersetubuh
dengan Yusuf dan melahirkan anak-anak lain, saudara-saudari Yesus (bdk. Mat
12:46; 13:55).
Menanggapi keberatan di atas,
perlu kita kaji tujuan Matius menuliskan ayat tersebut. Matius menulis ayat itu
bukan untuk menyatakan bahwa Maria tetap perawan hanya sampai melahirkan Yesus.
Tujuan utama Matius menulis ayat ini untuk menekankan bahwa Yesus Kristus
dilahirkan bukan dari benih laki-laki, melainkan dari kuasa Roh Kudus (bdk. Mat
1:20). Ayat tersebut mau menekankan bahwa campur tangan Yusuf sungguh-sungguh
tidak ada dalam proses penjelmaan Allah menjadi manusia melalui rahim perawan
Maria.
Selain argumentasi di atas,
menurut para penafsir Katolik, kata “sampai” dalam bahasa aslinya (bahasa
Semit), tidak perlu selalu berarti “sesudah itu”, sehingga ayat ini
tidak selalu dapat diartikan: “sesudah itu Yusuf bersetubuh dengan Maria”.
Intinya, kata “sampai” dalam bahasa Semit tidak harus dipakai dalam konteks
untuk membicarakan keadaan sesudahnya. Bahkan berdasarkan penggunaan tata
bahasa Aram, M. Kraemer, seorang penafsir Katolik berpendapat bahwa kata
“sampai” dapat berarti “lihatlah!”. Sehingga ia mengusulkan agar Mat 1:25
diterjemahkan sebagai berikut: “Meskipun Yusuf tidak bersetubuh dengan Maria,
lihatlah ia melahirkan Yesus.” Dari dua pendapat para penafsir Katolik ini,
dapatlah dikatakan bahwa Mat 1:25 tidak menentang keperawanan Maria, baik
sebelum, waktu dan sesudah melahirkan.
Kadang-kadang orang mengajukan keberatan lain,
bahwa di dalam Kitab Suci dibicarakan tentang saudara dan saudari Yesus (Bdk.
Mrk 3:31-35; 6:3; 1 Kor 9:5; Gal 1:19). Gereja selalu menafsirkan teks-teks itu
dalam arti, bahwa mereka bukanlah anak-anak lain dari Perawan Maria. Ini dapat dilihat
dari pengertian kata “saudara” dalam bahasa asli Kitab Suci, dalam bahasa
Ibrani: “akh”, maupun bahasa Yunani: “adelphos”. Kata “saudara” ini dapat
berarti “saudara kandung”, “saudara tiri” atau “sanak keluarga (kerabat)”.
Dengan ini, pengertian kata “saudara” dapat bermakna sempit, dapat pula
bermakna luas. Jadi, “ibu dan saudara-saudara Yesus” tidak selalu berarti
saudara-saudara kandung Yesus. Pengertian yang sama juga menjadi kebiasaan umum
dalam kebudayaaan Timur, yang mana kata “saudara” dapat berarti saudara
kandung, saudara sepupu, saudara tiri, saudara angkat, dsb. Dari pengertian
ini, dapat dikatakan bahwa Yakobus dan Yosef yang disebut sebagai
“saudara-saudara Yesus” (Mat 13:55), merupakan anak-anak seorang Maria (Bdk.
Mat 27:56) yang adalah murid Yesus dan yang dinamakan “Maria yang lain” (Mat
28:1) atau saudara sepupu Yesus, anak saudari bunda Maria (Yoh 19:25). Sesuai
dengan cara ungkapan yang dikenal dalam Perjanjian Lama (Bdk. misalnya: Kej
13:8; 14:16; 29:15), mereka itu sanak saudara Yesus yang dekat (Bdk. Katekismus
Gereja Katolik, 500). Di samping itu ada, pendapat tentang “saudara-saudari
Yesus” yang beredar luas dalam Gereja Yunani, bahwa mereka itu anak-anak Yusuf
dari perkawinan sebelumnya (saudara-saudari tiri Yesus), pendapat ini berasal
dari tulisan-tulisan kuno dalam pertengahan abad II (Proto-Injil Yakobus dan
karangan-karangan apokrip lainnya).
Satu hal lain yang dapat
menjadi bahan pertimbangan bahwa Maria sungguh-sungguh tetap perawan dan tidak
mempunyai anak-anak lain terdapat dalam Injil Yohanes 19:26-27. Dalam ayat-ayat
ini Yesus menyerahkan ibuNya dalam pemeliharaan murid yang dikasihiNya, yaitu
rasul Yohanes, yang kemudian menerima bunda Maria di rumahnya. Menurut tafsiran
para bapa Gereja dan penulis Kristen yang berwibawa sejak abad III, ayat-ayat
ini selain mempunyai makna yang lebih dalam, tetapi juga memberikan keterangan
bahwa bunda Maria tidak mempunyai anak-anak lain selain Yesus. Seandainya
mempunyai anak-anak lain, mengapa Yesus menyerahkan ibunya dalam pemeliharaan
rasul Yohanes? Dari sini dapat disimpulkan bahwa Maria sungguh-sungguh tidak
mempunyai anak-anak lain, selain Yesus. Maria sungguh-sungguh perawan, baik
sebelum, pada saat, dan setelah melahirkan Yesus.
Ajaran Gereja tentang
keperawanan Maria, baik sebelum, waktu, dan sesudah melahirkan lebih memiliki
makna teologis daripada makna fisik belaka. Konsili Vatikan II menghubungkan
ajaran ini dengan iman Maria, “Dalam iman dan ketaatan ia melahirkan Putra Bapa
sendiri di dunia, dan itu tanpa mengenal pria, dalam naungan Roh Kudus, sebagai
Hawa yang baru, karena percaya akan utusan Allah, dengan iman yang tak tercemar
oleh kebimbangan.”(Lumen Gentium, 63). Iman berarti penyerahan kepada Allah dan
penyerahan Maria yang total terungkap dalam keperawanannya. Dalam keperawanan
Maria tampak bahwa Kristus dan kelahiranNya merupakan misteri iman. Oleh karena
itu, Gereja menegaskan bahwa Maria itu “pola teladan Gereja yang mengagumkan
dalam iman dan cinta kasih.” (LG, 53 dan LG, 63).
Keperawanan Maria berhubungan dengan
keibuanNya. Setelah ia sepenuh-penuhnya merelakan dirinya untuk menjadi hamba
Tuhan dan ibu Yesus, seluruh hatinya telah menjadi milik Yesus. Di dalam Yesus
ia menemukan kepenuhan, sehingga tidak mungkin Maria mempunyai anak-anak lain
setelah melahirkan Dia “yang di dalamNya segala sesuatu ada”(Kol 1:17). Sebab
seandainya Maria masih mempunyai anak-anak lain, ia harus membagi perhatiannya
kepada anak-anak yang lain. Jika hatinya terbagi-bagi secara demikian,
bagaimana mungkin ia dapat menyerahkan diri secara total kepada Allah dan
Yesus? Ada pun tujuan keperawanan seperti yang dinyatakan Rasul Paulus supaya
“orang memusatkan perhatiannya pada perkara Tuhan, supaya tubuh dan jiwanya
kudus”. (Bdk. 1 Kor 7:34). Dengan keperawanannya, Maria dapat menyerahkan diri
secara total kepada Yesus.
3. Kitab Suci tidak berbicara tentang perlunya jabatan Paus. Dari mana dasar
Gereja untuk mengangkat seorang Paus?
Baiklah, tidak pernah ada kata
“paus” dalam Kitab Suci. Akan tetapi, di dalam Kitab Suci tidak ada pula kata-kata:
“Tritunggal”, “sakramen”, “evangelisasi”, “Liturgi”, dan kata-kata lain yang
lumrah dipakai dalam Gereja zaman ini. Tiadanya suatu kata atau istilah dalam
Kitab Suci tidak berarti bahwa ia bukan bagian ajaran ataupun Tradisi Gereja.
Kata “paus” memang tidak ada
dalam Kitab Suci, tetapi teks yang berbicara tentang otoritas dan keutamaan
peran Petrus amat banyak. Dalam daftar para rasul ia selalu ditempatkan pada
posisi pertama (lih. Mat 10:2-4; Mrk 3:16-19; Luk 6:14-16; Kis 1:13). Bahkan di
dalam Luk 9:32, hanya dikatakan: “Petrus dan teman-temannya...” Ia tampil
sebagai pemimpin dan mewakili para rasul dalam banyak kesempatan, misalnya
dalam Mrk 8:29; Luk 12:41; Yoh 6:69; Kis 2:14; 5:29. Beberapa kali ketika Yesus
bertanya kepada para murid, Petruslah yang ditanya-Nya sebagai wakil dari
mereka (bdk. Mrk 14:37; Luk 7:40). Santo Petrus hadir dalam kisah-kisah
terpenting dalam Perjanjian Baru. Petruslah yang pertama kali berkhotbah kepada
orang banyak saat Pentakosta dan kepada Petruslah Tuhan menampakkan diri untuk
menyatakan bahwa Pembaptisan juga harus diberikan kepada bangsa lain (Kis
10:44-48).
Mengapa Petrus yang dipilih?
Mengapa bukan Yohanes, yang menurut Tradisi ialah “Murid yang dikasihi” dalam
Injil Yohanes? Mengapa bukan Natanael atau Bartolomeus yang digelari “seorang
Israel yang sejati” (Yoh 1:47) oleh Yesus sendiri? Inilah misteri panggilan
Tuhan. Petrus, seorang nelayan kasar dari Galilea diangkat-Nya menjadi Pondasi
Gereja, justru untuk menunjukkan kebesaran Tuhan sendiri. Petrus memperoleh
otoritas tertinggi dalam Gereja bukan karena kepantasan dirinya. Ia bahkan
pernah menyangkal Yesus sebanyak tiga kali. Petrus memperoleh status tersebut
semata-mata karena pemberian Tuhan Yesus: “Engkau adalah Petrus dan di atas
batu karang ini Aku akan mendirikan jemaat-Ku dan alam maut tidak akan
menguasainya.” (Mat 16:18, penebalan oleh Penulis).
Seorang penulis Protestan
bernama Loraine Boettner pernah mempersoalkan Mat 16:18 ini. Pendapatnya sampai
sekarang masih digunakan di kalangan Protestan untuk melawan supremasi Petrus
dan pengganti-penggantinya. Dalam bahasa Yunani (Injil Matius ditulis dalam
bahasa Yunani, meskipun ada ahli yang mengatakan bahwa Injil tersebut merupakan
terjemahan dari Injil yang sudah hilang, berbahasa Aram/Ibrani), kata yang
dipakai untuk “batu karang” ialah “petra”. Ada pun nama Petrus ada Petros.
Jadi, bunyinya seperti ini: “Engkau adalah Petros dan di atas petra ini Aku
akan …” Dalam bahasa Yunani, petros berarti batu kerikil, yang mudah tergeser.
Petra sebaliknya, berarti batu pondasi yang tak tergoyahkan. Petros ialah kata
benda bersifat maskulin, sedangkan petra bersifat feminin. Bagi Boettner, kata
petra yang feminin tidak mungkin mengacu pada Petrus. Menurut dia, kata ini
tampaknya mengacu pada pernyataan iman Petrus, bukan pribadi Petrus sendiri.
Argumen Boettner tampak
meyakinkan. Namun, dia lupa bahwa semua kata Yesus dalam Injil Matius ialah
terjemahan dari bahasa Aram. Yesus berkata kepada Petrus pada waktu itu dalam
bahasa Aram! Di dalam bahasa Aram tidak ada perbedaan antara kata pertama dan
kedua. Bunyi kalimat itu seharusnya,“Engkau adalah Kepha dan di atas kepha ini
Aku akan …” Masalahnya, dalam bahasa Yunani “batu karang” punya sifat feminin.
Ketika menyebut nama Petrus, tidak mungkin bagi Matius untuk memakai kata
“petra”. Sebagai gantinya, dia memakai kata “Petros”.
Sebagai manusia, Petrus lemah.
Yesus sangat memahami hal tersebut sehingga Ia mewanti-wanti: “Simon, Simon,
lihat, Iblis telah menuntut untuk menampi kamu seperti gandum, tetapi Aku telah
berdoa untuk engkau, supaya imanmu jangan gugur. Dan engkau, jikalau engkau
sudah insaf, kuatkanlah saudara-saudaramu.” (Luk 22:31-32) Ini sangat penting
karena berkaitan dengan janji Yesus kepadanya:
“Dan Aku pun berkata kepadamu: Engkau adalah Petrus dan di atas
batu karang ini Aku akan mendirikan jemaat-Ku dan alam maut tidak akan
menguasainya. Kepadamu akan Kuberikan kunci Kerajaan Sorga. Apa yang kauikat di
dunia ini akan terikat di sorga dan apa yang kaulepaskan di dunia ini akan
terlepas di sorga.”
“Alam maut tidak akan
menguasainya”. Artinya, status Petrus dan para penggantinya bersifat kekal.
Meskipun Takhta Petrus ini akan digoncang Iblis, mereka tidak akan berhasil
meruntuhkannya. Sebabnya ialah: doa Yesus! Brian Van Hove, seorang imam
Katolik, mencatat bahwa dalam kurun waktu 250 tahun terakhir ini setidaknya ada
tiga kali prediksi yang tercatat dalam sejarah bahwa Paus yang terpilih waktu
itu akan menjadi Paus yang terakhir (Paus Klemens XIII 1769-1774; Paus Pius VI
1775-1799; Paus Leo XIII 1878-1903). Kita semua tahu bahwa hal itu tidak pernah
terjadi.
“Kepadamu akan kuberikan kunci
Kerajaan Surga”. Hanya satu kali kata “kunci” atau “anak kunci” dipakai dalam
Perjanjian Lama (Yes 22:22) dan enam kali dalam Perjanjian Baru (Mat 16:19; Luk
11:52; empat kali dalam Why: 1:18; 3:7; 9:1; 20:1). Ada kemiripan besar antara
Yes 22:22 dan dua teks dalam PB, yakni Mat 16:19 dan Why 3:7. Dalam Yes kunci
tersebut diberikan kepada Elyakim bin Hilkia, kepala istana pada zaman Raja
Hizkia. Kunci di sini mempunyai arti kuasa untuk membuat aturan, mengganjar,
dan menghukum. Ide yang sama tampak jelas dalam Why 3:7. Di sana Yesus
digambarkan sebagai pemegang kunci atas alam maut. Dialah yang membuka pintu
supaya Jemaat Filadelfia dapat masuk ke dalam Kerajaan-Nya. Di dalam Injil
Matius, ternyata Yesus memberikan kunci yang menjadi milik-Nya ini kepada
Petrus! Petruslah yang diberi kuasa untuk membuat aturan, mengganjar, dan
menghukum! Bedanya dengan kuasa milik Elyakim, kuasa Petrus ini berlaku baik di
dunia maupun di sorga: “Apa yang kauikat di dunia ini akan terikat di sorga dan
apa yang kaulepaskan di dunia ini akan terlepas di sorga.”
Petrus memiliki tempat yang
utama dalam jajaran para rasul. Ini tidak bisa dipungkiri. Sebagaimana para
rasul kemudian digantikan oleh uskup mereka, Petrus pun memiliki penerus. Pada
awalnya Petrus berdomisili di Antiokhia. Lalu, ia pindah ke kota Roma, memimpin
Jemaat di Roma selama dua puluh lima tahun sampai wafat sebagai martir sekitar
tahun 65 M. Sejak saat itu, Uskup Roma dipandang memiliki wewenang khusus
sebagai pengganti Petrus. Misalnya, St. Klemens I, yang menjadi Uskup Roma IV
pada tahun 88-97 M. Dalam salah satu suratnya, yang sekarang lazim dikenal
sebagai 1 Klemens, memberikan teguran tegas kepada umat di Korintus yang jelas berada
di luar wilayahnya. Namun, tegurannya dihormati oleh umat Korintus, sebagaimana
diakui oleh Dionisius, uskup yang berkuasa di Korintus kurang dari seratus
tahun setelah surat Klemens itu ditulis.
Kunci atau wewenang yang
dimiliki oleh Petrus dan para penggantinya diteguhkan oleh Yesus setelah
kebangkitan-Nya. Pada saat menampakkan diri kepada para murid, Yesus menarik
Petrus untuk berbicara secara khusus. Di dalam pembicaraan itu, Yesus sampai
tiga kali meneguhkan kuasa penggembalaan Petrus: “Gembalakanlah
domba-domba-Ku.” (Yoh 21:15-17) Dengan itu, Dia menjadi Gembala Agung Gereja
atas segala persoalan iman dan moral.
Saat bimbang karena serbuan
banyak paham teologi yang sesat, St. Hieronimus (342-420) menyatakan
kesetiaannya kepada Takhta Petrus yang waktu itu dijabat Paus Damasus:
“Musuh-musuh yang tak kenal lelah menguntitku dalam jarak dekat,
dan serangan yang kualami di padang gurun semakin menjadi. Sebab terpaan Arian
menggila, dan kuasa-kuasa dunia mendukungnya. Gereja terkoyak menjadi tiga kubu,
dan ketiga-tiganya berusaha menjadikan diriku milik mereka… Sementara aku terus
berseru: ‘Dia yang setia penuh pada Takhta Petrus, dialah yang
kuterima.’”(Surat XVI: Kepada Paus Damasus)
Sebagai pengganti Petrus,
seorang Paus menjadi juru kunci terakhir atas segala perdebatan menyangkut iman
dan moral Gereja. Dia pulalah yang harus mensahkan hukum yang mengikat seluruh
Gereja. Semua uskup lain harus memandang dia sebagai penentu keputusan
tertinggi. Karena wewenang dan tuntutan tugasnya ini, seorang Paus memiliki
karunia infalibilitas (kebal salah).
4. Mengapa dikatakan bahwa Paus itu kebal salah? Apakah dia tidak mungkin
salah? Lalu mengapa dalam sejarah banyak Paus yang terbukti bersalah?
Banyak orang Protestan (bahkan
ada juga orang-orang Katolik) yang salah paham tentang ajaran Gereja Katolik
mengenai infalibilitas Paus. Mereka mengira dengan itu, Gereja Katolik mau
mengatakan bahwa Paus itu suci dan tidak pernah salah dalam segala tindakannya.
Bukankah setiap orang telah berdosa? (Bdk. Rm 3:23).
Benar. Gereja mengakui bahwa
tidak ada orang yang tidak berdosa, kecuali Bunda Maria dan Yesus. Itu berarti
Paus pasti berdosa pula. Itu jelas. Tidak pernah Gereja mengatakan bahwa Paus
bebas dari dosa. Banyak Paus yang dalam masa-masa kegelapan Gereja yang memang
hidup dengan keadaan tidak terpuji. Jelas,kebal salah tidak berarti tidak
berdosa. Kebal salah di sini hanya berarti bahwa karena kuasa Roh Kudus,
Paus tidak mungkin salah dalam mengajarkan masalah iman dan moral.
Infalibilitas ini merupakan suatu konsekuensi wajar dari janji Tuhan kepada
Petrus dan para penggantinya yang mewarisi kunci Kerajaan Surga. Seorang Paus
tidak mungkin salah dalam memberikan patokan moral dan iman, demi Gereja. Ini
karunia yang diberikan bersamaan dengan pemberian janji Tuhan kepada Petrus.
Karunia ini bahkan tidak berlaku tanpa syarat-syarat khusus. Gereja Katolik
mengajarkan bahwa Paus hanya kebal salah ketika syarat-syarat berikut dipenuhi
semua:
1. Berbicara dalam kapasitas
sebagai Kepala Gereja (ex cathedra), sebagai pemegang kunci yang diwarisinya
dari Petrus.
2. Ketika mengajarkan soal iman
dan moral.
3. Dalam suatu pernyataan resmi
bahwa ini adalah ajaran yang harus diterima semua orang beriman.
Melihat syarat-syarat di atas
bisa dilihat konsep infalibilitas ini tidak biasa. Memang itulah yang benar.
Karunia infalibilitas ini hanya berlaku dalam kondisi luar biasa. Pada dua abad
terakhir ini hanya tercatat dua kali Paus mengumumkan penggunaan karunia ajaran
ini. Pertama untuk mengumumkan dogma Maria Dikandung tanpa Noda (Paus Pius IX,
1854) dan kedua ketika Paus Pius XII mengumumkan dogma Maria Diangkat ke Surga
tahun 1950.
Kedua dogma yang terakhir
diumumkan sebenarnya bukan hal yang baru. Sudah sejak lama Gereja yakin akan
keadaan Maria yang tanpa noda dan diangkat ke Surga, hanya sekarang diteguhkan
secara resmi saja. Dalam Gereja ada yang disebut depositum fidei, warisan iman
dari zaman para rasul. Tidak semua deposit tersebut dijabarkan karena dunia
tidak akan sanggup memuat semua buku yang diperlukan untuk itu (bdk. Yoh
21:25).
Sebenarnya depositum fidei
inilah yang memiliki infalibilitas yang sesungguhnya. Dialah warisan iman
rasuli berdasarkan pewahyuan Allah dalam diri Yesus Kristus. Deposit ini
dipelihara oleh Gereja. Karena itu, Gereja sebagai Gereja kebal salah pula.
Secara khusus, deposit iman ini dipelihara dan diwariskan turun-temurun oleh
para uskup. Berdasarkan ini, kolegialitas para uskup yang berkumpul, berbicara,
dan memutuskan sesuatu berkenaan soal iman dan moral juga memiliki karunia
infalibilitas. Keputusan mereka dapat dibaca dalam dokumen-dokumen hasil
Konsili. Paus kadang-kadang berbicara mewakili mereka semua (Gereja dan
kolegialitas para uskup). Di sinilah ia tidak bisa salah. Dalam arti ini,
sebenarnya Paus hanya meneruskan keyakinan Gereja universal.
Kedua dogma tentang Maria di
atas misalnya, tidak dikeluarkan begitu saja. Ribuan angket disebarkan ke
seluruh dunia, dikumpulkan kembali. Kemudian hasil angket didiskusikan oleh
teolog-teolog terkemuka. Hasil diskusi mereka kemudian dibaca dan dipertimbangkan
matang oleh Paus sebelum akhirnya disetujui dan diumumkan. Prosesnya sangat
lama, tetapi Gereja selalu memiliki waktu untuk itu.
Infalibilitas Paus hanya soal
iman dan moral. Ini jelas. Terkadang Paus bisa mengeluarkan pendapat yang
keliru tentang ilmu pengetahuan. Kekeliruan yang sangat terkenal ialah ketika
Tribunal Gereja (Pengadilan Tertinggi Gereja Katolik) menghukum Galileo Galilei
dan menyatakan bahwa keyakinannya bahwa bumilah yang mengelilingi matahari
(heliosentris) itu keliru. Peristiwa ini sering dipakai orang-orang
fundamentalis untuk menyerang infalibilitas Paus. Namun, mereka salah mengerti
dalam beberapa hal. Pertama, ini bukan soal iman dan moral. Ini soal
pengetahuan. Kedua, bukan Paus yang memutuskan, minimal secara implisit,
melainkan pengadilan Gerejalah yang bekerja. Ketiga, keputusan ini tidak pernah
dinyatakan oleh Gereja sebagai keputusan infalibilis. Dalam sejarah Gereja
sering minta maaf untuk kekeliruan yang pernah dilakukannya. Dalam kasus
Galileo, Gereja bahkan menerbitkan edisi perangko khusus Galileo sebagai
pernyataan sesal atas kekeliruannya.
5. Mengapa harus berdoa untuk orang mati?
Tepatnya kita perlu berdoa
untuk orang yang masih berada di api pemurnian atau purgatorium. Arwah-arwah di
api pemurnian merupakan anggota-anggota Tubuh Kristus pula. Mereka sering
disebut “Gereja yang Menderita”. Sebagai anggota Gereja, mereka sama seperti
kita di dunia ini. Bedanya, mereka sudah mempunyai kepastian akan nasib mereka.
Hanya belum saatnya bagi mereka untuk masuk surga.
Sebagai satu kesatuan, Gereja
sejak dahulu percaya bahwa doa-doa dan silih-silih kita di dunia dapat membantu
dan mempercepat mereka masuk surga (bdk. 2 Mak 12:45; Kol 1:24). Dengan
doa-doa, kurban-kurban, dan tindakan-tindakan baik yang kita persembahkan
kepada Allah untuk keselamatan jiwa-jiwa di api pemurnian, kita dapat
memperolehkan pengampunan atas dosa maupun indulgensi (penghapusan
akibat-akibat dosa) bagi mereka. Doa-doa yang terbaik bagi mereka dipanjatkan
dalam Ekaristi.
6. Apa itu Api Pemurnian?
Allah kita adalah Allah yang
adil sekaligus berbelaskasih. Kiranya kebenaran ini dinyatakan secara ideal
oleh doktrin Katolik tentang api pemurnian atau purgatorium. Doktrin ini kerap
menjadi batu sandungan bagi orang-orang Protestan di dalam usaha mereka untuk
mendalami iman Katolik. Lebih daripada itu, banyak dari kalangan orang Katolik
sendiri yang meragukan atau salah menafsirkannya.
Kata “purgatorium” bukanlah
kata yang dapat ditemukan di dalam Kitab Suci, seperti halnya juga dengan kata “inkarnasi”
atau “Tritunggal”. Meskipun demikian, gagasan tentang karya Allah yang
memurnikan atau membersihkan sangatlah biblis. Artinya, di dalam banyak teks
Kitab Suci, Allah dikenal sebagai Dia yang mendidik anak-anak-Nya sendiri
melalui medan ujian dan pencobaan. Kalau ternyata anak-anak-Nya itu ‘lulus’
ujian, mereka akan memperoleh pengampunan dosa dan kehidupan kekal. Menurut
orang Katolik, jarang sekali ada orang yang sedemikian sucinya sehingga tidak
perlu lagi membayar ‘hutang-hutang’ dosanya di suatu tempat, atau lebih tepat,
suatu situasi yang disebut dengan api permurnian.
Jelas di dalam api pemurnian
ada aspek pengampunan dosa. Akan tetapi, purgatorium bukanlah suatu kesempatan
kedua bagi seseorang untuk masuk surga. Api pemurnian bukanlah suatu sarana
pasca-kematian untuk bertobat atas kesalahan-kesalahan di masa lampau. Saat
seseorang meninggal, waktu untuk memilih secara bebas telah berlalu. Pilihan
dasar untuk percaya kepada Tuhan, yang menentukan keselamatan, harus diambil
seseorang sebelum dia meninggal. Ketika meninggal, sebenar-benarnya seseorang
telah ditentukan nasibnya, kehidupan kekal di surga atau kematian abadi di
neraka.
Timbul persoalan, sebagaimana
telah disebutkan di atas, jarang sekali ada orang yang benar-benar bersih.
Bagaimana nasib seseorang yang semasa hidupnya memiliki cinta kepada Allah dan
sesama, namun di pihak lain masih mempunyai cinta-diri dan
kekurangan-kekurangan lainnya? Apa yang akan terjadi pada seseorang yang semasa
hidupnya berusaha menanggapi rahmat Allah, tetapi masih memiliki ikatan
terhadap beberapa dosa tak terakui atau akibat-akibat dari dosa selama
hidupnya? Kalau kita mengacu pada arti keadilan secara tegas, tidak ada seorang
pun yang akan masuk surga. Tidak ada seorang pun, kecuali Yesus dan Bunda Maria,
yang bebas dari dosa. Padahal, seorang pendosa tidak akan mampu berdiri secara
langsung apalagi dalam keabadian di hadirat Allah yang Mahakudus.
Kata pemazmur: “Siapa boleh
mendaki gunung Tuhan?... Orang yang bersih tangannya dan murni hatinya.” (Mzm
24:3-4) Yesus menegaskan bahwa mereka yang suci hatinyalah yang akan melihat
Allah (bdk. Mat 5:8). Akhirnya, Kitab Wahyu menegaskan bahwa hadirat Allah
begitu murni dan sucinya sehingga “tidak ada yang tidak bersih yang boleh masuk
ke dalamnya…” (Why 21:27)
Orang Katolik meyakini bahwa
kerahiman Allah begitu besar. Kerinduan-Nya untuk menyelamatkan begitu kuat.
Jasa tak terbilang dari wafat Kristus di salib begitu berkuasa sehingga Allah
telah menyediakan tempat juga bagi mereka yang meninggal di dalam tingkatan
cintakasih yang belum sempurna, namun tidak dalam dosa berat ataupun maut.
Allah tidak akan langsung mengutuk dan menjerumuskan mereka ke dalam
keterpisahan kekal dari-Nya. Orang Katolik percaya bahwa Allah akan menyucikan
dan membersihkan dosa-dosa yang masih ada, yang belum diakukan, serta
akibat-akibat dosa yang menghambat seseorang untuk memasuki persatuan penuh
dengan-Nya di surga.
Referensi tradisional untuk
purgatorium adalah 2 Mak 12:45 dan Mat 12:32. Orang Protestan menolak Makabe
dalam kanon Kitab Suci mereka (untuk masalah ini, saya pernah memberikan
pengajaran singkat kepada kelompok Kaderisasi Komunitas Tritunggal Mahakudus
dengan makalah berjudul “Diskursus mengenai Deuterokanonika”). Padahal dalam
Kitab yang diterima oleh Gereja Awal ini jelas sekali bisa disimpulkan
pentingnya doa orang yang masih hidup untuk mereka yang telah meninggal.
Dituliskan pula bahwa yang didoakan ialah mereka yang meninggal dalam keadaan
dosa.
Yesus pernah mengatakan sesuatu
yang sulit sekali dipahami tanpa menerima paham tentang api pemurnian: “Apabila
seorang mengucapkan sesuatu menentang Anak Manusia, ia akan diampuni, tetapi
jika ia berkata-kata menentang Roh Kudus, ia tidak akan diampuni, di dunia ini
tidak, dan di dunia yang akan datang pun tidak.” (Mat 12:32) Dunia yang akan
datang yang dimaksud pasti bukan surga, karena di surga orang sudah lepas
sepenuhnya dari dosa. Neraka juga tidak masuk akal karena orang di neraka tidak
perlu pengampunan lagi. Jadi, pasti ada ‘tempat’ ke-tiga, di mana orang masih
bisa diampuni. Di sini api pemurnian menjadi kemungkinan yang logis.
Api pemurnian ialah suatu
kesempatan bagi mereka yang orientasi dasar dalam hidupnya adalah Allah dan
ketaatan kepada kehendak-Nya. Namun, api pemurnian bukanlah tempat bagi mereka
yang terpisah dari Allah oleh pemberontakan dan dosa yang berat. Yang terakhir
ini tidak akan dimurnikan lagi, melainkan akan mengalami siksaan neraka sebagai
konsekuensi dari hidup dan pilihannya di dunia. Kerahiman Allah tidak dapat
bertentangan dengan penghormatan-Nya atas kehendak bebas manusia. Pemurnian
Allah disediakan bagi mereka yang cintakasihnya belum sempurna dan masih
terikat oleh dosa dan akibat-akibatnya.
Seperti apakah api pemurnian
atau purgatorium itu? Sebagaimana semua eksistensi pasca-kematian, api
pemurnian pun merupakan misteri yang hanya dapat kita dekati secara memuaskan
melalui iman dan pengharapan. Akan tetapi, perlu dicatat bahwa
ungkapan-ungkapan biblis tentang pemurnian-pemurnian dari dosa sering menyebut
api sebagai sarana penyucian. Dalam pada itu, Tradisi Katolik menggambarkan
cintakasih dan kekudusan Allah sebagai api yang memurnikan manusia dari dosa.
Api menggambarkan kuasa yang menyakitkan sehingga kita tidak akan heran jika
purgatorium itu menyakitkan.
Berdasarkan pengalaman hidup di
dunia ini, kita mengerti bahwa perjuangan melawan dosa dan segala akibatnya
menuntut pengorbanan, memakan waktu, serta menyakitkan pula. Pertobatan, doa,
dan disiplin diperlukan untuk menerima kebebasan dan penyembuhan penuh dari
Allah semasa hidup di dunia. Dari sini bisa ditarik garis analogi dan hubungan
kait-mengait antara pemurnian di dunia dan purgatorium. Boleh dikatakan bahwa
purgatorium adalah cara Allah untuk melengkapi dan menyempurnakan proses
pembebasan dan penyembuhan dari dosa dan akibat-akibatnya. Suatu proses yang
bermula di sini, saat ini, di dunia ini. Tujuan karya pemurnian Allah selalu
sama. Allah rindu agar setiap manusia ikut ambil bagian dalam kepenuhan
kesucian hidup serta ingin agar kita bebas dari segala sesuatu yang menghalangi
dan menghambat kesucian tersebut. Purgatorium menunjukkan kepada kita bahwa
Allah memang menyelesaikan apa yang telah Ia mulai. Kemenangan Kristus atas
dosa dan akibat-akibatnya menjadi sempurna dan penuh saat kita masuk ke dalam
hadirat-Nya yang mulia di dalam surga.
Menjadi ajaran Katolik pula
sejak semula, pemurnian dari dosa dan akibat-akibatnya bagi seseorang dapat
dibantu oleh doa dan silih, baik dari dirinya sendiri maupun dari orang lain.
Menjadi lain, kalau seseorang sudah di api pemurnian. Sepenuhnya dia akan
mengandalkan doa dan silih kita di dunia dan para kudus di surga. Setiap doa
dan silih (perbuatan-perbuatan menyangkal diri dengan maksud ilahi) secara
pribadi maupun kelompok, punya daya untuk memperolehkan indulgensi (penghapusan
hukuman sementara) secara penuh ataupun sebagian bagi saudara-saudari kita di
api pemurnian.
Sebagai penutup, keberadaan
purgatorium hendaklah tidak menyurutkan semangat kita di dalam mengejar
kekudusan. Di satu pihak, purgatorium memang merupakan sesuatu yang indah, yang
mencerminkan kerahiman dan belaskasihan Tuhan. Akan tetapi, di pihak lain,
jangan sampai maksud baik dan indah dari Tuhan ini kita salah gunakan. Bukankah
bebas dari dosa dan segala akibatnya sejak di dunia ini jauh lebih indah
daripada harus terlebih dahulu mengalami api pemurnian? Satu orang kudus di
dunia jauh lebih berharga daripada seribu orang di api pemurnian.
7. Mengapa kita minta doa kepada orang kudus? Bukankah mereka sudah mati?
Bukankah kita tidak boleh berkomunikasi dengan mereka yang sudah meninggal?
Memanggil arwah orang yang
telah mati (atau necromancy) memang tidak pernah diizinkan. Hal tersebut
merupakan kekejian di mata Allah. Para kudus memang telah mati. Hanya bedanya
mereka tidak mati untuk seterusnya! Gereja percaya bahwa saat ini mereka telah
berbahagia – dan sangat hidup – di surga. Kadang-kadang bahkan, atas izin
Allah, mereka dapat menampakkan diri kepada manusia. Yesus sendiri pernah
berbicara dengan Musa dan Elia di Gunung Tabor (bdk. Mat 17:3). Ini tanda bahwa
mereka masih hidup! Mereka masih bisa berkarya di dunia dan mempengaruhinya.
Para kudus tersebut tetap punya hubungan persekutuan dengan kita. Mereka
disebut “Gereja yang Mulia atau Jaya”.
Karena masih hidup, tentunya
kita boleh meminta mereka untuk mendoakan kita sama seperti kita meminta doa
dari mereka di dunia ini. Semakin banyak orang yang mendoakan, tentunya lebih
baik. Bukankah doa orang-orang benar amat besar kuasanya (bdk. Yak 5:16)? Siapa
yang lebih benar daripada para kudus di Surga yang siang-malam memandang Allah
sendiri?
Doa para kudus tentu amat
berkuasa. Hanya masalahnya sekarang, bagaimana kita bisa mengetahui seseorang
itu telah menjadi kudus atau belum? Pada awalnya dalam Gereja, penggelaran
“Kudus” pada seseorang lebih merupakan pesta lokal. Orang-orang yang dipandang
memiliki keutamaan, khususnya para martir, digelarkan oleh orang-orang yang
dekat dengan mereka sebagai Santo atau Santa. Namun, kebiasaan semacam ini bisa
mengarah kepada praktik-praktik berbahaya, seperti mendewa-dewakan para kudus.
Karena itu, akhirnya wewenang penggelaran seseorang menjadi kudus menjadi milik
Paus saja.
Perlukah penggelaran kudus ini?
Bayangkan iklan-iklan di televisi. Tujuan semuanya itu untuk apa? Supaya orang
tertarik membeli produk-produk yang ditawarkan, bukan? Lalu ada pula
kisah-kisah orang-orang tertentu yang difilmkan. Apa tujuannya? Semuanya untuk
mempengaruhi opini penonton, bisa ke arah yang baik, bisa pula ke arah yang
buruk. Kita juga sering membaca obituari seseorang yang bagus-bagus, untuk
menunjukkan penghormatan penulisnya atas almarhum yang bersangkutan.
Penggelaran kudus itu pertama mau menunjukkan penghormatan Gereja universal
terhadap jiwa-jiwa heroik dalam mengikuti Kristus. Mereka pernah bersama-sama
dengan kita. Namun, di samping itu, Gereja juga mau menunjukkan betapa sucinya
jalan yang mereka tempuh. Lebih penting daripada itu, kalau mereka bisa,
mengapa kita tidak?
Dengan menggelarkan seseorang
kudus, Gereja sebenarnya menjadikan mereka milik publik. Semua orang diajak
untuk mengenal mereka lebih dalam. Kisah hidup mereka diungkapkan supaya orang
bisa menimba kekayaan rohani yang mereka miliki.
Apa bukti seseorang itu pantas
disebut kudus? Bagaimana kita yakin bahwa seseorang sudah ada di surga? Jangan
kuatir, pertanyaan itu pula yang menjadi pertanyaan pertama yang diajukan Paus
bila ada permintaan penggelaran kudus bagi seseorang. Gereja Katolik memiliki
syarat yang sangat ketat dalam proses penggelaran kudus bagi seseorang.
Terkadang butuh waktu yang juga sangat lama. Gereja tidak pernah pelit soal
waktu. Khususnya untuk meneliti kelayakan seseorang disebut kudus.
Tanda pertama yang harus ada
dalam diri kandidat (calon) kudus ialah keutamaan iman dan moral yang tampak
jelas, bahkan harus mencapai taraf heroik. Biasanya ini dimiliki oleh para martir
yang otentik. Keutamaan ini harus bisa dibuktikan oleh banyak saksi mata. Di
sini saja kita bisa melihat betapa seriusnya proses penggelaran kudus ini.
Akibatnya, dari sekian banyak para kudus di surga, sedikit sekali yang
digelarkan kudus oleh orang-orang di dunia. Namun, bahkan itu saja tidak cukup.
Perlu syarat kedua.
Tanda bahwa seorang itu kudus
ialah adanya mukjizat yang pernah terjadi berkat perantaraan doa atau imannya.
Bukan mukjizat yang pernah dilakukannya semasa hidupnya. Kalau itu, bisa menjadi
bukti berdasarkan saksi mata seperti di atas. Mukjizat di sini berarti
pengabulan doa seseorang yang sebelumnya secara spesifik memohon perantaraan
doa dari calon kudus yang bersangkutan. Pengabulan doa tersebut pun harus
bersifat mukjizat, misalnya penyembuhan penyakit yang tidak bisa disembuhkan
secara medis atau terjadinya peristiwa yang mengatasi sebab-sebab alamiah
(tentu saja, mukjizat tersebut terjadi seizin Allah berkat doa orang kudus itu.
Sebaliknya, itu tidak berarti kalau tidak ada mukjizat orang tersebut tidak ada
di surga!). Mukjizat ini harus bisa dibuktikan, artinya diteliti dulu apakah
ada kemungkinan sebab-sebab alamiah.
Oke, sekarang sudah ada
mukjizat. Apakah kalau sudah demikian, seseorang bisa langsung dinyatakan
kudus? Oh tidak, itu masih proses awal. Sampai tahap ini, seseorang mungkin
akan dinyatakan sebagai beato atau beata. Setelah memperoleh gelar beato atau
beata dimulai tahap berikutnya. Perlu ada kesaksian yang lebih meyakinkan dan
mukjizat baru untuk sampai pada kemungkinan penggelaran santo atau santa.
Apabila memperoleh gelar santo atau santa, seseorang akan memperoleh hari
peringatan khusus dalam kalender liturgi Gereja. Nama yang bersangkutan pun
boleh digunakan untuk menjadi pelindung paroki-paroki yang ada.
Catatan Penutup
Penjabaran di atas masih sangat
dangkal dan tidak menjawab semua pertanyaan yang biasa diajukan para
fundamentalis. Saya sangat menganjurkan anda untuk mendalami tema-tema di atas
dengan membaca dari sumber-sumber lain. Sumber-sumber yang saya anjurkan di
bawah ini semuanya dalam Bahasa Indonesia. Umumnya, bahan-bahan ini tidak sulit
untuk ditemukan.
Pertama-tama tentuKitab
Suci!Bacalah Kitab Suci secara teratur, khususnya Injil dan Kisah Para
Rasul. Untuk memperdalam bacalah surat-surat para rasul.
Katekismus Gereja Katolik. Buku ini sebenarnya sangat
laris. Sayang, penerbit Nusa Indah mencetaknya dalam jumlah yang sangat
terbatas per edisi. Usahakan diri anda memiliki buku ini.
Dokumen Konsili Vatikan IIdanDokumen-dokumen Paus.
Saya tahu bahwa membaca Katekismus, dokumen konsili, dan dokumen-dokumen Gereja
bisa sangat membosankan. Akan tetapi, dari pengalaman saya bisa mengatakan
bahwa pada saat-saat yang diperlukan, Roh Kudus akan mengingatkan apa yang
pernah kita baca. Saya sangat terbantu dalam pelayanan karena pernah membaca
dokumen-dokumen tersebut. Ketika punya kesulitan soal tema tertentu, saya tahu
di mana saya harus mencari jawabannya!
Buku-buku Rm Pidyarto sangat
membantu untuk mencari jawaban yang ringkas, jelas, dan cukup lengkap.Seri Umat
Bertanya, Rm Pid MenjawabdanSeri Mempertanggungjawabkan Iman Katolik.
Kedua seri ini telah menjadi best-seller di toko-toko buku Katolik di
Indonesia.
Katolisisme, Teologi bagi Kaum
Awamkarangan Pater Thomas P. Rausch sangat membantu saya di dalam menemukan
jawaban-jawaban fundamental seputar iman. Buku ini diterbitkan oleh Kanisius.
Buku berikutnya yang saya
rekomendasikan ialah karangan David B. Currie. Judul aslinya Born
Fundamentalists, Born Again Catholics. Diterjemahkan dengan baik sekali oleh Vega
Guinadi ke dalam Bahasa Indonesia. Judulnya dalam Bahasa Indonesia:Mengapa
Saya Berpindah ke Katolik? Kisah Pertobatan Seorang Fundamentalis Intelektual,
terbitan Fidei Press.
Ada beberapa artikel yang bisa
dibaca di www.gerejakatolik.org di bawah tajuk“Semua Jalan Menuju Roma”tentang orang-orang Protestan
yang pindah ke Katolik. Dengan membaca Tajuk tersebut, anda pasti sudah paham
maksud saya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar