MENGAPA KITA BERPUASA?
1.
Berpuasa
mempertajam mata rohani kita - membantu kita melihat apa yang Tuhan lihat.
2. Berpuasa berarti semakin serupa dengan
Kristus, yang sering kali berpuasa.
3. Berpuasa adalah cara yang baik guna
mengingatkan kita untuk berdoa, sebagai ganti makan.
4. Berpuasa membantu kita mengurangi berat badan
dan merasa tetap bugar.
5. Berpuasa berarti menghemat uang (membeli
lebih sedikit makanan!)
6. Berpuasa berarti menghemat waktu (melewatkan
waktu makan!) di mana semua orang serba sibuk dan tidak punya waktu luang.
7. Berpuasa membuat kita merasa bahagia (jika
kita melewatkan hari puasa dengan berhasil.)
8. Berpuasa meningkatkan rasa disiplin diri
sehingga kita dapat berbuat lebih banyak kebaikan kepada sesama.
sumber : The Young Saints Club; www.geocities.com/Athens/1619
MENGAPA KITA BERPANTANG?
Ada dua alasan utama. Pertama, sebagai kurban silih atas
dosa-dosa kita. Kita melukai hati Tuhan dan sesama ketika kita berdosa.
Kedua, dan yang paling utama, kita melukai hati Tuhan dan sesama karena kita
kurang dapat mengendalikan diri. Ketika kita tergoda untuk melakukan sesuatu
yang jahat (atau tidak melakukan sesuatu yang baik). Kita jatuh dalam
pencobaan karena kita tidak mempunyai kehendak yang kuat untuk melakukan yang
baik. |
MENGAPA KITA BERPANTANG DAGING PADA HARI JUMAT?
Pada abad ke-4 sudah ada
hukum Gereja tentang berpantang pada hari-hari tertentu. Dahulu setiap hari
Rabu, Jumat dan Sabtu adalah hari-hari pantang. Sejak abad ke-12 pantang
ditetapkan hanya pada hari Rabu Abu dan setiap hari Jumat - untuk mengenang
bahwa Yesus wafat pada hari itu. Pada tahun 1965 Paus Paulus VI mengijinkan
Konferensi Para Uskup untuk menetapkan masa pantang dan puasa. Maka ditetapkan
hari Rabu Abu dan Jumat Agung sebagai masa puasa dan pantang serta setiap hari
Jumat dalam Masa Prapaskah sebagai masa pantang.
Mengapa berpantang daging? Banyak orang suka
kelezatannya dan merasa kehilangan jika harus berpantang. Dulu peraturan
pantang dan puasa orang-orang Kristen juga memasukkan susu dan telur sebagai
pantangan. Pantang dan puasa menunjukkan rasa hormat akan ciptaan Tuhan dengan
menggunakannya lebih hemat.
Sumber : Ask a Franciscan by Father Pat
McCloskey, O.F.M.; © 2001 St. Anthony Messenger Press.
Asal-mula Masa Prapaskah
oleh: Romo William P. Saunders *
Bagaimanakah asal-mula Masa Prapaskah? Apakah
Gereja selalu merayakannya sebelum Paskah?
~ seorang pembaca di Falls Church
Masa Prapasakah merupakan masa istimewa untuk
berdoa, bertobat, bermatiraga dan melakukan karya belas kasihan sebagai
persiapan menyambut perayaan Paskah. Dalam kerinduannya untuk memperbaharui
praktek-praktek liturgi Gereja, Konstitusi tentang Liturgi Kudus Konsili
Vatikan II menyatakan, “Dua ciri khas Masa Prapaskah - mengenang atau
mempersiapkan pembaptisan, dan membina tobat - haruslah diberi penekanan yang
lebih besar dalam liturgi dan dalam katekese liturgi. Masa Prapaskah merupakan
sarana Gereja dalam mempersiapkan umat beriman untuk merayakan Paskah,
sementara mereka mendengarkan Sabda Tuhan dengan lebih sering dan meluangkan
lebih banyak waktu untuk berdoa.” (no. 109).
Sejak masa awal Gereja, terdapat bukti akan
adanya semacam masa persiapan menyambut Paskah. Sebagai contoh, St. Ireneus
(wafat 203) menulis kepada Paus St. Victor I, perihal perayaan Paskah dan
perbedaan-perbedaan dalam perayaannya antara Timur dan Barat, “Perbedaan tidak
hanya sebatas hari, tetapi juga ciri puasa yang sesungguhnya. Sebagian
berpendapat bahwa mereka wajib berpuasa selama satu hari, sebagian berpuasa
selama dua hari, lainnya lebih lama lagi; sebagian menetapkan 'masa' mereka
selama 40 jam. Berbagai perbedaan dalam perayaan tersebut bukan berasal dari
masa kita, melainkan jauh sebelumnya, yaitu sejak masa para leluhur kita.”
(Eusebius, Sejarah Gereja, V, 24). Ketika Rufinus menerjemahkan bagian berikut
ini dari bahasa Yunani ke bahasa Latin, tanda baca yang dibubuhkan antara “40”
dan “jam” menjadikan maknanya tampak seperti “40 hari, dua puluh empat jam
sehari.” Namun demikian, maksud pernyataan di atas adalah bahwa sejak masa
“para leluhur kita” - sebutan bagi para rasul - suatu masa persiapan selama 40
hari telah ada. Tetapi, praktek nyata dan lamanya Masa Prapaskah masih belum
seragam di seluruh Gereja.
Masa Prapaskah diatur secara lebih mantap
setelah legalisasi agama Kristen pada tahun 313. Konsili Nicea (tahun 325),
dalam hukum kanonnya, mencatat bahwa dua sinode provincial haruslah
diselenggarakan setiap tahun, “satu sebelum Masa Prapaskah selama 40 hari.” St.
Atanasius (wafat 373) dalam “Surat-surat Festal” meminta umatnya melakukan
puasa selama 40 hari sebelum puasa yang lebih khusuk selama Pekan Suci. St.
Sirilus dari Yerusalem (wafat 386) dalam Pelajaran Katekese, mengajukan 18
instruksi sebelum pembaptisan yang diberikan kepada para katekumen selama Masa
Prapaskah. St. Sirilus dari Alexandria (wafat 444) dalam serial “Surat-surat
Festal” juga mencatat praktek dan lamanya Masa Prapaskah dengan menekankan masa
puasa selama 40 hari. Dan akhirnya, Paus St. Leo (wafat 461) menyampaikan
khotbahnya bahwa umat beriman wajib “melaksanakan puasa mereka sesuai tradisi
Apostolik selama 40 hari”. Orang dapat menyimpulkan bahwa pada akhir abad
keempat, masa persiapan selama 40 hari menyambut Paskah yang disebut sebagai
Masa Prapaskah telah ada, dan bahwa doa dan puasa merupakan latihan-latihan
rohaninya yang utama.
Tentu saja, angka “40” selalu mempunyai makna
spiritual khusus sehubungan dengan persiapan. Di gunung Sinai, sebagai
persiapan untuk menerima Sepuluh Perintah Allah, “Musa ada di sana bersama-sama
dengan TUHAN empat puluh hari empat puluh malam lamanya, tidak makan roti dan
tidak minum air” (Kel 34:28). Elia berjalan selama “40 hari dan 40 malam” ke
gunung Allah, yakni gunung Horeb (nama lain Sinai) (1 Raj 19:8). Dan yang
terutama, Yesus berpuasa dan berdoa selama “40 hari dan 40 malam” di padang
gurun sebelum Ia memulai pewartaan-Nya di hadapan orang banyak (Mat 4:2).
Begitu Masa Prapaskah selama 40 hari ditetapkan,
perkembangan berikutnya adalah menyangkut berapa banyak puasa yang harus
dilakukan. Di Yerusalem, misalnya, orang berpuasa selama 40 hari, mulai hari
Senin hingga hari Jumat, tetapi tidak pada hari Sabtu dan hari Minggu, dengan
demikian Masa Prapaskah berlangsung selama delapan minggu. Di Roma dan di
Barat, orang berpuasa selama enam minggu, mulai hari Senin hingga hari Sabtu,
dengan demikian Masa Prapaskah berlangsung selama enam minggu. Akhirnya,
diberlakukan praktek puasa selama enam hari dalam satu minggu, selama masa enam
minggu, dan Rabu Abu ditetapkan untuk menggenapkan hari-hari puasa sebelum
Paskah menjadi 40 hari. Peraturan-peraturan puasa bervariasi pula.
Pertama, sebagian wilayah Gereja berpantang dari
segala bentuk daging dan produk hewani, sementara yang lain berpantang makanan
tertentu seperti ikan. Sebagai contoh, Paus St. Gregorius (wafat 604), menulis
kepada St. Agustinus dari Canterbury, perihal peraturan berikut: “Kami
berpantang lemak, daging, dan segala makanan yang berasal dari hewan seperti
susu, keju dan telur.”
Kedua, peraturan umum adalah orang makan satu
kali dalam satu hari, yaitu pada sore hari atau pada pukul 3 petang.
Peraturan-peraturan puasa Masa Prapaskah juga
mengalami perkembangan. Pada akhirnya, makan sedikit pada waktu siang
diperbolehkan guna menjaga daya tahan tubuh selama melakukan pekerjaan
sehari-hari. Makan ikan diperbolehkan, dan akhirnya makan daging juga
diperbolehkan sepanjang minggu kecuali pada hari Rabu Abu dan setiap hari
Jumat. Dispensasi diberikan untuk mengkonsumsi produk-produk hewani jika orang
melakukan kerja berat, dan akhirnya peraturan ini pun sepenuhnya dihapuskan.
Selama bertahun-tahun perubahan-perubahan terus
dilakukan dalam merayakan Masa Prapaskah, menjadikan praktek kita sekarang
tidak saja sederhana, tetapi juga ringan. Rabu Abu masih menandai dimulainya
Masa Papaskah, yang berlangsung selama 40 hari, tidak termasuk hari Minggu.
Peraturan-peraturan pantang dan puasa yang berlaku sekarang amatlah sederhana:
Pada hari Rabu Abu dan Jumat Agung, umat beriman berpuasa (makan kenyang hanya
satu kali dalam sehari, ditambah makan sedikit untuk menjaga daya tahan tubuh)
dan berpantang setiap hari Jumat selama Masa Prapaskah. Umat masih dianjurkan
untuk “merelakan sesuatu” sesuatu selama Masa Prapaskah sebagai mati raga.
(Catatan menarik adalah bahwa pada hari Minggu dan hari-hari raya, seperti Hari
Raya St. Yusuf (19 Maret) dan Hari Raya Kabar Sukacita (25 Maret), orang bebas
dan diperbolehkan makan / melakukan apa yang telah dikorbankan sebagai mati
raga selama Masa Prapaskah).
Namun demikian, senantiasa diajarkan kepada
saya, “Jika kamu berpantang sesuatu demi Tuhan, teguhkan hatimu. Janganlah
berlaku seperti orang Farisi yang suka mencari-cari kesempatan.” Lagipula,
penekanan haruslah dititikberatkan pada melakukan kegiatan-kegiatan
rohani, seperti ikut serta dalam Jalan Salib, ambil bagian dalam Misa, adorasi di
hadapan Sakramen Mahakudus, meluangkan waktu untuk berdoa secara pribadi,
membaca bacaan-bacaan rohani, dan yang terutama menerima Sakramen Tobat dengan
baik dan memperoleh absolusi. Meskipun
praktek perayaan dapat berubah dan berkembang dari jaman ke jaman, namun fokus
Masa Prapaskah tetap sama: yaitu menyesali dosa, memperbaharui iman, serta
mempersiapkan diri menyambut perayaan sukacita misteri keselamatan kita.
* Fr. Saunders is pastor of Our Lady of Hope Parish in Potomac Falls.
sumber : “Straight Answers: History of Lent” by Fr. William P. Saunders;
Arlington Catholic Herald, Inc; Copyright ©2002 Arlington Catholic Herald. All
rights reserved; www.catholicherald.com
Diperkenankan mengutip / menyebarluaskan artikel di atas dengan mencantumkan:
“diterjemahkan oleh YESAYA:www.indocell.net/yesaya atas ijin The Arlington Catholic Herald.”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar