Mengasihi Sesama

Mengasihi Sesama
Ibu Theresa dari Calcuta

Sabtu, 14 Maret 2020

Tubuh Manusia penting untuk Penyembahan ???

Allah yang dimulai oleh Yesus melalui Inkarnasi-Nya: menyelamatkan dunia. Hal itu tidak terjadi
di luar dunia jasmani. Pembaruan dunia oleh surga dimulai pada saat Inkarnasi, dan akan berlangsung
terus di sekeliling alam jasmani kita. 


Tom Howard, di dalam bukunya Evangelical Is Not Enough, menunjukkan bahwa orang Evangelis
berprasangka buruk  terhadap sesuatu yang jasmani. Prasangka buruk ini mengingatkan kepada
ajaran Manikheisme, aliran sesat Gnostik, pada zaman Gereja purba. Banyak orang Evangelis 
berkeyakinan teguh bahwa Allah tidak menggunakan sesuatu yang jasmani untuk berhubungan
dengan kita secara rohani. Kita telah membicarakan hal ini, betapa prasangka buruk ini membatasi
kemampuan orang Evangelis untuk menghargai Ekaristi dan pembaptisan sebagaimana diajarkan
oleh Kitab Suci. 


Ada beberapa hal lain lagi yang dipengaruhi oleh prasangka buruk terhadap sesuatu yang jasmani ini.
Hal yang sangat nyata berhubungan dengan cara kita melakukan penyembahan. Jika Allah mencintai
tubuh kita, kita seharusnya menyembah-Nya  dengan menggunakan tubuh kita. Ketika orang Katolik
memasuki gereja untuk berdoa, mereka berhenti di wadah air suci dekat pintu masuk. Mereka
mencelupkan jari mereka ke dalam air dan membuat tanda salib pada diri mereka. Mereka menyentuh
kening, dada, kemudian kedua pundak mereka, sambil berdoa “Dalam nama Bapa, dan Putra, dan
Roh Kudus, Amin”, yang mengingatkan mereka akan Tritunggal. Air itu mengingatkan mereka akan
pembaptisan mereka. Tanda salib mengingatkan mereka akan harga yang harus dibayar untuk
menebus mereka, dan mengingatkan bahwa mereka juga dipanggil untuk memanggul salib setiap
hari. Saat mencapai tempat duduk, mereka menekuk satu dari lutut mereka ke arah tabernakel. Ini
adalah tanda penghormatan, sama seperti cara orang memperlakukan para bangsawan. Kristus
adalah bangsawan tingkat paling tinggi. Tabernakel merupakan tempat Kristus bersemayam, tubuh,
jiwa dan keilahianNya. Sebuah lampu khusus dinyalakan dekat tabernakel sehingga semua orang
akan tahu bahwa Kristus hadir secara jasmani di dalam gereja. Ketika sampai di tempat duduk, orang
Katolik akan berlutut, membuat tanda salib lagi, dan berdoa. Pada saat itu mereka mengingat diri
mereka sendiri, memeriksa kesalahan kesalahan mereka, dan mulai melakukan penyembahan.
Dengan melakukan ini mereka memberikan kesempatan kepada Allah untuk berbicara kepada
mereka mengenai peristiwa-peristiwa sepekan yang telah lewat agar mereka berterima kasih atas
seluruh pemberian-Nya. Di bagian depan gereja ada altar, tempat kurban Ekaristi akan dilakukan.
Saat Misa, pada bagian-bagian tertentu umat akan duduk, seperti ketika pastor berkhotbah; pada
bagian-bagian lain mereka akan berdiri untuk menghormati, seperti ketika Injil dibacakan; dan pada
bagian-bagian lain lagi mereka berlutut untuk penyembahan (lih. Neh 8:6-7), ketika Kristus hadir
secara jasmani di dalam bahan-bahan komuni pada saat konsekrasi. Ketika mereka pulang, mereka
akan menekuk salah satu lutut mereka dan menggunakan air untuk membuat tanda salib di pintu
keluar. 


Semua tindakan ini aneh di mata orang Evangelis. Karena mereka tidak mengerti, mereka menyebut
itu sesuatu yang “ritual” atau “takhayul”. Saya mengetahuinya, karena seperti itulah yang saya pikirkan
hampir sepanjang hidup saya. 


Namun seharusnya kita tidak menghakimi sesuatu yang tidak kita pahami. Orang Katolik menyembah
Allah dengan seluruh tubuh mereka. Mereka melakukan ini karena kita bukanlah malaikat. Malaikat
tidak memiliki tubuh. Seandainya mereka memiliki tubuh, apakah kita akan berpikir mereka akan
menolak untuk merendahkan tubuh mereka dengan berlutut, sebagai penghormatan? 


Kitab Wahyu menggambarkan surga sebagai suatu tempat di mana para malaikat dan orang-orang
yang telah ditebus menyembah dalarn kekaguman yang kudus: “Maka tersungkurlah kedua puluh
empat tua-tua itu di hadapan Dia yang duduk di atas takhta itu, dan mereka menyembah Dia”
(Why 4:9-11). Para tua-tua itu menggunakan tubuh mereka untuk menyembah. 


Orang Katolik senang menggunakan segala perasaan di dalam penyembahan mereka. Ketika saya
dan keluarga saya menjadi Katolik, kami sudah mengetahui bagaimana menggunakan telinga dan
suara untuk menyembah Allah. Saya senang menyanyi. Ketika saya menyanyi dalam ibadat Katolik,
lebih mudah bagi mata saya untuk tetap terfokus kepada Kristus dan pikiran saya pada kata-kata lagu
yang dinyanyikan. 


Dupa digunakan, sebagaimana pada Perjanjian Lama, untuk melambangkan doa yang dilambungkan
kepada Allah. Hal itu dapat juga mengingatkan kita bahwa kita sedang berada di suatu tempat di mana
Allah hadir untuk disembah. Istri saya menggunakan minyak wangi untuk tujuan yang sama:
mengingatkan saya akan kehadirannya. Saya tidak pernah mengecamnya karena melakukan hal itu. 


Pengecapan dan sentuhan pun digunakan untuk menyembah Allah setiap hari Minggu. Saya
mengecap Tubuh dan Darah Kristus. Saya percaya itu adalah Tubuh Kristus berdasarkan kata-kata
Kristus sendiri. Kitab Suci begitu jelas mengatakan hal ini dan hanya orang yang berprasangka buruk
yang akan menjelaskan Ekaristi sesuai ajaran Evangelis. Saya menyentuh Tubuh Kristus yang
sungguh hadir di dalam Ekaristi kudus, dan saya menyentuh tubuh mistik-Nya ketika saya berbagi
damai-Nya dengan umat yang lain (saat dalam Misa di mana setiap orang saling bersalaman dengan
mengucapkan kata seperti “Damai Kristus besertamu”). Bahkan murid-murid Yesus sendiri tidak
pernah sedekat ini dengan Kristus, dengan cara yang nyata dan secara jasmani, dibandingkan
dengan saya pada setiap Misa. 


Kita memiliki mata, dan orang Katolik ingin agar mata mereka mengingatkan mereka akan Allah dan
karya penebusan-Nya. Altar di setiap gereja Katolik memiliki sebuah salib di atasnya. Gereja lokal
saya kebetulan memiliki sebuah salib dengan patung Yesus yang terbuat dari perunggu yang indah,
panjangnya sekitar tujuh kaki. Seorang pendeta Evangelis berpendapat bahwa adanya salib ini
karena orang Katolik tidak sungguh-sungguh percaya akan kebangkitan! Ketika saya menatap salib
itu, mata saya membantu jiwa saya untuk berkonsentrasi pada apa yang dilakukan Allah untuk
membawa saya kepada Gereja-Nya. Orang Katolik percaya akan kebangkitan, namun tidak ada
Paskah tanpa Jumat Agung. 


Pada awalnya patung-patung dan kaca-kaca berwarna merupakan batu sandungan bagi saya dan
Colleen. (Seorang pendeta Evangelis bersaksi bahwa ia tidak dapat menahan ketawa saat melihat
patung Maria di bagian depan mobil orang Katolik). Setelah saya dan Colleen memahami tujuannya,
patung malahan menjadi sarana yang membantu. Kita dapat mengarahkan perhatian kita kepada
salib di atas altar dan mengetahui Allah mengerti bahwa tujuan kita adalah menyembah-Nya.
Di dalam gereja Evangelis, biasanya podium, pengkhotbah, atau koor yang menjadi elemen
dominan di depan gereja. Pengaturan seperti itu membuat orang jauh lebih sulit untuk menyembah
secara langsung kepada Allah sendiri. Barang atau orang-orang tersebut dapat menghalangi jalan. 


Dulu saya menggunakan satu dari Sepuluh Perintah Allah sebagai dasar argumentasi melawan
keberadaan patung-patung di gereja: “Jangan membuat bagimu patung yang menyerupai apa pun
yang ada di langit di atas, atau yang ada di bumi di bawah, atau yang ada di dalam air di bawah bumi.
Jangan sujud menyembah kepadanya atau beribadah kepadanya” (Kel 20:4- 5). Namun orang
Evangelis tidak memperhitungkan Keluaran 25:18-22 dan 36:8-35, di mana Musa diperintahkan
secara khusus oleh Allah untuk membuat patung-patung yang akan digunakan dalam menyembah
Dia. Dalam Bilangan 21:8-9, Allah memerintahkan Musa untuk membuat sebuah ular tembaga agar
mereka yang dipagut oleh ular berbisa dapat diselamatkan. Orang yang telah dipagut harus melihat
patung ular itu agar disembuhkan. Allah memerintahkan lagi untuk membuat patung-patung ketika
Salomo mendirikan sebuah Bait Suci (lRaj 6:23-29 dan 7:23-26). Sangat jelas bahwa Sepuluh
Perintah Allah melarang penggunaan patung-patung yang tidak berhubungan dengan penyembahan
kepada Yahweh. Orang Katolik menggunakan patung sesuai dengan maksud Alkitab, 


Orang Evangelis juga menggunakan patung dan gambar. Banyak orang Evangelis menggunakan
patung bayi Yesus pada saat Natal. Sesuatu yang konyol bila menuduh mereka melakukan
penyembahan patung bayi Yesus. Baik orang Katolik maupun orang Evangelis tidak melanggar
Sepuluh Perintah Allah hanya karena menggunakan patung atau gambar. 


Orang Katolik tidak “menyembah” gambar, patung, dan relikui sebagaimana pemahaman orang
Evangelis atas kata “menyembah”. Hal ini sangat jelas dalam literatur Katolik. Orang Katolik
menggunakan pengingat yang berwujud untuk memfokuskan jiwa mereka dalam menyembah Allah.
Hanya Allahlah yang harus menjadi tujuan dari segala penyembahan, Orang Katolik menghormati
patung, para kudus, atau Maria. Literatur Katolik mengajarkan dengan jelas bahwa dosa berat bila
menyembah siapa pun atau apa pun selain Allah. Lebih lanjut, orang Katolik “menyembah” (worship),
“memuja” (adore), dan “menghormati” (venerate). Orang Katolik menyembah dan memuja hanya Allah
saja. Mereka menghormati Maria dan para kudus lainnya serta benda-benda kudus. “Penghormatan
yang kita berikan kepada gambar-gambar adalah suatu (penghormatan yang khidmat), bukan
penyembahan; penyembahan hanya boleh diberikan kepada Allah” (KGK 2132). 


Dulu saya selalu menyadari bahwa penyembahan Tabut Perjanjian Lama merupakan suatu peristiwa
fisik yang sangat berat. Di sana ada domba, kambing, merpati, api, pisau, darah, dan besi pengait
kurban. Namun, pada waktu itu Allah Putra sendiri belum mengambil bagian dengan tubuh fisik-Nya
secara permanen. Apakah masuk akal bahwa Allah sendiri yang masuk ke dunia fisik, meminta kita
untuk tidak menggunakan tubuh kita sendiri dalam penyembahan? Bagi saya, hal itu kelihatannya
tidak mungkin, terutama jika saya mempertimbangkan Kitab Suci. Allah mencintai tubuh kita dan
mempunyai suatu rencana atasnya. “Karena kewargaan kita adalah di dalam surga, dan dari situ juga
kita menantikan Tuhan Yesus Kristus sebagai Juruselamat, yang akan mengubah tubuh kita yang hina
ini, sehingga serupa dengan tubuh-Nya yang mulia” (Flp 3:20-21). Paulus telah mengatakan kepada
kita bahwa ia mengeluh karena rindu akan saat di mana tubuhnya akan ditebus: “Kita juga mengeluh
dalam hati kita sambil menantikan pengangkatan sebagai anak, yaitu pembebasan tubuh kita”
(Rm 8:23). 


Kitab Ibrani secara jelas mendesak kita untuk menghampiri Allah dengan hati yang tulus dan tubuh
yang murni. Keduanya penting. “Mari kita menghadap Allah dengan hati yang tulus ikhlas dan tubuh
kita telah dibasuh dengan air yang murni” (Ibr 10:22). Hal ini seharusnya tidak mengejutkan kita jika
kita mengingat bahwa tubuh kita, bukan hanya jiwa kita, merupakan anggota tubuh mistik Kristus
sendiri: “Tidak tahukah kamu bahwa tubuhmu adalah anggota Kristus?” (1 Kor 6:15). 


Sesungguhnya tanggapan kita atas rahmat penyelamatan Allah harus juga berupa penampilan tubuh
kita kepada Allah untuk keperluan-Nya. Tidaklah cukup hanya memberi hati kita, kepala kita, doa-doa
kita, atau jiwa kita; Allah menginginkan tubuh kita: “Demi kemurahan Allah, aku menasihatkan kamu,
supaya kamu mempersembahkan tubuhmu sebagai persembahan yang hidup, yang kudus dan yang
berkenan kepada Allah: itu adalah ibadahmu yang sejati” (Rm 12:1). Menggunakan tubuh kita untuk
melayani dan menyembah Allah merupakan suatu tindakan rohani. Allah sendiri telah bersemayam di
dalam tubuh kita: “Tubuhmu adalah bait Roh Kudus ....... Kamu telah dibeli dan harganya telah lunas
dibayar: karena itu muliakanlah Allah dengan tubuhmu” (1Kor 6:19-20). Cara apa yang lebih baik
untuk menghormati Allah dibandingkan dengan menggunakan tubuh kita di dalam penyembahan
terhadap-Nya? 


Pemisahan yang dilakukan oleh orang Evangelis antara menyembah secara roh dan menyembah
dengan menggunakan tubuh kita sangat sulit dipersatukan dengan ayat-ayat ini. Dalam terang ini,
apakah aneh bila orang Katolik percaya Allah menginginkan kita menyertakan tubuh kita dalam
penyembahan? 


Ada kesaksian sejarah yang menarik mengenai penyembahan dengan menggunakan fisik secara
aktif. Menoleh pada sejarah meyakinkan saya bahwa tekanan atas penggunaan fisik dalam
penyembahan sesungguhnya dapat ditelusuri pada para rasul sendiri. Hampir seluruh
Evangelis ingat bagaimana Filipus berjumpa dengan seorang sida Etiopia dalam perjalanannya
menuju Gaza. Sida itu percaya dan dibaptis, dan keduanya berpisah (Kis 8:26-39). Sida itu pergi ke
tempat yang sekarang disebut Sudan. Tradisi yang dapat dipercaya berdasarkan sejarah mengatakan
di sana hanya ada satu misionaris awal yang berhubungan dengan bagian dari Afrika ini, yaitu Rasul
Matius, yang pergi ke sana sebagai seorang misionaris. 


Karena sulit bepergian ke wilayah itu, maka selama tiga ratus tahun wilayah itu tidak memiliki kontak
sama sekali dengan dunia Kristen luar. Sebagaimana dilaporkan Warren H. Carol] dalam tulisan sejarah
nya, ketika para misionaris Kristen kembali menjelajah di sana, banyak orang Kristen sudah hilang.
Walaupun demikian ada satu hal yang mengagetkan para misionaris, yaitu orang Afrika tahu membuat
tanda salib. Melihat keterpencilan mereka, hanya ada dua penjelasan yang masuk akal tentang hal itu:
Filipus mengajarkan tanda salib kepada sida itu dan sida itu meneruskan praktek tersebut, atau Matius
sendiri yang mengajarkan orang Afrika secara langsung. Apa pun yang terjadi, praktek membuat tanda
salib dapat ditelusuri secara langsung sampai kepada para rasul sendiri. 


Tentu dapat dikatakan bahwa Injil tidak pernah mengajarkan kita untuk membuat tanda salib. Praktek
itu sesungguhnya muncul sebelum penulisan Perjanjian Baru. Hal itu tidak pernah ditulis karena tidak
pernah dipertanyakan. Orang Kristen purba percaya akan keselarasan antara jasmani dan rohani. 


Tujuan penyembahan kita tidak boleh terlalu disederhanakan, tetapi harus diperkaya sebagaimana
Allah inginkan. Raja Daud sungguh tidak pelit kepada Allah ketika ia menari untuk Allah di hadapan
seluruh orang yang menentangnya (2 Sam 6). Orang Evangelis berpendapat bahwa semakin sedikit
semakin baik. Hal ini nyata bukan saja di dalam penggunaan tubuh mereka tetapi bahkan di dalam
penggunaan kalender. Orang Evangelis menggunakan kalender Gereja Katolik untuk beberapa
perayaan, seperti Natal dan Paskah, namun mereka berbalik dan menyebut sebagai ritual ketika
orang Katolik merayakan perayaan-perayaan lainnya, seperti Pentakosta atau Penerimaan Kabar
Gembira. 


Para pemimpin Evangelis terampil dalam marketing. Mereka menanyakan kepada diri mereka,
“Cara menyembah yang bagaimana yang diinginkan oleh orang Amerika di abad kedua puluh?”
Mereka dengan sangat baik telah membuat suatu pengetahuan sebagai jawaban atas hal tersebut.
Orang Katolik tanpa rasa malu bertanya mulai dari arah yang berbeda. Uskup Uskup bertanya,
“Cara yang bagaimana yang dikehendaki Allah dari kita untuk menyembah-Nya?” Jawabannya
mungkin sesuai atau mungkin tidak sesuai dengan keinginan setiap orang Amerika, tetapi bukan itu
permasalahannya. Pendapat Allah mengenai cara penyembahan kita kepada-Nya itulah yang
terpenting. 


Prasangka buruk orang Evangelis mengenai hal-hal jasmani mempunyai maksud lain di luar persoalan
cara penyembahan. Hal ini menciptakan lahan subur untuk mengakomodasi konsep yang tidak jelas
dari orang-orang yang percaya akan Gereja yang tidak tampak, tidak dihubungkan dengan persatuan
apa pun secara Fisik atau dengan sesuatu yang dapat dilihat, namun, entah bagaimana caranya,
bersatu, sebagaimana Allah adalah satu (Yoh 17:20-21). 


Saya memahami asal-usul kepercayaan ini. Dulu para pelaku reformasi harus menjelaskan bagaimana
tubuh seseorang dapat menjadi bagian dari tubuh Kristus, dan walaupun demikian tidak kelihatan
sebagai persatuan fisik dengan orang lain. “Tidak tahukah kamu bahwa tubuhmu adalah anggota
Kristus?” (1 Kor 6:15). Selama seribu lima ratus tahun seluruh orang Kristen memahami bahwa Gereja
merupakan suatu badan yang tampak di dunia. Gereja merupakan manifestasi fisik dari tubuh mistik
Kristus. lni tema kesukaan Paulus. Sebagian besar orang Kristen masih percaya akan hal ini. Namun
pelaku reformasi harus menemukan pembenaran untuk berpisah dari Gereja yang tampak itu. Mereka
menciptakan konsep mengenai Gereja yang tidak tampak. Hal itu sungguh tidak memiliki dasar
alkitabiah yang jelas. 


Sesungguhnya hal itu bertentangan dengan beberapa bacaan dalam Kitab Suci. Matius 5:14
memberikan suatu gambaran yang baik: “Kamu adalah terang dunia. Kota yang terletak di atas
gunung tidak mungkin tersembunyi.” Apakah orang Evangelis yakin Gereja mereka yang tidak tampak
sama dengan sebuah kota yang terletak di atas gunung? Mereka sendiri memandang Gereja yang
tidak tampak itu lebih sebagai suatu pemberontakan bawah tanah, tidak tampak namun memiliki
kekuatan yang berpengaruh untuk selamanya. Gereja mereka berada di luar alam fisik. 


Ada masalah-masalah lain yang tidak dapat diatasi dengan Gereja yang tak tampak. Dari segi definisi,
mereka hanya menyertakan orang-orang beriman sejati, tetapi ini bertentangan langsung dengan
gambaran Gereja yang diberikan Yesus sendiri kepada kita. Untuk lulus sebagai Gereja Kristus, kita
harus mampu menemukan lalang di antara gandum (Mat 13:24-30; juga Mat 13:47-52). 

Menyadari ketidaknyamanan mereka dengan segala sesuatu yang bersifat fisik, apakah aneh jika
orang Evangelis memiliki kesulitan dengan sesuatu yang tampak sangat jelas, seseorang yang bukan
ilahi terlibat dalam Inkarnasi? Ia melabuhkan seorang Kristus secara nyata di dalam alam fisik di mana
kita hidup.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar