Mengasihi Sesama

Mengasihi Sesama
Ibu Theresa dari Calcuta

Senin, 07 Mei 2012

Benarkah Tahta Suci Terlibat dalam Pembantaian Kaum Huguenot di Perancis?

Saya Copas dari www.katolisitas.org. Sebuah tulisan Bu Ingrid yang patut kita ketahui, tuduhan-tudauhan ini masih berlangsung hingga saat ini, sebagai umat katolik kita harus mengetahui yang lebih tepat, sehingga dengan bijak dapat menyampaikan pada teman-teman kita yang tidak seiman, namun menyangka hal-hal di atas benar. Marilah kita simak dengan teliti dan hati terbuka.


Tentang Pembantaian Kaum Huguenot di Abad ke-16

Hal pembunuhan massal kaum Huguenot (kaum Calvinis di Perancis) yang terjadi di Paris tanggal 24 Agustus 1572 (pada hari raya St. Bartolomeus) dan minggu-minggu berikutnya memang menjadi perdebatan dalam topik sejarah Gereja. Perdebatan itu menyangkut praduga bahwa pembunuhan massal itu sudah direncanakan sebelumnya oleh pihak Kerajaan Perancis, dan kedua, bahwa ada keterlibatan Tahta Suci Roma dalam hal ini [sebagaimana dituduhkan oleh sebagian umat Protestan]. Kunci untuk mengetahui keadaan yang sesungguhnya, adalah mengetahui adanya hubungan antara gagalnya rencana pembunuhan Admiral Coligny, pemimpin kaum Calvinis, pada tanggal 22 Agustus -dan baru akhirnya terlaksana malam hari antara tanggal 23-24 Agustus- dengan kejadian pembunuhan massal kaum Huguenot. Selengkapnya tentang kisah ini, silakan klik di link ini.
Dewasa ini pandangan umum di Perancis adalah bahwa pihak Kerajaan terpaksa membunuh Coligny dan para pengikutnya, karena alasan untuk membela diri. Jumlah korban di Paris diperkirakan sekitar 2000 orang, sedangkan di propinsi-propinsi lainnya jumlah bervariasi antara 2000 sampai 100,000 orang. Namun di buku “Martyrologe des Huguenots” yang diterbitkan di tahun 1581, disebut bahwa korban berjumlah 15,138 orang, namun hanya 786 orang yang meninggal dunia.
Jika kita membaca kisah sejarah seputar peristiwa ini, memang terdapat banyak teori, tetapi sesungguhnya masuk akal jika disimpulkan demikian:
1) Keputusan Kerajaan Perancis tentang pembunuhan massal ini adalah bukan hasil konflik religius, bahkan sesungguhnya tidak dipicu oleh motif religius sama sekali. Kejadian itu adalah murni peristiwa politik yang menentang suatu fraksi yang mengganggu kerajaan.
2) Peristiwa pembunuhan massal itu sendiri tidak direncanakan; bahwa sampai tanggal 22 Agustus, Ratu Catherine hanya telah mempertimbangkan kemungkinan untuk menyingkirkan Coligny. Namun serangan terhadap Coligny diartikan oleh pihak Protestan sebagai pernyataan perang, dan karena ada ancaman balas dendam, maka Ratu Catherine memaksa puteranya Raja Charles IX yang dalam keadaan terombang-ambing, untuk memutuskan menyetujui rencana pembunuhan massal itu.
Maka dapat dilihat di sini bahwa kejadian itu tidak ada hubungannya dengan Tahta Suci. Paus tidak turut campur dalam rencana pembunuhan massal tersebut. Paus Pius V yang memperoleh laporan tentang adanya perang/ kekacauan di Perancis, menganggap bahwa Huguenot merupakan partai di Perancis yang memecah belah kerajaan Perancis justru dalam keadaan yang mensyaratkan kekuatan persatuan untuk mengalahkan serangan bangsa Turki. Maka yang diinginkan Paus adalah diakhirinya kekacauan masyarakat di Perancis, dan tercapainya keadaan politik dan religius. Namun demikian, Paus tidak menghendaki dihalalkannya segala cara untuk mencapai hal tersebut. Itulah sebabnya sejak lima tahun sebelum kejadian pembunuhan massal di hari raya St. Bartolomeus itu, Paus menentang cara yang tidak jujur dalam rencana Ratu Catherine untuk menyingkirkan Coligny.
Bukti lain ketidaktahuan pihak kepausan akan rencana pembunuhan massal tersebut adalah tulisan Salviati, kerabat Ratu Catherine yang menjabat sebagai nuncio/ perwakilan Paus di Paris pada saat itu. Walaupun Salviati adalah kerabat Ratu Catherine dan bahwa ia sungguh mengamati keadaan di negeri itu dari dekat, namun semua dokumen membuktikan, sebagaimana dikatakan oleh Soldan, ahli sejarah Protestan, bahwa kejadian di tanggal 24 Agustus terjadi tanpa pengaruh Paus (Roma). Bahkan kejadian pembunuhan massal sama sekali tidak diramalkan oleh Salviati. Ia menulis demikian kepada Paus tentang kejadian ini sehari setelah kejadian: “Saya tidak percaya bahwa begitu banyak orang akan mati kalau Admiral Coligny telah wafat ketika serdadu menembaknya …. Saya tidak percaya sepersepuluhpun dari apa yang sekarang saya lihat di hadapan mataku.”
Tanggal 2 September 1572, berita tentang kejadian di Perancis itu sampai kepada Paus Gregorius XIII di Roma. Paus menerima laporan dari Kardinal de Bourbon bahwa Admiral (Coligny) dan pengikutnya dibunuh, karena mereka merencanakan persekongkolan untuk membunuh Raja Perancis (Charles IX). Surat Raja Charles IX kepada Ratu Elizabeth di Inggris mengatakan tentang bahaya persekongkolan terselubung yang direncanakan atas dirinya, “Coligny dan pengikutnya sudah siap untuk memperlakukan kami dengan cara yang sama dengan cara yang telah kami lakukan terhadap mereka.” Itulah sebabnya diadakan doa dan prosesi ucapan syukur kepada Tuhan yang dirayakan setiap tanggal 24 Agustus di Perancis, bahwa akhirnya rencana persekongkolan untuk membunuh Raja berhasil terungkap, dan kaum pemberontak berhasil ditumpas. Mendengar hal itu, Paus mengutus Kardinal Orsini untuk menemui Raja Charles IX untuk memberi selamat bahwa ia terluput dari bencana tersebut. Namun kegembiraan Paus tak berlangsung lama, sebab beberapa waktu kemudian ia diberitahu tentang banyaknya kekejaman yang terjadi berkaitan dengan peristiwa pembunuhan massal di Perancis tersebut, dan Paus menjadi sangat marah. Di bulan Oktober 1572 saat Kardinal Lorraine ingin menghadapkan Maurevel, yang telah menembak Coligny, kepada Paus, Paus menolak untuk menerima dia, dengan mengatakan, “Ia sorang pembunuh.”
Kecaman Paus V tentang intrik-intrik melawan Coligny dan penolakan Paus Gregorius XIII untuk menemui Maurevel sang pembunuh, menunjukkan ketidakterlibatan kepausan dalam peristiwa yang mengenaskan tersebut. Yang diinginkan Paus adalah keadaan damai dan kesatuan religius, dan dalam keadaan apapun juga, tujuan akhir tidak menghalalkan segala cara. Mengenai ucapan selamat yang disampaikan Paus Gregorius XIII berkenaan dengan kejadian pembunuhan massal tersebut;  hanya dapat dipahami dengan benar dengan mengasumsikan bahwa pihak Tahta Suci, seperti halnya para pemimpin negara-negara Eropa lainnya dan juga banyak orang Perancis sendiri, percaya akan adanya persekongkolan kaum Huguenot yang ingin menumbangkan Kerajaan Perancis, dan bahwa kemudian hukuman yang setimpal telah selesai diberikan.
Agaknya dalam mempelajari sejarah kita harus mempunyai sikap yang lebih obyektif. Sebab kita sering mendengar tuduhan-tuduhan bahwa seolah Tahta Suci (Paus) berperan dalam pembunuhan umat Protestan, padahal fakta sejarah menuliskan keadaan yang sebaliknya, yaitu umat Katoliklah yang banyak dibunuh oleh kaum Protestan. Fr Alphonsus Maria Duran dalam bukunya, “Why Apologize for the Spanish Inquisition?” menulis:
Menurut Raphael Molisend, seorang sejarahwan Protestan, Raja Henry VIII membunuh 72,000 umat Katolik. Anak perempuannya Elizabeth I, dalam beberapa tahun saja, juga atas nama Kristianitas yang sudah direformasi, dan karena itu telah dimurnikan, menyebabkan jatuhnya lebih banyak korban, jauh melebihi apa yang terjadi pada inkuisisi di Spanyol dan Roma selama 3 abad (331 tahun). Dari Geneva, Calvin mengirimkan utusan kepada England (Inggris) dengan pesan untuk membunuh orang-orang Katolik: “Siapa yang tidak mau membunuh para pengikut Paus, adalah pengkhianat.” Kebijakan ini dikenal tidak hanya oleh orang-orang Inggris yang setia kepada Roma, tetapi juga orang- orang Irlandia, yang hidup dan hak asasinya diambil (sampai 1913), demikian juga tanah mereka. Tahun  1585 parlemen Inggris mengeluarkan dekrit “hukuman mati bagi para warga Inggris yang kembali ke Inggris setelah ditahbiskan menjadi imam Katolik, dan semua orang yang menghubungi mereka.” (Black Legends of the Church by Vittorio Messori, ch. 6, nr. 36)
Jadi nampaknya, sudah saatnya kita melihat fakta sejarah dengan lebih obyektif. Sebab dengan sikap terbuka dalam membaca sejarah, kita dapat melihat bahwa kelemahan faktor manusialah yang membuat adanya pertentangan sesama saudara pengikut Kristus di masa yang lalu, dan sungguh kelemahan ini ada di kedua belah pihak. Karena itu baiklah sikap yang diambil oleh Paus Yohanes Paulus II ketika di tahun 1980-1996 beliau atas nama Gereja Katolik meminta maaf atas adanya kesalahan yang diperbuat oleh putera puteri Gereja di masa yang lampau. Walaupun kalau kita melihat kepada faktanya, seharusnya selayaknya pula, mereka yang telah menganiaya putera- puteri Gereja Katolik juga meminta maaf atas perbuatannya. Namun tidaklah mungkin untuk mensyaratkan hal itu sekarang, sebab yang menganiaya Gereja Katolik saat itu juga sudah meninggal dunia, dan tidak ada pihak otoritas gereja Protestan yang dapat mewakili gerejanya untuk berbicara meminta maaf atas nama mereka itu. Jadi biarlah kita biarkan fakta sejarah berlalu untuk mengajar kita, agar jangan sampai terjadi lagi pertentangan seperti pada masa lalu; dan sudah saatnya sebagai sesama pengikut Kristus kita lebih mengusahakan persatuan dan bukannya saling menyalahkan. Mari kita mengikuti teladan Paus Yohanes Paulus II, yang tidak menunggu/ mensyaratkan orang yang bersalah kepada kita untuk meminta maaf terlebih dulu, baru kita meminta maaf, namun kita mau dengan kerendahan hati meminta maaf, mengakui kesalahan di pihak kita, demi tercapainya hubungan yang lebih baik dengan sesama.
Salam kasih dalam Kristus Tuhan,
Ingrid Listiati-katolisitas.org

Tidak ada komentar:

Posting Komentar