Mengasihi Sesama

Mengasihi Sesama
Ibu Theresa dari Calcuta

Kamis, 01 Oktober 2020

BAB VII. Penyimpangan-Penyimpangan Protestanisme

 

BAB VII. Penyimpangan-Penyimpangan Protestanisme

by Cornelius Pulung

1

Protestanisme itu tidak konsisten.

Kita tidak bermaksud membahas tentang pertanyaan yang hidup dan membara, yang saat ini menganggu struktur internal banyak denominasi Protestan. Pertanyaan-pertanyaan itu sedang diperdebatkan bukan oleh Gereja-Gereja yang berbeda, melainkan oleh para anggota dari denominasi yang sama. Isu ini begitu berat sehingga ia menyebabkan perpecahan serius dalam Gereja Presbiterian, Baptis, Methodis, dan Episkopal. Menurut pendapat beberapa orang, jurang antara kaum konservatif dan fundamentalis, di satu sisi, dan kaum liberal atau modernis, di sisi lain, semakin melebar dan membentuk perpecahan yang permanen.

Merupakan hal yang pas untuk melihat sekilas situasi saat ini dari cabang-cabang Protestanisme terpenting guna memperlihatkan kelemahannya yang terbesar.

Kecenderung yang paling buruk saat ini ialah upaya para pemimpin konservatif untuk bersikeras pada dogma-dogma yang terikat-oleh-Kredo, seperti inspirasi verbal Kitab Suci, kelahiran perawan Yesus, the vicarious substitutionary theory of the Blood of the Atonement (teori substitusioner pengganti Darah Penebusan), Kebangkitan fisik Tuhan Kita, dan kedatangan-Nya yang kedua secara kasatmata dan langsungsebagai hal yang hakiki bagi iman yang menyelamatkan dan bagi posisi Kristiani. Kaum modernis, dengan dipimpin oleh ratusan klerus dan didukung oleh beberapa uskup – seringkali yang paling terpelajar dari mereka – menyangkal semua ini atau meragukannya secara serius.

Lebih spesifiknya, dan dengan memilih satu denominasi, unsur konservatif Gereja Episkopal telah berupaya, namun gagal, untuk membawa Klerus dari persekutuan itu ke dalam keselarasan doktrinal dengan Kredonya, seraya mengancam mereka yang keras kepala dengan membawanya ke pengadilan atas tuduhan kesesatan. Tapi Persatuan Insan Gereja Modern, yang dikatakan terdiri dari lima ratus Klerus Episkopal, telah menerima tantangan dan membuat pembelaan atas salah satu klerus mereka – “klerus tidak jelas dari barat daya” – yang dituduh mempertanyakan Kelahiran Perawan. Ia dikatakan telah menyatakan demikian: “Orang-orang Kristen yang telah dikonsekrasi banyak berbeda dalam penafsiran mereka atas kredo-kredo kuno... misalnya, ada orang yang berpegang, dengan pikiran yang tak mempertanyakan, pada doktrin Kelahiran perawan, sebagai pernyataan fakta fisik, sementara yang lain telah tergerak untuk menganalisanya dan telah menemukan kebenaran-kebenaran rohani yang baru, yang melampaui apa yang diungkapkan bentuk kata-kata tersebut secara tidak sempurna. Ada juga di antara kita, yang percaya bahwa Yesus ada dalam segala hal dan di setiap cara sebagai Allah dan manusia: inkarnasi Allah dan anak Yosef.”

Ciri yang lebih spektakuler dari pemberontakan ini disajikan dalam ucapan yang disengaja dan dramatis dari seorang pelayan yang terpandang, tampil dalam jubah seorang “Doktor Teologi” di mimbarnya dan secara umum melepaskan jubah klerusnya, yang menyangkal Kelahiran Perawan, seraya menyarankan agar uskupnya membawanya, dan bukannya “klerus tidak jelas itu” – seorang muda dari barat daya – ke pengadilan karena tuduhan kesesatan. Sekarang, guna bersikap adil kepada para Uskup Gereja Episkopal, harus dikatakan bahwa, dengan sangat sedikit pengecualian, mereka telah menegaskan kembali dalam pernyataan terkini iman mereka akan Kelahiran Perawan dan Kredo Para Rasul, dan mengharuskan semua Klerus mereka untuk menyelaraskan diri kepada ajaran-ajaran ini. Tapi, tanpa perlu kita masuk ke dalam ciri-ciri intrinsik dari persoalan tersebut, kita dapat sekadar bertanya: oleh logika apakah para Uskup Episkopal, atau tua-tua lainnya dalam denominasi Protestan, dapat mensyaratkan keselarasan atau kepatuhan akal budi dari pihak klerus atau umat awam mereka kepada ajaran Kristen apapun, tak peduli betatapun ortodoksnya atau rasionalnya ajaran itu, yang berlandaskan pada prinsip “penafsiran pribadi?” Bukankan prinsip penafsiran pribadi inilah yang melahirkan dan menghidupkan Protestanisme, yang mana, semua pria dan wanita memiliki hak untuk membuat penafsirannya sendiri? Bukankah prinsip penafsiran pribadi atas Kitab Suci adalah penyebab perpisahan dari Gereja Katolik yang lama?

Kita mengasumikan bahwa jawaban atas semua pertanyaan ini adalah bahwa setiap denominasi memiliki hak untuk membentuk Kredonya sendiri dan menghidupinya. Tapi di sini kita harus bertanya lagi: “Melalui hak apakah tiap manusia, atau tiap kelompok, atau masyarakat, yang mengklaim sebagai orang Kristen, dapat membentuk Kredo yang baru atau memulai Agama baru? Apabila sebuah Agama baru telah didirikan atas dasar hak penafsiran pribadi, mengapa Kredo diperlukan, yang mengikat pikiran orang lain ke dalam kumpulan kata-kata? Pembentukan Kredo adalah pelembagaan otoritas dan intisari Tradisi yang telah lama sekali ditolak oleh semua Protestanisme. Benar bahwa Kredo-Kredo Protestan diubah dari waktu ke waktu, tapi mereka selalu mengikat anggota-anggota denominasi mereka masing-masing. Pelayan manapun, yang tidak menyelaraskan dirinya dengan Kredo Gerejanya, akan dibawa ke hadapan pengadilan Gerejanya dan dihakimi seturut Kredonya. Tapi, bukankah Kredo adalah produk kumpulan penafsiran-penafsiran pribadi? Siapakah yang memberi para pembuat Kredo otoritas untuk mengikat dan menghakimi orang lain? Kristus berkata kepada Para Rasul-Nya: Sebagaimana Bapa mengutus Aku, demikian pula Aku mengutus kamu.” Siapakah yang mengutus para Rasul modern ini guna memulai Agama-Agama baru atau membuat Kredo-Kredo baru? Allah tidak mengutus mereka; Kristus tidak mengutus mereka, tidak pula Gereja Katolik. Hanya kepada Petrus, Kepala Gereja, dan dalam pribadi Petrus dan semua penerus jabatannya, Kristus berkata: “Gembalakanlah domba-domba-Ku; gembalakanlah domba-domba-Ku.” Umat bisa jadi mengutus mereka. Tapi mereka bukan Kristus, bukan pula Gereja-Nya yang hidup dan mengajar. Konsekuensinya, apabila hakim-hakim yang ditunjuk seturut Kredo Protestan manapun, memberikan sebuah penghakiman, maka keputusan mereka setara dengan pemeriksaan autopsi. Keputusan mereka tidak akan membawa kehidupan baru bagi orang hidup, tidak pula kepada orang mati. Itu adalah ungkapan dan berlawanan dengan prinsip pertama, yang membuat mereka menjadi ada sebagai Gereja yang terpisah.

Namun, seberapa kejam otoritas ini telah dilaksanakan merupakan perkara sejarah, dan sejarah ini masih terus berlanjut. Karenanya, perpisahan, perpecahan, Rasionalisme, Modernisme, Pemikiran Bebas yang tak terkendali, kini merajalela dalam Masyarakat berbudaya, Universitas, dan dalam Penerbitan. Demikianlah dampak dari Protestanisme yang tidak konsisten.

Ketidakkonsistenan itu diakui, di antara yang lain, bahkan oleh seorang Protestan bernama J. H. Blunt, yang menulis: “Keberadaan semata dari pengakuan-pengakuan iman tersebut, sebagai hal yang mengikat atas semua atau setiap anggota komunitas Kristen, adalah tidak konsisten dengan prinsip-prinsip besar, yang mana lembaga Protestanisme membenarkan perpisahan mereka dari Gereja, yakni hak atas penafsiran pribadi. Bukankah tiap anggota memiliki hak yang adil untuk mengkritik dan menolaknya sebagaimana para leluhur mereka memiliki hak untuk menolak Kredo Katolik atau kanon-kanon dari Konsili-Konsili Umum? Mereka kelihatannya melanggar ajaran unggul dari kaum Pembaharu, seperti kecukupan Kitab Suci demi keselamatan. Apabila Kitab Suci saja cukup, apakah perlu menambahkan artikel lainnya? Apabila dijawab bahwa mereka bukanlah tambahan melainkan sekadar penjelasan sabda Allah, maka pertanyaan selanjutnya muncul – di tengah banyak penjelasan yang kurang lebih berbeda satu sama lain, yang diberikan oleh sekte-sekte Protestanisme – siapakah yang memutuskan penjelasan mana yang benar? Tujuan yang mereka akui ialah menjamin keseragaman, pengalaman tiga ratus tahun silam telah membuktikan pada kita apa yang tidak diramalkan oleh pencipta mereka, bahwa mereka memiliki hasil-hasil yang sama sekali bertentangan, dan telah menghasilkan, bukannya persatuan, melainkan perselisihan.”[1]

Oleh karena itu, Liberalisme atau Modernisme dalam tiap denominasi non-Katolik, walaupun salah, namun masih lebih konsisiten dengan prinsip penafsiran pribadi, yang membawa segalanya sampai ke kesimpulan logisnya. Kaum Konservatif atau Fundamentalis, selagi mereka benar dalam menjunjung kebenaran dari beberapa doktrin Agama Kristen yang hakiki, kendati demikian, mereka salah, sebab mereka hanya setengah melangkah dan menentang diri mereka. Sementara mereka bermegah dalam pernyataan tentang penafsiran pribadi, yang menyebabkan mereka menolak otoritas Gereja Katolik, mereka menolak hak penafsiran pribadi itu kepada individu dan mengangkat diri mereka sebagai otoritas, yang mana tidak ada manusia satupun yang dapat memberikannya pada mereka. Mereka tidak konsisten dan menentang diri mereka.

2

Prinsip Protestanisme, yang dipertimbangkan sebagai fondasi dan alasan perpisahannya dari Gereja Katolik, adalah sebuah kontradiksi terbuka.

Protestanisme, tidak peduli betapa kabur dan tidak pastinya beragam kredo mereka, namun ia berlandaskan pada tiga prinsip. Prinsip pertama terdiri dari “Sumber-Sumber iman”, yang menurutnya Kitab Suci dan hanya Kitab Suci yang harus diterima; prinsip kedua ialah “sarana justifikasi” yang melaluinya manusia dibenarkan hanya oleh iman; prinsip ketiga adalah “Konstitusi Gereja” yang menurutnya semua umat beriman membentuk sebuah imamat universal, semuanya memiliki hak dan kewajiban tidak hanya untuk membaca dan menafsirkan Kitab Suci, tapi juga ambil bagian dalam pemerintahan dan urusan umum Gereja.

Kita di sini hanya tertarik dengan prinsip pertama, yaitu “sumber-sumber iman.”

Sebagaimana diungkapkan dalam Kitab-Kitab Simbolis dari semua denominasi Protestan, prinsip “sumber-sumber iman” dinyatakan dalam kata-kata berikut: “Kami percaya, kami mengakui, dan kami mengajarkan bahwa satu-satunya kaidah dan pedoman, yang menurutnya semua dogma dan pengajar harus ditimbang dan dinilai, tidak lain adalah tulisan-tulisan profetis dan Apostolik dari Perjanjian Lama dan Baru.”[2] Prinsip yang sama ini dinyatakan oleh Chilingworth dalam rumusan berikut: “Kitab Suci, seluruh Kitab Suci, dan hanya Kitab Suci, yang merupakan Agama kaum Protestan.” Ini berarti supremasi Kitab Suci dan sumber eksklusif akan pengetahuan dan informasi yang berhubungan dengan Agama Kristen melalui sarana penafsiran pribadi. Pada bagian lain, kita telah melihat bagaiman prinsip ini membawa kematian bagi Iman dan kehancuran bagi persatuan Kristen.

Prinsip tersebut tidak logis dan kontradiktif. Ia tidak logis. Iman terdiri dari kepatuhan akal budi kepada otoritas yang lebih tinggi atas apa yang harus diimani manusia, entah ia memahaminya atau tidak. Iman mengimplikasikan ketergantungan dan kepercayaan pada sesuatu yang lebih tinggi dari akal budi manusia. Jelas bahwa dalam hal ini, akal budi dibimbing Iman. Sebaliknya, penafsiran pribadi menetapkan akal budi sebagai Hakim tunggal, lantas keputusan terakhir hanya bersandar pada akal budi pendengar atau pembaca. Apabila hanya dengan akal budi, maka tidak ada kepatuhan akal budi kepada Iman: karenanya tidak ada iman, sebab tidak ada guru yang mengarahkan akal budi. Apabila tidak terdapat iman atau guru, mengapa dan apakah yang dicoba untuk dipelajari oleh akal budi si pembaca atau pendengar? Bagaimana ia bisa dibimbing? Dengan mengecualikan otoritas, maka akal budi mengecualikan iman akan Allah, atau iman dalam Gereja-Nya, dan menyatakan dirinya sebagai allah kecil. Sekali lagi St. Agustinus berkata dengan jitu: “ia yang mempercayai apapun yang ia suka, maka ia mempercayai dirinya dan bukan Injil.”

Tidak pula dapat dikatakan bahwa, dalam perkara penafsiran pribadi, akal budi menetapkan Kitab Suci sendiri sebagai gurunya atau otoritasnya yang lebih tinggi. Pembaca atau pendengar Protestan, menurut pernyataannya, menetapkan akal budi pribadinya sebagai Hakim tunggal. Siapa yang memberitahunya bahwa ia harus belajar Agama dari Kitab Suci dan hanya dari Kitab Suci guna menyelaraskan hidupnya secara pantas? Apabila ia bersikeras dalam mengiakan bahwa terdapat Kredo Gerejanya, ia harus mengakui bahwa terdapat suatu otoritas, yang lebih tinggi dari akal budinya, yaitu Kredo Gerejanya. Tapi, bagaimana bisa ia mengakui secara logis otoritas Kredo Gerejanya atas akal budinya, ketika oleh pengakuannya ia menyatakan bahwa akal budinya adalah satu-satunya Hakim? Dalam hal tersebut, ia adalah Hakim bagi Gerejanya dan Kredonya. Karenanya St. Agustinus berkata lagi: “Aku tidak akan mempercayai Injil apabila aku tidak digerakkan oleh otoritas Gereja Katolik untuk berbuat demikian.”[3]

Tapi prinsip itu tidak hanya tidak logis, tapi juga kontradiktif. Ketika saudara non-katolik kita berbicara tentang iman dalam Kitab Suci, yang mereka maksudkan pastinya adalah pengakuan iman ilahi. Mereka menyatakan bahwa hanya Kitab-Kitab Perjanjian Lama dan Baru yang merupakan satu-satunya Kaidah dan pedoman, yang melaluinya semua dogma dan pengajar haruslah ditimbang dan dihakimi.

Pernyataan ini mengandung tiga hal. Hal pertama menyatakan bahwa, tidak hanya semua Kitab itu suci dan ilahi, tapi juga bahwa semua Kitab itu hanyalah buku, yang sungguh suci dan ilahi, yang merupakan satu-satunya “Pedoman Iman.” Hal kedua menyatakan bahwa “tidak ada sabda Allah yang lain, selain yang ada dalam Kitab-Kitab yang suci dan ilahi, yang harus diimani, dan tidak ada ajaran iman lain yang tidak terkandung di dalamnya, dan yang tidak dapat dibuktikan oleh Kitab-Kitab yang suci dan ilahi.” Hal ketiga menyatakan bahwa setiap umat beriman adalah penafsir memadai akan makna sejati Kitab Suci dan bahwa semua dogma dan pengajar harus ditimbang dan dihakimi menurut Kitab-Kitab yang suci dan ilahi, yang merupakan satu-satunya “Pedoman Iman.” Karenanya, mereka menyangkal bahwa Gereja adalah penafsir otentik makna sejati Kitab Suci; sebaliknya, mereka mengklaim bahwa hak penafsiran tersebut adalah milik setiap pria dan wanita. Inilah apa yang mereka sebut dengan hak penafsiran pribadi.

Walaupun demikian, sayangnya, bagi saudara-saudari kita yang terpisah, tidak satupun dari ketiga hal itu – yang, menurut mereka, merupakan ajaran hakiki dari keyakinan mereka – yang terkandung dalam Kitab Suci. Apabila mereka “menyelidiki Kitab Suci’ dari depan ke belakang, mereka tidak akan menemukan salah satunya. Jadi, konsekuensinya, selagi mereka percaya, menyatakan, dan mewartakan, bahwa tidak ada apapun yang perlu diimani yang tidak tertulis dalam Kitab Suci, serentak mereka percaya, menyatakan, dan mewartakan ke seluruh dunia, sebagai prinsip hakiki agama mereka, apa yang tidak pernah tertulis dalam Kitab Suci. Ini merupakan sesuatu yang positif dan negatif dalam prinsip yang sama tersebut. Ini adalah kontradiksi.

3

Dalam keyakinan dan praktik agama kita, saudara-saudara kita yang terpisah mengakui dan melakukan banyak hal, yang tidak tertulis dalam Kitab Suci. Mereka mengetahuinya hanya melalui Tradisi.

Terkadang manusia bertindak tanpa banyak refleksi. Seringkali ia beraktivitas bahkan secara tidak sadar yang berlawanan dengan prinsip-prinsip hidupnya atau Agamanya. Yang dimaksud dengan ketidaksadaran bukanlah kondisi kelengahan total, seperti tindakan seseorang yang berjalan sambil tidur, bukan pula kondisi seperti lembu yang memikul kuknya, tapi melainkan ketidaktahuan tertentu, yang tidak disadari atau diketahui oleh akal budinya. Kurangnya refleksi serius atau ketidaksadaran rasional ini berasal dari kebiasaan-kebiasaan tertentu, dari gagasan-gagasan yang telah ada sebelumnya, dari lingkungan tertentu, bahkan sesudah seseorang mampu menilai dan memilih bagi dirinya. Dia, yang pertama kali menyatakan bahwa orang-orang dikatakan sebagai pengikut Muhammad, kaum Pagan, Protestan atau Katolik “sejak lahir” tidaklah banyak keliru. Lingkungan dan prasangka sebagian besar mempengarui pandangan dan perbuatan manusia.

Sekarang, apabila kita mempertimbangkan prinsip hakiki Protestanisme, yaitu penafsiran pribadi – pada pandangan pertama kita cenderung menyimpulkan bahwa prinsip yang destruktif ini pastilah mengarah pada lenyapnya semua Kredo, dan kepada kehancuran total semua keyakinan non-katolik. Kesimpulan kita ini benar.

Meskipun demikian, kita dihadapkan dengan fakta bahwa, apabila penafsiran pribadi menghancurkan kesatuan iman, namun Protestanisme telah hidup selama ratusan tahun dan sampai hari ini, ia tetaplah aktif di dalam dan di luar. Hal ini tampak sebagai keganjilan, yang mana, hanya terlihat demikian, sebab, penafsiran pribadi tidak pernah diizinkan utnuk bermain secara penuh dalam hidup dan perjalanan agama apapun.

Dari permulaan Reformasi sampai ke masa kita, penggunaan penafsiran pribadi telah dibatasi pada mereka, yang melalui jejak karakterknya yang kuat, telah mampu menciptakan denominasi-denominasi dan kredo-kredo baru. “Penafsiran pribadi” – yaitu – “Kitab Suci yang terbuka dan hanya Kitab Suci dengan penafsiran bebas bagi semua orang” – tidak lain merupakan daya tarik untuk memikat banyak orang. Ia hanya berperan untuk menyanjung kesombongan dan menipu orang yang tidak tahu. Kenyataannya, prinsip itu bukan milik banyak orang, tapi merupakan keistimewaan segelintir orang. Orang banyak selalu digerakkan dan diarahkan untuk melakukan pekerjaan orang lain. Refleksi dan suara hati mereka kerap kali dibentuk oleh para petualang, yang punya banyak hal untuk diperoleh, tapi tidak terlalu banyak kehilangan. Selagi waktu memberikan stabilitas dan warna kebenaran bagi pencapaian mereka, secara khusus ketika mereka lahir dan dibesarkan dalam lingkungan yang tidak bahagia tersebut, orang-orang menerimanya begitu saja bahwa mereka benar dan yang lainnya salah.

Kurangnya refleksi serius dan kesadaran rasional disingkapkan dengan lebih baik dalam keyakinan dan praksis saudara-saudara kita yang terpisah. Denominasi-denominasi utama, yang masih bangga akan asal-usul dan nama Kristiani mereka, telah mempertahankan, bahkan sampai hari ini, banyak doktrin dan praksis yang telah mereka warisi dari sumber yang tidak lain adalah Tradisi. Beberapa doktrin dan praksis ini tidak pernah disebutkan dalam Kitab Suci. Apabila mereka disebutkan, Kitab Suci agak tidak menyetujuinya. Mereka sekadar diteruskan oleh Tradisi. Namun banyak kaum Protestan percaya bahwa mereka bertindak seturut Kitab Suci dan bukan Tradisi.

Mereka percaya bahwa Baptisan dapat diberikan secara sah oleh kaum bidat dan kafir, atau bahwa bayi harus dibaptis. Mereka percaya bahwa Hari Tuhan adalah hari Minggu dan bukan Sabtu, sebagaimana dalam Hukum Lama. Mereka percaya bahwa dalam kondisi-kondisi tertentu, dan untuk alasan baik, merupakan hal yang sah bagi orang Kristen untk bersumpah. Mereka percaya bahwa penggunaan daging binatang yang mati dicekik atau darah itu diizinkan. Walaupun praksis-praksis ini tampaknya tidak disetujui Kitab Suci, sebagian besar kaum Protestan bertindak dan menafsirkannya menurut Tradisi dan otoritas Gereja Katolik. Karenanya, tidaklah mengherankan bahwa denominasi tertentu merayakan hari Tuhan[4] pada hari Sabtu, bukan Minggu.

Semua praksis yang disebutkan di atas, dan juga banyak praksis lainnya, diimani dan dipatuhi oleh saudara-saudara kita yang terpisah, sekalipun tidak ditulis dalam Kitab Suci. Mengapa? Sebab mereka selalu berbuat demikian dan bapa mereka serta leluhur mereka juga berbuat demikian.

Masih ada banyak hal lain yang diimani saudara-saudara kita yang terpisah, yang bertentangan dengan ajaran Gereja Katolik, yang tidak ditulis dalam Kitab Suci. Seperti misalnya, justifikasi oleh iman saja, yaitu: iman adalah satu-satunya syarat dan sarana untuk memperoleh keselamatan.

Menurut teori ini, pertobatan, kasih kepada Allah, perbuatan baik dan keutamaan tidaklah diperlukan. Ketika Martin Luther, dalam terjemahan Kitab Suci berbahasa Jerman miliknya, memalsukan Roma 3:28, dengan menambahkan atau menyisipkan kata saja, karenanya ia menjawab para pengkritiknya: “Aku menghendakinya dengan cara ini. Kaum papist dan orang dungu adalah hal yang sama: Demikianlah yang aku kehendaki, demikianlah yang aku perintahkan, kehendakku adalah alasannya.”[5]

Terakhir, saudara-saudara kita yang terpisah agaknya memiliki sistem yang telah berkembang, yang dapat membedakan artikel iman yang hakiki dan tidak hakiki sebagai hal yang selalu diimani. Sistem tersebut tidak ditemukan dalam kitab Suci. Namun mereka masih menyetujuinya dan mereka heran mengapa Gereja Katolik bahkan tidak memperhatikannya. Penalaran mereka memang aneh! Ketika kita mempertimbangkan bahwa terdapat banyak hal yang hanya diketahui dari Tradisi, yang tidak mereka setujui karena tidak ditemukan dalam Kitab Suci, sementara di sisi lain, mereka bertindak dan hidup menurut Tradisi-Tradisi tertentu yang tidak ditemukan dalam kitab Suci, kita memahami kondisi rohani yang menyedihkan dari semua denominasi non-Katolik, dan kita merasa ngeri akan labirin tempat semua Protestanisme tersesat secara menyedihkan. Hanya ada satu jalan keluarnya: kepulangan yang cepat ke dalam Bunda Gereja Katolik.


[1] J. H. Blunt, Dict. of Sects, Heresies, etc.

[2] Epitop. Form., Concor.

[3] Agustinus, Epist. Fund., C. V.

[4] Lih. Exod. XX, 10, 11; Mat 5:33-34; Kis 25:28-29.

[5] Cath. Encycl. V, VIII, hal. 575.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar