Mengasihi Sesama

Mengasihi Sesama
Ibu Theresa dari Calcuta

Sabtu, 17 Oktober 2020

BAB IX. Sarana dan Cara Tradisi Diteruskan dengan Aman

 IN TEOLOGI FUNDAMENTALTRADISI

1

Pengantar.

Mengenal artikel-artikel pokok agama Katolik dan memberikan pertanggungjawaban yang baik akan pengetahuan itu merupakan hal yang sangat penting bagi orang Katolik. Ketika umat Katolik hidup dalam sebuah komunitas, yang terdiri dari semua syahadat dan tanpa syahadat, maka tindakan memberikan alasan bagi keyakinan dan praksis mereka merupakan hal yang bijaksana. Bukankah, barangkali, kaum Rasionalis berpendapat bahwa dogma Katolik muncul dan berkembang dalam cara yang alami atau luar biasa seperti semua sistem manusiawi? Bukankah banyak non-Katolik mengklaim bahwa doktrin Katolik menjadi rusak di sepanjang waktu? Baiklah bila kita menelusuri kembali di sepanjang zaman, berhenti di tempat-tempat berbeda dalam kehidupan Gereja dan menjangkau ke sumbernya, tempat Kekristenan berasal. Di sana seseorang dapat melihat bagaimana umat Kristen perdana hidup, apa yang mereka imani, sampai sejauh mana mereka bekerja untuk menjaga agar Iman tetap tak bernoda, yang mereka terima dari Para Rasul. Jiwa Gereja ada di sana dengan segenap kepenuhannya. Air-air, yang mengalir dari mata air kehidupan, masih murni dan menyegarkan. Apabila kita mengakui bahwa air-air itu terkontaminasi di Abad Pertama, Kedua atau Ketiga, itu sama saja menyatakan bahwa Kristus mendirikan Gereja-Nya tidak di atas batu karang, tapi di atas pasir kerapuhan manusia.

Maka lihatlah Mempelai Yesus Kristus yang indah, murni dan kekal: lihatlah satu-satunya Mempelai-Nya, Mempelai yang “kemarin, dan hari ini, dan sama selamanya”[1], satu-satunya yang dapat mengklaim secara sah bahwa Putra Allah adalah miliknya, dan hanya miliknya. Ia membuktikan klaim itu melalui dokumen-dokumen, tanpa keraguan, dan dengan mengecualikan semua yang lain.

Tanpa mengecualikan Kitab Suci, kami mempertahankan bahwa Sejarah Gereja, Konsili-Konsili Umum, tulisan-tulisan Bapa Gereja, Liturgi, monumen-monumen Seni Kristiani dalam lukisan, pahatan, ruang bahwa tanah, koin-koin, prasasti, ukiran, katakombe – semuanya membuktikan Iman umat Kristen perdana sedemikian rupa sehingga, apabila bukti lainnya gagal, “batu-batu akan berteriak,” “Lapides clamabunt.’[2]

Dokumen-dokumen dari Kekristenan purba mengandung sabda Allah dalam satu atau lain cara. Mereka memperlihatkan kehidupan Gereja sehari-hari, ajarannya, imannya, praksisnya, dan, yang terpenting, identitas iman dan ajaran Gereja perdana dengan Gereja Katolik hari ini. Dengan kata lain, kehidupan Gereja yang sejati adalah satu dan selalu sama: hatinya, seakan-akan, berdetak serempak dalam semua generasi. Tidak ada perubahan Iman, tidak ada pengubahan substansial dalam praksisnya, tidak ada perubahan vital dalam ajarannya.

Sekalipun semua dokumen dan monumen ini penting – Kitab Suci tidak dikecualikan – mereka bukanlah organ utama Tradisi, yaitu, mereka bukanlah sarana-sarana utama, yang melaluinya Agama Katolik harus diketahui. Suksesi Apostolik yang senantiasa hidup dan infalibel, atau lembaga mengajar Gereja yang hidup, adalah satu organ kasatmata, yang, dengan menggunakan semua materi yang luas ini, menuntun manusia kepada pengetahuan tentang Kristus yang sejati. Ia adalah saluran utama yang melaluinya semua doktrin Kristiani mengalir. Kitab Suci dan Tradisi pastinya adalah sabda Allah, dan konsekuensinya, merupakan Pedoman Iman kita. Tapi mereka tidaklah demikian apabila dipertimbangkan dalam dirinya, melainkan karena disetujui oleh persetujuan umum Gereja. Sebagaimana dinyatakan Konsili Vatikan I: “Melalui iman yang Ilahi dan Katolik semua hal-hal itu harus diimani, yang terkandung dalam sabda Allah yang tertulis atau yang disampaikan, dan yang diajukan oleh Gereja melalui penilaian definitifnya atau pengajaran biasa dan universal, sebagai hal yang diwahyukan secara ilahi.”[3]

Selain Kanon Kitab Suci, definisi-definisi dogmatik dari Konsili-Konsili Umum dan Paus Roma, juga definisi-definisi Konsili-Konsili partikularyang disetujui secara resmi oleh Takhta Suci; pengakuan-pengakuan Iman yang dikeluarkan Gereja yang diwajibkan atas umat beriman; Simbol-Simbol paling kuno, semua ini termasuk ke dalam penilaian defiinitif Gereja.

Liturgi, Sejarah Gereja, Tindakan-Tindakan para Martir, monumen-monumen Seni Kristiani, persetujuan umat beriman dan sekolah-sekolah teologi, serta tulisan-tulisan Bapa Gereja, semua ini termasuk ke dalam pengajaran biasa atau universal Gereja.

Karena bukanlah bidang kami untuk menceritakan di sini tentang Sejarah Gereja, Kisah Para Martir, Liturgi-Liturgi yang berbeda, atau menghitung definisi-definisi dogmatik dari Paus Roma dan Konsili Umum, maka cukuplah untuk menyatakan bahwa, bahkan pengetahuan dangkal akan semua perkara ini sangatlah berguna bagi para pelajar Agama Katolik yang mencari kebenaran. Misalnya, sebagaimana Liturgi di masa lalu dan masa kini, merupakan ungkapan praktis dan lahiriah akan iman batin orang Kristen, seseorang dapat memilah apa yang diimani dan dilakukan umat Kristen perdana dengan membandingkan praksis-praksis dan upacara-upacara Gereja hari ini dengan praksis-praksis dan upacara-upacara yang dijelaskan dan digambarkan dalam Liturgi-Liturgi kuno Gereja. Karenanya terdapat ungkapan Bapa Gereja: “Cara berdoa memperlihatkan cara kita beriman.” “Legem credendi lex statuat supplicandi.”

Oleh karena itu, kami akan membatasi bahasan ini pada dokumen-dokumen tertentu yang diperlukan untuk menjaga dan menyebarkan Agama sejati – dokumen dan monumen yang merupakan sarana tak ternilai di tangan Gereja, yang terhubung secara erat dengan Suksesi Apostolik. Tugas kami adalah menggambarkan apakah penilaian definitif Gereja dan ajaran Gereja yang biasa; apa maksud tulisan-tulisan Bapa Gereja; apakah Syahadat (Simbol) itu, apakah nilai dari persetujuan Sekolah Katolik dan umat Kristen Katolik, apa yang dapat dipelajari dari Katakombe dan dari monumen Kristen lainnya. Sebagaimana Bapa Gereja adalah sumber utama, maka kami akan membahasnya dalam bab tersendiri.

2

Penilaian definitif Gereja adalah bukti infalibel dari Tradisi Ilahi.

Ajaran Kekristenan harus dilindungi dari semua kekeliruan. Iman harus dijaga. Hal ini tersirat dari perintah yang Kristus berikan kepada Gereja: “Pergilah, ajarlah semua Bangsa … dan lihatlah Aku menyertai kamu senantiasa sampai kepada akhir zaman.”[4] Di sisi lain, anggota-anggota Gereja dipanggil tidak hanya untuk mengimani ajaran yang mereka terima, tapi juga mengungkapkan keyakinan itu. “Karena dengan hati orang percaya dan dibenarkan, dan dengan mulut orang mengaku dan diselamatkan.”[5] Hal ini menjadi sebuah keharusan di waktu bahaya. Untuk alasan inilah Gereja, menurut situasi dan hakikat kesesatan, dari waktu ke waktu harus memperingatkan umat berimannya, menjaga iman mereka melalui tindakan pencegahannya, entah dengan deklarasinya yang infalibel, pengakuan akan kebenarannya seara publik, atau pernyataan-pernyataan definitifnya. Semua ini dapat disebut sebagai penilaian definitif (solemn judgment) Gereja. Yang termasuk ke dalam penilaian definitif ini adalah semua definisi dogmatik, yang dinyatakan dan diumumkan Paus Roma, sebagai Kepala Gereja, atau oleh Konsili Umum yang disetujui Takhta Suci.

Definisi-definisi dogmatik adalah jawaban-jawaban Gereja. Mereka adalah pernyataan-pernaytaan infalibel, yang didasarkan pada infalibilitas yang diberikan Kristus kepada Paus Roma dan kepada Gereja. Misalnya Definisi Dogmatik Maria yang Dikandung Tanpa Noda. Pada tanggal 8 Desember 1854, Paus Pius IX mengumumkan, menyatakan, dan mendefinisikan bahwa Maria, Bunda Allah, “dari momen pertama pengandungannya, melalui privilese dan rahmat istimewa, yang diberikan Allah, sambil mengingat jasa-jasa Yesus Kristus Juru Selamat umat manusia, ia dilindungi dan dikecualikan dari semua noda dosa asal.”[6]

Pengakuan Iman dan Syahadat (Simbol) berada di dalam wilayah yurisdiksi khusus Gereja. Tentang Simbol-Simbol yang berbeda, akan kami bahas kemudian.

Pengakuan Iman memperlihatkan apa yang Gereja imani dan lakukan ketika Pengakuan tersebut dikeluarkan. Ia merupakan eksposisi yang lebih lengkap akan beberapa artikel Iman. Ketika kebenaran-kebenaran pokok tertentu diserang atau disangkal, Gereja memerintahkan mereka, yang kewajibannya adalah membela dan melindungi apa yang selalu dianut oleh umat beriman, untuk melakuan pengakuan publik dan lengkap akan ajaran-ajarannya. Pengakuan iman yang paling terkenal adalah: Pengakuan Tridentine, yang disebut demikian karena ia adalah rangkuman dari apa yang didefinisikan dan dinyatakan sebagai perkara Iman oleh Konsili Trente. Ia ditetapkan oleh Konsili yang sama di bawah Pius IV tahun 1564. Ia diakhiri dengan kata-kata ini, “Dalam cara yang sama, semua hal lain, yang telah diserahkan, didefinisikan, dan dinyatakan oleh Kanon-Kanon Suci dan Konsili-Konsili Ekumenis, saya menerima dan mengakui tanpa ragu.” Tahun 1877 Kongregasi Konsili Vatikan I memerintahkan penambahan kata-kata berikut: “dan oleh Konsili Ekumene Vatikan, diserahkan, didefinisikan, dan dinyatakan, khususnya tentang Primat dan Infalibilitas Paus Roma.”

Tiga Pengakuan Iman lainnya yang terkenal adalah: pengakuan iman yang ditetapkan untuk orang Yunani oleh Paus Gregorius XIII; yang lainnya, yang diterapkan atas kaum Oriental oleh Paus Urban VIII dan Benediktus XIV. Pengakuan Iman terakhir ditetapkan untuk seluruh klerus Katolik oleh Paus Pius X, guna menentang kekeliruan-kekeliruan kaum Modernis.

Semua Pengakuan ini dan juga Definisi Dogmatik Gereja merupakan Penilaian-Penilaian definitif Gereja; konsekuensinya, mereka adalah bukti infalibel akan Tradisi Ilahi, sebab mereka berasal dari Paus Roma, sebagai Kepala Gereja, yang infalibel. Terlebih, kapanpun dokumen resmi Gereja menunjukkan ajaran dalam cara yang demikian sehingga persetujuan Suksesi Apostolik diperlihatkan, maka terjadi pula bahwa anggota-anggota yang sama dari Suksesi Apostolik itu bukanlah saksi pribadi, melainkan saksi publik yang termasuk ke dalam zaman-zaman Gereja yang berbeda: karenanya mereka, seakan-akan, merupakan saksi masa kini, yang tidak memberikan pendapat pribadi mereka, tapi menunjuk pada kesaksian bulat Tradisi.

Agustinus berbicara ke intinya: “Apabila Sinode episkopal dapat dipanggil dari setiap bagian dunia, akan menjadi sebuah kekaguman apabila mereka semua dapat ambil bagian di dalamnya. Sebab, mereka tidak hidup di waktu yang sama, tapi Allah memanggil beberapa pelayannya yang setia, yang lebih mulia daripada yang lainnya seturut waktu dan tempat yang berbeda, seperti yang Ia kehendaki dan sebagaimana hal itu bijaksana dalam penilaian-Nya. Kendati demikian, mereka ini, kamu melihatnya dari waktu dan tempat yang berbeda, dari Timur dan Barat, mereka berkumpul tidak ditempat yang tidak dapat dijangkau manusia, tapi dalam buku-buku yang dapat menjangkau manusia. Semakin lemah lembut hakim-hakim itu bagimu, apabila kamu berpegang pada iman Katolik, semakin mengerikan mereka bagimu, apabila kamu menentang Iman Katolik; yang kamu hisap seperti susu dalam masa kanak-kanak mereka, yang mereka ambil makanan darinya, yang susu dan makanannya mereka bagikan kepada anak-anak dan orang dewasa; yang secara terbuka dan tegas mereka bela dari musuh-musuhnya ketika kamu belum lahir dan sekarang mereka bela darimu, karena demikianlah kamu menyingkapkan dirimu. Sesudah Para Rasul, Gereja telah berkembang dengan kehadiran para penanam, pengair, pembangun, gembala, dan perawat tersebut.”[7]

Demikianlah senantiasa otoritas para Uskup Gereja Katolik. Kesaksian bulat mereka dalam persetujuan dan persatuan dengan Kepala Gereja, sebagaimana yang akan kita lihat, adalah bukti akan Tradisi Ilahi. Penilaian definitif mereka adalah bukti akan Tradisi Ilahi.

3

Syahadat Para Rasul sungguh bersifat “Apostolik”, tidak hanya dalam ajarannya, tapi juga dalam asalnya.

Kata Simbol, secara umum, memiliki tiga arti. Ia dapat berarti kumpulan banyak hal; sebuah lambang, yang melaluinya militer dibedakan dari penduduk sipil; sebuah tanda yang melaluinya kontrak dianggap otentik atau asli. Tiga arti ini secara mengagumkan diselaraskan dengan Simbol-Simbol Iman kita. Simbol adalah kumpulan, atau rangkuman dari apa yang harus diimani; sebuah lambang yang melaluinya orang Kristen dibedakan dari orang kafir; sebuah tanda perjanjian yang mana kita masuk ke dalamnya bersama Allah dalam Baptisan. Simbol, karenanya, adalah kumpulan pendek dan sederhana dari hal-hal yang harus diimani secara hakiki oleh semua orang Kristen. Jumlahnya ada tiga, sebagaimana disetujui Gereja. Ketiganya adalah Simbol para Rasul, Simbol Nicea – Konstantinople, dan Simbol Athanasius. Ketiganya diketahui secara universal, sehingga bahkan Gereja Yunani dan banyak kaum Protestan mengakuinya.

Kegunaan mereka dapat disimpulkan dari fakta bahwa guru-guru terpandang memiliki Simbol-Simbol yang berguna bagi guru dan murid. Baik Para Rasul dan Gereja purba menggunakan metode ini bagi murid-murid mereka. Ia cukup sederhana untuk dimengerti oleh orang bodoh; cukup pendek untuk diingat; dan cukup dalam bagi kaum terpelajar untuk mempelajarinya, merenungkannya, dan diteguhkan olehnya.

“Simbol Para Rasul” atau “Kredo Para Rasul” sebagaimana secara umum disebut oleh umat beriman, sejauh ini merupakan Simbol Kristiani terpenting dan paling dikenal. Sekalipun terdapat penyelidikan yang tajam oleh “kritikus terpandang” – baik dari Katolik dan Protestan – ia tetap sungguh “Apostolik.” Hal ini benar, tidak hanya menyangkut ajaran yang dikandungnya, tapi juga asal usulnya. Bisa saja benar bahwa tiap kedua belas artikel, yang menyusun Simbol tersebut, tidak boleh secara terpisah dan eksklusif diatributkan kepada satu Rasul tunggal. Bisa jadi benar bahwa ia tidak sampai kepada kita seutuhnya dalam bentuknya saat ini. Tapi tidak ada kritikus, betapapun besarnya dia, yang dapat membantah kaidah emas St. Agustinus, yaitu “apapun yang sampai kepada kita dari para tetua, dan tidak berasal dari Konsili atau Gereja, maka itu berasal dari Para Rasul.”

Perintah terakhir yang diterima Para Rasul dari Kristus sebelum Kenaikan-Nya adalah untuk mengajar dan membaptis. “Pergilah ke seluruh dunia, beritakanlah Injil kepada segala makhluk. Siapa yang percaya dan dibaptis akan diselamatkan, tetapi siapa yang tidak percaya akan dihukum.”[8]

Sadarilah, pertama, hubungan antara keyakinan dan penerimaan Baptisan. Seseorang harus percaya sebelum ia menerima Baptisan. Para Rasul diutus ke dunia, bukan untuk mempertobatkan anak-anak, tapi generasi orang dewasa. Dan apa yang harus dipercaya? Hanya arti kata-kata Baptisan dan implikasinya: apapun yang berhubungan dengan Bapa dan Putra dan Roh Kudus. Karenanya, seseorang harus mempercayai Misteri yang mengandung semua misteri lainnnya, yaitu Misteri Tritunggal Mahakudus, dengan semua artinya, pentingnya dan maksudnya. Syarat ini, sebelum penerimaan Baptisan, sungguh diperlukan hari ini, sebagaimana di setiap abad, dan sama seperti di masa Para Rasul. Bahwa Para Rasul menuntut keyakinan eksplisit dalam Allah sebelum memasukkan siapa saja ke dalam Gereja, dapat kita simpulkan dari pengakuan iman dalam Kristus yang ditetapkan Rasul Filipus bagi sida-sida[9], sebagai persiapan menuju Baptisan. Keyakinan eksplisit itu adalah rangkuman dari keberadaan dan sifat-sifat Tiga Pribadi Ilahi. Umat berimannya menamainya Para Rasul. Mereka melakukannya karena Para Rasul, sebagai Pendiri Gereja dan Legislator tertinggi, mewajibkannya pada mereka semua yang ingin menjadi anggota Gereja. Jika siapa saja pada masa-masa berhala universal itu harus percaya pada apapun, itu haruslah sesuatu yang menjadi pukulan telak di jantung berhala: yakni keyakinan akan Allah dalam Tiga Pribadi Ilahi. Inilah hal terkecil yang dapat diharapkan dari mereka yang memasuki Gereja dalam nama Tiga Pribadi Ilahi: Bapa, sebagai Pencipta; Putra, sebagai Penebus; Roh Kudus, sebagai Pengudus.

Simbol Para Rasul, karenanya, merupakan eksposisi lengkap atas Misteri Tritunggal Mahakudus. Di sepanjang zaman, Gereja, seperti dalam Konsili Nicea, membuat penambahan baru ke dalam Kredo Para Rasul untuk mengimbangi inovasi yang bertentangan dengan Iman. Para Rasul yang berpandangan jauh ke depan juga menjaga Misteri Trinitas dalam hal-halnya yang paling hakiki dari kesesatan. Untuk sesaat, kita bahkan tidak bisa mempertimbangkan sebuah gagasan bahwa Para Rasul kurang berpandangan jauh ke depan daripada Suksesi Apostolik mereka yang senantiasa hidup.

Di sepanjang waktu, sedikit penambahan telah ditambahkan kepadanya. Tapi itu tidaklah sangat penting. Ia merupakan detil-detil dari ajaran utama yang terkandung dalam Kredo.

Penambahan-penambahan minor ini, terutama yang berasal di Roma selama Abad Keenam, disetujui sepenuhnya dan digunakan oleh Gereja Universal.[10]

Kendati demikian, tak seorangpun harus merasa heran bahwa Simbol, yang merupakan karya Para Rasul, harus mengalami perubahan kecil ini. Sebab, Para Rasul menuntut keyakinan dalam Tritunggal Kudus, ketika mereka mengajarkannya melalui mulut mereka. Apabila hal ini diberikan dalam tulisan, maka pastinya telah menjadi bagian Kitab Suci. Karenanya, dengan digunakan terus menerus di dalam Gereja, ia menjadi tradisi lisan, dan karenanya tunduk pada Kuasa Petrus. Oleh karena itu, kekosongan apapun yang dapat ada di antara bentuk Romawi kuno dan masa Para Rasul harus diisi oleh kaidah emas St. Agustinus, seperti yang telah kita nyatakan di atas.

Persoalannya ialah apakah ia sungguh dan secara otentik sampai pada kita dari Para Rasul sendiri. Seharusnya ada keraguan yang sangat kecil dalam hal ini. Apabila orang berpikir bahwa dalam tahun-tahun pertama Kekristenan, tidak ada jejak Simbol yang muncul di dalam Gereja, mereka seharusnya mengetahui bahwa kebijakan Kristiani pada saat itu, yang disebut Disiplin Rahasia – Disciplina Arcani – sedang diterapkan sepenuhnya saat itu. Pengetahuan akan misteri-misteri Kekristenan yang paling dalam dengan hati-hati dilindungi dari kaum kafir dan orang Yahudi, dan juga dari mereka yang untuk beberapa waktu menjalani pengajaran dalam Iman. Disiplin Rahasia ini selalu mencegah perlindungan dalam penulisan Kredo, yang mengandung misteri-misteri utama Agama Kristen. Menurut tindakan pencegahan masa purba, Kredo harus dipelajari dari hati dan tidak pernah diperuntukkan untuk dituliskan. Disiplin Rahasia berasal dari masa Apostolik. Ia disebutkan oleh karya Origen yang menentang Celsus[11] pada Abad Ketiga, dan sebelum dia, oleh Tertullian[12], yang berasal dari Abad Kedua. Sikap diam tersebut diterapkan bagi semua Sakramen, tapi terutama khususnya bagi Ekaristi Suci dan ajaran Tritunggal Mahakudus. Sampai kebenaran tentang keesaan Allah telah masuk ke dalam hati orang kafir, barulah ia dapat diajarkan dengan lebih aman ke dalam Misteri Tritunggal yang lebih mendalam. Untuk alasan itulah ia tidak pernah diajarkan kepada Katekumen sebelum mereka siap menerima Baptisan. Kita mengetahui hal ini dari St. Ambrosius dalam Suratnya kepada saudarinya Marcellina. Ia berkata bahwa pada Hari Tuhan, dengan membubarkan para Katekumen, ia mengajarkan Kredo hanya kepada mereka yang secara memadai sudah berkembang[13]. St. Sirilus juga menulis: “Kami tidak menyatakan misteri-misteri rahasia kepada setiap orang non-Yahudi, yakni tentang Bapa, Putra, dan Roh Kudus.”[14] Kenyataan ini sangatlah penting ketika kita mempertimbangkan bahwa St. Ambrosius hidup di Abad Keempat dan St. Sirilus di Abad Kelima; di masa ketika tidak banyak bahaya penganiayaan. Walau demikian, masih tetap dianggap bijaksana untuk tidak membuka ajaran-ajaran yang berhubungan dengan Tritunggal Kudus secara sembarangan. Lebih disukai bila semua orang mengingat Kredo, guna menjaganya dari hinaan massa kafir dan untuk membedakan umat beriman dari orang kafir dan Yahudi. Komitmen terhadap ingatan ini juga menjelaskan mengapa ajaran Tritunggal ini, sebagaimana termuat dalam Kredo, telah dijaga dalam sebuah bentuk yang berkesinambungan.

Tapi tidaklah benar bahwa tidak ada jejak yang jelas akan Kredo Para Rasul yang ditemukan di tahun-tahun pertama Kekristenan. Sebelum pertengahan Abad Kedua, di Roma kita menemukan sebuah Kredo, yang dalam kelengkapannya identik secara hakiki dengan Kredo yang kita daraskan setiap hari.[15]

Merupakan fakta yang menonjol bahwa di Abad Keempat, Gereja-Gereja Timur didapati memiliki Kredo, yang secara ketat selaras dengan Kredo Romawi lama. Dua fakta ini menunjukkan asal-usul yang sama: keduanya hanya dapat berasal dari Para Rasul dalam perjalanan mereka ke seluruh dunia.

Menuju akhir Abad Kedua kita mendapati di Afrika Utara, dan juga di Perancis Selatan, sebuah Kredo, yang sangat menyerupai dan selaras dengan Kredo Romawi yang sama. Dalam karyanya, De Praescript, Tertullian mereproduksi “Regula Doctrinae” (Kaidah atau ajaran Iman) dan sesudah menjelaskan secara rinci bahwa melalui “Regula Doctrinae” ini, ia memahami apa yang secara praktis substansial dengan Kredo Romawi, ia bersikukuh dengan amat empatik bahwa “kaidah” ini ditetapkan Kristus dan diteruskan pada kita (tradita) oleh Para Rasul[16]. St. Irenaeus, murid St. Polikarpus yang merupakan murid Rasul St. Yohanes, juga menulis dalam cara yang sama.

Kita dapat dengan mudah menyimpulkan bahwa Kredo Romawi diteruskan kepada komunitas Romawi oleh Rasul Petrus dan Paulus; bahwa Gereja Afrika dan Timur telah menerima Kredo yang sama dari Para Rasul yang sama, atau dari salah satu Rasul lainnya, dan bahwa dalam waktu singkat, ia telah tersebar ke seluruh dunia.

Juga harus dicatat bahwa rahib Rufinus di Abad Keempat, setelah mengunjungi Timur, menulis bahwa Simbol di Gereja Timur diterima dari zaman awal “tradunt majores nostri.” Bisa jadi ia tidak benar ketika menyatakan bahwa Para Rasul menyusunnya bersama-sama pada Hari Pentakosta. Tapi ia hampir tidak bisa membuat pernyataan tersebut apabila Simbol itu di mana saja tidak diyakini berasal dari Para Rasul, dan bahwa ia secara penuh selaras dengan bentuk Romawi.

APPENDIKS A

Pembelaan terhadap Apostolisitas Kredo ini tidak akan lengkap tanpa menempatkan secara berdampingan Kredo Romawi lama dan Kredo yang sejak abad Keenam telah digunakan di dalam Gereja.

Bentuk Romawi yang lamaBentuk Romawi yang lebih baru
Aku percaya akan Allah, Bapa yang MahakuasaAku percaya akan Allah, Bapa yang Mahakuasa, Pencipta langit dan bumi
Dan dalam Yesus Kristus, Putra-Nya yang tunggal, Tuhan kita;Dan akan Yesus Kristus, Putra-Nya yang Tunggal, Tuhan kita;
Yang lahir dari Roh Kudus dan berasal dari Perawan MariaYang dikandung dari Roh Kudus, dilahirkan oleh Perawan Maria
Yang disalibkan dalam pemerintahan Pontius Pilatus dan dimakamkan;Yang menderita sengsara dalam pemerintahan Pontius Pilatus, disalibkan, wafat, dan dimakamkan,
Pada hari ketiga Ia bangkit lagi dari mati;Ia turun ke tempat penantian: pada hari ketiga Ia bangkit dari mati;
Ia naik ke Surga;Ia naik ke Surga, duduk di sisi kanan Allah Bapa yang Mahakuasa;
Duduk di sisi kanan Bapa;Dari situ Ia akan datang untuk mengadili oran hidup dan mati.
Dari sana Ia akan datang untuk mengadili orang hidup dan matiAku percaya akan Roh Kudus.
Dan dalam Roh Kudus,Gereja Katolik yang Kudus, persekutuan para kudus,
Gereja yang KudusPengampunan dosa,
Pengampunan dosa,Kebangkitan badan, dan
Kebangkitan badan.Kehidupan kekal.

Simbol Para Rasul, oleh karena itu, sungguh bersifat Apostolik, tidak hanya dalam ajaran tapi juga dalam asal-usulnya.

4

Simbol Nicea – Konstantinopel dan Simbol Athanasius adalah sebuah pembelaan terhadap Misteri Tritunggal Mahakudus.

Penganiayaan besar selama tiga abad pertama terhadap Gereja memiliki satu dampak yang baik. Ia menegaskan keilahian Gereja. Alam maut dan kesesatan telah melampaui batasan mereka dalam mencabut pohon dari bumi, yang telah ditanamkan Kristus dan Para Rasul dan diperciki dengan darah mereka. Kombinasi kekuatan jahat begitu kuat sehingga Gereja pasti takluk, apabila ia bukan karya Allah. Kemenangan Gereja, meski demikian, begitu sempurna sehingga akhirnya perdamaian diberikan padanya di seluruh Kekaisaran Romawi. Salib mengatasi kuil pemujaan dewa-dewa palsu.

I. Bagian awal dari Abad Keempat memberikan tontonan, dalam kecemerlangannya dan konsekuensi masa depannya, yang tak tertandingi dalam sejarah peradaban. Gereja memukul Paganisme, yang darinya Paganisme tidak pernah pulih kembali. Peradaban, yang dulunya pagan, kini menjadi Kristen.

Tapi perdamaian tidak bertahan lama. Besama Julian si Murtad, Paganisme muncul kembali, sementara Ular kesesatan juga mengancam kehidupan Gereja. Dengan bantuan Allah, ia keluar sebagai pemendang dalam kedua konflik itu. Di satu sisi, dari Naga Paganisme yang menghembuskan nafas terakhirnya, dan di sisi lain, dari kepala-kepala berdarah dari Ular kesesatan yang berlipat ganda.

Kesesatannya adalah Arianisme. Musuh baru! Bukan ajaran spekulatif yang diingkarinya. Bukan pula sifat Gereja tertentu yang ditentangnya. Melainkan upaya iblis untuk merampas Putra Allah dari Keilahian-Nya.

Arianisme menolak mengakui bahwa Yesus Kristus adalah Allah, Allah dari Allah, Allah benar dari Allah benar. Para Uskup dengan nama besar mengikuti Arius, pendirinya. Konstantin, yang memberikan perdamaian kepada Gereja, melindungi Arius. Beberapa penerusnya mengakui tujuannya. Ajaran baru, bak padang rumput berapi, segera tersebar ke empat penjuru Kekaisaran. Ia menaklukkan banyak bangsa sebelum ia dapat diatasi dengan berhasil. Ia tersebar secara universal, sehingga St. Hieronimus, Bapa Gereja, yang melihat penghancuran tersebut di dalam Gereja, seraya berseru walau agak berlebihan: “seluruh dunia merintih dan heran karena mendapati dirinya sebagai Arian.”

Tapi Allah menolong Gereja-Nya. Apabila Arius adalah seorang jenius dan pribadi yang menarik, maka ada Athanasius, Diakon muda, dan Patriak Alexandria agung di masa depan! Allah memanggilnya untuk menopang Gereja-Nya dalam periode panjang pencobaannya yang terbesar. Kehidupan aktifnya dapat dikatakan telah bermula dan berakhir demi Keilahian Kristus. Kemampuannya yang terkemuka, keberanian yang diperlihatkannya dalam membela Dogma Katolik, karir penuh badai dalam kehidupannya yang panjang, membuat dia sebagai salah satu jawara Katolisisme militan terbesar yang pernah dikenal Gereja. Ia mengkonsekrasikan seluruh dirinya kepada apa yang ia imani sebagai kebenaran pertama dan paling hakiki dari Kredo Katolik. Lima kali ia diusir dari Takhtanya oleh musuh-musuhnya dan dikirim ke pengasingan, dan lima kali pula ia disambut kembali dengan antusias oleh umatnya. Akhirnya, Dogma Keilahian Kristus menang. Primat agung Alexandria, sesudah lebih dari empat puluh tahun menjalani karir episkopal penuh badai, meninggal dengan damai di tempat tidurnya, seraya dikelilingi klerusnya dan diratapi oleh umatnya.

Sementara itu, kendati demikian, Kekristenan tampaknya terbelah dan terpecah ke dalam faksi-faksi. Kaisar Konstantin, setelah menaklukkan Licinius, menjadi satu-satunya penguasa seluruh Kekaisaran Romawi. Setelah menetapkan kembali tatanan sipil di mana saja, ia gelisah untuk memulihkan juga perdamaian religius. Untuk tujuan ini, dan sangat mungkin bersama dengan Paus Silvester, ia mengadakan Konsili Umum Para Uskup Gereja. Pertemuan agung itu terjadi di Nicea tahun 325, yang dikenal sebagai Konsili Ekumenis Pertama Gereja. Tiga ratus delapan belas Uskup, sebagian besar dari mereka termasuk ke dalam Gereja Timur, dan banyak ratusan lebih para Teolog, menghadirinya. Di antaranya adalah diakon muda Athanasius, yang, sebagai Sekretaris dan penasihat teologis, menemani St. Alexander, Primat Alexandria, ke dalam Konsili. Arius juga ada di sana. Ia sering dipanggil di hadapan majelis, tapi setelah melewati banyak sesi dan diskusi, para Uskup, kecuali dua orang, menyatakan dan mendefinisikan bahwa Yesus Kristus, Putra Allah, “kosubstansial” atau koesensial (sehakikat) dengan Bapa. Artinya, Ia sehakikat atau sekodrat dengan Bapa, walaupun “Bapa” dan “Firman” adalah dua Pribadi berbeda. Arius menolak untuk patuh. Ia diasingkan ke Illyria dan tulisan-tulisannya dibakar.

Damai yang diberikan Konsili Nicea kepada Gereja tidak bertahan lama. Pada tahun 330, kampanye intrik, yang dilakukan terutama melalui rumah tangga kekaisaran, membujuk Kaisar Konstantin untuk memanggil kembali Arius dan para Uskup Arian dari pengasingan mereka, sambil bersikeras agar mereka dimasukkan kembali dalam persekutuan. Tapi St. Athanasius, yang saat ini telah menjadi Primat Alexandria, menolak menaati permintaan kekaisaran.

Cukuplah di sini untuk mengamati bahwa ketika Gereja, oleh karena situasi-situasi tertentu, diharuskan mengandalkan Pangeran-Pangeran duniawi, peristiwa-peristiwa telah memperlihatkan bahwa intervensi mereka, sebagai aturan umum, telah lebih banyak merugikan daripada melakukan kebaikan bagi Gereja. Campur tangan Konstantin dan banyak dari penerusnya sering kali memaksa Athanasius dan banyak Uskup ortodoks lainnya untuk meninggalkan Takhta mereka dan pergi ke pengasingan dan merugikan Kekristenan. Para Paus waktu itu, Silvester, Yulius dan Liberius melakukan semua yang mereka bisa untuk menolong para pembela Ortodoksi; tapi karena jauh dari pusat kontroversi dan seleksi para Uskup, yang mana saat itu seleksi tersebut diserahkan kepada para pangeran sekuler dan umat, mereka hampir tidak bisa menugaskan Katekumen agung, Konstantin, atau para penerusnya yang berkuasa. Hanya sesudah kematian Athanasius, maka Kaisar Theodosius memanggil Konsili Para Uskup lainnya untuk menegaskan dan menerapkan Kredo Nicea dan mengakhiri kesesatan Macedonian, yang menolak Prosesi Roh Kudus. Ia diadakan di Konstantinople pada tahun 381.

Konsili Konstantinople Pertama ini awalnya adalah Konsili Timur. Ia dihadiri oleh 150 Uskup Katolik dan 36 uskup bidat, dan diketuai pertama oleh Meletius dari Antiokia, dan sesudah kematiannya, oleh para patriaknya yang selanjutnya, St. Gregorius dari Nazianzus dan Nectarius. Tapi karakter ekumenis dari Konsili ini berasal dari Konsili Chalcedon yang diadakan tahun 451. Gregorius Agung, juga Paus Vigilius dan Pelagius II mengakuinya sebagai Konsili Umum, tapi hanya dalam dekrit-dekrit dogmatisnya.

Konsili ini, menurut versi Latin tertua, memiliki empat kanon, yang pertama merupakan yang terpenting dan berkaitan dengan persoalan kita. Ia mengutuk semua bayang-bayang Arianisme.

Rumusan yang disebut Simbol Nicea-Konstantinople biasanya diatributkan kepada Konsili ini. Konsili Chalcedon menetapkan Simbol itu sebagai “Kredo Konsili Konstantinople 381.” Menurut opini yang paling umum[17], rumusan Kredo Konstantinople mencakup pernyataan Nicea terpenting mengenai Roh Kudus. Pengarangnya tampaknya merupakan St. Sirilus dari Yerusalem (315-386).

Sekalipun demikian, rumusan Yerusalem dan Konstantinople merupakan perluasan dari Kredo Nicea. Apabila rumusan yang digunakan sekarang tidak sungguh berasal dari Konsili Konstantinople, pastinya bahwa Konsili Chalcedon (451) mengatributkannya pada Konsili Konstantinople Pertama. Apakah Konsili ini sungguh menyusunnya, atau sekadar menggunakan dan mengesahkannya, faktanya tetap bahwa rumusan itu adalah ungkapan sejati dari Iman para Bapa yang berkumpul dalam Konsili itu.

Tapi, sebagaimana Gereja tidak secara umum menetapkan definisi definitif tanpa keharusan, maka Konsili Konstantinople tidak menyebutkan Prosesi Ganda Roh Kudus dari Bapa dan Putra: ia hanya menyatakan dan mendefinisikan Prosesi ini berasal dari Bapa. Di sepanjang waktu, kita mendapati, dalam Gereja Spanyol, sesudah pertobatan kaum Goth, yang terjadi dalam Sinode Toledo Ketiga, penambahan Filioque (Prosesi Roh Kudus juga berasal dari Putra) dinyanyikan dalam Kredo. Praktik ini menyebar dengan lambat ke setiap bagian Gereja Barat dan pada Abad Kesebelas ia memperoleh pijakan yang kuat bahkan di Roma, sehingga Paus Benediktus VIII, atas permintaan Kaisar Henry, dengan enggan, tapi dengan bebas dan meriah, mengizinkan Simbol tersebut, dengan penambahan Filioque, untuk dinyayikan di hadapannya tahun 1014.

Doktrin Katolik ini diterima oleh para Uskup Yunani pada Konsili Lyons Kedua tahun 1274, dan pada Konsili Florence tahun 1439. Dalam kepulangan mereka ke Takhtanya, para Uskup Yunani gagal membawa umat bersama mereka, dan skisma yang dimulai Photius, Patriak Konstantinople, pada tahun 870 karena penambahan Filioque berubah menjadi kesesatan dan berlanjut sampai hari ini. Para Patriak Konstantinople dan para Uskup Yunani lainnya mendapati dalam doktrin Filioque dalih yang terlalu bagus guna melepaskan semua ketergantungan dari saingan Konstantinople yang kuno. Mereka lebih memilih untuk dipimpin Turban dari Turki daripada Tiara Penerus St. Petrus. Keinginan mereka menjadi kenyataan yang terpenuhi dan kenyataan itu bertahan sampai hari ini.

Berikut ini merupakan terjemahan dari teks Yunani bentuk Konstantinople. Kata-kata dalam kurung adalah tambahan pada bentuk Liturgis Barat, sebagaimana digunakan saat ini. “Aku percaya akan satu Allah, Bapa yang Mahakuasa, pencipta langit dan bumi dan segala sesuatu yang kelihatan dan tak kelihatan. Dan akan satu Tuhan Yesus Kristus, Putra Allah yang tunggal, Ia lahir dari Bapa sebelum segala abad. (Allah dari Allah) terang dari terang, Allah benar dari Allah benar. Ia dilahirkan, bukan dijadikan, sehakikat dengan bapa, segala sesuatu dijadikan oleh-Nya, Ia turun dari surga untuk kita manusia dan untuk keselamatan kita. Ia dikandung dari Roh Kudus, dilahirkan oleh Perawan Maria, dan menjadi manusia. Ia pun disalibkan untuk kita, waktu Pontius Pilatus; Ia menderita sampai wafat dan dimakamkan. Pada hari ketiga Ia bangkit menurut Kitab Suci. Ia naik ke surga, duduk di sisi Bapa. Ia akan kembali dengan mulia, mengadili orang yang hidup dan yang mati; kerajaan-Nya takkan berakhir. Aku percaya akan Roh Kudus, Ia Tuhan yang menghidupkan; Ia berasal dari Bapa (dan Putra), yang serta Bapa dan Putra, disembah dan dimuliakan; Ia bersabda dengan perantaraan para nabi. Aku percaya akan Gereja yang satu, kudus, katolik dan apostolik. Aku mengakui satu pembaptisan akan penghapusan dosa. Aku menantikan kebangkitan orang mati
dan hidup di akhirat. Amin.”

II. Pernyataan-pernyataan yang sedikit namun penting harus dibuat terkait dengan apa yang disebut “Kredo Athanasius.” Kredo ini adalah eksposisi yang jelas akan doktrin Trinitas dan Inkarnasi. Ia disusun dalam bentuknya saat ini untuk memperlihatkan secara benar Trinitas Pribadi dalam Allah dan dua kodrat dalam satu Pribadi Ilahi Yesus Kristus. Sampai Abad Ketujuh kredo tersebut diatributkan oleh semua orang kepada St. Athanasius, Patriak Alexandria. Sekarang banyak kritik berpendapat bahwa ia disusun hanya di bawah pengaruh Athanasius.

Gerard Voss berkata bahwa “tidak ada penulis otoritatif awal yang berbicara tentangnya sebagai karya Doktor Gereja agung ini: karenanya ia tidak seharusnya diatributkan kepada St. Athanasius.” Sekarang, jika kita memeriksa dengan baik bukti sastrawi internal dari Simbol itu dan waktu kemunculan pertamanya di dalam Gereja, tidak ada alasan mengapa ia tidak seharusnya diatributkan kepada Primat Alexandria. Sebab, pada tempat pertama, literatur Simbol memperlihatkan warna ungkapan dan doktrinal yang mirip dengan literatur paruh kedua Abad Keempat, ketika Athanasius hidup, dan dengan tulisan-tulisan Sang Santo. Terlebih, penyelidikan terkini menghasilkan pendapat yang kuat bahwa Simbol tersebut pastinya telah disusun dalam paruh kedua Abad Keempat, selama kehidupan Patriak Timur yang Agung. Merupakan fakta sejarah bahwa di Antiokia, Primat Alexandria berdialog dengan Kaisar Jovian, yang memintanya mempersiapkan eksposisi Iman yang Ortodoks. Hal ini terjadi di bulan September 363. Walaupun Kaisar wafat pada tahun selanjutnya, seharusnya tidak ada alasan mengapa Athanasius tidak mematuhi permintaan Kaisar dengan seketika, yang dengannya ia memiliki relasi yang bersahabat. Siapakah yang dapat membuat pernyataan tersebut yang lebih baik dari Athanasius? Bukankah klausula-klausula yang “mengutuk” atau “mengerikan”, yang dengannya Simbol tersebut dibuka dan diakhiri, adalah klausula yang paling pantas untuk Orang Kudus itu yang telah bertarung begitu banyak demi Iman?

Sebagaimana semua keberatan terhadap kepengarangan Athanasius tidaklah masuk akal, dan sebagaimana tidak ada alasan yang meyakinkan yang diberikan terhadap fakta bahwa umat beriman dan Gereja sendiri, sampai Abad Ketujuh, mengatributkan Kredo ini kepada Athanasius, kita tidak seharusnya meragukan bahwa pengarang Kredo Athanasius adalah St. Athanasius, Primat Alexandria. Walau demikian, kita tidak seharusnya melupakan bahwa kepengarangan Kredo adalah hal yang penting secara sekunder, sedangkan yang utama adalah kebenaran hakiki yang dikandungnya dan disetujui oleh Gereja.

5

Keyakinan umum umat beriman adalah pedoman yang aman untuk Tradisi Ilahi.

Di atas kekacauan pendapat yang besar, dan masalah serta teori yang sekarang mengganggu dunia Kristen, terdapat sesuatu dalam Gereja Katolik, dan dalam Gereja itu saja. Itu adalah iman umat Katolik.

Kita tidak akan berbicara tentang Iman di sini, yang berasal dari atas dan diwartakan oleh para pelayan Allah, tapi tentang iman, yang ada dalam diri umat awam: iman itu, yang satu dalam segenap panjang dan luasnya di bumi: yang merupakan keyakinan yang sedemikian rupa, sehingga, sementara sisa dunia Kristen lainnya berada dalam keraguan, umat Katolik teguh dalam keyakinan mereka. Apapun yang Gereja Katolik ajarkan, mereka menerimanya. Gereja adalah juru bicara Allah, yang tidak dapat menipu atau ditipu. Keyakinan tersebut bisa tidak selalu sangat menonjol, tidak juga ia selalu tampil di permukaan. Ia terletak lebih dalam. Ia ada di pikiran dan hati umat. Dalam arti tertentu, ia membentuk pilar-pilar yang di atasnya Para Rasul telah mendirikan bangunan Gereja.

Gereja Katolik tidak peduli dengan masalah-masalah agama yang lain yang disebut Gereja-Gereja. Meski demikian, Ia tidak bisa tidak memperhatikan tanah berbahaya yang mereka tapaki. Ia mengetahui dengan baik bahwa ia adalah satu-satunya yang bisa dan pada akhirnya akan menyelamatkan Masyarakat. Sebagai Gereja, Gereja tidak ikut campur secara sosial dan politik dengan perkara duniawi bangsa apapun. Ia menolong. Tapi ia tidak memaksakan dirinya pada Masyarakat dalam perkara-perkara material. Ketika ajarannya diserang dengan keras dari luar, atau ajaran baru dikembangkan dari dalam kawanan dombanya, yang bertentangan dengan apa yang selalu diimani atau dilakukan, maka seluruh Gereja berada dalam kegaduhan. Umat sendiri digegerkan. Mereka bertekad dan memutuskan untuk menjaga apapun yang diteruskan pada mereka oleh para kaum baheula dan menolak inovasi apapun harganya.

Inilah maksudnya. Ketika umat Katolik mempercayai bahwa sebuah ajaran atau pendirian sebagai hal yang benar dan melaksanakannya, maka, kami menyatakan bahwa keyakinan ini adalah tanda atau pertanda bahwa doktrin atau pendirian ini adalah bagian dari Wahyu Ilahi, apakah ia terkandung dalam Kitab Suci atau tidak. Kami mengacu pada persetujuan umat beriman secara umum. Kami tidak berbicara tentang sebuah persetujuan dari pihak sebagian umat beriman. Gereja-gereja individual atau bangsa-bangsa, sebagai bangsa Inggris dan Skandinavia, dapat jatuh. Kami juga tidak berbicara tentang sebuah persetujuan yag tidak selalu pasti dan jelas. Ia haruslah universal sama seperti Gereja sendiri, dan mempercayainya dengan jelas.

Semua ini tidak berarti bahwa umat Katolik memiliki hak untuk menolak atau mempertahankan ajaran apapun atau bagian Wahyu apapun dari otoritas mereka; tidak pula bahwa karunia infalibilitas terletak di pihak umat Katolik.

Itu artinya bahwa pandangan, pengertian, dan keyakinan gereja universal tentang ajaran apapun, adalah sebuah bukti, atau kriteria, bahwa ajaran tersebut adalah bagian dari Tradisi Ilahi.

Kristus menetapkan Para Rasul dan para penerus mereka sebagai pemimpin Gereja-Nya. Ia memerintahkan mereka untuk membaptis, mewartakan, dan mengajar. Ia berjanji untuk menyertai mereka sampai akhir zaman. Ia mengutus Roh Kudus untuk tinggal bersama mereka selamanya. Semua ini berarti bahwa Kristus menjadikan Para Rasul dan penerus mereka sebagai guru-guru yang infalibel.[18] Walaupun demikian, Kristus menjadikan mereka infalibel, bukan hanya demi mereka, tapi khususnya demi keuntungan semua umat beriman. Tujuan dari institusi ilahi ini adalah pemeliharaan dan integritas Iman, tidak hanya dalam diri mereka yang diperintahkan untuk mengajar, tapi lebih lagi dalam diri mereka yang diperintahkan untuk mendengar. Karunia-karunia ini diberikan Kristus demi kegunaan dan keperluan semua tubuh Gereja-Nya. Oleh karena itu, jika guru-guru itu, di satu sisi, diperintahkan Kristus untuk memimpin dan mengajar, di sisi lain, umat mereka, wajib menaati mereka dalam hal apapun yang tergolong ke dalam Deposit Iman. Jika guru-guru itu kebal dari mengajarkan ajaran palsu, para murid mereka tidak bisa diajarkan ajaran palsu tersebut. Jika guru-guru itu mengajar secara infalibel, maka para murid mereka, yang mendengarkan dan menaati apa yang mereka ajarkan, juga infalibel dalam keyakinan mereka.

Para guru dan murid seperti anggota-anggota dari satu Tubuh – yang disatukan oleh satu Iman – yang kepalanya adalah Kristus sendiri. Tindakan-tindakan anggota-anggota ini selaras secara sempurna dengan satu sama lain dalam arahan tertinggi kepala mereka, yakni Yesus Kristus. Tidak bisa ada perbedaan, ketidaksetujuan, dan kontradiksi dalam perbuatan dan perasaan Tubuh mistik ini. Para anggota disatukan oleh Iman dengan Kepala mereka, selama mereka bertahan dalam kesatuan dan persetujuan dengan para gembala mereka. Mereka ini, pada gilirannya, selaras dengan Kepala Gereja di bumi, Petrus dan penerusnya dalam jabatannya. Karenanya para anggota tersebut kebal dari kekeliruan dalam perkara Iman dan Moral.

Keseragaman sempurna di antara para anggota tubuh mistik ini secara indah diungkapkan oleh Ignatius di Abad Pertama: “Pertama aku menasihati kamu untuk sehati dalam keputusan (sentence) Allah. Sebab, Yesus Kristus, hidup kita yang tak terpisahkan, adalah keputusan (sentence) Bapa, sama seperti Para Uskup di setiap belahan dunia, adalah keputusan Yesus Kristus. Jadi, kamu harus sehati dengan keputusan (sentence) Uskup.”[19] Yang dimaksud dengan sentence oleh Santo tersebut adalah doktrin atau kredo.

Jadi, apapun yang dipercaya umat Katolik, hal itu sama seperti gema ajaran dari lembaga mengajar yang infalibel, yang Kristus tetapkan di atas batu karang demi keuntungan umat beriman. Tidak bisa tidak. Sebagaimana dikatakan Tertullian, Kristus menjanjikan Roh Kebenaran kepada Gereja-Gereja agar mereka tidak “memahami secara berbeda, mempercayai secara berbeda, selain apa yang Ia wartakan kepada Para Rasul.”[20]

Semua ini ditegaskan oleh ikatan yang diperlukan, yang ada di antara para guru dan murid. Sang Rasul menulis: “Firman itu dekat kepadamu, yakni di dalam mulutmu dan di dalam hatimu.” … Tetapi bagaimana mereka dapat berseru kepada-Nya, jika mereka tidak percaya kepada Dia? Bagaimana mereka dapat percaya kepada Dia, jika mereka tidak mendengar tentang Dia. Bagaimana mereka mendengar tentang Dia, jika tidak ada yang memberitakan-Nya? Dan bagaimana mereka dapat memberitakan-Nya, jika mereka tidak diutus? … Jadi, iman timbul dari pendengaran, dan pendengaran oleh firman Kristus.”[21] Umat beriman karenanya diajarkan untuk menjaga apapun yang Kristus perintahkan, tapi mereka juga diajar oleh mereka yang “diutus”. “Sebagaimana Bapa mengutus Aku, demikian pula Aku mengutus kamu.”[22] Dan Ia akan menyertai mereka “sampai kepada akhir zaman.”[23]

Jadi, apapun yang dipelajari umat beriman dari mereka yang diutus, hal itu tidak bisa salah. Umat beriman tersebar di seluruh dunia, memang akan menjadi murid yang malang, jika mereka diajar oleh guru-guru yang infalibel, namun mereka berpegang bukan pada apa yang benar, tapi pada apa yang berlawanan dengan kebenaran. Itu berarti bahwa “alam maut” menguasai “Gereja.” Janji Kristus akan menjadi sia-sia. Keyakinan bersama umat beriman haruslah menjadi Pedoman Tradisi Ilahi yang aman.

6

Tulisan-tulisan Bapa Gereja dan analogi yang selaras dengan akal budi membuktikan bahwa persetujuan umat beriman adalah pedoman Tradisi Ilahi.

Para Bapa Gereja begitu yakin bahwa “intuisi dan persetujuan” dari semua umat beriman dalam persekutuan dengan para gembala mereka yang sah adalah bukti akan Tradisi Ilahi, sehingga dalam kontroversi-kontroversi mereka dengan kaum bidat di masa mereka, mereka menjadikan hal ini sebagai argumen kuat untuk membela Dogma Katolik.

I. St. Agustinus, dalam penolakannya terhadap Pelagianisme, menulis: “Bukan karena keluhan orang-orang saja kami menentang kamu, walaupun orang-orang sendiri mengeluh terhadap kamu untuk sebuah alasan yang mana itu bukanlah persoalan yang dapat luput dari pendapat populer. Orang kaya dan miskin, tinggi dan rendah, terpelajar dan bodoh, pria dan wanita, mereka mengetahui, dan dalam usia berapa, apakah yang dihapuskan dalam Baptisan. Untuk alasan ini, setiap hari di setiap belahan dunia para ibu bergegas dengan anak-anak mereka, tidak hanya pergi kepada Kristus yaitu, Dia yang terurapi, tapi kepada Kristus Yesus, yaitu, Sang Penyelamat. Seakan-akan kecil artinya bahwa dalam hal yang paling pokok, kuat, dan hakiki, umat beriman yang tersebar di seluruh dunia tidak sepakat.”[24]

Dengan cara yang sama St. Gregorius dari Nazianzus menulis Surat keduanya kepada Cledon di Abad Keeempat. Demikian pula Tertullian[25] dan St. Vincentius dari Lerin[26].

Para Bapa Gereja juga membuktikan absurditas dari dugaan bahwa semua umat beriman dapat keliru dalam hal yang termasuk ke dalam Deposit Iman. St. Vincentius dari Lerin berargumen: “Jika semua umat beriman dapat dibujuk untuk menerima inovasi kaum bidat, atau apa yang bertentangan dengan doktrin kekunoan, maka harus dinyatakan bahwa semua umat beriman di segala zaman, semua Orang Kudus, semua yang murni, bertarak, para Perawan, semua klerus, Kaum lewi dan Para Imam, dan ribuan Pengaku Iman, prajurit besar dari Para Martir, ketenaran dan banyaknya kota dan bangsa, begitu banyak pulau, provinsi, raja-raja, negara, kerajaan, negara, dan akhirnya hampir seluruh dunia, yang secara erat disatukan dengan Kristus melalui Iman Katolik, semuanya ini selama ratusan tahun telah mengabaikan, keliru, menghujat dan tidak pernah mengakui apa yang mereka percayai.”[27]

“Intuisi dan persetujuan” dari semua umat beriman ini, bagi beberapa teolog, adalah “pedoman tradisi ilahi”, sehingga mereka tidak ragu untuk menyatakan bahwa Infalibilitas memiliki unsur aktif dan pasif. Unsur aktif berarti bahwa Gereja tidak pernah bisa keliru dalam mengajarkan umat beriman; unsur pasif berarti bahwa umat beriman, sebagai tubuh, tidak pernah bisa keliru dalam mempercayai.

Untuk alasan inilah Paus Pius IX, sebelum menyatakan secara resmi Dogma Perawan Maria Dikandung Tanda Noda, di antara syarat-syarat persiapan yang ada, ia bertanya pada semua Uskup Gereja Katolik agar mereka memberitahunya tentang “kesalehan dan devosi seperti apa yang dimiliki umat beriman terhadap Bunda Allah yang Dikandung Tanpa Noda.” Semua Uskup memberikan jawaban yang mendukung hal ini, dan Paus Tertinggi, di antara pedoman-pedoman Tradisi Ilahi, menyebutkan dan menyatakan “persetujuan tunggal Para Uskup dan Umat Beriman.”[28]

II. Kedua, “intuisi dan persetujuan” umum dari semua umat beriman dalam perkara Iman, dapat dibandingkan, menurut Hurter[29], dengan “intuisi dan persetujuan” umum umat manusia dalam tataran kodrati. Sebagaimana “persetujuan umum” dianggap oleh semua orang sebagai pedoman bagi kesejahteraan semua orang, maka persetujuan mengagumkan dari semua umat beriman dalam persekutuan dengan para gembala mereka yang sah, dalam perkara Iman, berasal dari dan berdasarkan pada Roh Kudus Allah, yang tidak dapat menipu, dan tidak membiarkan Gereja-Nya ditipu.

Kita akan mengakhiri pokok ini dengan komentar bijak dari Melchior Canus: “Terdapat dua kelompok kebenaran yang harus dipercaya di dalam Gereja. Kelompok pertama menjadi milik semua orang secara setara. Di sini tidaklah sulit untuk mengetahui iman bersama dan intuisi [iman] … Yang lainnya ialah yang tidak menarik perhatian orang kebanyakan, kecuali kaum cendekiawan dan murid. Jika kamu menanyakan pendapat orang biasa dalam perkara ini, itu sama saja kamu bertanya pada orang buta untuk membedakan warna-warna. Mereka harus mengakui apa yang mereka percaya dan pikirkan dalam hal-hal ini, sama seperti Gereja mempercayai dan memikirkannya … Sekarang, dalam sebuah kontroversi umum, argumen tertentu dapat diperoleh dari intuisi semua umat beriman ini, tapi tidaklah perlu untuk memeriksa intuisi setiap dan masing-masing umat beriman. Dalam iman dari hal-hal itu, yang secara pas menjadi milik Para Pengajar dan kaum terpelajar, hanya pendapat orang-orang tersebut, dan bukan pendapat orang-orang yang harus dipertimbangkan. Tapi dalam dekrit-dekrit dan Hukum-Hukum yang berhadapan dengan perkara ini, baik orang awam maupun orang terpelajar tidak dapat berbicara banyak. Hanya mereka yang dapat melakukannya, yaitu para gembala Gereja.”[30]

7

Persetujuan bulat dan tetap dari sekolah-sekolah Katolik dalam perkara iman adalah bukti yang pasti akan Tradisi Ilahi.

Gereja Katolik selalu menjadi guru bagi umat manusia. Setelah pendudukan Kekaisaran Romawi, peradaban dihancurkan. Satu-satunya tempat perlindungan bagi literatur, ilmu pengetahuan, dan karya seni adalah biara para rahib. Biara-biara itu sedikit dan jauh jaraknya, tapi mereka menyelamatkan Kitab Suci dan karya-karya besar peradaban dari kehancuran total. Ajaran Gereja yang umum dan sederhana melembutkan adat istiadat kasar dari kaum barbar yang menang, dan memungkinkan perkembangan baru dalam sejarah dunia. Ratusan tahun telah berjalan, tapi di bawah arahan kaum religius, sekolah-sekolah dari semua jenis dibuka kembali di mana saja. Perkembangannya lambat, tapi pasti. Dan karenanya tanaman pengetahuan yang lembut, yang dipasang orang-orang baik itu di balik bayang-bayang biara mereka, bertambah ratusan kali banyaknya. Pada Abad Kedua Belas, Universitas-Universitas pertama didirikan di Paris dan Bologna. Paris menjadi terkenal oleh karena Sekolah Teologinya; Bologna ternama oleh karena Sekolah Hukum Sipil dan Kanon. Universitas-Universitas lain, di sepanjang waktu, didirikan dan diberikan hak istimewa oleh para Paus dan Raja Katolik. Sebuah kebangkitan studi memperoleh pijakan kuat di Benua Eropa.[31]

Konsili Trente yang diadakan pada Abad Keenam Belas mengilhami dan mendorong pembentukan Seminari-Seminari Katolik. Tidak hanya sekolah dasar, tapi juga studi umum untuk pendidikan tinggi, khususnya Teologi, Hukum Sipil dan Kanon, dari Abad Kedua Belas sampai Keenam Belas, bahkan sampai ke Abad Kedelapan belas, hanya ada di bawah arahan dan pengawasan Gereja Katolik. Di Eropa Utara, meski demikian, Reformasi menyerahkan Universitas-Universitas yang sudah berkembang ke dalam arahan para pangeran Protestan, yang konsekuensinya Universitas tersebut menjadi Protestan. Di negara-negara Katolik di Abad Kedelapan Belas, otoritas sipil merampas kuasa tertinggi untuk mengendalikan Pendidikan dan memasukannya ke dalam dirinya. Untuk alasan inilah di sini kami hanya berbicara tentang institusi-institusi besar itu, yang tidak hanya didirikan di bawah perlindungan Gereja Katolik dan diberikan hak istimewa oleh Takhta Apostolik, tapi selalu, sampai belakangan ini, berada di bawah arahan tertinggi Gereja. Pusat-pusat ini memperoleh dari Gereja otoritas untuk mengajar Teologi, dan selalu menjaga devosi filial kepada Gereja, devosi yang selayaknya dimiliki seorang anak kepada ibunya.

Dengan didirikan dan disahkan oleh Gereja untuk mengajar anak-anak terbaiknya, yang seakan-akan dipilih dari kawanan dombanya, sekolah-sekolah ini menjadi terang zaman dan sampai tahap tertentu, penerus bagi Bapa Gereja. Sebab, jika menurut Vincentius dari lerin, para Bapa Gereja menjaga, menjelaskan, dan membela apa yang mereka terima dari orang-orang kuno, maka Sekolah-Sekolah Teologi juga harus menjaga, menjelaskan, dan membela doktrin yang mereka terima. Bila salah satu guru mengembangkan sebuah teori yang berbahaya atau berlawanan dengan akal budi Katolik, ia seketika itu juga diperingatkan, dan jika ia bertahan dalam kekeliruannya, ia akan dikeluarkan oleh Uskup lokal atau otoritas Paus.

Hubungan antara Gereja dan lembaga-lembaga pendidikan ini menjadi lebih jelas ketika kita mempertimbangkan bahwa dari Departemen-Departemen Teologi itu muncullah sebagian besar Para Uskup dan unsur terbaik dari kaum Klerus. Di sanalah mereka belajar bagaimana mengajar dan mengarahkan kawanan dombanya, yang dipercayakan dalam perhatian mereka.

Kendati demikian, Sekolah-Sekolah ini tidak memperlihatkan kesaksian otentik dari kebenaran: yaitu, mereka bukanlah saksi resmi dan langsung dari Gereja. Hal itu menjadi milik Suksesi Apostolik dalam persatuan dan persetujuan dengan Kepala Gereja. Tapi kita mampu tiba pada pengetahuan yang sama akan Suksesi Apostolik melalui kesaksian memadai dari Sekolah-Sekolah ini. Sebab, jika Kepala Gereja dan Suksesi Apostolik merupakan kesaksian ilahi-insani akan kebenaran, maka Sekolah-Sekolah Teologi atau Katolik adalah otoritas historis dan insani yang berada di bawah kendali otoritas gerejawi.

Pernyataan ini tidak meminimalkan, sedikitpun, pernyataan bahwa Sekolah-Sekolah Teologi atau katolik adalah bukti yang pasti akan Tradisi Ilahi. Juga tidaklah penting bahwa para guru dan Pengajar dari Sekolah-Sekolah ini bukanlah Para Uskup. Kita tidak seharusnya berpikir bahwa kebenaran ditemukan hanya dalam Suksesi Apostolik dan bahwa setiap Uskup, jika dipertimbangkan secara individu dan terpisah dari Kepala Gereja, adalah infalibel. Untuk alasan-alasan inilah St. Agustinus membedakan kesaksian St. Hieronimus, yang sekadar seorang teolog, dari kesaksian sejumlah para Uskup, yang telah menyatakan ketetapan mereka. Ia menulis: “Jangan pernah bepikir bahwa St. Hieronimus dapat disingkirkan semata karena ia adalah seorang imam … Ia membaca semua atau hampir mereka semua, yang di setiap belahan dunia, menulis tentang doktrin gerejawi, dan ia pun tidak berbeda dari ketatapan Para Uskup mereka.”[32]

Terlebih, Sejarah Gereja mengajarkan kita bahwa Uskup Roma dan para Uskup, sebelum dan sesudah mereka berkumpul dalam Konsili Umum, mereka berunding dengan para Pengajar dan guru dari Institusi-Institusi Teologi ini sebagai persiapan tertentu untuk [merumuskan] definisi-definisi otentik. Mereka berunding dengan mereka, bukan tentang perkara filosofis belaka, tapi tentang doktrin-doktrin yang secara ketat termasuk ke dalam Iman dan Moral; mereka meminta nasihatnya bukan tentang cara membela, tapi tentang kebenaran-kebenaran doktrin Kristen; mereka mencari informasi tentang persetujuan mereka yang bulat dan tetap tentang doktrin, yang, dalam hubungannya dengan Kitab Suci dan Bapa Gereja, diterima oleh semua Sekolah: persetujuan, yang tidak seharusnya terbatas pada beberapa orang, tapi secara praktis merupakan persetujuan mereka semua, bukan dari satu atau beberapa generasi, tapi dari semua zaman dari institusi-institusi luhur tersebut.

Jika demikian halnya, tak seorangpun bisa gagal memahami hubungan erat antara Sekolah-Sekolah Teologi dengan Para Gembala Tertinggi Gereja dan Penerus Para Rasul lainnya. Ia menandakan betapa tingginya posisi Sekolah-Sekolah Teologi di dalam Gereja dan besarnya makna dari ajaran mereka.

Oleh karena itu, jika kita mempertimbangkan tujuan utama mereka, yaitu, menjaga dan membela kebenaran Katolik; jika kita mengingat, secara umum, betapa ternama dan terpelajarnya sebuah lembaga yang terdiri dari para guru dan pengajar Teologi; jika kita merenungkan perhatian khusus yang Paus dan Para Uskup berikan pada Sekolah-Sekolah ini; jika kita mengingat persetujuan bulat dan tetap dari para Teolog dalam perkara Iman dan Moral selalu dicari oleh para Paus dan juga Konsili Nasional dan Ekumene, kita tidak bisa tidak melihat bahwa persetujuan bulat dan tetap dari Sekolah Teologi Katolik yang unggul tersebut dalam perkara Iman dan Moral mencerminkan, dan berhubungan, dengan persetujuan seluruh Suksesi Apostolik, dan konsekuensinya, dengan Gereja di segala zaman. Sebab, bila persetujuan umat beriman dalam perkara Iman dan Moral adalah sebuah tanda akan Tradisi Ilahi, betapa lebih lagi persetujuan kaum terpelajar dalam persatuan dengan para Uskup mereka?

Persetujuan bulat dan tetap dari para Teolog dalam perkara Iman dan moral, karenanya, tidaklah tunduk pada kekeliruan; bukan berarti bahwa para Teolog atau Sekolah Teologi ada di bawah bantuan khusus Roh Kudus dan karenanya infalibel. Melainkan, di bawah perhatian dan arahan khusus dari Suksesi Apostolik, mereka memperlihatkan persetujuan infalibel dan Akal Budi Katolik dari Suksesi Apostolik yang sama dan dari seluruh Gereja. Karunia Infalibilitas dijanjikan tidak kepada siapa saja, selain Kepala Gereja dan Penerus Para Rasul dalam persatuan dan persetujuan dengan Kepalanya yang sama. Jadi, persetujuan bulat dan tetap dari Sekolah-Sekolah Teologi dalam perkara yang termasuk ke dalam Iman, tidak secara langsung, tapi secara tidak langsung memikul kesaksian sah akan Tradisi Ilahi. Sengaja kami berkata secara tidak langsung, sebab saksi Iman yang langsung dan otentik adalah Paus dan Para Uskup Gereja dalam persatuan dan persetujuan dengan Kepala Gereja yang sama. Untuk alasan ini juga Paus Pius IX menyatakan: “Bahkan jika dalam pikiran kita memiliki kepatuhan, yang dalam perbuatan-perbuatan kita, yang kita berikan pada iman ilahi, maka hal itu tidak dibatasi pada dekrit-dekrit khusus, yang telah didefinisikan Konsili Ekumenis atau oleh Paus Roma, atau oleh Takhta Apostolik ini; tapi ia juga harus diperluas sampai pada ajaran-ajaran itu, yang diajarkan oleh ajaran Gereja yang umum di seluruh dunia, sebagai hal yang diwahyukan Allah, dan konsekuensinya, oleh persetujuan bulat dan konstan yang dinyatakan para Teolog Katolik sebagai hal yang termasuk ke dalam Iman.”[33]

Dalam semua perkara yang tidak secara ketat termasuk ke dalam Iman, otoritas dari Sekolah-Sekolah itu sangatlah penting. Tidaklah diizinkan untuk menyimpang dari ketatapan mereka, ketika persetujuan mereka bersifat bulat dan tetap secara setara. Sekolah-Sekolah ini adalah bagian terluhur dari Gereja Yang Belajar di bawah pengawasan langsung Gereja Yang Mengajar.

Kita dapat merangkum ajaran tentang Sekolah-Sekolah Teologi ini dalam empat bagian: I. Ketika secara bulat mereka mengajukan apapun sebagai De Fide, atau dari Iman, mereka secara tidak langsung bersifat infalibel, karena kita dapat menganggap mereka sebagai suara Suksesi Apostolik, yang di bawah perlindungannya mereka hidup dan mengajar. II. Ketika mereka mengajarkan sesuatu yang sifatnya Fidei Proximum atau Mendekati Iman, kita tidak dapat menyimpang dari ajaran mereka, sebab demikianlah Akal Budi Gereja Universal, yang keyakinannya tidak dapat salah. Dalam hal ini, ajaran yang mereka ajarkan ialah melalui persetujuan umum yang terkandung dalam Wahyu Ilahi, namun hanya kekurangan keputusan definitif Gereja. III. Ketika mereka menyatakan suatu ajaran sebagai benar, tapi tidak bersifat De Fide atau dari Iman, maka berbahaya bila menyangkalnya. Sebab, ketika para Teolog, melalui penyelidikan dan ilmu pengetahuan insani menurunkan deduksi-deduksi mereka sendiri dari kebenaran-kebenaran yang diwahyukan dan mengajukan keputusan mereka sebagai hal yang benar melalui persetujuan bulat, maka otoritas mereka pastinya penting. Tak seorangpun dapat menolaknya tanpa sedikitnya dianggap sebagai perbuatan yang gegabah (temerity). Tapi kita tidak dapat berkata bahwa penyelidikan dan studi manusiawi mereka ada di bawah bantuan langsung Roh Kudus. Karenanya, kita dapat menyebut keputusan mereka, yang mereka nyatakan sebagai hal yang benar, pasti, tapi tidak bersifat “De Fide” atau “Fide Credenda”. Menolak ajaran mereka adalah hal yang gegabah. Tapi itu bukan kesesatan. IV. Ketika mereka tidak sepakat, siapapun dapat mengikuti pendapatnya sendiri sampai Gereja memberikan keputusannya.

Terakhir, harus diamati bahwa relasi antara Gereja dan Sekolah Teologi terjalin jauh lebih kuat dari Abad Kedua Belas sampai Keenam Belas atau bahkan sampai Abad Ketujuh Belas, daripada relasi yang terjalin baru-baru ini. Melalui perlindungan dan campur tangan raja, banyak Sekolah Teologi, khususnya dalam Universitas-Universitas tertentu, membebaskan diri mereka dari pengaruh dan kendali Para Uskup. Karenanya, persetujuan dari Sekolah-Sekolah Teologi yang labih lama adalah pedoman Tradisi Ilahi yang lebih aman, walaupun, persetujuan mereka yang lebih modern tidak untuk dipandang rendah.

Dengan membuat pernyataan ini, sedikitpun kami tidak bermaksud untuk melemahkan otoritas Universitas-Universitas yang sungguh Katolik, tidak pula Pusat-Pusat Teologi, yang sekarang berkembang di banyak Seminari yang dikembangkan dengan baik di bawah arahan Para Uskup, dan yang terhadapnya kami memberikan rasa hormat dan kekaguman terbesar.

8

Monumen-monumen gerejawi kuno adalah ungkapan yang selalu hidup dan konfirmasi kasatmata akan Kekristenan Katolik.

Penyelenggaraan Ilahi tidak membiarkan Gereja tanpa dokumen-dokumen tak terbantahkan guna memperlihatkan kepada dunia bahwa ia adalah karya terbesar dalam ciptaan. Hal ini sudah kami lihat di bagian lain dari buku ini. Hal ini masih terlihat lebih jelas melalui monumen-monumen kuno Seni Kristiani.

Monumen ini ada dalam semua jenis: lukisan, patung, ruang bawah tanah, makam, sakrofagus, koin, prasasti, dan tulisan di batu nisan. Bisa jadi mereka semua tidak menggambarkan dengan kata-kata iman dan praksis para penyembah perdana Kristus; boleh jadi mereka tidak memperlihatkan gagasan berbeda akan kebenaran-kebenaran Kristen; bisa saja mereka tidak berbicara pada kita seperti kitab-kitab tertulis. Tapi, lebih dari kitab-kitab tertulis, mereka berbicara pada kita dalam bahasa sunyi yang memenuhi jiwa dengan terang dan semangat, dan menempatkan di hadapan kita kehidupan religius umat Kristen perdana.

Kesaksian-kesaksian yang mulia ini lebih berharga, berlimpah, atau lebih penting sebagaimana terdapat di Katakombe Romawi. Katakombe adalah Kerajaan bawah tanah dari orang mati. Dinyatakan bahwa, jika ditempatkan dalam sebuah garis lurus, katekombe itu akan membentang di sepanjang seluruh Italia. Setelah dilupakan seutuhnya oleh Abad Kedua Belas, Antonio Bosio, penduduk Pulau Malta, dan secara tepat disebut Christopher Columbus dari Katakombe, bekerja selama empat puluh tahun (1593-1629) dalam mengeksplorasi Katakombe Romawi. Kemudian orang lain muncul, dan di masa kita terdapat Armelini, Stevenson, Marucchi, Wilpert, dan terutama De Rossi, pangeran dari para arkeolog Kristen. Kerja mereka mengarah pada penyebaran lebih luas akan Arkeologi Kristen dan meningkatnya minat dan penghormatan bagi Katakombe. Selain Katakombe Romawi terdapat juga beberapa Katakombe yang lebih kecil di Naples, Sicily, Malta, dan satu di Afrika Utara. Di tempat-tempat seperti itulah umat Kristen perdana berdoa, mempersembahkan kurban, dan dimakamkan. Sampai hari ini aroma kekudusan, semangat pengurbanan, bau darah para Martir tampak memancar dari kota-kota orang mati ini. Di dalam tanah berpagar inilah umat Kristen perdana menyanyikan Mazmur yang mendalam bersama-sama, merayakan Kurban Misa yang luhur, dan menerima Roti kaum perkasa, dan bergegas ke medan perang Kemartiran.

Bukanlah bidang kami untuk secara rinci membahas harta karun Seni Kristen. Kami akan berbicara sedikit saja. Batu nisan Romawi saja dari tiga abad pertama menyediakan banyak bukti bagi Dogma dan praksis Gereja Katolik yang hakiki, sehingga mereka dapat menggambarkan setiap halaman Katekismus Kristen modern. Benar bahwa sangat sedikit prasasti dan tulisan batu nisan yang berbicara secara cukup memadai tentang zaman mereka. Tapi ada sarans lain untuk memastikan hal ini. Tempat penemuan, nama-nama, bentuk surat, gaya, lambang, mengizinkan kita untuk menelusurinya sampai ke masa-masa penganiayaan, atau sederhananya sampai ke Abad Ketiga, Kedua, dan Kesatu. Yang paling terkemuka adalah penggalian terkini dari Katakombe St. Callistus dan penemuan prasasti-prasasti, yang menggambarkan karya St. Petrus di Roma dan tempat baptistri yang rendah, yang digunakan Paus pertama untuk membaptis umat Kristen perdana.

Prinsip yang sama kurang lebih berlaku bagi semua monumen Seni Kristen lainnya.

Kami di sini peduli bukan hanya tentang monumen-monumen mereka, tapi juga maknanya. Sesudah Kitab Suci, Simbol-Simbol, dan Liturgi-Liturgi menyediakan Gereja dengan begitu banyak bukti yang jelas dan kasatmata sehingga mereka dapat ditempatkan secara sejajar dengan tulisan-tulisan Bapa Gereja demi perawatan dan pemeliharaan Tradisi Ilahi. Mereka adalah Meterai Agung dari Kekristenan Katolik. Mereka adalah bagian kasatmata dari pertolongan yang dengannya Roh Kudus membantu Gerejanya menjaga Deposit Iman tetap tak ternoda dan tidak jatuh ke dalam kekeliruan. Bukan berarti bahwa mereka diperlukan bagi Gereja. Gereja ada tanpa mereka. Tapi mereka sampai pada kita dari masa-masa penganiayaan, atau periode pencobaan. Mereka merupakan ungkapan keyakinan dan sentimen dari leluhur kita dalam Iman. Mereka membantu generasi masa depan untuk membuat kebenaran lebih gemerlap. Mereka selaras dengan rencana Allah.

Gereja Yang Mengajar – yaitu Para Rasul dan para penerus mereka – memperuntukkan sebagian pewartaan mereka dalam tulisan. Gereja Yang Belajar, ingin mengungkapkan imannya dalam karya-karya seni yang sentimental dan nyata. Kita akan menyebut sebagian dari mereka.

I. Yang paling ternama adalah “Fractio Panis” – “Pemecahan roti” – gelar yang diberikan pada fresko di Kapel Yunani, yang ditemukan dalam Katakombe St. Priscilla, yang terletak di dekat Roma. Ia berasal dari paruh pertama Abad Kedua. Ia memiliki makna teologis dan liturgis yang terpenting. Ia ditemukan oleh Wilpert tahun 1893 di muka lengkungan di atas makam Altar kapel tersebut. Ia mereprentasikan gambar tujuh orang di meja: enam pria dan satu wanita. Tujuh orang tersebut duduk dalam cara yang bermartabat dengan kepalanya mundur ke belakang dan tangannya merentang di depannya, dan tangannya memegang roti kecil yang hendak dipecah. Di hadapannya terdapat dua cawan dengan gagang; jauh dari meja terdapat dua piring besar, satu dengan dua ikan dan satunya lagi dengan lima roti. Di sati sisi gambar terdapat empat keranjang dan di sisi lainnya terdapat tiga keranjang, semuanya penuh dengan roti.

Jelaslah bahwa gambar ini mewakili Kurban Ekaristi. Sang Iman, dalam nama dan pribadi Kristus mengambil roti dengan tangannya, mengarahkan matanya ke langit, mengucap syukur, memberkatinya dan mengucapkan kata-kata konsekrasi pada roti yang kemudian dibagikan kepada umat beriman sesudah ia menjadi Tubuh Tuhan Kita. Tindakan imam Katolik ini disebut oleh umat Kristen perdana sebagai “Fractio Panis.” Ia disebutkan oleh empat Injil, dan oleh para penulis Apostolik dan pasca-apostolik. St. Paulus menulis: “Bukankah cawan pengucapan syukur, yang atasnya kita ucapkan syukur, adalah persekutuan dengan darah Kristus? Bukankah roti yang kita pecah-pecahkan adalah persekutuan dengan tubuh Kristus?”[34] Dan dalam Kisah Para Rasul: “Mereka bertekun dalam pengajaran rasul-rasul dan dalam persekutuan. Dan mereka selalu berkumpul untuk memecahkan roti dan berdoa.”[35] Inilah Komuni Suci Katolik.

Pemecahan Roti ini, yang diwakili dalam gambar ini, tidak hanya menggambarkan Kurban Ekaristi, yang merupakan pusat semua ibadah Kristen, tapi ia juga membuktikan bahwa umat Kristen pertama beribadah di Hari Minggu dan bukan Sabtu sebagai Hari Tuhan, seturut Kitab Suci: “Pada hari pertama dalam minggu itu, ketika kami berkumpul untuk memecah-mecahkan roti.”[36] “Pemecahan roti” ini juga membuktikan bahwa mereka mengaku dosa sebelum menerima Komuni Suci, sebab para penulis pasca-apostolik lainnya, seperti pengarang Didache, yakni “Pengajaran Para Rasul”, yang mengundang umat beriman untuk berkumpul bersama untuk memecahkan roti pada hari Minggu, namun mengingatkan umat beriman: “Dan pada hari Tuhan datanglah bersama dan pecahkanlah roti serta mengucap syukur, setelah lebih dahulu mengakui kesalahan-kesalahanmu agar Kurbanmu dapat menjadi murni.”[37] Berapa banyak kebenaran-kebenaran hakiki agama kita yang tidak disertakan dalam beberapa baris singkat ini! Ekaristi Suci adalah Sakramen dan Kurban syukur; kewajiban beribadah di Hari Tuhan; Sakramen Tobat. Semua yang ada di meja merupakan simbol dan menjadi milik Kurban Misa.

Di ruang yang sama di satu sisi gambar tersebut terdapat representasi Kurban Abraham, dan di sisi lainnya terdapat potret nabi Daniel, yang diberi makan secara mukjizat oleh nabi Habakuk di kandang singa. Sebab, roti-roti yang ada di keranjang adalah materi bagi Kurban, atau, sebagaimana dalam pendapat orang lain, roti itu sudah dikonsekrasi; cangkir menandakan piala anggur untuk darah Tuhan; ikan merupakan kiasan bagi Kristus sebagai makanan jiwa. Gereja Perdana sejak Abad Kedua menganggap lima huruf dari Kata Yunani untuk ikan – yaitu ἰχθύς – sebagai huruf pertama dari kata yang membentuk frase dalam bahasa Yunani: “Yesus Kristus, Putra Allah, Penyelamat”, karena Kristus memberi makan banyak orang dengan roti dan ikan. Kita dapat sungguh menegaskan bahwa “fractio panis” yang ditemukan di Kapel Yunani, berhubungan dengan dan mewakili “pengangkatan hosti” selama Misa dan juga Komuni Suci. Ketika De Rossi, guru si Wilpert, mendengar dan mengamati pada hari tuanya temuan baru ini, ia berseru: “Itu sungguh merupakan mutiara dari semua temuan Katakombe.”

II. Primat Paus, yang adalah penerus St. Petrus, tidak hanya dalam kehormatan, tapi juga dalam yurisdiksi, dilukskan, ketika Petrus, seperti Musa yang lain, memukul batu karang dengan tongkat. Sebagaimana Musa adalah legislator, pemimpin dan kepala umat pilihan Allah, maka demikianlah Petrus juga di dalam Gereja Kristus di bumi. Kata Petrus dengan demikian jelas terlihat. Selain itu, tongkat adalah lambang yurisdiksi.

III. Bahwa tidak seharusnya ada perbedaaan antara Kitab-Kitab Protokanonika dan Deuterokanonika dari Kitab Suci ditandakan oleh lukisan-lukisan yang berhubungan dengan Tobias dan Daniel. Mereka memperlihatkan bahwa Gereja Perdana menerimanya sebagai kitab yang diilhami Allah. Karenanya, sebagaimana Protestan menolak Kitab-Kitab Deuterokanonika, seperti Tobias dan Daniel, maka Kitab Suci Protestan jelas tidak lengkap.

III. Kebangkitan Lazarus digunakan sebagai lambang kebangkitan kita dari mati. Kematian juga dilukiskan telah memasuki dunia melalui dosa Adam dan Hawa. Pembebasan dari maut ditandakan oleh penyelamatan Nuh dari Air Bah, penyelamatan tiga anak-anak Ibrani dari tungku perapian, atau oleh pembebasan Susanna dari tuduhan palsu. Semua ini memperlihatkan keyakinan umat Kristen perdana akan kehidupan di masa depan.

IV. Devosi yang kita perlihatkan kepada Bunda Allah dengan jelas dan berulang kali dilukiskan dalam karya seni Katakombe. Sebuah fresco, yang ditemukan di kuburan Priscilla menggambarkan Sang Perawan dengan Anak Ilahinya, sementara nabi Yesaya berdiri di hadapannya dan menunjuk pada bintang di atas kepalanya. Lukisan lain, di Abad Ketiga, ditemukan juga di kuburan yang sama, yang menggambarkan Anunsiasi. Satu atau lebih gambar Perawan Maria, oleh para cendekiawan terbaik, diatributkan kepada St. Lukas. Satu dari kepingan paling ternama dari seni Kristen kuno ialah fragmen kaca, yang disimpan di Museum Borgian di Istana Propaganda Fide di Roma. Mozzoni mengatributkannya sebagai karya dari Abad Kedua. Ia melukiskan Perawan Maria, yang berdoa untuk kita. Di satu sisinya ada St. Petrus dan sisi lainnya ada St. Paulus. Sosok dua Rasul ini lebih kecil dari sosok Sang Perawan, yang karenanya diberikan keunggulan lebih besar di surga melebihi dua Rasul utama. Mereka juga ditandai oleh nama-nama mereka. Hal ini memperlihatkan penghormatan, respek dan takzim yang dimiliki Para Rasul kepada Bunda Allah.

Sungguh, monumen-monumen gerejawi kuno adalah bukti dan konfirmasi akan Kekristenan Katolik.


[1] Ibr 13:8.

[2] Luk 19:40.

[3] Sesi III, C. III.

[4] Mat 28:19-20.

[5] Rm 10:10.

[6] Konstitusi “Ineffabilis Deus.”

[7] Agustinus., C. Jul., L. II, C. X, N. 37.

[8] Mrk 16:15-16.

[9] Kis 8:37.

[10] Lih. Burn. Introduction, p. 239.

[11] Origen, Conra Celsum, L. I. N. 7.

[12] Tertullian., “Praescript”, C. XLI.

[13] Ambrose, Ep. 20.

[14] Cyril, Cath. C. N. 29.

[15] Lih. Burn., Journal of Theological Studies, July 1902.

[16] Lih. Migne P, L. II, 26, 27, 33, 50.

[17] Lih. Vossius and Hort.

[18] Lih. Chapter IV, 7-8

[19] Ignatius to Ephes., N. 3.

[20] Tertull., Preser., C. XXVIII.

[21] Rm 10:8-17.

[22] Yoh 20:21.

[23] Mat 28:20.

[24] Agustinus, C. Jul., L. I, N. 31-36. Ep. Fundam. N. 4.

[25] Tertull., “Prescript”, C. XXIX.

[26] Vincentius dari Lerin, Commonit., C. XXIV.

[27] Vincentius dari Lerin, Commonit., C. XXXIII.

[28] Pius IX, Bulla Ineffabilis.

[29] Hurther, Theol. Dogm. Vol I, N. 201.

[30] Melchior Canus, De L. Th., L. IV, C. VI.

[31] Merupakan hal yang pas untuk memperhatikan bahwa Universitas-Universitas pertama di benua Amerika didirikan di bahwa perlindungan Gereja Katolik. Univesitas Lima, Peru, didirikan oleh Dekrit Charles V tahun 1551 di Biara Rosario Suci. Universitas Santo Domingo di West Indies didirikan oleh Bulla kepausan tujuh tahun kemudian. Selanjutnya adalah San Antonio Abad yang didirikan tahun 1598 di Cuzco, Peru. Antara 1586 dan 1620, dua Univesitas besar didirikan di Quito, Ecuador: pertama oleh kaum Agustinian dan yang kedua didirikan oleh kaum Jesuit.

[32] Agustinus, C. Jul, L. 2, N. 36.

[33] Pius IX, ad Episc. Monach., A. 1863.

[34] 1 Kor 10:16.

[35] Kis 2:42.

[36] Kis 20:7.

[37] Didache XIV, 1.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar