Mengasihi Sesama

Mengasihi Sesama
Ibu Theresa dari Calcuta

Senin, 20 September 2010

Memahami Fundamentalis - Kristen diambil dari millis Apikatolik

Fundamentalis - Bagian 1

Tidak ada kelompok Kristen yang tumbuh lebih pesat daripada fundamentalis. Dan banyak dari mereka yang berpindah menjadi seorang fundamentalis berasal dari Gereja Katolik — kebanyakan umat Katolik yang tidak terdidik dengan baik mengenai iman Katolik. Untuk menghentikan “kekeringan rohani” ini, untuk menjawab tantangan fundamentalis dan, yang paling utama, untuk mengerti iman kita lebih baik, Peter Kreeft membahas lima poin konflik utama:

  1. Alkitab,

  2. kodrat dan otoritas Gereja, terutama Paus,

  3. bagaimana caranya ke surga,

  4. Maria dan para kudus, dan

  5. sakramen-sakramen, terutama Sakramen Ekaristi.


Omong-omong, Alkitab siapakah ini?

Kita tidak perlu menjadi kesal dalam membela keyakinan kita. Meskipun banyak fundamentalis berpikir bahwa Gereja Katolik berada di bawah kendali Setan dan semua atau hampir semua umat Katolik akan menuju ke neraka, tidak semua berpikir demikian − dan kita seharusnya tidak berpikir yang sama terhadap mereka.

Namun iman mereka sering didasari oleh pemikiran yang sempit, terkadang itulah aslinya, baik di dalam hal kejujuran pribadi maupun dalam hal ortodoksi Kristen.

Fundamentalisme bukanlah kelompok kecil sekte non-Kristen seperti New Age atau Unification Church (Moonies). Hal-hal yang mana umat Katolik dan para fundamentalis sepakat lebih penting daripada hal-hal yang tidak kita sepakati, meskipun demikian yang terakhir sangat penting juga.

Karena sumber semua iman fundamentalis adalah Alkitab, kita akan mulai dari sana. Para fundamentalis akan selalu menempatkan sebuah argumen berdasarkan Kitab Suci. Tapi apakah yang mereka percayai mengenai Alkitab? Kita tidak dapat mengerti mereka kecuali kita terlebih dahulu mengerti devosi mereka yang dalam terhadap Kitab Suci sebagai standar mutlak mereka.

Kita semua membutuhkan sebuah “pengadilan terakhir” yang final, tidak dapat diragukan, tidak dapat dikritisi, dimana kompromi-kompromi sudah tidak ada lagi.

Kebanyakan dunia modern rohaninya terseok-seok karena tidak memiliki standar mutlak. Terlebih lagi, kita membutuhkan standar mutlak yang kongkrit dan tidak hanya suatu standar multak yang abstrak saja. Idealisme seperti “yang baik, yang benar dan yang indah” atau “gagasan mengenai Tuhan,” tidak akan berhasil. Jika Tuhan adalah standar mutlak kita, Ia harus menyentuh kita dimanapun kita berada.

Para fundamentalis dan umat Katolik setuju bahwa titik pertemuan ini adalah Kristus. Kita juga setuju bahwa Alkitab adalah inspirasi ilahi, bersifat infalibel dan otoritatif yang mengarahkan kita menuju pengenalan akan Kristus. Tapi kita tidak sepakat mengenai hal-hal lainnya, terutama mengenai Gereja dan relasinya dengan Alkitab. Para fundamentalis mengambil Kitab Suci keluar dari konteks sejarah Gereja yang menulisnya, meng-kanonisasi-nya, menjaganya dan sekarang mengajar dan mengartikannya. Bagi umat Katolik, itu seperti mengambil seorang bayi dari ibunya.

Mengabaikan Bunda Gereja tentu saja adalah kesalahan. Namun hal ini menjadi keuntungan dalam hal mencintai Bayi Alkitab, kebaikan yang kita harus hormati dan tiru. Kita dapat terlalu sedikit mencintai hal-hal lain, namun kita tidak dapat mencintai Alkitab terlalu banyak. Kita dapat mencintainya secara salah. Tapi kita tidak salah mencintainya.

Tujuh hal yang dipercayai para fundamentalis tentang Alkitab adalah bahwa Alkitab :

(1) supernatural,
(2) terinspirasi,
(3) infalibel,
(4) cukup,
(5) otoritatif,
(6) literal, dan
(7) praktikal.

Umat katolik juga mempercayai hal-hal tersebut — namun dengan cara yang berbeda.

(1) Para fundamentalis menekankan keilahian Kitab Suci, asal-usulnya yang supernatural: Kitab Suci adalah Firman Allah, bukan hanya kata-kata manusia. Penulis utama semua kitab yang ada di dalamnya adalah Allah yang sama; itulah mengapa Kitab Suci berbentuk satu buku, tidak dalam bentuk banyak buku. Umat Katolik tentu saja sepakat. Tetapi para fundamentalis biasanya tidak mau menekankan atau bahkan mengakui sisi manusiawi para penulis Alkitab. Pandangan mereka mengenai Kitab Suci, yaitu Firman Allah dalam bentuk kata-kata manusia, sama seperti pandangan bidaah Doketis terhadap Kristus: mengakui kodrat ilahi namun tidak mengakui kodrat manusiawi-Nya.

Ketika seseorang memperhatikan sisi manusiawi ini seperti yang terlihat pada perbedaan yang besar dalam gaya bahasa antara Kejadian 1-3 dan Kejadian 12-50, atau antara Yesaya 1 dan 2, dengan demikian menyimpulkan bahwa bagian-bagian yang berbeda tersebut ditulis oleh orang yang berbeda, atau masalah psikologis pribadi St. Paulus dan sisi-sisi kerasnya (seperti 1 Kor 7:6-9, 25-26; Gal 5:12), para fundamentalis secara otomatis berpikir: “Itu liberalisme, modernisme!” Mereka tidak dapat melihat bahwa ini adalah mukjizat yang terbesar yang pernah ada yaitu Allah menulis Alkitab tanpa menghilangkan sisi manusiawi penulis-penulisnya.

(2) Hal ini membawa kita menuju poin kedua. Para fundamentalis percaya bahwa Alkitab diinspirasi (dinafasi) oleh Allah, namun seringkali mereka berpikir prosesnya adalah Allah mendikte para penulis Kitab Suci kata-demi-kata. Para fundamentalis percaya akan “inspirasi paripurna (total) dan verbal [kata-demi-kata].”

Sayangnya, kita bahkan tidak memiliki tulisan asli kitab-kitab yang ada di dalam Alkitab, jadi kita tidak yakin secara pasti apa kata-kata yang tepat tertulis disana. Ada beberapa kesalahan kecil dalam penyalinan, untuk tulisan-tulisan yang terawal yang kita miliki tidak secara penuh sepakat satu dengan yang lainnya — meskipun ada 99 persen kesamaaan verbal diantara manuskrip-manuskrip yang berbeda-beda, tidaklah demikian halnya dengan tulisan-tulisan yang lebih kuno lainnya.

Kadangkala kamu juga menemukan para fundamentalis mengklaim inspirasi ilahi untuk versi King James! Motivasi utama dibalik gagasan bodoh ini adalah menghalangi Modernisme bahkan dalam hal penerjemahan. Banyak terjemahan-terjemahan Alkitab modern bukanlah benar-benar terjemahan melainkan interpretasi atau parafrasa dengan menggunakan prinsip “penyamaan dinamis” — yaitu penerjemah membayangkan apa yang hendak ditulis penulis kitab itu jika mereka menulis dengan bahasa modern saat ini. Penerjemahan kata-kata asli yang tertulis tidaklah dilakukan. Para fundamentalis hendak memperhatikan ketelitian kata demi kata, meskipun ekstrim, nampaknya tidak seburuk dugaan-dugaan yang tidak pasti dari kaum revisionis.

(3) Para fundamentalis terpaksa melakukan ini untuk melindungi infalibilitas Alkitab. Kembali mereka bertarung menghadapi para Modernis, yang mengaburkan dan kemudian menghilangkan beberapa bagian yang membuatnya tidak nyaman (contohnya yang mengajarkan mukjizat-mukjizat atau hukum moral yang mutlak).

Umat Katolik setuju bahwa Kitab Suci itu infalibel, yaitu bebas dari kesalahan dalam pesannya, namun tidaklah bebas dari kesalahan gramatikal, kesalahan matematis, atau kesalahan ilmiah.

Contohnya, ketika suatu bagian Alkitab berbicara mengenai “keempat penjuru bumi” (the four corners of the earth), Alkitab menggambarkan kepercayaan umum Ibrani kuno yaitu bumi itu datar; sehingga bagian ini bukanlah bermaksud menjelaskan bentuk bumi melainkan kemuliaan Allah.

(4) Perbedaan penting antara para fundamentalis dan umat Katolik adalah mengenai kecukupan Kitab Suci, prinsip “sola scriptura” Luther. Para fundamentalis bersikeras mereka tidak membutuhkan Gereja untuk mengartikan Kitab Suci, karena mereka mengklaim bahwa (a) Kitab Suci itu jelas, atau (b) Kitab Suci mengartikan dirinya sendiri, atau (c) Roh Kudus mengartikan Kitab Suci langsung kepada mereka.

Ketiga pengganti Gereja itu terlihat sekali tidak cukup: (a) Kitab Suci tidak jelas, seperti Kitab Suci sendiri akui (2 Pet 3:15-16). Jika Kitab Suci memang jelas, mengapa ada banyak sekali denominasi Protestan yang berbeda-beda, masing-masing mengklaim setia kepada Kitab Suci? (b) Kitab Suci tidak mengartikan dirinya sendiri, kecuali pada kejadian dimana penulis Perjanjian Baru mengutip atau merujuk ke suatu bagian Perjanjian Lama, (c) Yang terakhir, semua bidaah mengklaim bimbingan Roh Kudus juga. Bersandar kepada kriteria pribadi sangat berbahaya dan telah menimbulkan perpecahan sepanjang sejarah.

Argumen terkuat mengenai perlunya Gereja yang infalibel untuk menjamin Alkitab yang infalibel adalah fakta bahwa Gereja (para murid) menulis Alkitab dan (penerus mereka) menetapkannya dengan mendaftarkan kanon kitab-kitab yang akan dimasukkan ke dalam Alkitab. Pendapat umum mengatakan bahwa kamu tidak dapat mendapatkan lebih dari yang kurang; Kamu tidak dapat mendapatkan efek infalibel dari penyebab yang falibel. Itu tidak mungkin.

Umat Katolik sepakat dengan para fundamentalis bahwa Kitab Suci itu cukup dan bahwa Kitab Suci berisi segala sesuatu yang penting untuk diketahui demi keselamatan. Jika tidak demikian, para Protestan tidak akan diselamatkan! Umat Katolik juga setuju dengan para fundamentalis bahwa Kitab Suci menyediakan dasar dari segala dogma dan kepercayaan lebih lanjut. Tetapi para fundamentalis bersikeras bahwa semua dogma harus ada secara eksplisit di dalam Kitab Suci, sedangkan umat Katolik melihat Kitab Suci sebagai benih atau tumbuhan muda: Kepenuhan dogma Gereja Katolik adalah pertumbuhan dari pewahyuan awalnya.

(5) Mengenai otoritas Alkitab, umat Katolik sepakat dengan para fundamentalis bahwa otoritas Alkitab adalah mutlak dan final. Umat Katolik tidak sepakat mengenai apakah Alkitab merupakan satu-satunya otoritas dan apakah Alkitab dapat mempertahankan otoritasnya tanpa adanya Gereja yang otoritatif untuk menjaga dan mengartikannya. Banyak denominasi Protestan memulai dengan fundamentalisme otoritatif lalu terperosok kepada Modernisme yang tidak otoritatif.

(6) Prinsip terlemah dalam fundamentalisme adalah perlunya pengartian literal semua (atau hampir semua) yang ada di dalam Alkitab. Bahkan para fundamentalis tidak dapat mengambil perumpamaan atau metafora yang disampaikan Yesus seperti “Akulah pintu” secara literal, para fundamentalis mengartikan Alkitab secara literal mulai dari awal hingga akhir Alkitab sehingga membawa kekacauan eskatologis. Meski Kitab Kejadian yang menampilkan adanya semacam evolusi (1:20a; 24a; 2:7a), ini merupakan suatu kata yang kotor bagi para fundamentalis.

Dan meskipun Yesus sendiri tidak mengetahui kapan dunia akan berakhir (Mat 24:36), para fundamentalis suka membuat perkiraan-perkiraan – semuanya salah.

Disini para fundamentalis membuat kesalahan-kesalahan yang sama seperti para Modernis: mengacaukan pengertian obyektif dengan keyakinan pribadi, mengartikan Kitab Suci menurut keyakinannya sendiri daripada pengertian pengarang kitab tersebut. Bentuk literal Kejadian 1-3 dan Wahyu jelas-jelas merupakan simbolis, sama seperti kisah-kisah mujizat benar-benar literal.

Para fundamentalis juga mengacaukan prinsip literal dengan otoritas, takut kalau-kalau kamu mengartikan suatu bagian secara non-literal, kamu menghilangkan otoritasnya. Tapi tidaklah demikian adanya; seseorang dapat membuat sebuah gagasan yang otoritatif dalam bahasa simbolis, misalnya mengenai kekuasaan (“tangan kanan yang kuat”) Tuhan.

Ada satu bagian yang diartikan para fundamentalis secara non-literal, yaitu “Inilah Tubuh-Ku.” Para fundamentalis tiba-tiba menjadi seperti para Modernis ketika berbicara mengenai Ekaristi.

(7) Yang terakhir, kekuatan terbesar fundamentalisme tidak datang dari teori melainkan dari praktek. Prinsip-prinsip alkitabiah para fundamentalis lemah, namun praktek mereka membaca, mempelajari, mempercayai dan devosi terhadap Alkitab sangat kuat. Ini adalah poin utama Alkitab: lihat Mat 7:24-27.

Bahkan disini ada beberapa kebingungan. Dalam mengartikan Alkitab secara literal, mereka terkadang menggunakannya secara literal pada tempat yang tidak tepat (contohnya Mrk 16:18 sebagai dasar “memegang ular”). Namun sedikit yang melakukan Matius 19:21 secara literal seperti St. Fransiskus.

Dari semua kekuatan dan kelemahan itu, itulah dasar keyakinan para fundamentalis terhadap Alkitab. Apa yang dibutuhkan diatas semuanya adalah suatu discernment, adanya kehendak baik, sehingga kita semua dapat belajar dari yang baik dan menghindari yang buruk. Kita tidak perlu berkaca pada pola pikir mereka yang tertutup ataupun menjadi terlalu terbuka dalam berpikir.

Tidak peduli seberapa jujur dan bersemangatnya para fundamentalis percaya, apa yang mereka percayai bukanlah kepenuhan deposit iman ortodoks yang sudah disampaikan kepada para kudus sejak dahulu. Jika kita memiliki separuh semangat yang dimiliki para fundamentalis untuk iman mereka yang kecil untuk iman kita yang besar, kita dapat memenangkan dunia.

Fundamentalis - Bagian 2

Siapa yang memiliki otoritas di sini? Semua keyakinan yang membedakan umat Katolik dari para fundamentalis berasaldari otoritas mengajar Gereja.

Karena umat Katolik percaya akan Gereja, mereka percaya hal-hal yang lebih penuh, lebih kompleks dan misterius daripada yang dimiliki para fundamentalis. Oleh karena itu, Gereja adalah bagian penting dalam keragaman.

Dalam pandangan fundamentalis, Gereja Katolik mengangkat dirinya melebihi Alkitab, menambah-nambahkan Firman Allah: Ini adalah penyalahgunaan kekuasaan untuk berbicara atas nama Allah.

Namun bagi umat Katolik, para fundamentalis menempatkan Alkitab sebagai pengganti Gereja, sebagai “paus kertas” mereka. Fundamentalis hanya memiliki sebuah buku (Alkitab) tapi tidak memiliki pengajar yang hidup (Gereja).

Para fundamentalis percaya bahwa Alkitab yang membentuk Gereja. Mereka menerima sebuah Gereja hanya karena gagasan ini tertulis di dalam Alkitab. Sebaliknya, umat Katolik percaya kepada Alkitab karena Gereja yang mengajarnya, meng-kanonisasi-nya (yaitu menetapkan kitab-kitabnya) dan membentuknya (para murid menulis Perjanjian Baru).

Minggu yang lalu kita melihat gagasan fundamentalis mengenai Alkitab dan membandingkannya dengan pandangan Katolik. Kini kita harus melakukan hal yang sama dengan gagasan-gagasan fundamentalis terhadap Gereja. Poin terpenting di sini adalah bahwa pandangan fundamentalis merupakan sesuatu yang baru sedangkan pandangan Katolik merupakan sesuatu yang tua. Gereja Katolik dan klaim-klaimnya telah berlangsung selama lebih dari 19 abad, fundamentalisme kurang dari seabad. Oleh karena itu, alasan historis Gereja Katolik sangat kuat.

Para fundamentalis harus mempercayai bahwa Gereja Kristen mula-mula telah menjadi sangat sesat (yaitu Katolik) sangat awal sekali, dan kemudian menjadi benar (yaitu fundamentalis) sangat terlambat. Dengan kata lain, Roh Kudus pasti telah tertidur selama 19 abad diantaranya.

Para fundamentalis umumnya mengetahui sedikit sekali sejarah Gereja. Mereka tidak mengetahui berapa banyak doktrin-doktrin Katolik dapat dilacak kembali ke belakang ke jaman Bapa-Bapa Gereja awal contohnya permohonan kepada Uskup Roma untuk menyelesaikan perbedaan-perbedaan pendapat secara definitif di seluruh Gereja yang terjadi pada awal hidup Gereja pada abad pertama; atau bahwa Misa,
bukan khotbah mengenai Alkitab, adalah tindakan penyembahan utama dalam seluruhpenggambaran komunitas Kristen.

Lima perbedaan utama antara para fundamentalis dan umat Katolik berpusat pada;(1) kodrat, (2) misteri, (3) otoritas, (4) struktur dan (5) akhir dari Gereja.

Para fundamentalis sepakat dengan umat Katolik bahwa Gereja didirikan oleh Allah, tidak hanya oleh manusia. Bagi seorang fundamentalis, Gereja bukan hanya kelompok sosial religius, sama halnya seperti seorang modernis. Namun ketika para fundamentalis melihat bahwa Allah memerintahkan awal Gereja, mereka tidak melihat bahwa Ia tetap berkenan di dalamnya secara dekat, seperti jiwa hidup di dalam tubuh dan seperti Ia hidup di dalam jiwa para umat beriman. Bagi seorang fundamentalis, asal mula Gereja bersifat ilahi dan kodrat Gereja adalah manusia.


Para fundamentalis memandang Gereja dengan cara yang berlawanan dengan pandangan mereka terhadap Alkitab. Mereka yakin akan identitas ilahi Kitab Suci dan tidak begitu memperhatikan atau mengabaikan sisi manusiawi pengarangnya. Namun mereka menekankan sisi manusiawi Gereja dan mengabaikan sisi ilahinya. Dengan kata lain, mereka adalah bidaah Doketis mengenai Alkitab dan adalah bidaah Arian mengenai Gereja. (Doketisme adalah bidaah awal yang menyangkal kodrat manusiawi Kristus; Arianisme menyangkal kodrat ilahi-Nya.) Kekatolikan sajalah yang percaya secara konsisten misteri dua kodrat Kristus, dan Gereja dan Alkitab.

Para fundamentalis sering menuduh umat Katolik dengan kesalahan orang-orang Farisi dan suka mengutip Markus 7:7-8, kecaman Yesus terhadap orang-orang Farisi karena mengajar tradisi-tradisi manusia. Paus dan para uskup adalah manusia dan para fundamentalis tidak suka terhadap pemikiran mempercayai manusia-manusia itu sebagai otoritas ilahi. Namun mereka tidak konsisten, karena mereka mempercayai penulis-penulis Alkitab yang juga adalah manusia sebagai otoritas ilahi, dan (tentu saja) mereka mempercayai Kristus sebagai otoritas ilahi, karena Ia juga adalah manusia. Jadi, prinsip bahwa Allah dapat dan telah berbicara melalui otoritas manusia adalah prinsip dasar Kristus dan Kitab Suci.

Mungkin jalan termudah untuk melihat perbedaan itu adalah sebagai berikut: Para fundamentalis melihat Gereja sebagai pemberian manusia (sebagai sarana penyembahan) kepada Allah, namun umat Katolik melihatnya sebagai pemberian Allah (sebagai sarana keselamatan) kepada manusia. Bagi para fundamentalis, kita masing-masing telah diselamatkan dan kemudian bergabung dalam suatu kelompok paduan suara gerejani untuk menyanyikan ucapan syukur kita kepada Allah. Bagi umat Katolik, kita telah diselamatkan dengan menjadi bagian dari Gereja, Tubuh mistik Kristus, seperti Nuh dan keluarganya diselamatkan dengan dimasukkan ke dalam bahtera. (Banyak Bapa Gereja menggunakan bahtera sebagai simbol Gereja.)

Hal ini seperti – untuk memperluas metafora itu – para fundamentalis memilih diselamatkan dengan cara mengandalkan jaket penyelamat pribadinya, kemudian bergabung bersama dalam suatu persaudaraan.

Bagi umat Katolik, Gereja adalah “Tubuh mistik Kristus.” Gereja adalah suatu “misteri.” Para fundamentalis tidak mengerti kategori ini. “Misteri” terdengar seperti pagan bagi mereka. Mereka menginginkan agama mereka jelas dan sederhana.

Mereka tentu saja akan mengakui bahwa jalan Tuhan bukanlah jalan kita dan seringkali terlihat misterius bagi kita. Namun mereka tidak ingin Gereja mereka menjadi misterius seperti Allah, karena mereka menganggapnya bukan sebagai perpanjangan tangan Allah melainkan manusia.


Dengan kata lain, mereka berpikir bahwa “misteri” hanyalah kegelapan dan kebingungan. Namun dalam teologi Katolik ini adalah hal positif: terang yang tersembunyi, kearifan yang tersembunyi.

Para fundamentalis berkata bahwa mereka menekankan “Gereja yang tidak kelihatan” daripada “Gereja yang kelihatan” dan menuduh umat Katolik terlalu berlebihan mengenai Gereja yang kelihatan. Para fundamentalis mengambil pembedaan yang tajam diantara dua dimensi Gereja ini sehingga mereka dapat menjelaskan pernyataan-pernyataan Kitab Suci yang kuat mengenai Gereja sebagai “Gereja yang tidak kelihatan” (jumlah jiwa yang diselamatkan, diperkenalkan kepada Allah) dan bukan sebagai Gereja yang kelihatan yang ada di bumi.

Mengapa? Karena jika mereka mengacu kepada pernyataan-pernyataan mengenai Gereja yang kelihatan, klaim-klaim Gereja Katolik bahwa Gereja ini tunggal, tersebar di seluruh dunia, Gereja yang yang dapat melacak sejarahnya hingga ke masa Kristus, tetap mengampuni dosa-dosa dan menjalankan otoritas mengajar dalam nama-Nya; klaim-klaim tersebut tentu akan terlihat benar bagi Gereja Katolik ketimbang Gereja yang kelihatan lainnya.

Para fundamentalis juga memiliki prinsip-prinsip yang sangat individualis mengenai gereja. Pengertian Katolik mengenai suatu organisme tunggal yang besar dan tersebar di seluruh dunia, sesuatu yang nyata, tidak ada di dalam fundamentalisme. Gereja Ortodoks Timur biasanya memiliki pengertian yang lebih kuat mengenai misteri dan keagungan Gereja daripada kebanyakan umat Katolik Barat modern. Mereka merupakan bagian timur dari spiritualitas Roma sama seperti letak geografisnya – bersifat lebih mistik. Para fundamentalis berada di bagian barat Roma – terlalu Amerika.

Perbedaan ketiga berpusat pada otoritas Gereja. Ini merupakan akibat dari poin sebelumnya: Para fundamentalis tidak memahami pandangan Katolik mengenai Gereja sebagai suatu entitas mistik agung, suatu masyarakat ilahi yang tidak kelihatan yang hadir secara simultan di surga dan di bumi, menghubungkan surga dan bumi sedekat hubungan jiwa manusia dengan tubuhnya. Tidak adanya pemahaman ini, otoritas hanya dapat berarti kekuasaan, khususnya kekuasaan politik. Oleh karena itu, para fundamentalis kadang terdengar seperti musuh bebuyutan mereka, para modernis, ketika mengkritisi “otoritas” dan kekuasaan politik Roma. Para fundamentalis dan modernis yang tidak memiliki pemahaman Katolik mengenai Gereja dan otoritasnya lebih daripada sekedar “politis.”

Tapi para fundamentalis sendiri cenderung menjadi cukup otoritatif pada tingkat personal – contohnya di dalam keluarga mereka. Mereka lebih memiliki keinginan dibandingkan kebanyakan orang untuk memerintah dan mematuhi otoritas jika hal ini alkitabiah. Masalah yang membedakan kita bukanlah otoritas seperti itu namun dimanakah otoritas dapat ditemukan: Gereja atau Alkitab saja? Struktur komunitas Kristen juga membedakan kita. Para fundamentalis biasanya mengkritisi Gereja “hirarkis.” Hal ini seringkali merupakan masalah politik ketimbang masalah agama, terkadang berakar dari egalitarianisme Amerika (paham akan adanya kesamaan hak) ketimbang masalah agama. Namun ketika hal ini merupakan masalah agama, kritik yang ada biasanya merupakan salah satu dari tiga bentuk berikut ini:

Pertama, para fundamentalis menuduh umat Katolik melakukan penyembahan terhadap Gereja dan hirarki, terutama Paus. Ada suatu ketakutan akan penyembahan berhala yang digabungkan dengan ketakutan terhadap sistem kepausan menjadi satu, suatu kebingungan antara prinsip yang baik (anti penyembahan berhala) dengan kesalahpahaman fakta yang tidak dapat diterima. Saya telah bertemu banyak umat Katolik yang mencintai Paus dan (sayangnya) beberapa membencinya, saya tidak pernah bertemu atau mendengar ada yang menyembahnya!

Kedua, hirarki tertuduh korupsi hanya karena itu adalah sebuah hirarki: Hirarki secara struktur dan kultur sangat asing bagi Amerika. (Begitu pula hirarki para malaikat “tidak-Amerika.” Tapi itu tidak berarti hirarki para malaikat korup.) Tentu saja 500 tahun yang lalu ada beberapa hal yang benar mengenai tuduhan ini, namun para fundamentalis tetap melanjutkan pertarungan Luther.

Ketiga, seringkali ada prasangka rasial yang tidak dapat diterima terhadap Paus yang merupakan orang Italia. Beberapa orang, ketika mereka mendengar “orang Italia,” langsung berpikiran “mafia” dan “Machiavelli.” Unsur ini jarang diterima, namun tetap memainkan peran dalam prasangka-prasangka anti-paus.

Diatas semua kritik yang tidak rasional tersebut, saya tidak pernah menemukan argument teologis yang kuat melawan kepausan. Paus kita saat ini telah melakukan banyak hal untuk mengurangi ketakutan-ketakutan fundamentalis dengan kepribadiannya yang suci, kata-kata yang bijak dan perlawanan yang keras terhadap aborsi dan terhadap teolog-teolog kontemporer yang berlebihan.

Yang terakhir, para fundamentalis dan umat Katolik memiliki pandangan-pandangan yang berbeda pada akhir atau tugas dari Gereja. Bagi para fundamentalis, tugas itu hanyalah dua hal: mendidik mereka yang telah diselamakan dan menginjili mereka yang belum diselamatkan. Bagi umat Katolik, keduanya adalah penting, namun ada dua tugas lagi.

Pertama, umat Katolik juga menekankan tugas Gereja yang mendunia – keadilan sosial dan karya-karya cinta kasih seperti membangun rumah sakit dan memberi makan orang-orang miskin. Para fundamentalis mengatakan bahwa Gereja “tidak seharusnya terlibat di dalam politik” (meskipun banyak dari mereka kini telah terjun ke dalam dunia politik). Dan kapan terakhir kali kamu melihat sebuah rumah sakit fundamentalis.

Kedua, tetap ada lagi suatu tujuan penting. Penginjilan, pendidikan dan pelayanan sosial adalah tujuan penting dalam pandangan Katolik. Gereja ada untuk dunia, ya (tujuan pertama dari tiga tujuan tersebut), namun di dalam pengertian yang lebih penting dunia ada untuk Gereja, untuk kejayaan abadi dan kesempurnaannya.

Ketika kita berbicara mengenai kejayaan abadi kita memikirkan Gereja sebagai Gereja yang tidak kelihatan, bersifat “mistik;” namun ada suatu kesatuan substansial antara Gereja yang tidak kelihatan dan Gereja yang kelihatan, diantara Gereja sebagai organisme-dalam dan Gereja sebagai organisasi-luar, antara jiwa dan tubuhnya, sama seperti antara jiwa manusia dengan tubuhnya.

Kamu dapat melihat hal mistik ini seperti kamu dapat melihat seorang manusia. Hal tersuci yang dapat kamu lihat di atas bumi memiliki takhtanya di Roma, hatinya di dalam roti dan anggur di atas altar dan jemarinya yang sedekat sesamamu.

Para fundamentalis tidaklah secara eksplisit menyangkal pandangan Katolik mengenai Gereja; mereka hanya tidak memahaminya. Mereka mungkin memiliki hal-hal untuk diajarkan kepada kita mengenai semangat mereka yang berapi-api dalam kehidupan religius, namun kita memilik banyak hal yang dapat diajarkan kepada mereka mengenai pendiangan yang kita miliki.

Sebuah pendiangan tanpa api akan menjadi dingin dan gelap. Api tanpa pendiangan adalah bencana.

Fundamentalis - Bagian 3

Perlunya Sakramen-sakramen

Ada empat unsur dalam doktrin Katolik mengenai apa itu sakramen. Fundamentalisme tidak suka kepada keempatnya. Sakramen adalah tanda yang memberikan pengaruh bagi yang menerimanya, yang diadakan Kristus untuk mengaruniakan rahmat.

Pertama, sakramen adalah tanda dan simbol. Fundamentalisme tidak suka dengan simbolisme. Fundamentalisme memiliki mentalitas “tidak ada yang tidak masuk akal.” Simbol-simbol terlalu puitis bagi pemikiran keras kepalanya untuk menerima, baik itu yang ada di dalam Kitab Suci ataupun di dalam sakramen.

Kedua, sakramen memberikan pengaruh bagi yang menerimanya, yaitu tanda dan hal-hal tertentu. Fundamentalisme kemudian terjebak dalam prinsip mereka bahwa Kitab Suci harus diartikan secara literal saja atau secara simbolis saja, dan bukan keduanya (seperti St. Tomas dari Akuino).

Menurut St. Tomas dari Akuino, karena Allah adalah pembentuk sejarah, kejadian-kejadian sejarah dapat menjadi tanda, juga dapat memberikan pengaruh. Sebagai contoh, terbelahnya Laut Merah memberikan pengaruh yaitu keselamatan dari Mesir bagi umat Israel dan juga menjadi tanda akan adanya keselamatan dari dosa dan kematian melalui Kristus. Para fundamentalis menolak simbolisme pada kejadian-kejadian historis, dan menolak “kehadiran nyata” dan pengaruh-pengaruh ketika berbicara tentang tanda-tanda sakramen. “Inilah Tubuh-Ku” diartikan penuh sebagai simbolis, hanya simbolis; namun untuk semua bagian Kitab Suci lainnya mereka melihat bukan sebagai simbolis sama sekali

Ketiga, sakramen diadakan oleh Kristus. Para fundamentalis sepakat, namun membatasi sakramen-sakramen hanya Sakramen Pembaptisan dan Sakramen Ekaristi (yang mereka sebut “Perjamuan Tuhan”). Kemudian timbul pertanyaan: Bagaimana kamu tahu apakah suatu sakramen telah diadakan oleh Kristus atau tidak? Bagaimana kamu tahu Ia tidak berniat untuk menjadikan pembasuhan kaki sebagai suatu sakramen? (Lihat Yoh 13:1-15.) Bagaimana kamu tahu berapa banyak sakramen yang diadakan-Nya? Kamu membutuhkan Gereja-Nya untuk mengajarmu, untuk menjelaskan dan menetapkan sakramen-sakramen. (Ini tidak dilakukan secara eksplisit untuk ketujuh sakramen hingga abad ke-11.)

Keempat, sakramen-sakramen memberikan rahmat. Mereka “bekerja.” Kenyataannya mereka bekerja ex opere operato, berdasarkan mereka sendiri ketimbang berdasarkan atau sebagai akibat dari disposisi subyektif penerimanya. Mereka seperti makanan jasmani: Bayam memberikan kamu zat besi karena seperti itulah bayam, bukan karena siapakah kamu. Rahmat sakramental adalah nyata, obyektif, bersifat ontologi.

Hal terakhir ini adalah keberatan utama para fundamentalis. Hal ini terlihat seperti sihir bagi mereka. Kita mendengar tiga kritik dasar mengenai sakramen-sakramen dari para fundamentalis: Bagi mereka doktrin Katolik adalah sihir, eksternalisme, dan kepercayaan pagan.

Pertama, para fundamentalis salah memahami ex opere operato. Ketika mengatakan sakramen-sakramen seperti sihir dalam satu cara pandang (obyektif, bukan subyektif) janganlah mengatakan sakramen sakramen seperti sihir dalam cara pandang lainnya. Sihir bersifat impersonal dan otomatis, namun sakramen-sakramen seperti pemberian. Sakramen berasal dari pemberi (Allah), bukan penerima (kita), dan sakramen harus diterima secara bebas agar dapat diperoleh.

Para fundamentalis sering menggunakan argumen-argumen seperti ini: Berdasarkan doktrin Katolik, jika air yang digunakan dalam pembaptisan tidak mengenai dahi si bayi, karena kesalahan yang tidak disengaja, maka jika si bayi meninggal ia menuju ke neraka atau limbo, tidak ke surga; dan jika ada seseorang yang hendak mengakukan dosa beratnya mengalami kecelakaan lalu-lintas dalam perjalanannya untuk mengaku dosa, ia akan menuju ke neraka ketimbang api penyucian atau menuju ke api penyucian ketimbang ke surga; tidakkah itu konyol? (Para fundamentalis juga biasanya tidak memahami api penyucian; mereka berpikir bahwa berada di api penyucian bersifat kekal ketimbang sementara.)

Para fundamentalis sudah memiliki prinsip untuk memahami rahmat sakramental dalam teologi keselamatan mereka. Keselamatan adalah suatu pemberian Allah (obyektif) sehingga keselamatan harus dapat diterima secara bebas oleh manusia (subyektif) agar “bekerja.”

Di dalam teologi Katolik, “baptisan kerinduan” membawa rahmat yang sama dengan pembaptisan dengan air, dan kehendak yang tulus untuk mengakukan dosa di mata Allah dianggap sebagai pengakuan dosa itu sendiri. Tidak hanya harus ada unsur subyektif dari kerinduan dan pilihan dan kehendak pada unsur obyektif sakramen dari materi sakramen, namun jika materi obyektif sakramen tidak ada karena hal-hal yang tidak terhindarkan, kehendak subyektif saja dapat menyelesaikannya. Para fundamentalis tidak tahu akan hal ini dalam teologi Katolik. Hal ini terutama disebabkan karena hampir semua fundamentalis mempercayai sebuah buku saja, buku yang berisi kesalahan informasi yang parah yang ditulis oleh Lorraine Boettner untuk kritik-kritik anti-Katolik mereka, ketimbang membaca dokumen-dokumen resmi Katolik.

Kritik kedua ialah bahwa tujuan langsung sakramen-sakramen Katolik bersifat keluar (eksternal) dan tidak memperhatikan hati dan roh dimana Allah dapat ditemukan. Para fundamentalis selalu melihat adanya suatu pemisahan, bahkan suatu kontradiksi, antara sakramentalisme dengan kesalehan pribadi. Bagi mereka, semakin sakramental suatu agama, semakin tidak saleh pengikutnya; dan semakin banyak dimiliki suatu kesalehan pribadi dari suatu agama, semakin tidak sakramental agama tersebut.

Ada beberapa jawaban terhadap kritik ini. Pertama, Allah berkehendak mengadakan sakramen yang bersifat eksternal agar kita terbebas dari subyektifitas. Sakramen yang bersifat eksternal membantu devosi karena sakramen membawa kita keluar dari diri kita sendiri; sakramen membuat kita mempercayai Allah.

Kedua, sakramen-sakramen membantu devosi dengan menjadi penguji iman. Kita percaya bukan karena apa yang nampak, atau karena bukti, atau pengalaman, atau perasaan, atau alasan, melainkan karena adanya otoritas ilahi. St. Tomas dari Akuino menggambarkannya dengan indah dalam hymne mengenai Kristus yang hadir dalam Ekaristi:

Sight, taste and touch in Thee are each deceived; The ear alone most safely is believed I believe all the Son of God has spoken; Than Truth’s own word there is no truer token.

Ketiga, sakramen-sakramen yang bersifat eksternal menghilangkan kecenderungan materialistis kita untuk berpikir mengenai segala sesuatu yang nyata diluar kesadaran kita sebagai materi, untuk berpikir mengenai roh secara subyektif dan materi secara obyektif, sehingga membuat Allah menjadi subyektif ketimbang obyektif. (Jika kamu tahu Descartes, kamu akan melihat betapa modernnya fundamentalisme itu. Fundamentalisme didasarkan pada dualisme fundamental modern Descartes: materi atau roh.)

Keberatan ketiga dari fundamentalis terhadap sakramentalisme Katolik adalah bahwa sakramen merupakan takhayul pagan. Sakramen terlalu naturalis dan mengijinkan terlalu banyak kuasa spiritual terhadap materi − sama seperti pagan yang mengajarkan bahwa pepohonan dihuni oleh roh-roh atau dewa-dewi dan petir disebabkan oleh dewa-dewi. Para fundamentalis sering menuduh umat Katolik melunakkan pembedaan antara Sang Pencipta dengan ciptaan dengan cara meninggikan hasil ciptaan manusia (air, roti, anggur) sehingga memiliki kuasa-kuasa ilahi di dalam sakramen-sakramen.

Jawaban Katolik adalah bahwa paganisme jelas sudah benar pada intuisi dasarnya (tentu saja tidak di dalam hal detail-detail berhalanya). Materi jauh melebihi pemikiran modern (termasuk para fundamentalis). Umat Katolik tidak hanya memiliki sakramen-sakramen melainkan keutuhan pandangan sakramental dunia. Itulah sebabnya mereka membangun katedral-katedral.

Menarik untuk diperhatikan ketika para fundamentalis berada di dalam suatu katedral bernuansa Gothik. Mereka biasanya terlihat tidak nyaman dan merasa bersalah, karena menurut mereka memperindah suatu materi dan menikmati keindahan materi begitu dalam adalah dosa. Paling tidak mereka merasa gelisah dan tidak senang. Mereka heran mengapa mereka tidak membangun katedral-katedral. Jawabannya adalah karena katedral dibangun bukan untuk menempatkan umat Katolik melainkan untuk menempatkan Ekaristi.

Jawaban terbaik terhadap kritik-kritik para fundamentalis mengenai sakramen-sakramen adalah Kristus. Jika materi diangkat sehingga memiliki kuasa di dalam sakramen-sakramen terlihat tidak mungkin dan tidak menunjukkan sikap orang beriman, apakah yang diangkat di dalam diri Kristus? Mengapa tidak mengkritisi doktrin pengakuan iman mengenai Kristus bersifat pagan? Apakah ini naturalisme, membawa Allah turun kepada manusia dan materi? Apakah terlalu takhayul, terlalu supernatural suatu sikap mengangkat materi kepada suatu tingkatan yang lebih tinggi sehingga menjadi benar-benar tubuh Allah yang berinkarnasi? Apakah terlalu rendah bagi Allah untuk menjadi manusia dan terlalu tinggi bagi manusia untuk menjadi Allah? Apakah terlalu rendah bagi roh untuk bersatu di dalam materi dan terlalu tinggi bagi materi untuk bersatu dengan roh di dalam manusia yang adalah tubuh dan jiwa?

Sesaat sebelum Kristus mengadakan Ekaristi, menurut Injil Yohanes, Ia membasuh kaki para murid-Nya. Inkarnasi itu sendiri seperti Atlas merendahkan diri untuk mengangkat seluruh dunia ke surga di atas bahunya. Kematian Kristus dan pemakamannya adalah contoh terbesar dari perendahan ilahi ini demi mengangkat umat manusia. Itulah jalan Allah; sakramen-sakramen menunjukkan kerendahan hati-Nya yang mengagumkan. Merupakan kebanggaan yang tidak diinginkan, bahkan suatu sifat keangkuhan rohani bagi para fundamentalis untuk beranggapan bahwa sakraman-sakramen terlalu pagan, terlalu naturalis, terlalu materialis.

Saya ingat sekali betapa sukarnya saya menghilangkan perasaan itu setelah saya berpindah menjadi Katolik. Pikiran saya telah menerima seluruh doktrin Katolik, namun sakramentalisme merupakan satu hal yang mana insting Protestan saya mendapatkan masalah pencernaan yang parah. Pemikiran bahwa roti ini benar-benar merupakan tubuh Tuhan membuat saya bingung.

Tapi tidak bagi Allah. Ia merendahkan diri-Nya untuk menang. Dan kita harus merendahkan diri untuk dimenangkan. Orang kudus terbesar seperti seekor bayi burung yang membuka mulutnya agar ibunya dapat memasukkan makanan. Umat Katolik diberi makan oleh Bunda Gereja. Para fundamentalis memilih diet.

Fundamentalis - Bagian 4

Berdoa dengan para kudus

Satu cara yang baik untuk memahami keyakinan saya adalah dengan bertanya: Perbedaan-perbedaan apa yang dihasilkan? Devosi kepada para kudus membuat paling tidak tujuh perbedaan penting bagi umat Katolik. Dalam tiap kasus, para fundamentalis menganggap Kekatolikan terlalu mistis bagi mereka.

Pertama, para kudus membuat suatu perbedaan pada doa kita. Kita tidak sendiri ketika kita berdoa. Kita dikelilingi oleh para kudus. Jika ada suatu pengalaman yang membawa saya menuju Perahu Petrus, hal ini menyadarkan saya bahwa ketika saya berdoa, saya tidak sendirian, melainkan bersatu dengan Petrus dan Paulus, Agustinus dan Tomas dari Akuino dan seluruh malaikat dan para kudus di dalam Bahtera besar itu.
Tapi para fundamentalis berpikir bahwa umat Katolik berdoa kepada para kudus sama seperti kita berdoa kepada Allah, padahal kita hanya meminta para kudus untuk berdoa bagi kita kepada Allah. Jika pemikiran para fundamentalis itu benar, hal itu tentu saja merupakan penyembahan berhala. Ada suatu kesalahpahaman besar di sini yang datang dari perubahan makna kata “berdoa” (pray). Berdoa digunakan dalam arti “memohon” (request); sekarang berdoa biasanya hanya berarti “menyembah” (worship).

Satu-satunya alasan yang mungkin bagi para fundamentalis dalam keberatan mereka terhadap praktek ini (karena mereka juga meminta sesama mereka untuk berdoa satu sama lain) adalah mereka tahu bahwa para kudus, mereka yang telah meninggal dan sudah berada di surga, tidak mendengar atau peduli mengenai kita. Dengan kata lain, mereka secara implisit mengklaim tahu bahwa kematian memisahkan Gereja di bumi dengan Gereja di surga secara rohani seperti halnya secara jasmani, sehingga doa-doa tidak dapat “menembus” penghalang kematian.

Sebabnya adalah mereka tidak memiliki pandangan Katolik mengenai Gereja sebagai Tubuh Mistik Kristus, Mereka mengakui bahwa Gereja adalah milik Kristus, dan bahwa Gereja adalah Tubuh-Nya, karena gagasan gagasan itu secara eksplisit diajarkan di dalam Kitab Suci. Tetapi mereka menolak bagian “mistik.” Bukan para kudus yang tidak kelihatan yang menjadi masalah – itu akan menjadi keberatan para materialis. Bukan, para fundamentalis percaya akan sesuatu yang tidak kelihatan (Allah, jiwa, surga). Doktrin ini tidak hanya mengenai sesuatu yang tidak kelihatan melainkan mengenai sesuatu yang mistik. Bagi mereka mistik bermula dari sesuatu yang tidak jelas, berpusat pada diri, dan berakhir pada kekacauan.

Para kudus membuat suatu perbedaan,
yang kedua, terhadap kematian. Kematian tidak memisahkan kita. Gereja Penziarah (di bumi), Gereja Pejuang (di api penyucian) dan Gereja Pemenang (di surga) adalah satu Gereja. Lagi, eklesiologi ini terlalu mistis bagi para fundamentalis. Meskipun Ibrani 12:1 mengatakan bahwa“kita mempunyai banyak saksi, bagaikan awan yang mengelilingi kita,” para fundamentalis mengartikannya bukan sebagai para kudus yang hidup di surga yang mengamati kita, melainkan sebagai para martir yang wafat di bumi di masa lalu yang “mengelilingi” kita hanya di ingatan kita. (Kata Yunani itu memiliki arti “martir” dan “saksi.”)

Seorang penulis Presbiterian menceritakan kisahnya setelah ayahnya meninggal ketika ia berumur 12 tahun, ia berdoa bagi ayahnya dan telah menjadi kebiasaannya sebelum beranjak tidur. Ibunya mendengarnya dan memarahinya: “Putraku, kamu tidak boleh melakukan itu lagi. Kita bukan umat Katolik.” Ia mengatakan bahwa ia merasa ibunya seperti telah membanting pintu besi besar tepat di depan wajahnya; karena ia yakin bahwa kematian jasmani ayahnya tidaklah berarti isolasi spiritual.

Jiwa manusia menjerit melawan kejayaan yang nampak pada kematian; kejayaan kematian akan keberadaan. Seorang ahli filsafat Katolik dari Perancis, Gabriel Marcel, menyebut kematian sebagai “ujian keberadaan.” Jika keberadaan adalah jiwa-ke-jiwa dan bukan hanya tubuh-ke-tubuh, maka kematian, yaitu menghilangnya tubuh, tidak menghilangkan keberadaan.

Para kudus membuat suatu perbedaan,
yang ketiga, terhadap kodrat Gereja. Gereja bukan hanya apa yang dapat kita lihat (“Gereja yang kelihatan”). Juga bukan hanya “Gereja yang tidak kelihatan” dalam arti jumlah jiwa di bumi yang ditebus.

Gereja adalah suatu organisme spiritual tunggal dengan suatu kesatuan kosmis keberadaan surga, bumi dan api penyucian. Sekali lagi, ini adalah kualitas mistik doktrin Katolik yang ditakuti para fundamentalis. Terlalu mengerikan bagi mereka.

Keempat, para kudus membuat perbedaan terhadap arti komunitas. Memperhitungkan para kudus di dalam komunitas Gereja kita saat ini berarti memperoleh suatu pandangan mistik mengenai komunitas, tidak hanya suatu pandangan politis, psikologis dan sosiologis. Artinya, kita adalah tangan dan kaki sesama kita, dan “sesama” termasuk mereka yang telah meninggal, sama halnya dengan mereka yang masih hidup. Keluarga spiritual manusia begitu kuat sama seperti kebanyakan keluarga ketika kematian membuat hubungan menjadi tidak terlihat dan ketika kehidupan membuat hubungan itu menjadi terlihat. “Mistik” disini juga menakuti para fundamentalis.

Kelima, para kudus membuat perbedaan terhadap kepahlawanan. Bangsa kita (Amerika) adalah masyarakat pertama di dalam sejarah yang tidak memiliki pahlawan – kecuali kita tetap memiliki para kudus. Para fundamentalis terkadang dapat menjadi cukup heroik dalam kehidupan pribadi mereka, namun mereka adalah orang Amerika pada umumnya dengan kecurigaan “penyembahan-pahlawan” itu terlalu aristokratis, hirarkis, dan mistis. Mereka lebih memilih polos, menghargai orang yang mereka dapat lihat ketimbang pahlawan-pahlawan yang luar biasa, superior, dan tidak kelihatan dari masa lalu. (Para fundamentalis juga cenderung mengabaikan masa lalu karena denominasi-denominasi mereka terlalu kini.)
Keenam, para kudus membuat perbedaan terhadap pengharapan. Setiap orang dapat menjadi orang kudus. Ini merupakan tujuan dan karya setiap orang. Kita dipanggil untuk menjadi kudus. Pengharapan ini adalah sesuatu yang tinggi dan agung; tapi para fundamentalis, meskipun memiliki pengharapan akan surga, mereka hanya berharap bagaimana dapat mencapai surga, untuk “diselamatkan” (dibenarkan). Pengharapan Katolik juga termasuk pengharapan untuk disempurnakan (dikuduskan).

Yang terakhir, para kudus membuat perbedaan terhadap arti. Mereka memberikan kita arti kehidupan, tujuan keberadaan kita, yaitu pengudusan. Bagi para fundamentalis, Yesus disebut “Penyelamat” karena Ia menyelamatkan kita dari neraka, yaitu dari hukuman dosa. Bagi umat Katolik, Ia disebut “Penyelamat” karena “Ia akan menyelamatkan umat-Nya dari dosa-dosa mereka.”

Sekarang, selain pada satu masalah “berdoa kepada” para kudus, kebanyakan perbedaan diantara kita adalah masalah penekanan atau perasaan ketimbang doktrin. Tetapi ketika berbicara mengenai Maria, orang kudus terbesar, doktrin memisahkan dengan tajam. Para fundamentalis menyebut
Mariologi sebagai Mariolatry (Penyembahan Maria). Bagian ini paling sering diperdebatkan.

Namun disini juga ada perbedaan dalam perasaan dibalik perdebatan itu. Para fundamentalis akan menjadi lebih terbuka terhadap doktrin-doktrin Maria (Maria Dikandung Tanpa Dosa dan Maria Diangkat ke Surga) jika mereka mengerti motif dibalik devosi kepada Maria.

Apa yang memotivasi devosi Katolik kepada Maria adalah sesuatu yang bahkan lebih dari keistimewaan jasmani Maria sebagai Bunda Allah, yaitu
ketaatannya yang mengagumkan. Itu adalah keunggulan spiritualnya, modelnya yang sempurna bagi kekudusan. Kita dapat membedakan tujuh aspek terkait dengan kekudusan Maria dan membandingkannya dengan penekanan fundamentalisme yang berlawanan.

Pertama, Maria tersembunyi, hampir tidak kelihatan. Ia“menyimpan segala perkara itu di dalam hatinya dan merenungkannya.” Sama seperti Yohanes Pembaptis, Maria ada sebelum Kristus. (Itulah sebabnya Kristus menyebut Yohanes Pembaptis nabi terbesar (Mat 11:11) karena misinya adalah“Ia harus makin besar, tetapi aku harus makin kecil.”(Yoh 3:30). Maria disebut terbesar karena ia adalah yang terkecil. Para fundamentalis memiliki keberatan mengenai Maria yang memiliki peran dalam misi Kristus. Kenyataannya jelas adalah kebalikannya. Maria seperti udara pagi hari bagi matahari yang terbit (the rising sun); the Rising Son (Sang Putra yang Bangkit)!

Kedua, Maria adalah sosok yang rendah hati, sederhana (modest), tersembunyi, hampir Oriental dibandingkan dengan ketidaksopanan dan keagresifan orang Amerika dari kebanyakan fundamentalis.

Ketiga, Maria pendiam. Para fundamentalis berbicara banyak. Agama mereka berpusat pada kata-kata di suatu buku, bukan misteri-misteri sakramental di dalam suatu Gereja. “Allah ada di sorga dan engkau di bumi; oleh sebab itu, biarlah perkataanmu sedikit.” (Pengkhotbah 5:2) Ini juga merupakan sikap Yesus; pernahkah kamu memperhatikan betapa pendeknya doa-doa dan khotbah-Nya? Para fundamentalis berkhotbah berjam-jam. Maria tahu lebih banyak mengenai cinta daripada kotbah yang panjang itu. Cinta mencari keheningan. Maria pasti telah membaca Pengkhotbah; sebagai contoh adalah permohonanya kepada Kristus di Kana sederhana, “Mereka kehabisan anggur.” Dan perintahnya kepada pelayan-pelayan (dan kepada kita) juga sederhana,“Apa yang dikatakan kepadamu, buatlah itu!”(Yoh 2:3,5).

Keempat, Maria bersifat kewanitaan, sosok model wanita“Terpujilah engkau diantara wanita” (Blessed art thou among women; Luk 1:28). Seperti Kristus, ia adalah anggur baru; ia melebihi kategori dan perkiraan-perkiraan kita.

Kelima, Maria memiliki sikap sukarela. Fiat-nya (“Jadilah padaku menurut perkataanmu itu.” (Luk 1:38)) adalah rahasia sederhana yang terbesar dari seluruh kekudusan: hasrat untuk mengatakan “ya” kepada kehendak kekasih ilahinya. Para fundamentalis tidak lebih baik dan tidak lebih buruk dalam hal ini ketimbang orang-orang Kristen lainnya. Para kudus, dari definisinya, lebih baik dalam hal ini; dalam hal kekudusan.
Keenam, Maria itu sederhana, simple. Tidak ada yang lebih, tidak ada yang ditambahkan pada hal sederhana ini: kemurnian (kesetiaan) hati. Lebih akan menguranginya. Para fundamentalis jarang menunjukkan kesederhanaan ini. (Untuk masalah ini, kebanyakan umat Katolik juga.)

Ketujuh, Maria itu heroik. Ia layak mendapatkan “hyperdulia,” penghormatan tertinggi bagi manusia. Para fundamentalis berpikir kita memberikannya latria, pemujaan yang hanya layak diberikan bagi Allah saja. Mereka bahkan biasanya tidak memberikan dulia kepada Maria, penghormatan terhadap orang yang memiliki kekudusan yang baik. (Seperti yang telah ditulis sebelumnya, mereka cenderung curiga terhadap superioritas; sangat asing bagi orang Amerika.)
Pengaruh Maria dan para kudus terhadap karakter dan devosi kita bahkan lebih penting ketimbang pengaruh mereka pada keyakinan kita. Tanpa para kudus, devosi kita akan membosankan dan tidak heroik (seperti fundamentalisme). Tanpa Maria, kekudusan kita akan menjadi sisi maskulin saja, laki-laki secara rohani.Maria menggambarkan anima kita, fungsi feminim jiwa kita. Para fundamentalis cenderung menjadi maskulin berlebihan secara rohani; verbal, agersif, jelas, non-mistik.

Pengaruh lain yang diberikan Maria pada devosi kita adalah bahwa melalui Maria, materi dikuduskan. Allah memasuki materi melalui seorang ibu! Para fundamentalis percaya ini tetapi tidak merasakannya. Spiritualitas mereka menekankan ke dalam, hal yang subyektif. Mereka cenderung mengabaikan materi dan berkonsentrasi pada roh.

Fundamentalisme harus memahami istilah-istilah dengan kepenuhan Inkarnasi dan sakramentalisasi materi serta Maria jika mereka berharap untuk mengerti Kekatolikan – dan itu adalah langkah besar bagi mereka untuk diambil.

Tetapi banyak yang telah mengambil langkah itu. Banyak orang yang berpindah menjadi Katolik datang dari fundamentalisme. Bagi para fundamentalis sering merasa ada suatu kekosongan sakramental dalam agama mereka. Akhir-akhir ini telah ada banyak perpindahan dari Kekatolikan menuju Fundamentalisme untuk alasan yang sama: Banyak umat Katolik merasa ada kekosongan rohani karena banyak imam Katolik dan para pengajar merampas dari umatnya, doktrin dan moralitas yang jelas dan kuat dengan alasan “semangat Vatikan II.”

Di kedua kasus, kebutuhan hati perlu diisi. Hanya kepenuhan iman Katolik yang dapat melakukannya. Modernisme, Katolik atau non-Katolik, tidak dapat melakukannya; fundamentalisme pun tidak.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar