Keperawanan demi Kerajaan Surga
1618. Kristus adalah pusat seluruh kehidupan Kristen. Hubungan dengan Dia lebih utama dari semua ikatan lain dalam keluarga dan masyarakat.7 Sejak permulaan Gereja terdapat kelompok pria dan wanita yang meninggalkan Perkawinan, supaya mengikuti Anak Domba ke mana pun Ia pergi8 untuk memperhatikan kepentingan Allah, mencari jalan agar berkenan kepada-Nya,9 dan untuk menyongsong mempelai yang akan datang.10
1 Bdk. Mat 19:8.
2 Bdk. Mat 11:29-30. 3 Bdk. 8:34.
4 Bdk. Mat 19:11.
5 Bdk. Ef 5:26-27.
6 Bdk. DS 1800; CIC, can. 1055 §2.
7 Bdk. Luk 14:26; Mrk 10:28-31.
8 Bdk. Why 14:4.
9 Bdk. 1 Kor 7:32.
10 Bdk. Mat 25:6.
Kristus sendiri telah mengundang orang-orang tertentu supaya mengikuti Dia dalam cara hidup yang Ia sendiri telah jalankan:
"Ada orang yang tidak dapat kawin karena ia memang lahir demikian dari rahim ibunya, dan ada orang yang dijadikan demikian oleh orang lain, dan ada orang yang membuat dirinya demikian karena kemauannya sendiri oleh karena Kerajaan surga. Siapa yang dapat mengerti, hendaklah ia mengerti" (Mat 19:12).
1619. Keperawanan demi Kerajaan surga adalah perkembangan rahmat pembaptisan, satu tanda unggul dari prioritas hubungan dengan Kristus, kerinduan yang tabah akan kedatangan-Nya kembali, satu tanda yang juga mengingatkan bahwa Perkawinan termasuk dalam tatanan dunia yang akan berlalu.1
1620. Kedua-duanya, Sakramen Perkawinan dan keperawanan demi Kerajaan Allah, berasal dari Tuhan sendiri. Ia memberi kepadanya suatu arti dan menganugerahkan rahmat yang mutlak perlu, supaya menghidupinya sesuai dengan kehendak-Nya.2 Penghargaan tinggi terhadap keperawanan demi Kerajaan surga3 dan arti Perkawinan Kristen tidak dapat dipisahkan satu dari yang lain; mereka saling mendukung.
"Barang siapa meremehkan Perkawinan, sekaligus juga merongrong keluhuran keperawanan. Barang siapa memuji Perkawinan juga meningkatkan penghormatan terhadap keperawanan. ... Apa yang kelihatannya baik hanya karena dibanding-bandingkan, dengan sesuatu yang buruk, sebenarnya tidak baik, tetapi apa yang lebih baik daripada kebaikan yang tidak diragukan, adalah hal yang luar biasa" (Yohanes Krisostomus, virg. 10, 1).4
II. * Perayaan Perkawinan
1621. Dalam ritus Latin, perayaan Perkawinan antara dua orang beriman Katolik5 biasanya dilakukan dalam misa kudus, karena hubungan semua Sakramen dengan misteri Paska Kristus. Dalam Ekaristi terjadilah peringatan Perjanjian Baru, di mana Kristus mempersatukan diri untuk selama-lamanya dengan Gereja, mempelai-Nya yang kekasih, untuk siapa Ia telah menyerahkan diri-Nya.6 Dengan demikian, pantaslah bahwa kedua mempelai memeteraikan Ya-nya sebagai penyerahan diri secara timbal balik, dengan mempersatukan diri dengan penyerahan Kristus kepada Gereja-Nya, yang dihadirkan di dalam kurban Ekaristi dan menerima Ekaristi, supaya mereka hanya membentuk satu tubuh di dalam Kristus melalui persatuan dengan tubuh dan darah Kristus yang sama.7
1622. "Sebagai tindakan pengudusan sakramental, perayaan Perkawinan secara liturgi... harus sah, layak, dan berdaya guna" (FC 67). Karena itu, dianjurkan agar kedua mempelai mempersiapkan diri untuk Perkawinan dengan menerima Sakramen Pengakuan.
1623. Di dalam Gereja Latin, pada umumnya orang berpendapat bahwa para mempelai sendiri sebagai pengantara rahmat Kristus saling memberikan Sakramen Perkawinan, dengan menyatakan kehendaknya untuk mengadakan Perkawinan di hadapan Gereja. Di dalam Liturgi Timur Sakramen ini, yang dinamakan "pemahkotaan", diberikan melalui imam
1 Bdk. Mrk 12:25; 1 Kor 7:31.
2 Bdk. Mat 19:3-12.
3 Bdk. LG 42; PC 12; OT 10.
4 Bdk. FC 16.
5 Bdk. SC 61.
6 Bdk. LG 6.
7 Bdk. 1 Kor 10:17.
atau Uskup. Setelah ia menerima kesepakatan dari kedua mempelai, ia memahkotai mempelai pria dan wanita sebagai tanda perjanjian Perkawinan.
1624. Semua liturgi sungguh kaya akan doa pemberkatan dan epiklese, yang memohon dari Allah rahmat dan berkat untuk pasangan Perkawinan yang baru, terutama untuk mempelai Wanita. Dalam epiklese Sakramen ini kedua mempelai menerima Roh Kudus sebagai persatuan cinta antara Kristus dan Gereja.1 Dialah meterai perjanjian mereka, sumber yang selalu mengalir bagi cinta mereka, kekuatan untuk membaharui kesetiaan mereka.
III. * Kesepakatan Perkawinan
1625. Perjanjian Perkawinan diikat oleh seorang pria dan seorang wanita yang telah dibaptis dan bebas untuk mengadakan Perkawinan dan yang menyampaikan kesepakatannya dengan sukarela. "Bebas" berarti:
- tidak berada di bawah paksaan;
- tidak dihalang-halangi oleh hukum kodrat atau Gereja.
1626. Gereja memandang kesepakatan para mempelai sebagai unsur yang mutlak perlu untuk perjanjian Perkawinan. "Perkawinan itu terjadi" melalui penyampaian kesepakatan (CIC, can. 1057 § 1). Kalau kesepakatan tidak ada, Perkawinan tidak jadi.
1627. Kesepakatan itu merupakan "tindakan manusiawi, yakni saling menyerahkan diri dan saling menerima antara suami dan isteri" (GS 48, 1).2 "Saya menerima engkau sebagai isteri saya"; "saya menerima engkau sebagai suami saya" (OcM 45). Kesepakatan yang mengikat para mempelai satu sama lain diwujudkan demikian, bahwa "keduanya menjadi satu daging".3
1628. Kesepakatan harus merupakan kegiatan kehendak dari setiap pihak yang mengadakan perjanjian dan bebas dari paksaan atau rasa takut yang hebat, yang datang dari luar.4 Tidak ada satu kekuasaan manusiawi dapat menggantikan kesepakatan.5 Kalau kebebasan ini tidak ada, maka Perkawinan pun tidak sah.
1629. Karena alasan ini (atau karena alasan-alasan lain yang membuat Perkawinan tidak terjadi),6 Gere-ja, setelah masalah ini diperiksa oleh pengadilan Gereja yang berwewenang, dapat menyatakan Perkawinan itu tidak sah, artinya menjelaskan bahwa Perkawinan itu tidak pernah ada. Dalam hal ini kedua pihak bebas lagi untuk kawin; mereka hanya harus menepati kewajiban-kewajiban kodrati, yang muncul dari hubungan yang terdahulu.7
1630. Imam atau diaken yang bertugas dalam upacara Perkawinan, menerima kesepakatan kedua mempelai atas nama Gereja dan memberi berkat Gereja. Kehadiran pejabat Gereja dan saksi-saksi Perkawinan menyatakan dengan jelas bahwa Perkawinan adalah satu bentuk kehidupan Gereja.
1 Bdk. Ef 5:32.
2 Bdk. ClC, can. 1057 §2.
3 Bdk. Kej 2:24; Mrk 10:8; Ef 5:31.
4 Bdk.CIC, can. 1103.
5 Bdk. CIC, can. 1057 §1.
6 Bdk. CIC, cann. 1095-1107.
7 Bdk. CIC, can. 1071.
1631. Karena alasan ini Gereja biasanya menuntut dari umat berimannya, bahwa mereka mengikat Perkawinan dalam bentuk Gereja.1 Untuk ketentuan ini terdapat beberapa alasan:
- Perkawinan sakramental adalah satu kegiatan liturgi. Karena itu pantas bahwa ia dirayakan dalam liturgi resmi Gereja.
- Perkawinan mengantar masuk ke dalam suatu status Gereja; ia menciptakan hak dan kewajiban antara suami isteri dan terhadap anak-anak di dalam Gereja.
- Karena Perkawinan adalah status hidup di dalam Gereja, harus ada kepastian mengenai peresmian Perkawinan
- Karena itu kehadiran para saksi sungguh mutlak perlu.
- Sifat publik dari kesepakatan melindungi perkataan Ya yang pernah diberikan dan membantu agar setia kepadanya.
1632. Supaya perkataan Ya dari kedua mempelai merupakan tindakan yang bebas dan bertanggung jawab, dan supaya perjanjian Perkawinan mempunyai dasar yang kuat dan langgeng secara manusiawi dan Kristen, maka persiapan menjelang Perkawinan adalah sangat penting.
Contoh dan pendidikan orang-tua dan keluarga merupakan persiapan yang terbaik.
Para pastor dan jemaat Kristen sebagai "keluarga Allah" memainkan peranan yang tidak dapat diganti2 dalam melanjutkan nilai Perkawinan dan keluarga manusia dan Kristen, ... dan malahan lebih mendesak lagi sebab banyak orang muda dewasa ini harus mengalami perceraian Perkawinan, sehingga persiapan itu tidak cukup terjamin lagi.
"Hendaknya kaum muda pada saatnya menerima penyuluhan yang sesuai tentang martabat cinta kasih suami isteri, tentang peranan dan pelaksanaannya, paling baik dalam pangkuan keluarga sendiri, supaya mereka, berkat pembinaan dalam kemurnian, pada saat yang tepat dapat beralih dari masa pertunangan yang dilewati secara terhormat kepada pernikahan" (GS 49, 3).
Perkawinan campur dan Perkawinan beda agama
1633. Perkawinan campur [antara orang Katolik dengan orang yang dibaptis bukan Katolik], yang sering terjadi di banyak negara, membutuhkan perhatian khusus, baik dari pihak kedua mempelai maupun dari para pastor. Dalam hal perbedaan agama (antara orang Katolik dan orang yang tidak dibaptis) dibutuhkan sikap waspada yang lebih besar lagi.
1634. Kenyataan bahwa kedua mempelai bukan anggota Gereja yang sama, bukan merupakan halangan Perkawinan yang tidak dapat diatasi, kalau mereka berhasil menggabungkan apa saja yang setiap pihak sudah terima dalam persekutuan Gerejanya, dan belajar satu dari yang lain, bagaimana setiap mereka menghayati kesetiaannya kepada Kristus. Tetapi masalah yang berkaitan dengan Perkawinan campur, jangan dianggap remeh. Mereka timbul dari kenyataan bahwa perpecahan umat Kristen belum diatasi. Untuk suami isteri bahayanya, bahwa mereka merasakan nasib sial dari ketidaksatuan umat Kristen dalam pangkuan keluarganya. Perbedaan agama malahan dapat memperberat masalah ini. Pandangan yang berbeda-beda mengenai iman dan juga mengenai Perkawinan, tetapi juga sikap semangat religius yang berbeda-beda, dapat menimbulkan ketegangan dalam Perkawinan, terutama dalam hubungan dengan pendidikan anak-anak. Lalu dapat timbul bahaya untuk menjadi acuh tak acuh terhadap agama.
1635. Sesuai dengan hukum yang berlaku dalam Gereja Latin, maka Perkawinan campur membutuhkan izin eksplisit dari otoritas Gereja, supaya diizinkan.3 Dalam hal perbedaan agama dibutuhkan dispensasi eksplisit dari halangan ini demi keabsahannya.4 Izin dan dispensasi ini mengandaikan bahwa kedua mempelai mengetahui dan tidak menolak tujuan dan sifat-sifat hakiki perkawinan, demikian pula
1 Bdk. Konsili Trente: DS 1813-1816; CIC, can. 1108.
2 Bdk. CIC, can. 1063.
3 Bdk. CIC, can. 1124.
4 Bdk. CIC, can. 1086.
kewajiban yang dipikul pihak Katolik menyangkut pembaptisan dan pendidikan anak-anak dalam Gereja Katolik.1
1636. Berkat dialog ekumenis, maka di banyak wilayah jemaat-jemaat Kristen yang bersangkutan dapat mengorganisasi satu pastoral Perkawinan campur secara bersama-sama. Pastoral ini ingin mengajak pasangan-pasangan itu, supaya menghidupi keadaan khususnya dalam terang iman. Sementara itu ia juga mau membantu mereka untuk mengatasi ketegangan antara kewajiban suami isteri satu terhadap yang lain dan terhadap persekutuan gerejani masing-masing. Pastoral ini harus mengembangkan apa yang sama dalam iman kedua mempelai, dan menghormati apa yang berbeda.
1637. Dalam perbedaan agama, pihak Katolik mempunyai tugas khusus "karena suami yang tidak beriman itu dikuduskan oleh isterinya dan isteri yang tidak beriman itu dikuduskan oleh suaminya" (1 Kor 7:14). Untuk pihak Katolik dan untuk Gereja adalah suatu kegembiraan besar, apabila "pengudusan" ini dapat mengantar menuju pertobatan secara sukarela dari pihak lain ke iman Kristen.2 Cinta perkawinan yang tulus, pelaksanaan kebajikan keluarga yang sederhana dan sabar serta doa yang tekun dapat mempersiapkan pihak yang bukan Kristen untuk menerima rahmat pentobatan.
IV. * Buah-buah Sakramen Perkawinan
1638. "Dari Perkawinan sah timbul ikatan antara suami isteri, yang dari kodratnya bersifat tetap dan eksklusif, di samping itu dalam Perkawinan kristiani suami isteri diperkuat dengan Sakramen khusus untuk tugas-tugas serta martabat statusnya dan seakan-akan ditahbiskan (CIC, can. 1134).
Ikatan Perkawinan
1639. Janji yang olehnya kedua mempelai saling memberi dan saling menerima, dimeterai oleh Allah sendiri.3 Dari perjanjian mereka timbullah satu "lembaga, yang berdasarkan peraturan ilahi, kokoh, juga di depan masyarakat" (GS 48, 1). Perjanjian suami isteri digabungkan dalam perjanjian Allah dengan manusia: "Cinta kasih suami isteri yang sejati diangkat ke dalam cinta kasih ilahi" (GS 48, 2).
1640. Dengan demikian ikatan Perkawinan diikat oleh Allah sendiri, sehingga Perkawinan antara orang-orang yang dibaptis yang sudah diresmikan dan dilaksanakan, tidak pernah dapat diceraikan. Ikatan ini, yang timbul dari keputusan bebas suami isteri dan dari pelaksanaan Perkawinan, selanjutnya adalah kenyataan yang tidak dapat ditarik kembali dan membentuk satu perjanjian yang dijamin oleh kesetiaan Allah. Gereja tidak berkuasa untuk mengubah penetapan kebijaksanaan ilahi ini.4
Rahmat Sakramen Perkawinan
1641. "Dalam status hidup dan kedudukannya suami isteri mempunyai karunia yang khas di tengah umat Allah" (LG 11). Rahmat khusus Sakramen Perkawinan itu dimaksudkan untuk menyempurnakan cinta suami isteri dan untuk memperkuat kesatuan mereka yang tidak dapat diceraikan. Berkat rahmat ini "para suami isteri dalam hidup berkeluarga
1 Bdk. CIC, can. 1125.
2 Bdk. 1 Kor 7:16. Dan Bdk. Mrk 10:9.
3 Bdk. Mrk 10:9.
4 Bdk. CIC, can. 1141.
maupun dalam menerima serta mendidik anak saling membantu untuk menjadi suci" (LG 11).1
1642. Kristus adalah sumber rahmat ini. Seperti "dulu Allah menghampiri bangsa-Nya dengan perjanjian kasih dan kesetiaan, begitu pula sekarang Penyelamat umat manusia dan Mempelai Gereja, melalui Sakramen Perkawinan menyambut suami isteri kristiani" (GS 48, 2). Ia tinggal bersama mereka dan memberi mereka kekuatan untuk memanggul salibnya dan mengikuti-Nya, bangun lagi setelah jatuh, untuk saling mengampuni, menanggung beban orang lain,2 merendahkan diri seorang kepada yang lain "di dalam takut akan Kristus" (Ef 5:21), dan saling mengasihi dalam cinta yang mesra, subur dan adikodrati. Dalam kegembiraan cintanya dan kehidupan keluarganya mereka sudah diberi-Nya prarasa dari perjamuan perkawinan Anak Domba.
"Bagaimana saya mau melukiskan kebahagiaan Perkawinan, yang dipersatukan oleh Gereja, dikukuhkan dengan persembahan, dan dimeteraikan oleh berkat, diwartakan oleh para malaikat, dan disahkan oleh Bapa?... Betapa mengagumkan pasangan itu; dua orang beriman, dengan satu harapan, satu keinginan, satu cara hidup, satu pengabdian! Anak-anak dari satu Bapa, abdi dari satu Tuhan! Tidak ada pemisahan antara mereka dalam jiwa maupun dalam raga, tetapi sungguh dua dalam satu daging. Bila dagingnya itu satu, satu pulalah roh mereka" (Tertulianus, ux. 2, 9).3
Tidak ada komentar:
Posting Komentar