BAB X. Para Bapa Gereja dan Doktor Gereja
1
“Bapa Gereja” dan “Doktor Gereja” di setiap zaman merupakan “Cahaya” Gereja.
Sumber-sumber utama, terpisah dari Kitab Suci, yang melaluinya Gereja telah menerima Tradisi materialnya, terutama adalah tulisan-tulisan “Bapa Gereja.” Tradisi material berarti “Deposit Iman” yang obyektif, sebab Gereja sendiri dipimpin oleh suara Magisterium yang hidup, yaitu, oleh Suksesi Apostolik yang senantiasa hidup.
Penyelenggaraan Ilahi memanggil orang-orang di setiap zaman, yang oleh karena pengetahuan, kesalehan, dan posisinya yang luhur, mereka menguatkan Gereja Yesus Kristus. Sebagaimana dalam Perjanjian Lama, dari waktu ke waktu, Allah mengutus para Nabi untuk menjaga umat-Nya agar setia pada keyakinan akan Allah yang Esa dan sejati, demikian pula dalam Perjanjian Baru, Allah yang sama, setelah pendirian Gereja, memilih orang-orang yang unggul di setiap zaman, yang di bawah arahan Roh Kudus, menjelaskan secara rinci dan menjaga keutuhan Deposit Iman.
Bapa Gereja pantas mendapatkan penghormatan, respek, dan rasa syukur kita secara tak terbatas. Sementara sebagian besar dari mereka termasyur oleh karena kekudusan dan posisi mereka yang tinggi di dalam Gereja, namun mereka semua terkenal oleh karena pengetahuan dan kekunoan mereka. Tulisan-tulisan mereka memampukan kita memberikan pertanggungjawaban yang lebih baik akan Iman kita, karena tulisan itu lebih dekat dengan mata air kebenaran.
Di abad-abad pertama, para Uskup dan Pengajar memberi gelar “Bapa” kepada semua pendahulu mereka, yang oleh karena ajaran, kekudusan, dan pembelaan mereka akan agama Kristen, mereka menjadi dikenal baik oleh Gereja Universal. Kebiasaan tersebut mendominasi sampai ke Abad Kedua Belas, sebab, menurut pendapat umum, St. Bernardus merupakan yang terakhir dari para Bapa Gereja, dan ia meninggal tahun 1153. Semua kurun waktu itu disebut dengan “Zaman Bapa Gereja.”
Sebagian besar “Bapa Gereja” dihormati oleh Gereja sebagai Orang Kudus, seperti Klemens dari Roma, Ignatius dari Antiokia, Polikarpus, Yustinus, Ambrosius, Agustinus, Hieronimus, Siprianus. Yang lainnya adalah anak-anak Gereja yang setia, seperti Papias, Lactantius, Klemens dari Alexandria, sedangkan yang lainnya lagi terpengaruh oleh kesesatan, seperti Eusebius dari Caesarea, yang jatuh ke dalam Arianisme, dan Tertullian, yang setelah dengan gagah berani membela Gereja dari kaum bidat, malah menjadi anggota sekte Montanis di usia tuanya. Origen hanya dicurigai menganut kesesatan.
Walau demikian, mereka semua disebut “Bapa Gereja” karena mereka semua memberikan kesaksian dalam tulisan-tulisan mereka tentang apa yang Gereja percayai dan lakukan di masa mereka.
Oleh karena itu, mereka semua yang dalam dua belas abad pertama memberikan kesaksian akan ajaran Gereja yang Apostolik melalui tulisan tentang perkara-perkara gerejawi yang penting, bahkan mereka yang kekurangan reputasi kekudusan atau jatuh ke dalam kesesatan, selama mereka selaras dengan sebagian dari para penulis Kristen, mereka semua umumnya disebut “Bapa Gereja.” Meskipun demikian, secara pantas, hanya mereka yang diakui Gereja sebagai para penulis kompeten dan saksi yang tulus akan ajaran gerejawi dan apostolik, yang secara tepat disebut “Bapa Gereja.” Sebab, sebagaimana Gereja memiliki hak untuk menyatakan yang mana para penulis Kitab Suci yang diilhami Allah, demikian pula ia memiliki hak untuk menunjuk yang manakah para guru yang kompeten dan saksi berkualitas akan ajaran yang sampai pada kita dari Kristus dan Para Rasul. Hanya Gereja yang dulu dan kini selalu mengetahuinya; hanya Gereja yang mampu menilai apakah sebuah ajaran sesungguhnya terkandung dalam tulisan-tulisan gerejawi atau tidak, karena sama seperti Masyarakat lainnya, yang sadar akan hak-hak dan kewajiban-kewajibannya, hanya Gereja yang dapat menyatakan secara kompeten, dalam perkara-perkara yang berhubungan dengan kesejahterannya, siapakah para gurunya, hakimnya, dan saksinya.
Keagungan sebuah ajaran diperlukan. Tak peduli betapa singkatnya ajaran itu yang terkandung dalam tulisan-tulisannya, pengarang gerejawi menuntut rasa hormat kita ketika ia meneruskan kebenaran-kebenaran yang besar maknanya. Kebenaran-kebenaran itu bisa jadi tidak disampaikan dalam cara yang cemerlang, namun kebenaran itu penting oleh karena kekunoan si pengarang. Seperti itulah tulisan-tulisan para Bapa Apostolik dan para Pembala Gereja yang pertama.
Kekudusan diharuskan, karena ia adalah saudari ilmu pengetahuan suci. Walaupun ilmu pengetahuan profan atau umum dapat ditemukan dalam diri siapa saja, namun kehidupan yang murnilah yang memampukan seseorang melihat lebih baik apa yang menjadi milik Kerajaan Surga, seturut perkataan Kristus: “Berbahagialah mereka yang murni hatinya, sebab mereka akan melihat Allah.” Untuk alasan inilah, jika penulis manapun yang kita sebut “Bapa Gereja” kekurangan reputasi kekudusan, ia disebut demikian secara tidak pantas.
Kekunoan dibutuhkan. Semakin dekat para penulis gerejawi kepada Kristus dan masa Apostolik, semakin terhormat kesaksian mereka. Apa yang mereka dengar dari Para Rasul atau murid Para Rasul tentang apakah Pedoman Iman di masa mereka, hal itu tidak lain adalah kebenaran. Para pengarang gerejawi yang paling kuno selalu dikutip Konsili Ekumenis dan Paus Roma untuk menjelaskan, membela, dan membuktikan integritas Iman.
Persetujuan Gereja secara praktis termasuk ke dalam tiga persyaratan di atas, dan tidaklah diperlukan untuk memiliki dekrit resmi guna menerapkannya. Persetujuan implisit Gereja sudah memadai.
Terdapat suatu perbedaan antara “Bapa Gereja” dan “Doktor Gereja.” Gelar istimewa Doktor Gereja tidak selalu mencakup kekunoan, melainkan penjelasan cemerlang akan ajaran Kristen dan sanggahan yang menghancurkan terhadap para musuh gereja. Gelar “Bapa dan Doktor” adalah sesuatu yang lebih tersirat dalam gelar “Bapa Gereja.” Sebab, para penulis gerejawi yang paling ternama dapat dianggap sebagai Saksi atau sebagai Guru. Sebagai saksi, mereka menyatakan apa yang Gereja percayai dan lakukan di masa mereka. Apa yang mereka nyatakan bukanlah pendapat atau ajaran mereka sendiri, tapi secara khusus dan setara mereka menyatakan apa yang mereka katakan, dengar, atau pelajari dari para tetua, yang menawarkan artikel-artikel Iman untuk diimani, dan yang menolak ajaran yang berlawanan dengannya. Mereka ini adalah “Bapa Gereja.” Sebagai Guru atau Doktor Gereja, mereka membela dan menjelaskan dengan argumen-argumen tentang apa yang termasuk ke dalam Iman, walaupun mereka juga memberi kesaksian akan keyakinan dan praksis yang dominan di masa mereka.
Di satu sisi, perbedaan yang diperlihatkan di atas menunjukkan bagaimana para penulis unggul tertentu, yang kita sebut “Doktor”, tidak pernah termasuk ke dalam “Bapa Gereja”, dan di sisi lain, bagaimana para penulis besar lainnya, yang tanpa ragu selalu dianggap sebagai “Bapa Gereja” juga dinyatakan sebagai “Doktor Gereja.” Itu artinya mereka adalah saksi dan guru.
Secara relatif, belakangan ini, para penulis suci dan terpelajar berikut ini dinyatakan sebagai “Doktor Gereja”: St. Thomas Aquinas oleh Pius V; St. Bonaventura oleh Sixtus V; St. Petrus Damianus oleh Leo XII; St. Bernardus oleh Pius VIII; St. Hilarius dari Poitiers, St. Alfonsus Ligouri dan Santo Fransiskus dari Sales oleh Pius IX. Doktor Gereja lainnya adalah St. Sirilus dari Yerusalem; St. Sirilus dari Alexandria; St. Leo Agung; St. Petrus Krisologus; St. Isidorus dari Seville, St. Anselmus, St. Alfonsus, St. Beda Venerabilis St. Petrus Kanisius, dan St. Yohanes dari Salib adalah Pius XI.
Doktor Gereja yang terbesar semuanya hidup dalam “Zaman Bapa Gereja” dan konsekuensinya mereka merupakan “Bapa dan Doktor Gereja.” Mereka dibedakan seturut jumlah Penginjil. Ada empat orang dari Gereja Latin: Ambrosius, Agustinus, Hieronimus, dan Gregorius Agung. Empat lainnya berasal dari Gereja Yunani: Athanasius, Basil, Krisostomus, dan Gregorius dari Nazianzus.
Semua “Doktor Gereja” dihormati sebagai Orang Kudus Allah. Deklarasi eksplisit atau yang setara dengannya dari gereja diperlukan untuk menyebut seseorang sebagai “Doktor Gereja”. Karenanya setiap Doktor Gereja adalah Orang Kudus Allah; tapi tidak setiap Bapa Gereja harus secara otomatis disebut Orang Kudus.
Para Bapa Gereja dan Doktor Gereja “bukanlah terang, tapi memberi kesaksian bagi Sang Terang.”[1] Mereka menjaga terang itu agar tetap bercahaya bagi semua orang, khususnya bagi mereka yang duduk dalam kegelapan dan berada dalam bayang-bayang maut.
Mereka tidaklah infalibel. Infalibilitas hanya diberikan kepada Para Rasul, Kepala Gereja, dan penerus Para Rasul di bawah Petrus.
2
Bapa Gereja membedakan Kitab Suci dari Tradisi sebagai dua bagian berbeda dari Wahyu.
Sebagian besar Tradisi telah sampai kepada kita melalui tulisan-tulisan Bapa Gereja. Di setiap zaman, mereka merupakan penyuluh ternama bagi ajaran Kristen. Mereka adalah cahaya Kekristenan di katakombe; dalam pergolakan besar, yang menenggelamkan dan mengubah peradaban Eropa, Asia, dan Afrika yang lama; dalam kelahiran sosial dan nasional dari begitu banyak bangsa sesudah perpecahan Kekaisaran Romawi. Terutama, mereka adalah benteng kebenaran Kristen dalam semua pergolakan religius yang mengoyak – di banyak waktu dan tempat – mantel indah dari Mempelai Yesus Kristus.
Mereka harus berhadapan dengan semua jenis kesulitan. Semua kuasa neraka diarahkan untuk menyerang Gereja. Semua jenis musuh muncul di pangkuan Kekristenan itu sendiri. Tapi Allah dalam Hikmat-Nya ada bersama Gereja-Nya dalam hari-hari pencobaannya. Kekeliruan-kekeliruan muncul dan bisa timbul, tapi, syukur kepada Allah, kita dapat berkata dengan pasti bahwa semua kekeliruan masa lalu, masa kini, dan masa depan, telah dengan gagah berani dilawan dan disanggah oleh para Bapa Gereja. Seringkali mereka menerima pertempuran di wilayah musuh dan menggunakan senjata-senjatanya sendiri untuk membela kebenaran.
Karena tulisan-tulisan mereka menyediakan kesaksian yang paling persuasif akan Tradisi, maka layaklah untuk menyatakan ajaran mereka. Mereka membedakan Tradisi dari Kitab Suci sebagai dua obyek berbeda, yang satu dilengkapi oleh yang lain. Kitab Suci dan Tradisi muncul dalam tulisan-tulisan mereka seperti dua tangan yang berbeda, keduanya memegang kuat deposit Pewahyuan. Mereka adalah dua saluran dari sumber yang sama. Keduanya mengalir di atas tanah yang terpisah. Keduanya menuntun dan membentuk Wahyu yang sama.
Apa yang mereka terima dari kaum baheula, tapi tidak ditemukan dalam Kitab Suci, para Bapa Gereja menyebutnya “Tradisi”, Tradisi Dominical atau Apostolik. Karenanya St. Basil dalam karyanya “tentang Roh Kudus” menulis: “Dari dogma-dogma dan pewartaan yang kita jaga di dalam Gereja, beberapa darinya sampai pada kita dalam tulisan (Kitab Suci); yang lainnya kita terima dalam misteri-misteri dari Tradisi Para Rasul.”[2] Demikian pula Tertullian menulis dalam “The Crown”[3] dan Agustinus dalam “The Baptism.”[4]
Di tempat kedua, para Bapa Gereja berbicara tentang Tradisi sebagai sarana terpisah akan informasi, penyebaran, dan pemeliharaan kebenaran, terlepas dari Kitab Suci. Irenaeus menulis, “Bagaimana jika Para Rasul tidak meninggalkan Kitab Suci pada kita? Bukankah menjadi perlu untuk mengikuti tatanan Tradisi, yang mereka tinggalkan kepada mereka yang kepadanya Gereja dipercayakan? Kepada tatanan hal tersebut banyak orang buta huruf menyesuaikan diri mereka, yang tanpa kertas atau tinta percaya pada Kristus, namun telah menulis dalam hati mereka, melalui Roh Kudus, apa yang menjadi milik keselamatan, dan dengan tekun ‘menjaga tradisi lama’, percaya akan satu Allah, Pencipta langit dan bumi”; dan sesudah mendaraskan Kredo para Rasul, ia melanjutkan, “orang-orang ini, yang percaya tanpa memerlukan tulisan apapun, sejauh terkait bahasa kita, merupakan orang yang asing bagi lidah kita; sementara terkait dengan hal yang berhubungan dengan Iman, dalam konstruksi dan kebiasaan serta konservasinya, mereka memang sangat terpelajar, dan mereka menyenangkan Allah, melayani-Nya dalam segenap keadilan dan kemurnian dan kebijaksanaan. Jika siapa saja menceritakan pada mereka, bahkan dalam bahasa mereka, apa yang telah dibuat kaum bidat, seketika itu mereka akan menulikan telinga mereka dan lari darinya, tidak ingin mendengar percakapan yang menghujat seperti itu. Karenanya, melalui tradisi kuno Para Rasul, mereka bahkan tidak ingin, bahkan untuk sesaat, menyimpan dalam pikiran mereka apa yang dikatakan orang semacam itu.”[5] Perhatikan bahwa Irenaeus, yang menulis di abad kedua, berbicara tentang orang-orang yang bahkan tidak dapat menulis atau membaca. Mereka tidak memiliki apapun yang dapat mengarahkan mereka di jalan keselamatan selain tradisi purba: pewartaan dan praksis Gereja. Pewartaan bukanlah membaca. Pewartaan sampai pada mereka tidak melalui Kitab Suci, tapi dengan mendengarkan sabda Allah yang diwartakan pada mereka melalui para imam Gereja, seperti yang dikatakan Sang Rasul: “Fides ex auditu” – “Iman timbul dari pendengaran.”[6]
Bapa Gereja, dengan membandingkan Kitab Suci dan Tradisi, menyatakan bahwa keduanya setara dalam otoritas. St. Basil, setelah bersaksi bahwa beberapa dogma sampai pada kita melalui Kitab Suci dan lainnya dari Tradisi Para Rasul, ia menyatakan: “Keduanya (Kitab Suci dan Tradisi) memiliki kekuatan yang sama terhadap kesalehan; tak seorangpun dapat menentangnya. Pastinya, tak seorangpun, bahkan dengan sedikit pengalaman, yang seharusnya mengetahui yang mana yang merupakan penetapan Gereja. Sebab, jika kita mulai menolak, seakan-akan itu tidak penting, kebiasaan yang tidak sampai pada kita dalam tulisan, kita akan melukai Injil dalam bagian-bagiannya yang paling utama. Kita akan mereduksi pewartaan sebagai nama belaka. Misalnya, seraya menyebutkan yang pertama dan paling umum: pembuatan tanda Salib oleh mereka yang berharap dalam Kristus, siapakah yang mengajarkan kita melalui tulisan? Kata-kata yang digunakan dalam konsekrasi roti Ekaristi dan piala berkat, orang kudus mana yang meninggalkannya pada kita dalam tulisan? Kita tidak puas dengan apa yang diperingati Para Rasul atau Injil. Kita juga mengatakan hal lain sebelum dan sesudah, seakan memiliki relasi yang sangat penting terhadap misteri, yang kita masih menerimanya dari Tradisi tidak tertulis”[7] “Kita memberkati air Baptisan dan minyak urapan, bahkan ia yang menerima baptisan. Melalui tulisan apa? Bukankah melalui Tradisi yang sunyi dan rahasia? Dan Pengurapan Orang Sakit yang sama … pengurapan itu sendiri atau kata-kata yang digunakan dalam mengurapi orang sakit … kata tertulis apa yang diajarkan pada kita? … bukankah dari ajaran rahasia dan yang tak diterbitkan, yang dijaga Bapa Gereja dalam keheningan sunyi dan tanpa rasa penasaran? Mereka mempelajarinya dengan sangat baik bahwa penghormatan terhadap misteri dijaga melalui keheningan. Oleh karena itu, yang mana dari mereka yang dapat setuju untuk membocorkan secara tertulis apa yang dilarang untuk dilihat bagi mereka yang baru diinisiasi? … Inilah alasannya mengapa hal-hal tertentu tidak diteruskan dalam tulisan tanpa mengabaikan pengetahuan tentang dogma, dogma yang sama itu (jika ditulis) tidak akan dihargai oleh orang-orang dengan penggunaannya yang terus menerus. Dogma adalah satu hal, pewartaaan adalah hal lainnya. Sebab dogma-dogma dijaga dengan hening, dan pewartaan dilakukan secara publik. Semacam keheningan tertentu adalah kekaburan, yang darinya Kitab Suci membantunya, membuat penafsiran dogma sulit dimengerti. Sebuah hari tidak cukup panjang untuk menyebutkan misteri-misteri Gereja yang tidak tertulis.” Demikianlah yang dikatakan St. Basil di Abad Keempat.
Maka jelaslah, bahwa Bapa Gereja mengandaikan dan menyatakan bahwa selain Kitab Suci, sabda Allah yang tertulis, terdapat juga sabda Allah yang tidak tertulis, sebagai sumber informasi yang lain, yang sungguh berbeda dari Kitab Suci. Inilah Tradisi, sumber informasi atau pewahyuan, yang berbeda dari Kitab Suci.
3
Persetujuan bulat Bapa Gereja dalam perkara Iman dan Moral adalah pedoman Tradisi Ilahi.
Dalam tatanan adikodrati, tak peduli betapa bijaksananya dan terpelajarnya seseorang, ia tetap rentan terhadap kekeliruan. Kepastian dicapai hanya melalui Wahyu atau Infalibilitas. Ketika Para Rasul mati, Wahyu Ilahi pun berakhir. Karunia Infalibilitas, menurut janji agung Kristus, diberikan hanya kepada mereka yang ditugasi dengan kepemimpinan Gereja: penerus St. Petrus, asal dan pusat semua yurisdiksi di dalam Gereja Allah, dan seluruh Episkopat, sejauh mereka bertindak dan sepakat dengan Kepala Gereja. Tak ada satu Uskup, sebagai seorang pribadi, yang infalibel. Hanya Uskup Roma, yang bertindak sebagai kepala Gereja, yang infalibel. Dengan cara serupa Bapa Gereja dan Doktor Gereja dapat dianggap sebagi Infalibel.
Bapa Gereja dapat dianggap sebagai sekelompok orang baik dan terpelajar, yang menulis untuk membela Gereja, atau sebagai pribadi khusus yang menjelaskan kebenaran-kebenaran Kristen. Sebagai “Bapa Gereja” mereka adalah Saksinya yang memperlihatkan persetujuan yang sama. Karenanya mereka infalibel, karena kesaksian mereka memperlihatkan persetujuan yang merupakan persetujuan Gereja yang sama. Sebagai pribadi atau doktor secara khusus, mereka bertindak atas dasar otoritas mereka. Apa yang mereka tegaskan atau sangkal tidak selalu tidak dapat ditantang.
Pernyataan ini membutuhkan penjelasan:
I. Ketika Bapa Gereja sepakat akan doktrin-doktrin tertentu, yang jelas sekali menjadi milik Iman Gereja – dan semua umat beriman mempercayainya – maka, persetujuan Bapa Gereja memperlihatkan tradisi ilahi dari ajaran-ajaran itu. Ia merupakan persetujuan Gereja Universal yang sama. Konsekuensinya, persetujuan umum Bapa Gereja bersifat infalibel, karena Gereja sendiri infalibel.
Untuk alasan inilah, ketika Bapa Gereja mengajukan ajaran tertentu dengan cara sedemikian rupa, sehingga mereka dengan jelas menyatakannya sebagai hal yang termasuk ke dalam Iman, maka persetujuan umum mereka membuktikan Tradisi Ilahi dari ajaran-ajaran itu. Tidak ada orang Kristen yang bisa menolaknya tanpa jatuh ke dalam kesesatan.
II. Dengan cara serupa, jika Bapa Gereja menjelaskan ajaran tertentu, sebagai hal yang teologis dan benar, tapi tidak mengajukannya secara eksplisit sebagai hal yang tergolong ke dalam Iman, merupakan hal yang berbahaya dan tanda kegegabahan untuk menyimpang dari ajaran dan keyakinan mereka.
III. Ketika Bapa Gereja sungguh terpecah dalam suatu ajaran tertentu, dan alasan-alasan serius diberikan oleh kedua pihak dalam persoalan tersebut, maka kita bebas untuk membentuk pendapat yang berbeda. Tidak ada persetujuan umum. Jelaslah bahwa dalam situasi tersebut kebenaran belum menjadi jelas. Di sepanjang waktu, persetujuan bulat Gereja, atau keputusan definitifnya, dapat membuatnya jelas.
Oleh karena itu, Gereja selalu memandang, secara teori dan praksis, pada Bapa Gereja sebagai para pembela dan pemimpinnya. Secara teori, siapapun yang menolak otoritas mereka atau pengakuan resmi Konsili Umum, terancam untuk diusir dari persekutuannya; secara praksis, [Gereja] membuktikan Dogma-Dogma melalui Konsili oleh persetujuan bulat Bapa Gereja, atau mengutuk pendapat mereka yang berlawanan dengan ajaran umum.
Konsili Chalcedon menegaskan: “Dalam persoalan ambigu apapun, kita membiarkan diri kita guna membuat apa yang kita percayai selaras dengan penafsiran Bapa Gereja, dan tidak mengajarkan apapun yang berlawanan dengan apa yang mereka ajarkan, tapi kita menggunakan kesaksian-kesaksian ini untuk meneguhkan iman kita.” Konsili lateran di bawah Martin I menyatakan: “Jika siapa saja tidak mengakui secara benar dan pantas apapun yang telah diteruskan dan dinyatakan kepada Gereja Allah yang Katolik, Kudus, dan Apostolik, menurut Bapa Gereja, dan karenanya, tidak mengakui oleh perkataan dan pikiran apapun yang dinyatakan Bapa Gereja dan Lima Konsili Umum yang terhormat, hendaklah dia dikutuk.”
Konsili Umum VIII menyatakan: “Guna menjaga jalan keadilan ilahi yang benar dan rajawi tanpa jatuh ke dalam kekeliruan, kita harus mengikuti tulisan-tulisan Bapa Gereja sebagai nyala api yang tak terpadamkan dan senantiasa berseri-seri. Untuk alasan inilah, kita mengakui bahwa persetujuan Gereja yang Katolik dan Apostolik harus dipatuhi dan dijaga sebagai hal yang dterima melalui Tradisi, tidak hanya dari Para Rasul, tapi juga dari Konsili Ekumenis dan ortodoks, atau oleh Bapa Gereja yang ilahi dan Doktor Gereja. Sebab, Tradisi, entah melalui perkataan atau tulisan para leluhur kita, yang membedakan dirinya oleh karena kekudusan hidup mereka, Sang Rasul Paulus yang Agung (2 Tes 2:14) secara eksplisit menyatakan bahwa hal itu harus dijunjung tinggi.”[8]
Oleh karena itu, apapun yang dinyatakan dan dideklarasikan Bapa Gereja, melalui persetujuan umum, adalah kebenaran. Itulah Tradisi Ilahi.
4
Persetujuan beberapa Bapa Gereja, ketika yang lainnya diam, atau tidak menentang, adalah argumen yang pasti akan Tradisi Ilahi.
Untuk mencapai kepastian moral dalam kebenaran Kristen, tidaklah perlu untuk memiliki persetujuan semua Bapa Gereja. Cukup sering apa yang dianggap sebagai ajaran dari Gereja Apostolik atau Gereja purba dapat secara aman disimpulkan dari persetujuan beberapa orang.
Pernah terjadi bahwa kebenaran-kebenaran Kristen tertentu – beberapa darinya memang penting – dibela tidak oleh semua orang, tapi oleh sedikit Bapa Gereja terhadap kaum bidat di masa mereka. Ketika dogma-dogma tertentu diserang, seluruh Gereja terpengaruh olehnya, tapi ia meninggalkan seluruh perkara itu kepada sedikit orang, sambil mengetahui dengan baik kepada siapakah ia mempercayakan pembelaan kebenarannya. Ia menyetujui perbuatan mereka, memerintahkan mereka untuk bertindak, dan bersukacita atas kekalahan musuh-musuh mereka.
Ini terjadi – misalnya – dalam doktrin Tritunggal Mahakudus. Nama Athanasius cukup untuk membela Keilahian Kristus. Basil, Gregorius dari Nazianzus, Hilarius, Agustinus, lebih dari cukup untuk membela kebenaran Katolik dari kaum Arian, Semiarian, dan Pelagian. Sirilus dari Alexandria, Leo Agung, Agatho dan Sophronius membela misteri Inkarnasi dari kaum Nestoriand dan Monofisit. Tiap nama Bapa Gereja yang unggul tersebut memilki bobot yang lebih besar dari legiun para penulis modern. Karenanya, Agustinus menyatakan demikian tentang Gregorius dari Nazianzus: “Ia adalah orang besar sehingga apapun yang dikatakannya berasal dari iman Kristen yang diketahui dengan baik oleh semua orang, dan mereka tidak akan memilikinya sebagai sosok yang terpandang dan terhormat, kecuali mereka mengetahui bahwa apa yang dikatakannya tentang hal-hal ini berasal dari pedoman kebenaran yang ternama.”[9]
Selama pembahasan pertanyaan-pertanyaan penting tersebut, seluruh Gereja mengawasi dan berdoa tanpa henti demi kemenangan kebenaran, sebagaimana dijelaskan para pemimpinnya. Mereka menyerang kesesatan dalam kekeliruannya yang memiliki banyak bentuk, mereka membela Iman dengan gagah berani, dan menjelaskan Dogma Katolik begitu lengkap, sehingga terlalu banyak pemimpin tidaklah diperlukan.
Hal ini menjelaskan mengapa banyak Bapa Gereja memberikan sedikit pembelaan atau tidak sama sekali terhadap beberapa ajaran. Keheningan mereka adalah persetujuan implisit, persetujuan kuat akan tindakan beberapa Bapa Gereja yang lebih unggul, sebuah ungkapan perasaan umum Gereja Universal.
Jadi, diamnya Bapa Gereja lainnya dan persetujuan umat beriman merupakan persetujuan yang hening namun persuasif akan ajaran dan pembelaan Bapa Gereja lainnya. Dari pengalaman dan sejarah, kita mengetahui bahwa tidak ada Bapa Gereja yang tetap diam ketika inovasi telah menyusup ke dalam Gereja Universal: seketika itu juga mereka memperingatkan dan tiada henti menentangnya sampai ia benar-benar dihancurkan.
Karenanya, beberapa Konsili ekumenis – dan juga beberapa Bapa Gereja – guna membuktikan kebenaran-kebenaran dogmatik, tidak melakukan apapun selain menyajikan ketetapan sepuluh atau dua belas Bapa Gereja. Mereka tidak memberikan bukti lain selain pernyataan otoritatif mereka yang sederhana dan jelas. Konsili Efesus, Chalcedon, dan Konstantinopel III dan IV adalah contohnya. St. Agustinus sendiri, dalam kontroversi terhadap Julian, Sirilus dari Alexandria dalam “Iman Sejati”; Gelasius I dalam risalah ketiganya tentang “Dua Kodrat dalam Kristus”; Cassianus dalam bukunya yang menentang Nestorius juga menggunakan metode yang sama.
Tak seorangpun akan menegaskan bahwa Konsili Ekumenis, dan orang-orang seperti Agustinus, tidak mengetahui cara membela Iman Kristen. Oleh karena itu, Vincentius dari Lerin berbicara tentang Konsili Efesus dengan berkata: “Jumlah Bapa Gereja yang lebih besar bisa saja dihadirkan, tapi itu tidaklah perlu. Tidaklah bijaksana untuk menjejali sesi konsili dengan banyaknya saksi. Tak seorangpun berpikir, bahkan untuk sesaat, bahwa sepuluh orang itu berbeda pikiran dari sisa kolega mereka.”[10]
Jadi, pastilah bahwa kekunoan Kristiani mempercayai bahwa persetujuan beberapa Bapa Gereja, ketika yang lainnya diam, atau tidak menentangnya, adalah bukti yang pasti dari Tradisi Ilahi. Ini juga keyakinan Gereja hari ini.
5
Persetujuan semua Bapa Gereja barat, atau semua Bapa Gereja Timur, atau bahkan sejumlah kecil dari Bapa Gereja, ketika yang lainnya tidak menentangnya, adalah argumen yang pasti akan Tradisi Ilahi.
Sesudah Kitab Suci dan keputusan-keputusan resmi Gereja, tidak ada yang lebih otoritatif dan indah di dalam Gereja Allah, selain ajaran-ajaran Bapa Gereja. Ketika kita mempertimbangkan penghormatan dan takzim yang diberikan Gereja Universal, dalam hidup dan sesudah kematian mereka, terhadap ajaran yang mendalam yang mereka uraikan dengan jelas kepada umat dan dengan piawai membelanya dari kaum bidat, dan yang diterima secara universal oleh Konsili dan umat beriman sebagai bagian dari Deposit yang disampaikan kaum baheula, maka kita dapat berkata bahwa mereka bekerja dan menulis di bawah bantuan Roh Kudus. Kesaksian mereka benar, dan ajaran mereka tidak lain adalah ajaran Gereja yang ortodoks.
Kebenaran dan Iman tidaklah dibatasi pada satu tempat atau sekelompok orang manapun. Ajaran Bapa Gereja tidak bisa dianggap lebih baik dalam kelompok Bapa Gereja manapun, entah dari Timur atau Barat. Hal ini benar sehingga bahkan sejumlah kecil Bapa Gereja, yang menegaskan atau memberi kesaksian akan ajaran yang sama, haruslah memiliki seluruh kepercayaan dan persetujuan kita, ketika Bapa Gereja lainnya tidak menentangnya. Bisa saja terjadi, dan telah terjadi, bahwa beberapa Dogma Agama Kristen diserang hanya di beberapa wilayah. Bapa Gereja di wilayah itu hanya menyanggah kaum bidat lokal, atau sedikit yang memberi kesaksian tentang ajaran-ajaran Kristen tertentu, sementara yang lainnya, dengan hening, memberikan persetujuan penuh mereka. Jika tidak demikian, mereka pasti telah membangkang, dan pembangkangan mereka telah sampai pada kita.
Gereja Timur mengakui Iman yang sama seperti Gereja Barat. Selama kesatuan Iman tetap ada, dan dengan sikap berjaga-jaga dari para gembala dan umat beriman, maka mustahil bila Bapa Gereja Yunani dapat mendukung sebuah ajaran yang ditolak oleh Bapa Gereja Latin. Dan sama mustahilnya bila Bapa Gereja Latin dapat mengajarkan sebuah ajaran yang ditentang oleh Bapa Gereja Yunani. “Satu Iman, satu Tuhan, satu Baptisan” sampai abad Kedelapan, merupakan ikatan persatuan antara Timur dan Barat.
Agustinus, yang membela Dogma Katolik tentang Dosa asal dari Julian, berkata: “Barangkali kamu menolaknya, karena mereka semua adalah Bapa Gereja atau Uskup dari Barat, dan tidak ada satu Uskup dari Timur yang telah disebutkan? … Tidak ada gunanya bagimu untuk mencari para Uskup dari Timur, sebab mereka juga orang Kristen, dan Iman itu satu di kedua bagian dunia itu, sebab Iman itu juga Kristiani, sementara kamu lahir di tanah barat, dan Gereja Barat telah melahirkan kamu.”[11]
Wahyu sampai pada kita melalui Tradisi orang-orang purba, yang menerimanya dan menjaganya dengan sangat hati-hati.
Bapa Gereja – dari Timur dan Barat – adalah para penulis terunggul dan Orang Kudus besar di zaman mereka. Terlebih, ketika menjabat sebagai Uskup, mereka adalah penerus Para Rasul. Mereka meneruskan Wahyu kepada umat beriman, sebagaimana mereka sendiri menerimanya dari orang-orang purba. Mereka menjaga kemurniannya, menjelaskannya kepada kawanan domba mereka, dan membelanya dari serangan-serangan musuh. Rahmat adikodrati, posisi yang tinggi di dalam Gereja, kedekatan alami kepada sumber kebenaran yang utama, bakat alami, semuanya mendukung untuk membuat Bapa Gereja mengenal kebenaran dengan baik. Apa lagi yang bisa diharapkan untuk menjaga Deposit Iman tetap tak bernoda?
Terlebih, kita tidak seharusnya melupakan bahwa Deposit Iman tidaklah diserang di satu waktu atau tempat. Dalam setiap generasi, ia telah menjadi sasaran kaum bidat. Dan dalam setiap Generasi Allah datang untuk menyelamatkannya, beserta orang-orang yang unggul dan suci. Karenanya, selagi kebenaran bersinar dengan terang dan dikenal lebih baik, para pembelanya menjadi semakin terkenal. Mereka sedikit jumlahnya. Tapi pentingnya perkara yang dibicarakan, keyakinan yang ditempatkan pada mereka, dan kecemerlangan argumen-argumen mereka, menjadikan mereka bintang-bintang di cakrawala Gereja. Bukankah bagian besar dari Gereja sudah menjadi Arian? Lihatlah Athanasius yang mengembalikan Keilahian Kristus, yang telah dirampas Arius dari-Nya. Bukankah Nestorius menyangkal Ratu Surgawi dari gelarnya yang paling mulia? Lihatlah Sirilus dari Alexandria dalam Konsili Ekumenis, yang dalam nama Paus Roma, menyatakan Maria sebagai “Bunda Allah.” Bukankah Pelagius dan para pengikutnya yang besar jumlahnya begitu mengilahikan manusia sehingga ia tidak membutuhkan pertolongan Allah? Lihatlah Agustinus, yang seperti Salomo baru, dengan megah menjelaskan, di satu sisi, kerapuhan manusia, dan di sisi lain, mendesak perlunya rahmat Allah. Jadi, bahkan satu Bapa Gereja dapat menjadi otoritas memadai terhadap suatu artikel Iman. Praktik atau keyakinan yang amat kuno dapat diketahui melalui tulisan-tulisan seorang saksi. Sirilus dari Alexandria dapat berkata tentang St. Athanasius: “Memang ia adalah orang yang sungguh kompeten dan layak, sehingga kami menempatkan kepercayaan penuh kami kepadanya, bahwa ia tidak pernah mengajukan apapun yang berbeda dari ajaran-ajaran ilahi.”[12]
Kesaksian-kesaksian serupa juga dapat diulangi bagi banyak Bapa Gereja lain secara individu, yang unggul dalam pengetahuan dan kekudusan, atau terkenal dalam membela ajaran Gereja. Jelaslah, bahwa bahkan dari kesaksian sedikit orang, kita dapat mengetahui apakah Iman dan praksis Gereja di zaman mereka: yaitu Tradisi seluruh Gereja. Dan Tradisi seluruh Gereja adalah argumen yang pasti akan Kebenaran.
6
Walaupun Bapa Gereja tidak infalibel, otoritas mereka begitu besar sehingga, kapanpun salah seorang Bapa Gereja tampak tidak sepemikiran dengan yang lainnya, kita harus amat berhati-hati sebelum menyatakan bahwa ia keliru, atau tidak selaras dengan sebagian besar dari mereka.
Dalam kekebalan dari kekeliruan, para Bapa Gereja dan Doktor Kekristenan – bila dipertimbangkan sebagai individu – dapat secara tepat dibandingkan dengan Uskup Gereja. Para Uskup, yang dianggap sebagai satu Tubuh yang bertindak di bawah dan bersama dengan Kepala Gereja, adalah infalibel, karena melalui Petrus dan Penerus Petruslah Para Uskup tidak dapat jatuh dalam kekeliruan Iman atau Moral. Kepala Gereja memberikan Infalibilitas kepada anggota-anggota utama lainnya dari Tubuh – para Uskup Gereja.
Dengan cara serupa Bapa Gereja atau Doktor Gereja kebal dari kekeliruan, selama persetujuannya sepakat dengan persetujuan yang lain. Sebab, ketika semua Bapa Gereja dan Doktor Gereja sepakat akan ajaran tertentu, persetujuan mereka tidak bersifat pribadi: itu memperlihatkan persetujuan Gereja yang infalibel.
Dalam hal ketika Bapa Gereja tertentu tidak sepakat terhadap suatu pernyataan dengan Bapa Gereja lainnya, kita harus menyimpulkan bahwa ia menyimpang dari kebenaran. Tapi kita harus sangat lambat sebelum kita sampai pada kesimpulan itu. Mereka semua Bapa Gereja: karenanya kita harus melihat apakah pendapat Bapa Gereja dapat diselaraskan dengan yang lainnya atau tidak. Aturan-aturan berikut haruslah ditaati:
I. Otoritas dari seorang atau bahkan beberapa Bapa Gereja tidaklah infalibel, karena dengan pengecualian Para Penerus St. Petrus dalam perkara Dogma dan Moral, tidak seorangpun infalibel. Kita juga tidak seharusnya menganggap tulisan-tulisan Bapa Gereja seperti Kitab Suci. Walaupun kesaksian seorang penulis yang diilhami Allah itu memadai, namun hal yang sama tidak bisa dikatakan tentang tulisan Bapa Gereja manapun, sebab tak seorangpun dari mereka yang menulis di bawah ilham Roh Kudus. St. Agustinus menulis: “Oleh karena itu, dengan memberikan penghormatan yang pantas dan segenap respek yang mungkin saya berikan kepada Uskup yang damai dan Martir Siprianus yang mulia, saya berpendapat bahwa dalam membaptis ulang kaum skismatik dan bidat, ia berpikir secara berbeda dari apa yang terbukti sebagai kebenaran sesudahnya; bukan melalui pendapat saya, tapi dari ajaran Gereja Universal, yang ajarannya kemudian dikuatkan dan ditegaskan melalui otoritas Konsili Umum.”[13]
II. Kebenaran – lebih daripada otoritas – selalu dan dalam segala hal menjadi alasan utama. St. Agustinus dan yang lainnya menegaskan bahwa mereka tidak digerakkan oleh otoritas Bapa Gereja, melainkan oleh alasan-alasan dan bukti-bukti, yang mereka sajikan dalam pernyataan-pernyataan mereka. Dalam suasana inilah Agustinus menulis dalam Suratnya kepada Hieronimus.[14] Karenanya Bapa Gereja yang sama juga memperingatkan para pembacanya agar tidak menganggap tulisannya seperti Kitab Suci atau mengoreksinya menurut pendapat mereka, tetapi menurut “tulisan-tulisan ilahi dan alasan yang tak dapat dibantah.”[15] Oleh karena itu, Kardinal Franzelin berkata: “Di mana terdapat persetujuan, maka otoritas masing-masing Bapa Gereja secara tunggal tidak dapat dibandingkan dengan otoritas memadai dari masing-masing penulis yang diilhami Allah, tetapi alasan dan bukti dari Tradisi, entah itu historis, filosofis, atau teologis, terkandung dalam persetujuan yang sama itu.”[16]
III. Cukup sering perbedaan pendapat dari satu atau lebih Bapa Gereja dari persetujuan umum Bapa Gereja lainnya hanya kelihatannya atau dilebih-lebihkan oleh musuh-musuh Tradisi yang jahat. St. Athanasius menulis: “Mereka semua Bapa Gereja. Tidaklah kudus untuk menyatakan bahwa yang ini sudah berbicara dengan baik dan yang lainnya salah, karena mereka semua mati dalam Kristus; kita tidak bisa menuduh mereka, karena mereka semua memperhatikan apa yang menjadi milik Kristus; semuanya menggunakan upaya terbaik mereka untuk melawan kaum bidat.”[17]
Untuk alasan inilah ketika beberapa Bapa Gereja kelihatannya menentang apa yang selalu dipercaya oleh umat beriman, sementara di sisi lain, Bapa Gereja yang sama terbukti menjadi para pemimpin dalam membela doktrin, yang terkadang mereka nyatakan dalam cara yang kabur atau dalam bentuk yang ambigu, ketetapan mereka haruslah direkonsiliasi dengan ajaran Gereja dan dijadikan jelas melalui pernyataan lainnya, yang lebih sederhana dan mudah dimengerti. Kalimat-kalimat yang tidak jelas dari penulis manapun dijelaskan melalui konteks umum karyanya. St. Ambrosius berkata: “Apakah kata-katanya tampak aneh bagimu? Kalau begitu, mintalah pengakuannya; sebuah pikiran yang jelas melindungi dan membela percakapan yang meragukan dari kesalahan.”[18]
Terhadap teori ini beberapa Bapa Gereja sudah menjelaskan dan membla apa yang Bapa Gereja lain jelaskan secara kurang akurat. Karenanya Agustinus menjelaskan Krisostomus[19]; Athanasius menafsirkan Dionysius.[20]
IV.. Sebagaimana tidak ada Bapa Gereja yang harus diikuti secara buta, maka tidak ada pula dari mereka yang harus dipertanyakan atau dianggap tidak penting atau diabaikan tanpa alasan yang memadai. Mengenai otoritas Bapa gereja yang dipertimbangkan secara individual, ikutilah pedoman St. Agustinus: “Apa yang kamu lihat sebagai hal yang benar, peganglah dan atributkan itu kepada Gereja Katolik; apa yang salah, tolaklah dan jangan pikirkan aku karena aku hanya seorang manusia; apa yang meragukan, percayalah sampai akal budi akan membujukmu atau otoritas akan menuntun kamu apakah hal itu harus ditolak, atau dinyatakan sebagai benar, atau selalu untuk dipercaya.”[21]
V. Pastinya, persetujuan semua Bapa Gereja dalam periode manapun dalam Sejarah Gereja tidak pernah berlawanan dengan persetujuan semua Bapa Gereja di zaman atau era lainnya. Kebenaran itu selalu satu dan kekal. Menurut janji Kristus, tidak ada ajaran palsu yang dapat dipercaya oleh semua umat beriman di setiap kurun waktu Gereja. Bisa saja, dalam periode terdahulu, terdapat oposisi yang tampak, namun bukan yang nyata, melainkan persetujuan yang lemah dan tidak kuat: namun tidak pernah ada pengakuan Iman yang berbeda.
VI. Kita harus mengakui bahwa beberapa ungkapan Bapa Gereja tentang beberapa ajaran tidak pernah bisa diselaraskan dengan persetujuan umum dari sisa Bapa Gereja lainnya. Dalam hal tersebut, ungkapan tersebut harus ditolak: secara sederhana, ungkapan itu keliru. Kita tidak seharusnya heran atas beberapa kekeliruan dari Bapa Gereja. Hal ini mengajarkan kita bahwa tak ada seorangpun Bapa Gereja yang merupakan penulis kanonik atau Kitab Suci. Tiap orang menulis sebagai manusia, bukan sebagai kebenaran itu sendiri atau sebagai sarana infalibel di tangan Allah. Beberapa menulis ketika persoalannya tidak jelas, dan sebelum Gereja mengeluarkan pernyataan definitif yang mengakhiri persoalan itu. Yang lain menulis di bawah kesan bahwa beberapa kitab (seperti “Gembala Hermas” atau “Surat Barnabas”) adalah bagian dari Kitab Suci. Kitab-kitab itu sesudahnya terbukti sebagai Apokripa dan bukan sabda Allah. Tidaklah mengherankan bahwa beberapa Bapa Gereja, yang menimba pengetahuan mereka dari kitab-kitab tersebut, telah menulis tentang hal-hal tertentu yang kemudian berbeda dari persetujuan umum dan infalibel dari Bapa Gereja dan seluruh Gereja.
VII. Tak peduli betapa kelirunya apa yang ditulis Bapa Gereja, merupakan kenyataan bahwa mereka tidak pernah salah terhadap doktrin-doktrin yang diwahyukan, yang merupakan doktrin-doktrin Gereja yang vital dan hakiki. Hal ini dulu selalu diimani dan kini senantiasa diimani, karena mereka terkandung dalam Simbol-Simbol, atau dalam Pengakuan Iman publik.
VIII. Terakhir, juga pasti bahwa kapanpun Bapa Gereja keliru, kekeliruan mereka bukanlah tentang Tradisi, yaitu tentang kebenaran-kebenaran yang mereka terima dari kaum baheula. Kekeliruan Bapa Gereja sebagian besar berkenaan dengan pendapat pribadi mereka tentang beberapa perkara doktrinal. Dalam hal tersebut, mereka tidak bisa dianggap sebagai saksi kebenaran, yang diteruskan dari kaum purba, tapi sekedar sebagai penulis umum yang dapat keliru.
7
Bapa Gereja tidak membela kecukupan Kitab Suci yang mengecualikan Tradisi.
Pembelaan kasus yang buruk hanya membuatnya lebih buruk. Ketika kaum Protestan berupaya membuktikan sufisiensi (kecukupan) Kitab Suci yang mengecualikan Tradisi, mereka memperlihatkan kelemahan seluruh sistem Protestan. Hal ini sudah kita lihat. Tapi ketika mereka mengajukan Bapa Gereja sebagai saksi bagi ajaran mereka, maka kelemahan mereka menjadi kontradiksi terbuka. Bila saksi-saksi umum harus memberitahu kebenaran, maka Bapa Gereja tidak dapat gagal. Dan jika mereka sudah menyatakan diri, maka betapa jahatnya memaksa mereka untuk menentang diri mereka! Inilah yang dilakukan Protestanisme. Para penulis Protestan memaksa Bapa Gereja memberikan kesaksian yang menentang Gereja, yang sudah mereka bela dalam ribuan cara terhadap ribuan musuh.
Ketika saksi telah memberikan kesaksiannya, seluruh kesaksian, dan bukan sekedar sebagiannya, harus dipertimbangkan. Konteks seluruh pernyataan, semangat dan tulisan kesaksian itu berjalan berdampingan. Satu kalimat, ilustrasi, atau pernyataan yang diambil keluar dari konteksnya yang sesuai dapat mengungkapkan pendapat yang berbeda atau berlawanan. Sebagaimana Bapa Gereja telah menulis begitu banyak karya, dan melawan begitu banyak musuh dalam banyak situasi berbeda, maka tidaklah mengherankan jika pernyataan yang terpisah dari konteksnya dapat terlihat mengakui sufisiensi Kitab Suci. Tapi dalam setiap halaman mereka bersikeras akan Tradisi dan otoritas Gereja. Jika Bapa Gereja tampak mendukung sufisiensi Kitab Suci dalam beberapa pernyataan mereka, maka sufisiensi itu tidak bersifat absolut, tapi relatif.
Oleh karena itu:
I. Ketika mereka menegaskan sufisiensi Kitab Suci, mereka tidak mengecualikan, tapi mengandaikan Tradisi. Setelah Athanasius berkata bahwa “Kitab Suci cukup untuk menunjukkan Iman dalam Kristus”, ia menambahkan: “ada banyak kitab dari guru-guru kami, banyak kitab dari guru-guru kami, yang mana, jika siapa saja akan membacanya, dalam cara tertentu ia akan memahami penafsiran Kitab Suci dan dapat mengetahui apa yang ia inginkan.”[22] Ketika Vincentius dari Lerin menyatakan bahwa “kanon Kitab Suci adalah sempurna dan secara melimpah cukup untuk dirinya dan untuk hal lainnya”[23], ia tidak menyertakan semua Wahyu. Ia hanya berbicara tentang doktrin, yang saat itu diserang, dan yang ia sebutkan namanya. Bahkan, ia menambahkan bahwa, Iman harus dijaga “pertama, melalui hukum Otoritas Ilahi (yaitu Kitab Suci) dan selanjutnya oleh Tradisi Gereja Katolik.” Alasan bagi keamanan ganda ini dinyatakannya dalam kalimatnya yang terkenal: “karena tidak semua manusia menerima Kitab Suci dalam arti yang sama, oleh karena keluhurannya … karenanya, amatlah diperlukan oleh karena banyaknya kekeliruan agar penafsiran profetis dan apsotolik ditarik menurut pedoman arti yang Katolik dan gerejawi.”[24]
II. Jika sebuah kebenaran itu jelas dalam Kitab Suci, para Bapa Gereja tidak selalu menganggapnya bijaksana untuk membuktikannya dari sumber-sumber lain. Ketika membela Keilahian Kristus dari kaum arian, Bapa Gereja hanya mengutip Kitab Suci, karena Dogma itu digambarkan dengan sangat baik dalam Kitab Suci, yang merupakan dasar bersama bagi orang Katolik dan bidat. Agustinus, dalam kontroversinya dengan kaum Donatis tentang katolisitas Gereja, hanya mengutip dari Kitab Suci, karena sifat Gereja itu jelas dalam Kitab Suci.
III. Ketika Bapa Gereja memuja sufisiensi Kitab Suci, menggambarkannya sebagai ilahi, benar, mendalam, sehingga tidak ada yang harus dipercaya selain “apa yang sudah diteruskan” mereka tidak mengacu kepada Tradisi, tapi kepada sumber-sumber palsu, yang darinya kaum bidat berusaha membuktikan pernyataan mereka. Mereka merujuknya kepada Kitab Suci – sebagai dasar bersama – seraya membuktikan bahwa hanya Kitab Suci dan bukan kitab-kitab apokripa, yang merupakan sabda Allah tertulis. Apa yang dikatakan Origen tentang Dua Perjanjian sebagai hal yang memadai, “yang darinya kita bisa menimba semua pengetahuan, dan tidak ada Kitab Suci ketiga yang harus diterima sebagai otoritas bagi penegtahuan”[25] haruslah dimengerti sebagai sufisiensi Kitab Suci Ilahi yang mengecualikan kitab-kitab apokripa yang digunakan kaum bidat. Demikianlah halnya dengan kasus Agustinus dengan kaum Manikean dan Montanis.
IV. Kapanpun kaum bidat, setidaknya di abad-abad pertama, berupaya membuktikan apapun melampaui Kitab Suci atau menentang Kitab Suci melalui rekaan manusia atau argumen yang canggih, Bapa Gereja mengajarkan bahwa kita harus berdiri hanya dengan Kitab Suci. Karenanya, ketika Bapa Gereja berkata bahwa “kita tidak seharusnya berbicara melalui argumentasi-argumentasi kita, tapi menurut Kitab Suci” atau “keyakinan si pendengar menjadi lemah jika apapun dikatakan tanpa Kitab Suci dan hanya dari penalaran kita”, maka jelaslah bahwa Bapa Gereja mengkontraskan otoritas Kitab Suci dengan rekaan manusia dan argumen-argumen bodoh. Ketika Montanus dan yang disebut nabi sekte Montanis mengklaim dirasuki Allah dan berbicara dalam pribadi-Nya, para Bapa Gereja membuktikan pada mereka bahwa Wahyu hanya ada dalam Kitab Suci dan Tradisi.
V. Benar bahwa para Bapa Gereja menegaskan bahwa Kitab Suci mengandung apapun yang harus secara eksplisit diimani. Untuk alasan itu mereka menyebut Kredo Apostolik sebagai “Simbol atau rangkuman Kitab Suci” dan menasihati para katekumen untuk memilikinya “dengan cara menuliskannya pertama-tama di dalam hati mereka” dan selanjutnya “ketika ada kesempatan, untuk memperoleh dari Kitab Suci apa yang ditegaskan tiap artikel.”[26] Demikian pula Agustinus.[27] Ini tidak berarti bahwa para Bapa Gereja menginginkan umat beriman diajar dalam Iman terlepas dari Gereja Yang Mengajar, tidak juga bahwa setiap orang harus memperoleh ajarannya dari Kitab Suci saja, dan mengecualikan Tradisi. Mereka berbicara tentang Kitab Suci, yang harus dijelaskan, bukan sebagai yang sudah dijelaskan – explicande, bukan explicatae, seperti yang dikatakan para Teolog. Yaitu, Bapa Gereja menginginkan agar Kitab Suci dijelaskan melalui Gereja. Siapakah yang tidak mengetahui bahwa segera sesudah kemunculan kontroversi tentang makna sejati Kitab Suci, bahkan tentang artikel-artikel Iman yang harus diimani secara eksplisit, para Bapa Gereja menginginkan agar semua umat beriman mengikuti ajaran Gereja? Hal ini telah kita lihat secara berlimpah dalam bagian lain dari buku ini.
VI. Ketika dalam beberapa kesempatan para Bapa Gereja kelihatannya mneyatakan sufisiensi absolut dari Kitab Suci, mereka sekadar menginginkan agar umat beriman menggunakan Kitab Suci, karena mereka mengetahui bahwa Kitab Suci menyerahkan umat beriman kepada Gereja, untuk belajar dari Gereja tentang apa yang harus mereka imani dan lakukan. Agustinus sekali lagi berbicara ke intinya: “Walaupun Kitab Suci tidak berbicara dengan kepastian tentang perkara ini (yakni validitas Baptisan yang diberikan kaum bidat), kendati demikian, kami berpegang pada kebenaran Kitab Suci yang sama dalam perkara ini, ketika kami bertindak menurut arahan Gereja, yang mana otoritasnya dihargai oleh Kitab Suci yang sama. Untuk alasan ini, karena Kitab Suci tidak dapat menipu, apabila siapa saja takut jatuh dalam kekeliruan karena kekaburan dari persoalan yang dimaksud, hendaklah ia berunding dengan Gereja, yang Kitab Suci perlihatkan tanpa ambiguitas.”[28]
Pernyataan Bapa Gereja, karenanya, berbeda dari pendapat Protestan yang menyatakan bahwa “Kitab Suci mengandung segala yang diperlukan bagi keselamatan, sehingga jika apapun tidak dibaca di dalamnya, atau tidak dapat dibuktikan melaluinya, siapa saja tidak boleh dituntut untuk mempercayainya sebagai artikel iman dan menganggapnya sebagai hal yang perlu bagi keselamatan.”[29] Bapa Gereja selalu mengingat Suksesi Apostolik, yang ajaran dan pemahamannya menjadi arah dan pedoman dalam menafsirkan Kitab Suci. Mereka tidak memisahkan Kitab Suci dari Tradisi.
Jadi, menurut Bapa Gereka, tidak semua kebenaran dalam Kitab Suci jelas. Apa yang jelas tidaklah cukup jelas bagi semua umat beriman, sehingga mereka dapat memahaminya tanpa bantuan Tradisi. Jika kontroversi apapun muncul, maka ia tidak dapat diselesaikan tanpa penilaian otoritatif Gereja, yang merupakan pedoman dan pengadilan terakhir untuk mendefinisikan dan menyatakan maknanya yang sejati.
Kitab Suci dan Tradisi ada bersama. Karenanya, tuduhan Protestan menjadi tidak logis, bahwa para Teolog Katolik membela kebutuhan akan Tradisi secara teoretis, tapi menggunakan, pertama, Kitab Suci untuk membuktikan ajaran-ajaran katolisisme. Kaum Protestan gagal memahami bahwa pembelaan kebenaran dari Kitab Suci, dengan Akal Budi Katolik sebagai pembimbing dan pedoman bagi pengertiannya, sangatlah berbeda dari konstitusi penilaian pribadi, sebagai satu-satunya pedoman dan hakim bagi makna Kitab Suci yang sejati bersama dengan penolakan otoritas Gereja.
Baik sekali bila para pelajar Agama Katolik membaca tulisan Kardinal Bellarminus, yang mengumpulkan semua teks yang diambil dari Bapa Gereja oleh kaum Protestan, guna mendukung sufisiensi Kitab Suci[30]. Lihat juga Franzelin[31]. Semua keberatan Protestan tersebut dapat dipecahkan entah dengan mengingat seluruh konteks pernyataan Bapa Gereja, atau dengan mengandaikan otoritas Gereja, yang dinyatakan Bapa Gereja dalam semua tulisan mereka, atau oleh Kitab Suci sendiri, yang membuktikan otoritas Gereja sebagai pembimbing dan pedoman universal bagi pengetahuan dan penerimaan Iman.
Jadi, apa yang Bapa Gereja katakan tentang sufisiensi Kitab Suci tidaklah mengecualikan Tradisi.
8
Pendapat atau ajaran yang disetujui beberapa Bapa Gereja bahwa Kristus akan berkuasa di bumi dengan orang benar selama seribu tahun, tidak merusak pernyataan bahwa persetujuan Bapa Gereja, atau umat beriman, adalah bukti yang pasti akan Tradisi Ilahi.
“Hal-hal tidak selalu seperti yang kelihatannya.” Demikianlah teks Kitab Suci bila ditimbang dalam arti harafiahnya. Banyak umat Kristen di Abad Kedua dan Ketiga secara keliru menafsirkan teks-teks tertentu dari Kitab Suci, dan karenanya dengan mudah menjadi mangsa kesesatan. Mereka berpikir bahwa dengan melepaskan sesuatu yang bersifat materi di kehidupan ini, mereka akan menerimanya ratusan kali lipat di kehidupan mendatang. Dengan dipengaruhi Yahudisme, yang darinya mereka mengenakan banyak ritus dan ajaran, khususnya pengharapan akan Mesias yang mulia, mereka percaya bahwa, sebelum kebangkitan umum umat manusia di hari kiamat, orang benar akan bangkit dan berkuasa bersama Kristus di atas bumi ini selama seribu tahun, setelah memulihkan dan membangun kembali Kota Yerusalem yang besar. Yang unggul dari antara mereka adalah kaum Cerinthians, Nazaranes, dan Ebionit di Asia Kecil. Mereka menyebutnya kebangkitan pertama, guna membedakannya dari kebangkitan terakhir pada hari kiamat.
Papias, seorang uskup yang suci, melepaskan ajaran ini dari semua kenikmatan indrawi, menyetujuinya, dan mengajarkannya kepada umat beriman.
Banyak orang Katolik mengikuti pendapatnya sebagai ajaran yang diwahyukan Allah, yang diteruskan kepada Gereja oleh Para Rasul dan terkandung dalam Kitab Suci, khususnya di Kitab Wahyu. “Lalu aku melihat seorang malaikat turun dari sorga … ia menangkap naga, si ular tua itu, yaitu Iblis dan Satan. Dan ia mengikatnya seribu tahun lamanya … supaya ia jangan lagi menyesatkan bangsa-bangsa, sebelum berakhir masa seribu tahun itu … dan mereka hidup kembali dan memerintah sebagai raja bersama-sama dengan Kristus untuk masa seribu tahun. Tetapi orang-orang mati yang lain tidak bangkit sebelum berakhir masa yang seribu tahun itu. Inilah kebangkitan pertama.”[32]
Kita harus mengakui bahwa Kerajaan Kristus yang mulia di bumi dengan orang benar selama masa seribu tahun, atau lebih, tampaknya selaras dengan banyak bagian Mazmur, surat-surat profetis dan Apostolik, yang berhubungan dengan Kerajaan Kristus. Jika Kerajaan tersebut tidak diakui, maka penafsirannya menjadi lebih sulit. Bagian dari Simbol Para Rasul “Ia akan menghakimi orang hidup dan mati” tampak memberikan penafsiran yang adil melalui penerimaan akan Kerajaan duniawi Kristus.
Karenanya, kita tidak seharusnya heran bahwa bahkan para penulis besar Gereja di Abad Kedua dan Ketiga, seperti Yustinus dan Irenaeus, menerima ajaran Papias. Agustinus mempercayainya untuk sementara waktu, tapi sesudahnya ia meninggalkannya. Ajaran itu juga dipercaya oleh banyak orang Kristen, yang selama masa penganiayaan menaruh dan mengungkapkan harapan mereka dalam Kerajaan duniawi Kristus. Ajaran tersebut dipercaya oleh banyak orang sehingga St. Hieronimus mengeluh dalam karya-karyanya, bahwa “banyak orang-orang purba”, “banyak kaum klerus”, “banyak umat kita” mempercayainya di masa lalu, dan banyak orang masih mempercayainya di zamannya, yang dalam hal ini hanya mengikuti si bidat Apollonius, yang menghidupkan ajaran itu di Abad Keempat.
Di antara kaum bidat terkini, yang menggunakan ajaran Papias, adalah kaum Mormon, Irwingian, dan Adventis.
Para pengikut ajaran ini disebut Chiliast oleh orang Yunani (mereka yang percaya dalam masa seribu tahun) dan disebut milliar oleh Agustinus[33] dan para Penulis latin lainnya. Kita menyebut mereka Millenarian.
Kita tidak akan memperhatikan ajaran ini jika bukan karena penerimaannya oleh Bapa Gereja di Abad Kedua dan Ketiga, dan oleh banyak umat Katolik, yang tampaknya melemahkan pernyataan bahwa persetujuan umum Bapa Gereja di setiap abad dan keyakinan umum umat beriman merupakan pedoman tradisi ilahi. Sebab, [persetujuan itu] ditetapkan dengan baik sehingga sesudah Abad Ketiga, secara praktis semua Bapa Gereja dan umat beriman menolaknya. Jadi, apakah Bapa Gereja dan umat beriman sesudah Abad Ketiga tidak sepakat dengan Bapa Gereja dan umat beriman pada Abad Kedua dan ketiga, bahwa hal tersebut adalah suatu Dogma?
Tidaklah demikian halnya. Keyakinan akan Kerajaan di bumi selama seribu tahun tidak hanya ditolak oleh Bapa Gereja dan umat beriman sesudah Abad Ketiga, tapi bahkan di Abad Kedua dan Ketiga, keyakinan itu tidaklah universal. Tapi keyakinan itu tidak pernah dicela oleh Gereja. St. Hieronimus menulis: “Walaupun kita tidak mengikutinya, kendati demikian, kita tidak bisa mencelanya, sebab banyak abdi Gereja dan para martir mempercayainya.”[34] Cornelius a Lapide, Ribera, dan yang lainnya menyatakan bahwa mereka tidak berani menyebutnya kesesatan.
Bahwa ajaran tersebut tidaklah universal di Abad Kedua dan Ketiga terbukti dari pernyataan-pernyataan Bapa Gereja dan penulis lainnya dari periode yang sama.
I. Yustinus sendiri, yang mempercayai dan menulis tentang ajaran itu, berkata: “Saya sudah memberitahu kamu bahwa itulah pendapatku dan pendapat banyak orang lainnya … walau demikian, saya juga telah memberitahu kamu bahwa banyak orang Kristen lainnya … tidak mengakuinya.”[35]
II. Irenaeus, yang mengambilnya dari Papias, menyatakan bahwa mereka yang tidak percaya dalam Kerajaan Kristus di bumi di masa depan, mereka menyediakan kaum bidat dengan sarana untuk menyangkal kebangkitan orang mati. Ini adalah sebuah pengakuan di pihaknya bahwa pada masanya ada banyak juga orang Kristen yang menyangkal pendapatnya.
III. Origen, yang hidup di Abad Kedua dan ketiga, secara terbuka mencela dan melawan Milenarianisme.[36] Sebagian besar karena dialah ajaran itu menghilang secara bertahap dari pikiran banyak orang Kristen Timur.
IV. Ketika Nepos, Uskup Arsenoe, mengenalkannya ke Mesir, banyak orang Kristen, yang mempercayainya, dan yang sesudahnya menjadi skismatik, tidak dimasukkan kembali oleh St. Dionysius, Uskup Alexandria, ke dalam Gereja, kecuali pertama-tama mereka menolak ajaran itu. Hal ini terjadi sekitar pertengahan Abad Ketiga.
V. Tidak ada catatan bahwa ajaran Millenarian pernah diperkenalkan di Roma. Melainkan ia ditentang. Imam romawi Caius, yang menulis di awal Abad Ketiga menentang Cerinthus, tidak hanya mencelanya, tapi secara ironis juga berkata: “Cerinthus menimbulkan keheranan besar ketika ia mengiakan Kerajaan Kristus di bumi di masa depan sesudah kebangkitan, dan tubuh melayani kembali kecenderungan untuk berdosa di Yerusalem!”[37]
VI. Jika kita mempertimbangkan asal usul Millenarianisme, kita dapat mengamati bahwa hampir semua pengarang Katoliknya hidup di, atau dalam cara tertentu terhubung dengan, Asia Kecil. Papias, orang Katolik terkemuka yang menyetujuinya, adalah Uskup Hierapolis, sebuah kota di Provinsi Phrygia di Asia Kecil; Yustinus mengadakan sebuah Dialog tentangnya bersama Tryphon di Efesus, yang sebelumnya adalah kota besar di Asia Kecil; Irenaeus lahir dan dibesarkan di Asia Kecil; Methodius sebelumnya adalah Uskup Olympus di Lycia, provinsi lain dari Asia Kecil. Mereka ini adalah para pendukung terkemuka di antara orang Katolik di abad-abad pertama Gereja. Tertullian membela ajaran itu hanya sesudah ia meninggalkan Gereja. Karya-karya Lactantius tentang perkara ini dianggap apokripa, yaitu, karya-karyanya tidak berhubungan di antara tulisan-tulisan Bapa Gereja.
Dikatakan bahwa Papias telah menerima ajaran ini dari murid St. Yohanes Penginjil, yang telah ia lihat, dengar dan bicara dengannya. Eusebius menceritakan bagaimana Papias menyalahartikan catatan-catatan Apostolik, yang tidak seharusnya diartikan secara literal, tapi secara simbolis.[38]
Teks Kitab Wahyu, yang digunakan kaum Millenarian untuk mendasarkan keyakinan mereka, difatsirkan menurut St. Agustinus oleh sebagian besar Bapa Gereja dan Teolog sejak Abad Keempat. Dalam karyanya “De Civitate Dei” Doktor yang suci ini mengartikan bab tersebut secara alegoris.
I. Jumlah seribu tahun dimaksudkan untuk mengungkapkan kelimpahan waktu melalui angka yang sempurna, yaitu, masa antara kedatangan pertama Kristus dan hasutan Antikristus. II. Pengikatan iblis berarti bahwa kekuasaan setan yang lama dihancurkan, tidak secara mutlak, tapi berkurang sedemikian rupa sehingga Allah bisa tidak mengizinkannya untuk mencobai manusia melebihi kekuatannya, oleh karena rahmat Kristus. “Tetapi jika Aku mengusir setan dengan kuasa Allah, maka sesungguhnya Kerajaan Allah sudah datang kepadamu.”[39] “Sekarang berlangsung penghakiman atas dunia ini: sekarang juga penguasa dunia ini akan dilemparkan ke luar.”[40] III. Jiwa-hiwa mereka yang dipenggal … dan hidup serta berkuasa bersama Kristus selama seribu tahun adalah jiwa-jiwa orang Kudus, yang sesudah kematian Kristus berkuasa bersama-Nya di surga sampai kedatangan Antikristus; sebab, ini adalah kebangkitan pertama, yaitu, perpindahan dari masa kini ke kehidupan surgawi. Tidak juga dapat dikatakan secara pantas bahwa kebangkitan adalah milik jiwa-jiwa yang dipenggal, ketika hal itu adalah milik tubuh: “Aku percaya akan kebangkitan badan.” IV. Sisa orang mati lainnya yang hidup tidak sampai seribu tahun akan disudahi. Para pendosa sesudah kematian mereka tidak diizinkan memasuki surga sampai kedatangan kedua Kristus, ketika “Ia akan datang untuk mengadili orang hidup dan mati”, yaitu, sampai kebangkitan kedua orang benar pada hari kiamat. Tidak pula mereka akan memasuki surga setelah kedatangan Kristus, sebab pada hari itu Kristus akan mengadili orang hidup dan orang mati: “dan mereka yang telah berbuat baik akan keluar dan bangkit untuk hidup yang kekal, tetapi mereka yang telah berbuat jahat akan bangkit untuk dihukum.”[41]
Oleh karena itu, terdapat dua kebangkitan: yang pertama adalah kebangkitan jiwa-jiwa, yaitu, perpindahan jiwa-jiwa terberkati dari dunia ini ke surga, sebagaimana disebutkan dalam kitab Wahyu; yang kedua adalah kebangkitan badan pada hari kiamat. St. Agustinus berbicara secara langsung: “Sebagaimana terdapat dua kelahiran kembali, yang satu menurut iman, yang terjadi sekarang melalui baptisan, yang lain menurut daging, yang terjadi dalam dalam ketidakrusakan dan keabadian pada hari besar dan kiamat: demikian pula terdapat dua kebangkitan, yang pertama, yang ada sekarang dan menjadi milik jiwa, dan tidak mengizinkan kematian kedua mendatanginya; dan yang lain, yang tidak ada sekarang, tapi yang akan ada di masa depan, dan menjadi milik badan dan bukan jiwa, dan yang melaluinya penghakiman terakhir akan mengutus beberapa orang ke kematian kedua, dan beberapa lagi ke kehidupan yang tidak memiliki maut.”[42]
Dalam hal manapun, Kerajaan Kristus, yang dibicarakan kitab Wahyu, hanya bisa diatributkan kepada Gereja.
Millenarianisme, selanjutnya, secara praktis terbatas pada Asia Kecil. Secara relatif, sedikit orang Katolik yang mengikutinya. Jika beberapa Bapa Gereja mempercayainya, maka yang lain menolaknya. Tidak pernah ada persetujuan umum Bapa Gereja atau umat beriman. Itu merupakan pendapat. Gereja tidak pernah mencelanya, ataupun menyetujuinya. Dan ia tidak pernah dianggap sebagai artikel iman yang berlandaskan tradisi-tradisi apostolik.
Sejak Abad Keempat semua Bapa Gereja dan mayoritas umat beriman Katolik menolak ajaran papias. Sekarang ajaran itu terbatas hanya kepada kaum Advent dan Mormon.
[1] Yoh 1:8.
[2] Basil, C. XXVII.
[3] Tertullian, C. IV.
[4] Agustinus, C. VII.
[5] Irenaeus, L. 3, C. IV, N. 1.
[6] Rm 10:17.
[7] Basil on Baptism, C. XXVII.
[8] Act 10, can. 1.
[9] Agustinus, L. I, C. Jul., N. 16.
[10] Vincentius dari Lerin, Commonit.
[11] Agustinus, C. Jul., L. I, C. IV, N. 13.
[12] Sirilus dari Alexandria, Ep. 1.
[13] Agustinus, De Bapt, L. 6, C. II.
[14] Agustinus, Ep. 82, N. 3.
[15] Agustinus, De Trinit., L. 3.
[16] Franzelin, Ser. Et. Trad., Th. XV, N. I.
[17] Athanasius, De Synod, N. 43.
[18] Ambrosius, Ep. 48, N. 4.
[19] Agustinus, L. I., C. Jul., N. 22.
[20] Athanasius, L. Sent. Dion.
[21] Agustinus, De Vera Relig.
[22] Athanasius, Orat. C. Gent., N. 1.
[23] Commonit., CC. I-II.
[24] Commonit., C. II.
[25] Origen, In Lev. Hom., 5. N. 9.
[26] Sirilus dari Yerusalem, Catech., V, N. 12.
[27] Agustinus, De Symb. Ad Catech., C. I.
[28] Agustinus., C. Crescon, L. I, N. 39.
[29] VI “Anglican Article.”
[30] Bellarminus, De Verbo Dei, L. IV, C. II.
[31] Franzelin, Scrip et Trad., Th. XIX.
[32] Why 20:1-5.
[33] De Civit. Dei, XX, 7.
[34] Hieronimus, L. IV in Jer. 19, 10.
[35] Yustinus, Dial. Cum Tryph., N. 80.
[36] Origen, De Princ., L. II, C. II, N. 2.
[37] Caius, In Euseb. H. E. III, 28.
[38] Eusebius, C. XXXIX.
[39] Luk 11:20.
[40] Yoh 12:31.
[41] Yoh 5:29.
[42] Agustinus, De Civ. Dei, C. VI, N. 2.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar