BAB X. Para Bapa Gereja dan Doktor Gereja
1
“Bapa Gereja” dan “Doktor Gereja” di setiap zaman merupakan “Cahaya” Gereja.
Sumber-sumber utama, terpisah dari Kitab Suci, yang melaluinya Gereja
telah menerima Tradisi materialnya, terutama adalah tulisan-tulisan
“Bapa Gereja.” Tradisi material berarti “Deposit Iman” yang
obyektif, sebab Gereja sendiri dipimpin oleh suara Magisterium yang
hidup, yaitu, oleh Suksesi Apostolik yang senantiasa hidup.
Penyelenggaraan Ilahi memanggil orang-orang di setiap zaman, yang
oleh karena pengetahuan, kesalehan, dan posisinya yang luhur, mereka
menguatkan Gereja Yesus Kristus. Sebagaimana dalam Perjanjian Lama, dari
waktu ke waktu, Allah mengutus para Nabi untuk menjaga umat-Nya agar
setia pada keyakinan akan Allah yang Esa dan sejati, demikian pula dalam
Perjanjian Baru, Allah yang sama, setelah pendirian Gereja, memilih
orang-orang yang unggul di setiap zaman, yang di bawah arahan Roh Kudus,
menjelaskan secara rinci dan menjaga keutuhan Deposit Iman.
Bapa Gereja pantas mendapatkan penghormatan, respek, dan rasa syukur
kita secara tak terbatas. Sementara sebagian besar dari mereka termasyur
oleh karena kekudusan dan posisi mereka yang tinggi di dalam Gereja,
namun mereka semua terkenal oleh karena pengetahuan dan kekunoan mereka.
Tulisan-tulisan mereka memampukan kita memberikan pertanggungjawaban
yang lebih baik akan Iman kita, karena tulisan itu lebih dekat dengan
mata air kebenaran.
Di abad-abad pertama, para Uskup dan Pengajar memberi gelar “Bapa”
kepada semua pendahulu mereka, yang oleh karena ajaran, kekudusan, dan
pembelaan mereka akan agama Kristen, mereka menjadi dikenal baik oleh
Gereja Universal. Kebiasaan tersebut mendominasi sampai ke Abad Kedua
Belas, sebab, menurut pendapat umum, St. Bernardus merupakan yang
terakhir dari para Bapa Gereja, dan ia meninggal tahun 1153. Semua kurun
waktu itu disebut dengan “Zaman Bapa Gereja.”
Sebagian besar “Bapa Gereja” dihormati oleh Gereja sebagai Orang
Kudus, seperti Klemens dari Roma, Ignatius dari Antiokia, Polikarpus,
Yustinus, Ambrosius, Agustinus, Hieronimus, Siprianus. Yang lainnya
adalah anak-anak Gereja yang setia, seperti Papias, Lactantius, Klemens
dari Alexandria, sedangkan yang lainnya lagi terpengaruh oleh kesesatan,
seperti Eusebius dari Caesarea, yang jatuh ke dalam Arianisme, dan
Tertullian, yang setelah dengan gagah berani membela Gereja dari kaum
bidat, malah menjadi anggota sekte Montanis di usia tuanya. Origen hanya
dicurigai menganut kesesatan.
Walau demikian, mereka semua disebut “Bapa Gereja” karena mereka
semua memberikan kesaksian dalam tulisan-tulisan mereka tentang apa yang
Gereja percayai dan lakukan di masa mereka.
Oleh karena itu, mereka semua yang dalam dua belas abad pertama
memberikan kesaksian akan ajaran Gereja yang Apostolik melalui tulisan
tentang perkara-perkara gerejawi yang penting, bahkan mereka yang
kekurangan reputasi kekudusan atau jatuh ke dalam kesesatan, selama
mereka selaras dengan sebagian dari para penulis Kristen, mereka semua
umumnya disebut “Bapa Gereja.” Meskipun demikian, secara pantas, hanya
mereka yang diakui Gereja sebagai para penulis kompeten dan saksi yang
tulus akan ajaran gerejawi dan apostolik, yang secara tepat disebut
“Bapa Gereja.” Sebab, sebagaimana Gereja memiliki hak untuk menyatakan
yang mana para penulis Kitab Suci yang diilhami Allah, demikian pula ia
memiliki hak untuk menunjuk yang manakah para guru yang kompeten dan
saksi berkualitas akan ajaran yang sampai pada kita dari Kristus dan
Para Rasul. Hanya Gereja yang dulu dan kini selalu mengetahuinya; hanya
Gereja yang mampu menilai apakah sebuah ajaran sesungguhnya terkandung
dalam tulisan-tulisan gerejawi atau tidak, karena sama seperti
Masyarakat lainnya, yang sadar akan hak-hak dan kewajiban-kewajibannya,
hanya Gereja yang dapat menyatakan secara kompeten, dalam
perkara-perkara yang berhubungan dengan kesejahterannya, siapakah para
gurunya, hakimnya, dan saksinya.
Keagungan sebuah ajaran diperlukan. Tak peduli betapa
singkatnya ajaran itu yang terkandung dalam tulisan-tulisannya,
pengarang gerejawi menuntut rasa hormat kita ketika ia meneruskan
kebenaran-kebenaran yang besar maknanya. Kebenaran-kebenaran itu bisa
jadi tidak disampaikan dalam cara yang cemerlang, namun kebenaran itu
penting oleh karena kekunoan si pengarang. Seperti itulah
tulisan-tulisan para Bapa Apostolik dan para Pembala Gereja yang
pertama.
Kekudusan diharuskan, karena ia adalah saudari ilmu
pengetahuan suci. Walaupun ilmu pengetahuan profan atau umum dapat
ditemukan dalam diri siapa saja, namun kehidupan yang murnilah yang
memampukan seseorang melihat lebih baik apa yang menjadi milik Kerajaan
Surga, seturut perkataan Kristus: “Berbahagialah mereka yang murni
hatinya, sebab mereka akan melihat Allah.” Untuk alasan inilah, jika
penulis manapun yang kita sebut “Bapa Gereja” kekurangan reputasi
kekudusan, ia disebut demikian secara tidak pantas.
Kekunoan dibutuhkan. Semakin dekat para penulis gerejawi
kepada Kristus dan masa Apostolik, semakin terhormat kesaksian mereka.
Apa yang mereka dengar dari Para Rasul atau murid Para Rasul tentang
apakah Pedoman Iman di masa mereka, hal itu tidak lain adalah kebenaran.
Para pengarang gerejawi yang paling kuno selalu dikutip Konsili
Ekumenis dan Paus Roma untuk menjelaskan, membela, dan membuktikan
integritas Iman.
Persetujuan Gereja secara praktis termasuk ke dalam tiga
persyaratan di atas, dan tidaklah diperlukan untuk memiliki dekrit resmi
guna menerapkannya. Persetujuan implisit Gereja sudah memadai.
Terdapat suatu perbedaan antara “Bapa Gereja” dan “Doktor Gereja.” Gelar istimewa Doktor Gereja tidak selalu mencakup kekunoan, melainkan penjelasan cemerlang akan
ajaran Kristen dan sanggahan yang menghancurkan terhadap para musuh
gereja. Gelar “Bapa dan Doktor” adalah sesuatu yang lebih tersirat dalam
gelar “Bapa Gereja.” Sebab, para penulis gerejawi yang paling ternama
dapat dianggap sebagai Saksi atau sebagai Guru. Sebagai saksi, mereka
menyatakan apa yang Gereja percayai dan lakukan di masa mereka. Apa
yang mereka nyatakan bukanlah pendapat atau ajaran mereka sendiri, tapi
secara khusus dan setara mereka menyatakan apa yang mereka katakan,
dengar, atau pelajari dari para tetua, yang menawarkan artikel-artikel
Iman untuk diimani, dan yang menolak ajaran yang berlawanan dengannya.
Mereka ini adalah “Bapa Gereja.” Sebagai Guru atau Doktor Gereja, mereka
membela dan menjelaskan dengan argumen-argumen tentang apa yang
termasuk ke dalam Iman, walaupun mereka juga memberi kesaksian akan
keyakinan dan praksis yang dominan di masa mereka.
Di satu sisi, perbedaan yang diperlihatkan di atas menunjukkan
bagaimana para penulis unggul tertentu, yang kita sebut “Doktor”, tidak
pernah termasuk ke dalam “Bapa Gereja”, dan di sisi lain, bagaimana para
penulis besar lainnya, yang tanpa ragu selalu dianggap sebagai “Bapa
Gereja” juga dinyatakan sebagai “Doktor Gereja.” Itu artinya mereka
adalah saksi dan guru.
Secara relatif, belakangan ini, para penulis suci dan terpelajar
berikut ini dinyatakan sebagai “Doktor Gereja”: St. Thomas Aquinas oleh
Pius V; St. Bonaventura oleh Sixtus V; St. Petrus Damianus oleh Leo XII;
St. Bernardus oleh Pius VIII; St. Hilarius dari Poitiers, St. Alfonsus
Ligouri dan Santo Fransiskus dari Sales oleh Pius IX. Doktor Gereja
lainnya adalah St. Sirilus dari Yerusalem; St. Sirilus dari Alexandria;
St. Leo Agung; St. Petrus Krisologus; St. Isidorus dari Seville, St.
Anselmus, St. Alfonsus, St. Beda Venerabilis St. Petrus Kanisius, dan
St. Yohanes dari Salib adalah Pius XI.
Doktor Gereja yang terbesar semuanya hidup dalam “Zaman Bapa Gereja”
dan konsekuensinya mereka merupakan “Bapa dan Doktor Gereja.” Mereka
dibedakan seturut jumlah Penginjil. Ada empat orang dari Gereja Latin:
Ambrosius, Agustinus, Hieronimus, dan Gregorius Agung. Empat lainnya
berasal dari Gereja Yunani: Athanasius, Basil, Krisostomus, dan
Gregorius dari Nazianzus.
Semua “Doktor Gereja” dihormati sebagai Orang Kudus Allah. Deklarasi
eksplisit atau yang setara dengannya dari gereja diperlukan untuk
menyebut seseorang sebagai “Doktor Gereja”. Karenanya setiap Doktor
Gereja adalah Orang Kudus Allah; tapi tidak setiap Bapa Gereja harus
secara otomatis disebut Orang Kudus.
Para Bapa Gereja dan Doktor Gereja “bukanlah terang, tapi memberi kesaksian bagi Sang Terang.”[1]
Mereka menjaga terang itu agar tetap bercahaya bagi semua orang,
khususnya bagi mereka yang duduk dalam kegelapan dan berada dalam
bayang-bayang maut.
Mereka tidaklah infalibel. Infalibilitas hanya diberikan kepada Para
Rasul, Kepala Gereja, dan penerus Para Rasul di bawah Petrus.
2
Bapa Gereja membedakan Kitab Suci dari Tradisi sebagai dua bagian berbeda dari Wahyu.
Sebagian besar Tradisi telah sampai kepada kita melalui
tulisan-tulisan Bapa Gereja. Di setiap zaman, mereka merupakan penyuluh
ternama bagi ajaran Kristen. Mereka adalah cahaya Kekristenan di
katakombe; dalam pergolakan besar, yang menenggelamkan dan mengubah
peradaban Eropa, Asia, dan Afrika yang lama; dalam kelahiran sosial dan
nasional dari begitu banyak bangsa sesudah perpecahan Kekaisaran Romawi.
Terutama, mereka adalah benteng kebenaran Kristen dalam semua
pergolakan religius yang mengoyak – di banyak waktu dan tempat – mantel
indah dari Mempelai Yesus Kristus.
Mereka harus berhadapan dengan semua jenis kesulitan. Semua kuasa
neraka diarahkan untuk menyerang Gereja. Semua jenis musuh muncul di
pangkuan Kekristenan itu sendiri. Tapi Allah dalam Hikmat-Nya ada
bersama Gereja-Nya dalam hari-hari pencobaannya. Kekeliruan-kekeliruan
muncul dan bisa timbul, tapi, syukur kepada Allah, kita dapat berkata
dengan pasti bahwa semua kekeliruan masa lalu, masa kini, dan masa
depan, telah dengan gagah berani dilawan dan disanggah oleh para Bapa
Gereja. Seringkali mereka menerima pertempuran di wilayah musuh dan
menggunakan senjata-senjatanya sendiri untuk membela kebenaran.
Karena tulisan-tulisan mereka menyediakan kesaksian yang paling
persuasif akan Tradisi, maka layaklah untuk menyatakan ajaran mereka.
Mereka membedakan Tradisi dari Kitab Suci sebagai dua obyek berbeda,
yang satu dilengkapi oleh yang lain. Kitab Suci dan Tradisi muncul dalam
tulisan-tulisan mereka seperti dua tangan yang berbeda, keduanya
memegang kuat deposit Pewahyuan. Mereka adalah dua saluran dari sumber
yang sama. Keduanya mengalir di atas tanah yang terpisah. Keduanya
menuntun dan membentuk Wahyu yang sama.
Apa yang mereka terima dari kaum baheula, tapi tidak ditemukan dalam Kitab Suci, para Bapa Gereja menyebutnya “Tradisi”, Tradisi Dominical atau Apostolik. Karenanya
St. Basil dalam karyanya “tentang Roh Kudus” menulis: “Dari dogma-dogma
dan pewartaan yang kita jaga di dalam Gereja, beberapa darinya sampai
pada kita dalam tulisan (Kitab Suci); yang lainnya kita terima dalam
misteri-misteri dari Tradisi Para Rasul.”[2] Demikian pula Tertullian menulis dalam “The Crown”[3] dan Agustinus dalam “The Baptism.”[4]
Di tempat kedua, para Bapa Gereja berbicara tentang Tradisi sebagai sarana terpisah akan
informasi, penyebaran, dan pemeliharaan kebenaran, terlepas dari Kitab
Suci. Irenaeus menulis, “Bagaimana jika Para Rasul tidak meninggalkan
Kitab Suci pada kita? Bukankah menjadi perlu untuk mengikuti tatanan
Tradisi, yang mereka tinggalkan kepada mereka yang kepadanya Gereja
dipercayakan? Kepada tatanan hal tersebut banyak orang buta huruf
menyesuaikan diri mereka, yang tanpa kertas atau tinta percaya pada
Kristus, namun telah menulis dalam hati mereka, melalui Roh Kudus, apa
yang menjadi milik keselamatan, dan dengan tekun ‘menjaga tradisi lama’,
percaya akan satu Allah, Pencipta langit dan bumi”; dan sesudah
mendaraskan Kredo para Rasul, ia melanjutkan, “orang-orang ini, yang
percaya tanpa memerlukan tulisan apapun, sejauh terkait bahasa kita,
merupakan orang yang asing bagi lidah kita; sementara terkait dengan hal
yang berhubungan dengan Iman, dalam konstruksi dan kebiasaan serta
konservasinya, mereka memang sangat terpelajar, dan mereka menyenangkan
Allah, melayani-Nya dalam segenap keadilan dan kemurnian dan
kebijaksanaan. Jika siapa saja menceritakan pada mereka, bahkan dalam
bahasa mereka, apa yang telah dibuat kaum bidat, seketika itu mereka
akan menulikan telinga mereka dan lari darinya, tidak ingin mendengar
percakapan yang menghujat seperti itu. Karenanya, melalui tradisi kuno Para Rasul, mereka bahkan tidak ingin, bahkan untuk sesaat, menyimpan dalam pikiran mereka apa yang dikatakan orang semacam itu.”[5]
Perhatikan bahwa Irenaeus, yang menulis di abad kedua, berbicara
tentang orang-orang yang bahkan tidak dapat menulis atau membaca. Mereka
tidak memiliki apapun yang dapat mengarahkan mereka di jalan
keselamatan selain tradisi purba: pewartaan dan praksis Gereja.
Pewartaan bukanlah membaca. Pewartaan sampai pada mereka tidak melalui
Kitab Suci, tapi dengan mendengarkan sabda Allah yang diwartakan pada
mereka melalui para imam Gereja, seperti yang dikatakan Sang Rasul:
“Fides ex auditu” – “Iman timbul dari pendengaran.”[6]
Bapa Gereja, dengan membandingkan Kitab Suci dan Tradisi, menyatakan bahwa keduanya setara dalam otoritas. St.
Basil, setelah bersaksi bahwa beberapa dogma sampai pada kita melalui
Kitab Suci dan lainnya dari Tradisi Para Rasul, ia menyatakan: “Keduanya
(Kitab Suci dan Tradisi) memiliki kekuatan yang sama terhadap
kesalehan; tak seorangpun dapat menentangnya. Pastinya, tak seorangpun,
bahkan dengan sedikit pengalaman, yang seharusnya mengetahui yang mana
yang merupakan penetapan Gereja. Sebab, jika kita mulai menolak,
seakan-akan itu tidak penting, kebiasaan yang tidak sampai pada kita
dalam tulisan, kita akan melukai Injil dalam bagian-bagiannya yang
paling utama. Kita akan mereduksi pewartaan sebagai nama belaka.
Misalnya, seraya menyebutkan yang pertama dan paling umum: pembuatan
tanda Salib oleh mereka yang berharap dalam Kristus, siapakah yang
mengajarkan kita melalui tulisan? Kata-kata yang digunakan dalam
konsekrasi roti Ekaristi dan piala berkat, orang kudus mana yang
meninggalkannya pada kita dalam tulisan? Kita tidak puas dengan apa yang
diperingati Para Rasul atau Injil. Kita juga mengatakan hal lain
sebelum dan sesudah, seakan memiliki relasi yang sangat penting terhadap
misteri, yang kita masih menerimanya dari Tradisi tidak tertulis”[7]
“Kita memberkati air Baptisan dan minyak urapan, bahkan ia yang
menerima baptisan. Melalui tulisan apa? Bukankah melalui Tradisi yang
sunyi dan rahasia? Dan Pengurapan Orang Sakit yang sama … pengurapan itu
sendiri atau kata-kata yang digunakan dalam mengurapi orang sakit …
kata tertulis apa yang diajarkan pada kita? … bukankah dari ajaran
rahasia dan yang tak diterbitkan, yang dijaga Bapa Gereja dalam
keheningan sunyi dan tanpa rasa penasaran? Mereka mempelajarinya dengan
sangat baik bahwa penghormatan terhadap misteri dijaga melalui
keheningan. Oleh karena itu, yang mana dari mereka yang dapat setuju
untuk membocorkan secara tertulis apa yang dilarang untuk dilihat bagi
mereka yang baru diinisiasi? … Inilah alasannya mengapa hal-hal tertentu
tidak diteruskan dalam tulisan tanpa mengabaikan pengetahuan tentang
dogma, dogma yang sama itu (jika ditulis) tidak akan dihargai oleh
orang-orang dengan penggunaannya yang terus menerus. Dogma adalah satu
hal, pewartaaan adalah hal lainnya. Sebab dogma-dogma dijaga dengan
hening, dan pewartaan dilakukan secara publik. Semacam keheningan
tertentu adalah kekaburan, yang darinya Kitab Suci membantunya, membuat
penafsiran dogma sulit dimengerti. Sebuah hari tidak cukup panjang untuk
menyebutkan misteri-misteri Gereja yang tidak tertulis.” Demikianlah
yang dikatakan St. Basil di Abad Keempat.
Maka jelaslah, bahwa Bapa Gereja mengandaikan dan menyatakan bahwa
selain Kitab Suci, sabda Allah yang tertulis, terdapat juga sabda Allah
yang tidak tertulis, sebagai sumber informasi yang lain, yang sungguh
berbeda dari Kitab Suci. Inilah Tradisi, sumber informasi atau pewahyuan, yang berbeda dari Kitab Suci.
3
Persetujuan bulat Bapa Gereja dalam perkara Iman dan Moral adalah pedoman Tradisi Ilahi.
Dalam tatanan adikodrati, tak peduli betapa bijaksananya dan
terpelajarnya seseorang, ia tetap rentan terhadap kekeliruan. Kepastian
dicapai hanya melalui Wahyu atau Infalibilitas. Ketika Para Rasul mati,
Wahyu Ilahi pun berakhir. Karunia Infalibilitas, menurut janji agung
Kristus, diberikan hanya kepada mereka yang ditugasi dengan kepemimpinan
Gereja: penerus St. Petrus, asal dan pusat semua yurisdiksi di dalam
Gereja Allah, dan seluruh Episkopat, sejauh mereka bertindak dan sepakat
dengan Kepala Gereja. Tak ada satu Uskup, sebagai seorang pribadi, yang
infalibel. Hanya Uskup Roma, yang bertindak sebagai kepala Gereja, yang
infalibel. Dengan cara serupa Bapa Gereja dan Doktor Gereja dapat
dianggap sebagi Infalibel.
Bapa Gereja dapat dianggap sebagai sekelompok orang baik dan
terpelajar, yang menulis untuk membela Gereja, atau sebagai pribadi
khusus yang menjelaskan kebenaran-kebenaran Kristen. Sebagai “Bapa
Gereja” mereka adalah Saksinya yang memperlihatkan persetujuan yang sama. Karenanya mereka infalibel, karena kesaksian mereka memperlihatkan persetujuan yang merupakan persetujuan Gereja yang sama. Sebagai pribadi atau doktor secara khusus, mereka bertindak atas dasar otoritas mereka. Apa yang mereka tegaskan atau sangkal tidak selalu tidak dapat ditantang.
Pernyataan ini membutuhkan penjelasan:
I. Ketika Bapa Gereja sepakat akan doktrin-doktrin tertentu, yang
jelas sekali menjadi milik Iman Gereja – dan semua umat beriman
mempercayainya – maka, persetujuan Bapa Gereja memperlihatkan tradisi
ilahi dari ajaran-ajaran itu. Ia merupakan persetujuan Gereja Universal
yang sama. Konsekuensinya, persetujuan umum Bapa Gereja bersifat
infalibel, karena Gereja sendiri infalibel.
Untuk alasan inilah, ketika Bapa Gereja mengajukan ajaran tertentu
dengan cara sedemikian rupa, sehingga mereka dengan jelas menyatakannya
sebagai hal yang termasuk ke dalam Iman, maka persetujuan umum mereka
membuktikan Tradisi Ilahi dari ajaran-ajaran itu. Tidak ada orang
Kristen yang bisa menolaknya tanpa jatuh ke dalam kesesatan.
II. Dengan cara serupa, jika Bapa Gereja menjelaskan ajaran tertentu,
sebagai hal yang teologis dan benar, tapi tidak mengajukannya secara
eksplisit sebagai hal yang tergolong ke dalam Iman, merupakan hal yang
berbahaya dan tanda kegegabahan untuk menyimpang dari ajaran dan
keyakinan mereka.
III. Ketika Bapa Gereja sungguh terpecah dalam suatu ajaran tertentu,
dan alasan-alasan serius diberikan oleh kedua pihak dalam persoalan
tersebut, maka kita bebas untuk membentuk pendapat yang berbeda. Tidak
ada persetujuan umum. Jelaslah bahwa dalam situasi tersebut
kebenaran belum menjadi jelas. Di sepanjang waktu, persetujuan bulat
Gereja, atau keputusan definitifnya, dapat membuatnya jelas.
Oleh karena itu, Gereja selalu memandang, secara teori dan praksis, pada Bapa Gereja sebagai para pembela dan pemimpinnya. Secara teori, siapapun yang menolak otoritas mereka atau pengakuan resmi Konsili Umum, terancam untuk diusir dari persekutuannya; secara praksis, [Gereja]
membuktikan Dogma-Dogma melalui Konsili oleh persetujuan bulat Bapa
Gereja, atau mengutuk pendapat mereka yang berlawanan dengan ajaran
umum.
Konsili Chalcedon menegaskan: “Dalam persoalan ambigu apapun, kita
membiarkan diri kita guna membuat apa yang kita percayai selaras dengan
penafsiran Bapa Gereja, dan tidak mengajarkan apapun yang berlawanan
dengan apa yang mereka ajarkan, tapi kita menggunakan
kesaksian-kesaksian ini untuk meneguhkan iman kita.” Konsili lateran di
bawah Martin I menyatakan: “Jika siapa saja tidak mengakui secara benar
dan pantas apapun yang telah diteruskan dan dinyatakan kepada Gereja
Allah yang Katolik, Kudus, dan Apostolik, menurut Bapa Gereja, dan
karenanya, tidak mengakui oleh perkataan dan pikiran apapun yang
dinyatakan Bapa Gereja dan Lima Konsili Umum yang terhormat, hendaklah dia dikutuk.”
Konsili Umum VIII menyatakan: “Guna menjaga jalan keadilan ilahi yang
benar dan rajawi tanpa jatuh ke dalam kekeliruan, kita harus mengikuti
tulisan-tulisan Bapa Gereja sebagai nyala api yang tak terpadamkan dan
senantiasa berseri-seri. Untuk alasan inilah, kita mengakui bahwa
persetujuan Gereja yang Katolik dan Apostolik harus dipatuhi dan dijaga
sebagai hal yang dterima melalui Tradisi, tidak hanya dari Para Rasul,
tapi juga dari Konsili Ekumenis dan ortodoks, atau oleh Bapa Gereja yang
ilahi dan Doktor Gereja. Sebab, Tradisi, entah melalui perkataan atau
tulisan para leluhur kita, yang membedakan dirinya oleh karena kekudusan
hidup mereka, Sang Rasul Paulus yang Agung (2 Tes 2:14) secara
eksplisit menyatakan bahwa hal itu harus dijunjung tinggi.”[8]
Oleh karena itu, apapun yang dinyatakan dan dideklarasikan Bapa
Gereja, melalui persetujuan umum, adalah kebenaran. Itulah Tradisi
Ilahi.
4
Persetujuan beberapa Bapa Gereja, ketika yang lainnya diam, atau tidak menentang, adalah argumen yang pasti akan Tradisi Ilahi.
Untuk mencapai kepastian moral dalam kebenaran Kristen, tidaklah
perlu untuk memiliki persetujuan semua Bapa Gereja. Cukup sering apa
yang dianggap sebagai ajaran dari Gereja Apostolik atau Gereja purba
dapat secara aman disimpulkan dari persetujuan beberapa orang.
Pernah terjadi bahwa kebenaran-kebenaran Kristen tertentu – beberapa
darinya memang penting – dibela tidak oleh semua orang, tapi oleh
sedikit Bapa Gereja terhadap kaum bidat di masa mereka. Ketika
dogma-dogma tertentu diserang, seluruh Gereja terpengaruh olehnya, tapi
ia meninggalkan seluruh perkara itu kepada sedikit orang, sambil
mengetahui dengan baik kepada siapakah ia mempercayakan pembelaan
kebenarannya. Ia menyetujui perbuatan mereka, memerintahkan mereka untuk
bertindak, dan bersukacita atas kekalahan musuh-musuh mereka.
Ini terjadi – misalnya – dalam doktrin Tritunggal Mahakudus. Nama
Athanasius cukup untuk membela Keilahian Kristus. Basil, Gregorius dari
Nazianzus, Hilarius, Agustinus, lebih dari cukup untuk membela kebenaran
Katolik dari kaum Arian, Semiarian, dan Pelagian. Sirilus dari
Alexandria, Leo Agung, Agatho dan Sophronius membela misteri Inkarnasi
dari kaum Nestoriand dan Monofisit. Tiap nama Bapa Gereja yang unggul
tersebut memilki bobot yang lebih besar dari legiun para penulis modern.
Karenanya, Agustinus menyatakan demikian tentang Gregorius dari
Nazianzus: “Ia adalah orang besar sehingga apapun yang dikatakannya
berasal dari iman Kristen yang diketahui dengan baik oleh semua orang,
dan mereka tidak akan memilikinya sebagai sosok yang terpandang dan
terhormat, kecuali mereka mengetahui bahwa apa yang dikatakannya tentang
hal-hal ini berasal dari pedoman kebenaran yang ternama.”[9]
Selama pembahasan pertanyaan-pertanyaan penting tersebut, seluruh
Gereja mengawasi dan berdoa tanpa henti demi kemenangan kebenaran,
sebagaimana dijelaskan para pemimpinnya. Mereka menyerang kesesatan
dalam kekeliruannya yang memiliki banyak bentuk, mereka membela Iman
dengan gagah berani, dan menjelaskan Dogma Katolik begitu lengkap,
sehingga terlalu banyak pemimpin tidaklah diperlukan.
Hal ini menjelaskan mengapa banyak Bapa Gereja memberikan sedikit
pembelaan atau tidak sama sekali terhadap beberapa ajaran. Keheningan
mereka adalah persetujuan implisit, persetujuan kuat akan tindakan
beberapa Bapa Gereja yang lebih unggul, sebuah ungkapan perasaan umum
Gereja Universal.
Jadi, diamnya Bapa Gereja lainnya dan persetujuan umat beriman
merupakan persetujuan yang hening namun persuasif akan ajaran dan
pembelaan Bapa Gereja lainnya. Dari pengalaman dan sejarah, kita
mengetahui bahwa tidak ada Bapa Gereja yang tetap diam ketika inovasi
telah menyusup ke dalam Gereja Universal: seketika itu juga mereka
memperingatkan dan tiada henti menentangnya sampai ia benar-benar
dihancurkan.
Karenanya, beberapa Konsili ekumenis – dan juga beberapa Bapa Gereja –
guna membuktikan kebenaran-kebenaran dogmatik, tidak melakukan apapun
selain menyajikan ketetapan sepuluh atau dua belas Bapa Gereja. Mereka
tidak memberikan bukti lain selain pernyataan otoritatif mereka yang
sederhana dan jelas. Konsili Efesus, Chalcedon, dan Konstantinopel III
dan IV adalah contohnya. St. Agustinus sendiri, dalam kontroversi
terhadap Julian, Sirilus dari Alexandria dalam “Iman Sejati”; Gelasius I
dalam risalah ketiganya tentang “Dua Kodrat dalam Kristus”; Cassianus
dalam bukunya yang menentang Nestorius juga menggunakan metode yang
sama.
Tak seorangpun akan menegaskan bahwa Konsili Ekumenis, dan
orang-orang seperti Agustinus, tidak mengetahui cara membela Iman
Kristen. Oleh karena itu, Vincentius dari Lerin berbicara tentang
Konsili Efesus dengan berkata: “Jumlah Bapa Gereja yang lebih besar bisa
saja dihadirkan, tapi itu tidaklah perlu. Tidaklah bijaksana untuk
menjejali sesi konsili dengan banyaknya saksi. Tak seorangpun berpikir,
bahkan untuk sesaat, bahwa sepuluh orang itu berbeda pikiran dari sisa
kolega mereka.”[10]
Jadi, pastilah bahwa kekunoan Kristiani mempercayai bahwa persetujuan
beberapa Bapa Gereja, ketika yang lainnya diam, atau tidak
menentangnya, adalah bukti yang pasti dari Tradisi Ilahi. Ini juga
keyakinan Gereja hari ini.
5
Persetujuan semua Bapa Gereja
barat, atau semua Bapa Gereja Timur, atau bahkan sejumlah kecil dari
Bapa Gereja, ketika yang lainnya tidak menentangnya, adalah argumen yang
pasti akan Tradisi Ilahi.
Sesudah Kitab Suci dan keputusan-keputusan resmi Gereja, tidak ada
yang lebih otoritatif dan indah di dalam Gereja Allah, selain
ajaran-ajaran Bapa Gereja. Ketika kita mempertimbangkan penghormatan dan
takzim yang diberikan Gereja Universal, dalam hidup dan sesudah
kematian mereka, terhadap ajaran yang mendalam yang mereka uraikan
dengan jelas kepada umat dan dengan piawai membelanya dari kaum bidat,
dan yang diterima secara universal oleh Konsili dan umat beriman sebagai
bagian dari Deposit yang disampaikan kaum baheula, maka kita dapat
berkata bahwa mereka bekerja dan menulis di bawah bantuan Roh Kudus.
Kesaksian mereka benar, dan ajaran mereka tidak lain adalah ajaran
Gereja yang ortodoks.
Kebenaran dan Iman tidaklah dibatasi pada satu tempat atau sekelompok
orang manapun. Ajaran Bapa Gereja tidak bisa dianggap lebih baik dalam
kelompok Bapa Gereja manapun, entah dari Timur atau Barat. Hal ini benar
sehingga bahkan sejumlah kecil Bapa Gereja, yang menegaskan atau
memberi kesaksian akan ajaran yang sama, haruslah memiliki seluruh
kepercayaan dan persetujuan kita, ketika Bapa Gereja lainnya tidak
menentangnya. Bisa saja terjadi, dan telah terjadi, bahwa beberapa Dogma
Agama Kristen diserang hanya di beberapa wilayah. Bapa Gereja di
wilayah itu hanya menyanggah kaum bidat lokal, atau sedikit yang memberi
kesaksian tentang ajaran-ajaran Kristen tertentu, sementara yang
lainnya, dengan hening, memberikan persetujuan penuh mereka. Jika tidak
demikian, mereka pasti telah membangkang, dan pembangkangan mereka telah
sampai pada kita.
Gereja Timur mengakui Iman yang sama seperti Gereja Barat. Selama
kesatuan Iman tetap ada, dan dengan sikap berjaga-jaga dari para gembala
dan umat beriman, maka mustahil bila Bapa Gereja Yunani dapat mendukung
sebuah ajaran yang ditolak oleh Bapa Gereja Latin. Dan sama mustahilnya
bila Bapa Gereja Latin dapat mengajarkan sebuah ajaran yang ditentang
oleh Bapa Gereja Yunani. “Satu Iman, satu Tuhan, satu Baptisan” sampai
abad Kedelapan, merupakan ikatan persatuan antara Timur dan Barat.
Agustinus, yang membela Dogma Katolik tentang Dosa asal dari Julian,
berkata: “Barangkali kamu menolaknya, karena mereka semua adalah Bapa
Gereja atau Uskup dari Barat, dan tidak ada satu Uskup dari Timur yang
telah disebutkan? … Tidak ada gunanya bagimu untuk mencari para Uskup
dari Timur, sebab mereka juga orang Kristen, dan Iman itu satu di
kedua bagian dunia itu, sebab Iman itu juga Kristiani, sementara kamu
lahir di tanah barat, dan Gereja Barat telah melahirkan kamu.”[11]
Wahyu sampai pada kita melalui Tradisi orang-orang purba, yang menerimanya dan menjaganya dengan sangat hati-hati.
Bapa Gereja – dari Timur dan Barat – adalah para penulis terunggul
dan Orang Kudus besar di zaman mereka. Terlebih, ketika menjabat sebagai
Uskup, mereka adalah penerus Para Rasul. Mereka meneruskan Wahyu kepada
umat beriman, sebagaimana mereka sendiri menerimanya dari orang-orang
purba. Mereka menjaga kemurniannya, menjelaskannya kepada kawanan domba
mereka, dan membelanya dari serangan-serangan musuh. Rahmat adikodrati,
posisi yang tinggi di dalam Gereja, kedekatan alami kepada sumber
kebenaran yang utama, bakat alami, semuanya mendukung untuk membuat Bapa
Gereja mengenal kebenaran dengan baik. Apa lagi yang bisa diharapkan
untuk menjaga Deposit Iman tetap tak bernoda?
Terlebih, kita tidak seharusnya melupakan bahwa Deposit Iman tidaklah
diserang di satu waktu atau tempat. Dalam setiap generasi, ia telah
menjadi sasaran kaum bidat. Dan dalam setiap Generasi Allah datang untuk
menyelamatkannya, beserta orang-orang yang unggul dan suci. Karenanya,
selagi kebenaran bersinar dengan terang dan dikenal lebih baik, para
pembelanya menjadi semakin terkenal. Mereka sedikit jumlahnya. Tapi
pentingnya perkara yang dibicarakan, keyakinan yang ditempatkan pada
mereka, dan kecemerlangan argumen-argumen mereka, menjadikan mereka
bintang-bintang di cakrawala Gereja. Bukankah bagian besar dari Gereja
sudah menjadi Arian? Lihatlah Athanasius yang mengembalikan Keilahian
Kristus, yang telah dirampas Arius dari-Nya. Bukankah Nestorius
menyangkal Ratu Surgawi dari gelarnya yang paling mulia? Lihatlah
Sirilus dari Alexandria dalam Konsili Ekumenis, yang dalam nama Paus
Roma, menyatakan Maria sebagai “Bunda Allah.” Bukankah Pelagius dan para
pengikutnya yang besar jumlahnya begitu mengilahikan manusia sehingga
ia tidak membutuhkan pertolongan Allah? Lihatlah Agustinus, yang seperti
Salomo baru, dengan megah menjelaskan, di satu sisi, kerapuhan manusia,
dan di sisi lain, mendesak perlunya rahmat Allah. Jadi, bahkan satu
Bapa Gereja dapat menjadi otoritas memadai terhadap suatu artikel Iman.
Praktik atau keyakinan yang amat kuno dapat diketahui melalui
tulisan-tulisan seorang saksi. Sirilus dari Alexandria dapat berkata
tentang St. Athanasius: “Memang ia adalah orang yang sungguh kompeten
dan layak, sehingga kami menempatkan kepercayaan penuh kami kepadanya,
bahwa ia tidak pernah mengajukan apapun yang berbeda dari ajaran-ajaran
ilahi.”[12]
Kesaksian-kesaksian serupa juga dapat diulangi bagi banyak Bapa
Gereja lain secara individu, yang unggul dalam pengetahuan dan
kekudusan, atau terkenal dalam membela ajaran Gereja. Jelaslah, bahwa
bahkan dari kesaksian sedikit orang, kita dapat mengetahui apakah Iman
dan praksis Gereja di zaman mereka: yaitu Tradisi seluruh Gereja. Dan
Tradisi seluruh Gereja adalah argumen yang pasti akan Kebenaran.
6
Walaupun Bapa Gereja tidak
infalibel, otoritas mereka begitu besar sehingga, kapanpun salah seorang
Bapa Gereja tampak tidak sepemikiran dengan yang lainnya, kita harus
amat berhati-hati sebelum menyatakan bahwa ia keliru, atau tidak selaras
dengan sebagian besar dari mereka.
Dalam kekebalan dari kekeliruan, para Bapa Gereja dan Doktor
Kekristenan – bila dipertimbangkan sebagai individu – dapat secara tepat
dibandingkan dengan Uskup Gereja. Para Uskup, yang dianggap sebagai
satu Tubuh yang bertindak di bawah dan bersama dengan Kepala Gereja,
adalah infalibel, karena melalui Petrus dan Penerus Petruslah Para Uskup
tidak dapat jatuh dalam kekeliruan Iman atau Moral. Kepala Gereja
memberikan Infalibilitas kepada anggota-anggota utama lainnya dari Tubuh
– para Uskup Gereja.
Dengan cara serupa Bapa Gereja atau Doktor Gereja kebal dari kekeliruan, selama persetujuannya sepakat dengan persetujuan yang lain. Sebab,
ketika semua Bapa Gereja dan Doktor Gereja sepakat akan ajaran
tertentu, persetujuan mereka tidak bersifat pribadi: itu memperlihatkan
persetujuan Gereja yang infalibel.
Dalam hal ketika Bapa Gereja tertentu tidak sepakat terhadap suatu
pernyataan dengan Bapa Gereja lainnya, kita harus menyimpulkan bahwa ia
menyimpang dari kebenaran. Tapi kita harus sangat lambat sebelum kita
sampai pada kesimpulan itu. Mereka semua Bapa Gereja: karenanya kita
harus melihat apakah pendapat Bapa Gereja dapat diselaraskan dengan yang
lainnya atau tidak. Aturan-aturan berikut haruslah ditaati:
I. Otoritas dari seorang atau bahkan beberapa Bapa Gereja tidaklah
infalibel, karena dengan pengecualian Para Penerus St. Petrus dalam
perkara Dogma dan Moral, tidak seorangpun infalibel. Kita juga tidak
seharusnya menganggap tulisan-tulisan Bapa Gereja seperti Kitab Suci.
Walaupun kesaksian seorang penulis yang diilhami Allah itu memadai,
namun hal yang sama tidak bisa dikatakan tentang tulisan Bapa Gereja
manapun, sebab tak seorangpun dari mereka yang menulis di bawah ilham
Roh Kudus. St. Agustinus menulis: “Oleh karena itu, dengan memberikan
penghormatan yang pantas dan segenap respek yang mungkin saya berikan
kepada Uskup yang damai dan Martir Siprianus yang mulia, saya
berpendapat bahwa dalam membaptis ulang kaum skismatik dan bidat, ia
berpikir secara berbeda dari apa yang terbukti sebagai kebenaran
sesudahnya; bukan melalui pendapat saya, tapi dari ajaran Gereja
Universal, yang ajarannya kemudian dikuatkan dan ditegaskan melalui
otoritas Konsili Umum.”[13]
II. Kebenaran – lebih daripada otoritas – selalu dan dalam segala hal
menjadi alasan utama. St. Agustinus dan yang lainnya menegaskan bahwa
mereka tidak digerakkan oleh otoritas Bapa Gereja, melainkan oleh
alasan-alasan dan bukti-bukti, yang mereka sajikan dalam
pernyataan-pernyataan mereka. Dalam suasana inilah Agustinus menulis
dalam Suratnya kepada Hieronimus.[14]
Karenanya Bapa Gereja yang sama juga memperingatkan para pembacanya
agar tidak menganggap tulisannya seperti Kitab Suci atau mengoreksinya
menurut pendapat mereka, tetapi menurut “tulisan-tulisan ilahi dan
alasan yang tak dapat dibantah.”[15]
Oleh karena itu, Kardinal Franzelin berkata: “Di mana terdapat
persetujuan, maka otoritas masing-masing Bapa Gereja secara tunggal
tidak dapat dibandingkan dengan otoritas memadai dari masing-masing
penulis yang diilhami Allah, tetapi alasan dan bukti dari Tradisi, entah itu historis, filosofis, atau teologis, terkandung dalam persetujuan yang sama itu.”[16]
III. Cukup sering perbedaan pendapat dari satu atau lebih Bapa Gereja dari persetujuan umum Bapa Gereja lainnya hanya kelihatannya atau dilebih-lebihkan oleh
musuh-musuh Tradisi yang jahat. St. Athanasius menulis: “Mereka semua
Bapa Gereja. Tidaklah kudus untuk menyatakan bahwa yang ini sudah
berbicara dengan baik dan yang lainnya salah, karena mereka semua mati
dalam Kristus; kita tidak bisa menuduh mereka, karena mereka semua
memperhatikan apa yang menjadi milik Kristus; semuanya menggunakan upaya
terbaik mereka untuk melawan kaum bidat.”[17]
Untuk alasan inilah ketika beberapa Bapa Gereja kelihatannya
menentang apa yang selalu dipercaya oleh umat beriman, sementara di sisi
lain, Bapa Gereja yang sama terbukti menjadi para pemimpin dalam
membela doktrin, yang terkadang mereka nyatakan dalam cara yang kabur
atau dalam bentuk yang ambigu, ketetapan mereka haruslah direkonsiliasi
dengan ajaran Gereja dan dijadikan jelas melalui pernyataan lainnya,
yang lebih sederhana dan mudah dimengerti. Kalimat-kalimat yang tidak
jelas dari penulis manapun dijelaskan melalui konteks umum karyanya. St.
Ambrosius berkata: “Apakah kata-katanya tampak aneh bagimu? Kalau
begitu, mintalah pengakuannya; sebuah pikiran yang jelas melindungi dan
membela percakapan yang meragukan dari kesalahan.”[18]
Terhadap teori ini beberapa Bapa Gereja sudah menjelaskan dan membla
apa yang Bapa Gereja lain jelaskan secara kurang akurat. Karenanya
Agustinus menjelaskan Krisostomus[19]; Athanasius menafsirkan Dionysius.[20]
IV.. Sebagaimana tidak ada Bapa Gereja yang harus diikuti secara
buta, maka tidak ada pula dari mereka yang harus dipertanyakan atau
dianggap tidak penting atau diabaikan tanpa alasan yang memadai.
Mengenai otoritas Bapa gereja yang dipertimbangkan secara individual,
ikutilah pedoman St. Agustinus: “Apa yang kamu lihat sebagai hal yang
benar, peganglah dan atributkan itu kepada Gereja Katolik; apa yang
salah, tolaklah dan jangan pikirkan aku karena aku hanya seorang
manusia; apa yang meragukan, percayalah sampai akal budi akan membujukmu
atau otoritas akan menuntun kamu apakah hal itu harus ditolak, atau
dinyatakan sebagai benar, atau selalu untuk dipercaya.”[21]
V. Pastinya, persetujuan semua Bapa Gereja dalam periode manapun
dalam Sejarah Gereja tidak pernah berlawanan dengan persetujuan semua
Bapa Gereja di zaman atau era lainnya. Kebenaran itu selalu satu dan
kekal. Menurut janji Kristus, tidak ada ajaran palsu yang dapat
dipercaya oleh semua umat beriman di setiap kurun waktu Gereja. Bisa
saja, dalam periode terdahulu, terdapat oposisi yang tampak, namun bukan
yang nyata, melainkan persetujuan yang lemah dan tidak kuat: namun
tidak pernah ada pengakuan Iman yang berbeda.
VI. Kita harus mengakui bahwa beberapa ungkapan Bapa Gereja tentang
beberapa ajaran tidak pernah bisa diselaraskan dengan persetujuan umum
dari sisa Bapa Gereja lainnya. Dalam hal tersebut, ungkapan tersebut
harus ditolak: secara sederhana, ungkapan itu keliru. Kita tidak
seharusnya heran atas beberapa kekeliruan dari Bapa Gereja. Hal ini
mengajarkan kita bahwa tak ada seorangpun Bapa Gereja yang merupakan
penulis kanonik atau Kitab Suci. Tiap orang menulis sebagai manusia,
bukan sebagai kebenaran itu sendiri atau sebagai sarana infalibel di
tangan Allah. Beberapa menulis ketika persoalannya tidak jelas, dan
sebelum Gereja mengeluarkan pernyataan definitif yang mengakhiri
persoalan itu. Yang lain menulis di bawah kesan bahwa beberapa kitab
(seperti “Gembala Hermas” atau “Surat Barnabas”) adalah bagian dari
Kitab Suci. Kitab-kitab itu sesudahnya terbukti sebagai Apokripa dan
bukan sabda Allah. Tidaklah mengherankan bahwa beberapa Bapa Gereja,
yang menimba pengetahuan mereka dari kitab-kitab tersebut, telah menulis
tentang hal-hal tertentu yang kemudian berbeda dari persetujuan umum
dan infalibel dari Bapa Gereja dan seluruh Gereja.
VII. Tak peduli betapa kelirunya apa yang ditulis Bapa Gereja,
merupakan kenyataan bahwa mereka tidak pernah salah terhadap
doktrin-doktrin yang diwahyukan, yang merupakan doktrin-doktrin Gereja
yang vital dan hakiki. Hal ini dulu selalu diimani dan kini senantiasa
diimani, karena mereka terkandung dalam Simbol-Simbol, atau dalam
Pengakuan Iman publik.
VIII. Terakhir, juga pasti bahwa kapanpun Bapa Gereja keliru,
kekeliruan mereka bukanlah tentang Tradisi, yaitu tentang
kebenaran-kebenaran yang mereka terima dari kaum baheula. Kekeliruan
Bapa Gereja sebagian besar berkenaan dengan pendapat pribadi mereka
tentang beberapa perkara doktrinal. Dalam hal tersebut, mereka
tidak bisa dianggap sebagai saksi kebenaran, yang diteruskan dari kaum
purba, tapi sekedar sebagai penulis umum yang dapat keliru.
7
Bapa Gereja tidak membela kecukupan Kitab Suci yang mengecualikan Tradisi.
Pembelaan kasus yang buruk hanya membuatnya lebih buruk. Ketika kaum
Protestan berupaya membuktikan sufisiensi (kecukupan) Kitab Suci yang
mengecualikan Tradisi, mereka memperlihatkan kelemahan seluruh sistem
Protestan. Hal ini sudah kita lihat. Tapi ketika mereka mengajukan Bapa
Gereja sebagai saksi bagi ajaran mereka, maka kelemahan mereka menjadi
kontradiksi terbuka. Bila saksi-saksi umum harus memberitahu kebenaran,
maka Bapa Gereja tidak dapat gagal. Dan jika mereka sudah menyatakan
diri, maka betapa jahatnya memaksa mereka untuk menentang diri mereka!
Inilah yang dilakukan Protestanisme. Para penulis Protestan memaksa Bapa
Gereja memberikan kesaksian yang menentang Gereja, yang sudah mereka
bela dalam ribuan cara terhadap ribuan musuh.
Ketika saksi telah memberikan kesaksiannya, seluruh kesaksian, dan
bukan sekedar sebagiannya, harus dipertimbangkan. Konteks seluruh
pernyataan, semangat dan tulisan kesaksian itu berjalan berdampingan.
Satu kalimat, ilustrasi, atau pernyataan yang diambil keluar dari
konteksnya yang sesuai dapat mengungkapkan pendapat yang berbeda atau
berlawanan. Sebagaimana Bapa Gereja telah menulis begitu banyak karya,
dan melawan begitu banyak musuh dalam banyak situasi berbeda, maka
tidaklah mengherankan jika pernyataan yang terpisah dari konteksnya
dapat terlihat mengakui sufisiensi Kitab Suci. Tapi dalam setiap halaman
mereka bersikeras akan Tradisi dan otoritas Gereja. Jika Bapa Gereja
tampak mendukung sufisiensi Kitab Suci dalam beberapa pernyataan mereka,
maka sufisiensi itu tidak bersifat absolut, tapi relatif.
Oleh karena itu:
I. Ketika mereka menegaskan sufisiensi Kitab Suci, mereka tidak
mengecualikan, tapi mengandaikan Tradisi. Setelah Athanasius berkata
bahwa “Kitab Suci cukup untuk menunjukkan Iman dalam Kristus”, ia
menambahkan: “ada banyak kitab dari guru-guru kami, banyak kitab dari guru-guru kami, yang
mana, jika siapa saja akan membacanya, dalam cara tertentu ia akan
memahami penafsiran Kitab Suci dan dapat mengetahui apa yang ia
inginkan.”[22]
Ketika Vincentius dari Lerin menyatakan bahwa “kanon Kitab Suci adalah
sempurna dan secara melimpah cukup untuk dirinya dan untuk hal lainnya”[23],
ia tidak menyertakan semua Wahyu. Ia hanya berbicara tentang doktrin,
yang saat itu diserang, dan yang ia sebutkan namanya. Bahkan, ia
menambahkan bahwa, Iman harus dijaga “pertama, melalui hukum Otoritas
Ilahi (yaitu Kitab Suci) dan selanjutnya oleh Tradisi Gereja Katolik.”
Alasan bagi keamanan ganda ini dinyatakannya dalam kalimatnya yang
terkenal: “karena tidak semua manusia menerima Kitab Suci dalam arti
yang sama, oleh karena keluhurannya … karenanya, amatlah diperlukan oleh
karena banyaknya kekeliruan agar penafsiran profetis dan apsotolik
ditarik menurut pedoman arti yang Katolik dan gerejawi.”[24]
II. Jika sebuah kebenaran itu jelas dalam Kitab Suci, para Bapa
Gereja tidak selalu menganggapnya bijaksana untuk membuktikannya dari
sumber-sumber lain. Ketika membela Keilahian Kristus dari kaum arian,
Bapa Gereja hanya mengutip Kitab Suci, karena Dogma itu digambarkan
dengan sangat baik dalam Kitab Suci, yang merupakan dasar bersama bagi
orang Katolik dan bidat. Agustinus, dalam kontroversinya dengan kaum
Donatis tentang katolisitas Gereja, hanya mengutip dari Kitab Suci,
karena sifat Gereja itu jelas dalam Kitab Suci.
III. Ketika Bapa Gereja memuja sufisiensi Kitab Suci,
menggambarkannya sebagai ilahi, benar, mendalam, sehingga tidak ada yang
harus dipercaya selain “apa yang sudah diteruskan” mereka tidak mengacu
kepada Tradisi, tapi kepada sumber-sumber palsu, yang darinya kaum
bidat berusaha membuktikan pernyataan mereka. Mereka merujuknya kepada
Kitab Suci – sebagai dasar bersama – seraya membuktikan bahwa hanya
Kitab Suci dan bukan kitab-kitab apokripa, yang merupakan sabda Allah
tertulis. Apa yang dikatakan Origen tentang Dua Perjanjian sebagai hal
yang memadai, “yang darinya kita bisa menimba semua pengetahuan, dan
tidak ada Kitab Suci ketiga yang harus diterima sebagai otoritas bagi
penegtahuan”[25]
haruslah dimengerti sebagai sufisiensi Kitab Suci Ilahi yang
mengecualikan kitab-kitab apokripa yang digunakan kaum bidat.
Demikianlah halnya dengan kasus Agustinus dengan kaum Manikean dan
Montanis.
IV. Kapanpun kaum bidat, setidaknya di abad-abad pertama, berupaya
membuktikan apapun melampaui Kitab Suci atau menentang Kitab Suci
melalui rekaan manusia atau argumen yang canggih, Bapa Gereja
mengajarkan bahwa kita harus berdiri hanya dengan Kitab Suci. Karenanya,
ketika Bapa Gereja berkata bahwa “kita tidak seharusnya berbicara
melalui argumentasi-argumentasi kita, tapi menurut Kitab Suci” atau
“keyakinan si pendengar menjadi lemah jika apapun dikatakan tanpa Kitab
Suci dan hanya dari penalaran kita”, maka jelaslah bahwa Bapa Gereja
mengkontraskan otoritas Kitab Suci dengan rekaan manusia dan
argumen-argumen bodoh. Ketika Montanus dan yang disebut nabi sekte
Montanis mengklaim dirasuki Allah dan berbicara dalam pribadi-Nya, para
Bapa Gereja membuktikan pada mereka bahwa Wahyu hanya ada dalam Kitab
Suci dan Tradisi.
V. Benar bahwa para Bapa Gereja menegaskan bahwa Kitab Suci
mengandung apapun yang harus secara eksplisit diimani. Untuk alasan itu
mereka menyebut Kredo Apostolik sebagai “Simbol atau rangkuman Kitab
Suci” dan menasihati para katekumen untuk memilikinya “dengan cara
menuliskannya pertama-tama di dalam hati mereka” dan selanjutnya “ketika
ada kesempatan, untuk memperoleh dari Kitab Suci apa yang ditegaskan
tiap artikel.”[26] Demikian pula Agustinus.[27]
Ini tidak berarti bahwa para Bapa Gereja menginginkan umat beriman
diajar dalam Iman terlepas dari Gereja Yang Mengajar, tidak juga bahwa
setiap orang harus memperoleh ajarannya dari Kitab Suci saja, dan
mengecualikan Tradisi. Mereka berbicara tentang Kitab Suci, yang harus dijelaskan, bukan sebagai yang sudah dijelaskan – explicande, bukan explicatae, seperti
yang dikatakan para Teolog. Yaitu, Bapa Gereja menginginkan agar Kitab
Suci dijelaskan melalui Gereja. Siapakah yang tidak mengetahui bahwa
segera sesudah kemunculan kontroversi tentang makna sejati Kitab Suci,
bahkan tentang artikel-artikel Iman yang harus diimani secara eksplisit,
para Bapa Gereja menginginkan agar semua umat beriman mengikuti ajaran
Gereja? Hal ini telah kita lihat secara berlimpah dalam bagian lain dari
buku ini.
VI. Ketika dalam beberapa kesempatan para Bapa Gereja kelihatannya
mneyatakan sufisiensi absolut dari Kitab Suci, mereka sekadar
menginginkan agar umat beriman menggunakan Kitab Suci, karena mereka
mengetahui bahwa Kitab Suci menyerahkan umat beriman kepada Gereja,
untuk belajar dari Gereja tentang apa yang harus mereka imani dan
lakukan. Agustinus sekali lagi berbicara ke intinya: “Walaupun Kitab
Suci tidak berbicara dengan kepastian tentang perkara ini (yakni
validitas Baptisan yang diberikan kaum bidat), kendati demikian, kami
berpegang pada kebenaran Kitab Suci yang sama dalam perkara ini, ketika
kami bertindak menurut arahan Gereja, yang mana otoritasnya dihargai
oleh Kitab Suci yang sama. Untuk alasan ini, karena Kitab Suci tidak
dapat menipu, apabila siapa saja takut jatuh dalam kekeliruan karena
kekaburan dari persoalan yang dimaksud, hendaklah ia berunding dengan
Gereja, yang Kitab Suci perlihatkan tanpa ambiguitas.”[28]
Pernyataan Bapa Gereja, karenanya, berbeda dari pendapat Protestan
yang menyatakan bahwa “Kitab Suci mengandung segala yang diperlukan bagi
keselamatan, sehingga jika apapun tidak dibaca di dalamnya, atau tidak
dapat dibuktikan melaluinya, siapa saja tidak boleh dituntut untuk
mempercayainya sebagai artikel iman dan menganggapnya sebagai hal yang
perlu bagi keselamatan.”[29]
Bapa Gereja selalu mengingat Suksesi Apostolik, yang ajaran dan
pemahamannya menjadi arah dan pedoman dalam menafsirkan Kitab Suci.
Mereka tidak memisahkan Kitab Suci dari Tradisi.
Jadi, menurut Bapa Gereka, tidak semua kebenaran dalam Kitab Suci
jelas. Apa yang jelas tidaklah cukup jelas bagi semua umat beriman,
sehingga mereka dapat memahaminya tanpa bantuan Tradisi. Jika
kontroversi apapun muncul, maka ia tidak dapat diselesaikan tanpa
penilaian otoritatif Gereja, yang merupakan pedoman dan pengadilan
terakhir untuk mendefinisikan dan menyatakan maknanya yang sejati.
Kitab Suci dan Tradisi ada bersama. Karenanya, tuduhan Protestan
menjadi tidak logis, bahwa para Teolog Katolik membela kebutuhan akan
Tradisi secara teoretis, tapi menggunakan, pertama, Kitab Suci untuk
membuktikan ajaran-ajaran katolisisme. Kaum Protestan gagal memahami
bahwa pembelaan kebenaran dari Kitab Suci, dengan Akal Budi Katolik sebagai
pembimbing dan pedoman bagi pengertiannya, sangatlah berbeda dari
konstitusi penilaian pribadi, sebagai satu-satunya pedoman dan hakim
bagi makna Kitab Suci yang sejati bersama dengan penolakan otoritas Gereja.
Baik sekali bila para pelajar Agama Katolik membaca tulisan Kardinal
Bellarminus, yang mengumpulkan semua teks yang diambil dari Bapa Gereja
oleh kaum Protestan, guna mendukung sufisiensi Kitab Suci[30]. Lihat juga Franzelin[31].
Semua keberatan Protestan tersebut dapat dipecahkan entah dengan
mengingat seluruh konteks pernyataan Bapa Gereja, atau dengan mengandaikan otoritas Gereja, yang
dinyatakan Bapa Gereja dalam semua tulisan mereka, atau oleh Kitab Suci
sendiri, yang membuktikan otoritas Gereja sebagai pembimbing dan
pedoman universal bagi pengetahuan dan penerimaan Iman.
Jadi, apa yang Bapa Gereja katakan tentang sufisiensi Kitab Suci tidaklah mengecualikan Tradisi.
8
Pendapat atau ajaran yang
disetujui beberapa Bapa Gereja bahwa Kristus akan berkuasa di bumi
dengan orang benar selama seribu tahun, tidak merusak pernyataan bahwa
persetujuan Bapa Gereja, atau umat beriman, adalah bukti yang pasti akan
Tradisi Ilahi.
“Hal-hal tidak selalu seperti yang kelihatannya.” Demikianlah teks
Kitab Suci bila ditimbang dalam arti harafiahnya. Banyak umat Kristen di
Abad Kedua dan Ketiga secara keliru menafsirkan teks-teks tertentu dari
Kitab Suci, dan karenanya dengan mudah menjadi mangsa kesesatan. Mereka
berpikir bahwa dengan melepaskan sesuatu yang bersifat materi di
kehidupan ini, mereka akan menerimanya ratusan kali lipat di kehidupan
mendatang. Dengan dipengaruhi Yahudisme, yang darinya mereka mengenakan
banyak ritus dan ajaran, khususnya pengharapan akan Mesias yang mulia,
mereka percaya bahwa, sebelum kebangkitan umum umat manusia di hari
kiamat, orang benar akan bangkit dan berkuasa bersama Kristus di atas
bumi ini selama seribu tahun, setelah memulihkan dan membangun kembali
Kota Yerusalem yang besar. Yang unggul dari antara mereka adalah kaum
Cerinthians, Nazaranes, dan Ebionit di Asia Kecil. Mereka menyebutnya
kebangkitan pertama, guna membedakannya dari kebangkitan terakhir pada
hari kiamat.
Papias, seorang uskup yang suci, melepaskan ajaran ini dari semua
kenikmatan indrawi, menyetujuinya, dan mengajarkannya kepada umat
beriman.
Banyak orang Katolik mengikuti pendapatnya sebagai ajaran yang
diwahyukan Allah, yang diteruskan kepada Gereja oleh Para Rasul dan
terkandung dalam Kitab Suci, khususnya di Kitab Wahyu. “Lalu aku melihat
seorang malaikat turun dari sorga … ia menangkap naga, si ular tua
itu, yaitu Iblis dan Satan. Dan ia mengikatnya seribu tahun lamanya …
supaya ia jangan lagi menyesatkan bangsa-bangsa, sebelum berakhir masa
seribu tahun itu … dan mereka hidup kembali dan memerintah sebagai raja
bersama-sama dengan Kristus untuk masa seribu tahun. Tetapi orang-orang
mati yang lain tidak bangkit sebelum berakhir masa yang seribu tahun
itu. Inilah kebangkitan pertama.”[32]
Kita harus mengakui bahwa Kerajaan Kristus yang mulia di bumi dengan
orang benar selama masa seribu tahun, atau lebih, tampaknya selaras
dengan banyak bagian Mazmur, surat-surat profetis dan Apostolik, yang
berhubungan dengan Kerajaan Kristus. Jika Kerajaan tersebut tidak
diakui, maka penafsirannya menjadi lebih sulit. Bagian dari Simbol Para
Rasul “Ia akan menghakimi orang hidup dan mati” tampak memberikan
penafsiran yang adil melalui penerimaan akan Kerajaan duniawi Kristus.
Karenanya, kita tidak seharusnya heran bahwa bahkan para penulis
besar Gereja di Abad Kedua dan Ketiga, seperti Yustinus dan Irenaeus,
menerima ajaran Papias. Agustinus mempercayainya untuk sementara waktu,
tapi sesudahnya ia meninggalkannya. Ajaran itu juga dipercaya oleh
banyak orang Kristen, yang selama masa penganiayaan menaruh dan
mengungkapkan harapan mereka dalam Kerajaan duniawi Kristus. Ajaran
tersebut dipercaya oleh banyak orang sehingga St. Hieronimus mengeluh
dalam karya-karyanya, bahwa “banyak orang-orang purba”, “banyak kaum
klerus”, “banyak umat kita” mempercayainya di masa lalu, dan banyak
orang masih mempercayainya di zamannya, yang dalam hal ini hanya
mengikuti si bidat Apollonius, yang menghidupkan ajaran itu di Abad
Keempat.
Di antara kaum bidat terkini, yang menggunakan ajaran Papias, adalah kaum Mormon, Irwingian, dan Adventis.
Para pengikut ajaran ini disebut Chiliast oleh orang Yunani (mereka yang percaya dalam masa seribu tahun) dan disebut milliar oleh Agustinus[33] dan para Penulis latin lainnya. Kita menyebut mereka Millenarian.
Kita tidak akan memperhatikan ajaran ini jika bukan karena
penerimaannya oleh Bapa Gereja di Abad Kedua dan Ketiga, dan oleh banyak
umat Katolik, yang tampaknya melemahkan pernyataan bahwa persetujuan
umum Bapa Gereja di setiap abad dan keyakinan umum umat beriman
merupakan pedoman tradisi ilahi. Sebab, [persetujuan itu] ditetapkan
dengan baik sehingga sesudah Abad Ketiga, secara praktis semua Bapa
Gereja dan umat beriman menolaknya. Jadi, apakah Bapa Gereja dan umat
beriman sesudah Abad Ketiga tidak sepakat dengan Bapa Gereja dan umat
beriman pada Abad Kedua dan ketiga, bahwa hal tersebut adalah suatu
Dogma?
Tidaklah demikian halnya. Keyakinan akan Kerajaan di bumi selama
seribu tahun tidak hanya ditolak oleh Bapa Gereja dan umat beriman
sesudah Abad Ketiga, tapi bahkan di Abad Kedua dan Ketiga, keyakinan itu
tidaklah universal. Tapi keyakinan itu tidak pernah dicela
oleh Gereja. St. Hieronimus menulis: “Walaupun kita tidak mengikutinya,
kendati demikian, kita tidak bisa mencelanya, sebab banyak abdi Gereja
dan para martir mempercayainya.”[34] Cornelius a Lapide, Ribera, dan yang lainnya menyatakan bahwa mereka tidak berani menyebutnya kesesatan.
Bahwa ajaran tersebut tidaklah universal di Abad Kedua dan Ketiga
terbukti dari pernyataan-pernyataan Bapa Gereja dan penulis lainnya dari
periode yang sama.
I. Yustinus sendiri, yang mempercayai dan menulis tentang ajaran itu,
berkata: “Saya sudah memberitahu kamu bahwa itulah pendapatku dan
pendapat banyak orang lainnya … walau demikian, saya juga telah
memberitahu kamu bahwa banyak orang Kristen lainnya … tidak
mengakuinya.”[35]
II. Irenaeus, yang mengambilnya dari Papias, menyatakan bahwa mereka yang tidak percaya dalam
Kerajaan Kristus di bumi di masa depan, mereka menyediakan kaum bidat
dengan sarana untuk menyangkal kebangkitan orang mati. Ini adalah sebuah
pengakuan di pihaknya bahwa pada masanya ada banyak juga orang Kristen
yang menyangkal pendapatnya.
III. Origen, yang hidup di Abad Kedua dan ketiga, secara terbuka mencela dan melawan Milenarianisme.[36] Sebagian besar karena dialah ajaran itu menghilang secara bertahap dari pikiran banyak orang Kristen Timur.
IV. Ketika Nepos, Uskup Arsenoe, mengenalkannya ke Mesir, banyak
orang Kristen, yang mempercayainya, dan yang sesudahnya menjadi
skismatik, tidak dimasukkan kembali oleh St. Dionysius, Uskup
Alexandria, ke dalam Gereja, kecuali pertama-tama mereka menolak ajaran
itu. Hal ini terjadi sekitar pertengahan Abad Ketiga.
V. Tidak ada catatan bahwa ajaran Millenarian pernah diperkenalkan di
Roma. Melainkan ia ditentang. Imam romawi Caius, yang menulis di awal
Abad Ketiga menentang Cerinthus, tidak hanya mencelanya, tapi secara
ironis juga berkata: “Cerinthus menimbulkan keheranan besar ketika ia
mengiakan Kerajaan Kristus di bumi di masa depan sesudah kebangkitan,
dan tubuh melayani kembali kecenderungan untuk berdosa di Yerusalem!”[37]
VI. Jika kita mempertimbangkan asal usul Millenarianisme, kita dapat
mengamati bahwa hampir semua pengarang Katoliknya hidup di, atau dalam
cara tertentu terhubung dengan, Asia Kecil. Papias, orang Katolik
terkemuka yang menyetujuinya, adalah Uskup Hierapolis, sebuah kota di
Provinsi Phrygia di Asia Kecil; Yustinus mengadakan sebuah Dialog
tentangnya bersama Tryphon di Efesus, yang sebelumnya adalah kota besar
di Asia Kecil; Irenaeus lahir dan dibesarkan di Asia Kecil; Methodius
sebelumnya adalah Uskup Olympus di Lycia, provinsi lain dari Asia Kecil.
Mereka ini adalah para pendukung terkemuka di antara orang Katolik di
abad-abad pertama Gereja. Tertullian membela ajaran itu hanya sesudah ia
meninggalkan Gereja. Karya-karya Lactantius tentang perkara ini
dianggap apokripa, yaitu, karya-karyanya tidak berhubungan di antara tulisan-tulisan Bapa Gereja.
Dikatakan bahwa Papias telah menerima ajaran ini dari murid St.
Yohanes Penginjil, yang telah ia lihat, dengar dan bicara dengannya.
Eusebius menceritakan bagaimana Papias menyalahartikan catatan-catatan
Apostolik, yang tidak seharusnya diartikan secara literal, tapi secara
simbolis.[38]
Teks Kitab Wahyu, yang digunakan kaum Millenarian untuk mendasarkan
keyakinan mereka, difatsirkan menurut St. Agustinus oleh sebagian besar
Bapa Gereja dan Teolog sejak Abad Keempat. Dalam karyanya “De Civitate
Dei” Doktor yang suci ini mengartikan bab tersebut secara alegoris.
I. Jumlah seribu tahun dimaksudkan untuk mengungkapkan kelimpahan waktu melalui angka yang sempurna, yaitu,
masa antara kedatangan pertama Kristus dan hasutan Antikristus. II.
Pengikatan iblis berarti bahwa kekuasaan setan yang lama dihancurkan,
tidak secara mutlak, tapi berkurang sedemikian rupa sehingga Allah bisa
tidak mengizinkannya untuk mencobai manusia melebihi kekuatannya, oleh
karena rahmat Kristus. “Tetapi jika Aku mengusir setan dengan kuasa
Allah, maka sesungguhnya Kerajaan Allah sudah datang kepadamu.”[39] “Sekarang berlangsung penghakiman atas dunia ini: sekarang juga penguasa dunia ini akan dilemparkan ke luar.”[40] III. Jiwa-hiwa mereka yang dipenggal … dan hidup serta berkuasa bersama Kristus selama seribu tahun adalah
jiwa-jiwa orang Kudus, yang sesudah kematian Kristus berkuasa
bersama-Nya di surga sampai kedatangan Antikristus; sebab, ini adalah
kebangkitan pertama, yaitu, perpindahan dari masa kini ke kehidupan
surgawi. Tidak juga dapat dikatakan secara pantas bahwa kebangkitan adalah milik jiwa-jiwa yang dipenggal, ketika hal itu adalah milik tubuh: “Aku percaya akan kebangkitan badan.” IV. Sisa orang mati lainnya yang hidup tidak sampai seribu tahun akan disudahi. Para
pendosa sesudah kematian mereka tidak diizinkan memasuki surga sampai
kedatangan kedua Kristus, ketika “Ia akan datang untuk mengadili orang
hidup dan mati”, yaitu, sampai kebangkitan kedua orang benar pada hari
kiamat. Tidak pula mereka akan memasuki surga setelah kedatangan
Kristus, sebab pada hari itu Kristus akan mengadili orang hidup dan
orang mati: “dan mereka yang telah berbuat baik akan keluar dan bangkit
untuk hidup yang kekal, tetapi mereka yang telah berbuat jahat akan
bangkit untuk dihukum.”[41]
Oleh karena itu, terdapat dua kebangkitan: yang pertama adalah kebangkitan jiwa-jiwa, yaitu, perpindahan jiwa-jiwa terberkati dari dunia ini ke surga, sebagaimana disebutkan dalam kitab Wahyu; yang kedua adalah kebangkitan badan pada
hari kiamat. St. Agustinus berbicara secara langsung: “Sebagaimana
terdapat dua kelahiran kembali, yang satu menurut iman, yang terjadi
sekarang melalui baptisan, yang lain menurut daging, yang terjadi dalam
dalam ketidakrusakan dan keabadian pada hari besar dan kiamat: demikian
pula terdapat dua kebangkitan, yang pertama, yang ada sekarang dan
menjadi milik jiwa, dan tidak mengizinkan kematian kedua mendatanginya;
dan yang lain, yang tidak ada sekarang, tapi yang akan ada di masa
depan, dan menjadi milik badan dan bukan jiwa, dan yang melaluinya
penghakiman terakhir akan mengutus beberapa orang ke kematian kedua, dan
beberapa lagi ke kehidupan yang tidak memiliki maut.”[42]
Dalam hal manapun, Kerajaan Kristus, yang dibicarakan kitab Wahyu, hanya bisa diatributkan kepada Gereja.
Millenarianisme, selanjutnya, secara praktis terbatas pada Asia
Kecil. Secara relatif, sedikit orang Katolik yang mengikutinya. Jika
beberapa Bapa Gereja mempercayainya, maka yang lain menolaknya. Tidak
pernah ada persetujuan umum Bapa Gereja atau umat beriman. Itu merupakan
pendapat. Gereja tidak pernah mencelanya, ataupun menyetujuinya. Dan ia
tidak pernah dianggap sebagai artikel iman yang berlandaskan
tradisi-tradisi apostolik.
Sejak Abad Keempat semua Bapa Gereja dan mayoritas umat beriman
Katolik menolak ajaran papias. Sekarang ajaran itu terbatas hanya kepada
kaum Advent dan Mormon.
[1] Yoh 1:8.
[2] Basil, C. XXVII.
[3] Tertullian, C. IV.
[4] Agustinus, C. VII.
[5] Irenaeus, L. 3, C. IV, N. 1.
[6] Rm 10:17.
[7] Basil on Baptism, C. XXVII.
[8] Act 10, can. 1.
[9] Agustinus, L. I, C. Jul., N. 16.
[10] Vincentius dari Lerin, Commonit.
[11] Agustinus, C. Jul., L. I, C. IV, N. 13.
[12] Sirilus dari Alexandria, Ep. 1.
[13] Agustinus, De Bapt, L. 6, C. II.
[14] Agustinus, Ep. 82, N. 3.
[15] Agustinus, De Trinit., L. 3.
[16] Franzelin, Ser. Et. Trad., Th. XV, N. I.
[17] Athanasius, De Synod, N. 43.
[18] Ambrosius, Ep. 48, N. 4.
[19] Agustinus, L. I., C. Jul., N. 22.
[20] Athanasius, L. Sent. Dion.
[21] Agustinus, De Vera Relig.
[22] Athanasius, Orat. C. Gent., N. 1.
[23] Commonit., CC. I-II.
[24] Commonit., C. II.
[25] Origen, In Lev. Hom., 5. N. 9.
[26] Sirilus dari Yerusalem, Catech., V, N. 12.
[27] Agustinus, De Symb. Ad Catech., C. I.
[28] Agustinus., C. Crescon, L. I, N. 39.
[29] VI “Anglican Article.”
[30] Bellarminus, De Verbo Dei, L. IV, C. II.
[31] Franzelin, Scrip et Trad., Th. XIX.
[32] Why 20:1-5.
[33] De Civit. Dei, XX, 7.
[34] Hieronimus, L. IV in Jer. 19, 10.
[35] Yustinus, Dial. Cum Tryph., N. 80.
[36] Origen, De Princ., L. II, C. II, N. 2.
[37] Caius, In Euseb. H. E. III, 28.
[38] Eusebius, C. XXXIX.
[39] Luk 11:20.
[40] Yoh 12:31.
[41] Yoh 5:29.
[42] Agustinus, De Civ. Dei, C. VI, N. 2.