IN TEOLOGI FUNDAMENTAL, TRADISI
1
Tidak ada alasan mengapa Wahyu, dari hakikatnya, harus selalu dibatasi pada Kitab Suci.
Sabda Allah menuntut penghormatan dan penghargaan kita: ia adalah kebenaran yang tak terhingga. Allah berbicara kepada manusia “berulang kali dan dalam pelbagai cara”[1] dan Sabda-Nya itu baik, karena Ia tidak bisa menipu dan ditipu.
Semua kesempurnaan dan sifat-sifat-Nya tak terhingga, yang kita pahami dalam ciptaan-ciptaan-Nya, semuanya itu ditemukan dalam derajat yang tak terhingga dalam diri Sang Pencipta. Jadi, apabila merupakan hak istimewa manusia untuk mengkomunikasikan pikiran-pikirannya dengan kata, atau dalam tulisan, atau dengan cara lain, bagaimana kita bisa berharap bahwa Allah yang Mahakuasa membatasi Wahyu-Nya hanya kepada tulisan? Ini sungguh jelas sehingga saudara-saudari terpisah kita tidak menyangkalnya. Mereka sepenuhnya mengakui bahwa Wahyu, sebagaimana ditemukan dalam Kitab Suci, bisa jadi pertama kali disingkapkan Allah kepada para Patriak, Para Nabi, dan Para Rasul, tanpa tulisan apapun, dan ini biasanya disebut “Pewahyuan langsung.” Kendati demikian, mereka menyangkal, bahwa Wahyu, setidaknya dalam tatanan pelbagai hal saat ini, lama setelah pewartaannya, dapat ditemukan kecuali di dalam Kitab Suci. Hal ini disebut “Pewahyuan tidak langsung atau yang diperantarai”: yaitu, kecuali Allah mewahyukan Diri-Nya pada kita, maka Wahyu telah berakhir sejak lama, dan kita tidak dapat menemukannya kecuali dalam Kitab Suci.
Penyangkalan ini sungguh sewenang-wenang. Apabila Allah dapat membuat para utusan-Nya, yang Ia tugasi untuk mewartakan pertama kalinya sebagian Wahyu, yang pantas untuk diimani melalui motif-motif kredibilitas, yaitu melalui bukti atau kepastian, maka Ia juga dapat menetapkan para utusan-Nya agar selamanya menjaga dan mewartakan Wahyu yang sama itu, secara sebagian dengan mengulangi atau melanjutkan motif-motif kredibilitas itu, sebagian lagi, dan khususnya, dengan menghubungkan para utusan-Nya dengan mereka semua yang ditempatkan Roh Kudus untuk memimpin Gereja-Nya secara infalibel, dan krenanya membuat mereka sebagai saksi iman yang pantas dan infalibel.
Dalam hal ini manusia memiliki kewajiban yang sama untuk mempercayai saksi-saksi infalibel ini, yang memperlihatkan, menjaga dan menyaksikan Wahyu – secara tertulis atau tidak tertulis – sebagaimana ia lakukan pada para utusan pertama, yang kepadanya Allah menyatakan Wahyu-Nya. Selama ada motif-motif kredibilitas ini, yang membuat utusan Allah dan saksi-Nya yang infalibel pantas mendapatkan iman kita, demikian pula manusia harus mempercayai utusan-utusan Allah dan saksi-Nya yang infalibel kapanpun dan di manapun mereka berada. Terserah pada Allah saja untuk memilih sarana dan cara mewartakan Wahyu, dan setelah pewartaannya, untuk menjaganya demi generasi masa depan.
Untuk alasan inilah, ketika persoalannya hanya terkait kodrat hal-hal, maka ia tergantung pada Allah saja, tidak hanya untuk memilih cara mengumumkan Wahyu Katolik kepada para utusan pertama-Nya, tapi juga setelah pengumumannya, guna menetapkan sarana dan cara menjaganya. Apabila Allah memilih Kitab Suci sebagai satu-satunya sarana untuk mengumumkan dan menjaga Wahyu, maka harus ada motif-motif kredibilitas yang memadai yang mana kita dapat merasa pasti bahwa Kitab Suci saja sungguh mengandung sabda Allah yang tak dipalsukan. Apabila Ia memilih otoritas para saksi untuk menjaga Kitab Suci dan Wahyu yang telah diwartakan sebelumnya, maka perlulah agar di sepanjang masa harus ada motif-motif kredibilitas yang memadai guna memampukan manusia mengetahui bahwa apa yang diajukan untuk diimani adalah sabda Allah yang murni dan tidak ternoda. Dalam salah satu hal itu, manusia wajib mempercayai Wahyu – secara tertulis atau tidak tertulis – sebagai sabda Allah yang infalibel. Dalam hal pertama, itu terjadi melalui Kitab Suci, dalam hal kedua, ia terjadi melalui kesaksian infalibel dari mereka “yang ditempatkan Roh Kudus untuk memimpin jemaat Allah.”[2]
Selain Kitab Suci, oleh karena itu, terdapat sarana lain yang melaluinya Allah menyingkapkan diri-Nya pada kita. Dari kodrat hal-hal, tidaklah perlu agar Ia memilih Kitab Suci saja. Allah sungguh amat bebas [dalam memilih].
2
Setelah penciptaan dan kejatuhan manusia sampai kedatangan Kristus, Tradisi selalu ada.
Dapat dikatakan bahwa dalam arti tertentu, Gereja – Gereja Katolik – selalu ada. Ia dimulai dengan penciptaan manusia. Mereka semua, yang bahkan dalam permulaan dunia, menyembah Allah dan mematuhi perintah-perintah-Nya, mereka membentuk inti pertama Gereja. Untuk alasan yang sama dapat juga sungguh dikatakan bahwa periode yang membentang dari Adam sampai Kristus adalah periode “Konsepsi Gereja” sama seperti Pentakosta adalah “hari kelahirannya.”
Dari awal manusia mengimani dan mengakui kebenaran-kebenaran tertentu. Ia percaya akan Allah, Pencipta Langit dan Bumi, seorang Allah, yang mengganjar yang baik dan menghukum yang jahat. Ia mengungkapkan keyakinan tersebut dalam ibadah lahiriah dan dalam ketaatan kepada hukum-hukum Allah; ia mengetahui keberadaan Malaikat baik dan buruk; tapi terutama ia percaya akan Penebus masa depan, yang tidak hanya akan menghapuskan dosa orang tua pertama, tapi juga akan membayar hutang, yang karena dosa mereka, yang dimilikinya kepada Allah.
Kebenaran-kebenaran ini dipercayai dan diakui setidaknya oleh mereka, yang dalam kebobrokan umum umat manusia, namun dipandu oleh roh kebenaran. Mereka dikenal sebagai “anak-anak Allah”[3] sama seperti umat Israel yang sesudahnya dibedakan dari semua bangsa lain sebagai “umat terpilih Allah.” Semua kebenaran ini adalah wahyu-wahyu Allah. Mereka dijaga secara sebagian melalui pelayanan biasa para Patriak secara berkelanjutan, lalu secara sebagian lagi melalui pelayanan luar biasa para Nabi, yang menjaga, memperkaya, dan menjelaskan harta karun pewahyuan primitif tersebut.
Kita tahu sangat sedikit tentang para Patriak yang hidup sebelum air bah. Kendati demikian, dari konten Kitab Suci, yang mulai ditulis oleh Musa, mereka tampil sebagai “para pewarta keadilan” dan “para pelindung Agama.” Mereka tidak menulis apapun, karena mereka bahkan tidak cakap dalam seni menulis. Hal yang sama juga dapat dikatakan tentang para Nabi, yang Allah utus sebelum Musa.
Apapun yang dapat dikatakan dari periode ini tentang umat manusia, pastilah bahwa pewahyuan primitif, yang sebagian besarnya kemudian ditulis Musa, ditulis dan disebarkan secara eksklusif melalui Tradisi. Situasi ini dijalankan selama lebih dari dua ribu tahun.
Meskipun demikian, oleh karena zaman para Patriak yang panjang sebelum Air Bah, penjagaan pewahyuan primitif tidak pernah ada dalam bahaya kerusakan. Sebab, Abraham, yang lahir di tahun 2008 dari Adam, bisa jadi telah berbicara dengan Sem, yang mati di tahun 2158; sementara ayahnya Sem, Nuh, yang lahir di tahun 1-56 bisa jadi telah berbicara dengan Enos, yang mati di tahun 1140. Enos yang sama, di sisi lain, lahir pada tahun 253 dan hidup dengan kakek Adam selama tujuh abad.
Dengan alasan yang baik, karenanya, Musa dapat mengingatkan umatnya di masa paling purba akan asal usul mereka: “Ingatlah kepada zaman dahulu kala, perhatikanlah tahun-tahun keturunan yang lalu, tanyakanlah kepada ayahmu, maka ia memberitahukannya kepadamu, kepada para tua-tuamu, maka mereka mengatakannya kepadamu. Ketika Sang Mahatinggi membagi-bagikan milik pusaka kepada bangsa-bangsa, ketika Ia memisah-misah anak-anak manusia, maka Ia menetapkan wilayah bangsa-bangsa menurut bilangan anak-anak Israel.”[4]
Apabila Wahyu dijaga hanya oleh Tradisi sesudah penciptaan dan kejatuhan manusia, melalui kemajuan zaman para Patriak sampai ke waktu Musa, Tradisi tetap ada juga sesudah Musa menjadi bagian penting dari hidup keagamaan umat Allah, yaitu, dalam Perjanjian Lama. Sebab, sesudah kejatuhan manusia, Allah menjanjikan semua umat manusia akan seorang Penebus dan akhirnya menjanjikan upah kehidupan kekal. Ia tidak pernah mencabut janji ini, tidak pula Ia membatasinya kepada satu bangsa. Janji ini terus menjadi, secara umum, harapan dan keyakinan semua orang di bumi bahkan sesudah Allah masuk ke dalam perjanjian khusus dengan umat terpilih-Nya.
Suarez memahami hal ini. Ia menulis: “Hukum, bila dimengerti secara pantas, tidak menjanjikan upah abadi – dan tetap benarlah bahwa di bawah hukum, manusia memiliki janji kehidupan kekal dan semua kebaikan rohani – tidak ada kontradiksi di sini, karena orang Yahudi memiliki janji ini bukan dari Hukum, tapi ‘dari Para Bapa’, yakni, melalui Tradisi mereka; sebab, dari permulaan Gereja, hal itu dijanjikan kepada semua umat beriman, dan dan imannya tetap ada di dalam mereka melalui Tradisi, walaupun ia diperbarui dalam Abraham dan dibuat lebih ekspresif. Jadi, ia menjangkau umat Israel dengan cara ini dan sesudahnya ditulis para nabi, bukan sebagai ajaran baru, tapi sebagai ajaran kuno. Hal ini dibuktikan secara berlimpah melalui kesaksian sang Rasul (Ibr 11) yang, dimulai dari Habel dan terus berlanjut melalui para Patriak sampai ke para Nabi, menyatakan bahwa semuanya memiliki janji ini. Dengan demikian, Hukum tidak menambahkan apapun ke dalam janji rohani ini.”[5] Hal ini menjadi lebih jelas dari fakta bahwa sesudah Kitab-Kitab Ilahi pertama ditulis, Allah menetapkan sebuah Pelayanan – Pelayanan Biasa – yaitu, Tradisi eksplanatori (yang menjelaskan) dan penafrisan otentik dalam imamat, sebagaimana kita baca dalam Kitab Ulangan[6] dan dalam Maleakhi, “Sebab bibir seorang imam memelihara pengetahuan dan orang mencari pengajaran dari mulutnya, sebab dialah utusan TUHAN semesta alam.”[7]
Pelayanan biasa ini dibedakan dari Pelayanan luar biasa para Nabi, yang dalam waktu yang berbeda Allah mengutus mereka untuk mengumumkan pewahyuan-pewahyuan baru, dan juga untuk menjelaskan dan menjaga pewahyuan yang sudah diterima dalam Hukum Lama. Sudah pasti dalam perpaduan Pelayanan ini – yang biasa dan luar biasa – terdapat kebenaran-kebenaran ilahi, yang tidak pernah ditulis, atau, apabila mereka ditulis, mereka ditunjukkan secara samar-samar dalam Kitab Suci. Secara khusus ini adalah tradisi, yang termasuk ke dalam seluruh ras manusia dan dinyatakan oleh Allah sebelum ada Kitab apapun. Tuhan kita, Yesus Kristus sendiri, mengisyaratkan hal tersebut: “Ahli-ahli Taurat dan orang-orang Farisi telah menduduki kursi Musa”[8], pastinya bukan untuk pewahyuan-pewahyuan baru, tapi untuk menafsirkan Hukum secara otoritatif.
Apapun yang kita pikirkan tentang perkara ini, pastilah bahwa Kitab-Kitab kanonik dari Kitab Suci, otoritas dan ilham ilahi mereka, tidak bisa diteruskan selain dengan Tradisi. Hal ini tidak terbukti dalam dirinya, tapi juga terlihat dari Yosefus, yang, seteleh menceritakan bagaimana kitab-kitab dari Kitab Suci, yang ditulis sampai ke masa Artaxerses, diterima oleh semua orang, ia lantas mengacu kepada kitab-kitab lain dari Kitab Suci yang sama, yang kemudian mengikutinya, seraya berkata: “kitab-kitab ini tidak diterima secara setara seperti yang pertama, karena ketidakakuratan dari suksesi para Nabi.”[9] Yosefus kemudian bersaksi bagaimana sesudah orang Yahudi menerima dan menjaga kitab-kitab dari Kitab Suci ini dan kemudian mempercayainya sebagai sabda Allah.
Jadi, jelas bahwa kebenaran-kebenaran dogmatik dibawa oleh Tradisi, dari penciptaan dan kejatuhan manusia sampai ke Perjanjian Lama, bahkan sesudah kemunculan sabda Allah yang tertulis.
Ini artinya bahwa sejak penciptaan manusia sampai kedatangan Kristus, Allah tidak membatasi Wahyu kepada Kitab Suci.
3
Gereja selalu percaya secara teoretis pada Tradisi.
Sekarang, sebagian besar kaum Protestan, yang ditekan oleh argumen-argumen para Teolog Katolik, mulai mengakui bahwa, sebelum Kitab Suci semuanya ditulis, Gereja, dalam asalnya dan masa kanak-kanaknya, dari permulaan dunia, di sepanjang zaman, sampai kepada pewartaan Para Rasul – mempercayai banyak kebenaran dogmatik, yang sampai selanjutnya tidak pernah menjadi bagian Kitab Suci. Meskipun demikian, mereka berpendapat bahwa sesudah kematian Para Rasul, setelah Kitab Suci ditulis, Gereja – Gereja Para Rasul – Gereja Apostolik – tidak mempercayai apapun yang tidak terkandung dalam Kitab Suci. Ini artinya bahwa Wahyu sekarang dibatasi pada Kitab Suci.
Bahwa pendapat ini tidaklah berdasar dapat dibuktikan melalui kesempurnaan Hukum Baru, bila dibandingkan dengan Perjanjian Lama.
Sebenarnya, janji-janji Hukum Baru, yang diberikan Allah kepada pelayanan mengajar Gereja, jauh lebih besar dari yang diberikan kepada para Patriak dan para imam Perjanjian Lama. Tanda yang membedakan Perjanjian Baru ialah keyakinan Gereja ditulis oleh Roh Kudus di dalam hatinya – dalam akal budi Katolik – daripada di atas kertas dan loh batu. Sang Rasul berkata: “Kamu adalah surat pujian kami yang tertulis dalam hati kami dan yang dikenal dan yang dapat dibaca oleh semua orang. Karena telah ternyata, bahwa kamu adalah surat Kristus, yang ditulis oleh pelayanan kami, ditulis bukan dengan tinta, tetapi dengan Roh dari Allah yang hidup, bukan pada loh-loh batu, melainkan pada loh-loh daging, yaitu di dalam hati manusia … Ialah membuat kami juga sanggup menjadi pelayan-pelayan dari suatu perjanjian baru, yang tidak terdiri dari hukum yang tertulis, tetapi dari Roh, sebab hukum yang tertulis mematikan, tetapi Roh menghidupkan.”[10]
Roh ini di sepanjang waktu telah diperlihatkan Gereja secara teori, atau sebagaimana dikatakan yang lain, secara spekulatif, bahkan sesudah penyempurnaan Kitab Suci. Ini adalah prinsip agung, yang selalu dianut dan dipegang Gereja. Tidak hanya perlu agar apa yang umat Kristen percayai harus selalu terkandung dalam Kitab Suci, tapi bahwa sesungguhnya ada banyak kebenaran – kebenaran-kebenaran dogmatik – yang ada dan harus diimani, dan serentak, mereka tidak pernah menjadi bagian Kitab Suci.
Bahwa Gereja percaya secara teori pada prinsip hakki tersebut, semua Bapa dan Doktor Gereja memberi kesaksian secara tidak dapat salah. Yang utama dari mereka adalah Ignatius di Asia[11]; Klemens di Alexandria[12]; Tertullian di Pontius[13]; Eusebius di Palestina[14], Basilius di Pontus[15]; Epiphanius di Syprus[16]; Krisostomus di Antiokia dan Konstantinople[17]; Hieronimus yang secara praktis termasuk ke dalam Gereja Barat dan Timur[18]; Agustinus dalam nama seluruh Gereja[19].
Semua Bapa dan Doktor Gereja ini, yang dalam hidup dan sesudah kematian mereka, merupakan cahaya agung Gereja selamanya, mereka seperti seorang manusia, yang mewartakan apa yang mereka imani dalam Tradisi, dan bukan untuk alasan lain mereka menulis, selain untuk memelihara Tradisi dengan aman. Mereka bahkan menyatakan bahwa apa yang diimani dan diamalkan di dalam dan oleh Gereja, tapi tidak disebutkan dalam Kitab Suci, tidak pula dinyatakan oleh Konsili-Konsili, namun diperoleh dari Para Rasul. Karenanya mereka memperingatkan kita: “Tidak ada lagi yang lebih lanjut harus diselidiki: itu adalah Tradisi.”
Semua ini selalu menjadi keyakinan Gereja yang diungkapkan dalam Konsili-Konsilinya. Karenanya Konsili Umum VII Art. VII menegaskan: “Timur dan Barat, Utara dan Selatan, kita semua setuju dalam iman yang sama melalui ilham Roh kudus – menerima semua, apapun yang Gereja Katolik terima dari lama, apakah itu tertulis atau tidak tertulis;” terlebih dinyatakan: “barangsiapa menyangkal Tradisi Gerejawi, apakah ia tertulis atau tidak, hendaklah dia diekskomunikasi.”[20]
Dengarkanlah Epiphanius, yang menulis di Abad Keempat. Ketika berbicara tentang perkawinan, dan mengutip Kitab Suci, ia berkata: “Tapi kita juga membutuhkan Tradisi. Sebab, kita tidak bisa membuktikan segalanya dari Kitab Suci, karena Para Rasul yang amat suci meninggalkan kita beberapa hal dalam tulisan dan beberapa lagi dalam Tradisi. Inilah yang Paulus tegaskan (1 Kor 9:2): ‘Sebagaimana yang telah aku teruskan kepadamu’; demikian pula di tempat lain (1 Kor 14:33): ‘sebagaimana yang juga aku ajarkan dalam semua gereja orang-orang kudus’; dan lagi (1 Kor 15:2): ‘Oleh Injil itu kamu diselamatkan, asal kamu teguh berpegang padanya, seperti yang telah kuberitakan kepadamu–kecuali kalau kamu telah sia-sia saja menjadi percaya.’ Gereja Allah yang Kudus telah menerimanya dari Para Rasul, yaitu: setelah seseorang mengucapkan kaul keperawanan, maka melakukan perkawinan tampak seperti sebuah kejahatan.”[21]
Semua ini dengan jelas memperlihatkan bahwa sesudah kematian Para Rasul, Gereja selalu percaya secara teoretis pada Tradisi.
4
Apa yang dipercaya Gereja secara teoretis juga diakuinya selalu dalam praktiknya, yaitu, kebenaran-kebenaran dan ritus-ritus, yang tidak terkandung dalam Kitab Suci.
Gereja Universal selalu mengakui, dalam perbuatan-perbuatan dan praksis-praksisnya, kebenaran-kebenaran dan disiplin tertentu, yang tidak pernah ditulis dalam Kitab Suci. Sebagaimana Dogma-Dogma, yang terkandung dalam Kitab Suci, selalu, di satu sisi, dinyatakan dan dijelaskan kepada umat beriman, namun di sisi lain, dibela dari kaum bidat, demikian pula Bapa Gereja secara individual atau ketika berkumpul dalam Konsili-Konsili Umum, dengan resmi mengakui dan memberi kesaksian hahwa Dogma-Dogma dan praksis-praksis tertentu, yang secara universal diimani atau dilakukan, tapi tidak ditetapkan dalam Kitab Suci, ia tidak boleh dibuang seakan-akan ia bukan bagian dari Iman.
Hal ini berkaitan dengan rumusan-rumusan resmi, atau ungkapan-ungkapan tertentu, yang disusun untuk menyatakan dan menjelaskan kebenaran-kebenaran dogmatik tertentu. Contohnya: “satu kodrat dan tiga pribadi”; “pribadi-pribadi konsubstansial”; kedayagunaan Sakramen-Sakramen “ex opere operato”; “transubstansiasi” dst. Rumusan-rumusan ini tidak hanya mengimplikasikan keberadaan tradisi-tradisi, tapi juga prinsip formal Tradisi, yaitu: “lembaga mengajar yang hidup, yang ditetapkan Kristus, untuk menjaga dan menjelaskan Deposit Iman kepada umat beriman.”
Secara khusus kita peduli akan kesaksian-kesaksian resmi dari zaman kuno tentang Dogma-Dogma dan praksis-praksis tidak tertulis, yang diakui dan dinyatakan hanya dari Tradisi.
Para Bapa Gereja secara eksplisit dan terus terang mengakui bahwa kebenaran-kebenaran dan praksis-praksis tertentu dari Gereja tidak ditemukan dalam Kitab Suci: konsekuensinya, hal itu tidak dapat dibela kecuali melalui Tradisi. Karenanya Origen, dalam suratnya kepada jemaat di Roma, menulis: “Gereja menerima dari Para Rasul Tradisi membaptis anak-anak dalam masa bayi mereka.”[22] St. Agustinus, terkait dengan praktik ini, sambila mengakui bahwa itu tidak dapat dibuktikan dari Kitab Suci, ia berkata bahwa di dalamnya hanya ada “dugaan atau perkiraan” yang disimpulkan dari sunat. Argumen yang meyakinkan – “apabila seseorang ingin mengetahui otoritas ilahi” untuk praktik ini – Doktor yang suci tersebut memperolehnya dari prinsip berikut: “Apa yang dianut Gereja Universal, dan tidak dilembagakan oleh Konsili-Konsili, tapi selalu dipertahankan, maka hal itu dengan tepat diimani sebagai hal yang diteruskan oleh otoritas apostolik.”[23]
Merupakan hal yang sesuai pada tempatnya untuk berkomentar bahwa ketika kaum Anabaptis – Pembaptis Ulang – yakni sekelompok pembaharu yang keras dan radikal di Abad Keenam Belas, menuntut dari saudara-saudara Protestan mereka sebuah kesaksian yang berasal dari Kitab Suci, guna membuktikan validitas Baptisan bayi, Martin Luther, karena tidak mampu membuktikannya, mengklaim bahwa melalui mukjizat bayi-bayi mengeluarkan tindakan iman agar dapat menerima baptisan secara sah. Namun ketika ia diminta untuk membuktikan mukjizat tersebut dari Kitab Suci, Luther dan para pengikutnya tidak berupaya membuktikannya.[24]
Terkait dengan Baptisan yang diberikan kaum bidat, St. Agustinus berargumen dari Tradisi. Ia menulis: “Apa yang diperdebatkan Siprianus dan Uskup Afrika lainnya tentang “keabsahan baptisan tersebut” tidak seharusnya lebih diutamakan daripada pengakuan seluruh Gereja Katolik, yang mana mereka adalah anggota-anggotanya yang pantas; tidak pula dengan berpikir sebaliknya bahwa mereka memisahkan diri dari Persekutuannya, karena hanya sesudah bertahun-tahunlah kebenaran dibuat lebih jelas melalui Konsili Umum, yang tidak melembagakan hal baru, tapi sekadar menguatkan kekunoan. … Para Rasul tidak membuat pengaturan tentang perkara ini (dalam Kitab Suci); tapi kebiasaan yang berlawanan dengan Siprianus dipercaya berasal dari Tradisi mereka (Para Rasul), sama seperti ada banyak hal yang dianut dan dipercaya Gereja yang diperintahkan Para Rasul, sekalipun kita tidak menemukannya dalam Kitab Suci.”[25]
Tentang kontroversi ini, yang terkenal adalah tanggapan Paus Stefanus kepada Siprianus: “Hendaknya tidak ada yang diubah, tapi [pertahankan] apa yang telah diteruskan.”
Siprianus wafat sebagai martir Gereja, karenanya dengan mulia ia membasuh dengan darahnya kesalahan apapun yang diatributkan kepadanya tentang persoalan ini.
Mengenai praksis berdoa untuk orang mati, Epiphanius, setelah mengesampingkan persoalan tentang inspirasi Kitab-Kitab Makabe, ia berkata: “Aku menyatakan bahwa perlulah bagi Gereja untuk melakukannya (yakni berdoa untuk orang mati), sebab ia menerima ritus tersebut yang diserahkan kepadanya oleh orang-orang kuno.”[26]
Yang termasyur dalam perkara ini adalah pernyataan Tertullian, yang ia tulis lebih dari delapan belas abad silam: “Kita mempersembahkan kurban untuk orang mati pada hari peringatan mereka, kita tidak berpuasa atau berlutut pada Hari Tuhan. Kita menikmati imunitas yang sama dari Paskah sampai Pentakosta. Kita cemas agar tidak ada satu partikel atau setetes (Ekaristi Suci) jatuh ke tanah. Sebelum kita memulai apapun, ketika kita masuk atau keluar, saat berdiri dan membasuh, saat makan, saat bangun, ketika kita duduk atau pergi tidur, dalam percakapan kita, kita membuat tanda Salib. Apabila kamu bertanya tentang hukum apapun terkait hal ini dan disiplin lainnya, kamu tidak akan menemukannya dalam Kitab Suci: Tradisi adalah sumbernya, kebiasaan menegaskannya, Iman membantu kita menaatinya.”[27]
Terakhir, Konsili Umum Ketujuh menyatakan bahwa ia menyetujui penggunaan dan penghormatan gambaran/pelukisan dari Tradisi. St. Yohanes Damaskus, jawara dan pembela terbesar dari ajaran ini, mengakui Tradisi sebagai sumbernya.
Oleh karena itu, Gereja, bahkan sesudah penyempurnaan Kitab Suci, secara umum mengakui dan mempercayai kebenaran-kebenaran dogmatik dan melaksanakan ritus-ritus dan disiplin tertentu yang tidak ditemukan dalam Kitab Suci. Ia sekadar menerimanya dari Tradisi.
[1] Ibr 1:1.
[2] Kis 20:28.
[3] Kej 6:2.
[4] Ul 32:7-8.
[5] Suarez, De Legibus, L. IX, C. VI, N. 21.
[6] Ul 8:12.
[7] Mal 2:7.
[8] Mat 23:2.
[9] Contra Appion, L. I, N. 8.
[10] 2 Kor 3:2-6.
[11] In Eusebius III, 36.
[12] In Eusebius VI, 33.
[13] Tertullian, De Corona, CC. III, IV.
[14] Euseb. Demonst. Evang., L. I, C. VIII.
[15] De Spir., S., C. XXVII.
[16] Heres. 61, N. 6.
[17] In II hess., Hom. 4, N.2.
[18] Diog. e. Lucif., N. 4.
[19] De Bapt., L. II, N. 12.
[20] In Harduin T. IV, hal. 471-479.
[21] Epiph. Heres. 61, N. 6.
[22] Origen, L. V, N. 9.
[23] Agustinus, De Bapt., L. IV. C. XXIV.
[24] Jorg, Hist. of Prot., V. II.
[25] Agustinus, De Bapt., L. V, C. I.
[26] Epiph, Heres. 65, N. 8.
[27] Tertullian, De Corona, C. III.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar