IN TEOLOGI FUNDAMENTAL, TRADISI
1
Tradisi berarti apapun yang diteruskan, juga termasuk cara dan sarana penerusannya, yang melaluinya obyek tersebut sampai pada kita.
Sumber Wahyu yang sesuai adalah Sabda Allah, yang tertulis dan tidak tertulis. Sabda Allah yang tertulis terdapat dalam Kitab Suci; yang tidak tertulis ada dalam Tradisi.
Ketika kita berbicara tentang Sabda Allah yang tidak tertulis, kita tidak bermaksud bahwa ia tidak pernah ditulis, tapi bahwa ia tidak pernah ditulis oleh manusia, yang kepadanya Allah mewahyukannya. Sabda Allah itu lalu ditulis sesudahnya oleh para murid-Nya, atau orang lain, yang mendengarnya dari bibir-Nya.
Kata Tradisi, bila dipertimbangkan dalam obyeknya, berarti apapun yang diteruskan atau disampaikan: dalam pengertian ini ia disebut tradisi obyektif. Apabila kita mempertimbangkan tindakan atau cara dan sarana yang melaluinya sebuah obyek disebarkan dan diteruskan, maka hal ini disebut tradisi aktif. Tradisi aktif ini mencakup, dari kebutuhannya, obyek yang diberikan pada kita. Dengan cara serupa, obyek tradisi mengandaikan tradisi aktif, yang tanpanya ia tidak akan menjangkau kita.
Oleh sebab itu, kita harus selalu mempertimbangkan tradisi dalam arti perpaduannya, yaitu, sebagai hal yang terdiri dari dua bagian – tindakan penerusan dan hal yang diteruskan. Sebuah tradisi, yang dipertimbangkan dalam obyeknya, kehilangan nilainya tanpa tradisi aktif yang memberikannya. Kita tidak bisa menjelaskan atau memahaminya tanpa mengetahui sumbernya, tindakannya, cara dan sarananya, yang melaluinya ia telah menjangkau kita.
Dalam halaman-halaman berikut, karenanya, Tradisi haruslah selalu dimengerti tidak hanya sebagai ajaran yang diterima, atau kebiasaan yang dominan pada masa apostolik, tapi juga cara atau sarana yang melaluinya ajaran atau kebiasaan itu telah diturunkan pada kita.
Sebagai contoh: Kitab Suci tidak menyatakan pada hari apa Yesus lahir. Tapi tradisi tua memberitahu kita bahwa Putra Allah, sebagai manusia, lahir pada 25 Desember. Inilah obyek Tradisi. Gereja menerima dan menetapkan tanggal untuk perayaannya. Umat Kristen – dalam ketaatan kepada Gereja – telah mematuhinya setiap tahun sejak Kristus naik ke Surga. Inilah tradisi aktif. Inilah kedua unsurnya. Keyakinan bahwa Kristus lahir pada 25 Desember; Gereja yang mengajar – yang menetapkan tanggal untuk perayaannya.
Kebiasaan masa Prapaskah, pantang di hari Jumat, perayaan ibadah di hari Minggu dan bukan Sabtu, dan tentang hal-hal ini, Kitab Suci sebagian besar tidak membahasnya. Tapi Tradisi memberitahu kita bahwa hal-hal ini ditaati pada masa Apostolik. Gereja menyetujuinya dan meneruskannya dari generasi ke generasi hingga hari ini. Para Rasul tidak menulis tentangnya. Mengapa mereka harus menuliskannya? Hal ini dianggap lazim. Beberapa umat Kristen perdana, para murid dari para Rasul, atau murid-murid mereka, menulis tentangnya untuk menanamkan dalam diri orang Kristen tentang hari-hari mereka, apa yang telah diajarkan dan diwartakan Para Rasul. Hal yang sama juga berlaku untuk ajaran dan disiplin lainnya, yang tidak ditulis, tapi diimani dan dilaksanakan.
Jadi, kapanpun kita berbicara tentang Tradisi secara umum, yang kita maksud adalah Tradisi yang kompleks: obyeknya beserta cara penerusannya, yaitu, Gereja yang memberikannya nilai dan otoritas. Keduanya berjalan bersama, sebagaimana dikatakan para filsuf, seperti materi dan forma. Dalam pengertian inilah Konsili Trente memahami dan merenungkan Tradisi. Ia dengan khidmat menyatakan: “semua ajaran dan displin yang diwahyukan juga terkandung dalam Tradisi-Tradisi tidak tertulis, yang, setelah diterima oleh Para Rasul dari mulut Kristus sendiri, atau, melalui perintah Roh Kudus oleh para Rasul yang sama, telah menjangkau kita, seakan-akan mereka diteruskan pada kita” … “Tradisi-Tradisi yang sama, yang menjadi milik iman dan disiplin, dijaga oleh suksesi yang berkesinambungan di dalam Gereja, kita menerima dan menghormatinya dengan afeksi dan penghormatan yang sama.”[1]
2
Tradisi-tradisi, tidak memiliki jenis yang sama, dan nilai dan otoritasnya berbeda.
Tradisi-Tradisi semuanya tidak sama jenisnya: karenanya mereka tidak bisa memiliki nilai atau otoritas yang sama. Kita membedakan mereka, pertama, melalui cara mereka diteruskan. Beberapa dari mereka telah ditulis dari asalnya, yang lain sampai pada kita secara lisan seperti dari ayah kepada anak, atau dalam cara praktis, seperti misalnya, melalui perayaan-perayaan Gereja. Untuk alasan inilah tradisi-tradisi itu tertulis, lisan, atau praktis. Beberapa tradisi disebut tradisi-tradisi tertulis, sebab kata tradisi dapat dipahami dalam artinya yang paling luas, untuk mencakup apapun yang telah disampaikan pada kita. Dalam pengertian ini bahkan Kitab Suci juga dapat disebut Tradisi. Hal ini akan dibahas lebih lanjut.
Kedua, tradisi-tradisi dibedakan melalui obyek yang mereka sampaikan, dogmatik atau disipliner, sejauh mereka mengacu pada ajaran fundamental Gereja, atau pada suatu aturan atau hukum yang dipatuhi orang Kristen. Ajaran tentang Maria Dikandung Tanda Noda dan Maria Diangkat ke Surga adalah tradisi-tradisi dogmatik. Bahwa Maria dikandung tanpa dosa asal, karena jasa-jasa Putra Ilahinya, merupakan hal yang selalu diimani umat beriman, bahkan sebelum pernyataan resminya dinyatakan oleh Gereja. Demikian pula halnya dengan ajaran Maria Diangkat ke Surga. Kita berharap agar waktunya cepat mendekat, ketika tradisi yang menyentuh tentang Bunda Allah ini akan dinyatakan dan diwartakan secara resmi sebagai Dogma Gereja yang Infalibel.
Beberapa tradisi disipliner sudah begitu tua, kita tidak memiliki catatan apapun tentang waktu ketika mereka diperkenalkan pertama kali. Misalnya masa Prapaskah; pencampuran air dan anggur dalam perayaan Ekaristi; Baptisan bayi.
Tradisi-Tradisi juga dicirikan oleh durasi mereka – beberapa tetap bertahan hingga hari ini. Yang lainnya berusia pendek. Mereka tidak lolos dari ujian waktu. Keyakinan akan Millenium adalah contohnya.
Tradisi-tradisi tertentu ditemukan di mana-mana, sementara yang lainnya hanya ditemukan di tempat-tempat tertentu. Untuk alasan inilah beberapa bersifat universal, dan lainnya bersifat lokal. Jelas bahwa tradisi universal jauh lebih penting dari tradisi lokal. Universalitas adalah tanda dari kebenaran.
Ada tradisi-tradisi, yang mengharuskan kewajiban-kewajiban, seperti misalnya, berpantang. Yang lainnya sekadar nasihat–nasihat atau anjuran-anjuran, seperti misalnya, kaul kemiskinan. Karenanya terdapat distingsi antara tradisi yang bersifat perintah atau nasihat.
Tradisi-Tradisi dapat bersitaf konstitutif atau inhesif. Yang pertama membentuk ajaran itu sendiri, yang tidak ditemukan dalam Kitab Suci; yang kedua berbicara tentang ajaran yang ditemukan dalam Kitab Suci. Diketahui dengan baik bahwa Ekaristi Kudus dengan jelas digambarkan dalam Kitab Suci. Namun Sakramen yang sama juga ditegaskan dengan amat baik dalam tradisi-tradisi lain, khususnya, dalam “Ajaran Kedua Belas Rasul”, sebuah karya yang mana para cendekiawan tidak mengatributkan asalnya melebihi tahun 80. Tradisi tersebut disebut inhesif.
Terakhir, tradisi-tradisi dapat bersifat ilahi atau gerejawi. Karena pembedaan ini secara khusus penting, kita akan mendiskusikannya sekarang.
3
Tradisi-Tradisi bersifat Ilahi atau Gerejawi.
Tradisi-Tradisi bersifat Ilahi atau Gerejawi, sebagaimana mereka berasal dari Allah atau dari Gereja.
I. Tradisi Ilahi secara umum termasuk ke dalam Iman; tradisi Gerejawi termasuk ke dalam disiplin. Tradisi-Tradisi ilahi memiliki Allah sebagai penyebab dan sumber langsungnya. Dalam Perjanjian Baru, penyebar pertama yang kasatmata adalah Allah sendiri dalam pribadi Yesus Kristus, atau Roh Kudus, yang berbicara melalui Para Rasul. Tradisi-Tradisi ini disebut Dominical – dari kata Latin Dominus atau Tuhan – apabila mereka pertama kali diwahyukan oleh Kristus sendiri; tradisi bersifat ilahi-apostolik apabila diwahyukan oleh Roh Kudus melalui Para Rasul. Semuanya terdiri dari kebenaran-kebenaran dogmatik, perintah-perintah dan institusi-institusi, yang diwahyukan secara langsung oleh Allah, atau ditetapkan untuk manusia.
Pembedaan ini jelas mengandaikan bahwa tidak semua Wahyu disempurnakan oleh Kristus, selagi Ia berdiam di tengah kita, tapi Wahyu itu mendapati pemenuhannya dengan kematian Para Rasul. Setelah Kenaikan Kristus ke Surga, Roh Kudus turun atas Para Rasul, mengamanatkan dan mengajarkan mereka tidak hanya apapun yang Kristus telah katakan pada mereka, tapi juga semua kebenaran itu, yang tidak mereka dengar atau ketahui sebelumnya, yang tidak mereka pahami selagi mereka hidup bersama Kristus. “Tetapi Penghibur, yaitu Roh Kudus, yang akan diutus oleh Bapa dalam nama-Ku, Dialah yang akan mengajarkan segala sesuatu kepadamu dan akan mengingatkan kamu akan semua yang telah Kukatakan kepadamu.”[2] “Masih banyak hal yang harus Kukatakan kepadamu, tetapi sekarang kamu belum dapat menanggungnya. Tetapi apabila Ia datang, yaitu Roh Kebenaran, Ia akan memimpin kamu ke dalam seluruh kebenaran; sebab Ia tidak akan berkata-kata dari diri-Nya sendiri, tetapi segala sesuatu yang didengar-Nya itulah yang akan dikatakan-Nya dan Ia akan memberitakan kepadamu hal-hal yang akan datang.”[3]
Pembedaan ini antara Tradisi ilahi dan Tradisi ilahi-apostolik dinyatakan oleh Konsili Vatikan I dalam Konstitusi “Dei Filius.” “Wahyu adikodrati ini, menurut Iman Gereja Universal, yang dinyatakan oleh Konsili Trente, terkandung dalam kitab-kitab tertulis dan dalam Tradisi-Tradisi tidak tertulis, yang, diterima para Rasul dari mulut Kristus, atau melalui perintah Roh Kudus, seakan-akan diserahkan langsung, sampai pada kita.”[4] Sejauh terkait asal-usulnya, secara praktis tidak ada perbedaan antara tradisi ilahi dan ilahi-apostolik. Mereka semua berasal secara langsung dari Allah.
II. Tradisi-Tradisi gerejawi adalah tradisi yang diperkenalkan Para Rasul sendiri, atau dalam masa pasca-Apostolik. Karenanya beberapa disebut tradisi apostolik-belaka, yang lainnya disebut tradisi gerejawi.
Untuk memahami perbedaan ini, seseorang harus mengingat jabatan ganda Para Rasul. Pertama, Para Rasul, dalam arti ketat dari kata itu, berarti penyebar kebenaran-kebenaran dan institusi-institusi yang diwahyukan kepada mereka oleh Allah sendiri. Tapi mereka juga merupakan rektor dan pastor dari Gereja yang mereka dirikan. Sebagai penyebar, mereka menulis sebagian dari wahyu-wahyu yang dinyatakan pada mereka. Mereka menuliskannya sebagai peristiwa dan situasi yang membujuk mereka untuk menuliskannya – kepada orang-orang tertentu, atau kepada gereja-gereja yang mereka dirikan. Mereka menulis sekali-sekali. Sebab, kewajiban utama mereka ialah memberikan Sakramen-Sakramen dan “mewartakan Injil” seturut perintah Kristus. Apa yang mereka tulis membentuk bagian dari Kitab Suci.
Bagian wahyu itu, yang mana, sebagai Rasul, mereka hanya mewartakannya dan tidak menuliskannya dan yang dipertahankan oleh para murid mereka, membentuk Tradisi Dominical atau Tradisi Ilahi-apostolik.
Tapi, sebagai rektor dan pastor Gereja-Gereja, mereka juga menetapkan hukum-hukum dan aturan-aturan tertentu, yang mereka anggap perlu, atau berguna bagi pengudusan umat beriman. “Kepada orang-orang lain aku, bukan Tuhan, yang berbicara”[5]. Dalam cara ini Para Rasul harus dianggap sebagai legislator pertama Gereja, dan aturan, hukum, dan institusi tersebut, yang tidak semua ditemukan dalam Kitab Suci, meliputi Tradisi apostolik-belaka.
Jadi, Para Rasul, sebagai Rasul dan utusan Allah, mewartakan “Injil kepada segala makhluk.”[6] Mereka semua mewartakan, tapi hanya beberapa dari mereka yang menulis. Yang lain mewartakan dan tidak menulis, tapi apa yang mereka wartakan selanjutnya dipertahankan oleh para pendengar mereka. Inilah yang membentuk Tradisi Ilahi-apostolik sebagaimana yang telah kita katakan. Kemudian, setelah menetapkan di sana-sini banyak jemaat Kristen, mereka menetapkan baginya aturan-aturan dan hukum-hukum tertentu dan mendirikan aturan-aturan dan institusi-institusi tertentu bagi pengudusan mereka. Dengan demikian, mereka menjadi legislator pertama. Hukum-hukum dan institusi-institusi ini membentuk tradisi apostolik-belaka.
Ketika sebuah tradisi mengandung ajaran yang termasuk ke dalam Iman dan dibuktikan asal-usul apostoliknya, ia harus dianggap sebagai Tradisi Ilahi – Dominical atau Ilahi-apostolik – sebab ia hanya dapat memiliki Allah sebagai sumbernya. Hanya Allah yang dapat menjadikannya mungkin. Apostolisitas ajaran tertentu dan asal-usul ilahinya selalu dianggap Gereja sebagai hal yang sama. Di sisi lain, apabila Tradisi Apostolik, yang berhubungan dengan Iman, tidak bersifat ilahi, maka ia bukan tradisi sama sekali. Ia tidak otentik, dan tidak untuk diimani. Gereja tidak dapat memikirkan dan mengajukan ajaran baru tentang Iman. Karenanya, ajaran-ajaran tentang Maria Dikandung Tanda Noda dan Maria Diangkat ke Surga adalah tradisi ilahi, sebab hanya Allah yang dapat menjadikannya mungkin. Demikian pula Sakramen-Sakramen merupakan institusi yang memberikan rahmat, sebab Allah sendirilah pemberi rahmat itu. Ajaran-ajaran dan institusi-institusi ini, apabila mereka ditemukan di mana saja dan disetujui Gereja, tentunya merupakan tradisi ilahi. Konsekuensinya, mereka harus diimani dan dipatuhi oleh seluruh Gereja. Kebenaran ilahi dan institusi ilahi tidak bisa berbeda di tempat-tempat berbeda.
Tapi tradisi aposotlik-belaka dapat berbeda di tempat-tempat berbeda. Mereka tidak lebih dari tradisi gerejawi. Misalnya, apabila sebuah tradisi diimani dan dilaksanakan sebagai tradisi apostolik, tapi hanya di tempat-tempat tertentu dan tidak di mana saja, maka tradisi itu tidak bisa disebut Dominical atau Ilahi-apostolik. Ia sekadar tradisi apostolik, yang diperkenalkan oleh salah seorang Rasul, bukan sebagai Rasul, tapi sebagai legislator Gereja, yaitu sebagai rektor dan pastor. Dengan demikian, ia ada di bawah yurisdiksi penerus St. Petrus, dan tunduk pada perubahan, dispensasi, atau, apabila situasinya berubah, ia dapat dibatalkan atau dicabut. Demikianlah perayaan Paskah di Gereja-Gereja Apostolik tertentu pada abad pertama Gereja. Beberapa Gereja Apostolik di Timur tidak merayakan Paskah pada waktu yang sama seperti beberapa Gereja Apostolik di Barat. Gereja Timur mendasarkan pada tradisi apostolik kuno, tapi demikian pula dengan Gereja Apostolik di Barat. Tradisi kuno itu mempengaruhi disiplin, bukan iman. Akibatnya, ia adalah tradisi apostolik-belaka, tunduk pada yurisdiksi penerus St. Petrus, kepala Gereja.
Aturan terbaik untuk membedakan Tradisi Dominical atau Ilahi-apostolik dari tradisi apostolik-belaka ialah praktik dan penilaian Gereja. Apabila Gereja tidak pernah berani mengubah tradisi atau membuangnya, maka tradisi itu harus dianggap sebagai tradisi Ilahi. Demikianlah tradisi pelaksanaan kewajiban beribadah di hari minggu. Sama pula halnya dengan pencampuran air dan anggur dalam perayaan Kurban Misa.
Terakhir, mengenai aturan dan institusi, yang dari kodratnya tidak selalu mengharuskan asal-usul ilahi, tapi yang dapat berasal dari otoritas Apostolik atau Gereja, maka berlakulah kaidah emas St. Agustinus: “Apa yang dipertahankan Gereja Universal; apa yang tidak pernah ditetapkan oleh Konsili-Konsili, tapi selalu dipertahankan di dalam Gereja, haruslah dengan tepat dipercaya sebagai hal yang diteruskan bukan oleh yang lain, selain dari otoritas apostolik.”[7]
Kesimpulannya: Tradisi dapat bersifat Ilahi atau Gerejawi. Tradisi Ilahi dapat bersifat Dominical atau Ilahi-apostolik. Tradisi Gerejawi adalah tradisi apostolik-belaka atau gerejawi-belaka. Tradisi disebut apostolik-belaka apabila mereka dimulai dari Para Rasul, tapi hanya dalam jabatan mereka sebagai Pastor Gereja. Tradisi disebut gerejawi-belaka apabila mereka muncul dari masa pasca-Apostolik.
4
Sebagai pedoman umum, Tradisi harus dipertimbangkan dalam artinya yang ketat.
Merupakan sebuah kesalahan umum bagi mereka yang berada di luar Gereja Katolik, untuk percaya bahwa Tradisi hanya bisa berarti ajaran atau disiplin yang tidak ditemukan dalam Kitab Suci. Mereka beranggapan, walaupun tidak tanpa dasar, bahwa Tradisi adalah sekadar laporan lisan, yang diteruskan dari mulut seorang ayah kepada anaknya dan dari satu generasi ke generasi lain. Mereka bahkan dapat mengakui bahwa ajaran-ajaran dan aturan-aturan tertentu dari Gereja Katolik yang diperuntukkan untuk dituliskan, bukan oleh Para Rasul, tapi barangkali oleh para murid mereka, atau oleh orang lain di sepanjang waktu. Semua ini mereka sebut Tradisi dan bukan yang lain. Gagasan ini tidaklah memadai.
Tradisi memiliki lebih dari satu makna. Kita harus menerima maknanya, yang secara umum ditemukan dalam Kitab Suci. Dalam artinya yang paling luas, Tradisi berarti apa yang telah diteruskan kepada kita dalam cara apapun, melalui tulisan atau sebaliknya. Dalam pengertian ini Tradisi juga mencakup Kitab Suci. Dalam arti ketat, Tradisi berarti apapun yang telah diteruskan secara lisan, atau secara praktis. Ketika kita berkata secara lisan, kita mengecualikan tulisan-tulisan dari pengarang Kitab Suci yang diilhami. Hal-hal lain dari Wahyu Ilahi dan sebagian besar disiplin Gereja, yang telah sampai pada kita tidak melalui tulisan Para Rasul, tapi semata melalui pewartaan mereka atau kepemimpinan gereja mereka, secara ketat, kita sebut sebagai “Tradisi.”[8]
Kita berkata secara praktis, sebab banyak hukum, aturan, ritus, kebiasaan, dan institusi yang datang pada kita melalui praktik Gereja. Mereka adalah sekadar tradisi; bukan bahwa mereka tidak pernah ditulis, tapi Para Rasul sendiri tidak pernah menuliskannya. Para Rasul sekadar mewartakannya sebagai Sabda Allah, apabila mereka adalah bagian dari Iman, atau mengharuskannya pada umat beriman, apabila mereka bermaksud menjadikannya hukum atau disiplin Gereja.
Semua kebenaran ilahi, hukum, aturan dan institusi ini sesudahnya ditulis oleh murid Para Rasul atau oleh orang lain yang mendengarkannya atau melihatnya dilaksanakan di abad pertama Gereja. Mereka menulisnya dengan maksud utnuk memeliharanya dengan lebih baik dan meneruskannya dengan aman dari generasi ke generasi.
Gereja tidak dengan sewenang-wenang menerima istilah “Tradisi” sebagai sarana penerusan, yang berbeda dari kitab Suci. Gereja menerimanya karena pada umumnya ia ditanamkan dalam Kitab Suci yang sama. Kita berkata secara umum, sebab terdapat satu pengecualian. Dalam suratnya kepada jemaat di Tesalonika, Sang Rasul menggunakan kata Tradisi untuk menandakan sabda Allah yang tertulis dan tidak tertulis. “Sebab itu, berdirilah teguh dan berpeganglah pada ajaran-ajaran yang kamu terima dari ajaran-ajaran yang kamu terima dari kami, baik secara lisan, maupun secara tertulis.”[9]
Setidaknya terdapat sembilan teks ketika secara jelas kata “tradisi” atau “menyerahkan” berarti sesuatu yang berbeda dari Kitab Suci sendiri. Mereka adalah sebagai berikut: Mat 15:2, 3, 6; Mrk 7:3,5,6,9,13. Luk 1:2; Kis 16:4; 1 Kor 11:2-23; 15:3;1 Pet., 1-18; 2 Pet., 21; Yud 3. Dua teks lainnya meragukan: Gal 1:14 dan Kis 6:14.
Oleh karena banyaknya teks inilah para penulis Katolik telah menggunakan kata “Tradisi” beserta semua maknanya.
5
Semua Tradisi, yang disetujui Gereja, harus dihormati dan diimani.
Semua Tradisi, yang disetujui Gereja, apakah ia Tradisi Ilahi atau Ilahi-apostolik, apostolik-belaka atau Gerejawi, mensyaratkan penghormatan dan penghargaan kita. Benar, hanya tradisi Ilahi atau Ilahi-apostolik yang mengandung dalam diri mereka sabda Allah yang diwahyukan, dan yang membentuk obyek iman kita; tapi, benar pula bahwa tradisi apostolik-belaka dan tradisi gerejawi didasarkan pada kuasa dan otoritas adikodrati. Otoritas adikodrati atau kuasa itu sendiri adalah kebenaran yang diwahyukan. Karenanya, ia harus ditaati. “Barangsiapa mendengarkan kamu, ia mendengarkan Aku; dan barangsiapa menolak kamu, ia menolak Aku.”[10]
Dengan demikian, apabila tradisi Ilahi atau Ilahi-apostolik didefinisikan dan secara resmi diterima Gereja, maka tradisi itu haruslah dijunjung sebagai hal yang benar dan suci, sebab suara Gereja adalah sabda Allah di tengah kita. Jika ada yang menolaknya, maka ia serentak menolak infalibilitas Gereja, yang adalah kebenaran yang diwahyukan.
Seseorang yang menolak tradisi apostolik-belaka atau tradisi gerejawi, misalnya perayaan dalam pemberian Sakramen-Sakramen, tanda Salib, air suci atau tradisi lain, yang telah disetujui Gereja, serentak ia menolak otoritasnya yang diwahyukan. Jadi, ia menyalahi Iman. Otoritas adikodrati diberikan kepada Para Rasul dan Gereja oleh Kristus sendiri. Ia menjanjikannya Roh Kudus, Roh Kebenaran, yang berdiam bersamanya selamanya. Roh Kudus tinggal bersama Gereja dengan tujuan untuk melindungi semua ajaran Kristen, untuk membuatnya kebal dari kekeliruan dalam semua perkara iman dan moral, dan untuk membimbing nasibnya hingga akhir zaman.
Otoritas ini, yang kepadanya semua tradisi bersandar, begitu penting dan diperlukan sehingga beberapa Bapa Gereja bahkan melangkah lebih jauh dengan menyatakan bahwa semua tradisi apostolik dan gerejawi adalah Tradisi Ilahi, karena Allah memberikan otoritas Ilahi kepada Para Rasul dan Gereja. Jadi, pemilihan Uskup melalui para uskup tetangganya dari provinsi yang sama dalam kehadiran umat – pastinya merupakan tradisi gerejawi atau tradisi apostolik-belaka – disebut oleh Siprianus sebagai “tradisi ilahi dan ditaati secara rasuli.”[11]
Untuk alasan inilah, dalam pengakuan Iman Katolik yang sama, kita membaca: “Saya dengan teguh mengakui dan menerima Tradisi-Tradisi apostolik dan gerejawi dan semua kebiasaan lainnya dan konstitusi-konstitusi Gereja … Saya juga menerima dan mengakui ritus-ritus yang diterima dan disetujui Gereja Katolik dalam pemberian semua Sakramen secara resmi.”
Di sisi lain Tradisi Ilahi atau Tradisi Ilahi-apostolik terkadang disebut oleh beberapa Bapa Gereja sebagai Tradisi apostolik atau gerejawi, sebab kepada Para Rasul dan Gereja dipercayakan deposit harta karun Tradisi yang agung, dan mereka berperan sebagai sarana dalam penyebarannya di seluruh dunia.
Jadi, semua Tradisi, yang disetujui Gereja, haruslah dihormati dan diimani.
[1] Konsili Trente, Sesi IV.
[2] Yoh 14:26.
[3] Yoh 16:12-13.
[4] Konsili Vatikan I, Bab II.
[5] 1 Kor 7:12.
[6] Mrk 16:15.
[7] Bapt. IV, 24.
[8] Dari kata Latin “tradere” – menyerahkan – yang dibedakan dari kata “scripta” yaitu menulis.
[9] 2 Tes 2:15.
[10] Luk 10:16.
[11] Siprianus, Ep. 68.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar