BAB VIII. Ketidakrusakan Tradisi
1
Pengantar.
Konstitusi [Gereja], yang ditetapkan Kristus sendiri, dan yang Para Rasul dirikan di setiap bagian dunia atas dasar kesetiaan terhadap perintah Sang Guru, terus ada di abad-abad pertama Gereja. Ketika Para Rasul meninggal, perintah-perintah mereka dilaksanakan oleh para penerus mereka.
Di abad-abad pertama merupakan hal yang mustahil bila prinsip-prinsip dan dasar-dasar Kekristenan telah menjadi sedemikian rusak sehingga memberikan tempat bagi tatanan hal yang berbeda dalam pemerintahan Gereja. Sebab, tidak semua Rasul meninggal di tahun yang sama, tidak pula generasi yang telah mereka peroleh demi Kristus, mungkin digantikan seketika itu juga oleh generasi yang lain. Beberapa dari Para Rasul dan para penerus langsung mereka hidup sampai berusia tua. Satu generasi hidup dan membaur dengan generasi lainnya hanya untuk dibesarkan dan diajarkan seperti generasi pertama umat Kristen.
Untuk alasan inilah, apapun yang telah ditegaskan tentang kemustahilan perubahan dalam pemerintahan Gereja, dapat juga diterapkan pada kemustahilan akan rusaknya ajaran Apostolik di abad-abad awal dan di sepanjang waktu sampai ke masa kita. Kita harus menganggap tulisan para Bapa Gereja sesuai dengan kelayakan mereka, yaitu, sebagai dokumen-dokumen historis, bukan sebagai kebenaran-kebenaran yang diwahyukan. Tak seorangpun dapat menolak dokumen-dokumen historis. Hal itu akan menghancurkan kepastian mutlak sejarah. Kita menganggap tulisan-tulisan para Bapa Gereja sebagaimana kita menerima, misalnya, tulisan-tulisan Josephus Flavius, Caesar, atau Livy. Josephus Flavius menggambarkan kondisi-kondisi politis dan keagamaan dari saudara-saudara sezamannya, sama halnya Caeasr dan Livy memberikan kita catatan yang baik tentang perang sipil yang memecah orang Roma sebelum kejatuhan Republik. Tidak ada alasan mengapa kita harus mempercayai para pengarang itu lebih dari kita mempercaya para penulis awal Gereja.
Betapa sombongnya kaum Pembaharu Abad Keenam Belas karena mengklaim bahwa mereka mengetahui lebih baik dari para Bapa Gereja tentang seperti apakah pemerintahan dan ajaran Gereja selama tiga abad pertama! Secara umum, para Bapa Gereja adalah orang yang unggul dalam pengetahuan dan kesalehan. Mereka menerangi Gereja dan memuliakan Iman dengan karya-karya besar mereka. Mereka adalah orang besar di zaman mereka, yang menulis secara langsung tentang orang-orang sezaman mereka. Dan mereka memberi kesaksian, selain Kitab Suci yang mereka selamatkan dari kehilangan total dan kepunahan, bahwa di dalam Gereja juga terdapat “Pedoman Iman” yang lain, yaitu Gereja sendiri, yang kepadanya Kristus dan Para Rasul menyerahkan Deposit Iman.
2
Tradisi-Tradisi Gereja tidak rentan pada kerusakan.
Pada mulanya Protestan menolak Tradisi. Belakangan, ada banyak dari mereka yang menerima beberapa tradisi – seperti kaum Lutheran, Episkopal, dan Evangelikal – bahwa perpisahan mereka dari Roma tampkanya bersifat politk daripada religius. Mereka dipimpin oleh otoritas tertinggi tertentu, yang mirip Yurisdiksi Romawi. Raja Inggris adalah kepala Gereja Anglikan; Raja Prussia adalah kepala kaum Lutheran Reformed, dan hampir tidak ada denominasi non-Katolik, yang di dalamnya apa yang disebut dewan pembimbing, yang tidak diberikan otoritas tertinggi dalam administrasinya. Banyak denominasi percaya pada Kredo Para Rasul, mengakui dektrit-dekrit Konsili-Konsili Awal, dan menghormati tulisan-tulisan Bapa Gereja. Tapi mereka menjelaskannya menurut sudut pandang sektarian mereka. Yang lain menolak semua Tradisi atas dasar bahwa mereka rentan pada kerusakan. Mereka mengklaim, ketika ajaran apapun diteruskan bagi generasi selanjutnya – dari ayah ke anak – maka banyak legenda dan mitos selalu muncul sehingga hanya sedikit kebenaran yang tersisa.
Ini adalah afirmasi dari pihak mereka bahwa Gereja tidak infalibel. Apabila mereka percaya bahwa Gereja itu infalibel, mereka tidak akan melupakan dengan cepat akan pertologan yang dijanjikan kepada Gereja oleh Kristus.
Mereka lupa bahwa – secara ketat, semua Wahyu, entah yang terkandung dalam Kitab Suci atau adalam dokumen-dokumen, monumen-monumen, praksis-praksis lain, dst, ditulis dan diteruskan kepada keturunan selanjutnya. Para Rasul menulis bagian itu dari Wahyu, yang terkandung dalam Kitab Suci, sementara para murid mereka menulis apa yang Para Rasul wartakan, ajarkan, atau lembagakan di dalam Gereja, tapi yang tidak ditulis oleh Para Rasul.
Merupakan sebuah kesalahan untuk bermimpi hanya tentang tradisi lisan, yang diteruskan dari generasi ke generasi melalui bantuan kata-kata yang keluar dari mulut. Sebab, Tradisi, pada tempat pertama, tidaklah bersifat lisan dalam arti ia dijaga dan diteruskan hanya melalui bibir manusia. Ia bersifat lisan dalam arti bahwa pada mulanya ia diterima oleh umat beriman dari Para Rasul sendiri, bukan dalam tulisan, tapi melalui pewartaan, pengajaran, atau pelembagaan mereka, yang ditetapkan di dalam Gereja oleh Para Rasul yang sama. Apa yang tidak ditulis Para Rasul, namun diwartakan, diajarkan, atau dilembagakan oleh mereka, selanjutnya ditulis oleh para murid langsung mereka, dan terkadang oleh para murid dari murid-murid langsung Para Rasul sendiri.
Tradisi, pada tempat kedua, bersifat lisan, bukan dalam arti bahwa ia tidak pernah ditulis, tapi dalam arti bahwa apa yang pada awalnya tidak ditulis oleh para pengarang yang diilhami Allah, sesudahnya ditulis oleh para murid mereka. Apa yang didengar atau diajarkan oleh Para Rasul, yang tidak dimasukkan ke dalam Kitab Suci, selanjutnya mereka tetapkan dalam tulisan.
Pada tempat ketiga, Tradisi bersifat lisan, sebagai hal yang dibedakan dari bagian Wahyu yang dtulis oleh para Rasul, yaitu, sebagai hal yang dibedakan dari Kitab Suci. Sebab, apa yang selanjutnya ditulis oleh murid-murid Para Rasul sebagai hal yang mereka dengar, pelajari, atau dilembagakan oleh Para Rasul, hal itu merupakan apa yang kita sebut sebagai Tradisi secara pantas. Kita harus mengingat bahwa tidak semua kebenaran, yang diwartakan dan diajarkan para Rasul, ditulis atau dibahas dalam Surat-Surat mereka, karena sebagian besar dari kebenaran itu cukup sederhana dan diterima oleh semua orang. Mereka sekadar menulis sebagaimana kesempatan menuntut perhatian mereka guna menguatkan saudara-saudara mereka dalam ketiadaannya.
Terlebih, sebagaimana Para Rasul bukan hanya Rasul, tapi juga “tetua” dan Legislator Gereja, mereka melembagakan hari-hari tertentu dalam pekan atau musim-musim tertentu dalam tahun, seperti masa pertobatan, sukacita, atau istirahat, guna dipatuhi semua orang. Pantang daging dilakukan di hari Jumat, berpuasa pada Masa Prapaskah, beribadah di hari Minggu dan bukan Sabtu, Sukacita-Sukacita Paskah, perayaan Misa Kudus, semua ini dilembagakan Para Rasul sebagai bantuan bagi orang Kristen utnuk menyelamatkan jiwanya dan sebagai hiasan bagi ibadah ilahi. Semua hal ini adalah bagian dari rutinitas Gereja. Mereka semua menerimanya sebagaimana mestinya dan sebagai bagian dari kehidupan Gereja sehari-hari. Karenanya tidak ada keharusan dari pihak mereka untuk menuliskannya: mereka mewartakan, mengajar umat beriman apa yang harus mereka lakukan sebagai anggota-anggota Gereja Yesus Kristus. Jadi, merupakan hal yang alami bahwa apa yang tidak ditulis Para Rasul, dituliskan oleh para murid mereka, guna menyegarkan ingatan mereka dan juga untuk meneruskannya kepada generasi selanjutnya, selaras dengan perinagatan Sang Rasul “untuk mengajar orang lain juga.”[1] “Berpeganglah pada ajaran-ajaran (Tradisi) yang kamu terima dari kami, baik secara lisan, maupun secara tertulis.”[2]
Tradisi, oleh karena itu, menurut Sang Rasul, ada dua jenisnya, yaitu tertulis dan tidak tertulis. Tradisi tertulis adalah Kitab Suci, sebab tradisi berarti apapun yang diteruskan atau diserahkan kepada orang lain. Dalam hal ini Kitab Suci adalah tradisi, walaupun disebut demikian secara tidak pas. Tradisi tidak tertulis adalah semua tradisi lain yang tidak terkandung dalam Kitab Suci, tapi yang, sebagaimana dikatakan Sang Rasul, diterima oleh para muridnya melalui pewartaannya. Hal ini secara pas disebut Tradisi.
Sebagaimana dua jenis tradisi – yang diterima, seperti dikatakan Sang Rasul, “melalui pewartaan” (secara pas disebut tradisi) “dan secara tertulis” (yakni Kitab Suci, yang disebut sebagai tradisi secara tidak pas) – sampai pada kita dari Para Rasul, keduanya harus diterima, diimani, dan dihayati, karena, menurut perintah Sang Rasul, kita harus berpegang pada keduanya.
Tradisi tertulis, atau Kitab Suci, mengandung bagian Wahyu yang lebih besar. Tapi tidak kurang benarnya bahwa apa yang diwartakan, diajarkan, atau dilembagakan Para Rasul di dalam Gereja, tapi tidak mereka tulis, juga merupakan bagian Deposit Iman yang sangat penting. Mereka ditulis oleh para murid mereka.
Oleh karena itu, sebuah keberatan bahwa Tradisi, karena bersifat lisan, menjadi rusak di sepanjang waktu, dan karenanya menjadi hancur. Secara ketat, Tradisi tidak bersifat lisan. Ia hanya bersifat demikian dalam pewartaan pertamanya. Semua tradisi telah ditulis, jika bukan oleh Para Rasul, pastinya oleh Gereja. Sebagai para gembala dan pengajar, atau sebagai para penulis Gereja, umat Kristen pertama menulis apa yang mereka dengar atau pelajari dari Para Rasul atau apa yang dilakukan di dalam Gereja. Mereka menulis bukan sebagai penulis yang diilhami Allah, tapi sekadar sebagai guru bersama atau umat beriman, yang tidak memiliki tujuan apapun, selain membela dan melindungi Deposit Iman. Allah, dalam Penyelenggaraan-Nya, membujuk orang-orang itu untuk menulis, untuk menjadi saksi bagi Iman itu, yang selalu tua, selalu baru, lemah dan masih kuat. Walaupun ditulis dalam dokumen-dokumen lama, ia masih ditulis lebih baik dalam hati umat beriman, dan secara mendalam terukir dalam praksis-praksis keagamaan dan keyakinan Gereja.
3
Tradisi, yang disetujui Gereja, adalah kepastian adikodrati dan mutlak di setiap abad Gereja.
Allah, dalam hikmat dan Penyelenggaraan-Nya yang tak terbatas, memberikan Gereja dengan begitu banyak orang terpelajar dan suci di sepanjang waktu, sehingga pengetahuan mereka tampak bersifat lebih adikodrati daripada manusiawi. Orang-orang itu terkenal bukan hanya karena hikmat dan kebijaksanaan mereka, tapi juga karena pengetahuan mereka dalam ilmu pengetahuan ilahi dan insani. Mereka juga orang-orang di zaman mereka. Mereka adalah para penjaga Iman, yang Para Rasul tanamkan di bagian-bagian utama dari Kekaisaran Romawi. Ada satu hal yang mereka perhatikan lebih dari yang lainnya: yakni menjaga Deposit Iman tetap tak bernoda. Mereka begitu mencintai kekunoan dan membenci inovasi, sehingga banyak dari mereka, seperti Ignatius dari Antiokia, Polikarpus, Lactantius, Siprianus, dan sejumlah besar Uskup, Imam dan Para Pengaku Iman – menyerahkan nyawa mereka demi membela Iman.
Yang lain, seperti Hieronimus, meninggalkan dunia dan menarik diri ke padang gurun, di sana ia menulis dan menjelaskan artikel-artikel utama agama Kristen dalam kontemplasi mendalam.
Mereka bersatu dalam persetujuan dan persatuan Iman. Untuk hal ini mereka menggunakan semua talenta mereka, dan menggunakan cara-cara dan sarana-sarana terbaik yang mereka miliki.
Untuk alasan inilah para Bapa Konsili Lateran berseru, setelah pertama-tama mendaraskan kalimat para Pengajar dan Gembala, yang mendahului mereka: “Para Bapa yang suci ini, dengan kasih terbesar menerima sabda Tuhan Allah kita dan Penyelamat Yesus Kristus, tidak menyembunyikan terang rahmat di balik gantang kekaburan yang tidak setia, yang Ia berikan pada mereka, tapi menempatkannya di atas kandil ajaran keselamatan, agar ia menyinari mereka semua, yang berada di dalam rumah, yaitu, di hadapan semua umat Gereja Katolik.”[3] Agustinus, seraya berbicara tentang para Uskup yang memimpin Gereja Allah dan hidup sebelumnya, berkata demikian: “Mereka adalah Uskup-Uskup, para pembela kebenaran yang terpelajar, serius, suci, tak kenal takut, terhadap kesia-siaan yang cerewet, yang dalam akal budinya, kecerdasan dan kebebasannya – tiga kualitas terpenting dalam seorang hakim – tidak ditemukan sesuatupun yang dapat kamu cela. Apabila sebuah sinode semua Uskup di dunia dapat dikumpulkan, merupakan sebuah kekaguman apabila semuanya dapat dengan mudah berkumpul bersama. Sebab mereka tidak hidup di waktu yang sama, tapi, sebagai yang paling setia dan unggul, mereka diutus Allah di zaman-zaman berbeda ke tempat-tempat berbeda, sebagaimana Allah yang sama berkenan dan menganggapnya pantas untuk mengutus mereka. Bagimu mereka lebih menyeramkan, karena kamu menyerang Iman Katolik, yang darinya mereka menghisap susunya, mengambil makanannya, dan yang mana makanan dan susu itu mereka bagikan kepada orang-orang kecil dan besar.”[4]
Dengan kehadiran orang-orang yang terpelajar, bijaksana dan suci di ruang kemudi bahtera Petrus; dan persetujuan serta persatuan amat sempurna di antara mereka, yang “Roh Kudus tempatkan untuk memimpin jemaat Allah”, dengan mata yang mengawasi dari para Gembala guna menuntun kawanan domba mereka ke padang rumput yang menyehatkan dan menjaga mereka dari ilalang kesesatan yang beracun, dengan rasa benci akan inovasi dan rasa cinta dan hormat akan kekunoan, agar “tak ada yang diubah, tapi hanya apa yang diserahkan”; dengan sarana yang paling protektif dan keras untuk berpegang pada “apa yang mereka terima dari para bapa guna menyerahkannya kepada anak-anak mereka”, maka mustahillah kebaruan apapun dapat masuk entah dalam sekejap atau secara bertahap hingga menginfeksi kekunoan ajaran yang ternama.
Dan apabila kebaruan tersebut memang berhasil, itu hanyalah kejadian lokal, tidak pernah menjadi peristiwa umum. Sejarah tidak mencatat satu inovasi tunggal di dalam seluruh Gereja, karena seluruh Gereja tidak bisa ditumbangkan. Memang ada kecacatan-kecacatan yang meluas, seperti di Timur setelah Abad Kedelapan; dan di Eropa Utara waktu Abad Keenam Belas. Tapi mereka bersifat parsial. Ranting-ranting yang mati, sekalipun besar, tampaknya merupakan bagian sebuah pohon, tapi segera setelah mereka terpisah, pohon itu menjadi lebih baik. Ia menjadi kuat dalam ukurannya, dedaudannya, dan kehidupannya. Demikian pula dengan Gereja, Pohon Kehidupan yang besar. Ia ditanam di taman Allah dan diairi rahmat-rahmat Roh Kudus. Ia akan hidup sampai akhir zaman.
Bangsa-bangsa di bumi membutuhkan Gereja, tapi Gereja tidak membutuhkan siapa saja. Celakalah bangsa-bangsa itu yang memisahkan diri dari Gereja. Sebagai ranting-ranting yang mati, mereka akan memudar dan hanya baik bila dibakar. Sejarah tidak bisa menetapkan satu kejadian tunggal tentang inovasi umum di dalam Gereja. Itu berarti kematiannya. Alam maut akan menguasainya. Tapi itu mustahil. “Tidak ada yang diubah, hanya ada apa yang telah diteruskan.”
Perhatian para Gembala Gereja, kebencian mereka akan kebaruan, kekudusan mereka, ilmu pengetahuan dan cinta akan kekunoan, dan lebih lagi perlindungan adikodrati yang Kristus janjikan kepada Gereja-Nya, semua ini memaksa kita untuk menyimpulkan bahwa apapun yang ditemukan di dalam, atau disetujui oleh Gereja Katolik adalah benar dan sesuai dengan kebenaran. Tidak ada yang lebih pasti dari ini. Ia sampai pada kita dari Para Rasul melalui pengetahuan para Uskup yang berjaga-jaga, yang “Roh Kudus tempatkan untuk memimpin jemaat Allah.”[5] Apapun ajaran Para Uskup, itu juga ajaran kami. Ia didasarkan pada janji Kristus dan bimbingan Roh Kudus. Dan kepastian kita bersifat adikodrati dan merupakan kepastian absolut. Demikianlah Tradisi yang disetujui Gereja. Ia tidak pernah bisa dirusak. Ia akan hidup sampai akhir zaman.
4
Kanon atau Pedoman St. Vincentius dari Lerin adalah benar dalam arti affirmatif, tidak dalam arti eksklusif. Secara sederhana ia adalah cara menemukan apostolisitas dari ajaran tertentu untuk menolak kebaruan.
Salah satu yang terkenal dari tulisan para Bapa Gereja adalah Kanon Vincentius, atau, sebagaimana orang lain menyebutnya, St. Vincentius dari lerin. Kanon tersebut menarik batas, sebagaimana termuat dalam Commonitory nya, yang dimaksudkan untuk memilah apa yang murni dari apa yang rusak; untuk membedakan kebenaran dari apa yang merupakan opini belaka; untuk menentukan apa yang ortodoks dari apa yang salah. “Kita harus berpegang pada apa yang diimani senantiasa, di mana saja, dan oleh semua orang; ini merupakan hal yang sungguh Katolik dan pantas … hal ini bisa diperoleh apabila kita mengikuti universalitas, kekunoan, persetujuan.” N. 3. Ini adalah tiga ciri khas dari apa yang disebut Kanon atau Pedoman Vincentian.
Tidak ada apapun di dunia ini yang tidak dapat disalahgunakan. Untuk alasan inilah, untuk memisahkan kerusakan dari semua praksis, prinsip dan dogma, yang tidak disetujui oleh masa kuno, kaum Protestan membandingkannya dengan pedoman ini, yang melaluinya mereka menyerang Roma, dan tidak pernah berpikir bahwa itu adalah serangan terhadap Protestanisme sendiri. Kardinal Newman, dalam buku terakhirnya, yang ia tulis sebelum bertobat dan kembali ke Gereja Katolik, berbicara tentang aturan ini dan membuktikan bahwa “sekalipun hanya sedikit pernyataan Pasca-Nicea tentang Supremasi Kepausan, mereka tetap lebih banyak dan pasti daripada kesaksian-kesaksian yang dikemukakan yang mendukung Kehadiran Nyata” dan sambil mengemukakan dirinya sebagai orang beriman dalam Kehadiran Nyata [Kristus dalam Ekaristi], ia berseru: “Aku berangkat menuju salah satu altar kami untuk menerima Ekaristi; aku tidak meragukan apapun dalam pikiranku tentang Karunia, yang dikandung dalam Sakramen itu, … Kehadiran Kristus ada di sini, sebab ia terjadi sesudah Konsekrasi; dan Konsekrasi adalah hak prerogatif para Imam; dan para Imam dijadikan imam melalui Tahbisan; dan Tahbisan berasal dari garis langsung Para Rasul … oleh karena itu, kita diberkati dengan Karunia agung. Di sini muncul pertanyaan bagiku: siapa yang memberitahumu tentang Karunia itu? Aku menjawab: Aku telah mempelajarinya dari Bapa Gereja: aku percaya akan Kehadiran Nyata karena mereka memberi kesaksian tentangnya … dan kemudian aku berpikir: dan bukankah Bapa Gereja kuno yang sama juga memberi kesaksian akan ajaran lain (Supremasi Kepausan) yang kamu ingkari? Bukankah kamu seorang munafik, yang mendengarkan mereka ketika kamu menginginkannya, dan tuli ketika kamu tidak ingin mendengarkannya? Bagaimana kamu bisa mendukung orang kudus, ketika kamu hanya setengah melangkah bersama mereka? Sebab, apakah mereka berbicara lebih sering tentang keduanya, yaitu tentang Kehadiran Nyata, atau tentang Supremasi Paus? Kamu menerima bukti yang lebih kecil, dan menolak yang lebih besar.”[6] Lalu ia mulai memperlihatkan kontradiksi dari saudara-saudara Episkopaliannya, ketika, mereka membuang banyak kebenaran dan praksis Gereja Katolik, karena hal itu tidak diimani dan dilakukan “selalu, di mana saja, dan oleh semua orang”, seakan-akan banyak prinsip yang diakui Gereja Anglikan sama-sama tidak diimani “selalu, di mana saja, dan oleh semua orang.” Tidak mengherankan bahkan sebelum penerbitan buku ini, Newman menjadi anak Gereja Katolik yang setia.
Dan bagaimana tentang prinsip utama semua Protestanisme, yakni penafsiran pribadi Kitab Suci? Apakah ia “selalu di mana saja, dan oleh semua orang diimani” di dalam Gereja? Sejarah Gereja lama sebelum “Reformasi” Abad Keenam Belas menyatakan bahwa sangat sedikit para pengikutnya, dan Bapa Gereja, kapanpun mereka menyebutkan [prinsip itu], mereka mengutuknya dengan keras. Jadi, mengapa mereka mencoba menjadikan Pedoman Vincentius sebagai senjata yang menyerang Gereja Roma? Apabila, kelihatannya, ia menyerang beberapa kebenaran Gereja Katolik, pastinya ia terlalu menarik bagi semua Protestanisme. Lalu, apa guna dari Kanon Vincentian? Gunanya hanya untuk tujuan sebagaimana disusun pengarangnya. Untuk membantu ingatan kita dan membimbing kita dalam keyakinan kita seturut tradisi-tradisi Bapa Gereja; untuk menentukan nilai sebuah ajaran lebih dahulu sebelum penilaian Gereja; untuk menguji kebaruan yang muncul di pangkuan Gereja.
Untuk memahami Kanon ini dan menerapkannya dengan benar, ingatlah: I. Universalitas bagi Vincentius berarti “satu iman sejati, yang diimani Gereja di setiap bagian dunia.” Artinya, Gereja menyetujui ajaran tertentu pada waktu kemunculan ajaran baru yang berbeda dari ajaran lama; II. Kekunoan, yang berarti kekunoan relatif: persetujuan Gereja, persis sebelum kebaruan mulai mendapat pijakan di dalam Gereja. Untuk tiba pada kekunoan absolut, yaitu, apostolisitas dari ajaran sejati, yang bertentangan dengan kebaruan, kamu membandingkannya dengan persetujuan Bapa Gereja atau pada dektrit-dekrit Konsili-Konsili Umum; III. Sebuah kanon atau pedoman, dapat diterapkan secara afirmatif, atau dalam arti eksklusif. Secara afirmatif, ketika sebuah pedoman diterapkan kepada apa yang telah didefinisikan, bukan kepada apa yang belum didefinisikan Gereja. Secara negatif atau eksklusif, ketika tidak ada yang termasuk ke dalam Deposit Iman, yang belum secara eksplisit diimani “selalu, di mana saja, dan oleh semua orang” oleh umat beriman; IV. Sebuah kebenaran dapat secara implisit terkandung dalam wahyu, karenanya tidak dinyatakan Gereja; atau secara eksplisit, ketika diimani oleh semua umat beriman atau dinyatakan Gereja. V. Persoalannya bukan tentang ajaran implisit, tapi ajaran eksplisit, sebab apapun yang terkandung dalam Deposit pewahyuan objektif sudah diimani “di mana saja, senantiasa, dan oleh semua orang” setidaknya secara implisit, maka seseorang tidak dapat menjadi katolik apabila ia tidak diarahkan untuk mengimani juga secara eksplisit apapun yang ia imani secara implisit, setelah apa yang diimani secara implisit itu secara memadai diajukan kepadanya sebagai hal yang diteruskan secara ilahi.
Kami berkata bahwa: I. Pedoman Vincentian selalu benar dalam arti affirmatif. Artinya, apabila sebuah ajaran sudah didefinisikan, ia pastinya termasuk ke dalam Deposit Iman, konsekuensinya ia memililiki tiga karakteristik universalitas, kekunoan, dan persetujuan, karena persetujuan universal tentang ajaran iman apapun “selalu dan di mana saja” telah selalu dianut di dalam Gereja sebagai bukti akan ajaran yang sudah diteruskan secara ilahi. II. Pedoman Vincentian tidak dapat diterapkan secara eksklusif. Bisa saja ada ajaran-ajaran, yang secara implisit terkandung dalam Wahyu, yang tidak diketahui secara memadai, karenanya tidak selalu dinyatakan dan diimani secara eksplisit oleh Gereja. Sebelum deklarasi Gereja, ajaran-ajaran itu dapat disangkal tanpa menghancurkan iman. Sesudah deklarasi Gereja, kendati demikian, mereka harus dianut sebagai hal yang diwahyukan, dan konsekuensinya, mereka termasuk ke dalam Deposit Iman dan harus diimani secara eksplisit. Oleh karena itu, bisa jadi terdapat waktu, ketika kebenaran-kebenaran yang diwahyukan diimani secara implisit, tapi tidak selalu diimani secara eksplisit. Vincentius, agar konsisten dengan semua tulisannya, tidak bisa dan tidak menerapkan Pedomannya secara sembarangan, yaitu, kepada apa yang didefinisikan atau tidak didefinisikan oleh Gereja. Hal itu memperlihatkan bahwa Pedoman tersebut tidak bisa diterapkan secara eksklusif; sehingga tidak ada yang termasuk ke dalam Deposit Iman; atau bahwa tidak ada yang bisa didefinisikan, yang tidak diimani secara eksplisit. “selalu, di mana saja, dan oleh semua orang.” III. Bahwa Vincentius tidak sungguh mengajukan Pedomannya dalam penegrtian eksklusif atau negatif jelas terlihat dari tujuannya, yaitu menjaga dirinya dari kebaruan, yang bukan hal yang Katolik atau Apostolik. Ia mengingat perkataan Sang Rasul kepada Timotius, “Apa yang telah engkau dengar dari padaku di depan banyak saksi, percayakanlah itu kepada orang-orang yang dapat dipercayai, yang juga cakap mengajar orang lain.”[7] Vincentius ingin menjaga agar Deposit Iman tetap tak dinodai oleh mereka, yang di masa depan “akan memalingkan telinganya dari kebenaran dan membukanya bagi dongeng.”[8] Ia tahu bahwa akan ada pemberontakan keagamaan di dalam gereja, seperti misalnya, kesesatan Donatis, seperti yang ditegaskannya dalam Commonitoriumnya. Ia tidak bisa memikirkan apa yang termasuk ke dalam Deposit Iman hanya dalam pengertian affirmatif, yaitu, apa yang sudah didefinisikan dan apa yang termasuk ke dalam masa lalu, tapi juga apa yang dapat terjadi di masa depan, seturut perkataan sang Rasul: “Karena akan datang waktunya, orang tidak dapat lagi menerima ajaran sehat, tetapi mereka akan mengumpulkan guru-guru menurut kehendaknya untuk memuaskan keinginan telinganya.”[9] Ketika kontroversi tersebut muncul, Vincentius memperingatkan kita. Lihatlah persetujuan kekunoan yang segera ada sebelum kontroversi. Karenanya kamu akan tiba pada kekunoan yang lebih tua, kekunoan yang absolut. Yaitu apostolisitas ajaran yang diserang oleh kaum bidat. Vincentius tidak dan tidak bisa menerapkannya secara eksklusif, tidak pula ia bermaksud agar kita menerapkan Pedomannya secara eksklusif – “selalu, di mana saja, dan oleh semua orang” kepada ajaran apapun yang ditemukan secara sembarangan di dalam Gereja – agar sungguh menjadi Katolik yang benar dan pantas. Apa yang sudah didefinisikan, sudah termasuk ke dalam Deposit Iman, sudah dan sedang diimani, setidaknya secara implisit “selalu, di mana saja, dan oleh semua orang.” Di sisi lain, apa yang belum didefinisikan, masih bisa didefinisikan di masa depan, atau apa yang masih kabur dan implisit dalam yang eksplisit, di sepanjang waktu dapat dibawa keluar dari yang eksplisit dan melalui persetujuan umat beriman atau definisi Gereja menjadi bagian eksplisit dari Deposit Iman. Karenanya apa yang belum didefinisikan, dapat didefinisikan kemudian. Apa yang belum diimani secara eksplisit, masih mbisa menjadi bagian eksplisit dari Deposit Iman.
Kendati demikian, tampaknya penerapan Pedoman Vincentian terhadap fakta-fakta historis, terlepas dari kejernihannya, terkadang sulit dilakukan. Kardinal Newman berpikir bahwa ia menentukan apakah Kekristenan itu daripada apa yang bukan Kekristenan. Toh, ia bukan tolok ukur matematis. Ia harus diterapkan oleh penilaian praktis dan akal sehat.
[1] 2 Tim 2:2.
[2] 2 Tes 2:15.
[3] Lat. Council under Pope Martin I.
[4] Agustinus, C. Jul., L. II, N. 37.
[5] Kis 20:28.
[6] Newman, Develop. Of Christian Doctrine, Introd. NN. 17, 18 seq.
[7] 2 Tim 2:2.
[8] 2 Tim 4:4.
[9] 2 Tim 4:3.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar