Catholic Truth/Kebenaran Katolik::
De fide divina:
By divine faith. That is it must be believed. These are such things as Canons of Council of Trent, Vatican I, etc. declare a dogma.
Iman ilahi. Hal yang harus dipercaya. Ini adalah hal-hal yang dimaksud di Dewan Kanon Trent, Vatikan I, dll. Saat Mendeklarasikan dogma.
De fide Catolica:
The church has always believed it. It is part of the faith (e.g. the creed).
Gereja mengimaninya. Merupakan bagian dari iman (contoh :. Kredo).
De fide de finita:
The church has always believed it but once in history a Pope has made a definition. (e.g. 1854 – Pope Pius IX proclaimed dogma of Immaculate Conception-this was always believed but was now defined on exactly what this was supposed to mean.
Gereja mempercayainya, pernah sekali dalam sejarah seorang Paus membuat definisi. (mis. 1854 - Paus Pius IX memproklamirkan dogma Immaculate Conception - tadinya dipercaya tetapi kemudian didefinisikan dengan tepat apa yang seharusnya dimaksudkan.
Fide Proxima:
Close to the faith. It is not a dogma but the church has always believed it and it could be a dogma at any time. (e.g. Mary as Co-Redemptrix: Our Lady had first role in helping Our Lord in redemption, although only Jesus saves) This is a Sententia Fide Proxima, that is you may not deny it without fear of punishment from God.
Dekat dengan iman. Bukan dogma tapi gereja percaya dan bisa jadi dogma kapan saja. (mis. Mary sebagai Co-Redemptrix: Bunda Maria memiliki peran pertama dalam membantu Tuhan kita dalam penebusan, meskipun hanya Yesus yang menyelamatkan) Ini adalah Sententia Fide Proxima, artinya Anda tidak boleh menyangkalnya tanpa takut akan hukuman dari Tuhan.
Sententia Certa:
It is not actually of the faith but we are very sure about it.
Ini sebenarnya bukan dari iman tetapi kami sangat yakin tentang itu.
Sententia Communis:
We may not be very sure about it but everyone says so, not in sense of democracy but in sense of historical accordance. Most of saints, theologians, Popes throughout centuries agreed on it.
Kita mungkin tidak begitu yakin tentang hal itu tetapi banyak orang mengatakan demikian, bukan dalam hal demokrasi tetapi dalam arti sesuai dengan sejarah. Misalnya hal yang Sebagian besar orang suci, teolog, Paus selama berabad-abad menyetujuinya.
Sententia Probabalis:
It is probable. We don’t know exactly. (e.g. if a person in mortal sin dies and makes a perfect act of contrition the church teaches most probably he will be saved).
Hanya kemungkinan. Kami tidak tahu persis. (mis. jika seseorang dalam dosa berat mati dan melakukan tindakan penyesalan yang sempurna yang diajarkan gereja kemungkinan besar ia akan diselamatkan).
Silakan lakukan pengulangan dengan bahasa sendiri sebagai latihan :
De fide divina:
De fide Catolica:
De fide de finita:
Fide Proxima:
Sententia Certa:
Sententia Communis:
Sententia Probabalis:
Term tengah
adalah salah satu dari tiga term yang menyusun suatu silogisme yang benar (bdk.
Rapar, Jan Hendrik, Pengantar Logika : Asas-asas Penalaran Sistematis,
Yogyakarta, Penerbit Yayasan Kanisius, 1996, h. 48).
Contohnya :
Premis mayor
: Semua manusia akan mati.
Premis minor
: Orang Yunani adalah manusia.
Kesimpulan
: Orang Yunani akan mati.
Manusia adalah term tengah
yang menghubungkan antara premis mayor dan premis minor.
Duoay-Rheims :
“Who being the brightness of his glory,
and the figure of his substance”;
(http://www.intratext.com/IXT/ENG0011/_PZT.HTM )
KJV :
“Who being the brightness of his glory,
and the express image of his person”.
Textus
Receptus :
“ὃς ὢν ἀπαύγασμα
τῆς δόξης καὶ χαρακτὴρ τῆς ὑποστάσεως αὐτοῦ” (hos ōn apaugasma tēs doxēs kai charaktēr tēs hypostaseōs
autou)
http://biblos.com/hebrews/1-3.htm)
TB
LAI :
“Ia
adalah cahaya kemuliaan Allah dan gambar wujud Allah”
Tampaknya TB LAI mengabaikan kata hypostaseōs dan tidak menerjemahkannya, padahal
keberatan 2 di atas berangkat dari situ yaitu bahwa hypostaseōs Allah mempunyai gambaran sehingga
Allah disangka memiliki bentuk.
KJV menerjemahkannya sebagai person.
Dalam Konsili Nikea 325, hypostaseōs adalah sama artinya dengan ousia
(http://www.newadvent.org/cathen/07610b.htm ),
yaitu esensi (http://www.newadvent.org/cathen/07449a.htm ).
Kata hypostaseōs ini muncul dalam Surat-surat Rasul
Paulus (2 Kor 9:4; 11:17; Ibr 1:3-3:14) tapi tidak dalam pemahaman sebagai person.
Perbedaan pemahaman ini menimbulkan heresy dalam Kristologi (http://www.newadvent.org/cathen/07610b.htm ).
Materia : elemen yang membentuk atau
menyusun sesuatu
( Catholic Encyclopedia, Matter, http://www.newadvent.org/cathen/10053b.htm )
Forma : sesuatu yang
terlihat, yang tampak
( Catholoc Encyclopedia, Form, http://www.newadvent.org/cathen/06137b.htm )
Jiwa adalah forma substansial dari tubuh
manusia (ajaran St. Thomas ini ditetapkan sebagai harus diimani oleh Konsili
Vienne)(http://www.newadvent.org/cathen/06137b.htm ).
Forma substansial adalah suatu
principal dari tindakan, dan karenanya sesuatu ada sebagaimana ia ada. Jiwa
sebagai forma substantial membedakan tubuh hidup dengan tubuh mati, dan ia
membedakan antara tubuh hidup satu dengan lainnya.
Duoay-Rhimes :
“But
my just man liveth by faith; but if he withdraw himself, he shall not please my soul.”
(http://www.intratext.com/IXT/ENG0011/_P102.HTM )
Textus
Receptus :
“ὁ δὲ δίκαιός
ἐκ πίστεως ζήσεται καὶ ἐὰν ὑποστείληται οὐκ εὐδοκεῖ ἡ ψυχή μου
ἐν αὐτῷ” (ho de dikaios mou ek pisteōs zēsetai kai ean hyposteilētai ouk
eudokei hē psychē mou en autō)
(http://www.blueletterbible.org/Bible.cfm?b=Hbr&c=10&v=38&t=KJV#conc/38 , http://biblos.com/hebrews/10-38.htm )
Suppositum adalah sesuatu yang terindividualisasi, yang memiliki
sesuatu yang membedakannya dengan yang lain (bdk. Catholic Encyclopedia Person,
http://www.newadvent.org/cathen/11726a.htm,
dan Individual, Individuality,
http://www.newadvent.org/cathen/07762a.htm ).
Istilah tersebut digunakan baik
untuk makhluk berakal maupun tak berakal (rasional dan irasional). Untuk
makhluk berakal terdapat istilah sendiri yaitu “pribadi”.
Suppositum disini berarti hakikat ditambah dengan beberapa
komposisi lainnya, seperti manusia adalah kemanusiaannya ditambah beberapa hal
lain (bdk. St. Thomas Aquinas, Contra Gentiles I, ch.21,
http://josephkenny.joyeurs.com/CDtexts/ContraGentiles1.htm#21 )
“Aksiden” adalah suatu sifat tidak
khusus yang melekat pada genus atau species sehingga bukan merupakan bagian
yang hakiki. Contoh : buku yang berwarna hijau, rambut pada manusia, dan
sejenisnya (bdk. Rapar, Jan Hendrik, Pengantar
Logika : Asas-asas Penalaran Sistematis, Yogyakarta, Penerbit
Kanisius, 1996, h.21).
Keberadaan
: Keberadaan dapat dikelompokkan menjadi dua. Yang pertama adalah keberadaan
yang dapat dibagi-bagi menjadi beberapa kategori (bdk. St. Thomas Aquinas, De
Ente et Essentia,
http://josephkenny.joyeurs.com/CDtexts/DeEnte&Essentia.htm , art.4, dan Rapar, Jan Hendrik, Pengantar
Logika : Asas-asas Penalaran Sistematis,Yogyakarta, Penerbit
Kanisius, 1996, h.19).
Yang kedua adalah keberadaan yang
menandakan kebenaran suatu proposisi. Di sini suatu “privasi” (privation) atau
ketiadaan/kekurangan dan negasi (penyangkalan), dapat menjadi suatu keberadaan.
Contohnya adalah “kebutaan”. Kebutaan adalah sifat dari kurang atau tiadanya
kemampuan melihat dan negasi dari “bisa melihat” (buta=tidak bisa melihat). Di
sini proposisi “Kebutaan adalah sifat dari kurang atau tiadanya kemampuan
melihat” adalah benar, sehingga “kebutaan” adalah suatu keberadaan. Namun
demikian, “kebutaan” sebagai suatu keberadaan tidaklah memiliki esensi, karena
ia ada sebagai negasi atau privasi (privation).
Sedangkan keberadaan jenis pertama di atas adalah keberadaan yang memiliki
esensi, karena merupakan keberadaan nyata, dan bukan hanya sekedar suatu
proposisi.
Esensi : Esensi dipahami sebagai sesuatu
yang menjadikan sesuatu lainnya menjadi ada dan dapat dikelompokkan ke dalam
kelompok-kelompok tersendiri (bdk. St. Thomas Aquinas, De
Ente et Essentia,
http://josephkenny.joyeurs.com/CDtexts/DeEnte&Essentia.htm , art.6). Sebagai contoh,
“kemanusiaan” menjadikan “manusia” ada dan berbeda dengan kelompok binatang
lainnya.
Esensi hanya ada dalam keberadaan jenis
pertama, karena keberadaan ini adalah keberadaan nyata, bukan hanya sekedar
suatu proposisi (ibid.
art.5).
catatan tambahan :
Sesuatu diluar esensi menjadi ada karena dua hal,
yaitu dijadikan ada oleh esensi itu sendiri (seperti tertawa yang ada karena
merupakan bagian dari kemanusiaan), atau disebabkan oleh agen eksterior.
Sekarang, Allah tidak dijadikan ada oleh agen eksterior karena Allah adalah
Penyebab pertama, dan esensi Allah (yaitu ke-Allahan-Nya) tidak bisa menjadi
sebab dari keberadaan-Nya, karena untuk menjadi sebab maka sesuatu harus ada
terlebih dahulu. Maka keberadaan Allah adalah sama dengan esensi-Nya (bdk.
Garrigou-Lagrange, Reginald, O. P., The One God — A Commentary on the First
Part of St Thomas' Theological Summa, http://www.thesumma.info/one/one39.php)
Esensi (contohnya : kemanusiaan) berada
dalam potensialitas, dan hanya menjadi actual jika ia berada dalam suatu
keberadaan (contohnya : manusia). Tapi dalam Allah tidak ada potensialitas.
Maka esensi Allah (ke-Allahan-Nya) tidak muncul dari aktualitas keberadaan-Nya,
tapi selalu ada dalam aktualitas. Ini berarti esensi Allah adalah identik
dengan keberadaan-Nya (bdk. Garrigou-Lagrange, Reginald, O. P., The One God — A Commentary on the First Part of St Thomas'
Theological Summa,
http://www.thesumma.info/one/one40.php).
Substansi : adalah suatu keberadaan yang
tinggal di dalam dirinya sendiri, dan menjadi subjek dari segala aksiden dan
perubahan aksidental
(Catholic Encyclopedia, Substance, http://www.newadvent.org/cathen/14322c.htm ).
Contohnya adalah kayu. Kayu dapat
utuh, terpotong-potong, kering ataupun basah, dan semuanya itu adalah kayu
dengan segala aksiden dan perubahan aksidentalnya. Tapi jika kayu terbakar
habis sehingga hanya menyisakan abu, maka substansi kayu sudah tidak ada dalam
abu tersebut.
Sebagai perbandingan dengan suppositum,
maka suppositum adalah substansi yang terindividualisasi (bdk. Catholic Encyclopedia Personhttp:
//www.newadvent.org/cathen/11726a.htm ). Misalnya kayu ini dan kayu itu
masing-masing adalah suppositum sedangkan substansinya adalah kayu.
Genus adalah jenis yang merupakan
himpunan benda, perorangan atau hal lainnya yang meliputi kelompok-kelompok terbatas
yang berada di bawahnya (bdk. Rapar, Jan Hendrik, Pengantar
Logika : Asas-asas Penalaran Sistematis, Yogyakarta, Penerbit
Yayasan Kanisius, 1996, h. 20).
Species adalah kelompok-kelompok
terbatas di bawah genus (ibid.).
Hubungan genus-species adalah genus selalu meliputi species, sedangkan species
tersebut dapat menjadi genus bagi kelompok-kelompok di bawahnya. Contoh
(Stanford Encyclopedia of Philosophy, Aristotle's Categories, http://plato.stanford.edu/entries/aristotle-categories/:
Substansi :
- Tak tergerakkan
- Tergerakkan :
- Bersifat kekal
- Bersifat tidak kekal :
- Mati
- Hidup :
- Rasional
- Irasional
Suatu genus ditentukan oleh perbedaannya
dengan genus lainnya. Jadi genus selalu berada dalam potensialitas untuk
ditentukan oleh factor pembedanya. Maka Allah yang adalah aktualitas murni tidak
dapat dimasukkan dalam suatu genus (bdk. Garrigou-Lagrange, Reginald, O. P., The One God — A Commentary on the First Part of St Thomas'
Theological Summa, http://www.thesumma.info/one/one41.php).
Jika
“keberadaan” adalah suatu genus, maka ia harus memiliki pembeda dengan genus
lain. Namun “ketidakberadaan” tidak dapat digunakan sebagai pembanding terhadap
“keberadaan” karena hal tersebut adalah absurd (bdk. Stanford Encyclopedia of
Philosophy, Aristotle's Categories, http://plato.stanford.edu/entries/aristotle-categories/ ). Maka “keberadaan” bukanlah genus.
Allah bukanlah sarana ukur yang homogen,
tetapi heterogen, karena Ia adalah keberadaan yang sempurna, yang mana segala
keberadaan berusaha mendekati kesempurnaan-Nya (bdk. Garrigou-Lagrange,
Reginald, O. P., The One God — A Commentary on the First
Part of St Thomas' Theological Summa, http://www.thesumma.info/one/one41.php)
Kepada suatu keberadaan yang absolute
dan tidak menerima keberadaannya dari apapun tidak dapat ditambahkan apapun ke
dalamnya. Tapi Allah adalah keberadaan semacam itu. Maka dalam Allah tidak
dapat ditambahkan aksiden apapun (bdk. Garrigou-Lagrange, Reginald, O. P., The One God — A Commentary on the First Part of St Thomas' Theological
Summa, http://www.thesumma.info/one/one42.php).
Artikel 8 ini adalah untuk menjawab
pandangan bahwa Allah dapat bersatu dengan sesuatu lainnya dan secara terpisah
menjadi jiwa dari sesuatu tersebut, suatu pandangan yang dianut dalam
Pantheism. Paham ini mengimani bahwa Allah adalah jiwa dari seluruh dunia (bdk.
Catholic Encyclopedia Pantheism, http://www.newadvent.org/cathen/11447b.htm ). Namun ini tidak mungkin karena jika
Allah adalah jiwa dari seluruh dunia, maka Ia menjadi bagian dari esensi
seluruh dunia. Hal ini tidak mungkin karena jika menjadi bagian, itu berarti
Allah membentuk sesuatu yang lebih sempurna, lebih utama dari-Nya, yang adalah
tidak mungkin.
Namun di lain pihak, dalam pribadi
Kristus terdapat hypostatic union (persatuan hakikat, nature).
Ini bukan berarti hakikat (nature)
Ilahi menjadi bagian dari keseluruhan pribadi Kristus, melainkan semacam
mengikat hakikat manusia. Dengan demikian dalam Inkarnasi, Sabda tidak menjadi
bagian dari pribadi Kristus, tapi mengambil alih jiwa dan raga manusia Yesus
(bdk. Garrigou-Lagrange, Reginald, O. P., The One God — A Commentary on the First
Part of St Thomas' Theological Summa, http://www.thesumma.info/one/one43.php,
dan Glenn, Paul Joseph, Mgr., A Tour of the Summa, http://www.catholictheology.info/summa-theologica/summa-part3.php?q=46 ).
Seperti dijelaskan di P.3, Art.2 di
atas, Allah terdiri dari forma tapi tanpa materia sehingga tidak merupakan
bagian dari suatu komposit.
Forma eksemplar : suatu forma yang
melahirkan forma serupa lainnya. Keserupaan ini bisa ada dua jenis yaitu secara
esensi alami, seperti manusia melahirkan manusia dan api menghasilkan api, atau
secara esensi intelek, seperti rancangan dalam pikiran seorang arsitek melahirkan
rumah yang serupa dengan rancangannya (bdk. Catholic Encyclopedia, Cause, http://www.newadvent.org/cathen/03459a.htm#fn-c ). Sabda sebagai forma eksemplar ini
akan lebih jelas pembahasannya dalam Risalah tentang Tritunggal Maha Kudus.
Segala kesempurnaan ada dalam Allah tanpa
mengganggu kesederhanaan-Nya. Ini seperti cahaya putih yang di dalamnya
terdapat kesempurnaan warna-warna pelangi. Juga bahwa hal-hal yang lebih rendah
selalu ditemukan sebagai satu kesatuan dalam hal yang lebih tinggi, seperti
jiwa manusia yang meskipun sederhana sekaligus di dalamnya terkandung hidup,
indera dan intelek (bdk. Garrigou-Lagrange, Reginald, O. P., The One God — A Commentary on the First Part of St Thomas'
Theological Summa, http://www.thesumma.info/one/one45.php )
“argumentum a fortiori” adalah suatu argument
berdasarkan alasan yang lebih kuat. Contohnya jika manusia dinyatakan
meninggal, maka seseorang dapat menyatakan bahwa orang yang meninggal tersebut
tidak lagi bernafas ( http://en.m.wikipedia.org/wiki/A_fortiori_argument )
Sesuatu yang hanya sekedar ada (simply
be) disebut baik secara relative, karena tingkat kebaikannya diukur berdasar
sesuatu di luar dirinya. Contohnya anggur. Dalam keberadaannya ia adalah
sungguh anggur bukan cuka, tapi dalam kebaikannya ia diukur berdasar mutunya
(tua atau baru saja difermentasi). Demikian juga sebaliknya, sesuatu yang
sekedar baik (simply good), contohnya tentang hal matang pada buah, dikatakan memiliki
keberadaan relative, karena ia merupakan suatu aksiden dari suatu substansi,
jadi keberadaannya tergantung dari keberadaan substansi (bdk.
Garrigou-Lagrange, Reginald, O. P., The One God — A Commentary on the First
Part of St Thomas' Theological Summa, http://www.thesumma.info/one/one46.php )
Materia utama (materia prima) adalah suatu
potensialitas murni. Ia tidak memiliki aktualitas, sehingga disebut
“non-being”, karena sesuatu disebut ada jika ia dalam keadaan actual. Namun
materia utama tetap memiliki keberadaan (existence)
sebagai keberadaan potensial. Contohnya adalah “saya ada di samping meja”. Saat
saya ada jauh dari meja, maka saya memiliki potensialitas untuk berada di
samping meja. Potensialitas itu menjadi aktualitas saat saya sungguh ada di
samping meja. Dari sini bisa dilihat bahwa materia utama memiliki kecenderungan
terhadap hal baik, yaitu keberadaan.
Dalam pikiran, sesuatu bisa ada tanpa
harus memiliki sifat baik ataupun tidak baik. Hal sebaliknya tidaklah bisa
terjadi karena sesuatu harus ada terlebih dahulu baru ia memiliki sifat baik
ataupun tidak baik, bahkan dalam pikiran.
Tentang causes : Dalam setiap perubahan, terdapat 4 aspek
(http://www.newadvent.org/cathen/03459a.htm#scholastic):
1. Sesuatu yang diubah;
2. Aturan atau cara perubahannya;
3. Agen aktif yang melakukan perubahan;
4. Alasan dari perubahan.
Sekarang ambil contoh perubahan
dari lilin mainan berbentuk kubus menjadi berbentuk bulatan. Lilin mainan
adalah sesuatu yang diubah. Kubus lilin permainan menjadi ada secara material
karena ada lilin permainan. Maka lilin permainan adalah material
cause-nya. Lalu cara perubahannya adalah dari bentuk satu (kubus) ke bentuk
lain (bulatan). Maka bulatan, yang menyebabkannya berubah/berbeda
dari keadaan awalnya, adalah formal cause. Orang yang
melakukan perubahan adalah efficient cause, atau moving
cause-nya. Lalu niat orang tersebut untuk menjadikan lilin
plastik dari bentuk kubus ke bentuk bulatan adalah final cause-nya.
St. Thomas Aquinas menggunakan istilah subsist untuk
merujuk pada sesuatu yang ada bersama dengan sesuatu lainnya. Sebagai contoh,
dalam pribadi Yesus Kristus terdapat Sabda dan tubuh manusiawinya. Dengan
demikian St. Thomas menyebut bahwa Sabda subsist dalam pribadi
manusia Yesus Kristus.
Aksiden (accident) : adalah suatu sifat tidak khusus yang melekat
pada genus atau species sehingga bukan merupakan bagian yang hakiki. Contoh :
buku yang berwarna hijau, rambut pada manusia, dan sejenisnya (bdk. Rapar, Jan
Hendrik, Pengantar Logika : Asas-asas Penalaran Sistematis, Yogyakarta,
Penerbit Kanisius, 1996, h.21).
Aktualitas (actuality, actus) : adalah suatu keberadaan yang nyata dan merupakan
kepenuhan dari potensialitas (bdk. Catholic Encyclopedia, Actus et Potentia,
http://www.newadvent.org/cathen/01124a.htm ).
Tentang causes :
Dalam setiap perubahan, terdapat 4 aspek
(http://www.newadvent.org/cathen/03459a.htm#scholastic):
1. Sesuatu
yang diubah (what) à berkaitan
dengan material cause;
2. Cara perubahannya (how) à berkaitan dengan formal cause;
3. Agen
aktif yang melakukan perubahan (‘who’) à berkaitan dengan efficient cause atau moving
cause;
4. Alasan
dari perubahan (why) à berkaitan
dengan final cause.
Sekarang ambil contoh
perubahan dari lilin mainan berbentuk kubus menjadi berbentuk bulatan. Lilin
mainan adalah sesuatu yang diubah. Kubus lilin permainan menjadi ada secara
material karena ada lilin permainan. Maka lilin permainan adalah material
cause-nya. Lalu cara perubahannya adalah dari bentuk satu (kubus) ke
bentuk lain (bulatan). Maka bulatan, yang menyebabkannya berubah/berbeda dari
keadaan awalnya, adalah formal cause. Orang yang melakukan
perubahan adalah efficient cause, atau moving
cause-nya. Lalu niat orang tersebut untuk menjadikan lilin plastik dari
bentuk kubus ke bentuk bulatan adalah final cause-nya.
Esensi (essence) : adalah sesuatu yang menjadikan sesuatu lainnya
menjadi ada dan dapat dikelompokkan ke dalam kelompok-kelompok tersendiri (bdk.
St. Thomas Aquinas, De Ente et Essentia,
http://josephkenny.joyeurs.com/CDtexts/DeEnte&Essentia.htm
, art.6). Sebagai contoh, “kemanusiaan” menjadikan “manusia” ada dan berbeda
dengan kelompok binatang lainnya.
Forma (form) : adalah sesuatu yang terlihat, yang tampak (
Catholic Encyclopedia, Form, http://www.newadvent.org/cathen/06137b.htm )
Genus : adalah jenis yang merupakan himpunan benda,
perorangan atau hal lainnya yang meliputi kelompok-kelompok terbatas yang
berada di bawahnya (bdk. Rapar, Jan Hendrik, Pengantar Logika : Asas-asas
Penalaran Sistematis, Yogyakarta, Penerbit Yayasan Kanisius, 1996, h. 20).
Kausa efisien (efficient cause) : adalah penyebab yang menghasilkan efek yang
berbeda dari dirinya sendiri ( Catholic Encyclopedia, Cause,
http://www.newadvent.org/cathen/03459a.htm )
Materia (matter) : adalah elemen yang membentuk atau menyusun
sesuatu ( Catholic Encyclopedia, Matter, http://www.newadvent.org/cathen/10053b.htm )
Materia
Utama (primary matter): banyak yang berpendapat bahwa
yang dimaksud oleh St. Thomas Aquinas sebagai materia utama adalah semacam
substansi yang lebih kecil dari atom, yang membentuk segala keberadaan fisik.
Potensialitas (potentiality, potentia) : adalah suatu sifat yang terbuka terhadap perubahan.
Potensialitas mengarah pada keberadaan yang akan ada (bdk. Catholic
Encyclopedia, Actus et Potentia, http://www.newadvent.org/cathen/01124a.htm ).
Substansi (substance) : adalah suatu keberadaan yang tinggal di dalam dirinya
sendiri, dan menjadi subjek dari segala aksiden dan perubahan aksidental
(Catholic Encyclopedia, Substance, http://www.newadvent.org/cathen/14322c.htm ).
Contohnya adalah kayu. Kayu dapat utuh, terpotong-potong, kering ataupun basah,
dan semuanya itu adalah kayu dengan segala aksiden dan perubahan aksidentalnya.
Tapi jika kayu terbakar habis sehingga hanya menyisakan abu, maka substansi
kayu sudah tida ada dalam abu tersebut.
Suppositum (pl. : supposita) : adalah substansi yang terindividualisasi, yang
memiliki sesuatu yang membedakannya dengan yang lain (bdk. Catholic
Encyclopedia Person, http://www.newadvent.org/cathen/11726a.htm,
dan Individual, Individuality, http://www.newadvent.org/cathen/07762a.htm ).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar