Saat ini saya sedang mengikuti diskusi antara katolik dan orthodoks, saya ingat-ingat rasanya saya pernah copas tulisan Deusvult di www.ekaristi.org Jadi saya merasa terdorong untuk membagikannya di sini, kalau mau lengkap sialakan search di ekaristi org saja.
Semoga bermanfaat ....
Nanti dibawah
aku akan juga terjemahkan detail kejadian seputar skisma Photius dan Michael
Caerularius yang merupakan dua peristiwa yang sangat mempengaruhi Skisma Timur
ini.
Skisma Timur
Sejak masa
Diotrephes (3Yoh 1:9-10) telah terjadi skisma-skisma secara
berkelanjutan, yang paling banyak adalah di Timur. Arianisme menyebabkan sebuah skisma yang
besar; skisma pihak Nestorian dan Monophysite masih berlangsung.
Namun yang dimaksudkan "Skisma Timur" biasanya adalah pertikaian memprihatinkan yang menimbulkan perpisahan dengan kebanyakan umat Kristen Timur, skisma yang memunculkan
Gereja yang terpisah yang disebut "Gereja Orthodok."
I. PERSIAPAN YANG LAMA BAGI TERJADINYA SKISMA
Skisma Timur tidak bisa dianggap sebagai akibat dari satu buah pertikaian.
Tidaklah benar bahwa setelah perdamaian sempurna berabad-abad, lalu karena satu
perselisihan, hampir setengah kekristenan jatuh. Peristiwa seperti itu pastilah
tidak ada duanya dalam sejarah, kecuali ada suatu bidaah besar. Sementara pada
perselisihan yang menimbulkan Skisma Timur, pada awalnya tidak ada ke-bidaah-an
dalam pertikaian yang terjadi, ataupun ada ketidaksetujuan yang tak ada harapan
untuk terselesaikan mengenai Iman. Kasusnya adalah sebuah skisma murni, sebuah
perpecahan persekutuan bersama yang diakibatkan oleh kemarahan dan perasaan tidak suka, bukan karena
teologi yang berlawanan. Jikalau sebelumnya semua baik-baik saja maka
tidaklah mungkin kalau ratusan uskup tiba-tiba memecahkan diri dari persekutuan
dengan kepala mereka. Skisma besar tersebut (ie. Skisma Timur) adalah buah dari
proses yang gradual [catatan DeusVult:
"gradual" = "meningkat atau bertambah dengan derajat yang
reguler dan secara terus menerus"]. Penyebab
awalnya harus dicari berabad-abad sebelum ada kecurigaan akan terjadinya
skisma. Ada sejumlah skisma sementara yang mengendorkan ikatan persekutuan dan
mempersiapkan jalan bagi terjadinya Skisma Timur. Dua perpecahan besar (dilakukan
Photius dan Michael Caerularius) yang diingat sebagai asal-muasal dari
keadaan sekarang ini, telah telah diperbaiki setelah kejadiannya. Secara lebih
tepat skisma yang terjadi pada saat ini bisa dilacak saat pihak Timur menolak
Konsili Florence pada 1472. Jadi, meskipun nama Photius dan Caerularius
memang dapat dikaitkan dengan bencana skisma, karena pertikaian dengan keduanya
merupakan unsur utama dari cerita mengenai Skisma Timur, namun tidak boleh
dipikirkan bahwa mereka adalah penyebab skisma satu-satunya ataupun
penyebab skisma yang pertama-tama. Kalau kita mengelompokkan cerita mengenai
asal-muasal Skisma Timur dengan memulai dari masa Photius dan masa Caerularius
maka kita harus menjelaskan penyebab-penyebab awal yang mempersiapkan
terjadinya peristiwa tersebut (ie. peristiwa
yang berkenaan dengan Photius dan peristiwa yang berkenaan dengan Caerularius),
dan kita harus mencatat bahwa setelah terjadinya kedua peristiwa tersebut ada
kesatuan sementara.
Penyebab awal dari semuanya adalah pengasingan gradual antara Timur dan Barat.
Secara pokok pengasingan ini tidak terelakkan. Masyarakat Timur dan Barat mengelompokkan diri kepada dua pusat yang berbeda sebagai pusat langsung. Mereka menggunakan ritus yang berbeda dan mempunyai bahasa yang berbeda. Kita harus
membedakan posisi Paus sebagai seorang kepala kasat mata atas seluruh
kekristenan dari tempatnya sebagai Patriakh
Barat. Posisi tersebut dan pendapat bahwa semua uskup setara
dalam jurisdiksi adalah dua hal yang sama sekali
tidak diketahui pada masa Gereja awal. Sejak awal
kita menemukan sebuah hierarkhi ber-gradual dari Uskup-uskup metropolitan
[sekarang disebut "Uskup Agung"], exarches [bentuk
plural dari "exarch" yang berarti metropolitan alias Uskup Agung yang
yurisdiksinya melampaui keuskupannya] dan primat [yaitu uskup yang mempunyai
otoritas superior tidak hanya atas uskup-uskup dalam provinsinya, seperti yang
dipunyai seorang metropolitan alias Uskup Agung, tapi juga otoritas atas
beberapa provinsi dan beberapa metropolitan]. Kita sejak
awal kita menemukan gagasan bahwa seorang uskup
mewarisi kewibawaan pendiri tahtanya, sehingga uskup yang merupakan
pengganti Rasul mempunyai hak dan keistimewaan khusus [ie. privilege].
Adanya hirarkhi yang gradual ini penting untuk menjelaskan posisi Paus.
Dia bukanlah superior langsung dari setiap uskup; dia adalah kepala
dari sebuah organisasi kompleks dan detail, bagaikan puncak dari sebuah pyramid yang bersusun meruncing. Pemikiran umat Kristen awal adalah bahwa para patriakh adalah kepala-kepala kekristenan; lalu lebih lanjut para umat Kristen tahu bahwa kepala
Patriakh berada di Roma. Namun kepala langsung tiap-tiap Gereja
adalah para Patriakh. Setelah Konsili Chalcedon (451) kita harus menghitung lima ke-patriakh-an: Roma, Constantinople,
Alexandria, Antiokia dan Yerusalem.
Perbedaan
antara Timur dan Barat, pertama-tamanya, adalah bahwa Paus di Barat bukan hanya kepala imam tertinggi, tapi
juga patriakh local. Bagi umat Kristen Timur dia adalah seorang
otoritas yang jauh dan asing, tempat
banding terakhir bagi pertanyaan-pertanyaan
serius, setelah patriakh-patriakh mereka sendiri tidak mampu menjawabnya.
Namun bagi umat Latin di Barat, dia adalah kepala langsung, otoritas langsung atas metropolitan-metropolitan [ie.uskup agung – uskup agung] mereka,
banding pertama dari uskup-uskup mereka. Sehingga semua kesetiaan di Barat
langsung menuju ke Roma. Roma adalah Bunda Gereja dalam banyak artian, adalah karena misionaris yang dikirim dari
Romalah Gereja-Gereja local Barat didirikan. Sebaliknya kesetiaan umat Kristen Timur
pertama-tama mengarah ke patriakh mereka
sendiri, sehingga selalu ada bahaya terbaginya rasa kesetiaan kalau sang patriakh bertikai dengan
Paus. Hal ini tidak terjadi di Barat. Oleh karena itu, kejatuhan dari
ratusan uskup Timur, kejatuhan jutaan umat Kristen sederhana, bisa dilacak oleh
skisma yang dilakukan para patriakh. Bila keempat patriakh Timur menyetujui
suatu tindakan maka bisa disimpulkan bahwa
metropolitan-metropolitan [ie. uskup agung - uskup
agung] dan uskup-uskup mereka akan mengikuti
para patriakh dan bahwa romo-romo dan umat-umat akan mengikuti uskup-uskup
mereka. Jadi organisasi Gereja, dalam satu cara,
telah mempersiapkan landasan bagi sebuah kontras (yang mungkin akan menjadi
suatu rivalitas) antara patriak pertama di Barat bersama dengan pengikut
Latinnya yang luas, dan dengan para Patriakh Timur dengan pengikut mereka.
Hal lebih
lanjut yang patut diketahui adalah perbedaan
ritus dan bahasa. Masalah ritus mengikut kepada suatu ke-patriakh-an, dan hal ini
menciptakan suatu perbedaan yang dengan
mudah dipahami oleh umat Kristen sederhana. Seorang awam Syria, Yunani atau
Mesir mungkin tidak memahami mengenai hukum kanon yang berkenaan dengan para
patriakh, namun dia tidak mungkin tidak menyadari bahwa seorang uskup atau
romo Latin yang kebetulan sedang bepergian merayakan Misteri Kudus dalam cara
yang sangat aneh, dan kemudian me-label uskup/romo latin tersebut sebagai orang
asing (yang mungkin mencurigakan). Sementara itu di Barat, Ritus Roma
pertama-tama mempengaruhi [peribadatan umat], lalu kemudian menggantikannya. Sementara
di Timur secara gradual terjadi hal yang sama berkenaan dengan Ritus Byzantine..
Jadi kita punya bibit atas dua kesatuan. Tidak diragukan lagi kedua belah pihak paham bahwa ritus yang
lain merupakan cara yang sah dalam merayakan misteri yang sama, namun perbedaan
yang ada membuat sulit pengucapan doa bersama. Kita melihat bahwa perkara
ini merupakan sebuah perkara yang penting dalam sejumlah tuduhan yang
berkenaan dengan masalah-masalah ritual yang diajukan oleh Caerularius
ketika dia mencari-cari dasar untuk pertikaian.
Bahkan detail
atas bahasa merupakan sebuah unsur penyebab perpisahan [antara Barat
dan Timur]. Memang benar bahwa Timur tidak pernah
seluruhnya terpengaruh budaya hellenistik sebagaimana Barat pun tidak pernah sepenuhnya terpengaruh budaya Latin. Meskipun demikian, Yunani memang telah menjadi bahasa
internasional di Timur. Pada konsili-konsili di Timur semua uskup berbicara bahasa
Yunani. Jadi sekali lagi kita mempunyai dua kesatuan dalam hal bahasa — Yunani
bagi Timur dan Latin bagi Barat. Sulit untuk membayangkan bagaimana
detail mengenai bahasa ini menjadi sebuah sebab dari pengasingan, namun memang tidak
diragukan lagi banyak kesalahpahaman timbul dan berkembang hanya karena
orang-orang tidak bisa memahami satu sama lain. Karena saat
perselisihan-perselishan ini timbul, masih sangat sedikit orang yang mampu
berbahasa asing. Baru ketika jaman Renaissance timbul-lah masa dimana tata
bahasa dan kamus-kamus yang mempermudah [pembelajaran bahasa asing]. St Gregorius I (d. 1604) merupakan seorang
duta kepausan di Constantinople, namun tampaknya dia tidak mempelajari
bahasa Yunani; Paus Vigilius (540-55) menghabiskan delapan tahun yang tak
bahagia di Constantinople namun dia tidak pernah
belajar bahasa Yunani. Photius merupakan seorang pelajar dengan pengetahuan mendalam pada
jamannya, namun dia tidak paham Latin. Ketika Leo IX (memerintah 1048-54) menulis
dalam bahasa Latin kepada Peter III dari Antiokia, Peter III terpaksa menyerahkan surat tersebut ke Constantinople
untuk mengetahui isinya. Kasus-kasus tersebut terjadi secara berkelanjutan dan
membingungkan semua hubungan Timur dan Barat. Pada
konsili-konsili, duta-duta kepausan memberi
sambutan kepada para bapa konsili dalam bahasa Latin dan tidak seorang pun yang memahami
mereka; ketika konsili berjalan dengan menggunakan bahasa Yunani
sebagai bahasa pengantar, para duta kepausan pun bertanya-tanya apa yang
terjadi. Jadi muncul kecurigaan dari kedua belah pihak. Penerjemah
terpaksa dipanggil; namun apakah versi mereka bisa dipercaya? Kaum Latin,
khususnya, punya kecurigaan yang sangat dalam atas rancangan kaum yunani dalam
perkara ini. Para duta diminta untuk menandatangani dokumen yang mereka sendiri
tidak paham atas dasar jaminan bahwa tidak ada satupun [dalam dokumen tersebut]
yang mengkompromi [posisi kepausan]. Dan hal-hal kecil membuat begitu banyak
perbedaan. Contoh yang paling terkenal, bertahun-tahun kemudian, adalah dekrit
[Konsili ekumenis] Florence dan bentuk-bentuk kath on tropon, quemadmodum,
menunjukkan seberapa banyak kebingungan yang bisa disebabkan oleh penggunaan
dua bahasa.
Gabungan
penyebab-penyebab tersebut menghasilkan dua bagian kekristenan, Timur
satu bagian dan Barat satu bagian. Masing-masing
terbedakan dari yang lainnya dalam banyak cara.
Penyebab-penyebab tersebut memang tidaklah cukup untuk [dijadikan penyebab]
atas perpecahan dua bagian tersebut; hanya saja, yang bisa kita catat adalah adanya
suatu kesadaran akan keberadaan dua entitas, tertorehkannya suatu garis
batas untuk pertama kali, dimana rivalitas, kecemburuan, kebencian bisa dengan
mudah memotong tepat digaris batas kedua pihak.
II. PENYEBAB PENGASINGAN
Rivalitas dan
kebencian muncul karena beberapa sebab. Tidak diragukan lagi sebab pertama,
dan merupakan akar dari semua pertikaian, adalah kenaikan posisi
Tahta Constantinople. Kita sering melihat bagaimana empat ke-patriakh-an
Timur, dalam batasan tertentu, dikontraskan dengan kesatuan tunggal
Barat. Kalau saja tetap ada kesatuan seperti itu di Timur, maka masalah
yang lebih jauh tidaklah perlu terjadi. Apa yang memperkuat ke-kontras-an
[antara empat ke-patriakh-an Timur dan satu ke-patriakh-an Barat] dan yang
membuatnya menjadi sebuah rivalitas adalah kenaikan secara gradual otoritas
Patriakh Constantinople atas ketiga ke-patriakh-an
lainnya. Adalah Constantinople yang mengikat
Timur menjadi satu tubuh, menyatukannya
melawan Barat. Adalah upaya terus
menerus Patriakh sang kaisar [ie. Pariakh Constantinople] untuk menjadi semacam paus Timur,
sehingga menjadi sederajat mungkin dengan [Paus Roma], yang merupakan sumber sejati dari semua masalah..
Pada satu sisi, kesatuan [Gereja Timur] dibawah Constantinople telah membuat
semacam Gereja rival yang bisa ber-oposisi dengan Roma; di sisi lain,
[dalam seluruh upaya] sang Uskup Byzantine [untuk memajukan posisi Contantinople], mereka menemukan hanya
satu penghalang nyata, yaitu oposisi terus menerus dari para Paus.
Sementara itu sang kaisar adalah teman dan sekutu
utama mereka selalu. Dan memang kebijakan sentralisasi kaisar
yang menjadi penyebab bagi rancangan untuk menjadikan Tahta Constantinople
sebagai suatu pusat. Patriakh-patriakh lain yang posisinya diubah bukanlah lawan yang berbahaya.
Dilemahkan oleh pertikaian berkenaan dengan bidah monophysite yang tak
berhenti, kehilangan kebanyakan gembala jagaan, lalu kemudian dibuat berada
dalam kondisi tanpa pengharapan oleh karena penaklukan Moslem, uskup-uskup
Aleksandria dan Antiokia tidak dapat mencegah
tumbuhnya Constantinople. Dan memang lambat laun mereka kemudian menerima degredasi [posisi] mereka dengan rela dan menjadi ornament tak bergerak di Istana
Patriakh yang baru. Yerusalem pun dihantam oleh
skisma-skisma dan Moslem, dan Yerusalem adalah
sebuah ke-patriakh-an baru yang hanya mempunyai hak-hak yang paling kecil dari kelima ke-patriarkh-an.
Di sisi
lain, dalam setiap langkah kedepan Constantinople, selalu ada oposisi dari
Roma. Ketika tahta baru tersebut [ie.Constantinople] mendapatkan kehormatan
titular [ie. dalam namanya saja] pada Konsili Pertama Constantinople (381,
kanon 3), Roma menolak menerima kanon tersebut (ketika itu Roma
tidak terwakili di konsili tersebut) [Constantinople
I tahun 381 pada awalnya adalah sekedar konsili local Timur yang bahkan tidak
dihadiri semua pihak Timur sendiri]; ketika
konsili ekumenis chalcedon pada 451 menjadikan Constantinople sebagai
ke-patriakh-an sejati (kanon 28) para duta dan Paus sendiri menolak
untuk mengakui apa yang telah dilakukan [catatan DeusVult: ini karena keputusan untuk mengesahkan kanon
tersebut dilakukan setelah para duta kepausan meninggalkan konsili untuk
kembali menuju Roma]; saat sang penerus dari para
uskup sufragan yang dulunya mematuhi Heraclea [Constantinople dulunya
memang tahta sufragan dibawah Heraclea], yang begitu teracuni oleh kenaikan posisinya, mengambil
gelar "patriakh ekumenis," lagi-lagi Paus Roma Kuno yang dengan
tegas mengecam kesombongan mereka. Oleh karena itu kita bisa memahami
rasa iri dan kebencian dalam pikiran sang patriakh baru [ie.
Patriakh Constantinople] sampai-sampai mereka bersedia untuk menghempaskan
sepenuhnya suatu otoritas yang selalu berada dihadapan setiap langkah
mereka. Fakta bahwa pihak-pihak Timur lainnya bergabung dengan mereka
[ie. para Patriakh Constantinople] merupakan buah dari
otoritas yang berhasil mereka ambil alih dari uskup-uskup Timur lainnya. Jadi kita tiba pada pertimbangan penting dalam permasalahan ini.
Skisma Timur bukanlah sebuah gerakan yang muncul di seluruh Timur;
skisma Timur bukanlah sebuah pertikaian antara dua institusi besar;
Skisma Timur secara esensial adalah pemberontakan
satu tahta, yaitu Constantinople, yang berkat
perlakuan kaisar kepadanya sebagai anak emas, berhasil mendapatkan
suatu pengaruh yang besar sehingga berkat pengaruh itu Constantinople mampu
menggeret para patriakh lain [yang tak senang dengan pengeretan tersebut]
kedalam skisma.
Kita telah
melihat bagaimana sufragan-sufragan dari para patriakh
secara alami akan mengikuti kepala mereka. Kalau saja Constantinople berdiri
sendiri maka skisma yang dilakukannya hanya akan menimbulkan pengaruh yang relatif kecil. Apa yang membuat situasi menjadi begitu serius adalah
fakta bahwa pihak Timur lain pada akhirnya bergabung bersamanya. Ini
dikarenakan upaya Constantinople yang sangat sukses dalam menempatkan diri
sebagai kepala Tahta di Timur. Jadi tindakan menaikkan posisi yang
dilakukan Constantinople secara tak diragukan lagi adalah penyebab dari
skisma besar tersebut [ie. Skisma Timur]. Tindakan tersebut membuatnya
berkonflik dengan Roma dan membuat sang patriakh Byzantine [ie. Patriakh
Constantinople] hampir secara tak terelakkan menjadi musuh Paus; dan
pada saat yang sama [kenaikan posisi tersebut] membuatnya berada dalam suatu
posisi dimana kebenciannya berarti kebencian seluruh pihak Timur.
Atas apa yang
terjadi, kita harus ingat bagaimana sepenuhnya tidak berdasar, benar-benar baru
[ie. tidak pernah ada sebelumnya], dan tidak kanonik upaya Constantinople untuk
meningkatkan statusnya. Tahta Constantinople bukanlah tahta apostolik, tidak
mempunyai tradisi mulia, tidak punya alasan apapun atas pengambilalihannya
atas posisi pertama di Timur, dimana pengambilalihan tersebut hanyalah
akibat sampingan dari kegiatan politik sekuler. Uskup histories pertama
dari Byzantium [ie. Constantinople]
adalah Metrophanes (312-25); dia bahkan bukan seorang metropolitan
[ie. uskup agung], rankingnya adalah ranking terendah yang bisa dimiliki
seorang uskup dari sebuah keuskupan, seorang sufragan dari Heraclea. Hanya itulah seharusnya yang bisa dijabat oleh para
penerusnya. Para penerusnya seharusnya tidak memiliki kuasa untuk
mempengaruhi siapapun kalau saja kaisar Constantin tidak memilih kota mereka
sebagai ibukotanya. Selama perkembangan [statusnya] para uskup
Constantinople tidak menyembunyikan diri dalam mendasarkan klaim mereka tidak
pada dasar apapun kecuali pada fakta bahwa mereka sekarang adalah uskup dari
ibukota negara. Adalah sebagai uskup-uskup
kekaisaran, sebagai fungsionaris istana kekaisaran,
mereka ini naik kepada tempat kedua di ke-kristen-an. Legenda mengenai
St. Andreas yang mendirikan tahta mereka adalah pemikiran yang muncul jauh
kemudian; pemikiran tersebut sekarang ditinggalkan semua ahli. Klaim
Constantinople sejujurnya adalah klaim yang sangat Erastian [ie.pandangan
bahwa Gereja harus tunduk kepada negara], yaitu
kalau Caesar bisa mendirikan ibukotanya dimanapun dia suka, maka dia
[ie. Caesar], sebagai gubernur sipil, bisa memberikan ranking kegerejaan
dalam suatu hierarkhi terhadap tahta manapun yang dia suka.
Kanon 28 dari konsili ekumenis Chalcedon [yang ditetapkan setelah para duta kepausan
meninggalkan konsili, dan Paus pun tidak
pernah mengakuinya] menyatakan fakta diatas dalam
banyak kata. [Kanon itu menyatakan bahwa] Constantinople
telah menjadi Roma Baru, karenanya uskupnya akan mempunyai kehormatan sebagaimana patriakh Roma Kuno dan menjadi yang kedua setelahnya. Hanya butuh kelancangan
sedikit lagi untuk meng-klaim bahwa sang kaisar bisa memindahkan semua hak
kepausan kepada uskup yang kotanya dia jadikan kota kekaisaran.
Biarlah
diingat bahwa naiknya Constantinople, kecemburuannya kepada Roma,
pengaruhnya yang tak disenangi diatas semua pihak Timur adalah Erastianisme murni ["Erastianisme adalah pandangan
bahwa Gereja harus tunduk kepada negara], sebuah penyerahan atas semua
yang dari Allah kepada Kaisar. Dan tak ada apapun yang lebih labil daripada mendasarkan
hak-hak kegerajaan atas politik sekuler. Bangsa Turki pada 1453 memotong
pondasi dari ambisi Byzantine [ie. Constantinople]. Sekarang tidak
ada kaisar dan tidak ada Istana untuk memberi pembenaran atas posisi
patriakh. Kalau kita menerapkan kembali prinsip yang dijadikan dasar [untuk
menaikkan posisi Constantinople, yaitu bahwa kewibawaan suatu tahta kegerajaan
didasarkan dari posisi kepemerintahan dimana tahta itu berada], [maka
Constantinople] akan tenggelam ke tempat terendah [karena sekarang
Constantinople menjadi Turki yang Islam] sedangkan sang Patriakh Ke-Kristen-an
akan bertempat di Paris, London, New York [karena tempat-tempat itulah ibukota
dunia berada]. Sementara itu prinsip kanon kuno dan sejati dari superioritas
Tahta-Tahta Apostolik tetap tidak
tersentuh oleh perubahan politik [dibandingkan
kalau kita memakai prinsip yang digunakan Constantinople sebagai dasar untuk
menaikkan posisinya]. Disamping asal-muasal ilahi dari Kepausan, upaya
menaikkan posisi Constantinople merupakan suatu pelanggaran buruk atas
hak-hak dari Tahta Apostolik Aleksandria dan Antiokia. Kita tidak perlu
heran ketika para Paus, meskipun posisi mereka sebagai yang pertama
tidak dipermasalahkan, menolak gangguan terhadap hak-hak kuno [dari
Tahta Apostolik Aleksandria dan Antiokia] oleh ambisi dari sang uskup
kekaisaran [dalam menaikkan posisi keuskupannya sendiri untuk sejajar dengan
Tahta-Tahta Apostolik kuno tersebut].
Jauh sebelum Photius telah ada skisma-skisma antara Constantinople dan Roma, semuanya sembuh pada waktunya, namun secara alamiah
semua itu cenderung memperlemah rasa akan adanya suatu kesatuan esensial
[yang ada antara Barat dan Timur]. Sejak awal daripada Tahta Constantinople
sampai kepada skisma besar pada 867, daftar pecahnya persekutuan yang terjadi
memang sangat signifikan. Ada limapuluh-lima tahun
skisma (343-98) ketika terjadi permasalahan
dengan para Arian, sebelas tahun karena deposisi St. Yohanes
Khrysostomus (404-15), tigapuluh-lima tahun skisma Acacia (484-519),
empatpuluh-satu tahun skisma Monothelite (640-81), enampuluh-satu tahun
karena Iconoclasm. Jadi selama 544 tahun (323-867) tidak kurang
dari 203 tahun dijalani Constantinople dalam kondisi skisma. Kita catat
juga bahwa pada setiap pertikaian yang terjadi Constantinople berada di pihak yang salah; dan juga, oleh persetujuan para Orthodoks pula-lah, Roma dalam semua skisma tersebut berdiri
tegak bagi yang benar [ie.Othodoks pun setuju bahwa dalam semua skisma
yang terjadi antara 323-867, Roma-lah yang benar]. Dan pada ketika itupun kita sudah bisa melihat bahwa pengaruh sang kaisar (yang secara alami selalu mendukung patriakh-nya sendiri [ie.Patriakh
Constantinople]) , dalam kebanyakan kasus, selalu menggeret sejumlah besar uskup Timur ke
dalam skisma.
III. PHOTIUS DAN CAERULARIUS
Cukuplah alamiah bahwa skisma-skisma besar [skisma-nya Photius
dan skisma-nya Caerularius], yang secara langsung bertanggungjawab
atas kondisi sekarang ini, seharusnya merupakan pertikaian local di
Constantinople. Skisma-skisma besar tersebut sama sekali bukan suatu keluhan umum dari seluruh Timur. Pada saat
terjadinya kedua skisma tersebut [skisma-nya Photius dan skisma-nya
Caerularius] tidak ada alasan apapun kenapa uskup-uskup [Timur] lainnya harus
bergabung dengan Constantinople dalam pertikaian Constantinople dengan Roma, kecuali
bahwa mereka telah terbiasa meminta perintah-perintah pada kota kekaisaran. Pertikaian
yang dibuat si Photius merupakan sebuah pembangkangan menjijikkan
atas tatanan kegerejaan yang sah. Tanpa bisa
dipertanyakan lagi Ignatius adalah uskup yang sah [saat itu]; Ignatius telah memerintah secara damai selama sebelas tahun. Lalu Ignatius menolak Komuni kepada seseorang yang berdosa karena menjalani incest [ie. hidup secara suami-istri dengan
kerabat yang masih sangat dekat] secara public (857). Namun orang
itu adalah sang regent [regent adalah orang yang
memerintah selama kaisar yang asli tidak mampu], Bardas, jadi pemerintah mencopot Ignatius dan menaikkan
Photius ke tahta. Paus Nicholas I tidak punya pertikaian
dengan Gereja Timur; Paus tidak punya pertikaian
dengan tahta Byzantine [ie. Constantinople]. Paus
membela bagi hak-hak seorang uskup yang sah [ie. Ignatius]. Baik Ignatius maupun
Photius telah secara formal mengajukan
banding kepadanya. Hanyalah ketika Photius
sadar bahwa pembelaannya kalah maka kemudian dia dan kekaisaran lebih memilih skisma daripada tunduk (867). Bahkan pada saat inipun masih diragukan apakah
telah terjadi skisma Timur secara umum atau belum. [Ini karena]
pada konsili yang memulihkan Ignatius kepada tahtanya (869) para
patriakh yang lain menyatakan bahwa mereka dulunya menerima keputusan
paus yang sebelumnya [keputusan bahwa Ignatius-lah patriakh yang asli,
bukan Photius]
Namun Photius telah membentuk satu faksi anti-Roma yang tidak pernah
terbubarkan setelah [segala kemelut berakhir]. Efek dari pertikaian Photius,
meskipun sifatnya murni pribadi dan meskipun sudah didamaikan dengan
matinya Ignatius yang kemudian didamaikan untuk kedua kalinya lagi saat
Photius jatuh, adalah menyatukan semua kecemburuan lama Constantinople
terhadap Roma kepada satu pribadi (ie.Photius). Kita bisa melihat ini
pada keseluruhan terjadinya peristiwa Skisma Photius. Permasalahan mengenai hak
palsu Photius [sebagai seorang Patriakh sementara Patriakh yang sah,
Ignatius, masih ada] tidak [layak dijadikan penyebab] atas ledakan
kesengitan kepada sang Paus, kepada apapun yang berbau Barat dan Latin [dimana]
ini kita ketahui dari dokumen-dokumen kekaisaran, dari surat-surat
Photius, dari Akta-Akta sinode yang diadakan Photius pada 879, dari
semua sikap faksinya. Sebenarnya yang menyebabkan semua itu adalah meledaknya
kesengitan selama berabda-abad karena sebuah alasan palsu [ie. pretext]
yang lemah; kepenolakan sengit atas campur tangan Roma ini datang dari
orang-orang yang tahu peristiwa-peristiwa kuno bahwa Roma adalah penghalang
rencana-rencana dan ambisi-ambisi mereka. Terlebih, Photius memberikan
kepada kaum Byzantine sebuah senjata yang baru dan kuat. Seruan bidah
sering digaungkan di sepanjang masa; dan hal ini tidak pernah gagal untuk menimbulkan
ketidakpuasan massal. Namun [sebelum Photius] tidak pernah terpikirkan oleh
siapapun untuk menuduh seluruh bahwa Barat terlibat dalam bidah yang
sangat merusak. Sebelumnya kasus-kasus yang terjadi adalah penolakan
terhadap penggunaan otoritas kepausan dalam kasus-kasus individu yang tak
berhubungan. [Namun pada masa Photius]
gagasan baru [si Patriakh Constantinople tersebut] membawa peperangan ke kemah
sang musuh dengan sebuah perasaan dendam. Enam tuduhan Phoitus [kepada
Roma] cukup konyol, sebegitu konyolnya sehingga kita bisa heran mengapa seorang
pelajar yang besar seperti Photius tidak memikirkan
sesuatu yang lebih cerdik lagi, paling tidak di permukaannya saja. Namun tuduhan Photius
tersebut merubah situasi sehingga keuntungan berada di pihak Timur.
Ketika Photius menyebut kaum Latin
"pembohong-pembohong, pelawan-pelawan Allah, pelayan-pelayan
Antikristus", masalahnya bukan lagi
pelecehan terhadap superior kegerejaannya [ie. Paus adalah superior dari
Photius]. Sekarang Photius mendapatkan peran yang lebih efektif, dia
adalah kampiun ortodoksi yang tidak puas
terhadap si bidat.
Setelah
Photius, John Bekkos mengatakan bahwa ada
"perdamaian sempurna" antara Timur dan Barat. Namun perdamaian
tersebut hanya di permukaan. Agenda-agenda Photius tidaklah mati. Agenda-agenda
tesebut masih belum terlihat pada faksi yang dia tinggalkan, faksi yang
masih membenci Barat, dan yang siap untuk memutuskan kesatuan sekali
lagi dengan berlandaskan alasan palsu apapun. Faksi yang masih ingat akan
tuduhan bidat kepada kaum Latin dan siap untuk membangkitkan tuduhan itu
kembali. Pastilah sejak masa Photius, kebencian dan kejijikan kepada kaum
Latin merupakan sebuah warisan dari banyak klerus Byzantine. Bagaimana
mengakarnya dan bagaimana luas sebarannya bisa dilihat dengan ledakan besar
yang absolute 150 tahun kemudian dibawah [ke-patriakh-an] Michael
Caerularius (1043-58). Bahkan pada saat ini tidak ada bayangan apapun atas
sebuah alasan palsu. Tidak ada seorang pun yang mempertanyakan hak
Caerularius sebagai Patriakh; sang Paus tidak mencampuri urusan Caerularius sama sekali. Lalu tiba-tiba
pada 1053 dia mengirimkan sebuah deklarasi perang, lalu menutup semua
gereja Latin di Constantinople, melontarkan
sejumlah tuduhan-tuduhan tak jelas, dan mempertunjukkan
dengan berbagai cara bahwa dia menginginkan suatu skisma, tampaknya
hanya dikarenakan dia telah merasakan nikmatnya
tidak bersekutu dengan Barat. Caerularius
mendapatkan apa yang dia inginkan. Setelah
sejumlah agresi tak terkendali, yang tak pernah ada duanya
dalam sejarah gereja, setelah dia mulai mencoret
nama Paus dari diptych-nya [ie. dua tatakan dari batu yang ada
ukirannya], para duta kepausan meng-ekskomunikasinya (16 Juli 1054).
Namun pada saat itu masih belum ada pemikiran akan terjadinya
suatu ekskomunikasi umum atas Gereja Byzantine, ataupun bahkan
ekskomunikasi semua [Gereja] Timur. Para duta kepausan dengan hati-hati
menghindari hal tersebut dalam Bulla mereka. Mereka mengakui bahwa sang
Kaisar (Constantine IX, yang sangat terganggu oleh keseluruhan pertikaian
tersebut), dewan Senator, dan mayoritas penduduk kota [Constantinople] adalah
[orang yang] "sangat saleh dan ortodoks". Mereka meng-ekskomunikasi
Caerularius, Leo dari Achrida dan pengikut-pengikut mereka.
Pertikaian
inipun sebenarnya tidak perlu menghasilkan sebuah kondisi skisma yang lebih
permanen sebagaimana pula bila terjadi ekskomunikasi uskup yang memberontak.
Tragedi yang sebenarnya adalah bahwa secara gradual semua Patriakh Timur
berpihak kepada Caerularius. Mereka mematuhinya dengan mencoret nama Paus dari diptych [ie.
dua tatakan dari batu yang ada ukirannya] mereka, dan memilih atas kerelaan
mereka sendiri untuk berbagai dalam skisma yang [dilakukan Caerularius]. Pada
awalnya mereka tampaknya tidak ingin berlaku seperti itu. John III dari
Antiokia jelas menolak ber-skisma atas ajakan
Caerularius. Namun, lambat laun, kebiasan
meminta perintah-perintah [ie.keputusan-keputusan] kepada
Constantinople terbukti terlalu kuat. Sang kaisar ([pada saat ini yang menjabat] bukan
Constantine IX, tapi penerusnya) berada di pihak patriakh-nya dan mereka [i.e
semua Patriakh Timur] telah belajar dengan baik untuk menganggap kaisar sebagai Tuan mereka dalam perkara-perkara spiritual. Sekali lagi, adalah pengambilalihan otoritas oleh Constantinople,
Erastianisme [ie. pandangan bahwa Gereja hrus tunduk kepada negara] kaum
Timur yang mengubah sebuah
pertikaian pribadi menjadi sebuah skisma besar. Kita juga
melihat bagaimana gagasan Photius untuk menyebut kaum Latin sebagai bidat telah dipelajari. Caerularius
mempunyai sebuah daftar, yang lebih panjang dan lebih parah, mengenai
tuduhan-tuduhan seperti [yang dibuat Photius]. Poin-poin [tuduhan
Caerularius] berbeda dari Photius; dia telah melupakan Filioque,
dan telah menemukan sebuah bidaah baru
berkenaan dengan penggunaan roti azyme oleh kaum Latin.
Namun tuduhan yang sesungguhnya [sebenarnya] tidak begitu penting,
[yang penting adalah] gagasan menyatakan bahwa
kaum Latin adalah orang yang mustahil karena mereka adalah bidat,
merupakan gagasan yang dirasa sangat berguna [bagi kaum Timur]. [Tuduhan bidat tersebut] sangat menghina dan [tuduhan tersebut] memberi kepada para
pemimpin-pemimpin yang skismatik kesempatan
memperoleh peran paling efektif, yaitu peran
sebagai pembela Iman sejati.
IV. SETELAH CAERULARIUS
Dalam satu arti, skisma tersebut telah komplit. Apa yang pada awalnya
adalah dua bagian dari Gereja yang sama, apa yang telah menjadi dua entitas yang siap untuk pecah, sekarang adalah dua Gereja rival. Namun, sebagaimana
sebagaimana ada skisma-skisma sebelum Photius, begitu pula ada reuni-reuni
setelah Caerularius. Pada konsili Lyons Kedua pada 1274 dan [pada] Konsili
Florence pada 1439 tercapai reuni yang diharapkan orang-orang untuk
[menyatukan perpecahan] selamanya. Sayangnya, kedua reuni tersebut tidak
abadi, keduanya tidak mempunyai basis yang kuat atas pihak Timur. Faksi
anti-Latin yang laten sejak dahulu dan kemudian dibentuk dan
diorganisasi oleh Photius, sekarang telah menjadi Gereja
"Orthodox" secara keseluruhan dibawah Caerularius. Proses
tersebut bersifat gradual, namun sekarang telah komplit. Pada awalnya
Gereja Slavia (Rusia, Servia [Serbia], Bulgaria etc.) tidak melihat adanya
suatu alasan mengapa mereka mesti memutus persekutuan dengan Barat
karena seorang Patriakh Constantinople marah terhadap Paus. Namun kebiasaan
merujuk kepada ibukota kekaisaran lambat laun mempengaruhi mereka juga.
Mereka menggunakan ritus Byzantine, mereka adalah Timur; jadi mereka
berpihak kepada Timur. Caerularius dengan cerdik telah berhasil menyajikan persoalannya sebagai persoalan kaum Timur; tampaknya
persoalannya adalah permasalahan mengenai Byzantine versus Latin,
meskipun ini sangat tidak adil.
Pada Konsili
Lyons, dan lagi pada Konsili Florence, reuni (bagi pihak timur) adalah sebuah
perpanjangan tindakan politis dari Pemerintahan [Timur]. Sang Kaisar
menginginkan kaum Latin untuk berperang bagi dirinya melawan bangsa Turki. Jadi
dia sudah siap untuk memasrahkan apapun — sampai bahaya berlalu. Cukup jelas
pada saat-saat ini motivasi agama hanya menggerakkan pihak Latin. Kita [ie.
pihak Latin] tidak untung apapun; kita tidak mau apapun dari mereka [ie. pihak
Timur]. Kaum Latin punya banyak hal yang bisa ditawarkan, mereka [ie.kaum
Latin] siap untuk memberi bantuan.. Yang mereka minta sebagai balasan adalah
berakhirnya tontonan yang memprihatinkan dan aib akan suatu kekristenan yang
terpecah. Pihak Byzantine tidak peduli terhadap motivasi agama; atau
lebih tepatnya, bagi mereka agama berarti terus melanjutkan skisma.
Mereka begitu sering memanggil kita [ie. kaum Latin] sebagai bidat
sehingga mereka mulai meyakininya. Reuni [bagi mereka] adalah suatu
kondisi yang tidak menyenangkan dan memalukan supaya tentara [bangsa] datang
dan melindungi mereka. Umat-umat awam Timur sudah begitu terlatih dalam kebencian
mereka akan Azymite [color-darkred][catatan DeusVult:
"tak beragi," maksudnya roti tak beragi. Gereja Timur menggunakan
roti beragi][/b][/color]. dan perubah-syahadat, sehingga semangat mereka
terhadap apa yang mereka anggap Orthodoksi menang atas ketakutan mereka terhadap bangsa Turki. Ungkapan "lebih baik turban sang Sultan daripada tiara sang
Paus" mencerminkan dengan tepat pemikiran mereka. Ketika uskup-uskup
yang menandatangani dekrit reuni pulang, mereka setiap kali disambut
dengan badai seruan ketidakpuasan sebagai pengkhianat iman Orthodox. Setiap kali reuni
berakhir secepat dibuatnya [reuni tersebut]. Tindakan skisma terakhir
adalah ketika Dionysius I dari Constantinople (1467-72) memanggil sinode dan
secara formal menolak persatuan (1472). Sejak saat itu tidak pernah ada
interkomuni; sebuah Gereja "Orthodox" yang luas terbentuk,
tampaknya puas dengan kondisi skisma dengan uskup yang mereka masih akui
sebagai patriakh pertama ke-kristen-an [ie.Paus Roma].
V. ALASAN-ALASAN ATAS SKISMA SAAT INI
Dalam kisah yang memprihatinkan ini kita mencatat beberapa poin. Adalah lebih
mudah untuk memahami bagaimana suatu skisma berlanjut daripada bagaimana skisma itu bermula. Skisma gampang dibuat; namun sangatlah sulit untuk diperbaiki.
Insting religius sikapnya selalu konservatif; ada kecenderungan kuat untuk
melanjutkan kondisi yang telah berlangsung. Pada awalnya para skismatik
adalah para innovator [ie. pihak yang memunculkan sesuatu yang baru yang
belum pernah ada sebelumnya] yang ceroboh; kemudian dengan berlalunya abad
alasan mereka tampak sebagai alasan yang lebih kuno; alasan lebih kuno yang merupakan iman sejati
para Bapa Gereja. Umat Kristen Timur
khususnya mempunyai insting konservatif ini secara kuat. Mereka takut
kalau reuni dengan Roma berarti suatu pengkhianatan terhadap Iman lama, pengkhianatan atas Gereja
Orthodox, pengkhianatan terhadap apa yang telah mereka pegang secara heroik
selama berabad-abad ini. Bisa dikatakan bahwa skisma Timur berlanjut karena
daya inersia [ie. dari istilah fisika yang berarti kecenderungan suatu
benda untuk tetap pada kondisi sebelumnya. Kalau kondisi sebelumnya diam, maka
benda akan cenderung diam. Kalau bergerak, maka benda akan cenderung
bergerak].
Pada asal
muasalnya kita harus membedakan antara kecenderukan skismatik dan peristiwa
actual atas meledaknya kecenderungan tersebut. Namun alasan atas keduanya
sudah tidak ada lagi saat ini. Kecenderungannya adalah kecemberuan yang
disebabkan oleh naiknya posisi Tahta Constantinople. Perkembangan posisi
Constantinople telah berakhir sejak dulu sekali. Pada tiga abad terakhir
Constantinople telah kehilangan hampir semua tanah yang dulunya dimiliki. Tidak
ada yang lebih ditolak oleh umat Kristen Ortodoks modern daripada naiknya
otoritas apapun oleh patriakh ekumenis diluar ke-patriakh-annya yang mengecil. Tahta
Byzantine telah lama menjadi mainan bangsa Turki, [bagai] benda yang bisa
dijual kepada penawar tertinggi. Tentunya sekarang harga diri yang [telah
menjadi cukup] menyedihkan ini bukan lagi alasan bagi skisma oleh hampir
100,000,000 umat Kristen. Bahkan [dua] penyebab langsung dari perpecahan
sudah tidak ada lagi. [Yang pertama adalah] permasalahan akan hak-hak
Ignatius dan Photius [ie. siapa Patriakh yang sah] bahkan tidak dipedulikan
lagi oleh kaum Ortodoks setelah sebelas abad.; [sedangkan penyebab langsung
kedua yaitu] ambisi dan kelancangan Caerularius telah terkubur
bersamanya. Tidak ada lagi yang tersisa atas penyebab-penyebab asli
Skisma Timur.
Tidak
benar-benar ada masalah apapun yang berkenaan dengan doktrin. Masalahnya
bukan bidaah, tapi skisma. Dekrit Florence [mengantisipasi segala
perasaan tidak enak yang mungkin muncul dari mereka]. Tidak ada alasan nyata
mengapa mereka tidak menandatangani dekrit tersebut sekarang. Mereka menolak
infallibilitas Paus dan Konsepsi Tanpa Noda [ie. ajaran bahwa
Perawan Maria dikandung tanpa noda dosa asal], mereka bertikai atas Api
Penyucian, atas konsekrasi dengan menggunakan kata-kata institusi,
prosesi Roh Kudus, dalam setiap hal tersebut [mereka] salah paham terhadap
dogma yang mereka tolak. Tidak sulit untuk ditunjukkan bahwa atas semua
poin-poin tersebut Bapa Gereja mereka sendiri [ie.para Bapa Gereja
Timur] sepakat dengan ajaran Gereja Latin, Gereja yang hanya meminta
mereka untuk kembali kepada ajaran kuno Gereja mereka sendiri.
Itulah sikap yang benar
terhadap Ortodoks, selalu. Mereka mempunyai ketakutan [bahwa mereka] akan
dilatinisasi., [bahwa mereka akan] mengkhianati Iman kuno. Kita
harus menekankan bahwa tidak ada pikiran untuk me-latin-kan mereka, dan
bahwa iman kuno bukanlah tidak cocok, malahan menuntut kesatuan
dengan tahta utama yang dipatuhi para Bapa Gereja mereka sendiri. Pada hukum kanon mereka
tidak ada yang perlu diubah kecuali penyelewengan-penyelewengan seperti penjualan
posisi uskup dan Erastianisme [ie. pandangan bahwa Gereja harus
tunduk pada negara] yang dikecam teolog mereka sendiri. Selibat, roti
tak beragi, dan yang lain adalah kebiasaan Latin yang tidak pernah
terpikirkan seorang pun untuk dipaksakan kepada mereka. Mereka tidak
perlu menambahkan filioque kepada
syahadat mereka; ritus terhormat mereka tidak akan disentuh. Tidak
ada satu uskup pun yang perlu dipindah dan hampir tidak ada satu hari
raya pun yang perlu diubah (kecuali perayaan St. Photius pada 6 Februari). Yang
diminta hanya agar mereka kembali ke tempat dimana Bapa Gereja mereka
berdiri, untuk memperlakukan Roma sebagaimana Athanasius, Basil,
Chrysostom memperlakukannya. Bukan kaum Latin, tapi merekalah yang telah
meninggalkan iman para Bapa Gereja mereka. Tidak ada permaluan untuk
melangkah balik ketika seseorang [memang] telah melanglang ke jalan yang salah
karena pertikaian pribadi yang telah lama terlupakan. Mereka seharusnya juga
melihat bagaimana parahnya skandal perpecahan terhadap tujuan bersama. Mereka
seharusnya juga berkeinginan untuk mengakhiri jeritan iblis [skisma]
ini. Dan kalau mereka benar-benar menginginkannya, caranya tidak
harus menjadi sulit. Karena, memang, setelah enam abad skisma kita bisa
menyadari dari sudut pandang kedua pihak bahwa skisma bukan hanya yang kejahatan
terbesar di Kekristenan, tapi juga merupakan kejahatan paling sia-sia di
Kekristenan.