Mengasihi Sesama

Mengasihi Sesama
Ibu Theresa dari Calcuta

Senin, 29 April 2013

Katekismus Gereja Katolik Dalam Setahun - 197

KGK  ke 197

ARTIKEL 7 : KEBAJIKAN

1803. "Jadi, semua yang benar, semua yang mulia, semua yang adil, semua yang suci, semua yang manis, semua yang sedap didengar, semua yang disebut kebajikan dan patut dipuji, pikirkanlah semuanya itu" (Flp 4:8). Kebajikan adalah suatu kecenderungan yang tetap dan teguh untuk melakukan yang baik. Ia memungkinkan manusia bukan hanya untuk melakukan perbuatan baik, melainkan juga untuk menghasilkan yang terbaik seturut kemampuannya.
Dengan segala kekuatan moral dan rohani, manusia yang berkebajikan berusaha untuk melakukan yang baik. Ia berusaha untuk mencapainya dan memilihnya dalam tindakannya yang konkret.
"Tujuan kehidupan yang berkebajikan ialah menjadi serupa dengan Allah" (Gregorius Nisa, beat. l). 1733, 1768

I. * Kebajikan manusiawi

1804. Kebajikan manusiawi adalah sikap yang teguh, kecenderungan yang dapat diandalkan, kesempurnaan akal budi dan kehendak yang tetap, yang mengarahkan perbuatan kita, mengatur hawa nafsu kita dan membimbing tingkah laku kita supaya sesuai dengan akal budi dan iman. Mereka memberi kepada manusia kemudahan, kepastian dan kegembira-an untuk menjalankan kehidupan moral secara baik. Manusia yang berkebajikan melakukan yang baik dengan sukarela.Kebajikan moral diperoleh melalui usaha manusia. Ia adalah buah dan sekaligus benih untuk perbuatan baik secara moral; ia mengarahkan seluruh kekuatan manusia kepada tujuan, supaya hidup bersatu dengan cinta ilahi. 2500, 1827

Kebajikan pokok [kardinal]

1805. Empat kebajikan merupakan poros kehidupan moral. Karena itu orang menamakan mereka kebajikan "kardinal" [cardo berarti poros]; semua yang lain berada di sekeliling mereka. Mereka adalah kebijaksanaan, keadilan, keberanian, dan penguasaan diri. "Kalau seorang mengasihi kebenaran, maka kebajikan adalah hasil jerih payah kebijaksanaan. Sebab ia mengajarkan menahan diri dan berhati-hati, keadilan dan kebenaran" (Keb 8:7). Kebajikan-kebajikan ini juga dipuji dalam banyak teks Kitab Suci dengan nama-nama yang lain.

1806. Kebijaksanaan adalah kebajikan yang membuat budi praktis rela, supaya dalam tiap situasi mengerti kebaikan yang benar dan memilih sarana yang tepat untuk mencapainya. "Orang yang bijak memperhatikan langkahnya" (Ams 14:15). "Karena itu kuasailah dirimu dan jadilah tenang, supaya kamu dapat berdoa" (1 Ptr 4:7). "Kebijaksanaan ialah akal budi benar sebagai dasar untuk bertindak", demikian santo Tomas menulis (s.th. 2-2, 47, 2, sc) mengikuti Aristoteles. Ia tidak mempunyai hubungan dengan rasa malu atau rasa takut, dengan lidah bercabang atau berpura-pura. Orang menamakan dia "auriga virtutum" [pengemudi kebajikan]; ia mengemudikan kebajikan lain, karena ia memberi kepada mereka peraturan dan ukuran. Kebijaksanaan langsung mengatur keputusan hati nurani. Manusia bijak menentukan dan mengatur tingkah lakunya sesuai dengan keputusan ini. Berkat kebajikan ini kita menerapkan prinsip-prinsip moral tanpa keliru atas situasi tertentu dan mengatasi keragu-raguan tentang yang baik yang harus dilakukan dan yang buruk yang harus dielakkan.

1807. Keadilan sebagai kebajikan moral adalah kehendak yang tetap dan teguh untuk memberi kepada Allah dan sesama, apa yang menjadi hak mereka. Keadilan terhadap Allah dinamakan orang "kebajikan penghormatan kepada Allah" [virtus religionis]. Keadilan terhadap manusia mengatur, supaya menghormati hak setiap orang dan membentuk dalam hubungan antar manusia, harmoni yang memajukan kejujuran terhadap pribadi-pribadi dan kesejahteraan bersama. Manusia yang adil yang sering dibicarakan Kitab Suci, menonjol karena kejujuran pikirannya dan ketepatan tingkah lakunya terhadap sesama. "Janganlah engkau membeIa orang kecil dengan tidak sewajarnya dan janganlah engkau terpengaruh oleh orang-orang besar, tetapi engkau harus mengadili sesamamu dengan kebenaran" (Im 19:15). "Hai tuan-tuan, berlakulah adil dan jujur terhadap hambamu; ingatlah, karma juga mempunyai tuan di surga" (Kol 4:1).

1808. Keberanian adalah kebajikan moral yang membuat tabah dalam kesulitan dan tekun dalam mengejar yang baik. Ia meneguhkan kebulatan tekad, supaya melawan godaan dan supaya mengatasi halangan-halangan dalam kehidupan moral. Kebajikan keberanian memungkinkan untuk mengalahkan ketakutan, juga ketakutan terhadap kematian dan untuk menghadapi segala percobaan dan penghambatan. Ia juga membuat orang reIa untuk mengurbankan kehidupan sendiri bagi suatu hal yang benar. "Tuhan itu kekuatanku dan mazmurku" (Mzm 118:14). "Dalam dunia kamu menderita penganiayaan, tetapi kuatkanlah hatimu, Aku telah mengalahkan dunia" (Yoh 16:33). 2848, 2473

1809. Penguasaan diri adalah kebajikan moral yang mengekang kecenderungan kepada berbagai macam kenikmatan dan yang membuat kita mempergunakan benda-benda duniawi dengan ukuran yang tepat. Ia menjamin penguasaan kehendak atas kecende-rungan dan tidak membiarkan kecenderungan melampaui batas-batas yang patut dihormati. Manusia yang menguasai diri mengarahkan kehendak inderawi-nya kepada yang baik, mempertahankan kemampuan sehat untuk menilai, dan berpegang pada kata-kata: "Jangan mengikuti setiap kecenderungan walaupun engkau mampu, dan jangan engkau mengikuti hawa nafsumu" (Sir 5:2).1 Kebajikan penguasaan diri sering dipuji dalam Perjanjian Lama: "Jangan dikuasai oleh keinginan-keinginanmu, tetapi kuasailah segala nafsumu" (Sir 18:30). Dalam Perjanjian Baru ia dinamakan "kebijaksanaan" atau "ketenangan". Kita harus hidup "bijaksana, adil, dan beribadah di dalam dunia sekarang ini" (Tit 2:12).
"Hidup yang baik itu tidak lain dari mencintai Allah dengan segenap hati, dengan segenap jiwa, dan dengan segenap pikiran. (Oleh penguasaan diri) orang mencintai-Nya dengan cinta sempurna, yang tidak dapat digoyahkan oleh kemalangan apa pun (karena keberanian yang hanya mematuhi Dia (karena keadilan) dan yang siaga supaya menilai semua hal, supaya jangan dikalahkan oleh kelicikan atau penipuan (inilah kebijaksanaan)" (Agustinus, mor. Eccl. 1, 25, 46).

Kebajikan dan rahmat

1810. Kebajikan manusiawi yang diperoleh melalui pendidikan, melalui latihan, dan ketekunan dalam usaha, dimurnikan dan diangkat oleh rahmat ilahi. Dengan bantuan Allah mereka menggembleng watak dan memberi kemudahan dalam melakukan yang baik. Manusia yang berkebajikan bergembira dalam berbuat baik.

1811. Bagi manusia yang telah dilukai oleh dosa memang tidak mudah untuk mempertahankan keseimbangan moral. Keselamatan yang dikaruniakan oleh Kristus memberi kita rahmat yang dibutuhkan supaya tabah dalam mengejar kebajikan. Tiap orang harus selalu
1 Bdk. Sir 37:27-31.

memohon rahmat terang dan kekuatan, harus mencari bantuan dalam Sakramen-Sakramen, harus bekerja sama dengan Roh Kudus dan mengikuti ajakan-Nya untuk mencintai yang baik dan bersikap waspada terhadap yang jahat.

II. * Kebajikan ilahi

1812. Kebajikan manusiawi berakar dalam kebajikan ilahi, yang memungkinkan kemampuan manusiawi mengambil bagian dalam kodrat ilahi.1 Karena kebajikan ilahi langsung berhubungan dengan Allah. Mereka memungkinkan orang Kristen, supaya hidup dalam hubungan dengan Tritunggal Mahakudus. Mereka memiliki Allah yang Esa dan Tritunggal sebagai asal, sebab, dan obyek.

1813. Kebajikan ilahi adalah dasar jiwa, dan tanda pengenal tindakan moral orang Kristen. Mereka membentuk dan menjiwai semua kebajikan moral. Mereka dicurahkan oleh Allah ke dalam jiwa umat beriman, untuk memungkinkan mereka bertindak sebagai anak-anak Allah dan memperoleh hidup abadi. Mereka adalah jaminan mengenai kehadiran dan kegiatan Roh Kudus dalam kemampuan manusia. Ada tiga kebajikan ilahi: iman, harapan, dan kasih; 2

Iman

1814. Iman adalah kebajikan ilahi, olehnya kita percaya akan Allah dan segala sesuatu yang telah Ia sampaikan dan wahyukan kepada kita dan apa yang Gereja kudus ajukan supaya dipercayai. Karena Allah adalah kebenaran itu sendiri. Dalam iman "manusia secara bebas menyerahkan seluruh dirinya kepada Allah" (DV 5).
Karena itu, manusia beriman berikhtiar untuk mengenal dan melaksanakan kehendak Allah. "Orang benar akan hidup oleh iman" (Rm 1:17); Iman yang hidup "bekerja oleh kasih" (Gal 5:6).

1815. Anugerah iman tinggal di dalam dia yang tidak berdosa terhadapnya.3 Tetapi "iman tanpa perbuatan adalah mati" (Yak 2:26). Iman tanpa harapan dan kasih tidak sepenuhnya mempersatukan orang beriman dengan Kristus dan tidak menjadikannya anggota yang hidup dalam Tubuh-Nya.

1816. Murid Kristus harus mempertahankan iman dan harus hidup darinya, harus mengakuinya, harus memberi kesaksian dengan berani dan melanjutkannya; Semua orang harus "siap-sedia mengakui Kristus di muka orang-orang, dan mengikuti-Nya menempuh jalan salib di tengah penganiayaan, yang selalu saja menimpa Gereja " (LG 42).4 Pengabdian dan kesaksian untuk iman sungguh perlu bagi keselamatan: "Setiap orang yang mengakui Aku di depan manusia, Aku juga akan mengakuinya di depan Bapa-Ku yang di surga. Tetapi barang siapa menyangkal Aku di depan manusia, Aku juga akan menyangkalnya di depan Bapa-Ku yang di surga" (Mat 10:32-33).
1 Bdk. 2 Ptr 1:4.
2 Bdk. 1 Kor 13:13.
3 Bdk. Konsili Trente: DS 1545.
4 Bdk. DH 14.

Katekismus Gereja Katolik Dalam Setahun - 196

KGK ke 196

ARTIKEL 6 : HATI NURANI

1776. "Di lubuk hati nuraninya manusia menemukan hukum, yang tidak diterimanya dari dirinya sendiri, tetapi harus ditaatinya. Suara hati itu selalu menyerukan kepadanya untuk mencintai dan melaksanakan apa yang baik, dan untuk menghindari apa yang jahat. Bilamana perlu, suara itu menggemakan dalam lubuk hatinya: jauhkanlah ini, elakkanlah itu. Sebab dalam hatinya manusia menemukan hukum yang ditulis oleh Allah. Martabatnya ialah mematuhi hukum itu, ... Hati nurani ialah inti manusia yang paling rahasia, sanggar sucinya; di situ ia seorang diri bersama Allah, yang sapaan-Nya menggema dalam batinnya" (GS 16). [33, 2500, 1730, 1703, 366]

I. * Keputusan hati nurani

1777. Di dalam lubuk hati seseorang bekerjalah hati nurani.1 Pada waktu tertentu ia memberi perintah untuk melakukan yang baik dan mengelakkan yang jahat. Ia juga menilai keputusan konkret, di mana ia menyetujui yang baik dan menolak yang jahat.2 Ia memberi kesaksian tentang kebenaran dalam hubungan dengan kebaikan tertinggi, yaitu Allah, oleh Siapa manusia ditarik, dan hukum-hukum Siapa manusia terima. Kalau ia mendengar hati nuraninya, manusia yang bijaksana dapat mendengar suara Allah, yang berbicara di dalamnya.

1778. Hati nurani adalah keputusan akal budi, di mana manusia mengerti apakah satu perbuatan konkret yang ia rencanakan, sedang laksanakan, atau sudah laksanakan, baik atau buruk secara moral. Dalam segala sesuatu yang ia katakana atau lakukan, manusia berkewajiban mengikuti dengan seksama apa yang ia tahu, bahwa itu benar dan tepat. Oleh keputusan hati nurani manusia mendengar dan mengenal penetapan hukum ilahi.
Hati nurani adalah "hukum roh" dan juga suatu "bisikan langsung", dalamnya terdapat juga "gagasan pertanggungjawaban, kewajiban, ancaman, dan janji... Ia adalah utusan dari Dia yang berbicara
1 Bdk. Rm 2:14-16.
2 Bdk. Rm 1:32.
kepada kita baik di dalam alam maupun di dalam rahmat di balik satu selubung dan mengajar serta memerintah kita melalui wakil-wakil-Nya. Hati nurani adalah wakil Kristus yang asli" (J.H.Newman, Surat kepada Pangeran Norfolk 5).

1779. Supaya dapat mendengarkan dan mengikuti suara hati nurani, orang harus mengenal hatinya sendiri. Upaya mencari kehidupan batin menjadi lebih penting lagi, karena kehidupan sering kali mengalihkan perhatian kita dari setiap pertimbangan, dari pemeriksaan diri atau dari introspeksi.
"Masuklah ke dalam hati nuranimu dan tanyakanlah dia! ... Masuklah ke dalam batinmu saudara-saudara! Dan di dalam segala sesuatu yang kamu lakukan, berusahalah agar Allah adalah saksimu" (Agustinus, ep. Jo. 8, 9).

1780. Martabat pribadi manusia mengandung dan merindukan bahwa hati nurani menilai secara tepat. Hati nurani mencakup: memahami prinsip-prinsip moral [synderesis], melaksanakannya dengan menilai alasan-alasan dan kebaikan-kebaikan seturut situasi tertentu, dan akhimya menilai perbuatan konkret yang akan dilaksanakan atau sudah dilaksanakan. Keputusan hati nurani yang bijaksana mengakui secara praktis dan konkret kebenaran mengenai yang baik secara moral, yang dinyatakan dalam hukum akal budi. Seorang manusia yang memilih sesuai dengan keputusan ini disebut bijaksana.

1781. Hati nurani memungkinkan untuk menerima tanggung jawab atas perbuatan yang telah dilakukan. Kalau manusia telah melakukan yang jahat, maka keputusan hati nuraninya yang tepat dapat tetap memberi kesaksian bahwa kebenaran moral berlaku, sementara keputusannya yang konkret itu salah. Rasa bersalah seturut keputusan hati nurani merupakan jaminan bagi harapan dan belas kasihan. Dengan membuktikan kesalahan pada perbuatan yang dilakukan ini, keputusan hati nurani itu mengajak supaya memohon ampun, selanjutnya melakukan yang baik dan supaya dengan bantuan rahmat Allah mengembangkan kebajikan secara terus-menerus.
"Kita boleh menenangkan hati kita di hadapan Allah, sebab jika kita dituduh olehnya, Allah adalah lebih besar daripada hati kita serta mengetahui segala sesuatu" (1 Yoh 3:19-20).

1782. Manusia mempunyai hak untuk bertindak bebas sesuai dengan hati nuraninya, dan dengan demikian membuat keputusan moral secara pribadi. "Janganlah ia dipaksa untuk bertindak melawan suara hatinya. Tetapi jangan puIa ia dirintangi untuk bertindak menurut suara hatinya, terutama dalam hal keagamaan" (DH 3).

II. * Pembentukan hati nurani

1783. Hati nurani harus dibentuk dan keputusan moral harus diterangi. Hati nurani yang dibentuk baik dapat memutuskan secara tepat dan benar. Dalam keputusannya ia mengikuti akal budi dan berorientasi pada kebaikan yang benar, yang dikehendaki oleh kebijaksanaan Pencipta. Bagi kita manusia yang takluk kepada pengaruh-pengaruh yang buruk dan selalu digoda untuk mendahulukan kepentingan sendiri dan menolak ajaran pimpinan Gereja, pembentukan hati nurani itu mutlak perlu.

1784. Pembentukan hati nurani adalah suatu tugas seumur hidup. Sudah sejak tahun-tahun pertama ia membimbing seorang anak untuk mengerti dan menghayati hukum batin yang ditangkap oleh hati nurani. Satu pendidikan yang bijaksana mendorong menuju sikap yang berorientasi pada kebajikan. Ia memberi perlindungan terhadap dan membebaskan dari perasaan takut, dari ingat diri dan kesombongan, dari perasaan bersalah yang palsu, dan rasa puas dengan diri sendiri, yang semuanya dapat timbul oleh kelemahan dankesalahan manusia. Pembentukan hati nurani menjamin kebebasan dan mengantar menuju kedamaian hati.

1785. Dalam pembentukan hati nurani, Sabda Allah adalah terang di jalan kita. Dalam iman dan doa kita harus menjadikannya milik kita dan melaksanakannya. Kita juga harus menguji hati nurani kita dengan memandang ke salib Tuhan. Sementara itu kita dibantu oleh anugerah Roh Kudus dan kesaksian serta nasihat orang lain dan dibimbing oleh ajaran pimpinan Gereja.1

III. * Memutuskan sesuai dengan hati nurani

1786. Dihadapkan kepada suatu keputusan moral, hati nurani dapat memutuskan dengan tepat dalam kesesuaian dengan akal budi dan dengan hukum ilahi atau dapat keliru, kalau ia tidak berpegang pada kedua-duanya.

1787. Kadang-kadang manusia dihadapkan kepada situasi yang membuat penilaian hati nurani menjadi tidak aman dan keputusan menjadi sulit. Tetapi ia selalu harus mencari yang benar dan yang baik dan mengetahui kehendak Allah, yang nyata kelihatan dalam hukum ilahi. 1955

1788. Untuk maksud ini manusia berusaha menafsirkan secara tepat pengalamannya sendiri dan tanda-tanda zaman dengan bantuan kebajikan kebijaksanaan, nasihat para pakar serta dengan bantuan Roh Kudus dan anugerah-anugerah-Nya.

1789. Dalam segala hal berlaku peraturan-peraturan berikut:
- Tidak pernah diperbolehkan melakukan yang jahat, supaya yang baik dapat timbul darinya.
- "Kaidah emas": "segala sesuatu yang kamu kehendaki supaya orang perbuat kepadamu, berbuatlah demikian juga kepada mereka" (Mat 7:12).
- Cinta kasih Kristen selalu menghargai sesama dan hati nuraninya. "Jika engkau berdosa terhadap saudara-saudaramu... dan melukai hati nurani mereka yang lemah engkau pada hakikatnya berdosa terhadap Kristus" (1 Kor 8:12). "Tidak baik melakukan sesuatu yang menjadi batu sandungan bagi saudaramu" (Rm 14:21).

IV. * Hati nurani yang keliru

1790. Manusia selalu harus mengikuti keputusan yang pasti dari hati nuraninya. Kalau ia dengan sengaja bertindak melawannya, ia menghukum diri sendiri. Tetapi dapat juga terjadi bahwa karena ketidaktahuan, hati nurani membuat keputusan yang keliru mengenai tindakan yang orang rencanakan atau sudah lakukan.

1791. Sering kali manusia yang bersangkutan itu sendiri turut menyebabkan ketidaktahuan ini, karena ia "tidak peduli untuk mencari apa yang benar serta baik, dan karena kebiasaan berdosa hati nuraninya lambat laun hampir menjadi buta" (GS 16). Dalam hal ini ia bertanggungjawab atas yang jahat, yang ia lakukan.

1792. Ketidaktahuan mengenai Kristus dan Injil-Nya, contoh hidup yang buruk dari orang lain, perbudakan oleh nafsu, tuntutan atas otonomi hati nurani yang disalah artikan, penolakan
1 Bdk. DH 14.
otoritas Gereja dan ajarannya, kurang reIa untuk bertobat dan untuk hidup dalam cinta kasih Kristen, dapat merupakan alasan untuk membuat keputusan salah dalam tingkah laku moral.

1793. Sebaliknya, kalau ketidaktahuan itu tidak dapat diatasi atau kalau yang bersangkutan tidak bertanggung jawab atas keputusan yang salah, maka perbuatannya yang buruk tidak dapat dibebankan kepadanya. Walaupun demikian, hal itu tetap, tinggal sesuatu yang jahat, satu kekurangan, satu gangguan. Karena alasan ini, maka kita harus berikhtiar supaya menghilangkan kekeliruan hati nurani.

1794. Hati nurani yang baik dan murni diterangi oleh iman yang benar, karena cinta kasih Kristen timbul sekaligus "dari hati yang suci, dari hati nurani yang murni dan iman yang tulus ikhlas" (l Tim 1:5).1
"Oleh karena itu, semakin besar pengaruh hati nurani yang cermat, semakin jauh puIa pribadi-pribadi maupun kelompok-kelompok menghindar dari kemauan yang membabi-buta, dan semakin mereka berusaha untuk mematuhi norma-norma kesusilaan yang obyektif" (GS16).

TEKS-TEKS SINGKAT

1795. "Hati nurani ialah inti manusia yang paling rahasia, sanggar sucinya; di situ ia seorang diri bersama Allah, yang sapaan-Nya menggema dalam batinnya" (GS 16).

1796. Hati nurani adalah keputusan akal budi, olehnya manusia mengerti apakah perbuatan tertentu itu baik atau buruk.

1797. Untuk manusia yang telah melakukan sesuatu yang buruk. Keputusan hati nuraninya merupakan jaminan pertobatan dan harapan.

1798. Hati nurani yang terbentuk baik adalah jujur dan benar. Ia memutuskan sesuai dengan akal budi, sesuai dengan kebaikan yang benar, dikehendaki oleh kebijaksanaan Pencipta. Tiap orang harus memakai sarana yang tersedia untuk membentuk hati nuraninya.

1799. Dihadapkan kepada satu keputusan moral, hati nurani dapat mengambil keputusan yang tepat, yang sesuai dengan akal budi dan dengan hukum ilahi, ataupun satu keputusan yang salah yang bertentangan dengan kedua-duanya.

1800. Manusia selalu harus mengikuti keputusan hati nuraninya yang pasti.

1801. Hati nurani dapat tinggal dalam ketidaktahuan atau dapat memutuskan secara salah. Ketidaktahuan dan keputusan salah semacam itu tidak selalu bebas dari kesalahan.

1802. Sabda Allah adalah terang yang menyinari jalan kita. Dalam iman dan doa kita harus menjadikannya milik kita dan melaksanakannya. Atas cara ini hati nurani dibentuk.

Minggu, 28 April 2013

Katekismus Gereja Katolik Dalam Setahun - 195

KGK ke 195

ARTIKEL 5 : MORALITAS KECENDERUNGAN

1762. Manusia mengarahkan diri kepada kebahagiaan melalui perbuatan yang dilakukannya dengan sadar. Kecenderungan atau perasaan yang ia alami, dapat mempersiapkannya dan membantu.

I. * Kecenderungan

1763. Ungkapan "kecenderungan" termasuk dalam khazanah bahasa Kristen. Kecenderungan atau perasaan adalah emosi atau gerakan dalam perasaan. Mereka mendesak supaya berbuat atau tidak berbuat, bergantung dari apakah sesuatu itu dirasakan atau digambarkan sebagai baik atau buruk.

1764. Kecenderungan adalah emosi kodrati jiwa manusia. Mereka merupakan tempat persam-bungan antara kehidupan inderawi dan rohani. Tuhan kita menyebut hati manusia sebagai sumber, dari mana kecenderungan itu timbul.1 368

1765. Kecenderungan itu banyak jumlahnya. Kecenderungan yang paling mendasar adalah cinta, diakibatkan oleh daya tarik dari yang baik. Cinta menyebabkan kerinduan kepada kebaikan yang sekarang belum ada dengan harapan akan memperolehnya. Perasaan itu berakhir dalam kepuasan dan kegembiraan terhadap kebaikan yang dimiliki. Melihat sesuatu yang buruk menimbulkan kebencian, keengganan, dan ketakutan terhadap kejahatan yang mengancam. Emosi itu berakhir dengan kesedihan akan kejahatan yang dihadapi atau dengan kemarahan yang memberontak terhadapnya.

1766. "Mencintai berarti menghendaki yang baik untuk seseorang" (Tomas Aqu., s.th. 1-2, 26, 4).
Semua kecenderungan yang lain bersumber pada gerakan pokok hati manusia kepada yang baik ini. Orang hanya dapat mencintai yang baik.2
"Perasaan itu buruk, kalau cinta itu buruk, baik, kalau cinta baik" (Agustinus civ. 14, 7).

1767. Kecenderungan-kecenderungan itu dengan sendirinya bukan baik, bukan juga buruk. Mereka hanya ditentukan secara moral sejauh dikendalikan oleh akal budi dan kehendak. Dikatakan, kecenderungan itu dikehendaki "sebab ia digerakkan oleh kehendak atau tidak dihalang-halangi oleh kehendak" (Tomas Aqu., s.th. 1-2, 24, 1). Termasuk dalam kesempurnaan dari sesuatu yang baik secara moral atau manusiawi, bahwa kecende-rungan itu diatur oleh akal budi.3

1768. Perasaan-perasaan yang kuat tidak menentukan, baik untuk sikap moral maupun untuk kekudusan manusia; tetapi merupakan persediaan yang tidak habis-habisnya dari gambaran dan dorongan perasaan, melaluinya kehidupan moral menyatakan diri. Kecenderungan itu baik secara moral, kalau ia menyumbang kepada sesuatu yang baik; buruk" kalau terjadi sebaliknya, Kehendak yang baik mengarahkan dorongan-dorongan inderawi, yang diangkatnya itu, kepada kebaikan dan kebahagiaan; kehendak yang buruk mengalah terhadap kecenderungan yang tidak teratur dan meningkatkannya. Emosi dan perasaan dapat diangkat ke dalam kebajikan atau dapat dirusakkan oleh kebiasaan buruk.

1769. Dalam kehidupan Kristen, Roh Kudus melaksanakan karya-Nya dengan mengikutserta-kan seluruh manusia dalam segala deritanya, perasaan takut, dan kesedihannya, seperti nyata kelihatan dalam sakratulmaut dan sengsara Tuhan. Di dalam Kristus, perasaan manusia dapat menemukan penyempurnaannya di dalam cinta Kristen dan kebahagiaan ilahi.

1770. Kesempurnaan moral berarti bahwa manusia tidak hanya digerakkan oleh kehendaknya ke arah sesuatu yang baik, tetapi juga oleh kerinduan inderawi sesuai dengan kata-kata mazmur: "Hatiku dan dagingku bersorak-sorai kepada Allah yang hidup" (Mzm 84:3).

1 Bdk. Mrk 7:21.
2 Bdk. Agustinus, Trin. 8, 3, 4.
3 Bdk. Tomas Aqu., s.th. 1-2, 24, 3.


TEKS-TEKS SINGKAT

1771. Ungkapan "kecenderungan" menandakan gerakan perasaan atau emosi. Oleh desakan perasaannya, manusia merasa bahwa sesuatu bersifat baik atau jahat.

1772. Kecenderungan yang mendasar adalah cinta dan kebencian, kerinduan dan ketakutan, kegembiraan dan kesedihan serta kemurkaan.

1773. Sebagai dorongan inderawi, kecenderungan itu bukan baik, bukan juga buruk menurut moral; tetapi sejauh mereka dikuasai akal budi dan kehendak atau tidak, mereka itu baik atau buruk secara moral.

1774. Emosi dan perasaan dapat diangkat ke dalam kebajikan atau dirusakkan oleh kebiasaan buruk.

1775. Kesempurnaan moral berarti bahwa manusia digerakkan kepada yang baik, tidak hanya oleh kehendaknya, tetapi juga oleh "hati"-nya.

Jumat, 26 April 2013

Katekismus Gereja Katolik Dalam Setahun - 194

KGK ke 194

ARTIKEL 4 : SIFAT SUSILA PERBUATAN MANUSIA

1749. Kebebasan menjadikan manusia subyek kesusilaan. Kalau ia bertindak dengan sadar, manusia boleh dikatakan bapa dari perbuatannya. Perbuatan yang sungguh manusiawi, artinya yang dipilih atas dasar keputusan hati nurani, dapat dinilai secara susila. Perbuatan macam itu bersifat atau baik atau jahat.

I * Sumber-sumber kesusilaan

1750. Sifat susila dari perbuatan manusia bergantung pada:
 obyek yang dipilih;
 tujuan atau maksud yang ingin dicapai;
 situasi dan kondisi perbuatan.
1 Bdk. GS 17, 1.

Obyek, tujuan, dan situasi merupakan sumber atau unsur-unsur hakiki bagi moralitas perbuatan manusia.

1751. Obyek yang dipilih adalah suatu kebaikan, yang kepadanya seorang hendak mengarahkan diri dengan sadar. Ia adalah "bahan" perbuatan manusia. Obyek yang dipilih menentukan nilai moral suatu kegiatan kehendak, tergantung dari apakah menurut keputusan akal budi hal itu sesuai atau tidak dengan kebaikan yang sesungguhnya. Norma-norma obyektif dari kesusilaan menyatakan tata rasional dari yang baik atau yang jahat, sebagaimana dinilai oleh hati nurani.

1752. Berbeda dengan obyek, maksud berada di pihak subyek yang bertindak. Karena maksud berakar dalam kebebasan dan mengarahkan tindakan kepada tujuan, maka ia adalah unsur yang secara hakiki menentukan sifat susila dari suatu perbuatan. Tujuan ialah cita-cita pertama dari maksud dan menentukan apa yang diusahakan dalam perbuatan. Maksud adalah satu gerakan kehendak yang diarahkan kepada tujuan; ia menentukan apa yang diusahakan dalam perbuatan.

Ia mengarahkan pandangan kepada kebaikan yang diharapkan sebagai hasil dari perbuatan yang bersangkutan. Maksud itu tidak terbatas pada pelaksanaan perbuatan satu demi satu, tetapi dapat mengarahkan sejumlah perbuatan menuju tujuan yang satu dan sama. Ia dapat mengarahkan seluruh kehidupan kepada tujuan akhir. Umpamanya, satu pelayanan yang orang lakukan, mempunyai tujuan untuk membantu sesama; tetapi pada waktu yang sama iajuga dapat dijiwai oleh cinta kepada Allah sebagai tujuan akhir dari semua perbuatan kita. Perbuatan yang satu dan sama dapat juga didukung oleh beberapa maksud, umpamanya, kalau orang memberi pelayanan untuk mendapat perhatian atau untuk menyombongkan diri dengan itu. 2520

1753. Maksud baik (umpamanya membantu sesama) membuat satu tingkah laku yang dari sendirinya buruk (seperti penipuan atau fitnah), tidak menjadi sesuatu yang baik atau benar. Tujuan tidak membenarkan cara. Karena itu, tidak dapat dibenarkan hukuman atas seseorang yang tidak bersalah sebagai cara yang sah untuk menyelamatkan bangsa. Sebaliknya satu perbuatan yang dari sendirinya baik (umpamanya memberi derma),1 menjadi sesuatu yang buruk, apabila tujuan buruk (umpamanya kesombongan) membarenginya. 2479, 596

1754. Situasi, termasuk akibat-akibatnya, merupakan unsur-unsur sekunder dan suatu perbuatan moral. Faktor-faktor situasional turut memperkuat atau memperlemah kebaikan atau keburukan moral dari perbuatan manusia (factor semacam itu umpamanya besarnya jumlah suatu pencurian). Faktor-faktor situasional juga dapat mengurangi atau menambah tanggung jawab dari pelaku (umpamanya melakukan sesuatu karena takut mati). Faktor-faktor itu sebenarnya tidak dapat mengubah keadaan moral dari pekerjaan itu sendiri; mereka tidak dapat mengubah suatu perbuatan yang dari sendirinya buruk, menjadi sesuatu yang baik atau benar.

II. * Perbuatan baik dan buruk

1755. Satu perbuatan baik dari segi moral mengandaikan bahwa baik obyek maupun maksud dan faktor-faktor situasional itu baik. Maksud buruk membuat suatu perbuatan menjadi buruk, juga apabila obyeknya sendiri adalah baik (seperti berdoa atau berpuasa "supaya dapat dilihat oleh orang lain").
1 Bdk. Mat 6:2-4.
Obyek yang dipilih dengan sendirinya dapat membuat suatu perbuatan menjadi buruk secara menyeluruh. Ada tingkah laku konkret seperti umpamanya percabulan itu tidak pemah boleh dipilih, karena di dalam memilihnya terdapat satu tindakan kehendak yang salah, artinya sesuatu yang buruk ditinjau dari segi moral.

1756. Dengan demikian, keliru sekali untuk menilai moralitas perbuatan manusia hanya dengan melihat maksud yang menjiwainya atau faktor situasional yang menyertainya (seperti lingkungan, tekanan masyarakat, paksaan, atau keharusan untuk melakukan sesuatu). Ada perbuatan yang di dalam dan dari dirinya sendiri, terlepas dari situasi dan maksud, selalu buruk karena obyek perbuatan itu sendiri; misalnya penghujahan Allah dan sumpah palsu, pembunuhan dan zina. Tidak diperbolehkan melakukan sesuatu yang buruk, supaya diperoleh sesuatu yang baik darinya.

TEKS-TEKS SINGKAT

1757. Obyek, maksud, dan situasi merupakan tiga "sumber" kesusilaan perbuatan manusia.

1758. Obyek yang dipilih menentukan moralitas kegiatan kehendak, bergantung dari akal budi yang mengerti dan menilainya sebagai baik atau buruk.

1759. "Tidak ada satu perbuatan buruk yang dapat dibenarkan, karena dilaksanakan dengan maksud yang baik" (Tomas Aqu., dec. praec. I). Tujuan tidak membenarkan cara.

1760. Supaya satu perbuatan itu baik menurut moral, maka obyek, tujuan, dan faktor situasio-nal harus baik.

1761. Ada tingkah laku konkret yang selalu salah kalau dipilih. Karena keputusan semacam itu sudah mengandaikan satu kekacauan kehendak, artinya sesuatu yang buruk secara moral. Tidak diperbolehkan melakukan sesuatu yang buruk, supaya dapat diperoleh sesuatu yang baik darinya.

Kamis, 25 April 2013

Katekismus Gereja Katolik Dalam Setahun - 193

KGK ke 193

ARTIKEL 3 : KEBEBASAN MANUSIA

1730. Allah telah menciptakan manusia sebagai makhluk yang berakal budi dan telah memberi kepadanya martabat seorang pribadi, yang bertindak seturut kehendak sendiri dan menguasai segaIa perbuatannya. "Allah bermaksud menyerahkan manusia kepada keputusannya sendiri" (Sir 15:14), supaya ia dengan sukarela mencari Penciptanya dan
1 Bdk. Perumpamaan penabur: Mat 13:3-23.

dengan mengabdi kepada-Nya secara bebas mencapai kesempurnaan sepenuhnya yang membahagiakan" (GS 17). [33, 2500, 1776, 1703, 366]
"Manusia itu berakal budi dan karena ia citra Allah, diciptakan dalam kebebasan, ia tuan atas tingkah lakunya" (Ireneus, haer. 4, 4, 3).

I. * Kebebasan dan tanggung jawab

1731. Kebebasan adalah kemampuan yang berakar dalam akal budi dan kehendak, untuk bertindak atau tidak bertindak, untuk melakukan ini atau itu, supaya dari dirinya sendiri melakukan perbuatan dengan sadar. Dengan kehendak bebas, tiap orang dapat menentukan diri sendiri. Dengan kebebasannya, manusia harus tumbuh dan menjadi matang dalam kebenaran dan kebaikan. Kebebasan itu baru mencapai kesempurnaannya apabila diarahkan kepada Allah, kebahagiaan kita.

1732. Selama kebebasan belum mengikatkan diri secara definitif kepada Allah, miliknya tertinggi, terdapatlah di dalamnya kemungkinan untuk memilih antara yang baik dan yang jahat, jadi entah tumbuh dalam kesempurnaan atau gagal dan berdosa. Kebebasan merupakan kekhasan dari setiap perbuatan yang sungguh-sungguh manusiawi. Ia menjadi dasar bagi pujian atau celaan, jasa atau kesalahan.

1733. Semakin ia melakukan yang baik, semakin bebas puIa manusia. Kebebasan yang benar hanya terdapat dalam pengabdian kepada yang baik dan adil. Keputusan kepada ketidaktaatan dan kepada yang jahat adalah penyalahgunaan kebebasan dan membuat orang menjadi hamba dosa.1

1734. Karena kebebasan. manusia bertanggung jawab atas perbuatannya sejauh ia menghen-dakinya. Kemajuan dalam kebajikan, pengertian tentang yang baik dan askese menguat-kan kekuasaan kehendak atas perbuatan.

1735. Tanggung jawab atas perbuatan dapat berkurang, malahan dapat dihapus sama sekali, oleh ketidakpahaman, ketidaksadaran, paksaan, perasaan takut, kebiasaan, emosi yang berlebihan, serta faktor psikis atau faktor sosial lain.

1736. Tiap perbuatan yang langsung dikehendaki perlu diperhitungkan kepada yang melaku-kannya.
Demikianlah Tuhan menyampaikan pertanyaan kepada Hawa sesudah jatuh dalam dosa di Firdaus "Apakah yang telah kauperbuat ini?" (Kej 3:13). Ia juga menanyakan yang sama kepada Kain.2 Nabi Natan bertanya kepada raja Daud sesudah perzinaan dengan isteri Uria dan sesudah ia membunuh.3
Suatu perbuatan dapat dikehendaki secara tidak langsung yakni, apabila ia terjadi karena kelengahan mengenai sesuatu yang harus diketahui atau dilakukan orang. Contoh untuk itu ialah kecelakaan karena tidak mengetahui peraturan lalu lintas.

1737. Satu akibat yang tidak dikehendaki oleh pelaku, dapat ditolerir, sebagaimana seorang ibu mengambil risiko dengan meletihkan diri secara berlebihan untuk merawat anaknya yang sakit. Akibat buruk tidak dapat diperhitungkan, kalau ia tidak dikehendaki entah sebagai tujuan entah sebagai sarana, umpamanya, kematian yang dialami seseorang, karena ia datang membantu seorang yang berada dalam bahaya. Tetapi akibat buruk itu dapat diperhitungkan, apabila sudah dapat diperkirakan sebelumnya atau kalau pelaku
1 Bdk. Rm 6:17.
2 Bdk. Kej 4:10.
3 Bdk. 2 Sam 12:7-15.
dapat mengelakkannya, seperti umpamanya kematian seorang manusia yang disebabkan oleh seorang sopir yang mabuk.

1738. Kebebasan dilaksanakan dalam hubungan antar manusia.
Tiap manusia memiliki hak kodrati supaya diakui sebagai makhluk yang bebas dan bertanggung-jawab, karena ia telah diciptakan menurut citra Allah. Semua manusia harus memberi penghormatan ini satu sama lain. Hak untuk melaksanakan kebebasan diikat secara tidak terpisahkan dengan martabat manusia, terutama dalam masalah kesusilaan dan agama.1 Hak ini harus diakui oleh hukum negara, dan dilindungi dalam batas-batas kepentingan bersama dan tata tertib umum.2

II.* Kebebasan manusia dalam tata keselamatan

1739. Kebebasan dan dosa.
Kebebasan manusia itu terbatas dan dapat bersalah. Dan dalam kenyataan manusia telah bersalah. Ia telah berdosa dengan sukarela. Dengan menolak rencana cinta kasih Allah, ia menipu diri sendiri; ia menjadi hamba dosa. Pengasingan yang pertama ini menyebabkan lebih banyak lagi yang lainnya. Sejarah umat manusia sejak awal diwarnai kejadian jahat dan penindasan yang timbul dari dalam hati manusia karena penyalahgunaan kebebasan.

1740. Ancaman terhadap kebebasan.
Kebebasan tidak memberi kita hak untuk mengatakan segaIa sesuatu dan membuat segaIa sesuatu. Tidak benar bahwa manusia adalah subyek kebebasan, yang "mencukupi diri sendiri, dan yang bertujuan untuk dapat memuaskan kepentingan sendiri dalam menikmati harta benda duniawi" (CDF, Instr. "Libertatis conscientia" 13).
Prasyarat ekonomis dan sosial, politis dan budaya untuk pelaksanaan kebebasan yang adil, terlalu sering diabaikan atau dilecehkan. Kebutaan dan ketidakadilan semacam itu membebani kehidupan susila dan menggoda orang kuat dan orang lemah supaya berdosa melawan cinta kasih. Kalau manusia menjauhkan diri dari peraturan susila, ia meng-halangi kebebasannya, mengikat diri pada diri sendiri, memutuskan tali persaudaraan, dan membangkang terhadap kebenaran ilahi.

1741. Pembebasan dan keselamatan.
Dengan salib-Nya yang mulia, Kristus telah memperoleh keselamatan bagi semua manusia. Ia telah membebaskan mereka dari dosa yang membelenggu mereka. "Kristus telah memerdekakan kita" (Gal 5:1). Di dalam Dia kita mengambil bagian dalam "kebenaran" yang memerdekakan (Yoh 8:32). Kepada kita diberi Roh Kudus, dan "di mana ada Roh Allah, di situ ada kemerdekaan" (2 Kor 3:17), demikian santo Paulus mengajarkan. Sejak sekarang kita bermegah bahwa "kita telah masuk ke dalam kemerdekaan kemuliaan anak-anak Allah" (Rm 8:21).

1742. Kemerdekaan dan rahmat.
Rahmat Kristus sama sekali tidak membatasi kemerdekaan kita, jikalau kemerdekaan ini sesuai dengan cita rasa kebenaran dan kebaikan, yang Allah telah letakkan di dalam hati manusia. Pengalaman Kristen membuktikan yang sebaliknya terutama dalam doa: semakin kita mengikuti dorongan rahmat, maka kemerdekaan batin kita dan ketabahan kita dalam percobaan serta dalam menghadapi tekanan dan paksaan dari dunia luar akan semakin bertambah. Melalui karya rahmat, Roh Kudus mendidik kita menuju
1 Bdk. DH 2.
2 Bdk. DH 7.
kemerdekaan rohani, supaya menjadikan kita rekan kerja yang bebas dari karya-Nya dalam Gereja dan dunia.
"Bapa yang mahakuasa dan maharahim, ... singkirkanlah segaIa sesuatu yang merintangi kebahagiaan kami, dan jauhkanlah apa yang membebani jiwa dan raga kami, sehingga dengan tulus ikhlas kami melaksanakan kehendak-Mu" (Doa pembukaan, Hari Minggu 32).

TEKS-TEKS SINGKAT

1743. Allah telah "menyerahkan manusia kepada keputusannya sendiri" (Sir 15:14), supaya manusia mencari Penciptanya secara bebas dan dengan demikian datang kepada kesempurnaan yang membahagiakan.1

1744. Kemerdekaan adalah kekuasaan untuk bertindak atau tidak bertindak dan dengan demikian melakukan pekerjaan yang dikehendaki secara bebas. Pelaksanaan kebebasan itu sempurna, jika ia diarahkan kepada Allah, harta yang tertinggi.

1745. Kebebasan mewarnai perbuatan yang sungguh manusiawi. Ia menjadikan manusia bertanggung jawab atas perbuatan-perbuatan yang dikerjakan dengan kehendak bebas. Perbuatan-perbuatan yang dikehendaki manusia, tetap dimilikinya.

1746. Ketidakpahaman, perasaan takut, dan faktor psikis atau sosial yang lain dapat mengu-rangi atau menghapuskan tanggung jawab atas suatu perbuatan.

1747. Hak untuk melaksanakan kebebasan merupakan satu unsur yang tidak dapat dipisahkan dari martabat manusia, terutama dalam bidang agama dan susila. Tetapi dengan melaksanakan kebebasan itu tidak diberi puIa hak untuk mengatakan segaIa sesuatu atau melakukan segaIa sesuatu.

1748. "Kristus telah memerdekakah kita" (Gal 5:1).

Rabu, 24 April 2013

Katekismus Gereja Katolik Dalam Setahun - 192

KGK ke 192

ARTIKEL 2 : PANGGILAN KITA MENUJU KEBAHAGIAAN

I. * Sabda bahagia

1716. Sabda bahagia terdapat dalam inti khotbah Yesus. Mereka mengangkat kembali janji-janji yang telah diberi kepada umat terpilih sejak Abraham. Sabda bahagia menyempur-nakan janji-janji itu, karena tidak hanya diarahkan kepada pemilikan satu tanah saja, tetapi kepada Kerajaan surga
 Berbahagialah orang yang miskin di hadapan Allah, karena merekalah yang empunya Kerajaan surga
 Berbahagialah orang yang berdukacita, karena mereka akan dihibur.
 Berbahagialah orang yang lemah lembut, karena mereka akan memiliki bumi.
 Berbahagialah orang yang lapar dan haus akan kebenaran, karena mereka akan dipuaskan.
 Berbahagialah orang yang murah hatinya, karena mereka akan beroleh kemurahan.
 Berbahagialah orang yang suci hatinya, karena mereka akan melihat Allah.
 Berbahagialah orang yang membawa damai, karena mereka akan disebut anak-anak Allah.
 Berbahagialah orang yang dianiaya oleh sebab kebenaran, karena merekalah yang empunya Kerajaan surga.
 Berbahagialah kamu, jika karena Aku kamu diceIa dan dianiaya dan kepadamu difitnahkan segaIa yang jahat.
 Bersukacita dan bergembiralah, karena upahmu besar di surga.
(Mat 5:3-12). 2546

1717. Sabda bahagia mencerminkan wajah Yesus Kristus dan cinta kasih-Nya. Mereka menun-jukkan panggilan umat beriman, diikutsertakan di dalam sengsara dan kebangkitan-Nya; mereka menampilkan perbuatan dan sikap yang mewarnai kehidupan Kristen; mereka merupakan janji-janji yang tidak disangka-sangka, yang meneguhkan harapan di dalam kesulitan; mereka menyatakan berkat dan ganjaran, yang murid-murid sudah miliki secara rahasia; mereka sudah dinyatakan dalam kehidupan Perawan Maria dan semua orang kudus.

II. * Kerinduan akan kebahagiaan

1718. Sabda bahagia sesuai dengan kerinduan kodrati akan kebahagiaan. Kerinduan ini berasal dari Allah. Ia telah meletakkannya di dalam hati manusia, supaya menarik mereka kepada diri-Nya, karena hanya Allah dapat memenuhinya: [27]
"Pastilah kita semua hendak hidup bahagia, dan dalam umat manusia tidak ada seorang pun yang tidak setuju dengan rumus ini, malahan sebelum ia selesai diucapkan" (Agustinus, mor. eccl. 1, 3, 4).
"Dengan cara mana aku mencari Engkau, ya Tuhan? Karena kalau aku mencari Engkau, Allahku, aku mencari kehidupan bahagia. Aku hendak mencari Engkau, supaya jiwaku hidup. Karena tubuhku hidup dalam jiwaku, dan jiwaku hidup dalam Engkau" (Agustinus, conf. 10, 29).
"Allah sendiri memuaskan" (Tomas Aqu, , symb. 1).

1719. Sabda bahagia mengungkapkan arti keberadaan manusia, tujuan akhir perbuatan manusia: kebahagiaan di dalam Allah. Allah memberi panggilan ini kepada setiap manusia secara pribadi, tetapi juga kepada seluruh Gereja, kepada umat, yakni mereka yang telah menerima janji dan hidup dari-Nya dalam iman.

Ill. * Kebahagiaan Kristen

1720. Perjanjian Baru memakai pelbagai gagasan untuk mengungkapkan kebahagiaan, ke mana Allah memanggil manusia: kedatangan Kerajaan Allah; 1 melihat Allah:
"Berbahagialah orang yang suci hatinya, karena mereka akan melihat Allah" (Mat 5:8); 2 masuk ke dalam kegembiraan Tuhan3 dan masuk ke dalam perhentian Allah.4
"Di sana kita akan berpesta dan melihat, melihat dan mengasihi, mengasihi dan memuji. Ya, pada akhirya tidak akan ada titik akhir. Karena tujuan apakah yang kita miliki, kalau bukan ini, untuk sampai kepada Kerajaan yang tidak memiliki titik akhir?" (Agustinus, civ. 22, 30).

1721. Allah memanggil kita ke dalam keberadaan, supaya kita mengenal Dia, melayani Dia, mengasihi Dia, dan dengan demikian masuk ke dalam Firdaus. Kebahagiaan membuat kita mengambil bagian "dalam kodrat ilahi" (2 Ptr 1:4) dan dalam kehidupan abadi.5 Dengannya manusia masuk ke dalam kemuliaan Kristus6 dan ke dalam kesenangan kehidupan Tritunggal.

1722. Kebahagiaan semacam itu melampaui akal budi dan daya-daya manusia. Ia dianugerah-kan oleh rahmat Allah. Karena itu, orang menamakannya adikodrati, seperti rahmat, yang mempersiapkan manusia untuk masuk ke dalam kegembiraan Allah.
"Berbahagialah orang yang suci hatinya, karena mereka akan melihat Allah. Dalam keagungan dan kemuliaan-Nya yang tak terkatakan, tidak ada seorang pun akan melihat Allah dan hidup karena Bapa tidak dapat dimengerti. Dalam cinta kasih-Nya, dalam keramahtamahan-Nya terhadap manusia dan kemahakuasaan-Nya, Ia berlangkah begitu jauh sehingga Ia memberi kepada mereka yang mencintai-Nya, hak istimewa untuk memandang Allah... Karena, apa yang tidak mungkin bagi manusia, mungkin bagi Allah" (Ireneus, haer. 4, 20, 5).

1723. Kebahagiaan yang dijanjikan menuntut keputusan-keputusan moral yang penting dari kita. Ia mengundang kita, membersihkan hati kita dari nafsu yang jahat dan berusaha supaya mencintai Allah di atas segala-galanya. Ia mengajarkan kepada kita: kebahagiaan
1 Bdk. Mat 4:17.
2 Bdk. 1 Yoh 3:2; 1 Kor 13:12.
3 Bdk. Mat 25:21.23.
4 Bdk. Ibr 4:7-11
5 Bdk. Yoh 17:3.
6 Bdk. Rm 8:18.
sejati tidak terletak dalam kekayaan dan kemakmuran tidak dalam ketenaran dan kekuasaan, juga tidak dalam karya manusia - bagaimanapun juga nilainya seperti ilmu pengetahuan, teknik, dan kesenian - dan juga tidak dalam salah satu makhluk, tetapi hanya di dalam Allah, sumber segaIa yang baik dan segaIa cinta kasih.
"Semua orang bertekuk lutut di depan kekayaan: manusia, kebanyakan orang, menyembahnya secara naluriah. Mereka mengukur kebahagiaan menurut kekayaan, dan menurut kekayaan mereka mengukur juga nilai seseorang.... Semuanya itu berasal dari keyakinan bahwa dengan kekayaan orang bisa beroleh segaIa sesuatu. Kekayaan adalah salah satu berhaIa dewasa ini, dan selanjutnya kesohoran... Kemasyhuran, kenyataan bahwa seorang dikenal dan disanjung dunia (satu hal yang bisa disebut "bintang pers") telah dianggap sebagai sesuatu hal yang baik dalam dirinya sendiri, suatu kebaikan tertinggi, satu obyek untuk dihormati" (J. H. Newman, mix. 5: Tentang Kekudusan).

1724. Dekalog, khotbah di bukit, dan ajaran para Rasul menunjukkan kepada kita jalan menuju Kerajaan surga. Kita berjalan dijalan ini langkah demi langkah, dalam pelaksanaan tugas kita sehari-hari, ditopang oleh rahmat Roh Kudus. Oleh karya Sabda Kristus, lama-kelamaan kita menghasilkan buah di dalam Gereja demi kemuliaan Allah.1

TEKS-TEKS SINGKAT

1725. Sabda bahagia mengambil alih dan memenuhi apa yang Allah telah janjikan sejak Abraham, dengan mengarahkan janji-janji itu kepada Kerajaan surga. Mereka sesuai dengan kerinduan akan kebahagiaan, yang telah diletakkan Allah di dalam hati manusia.

1726. Sabda bahagia menunjukkan kepada kita tujuan akhir, yang untuknya Allah telah memanggil kita: Kerajaan surga, memandang Allah, mengambil bagian dalam kodrat ilahi, kehidupan abadi, pengangkatan sebagai anak Allah, dan perhentian di dalam Allah.

1727. Kebahagiaan kehidupan abadi adalah anugerah rahmat Allah; sifatnya adikodrati seperti rahmat, yang mengantar kepadanya.

1728. Sabda bahagia menuntut dari kita keputusan-keputusan penting yang ada hubungannya dengan kekayaan duniawi. Mereka membersihkan hati kita dan mengajarkan kita mencintai Allah di atas segaIa sesuatu.

1729. Kebahagiaan surgawi menentukan ukuran-ukuran untuk penggunaan kekayaan duniawi sesuai hukum Allah.

Selasa, 23 April 2013

Katekismus Gereja Katolik Dalam Setahun - 191

KGK ke 191

SEKSI SATU

PANGGILAN MANUSIA: HIDUP DALAM ROH KUDUS

1699. Hidup dalam Roh Kudus menyempumakan panggilan manusia (Bab I). Hidup itu mencakup cinta kepada Allah dan solidaritas dengan manusia (Bab II). Itu dianugerahkan karena rahmat demi keselamatan kita (Bab III).

BAB SATU

MARTABAT MANUSIA

1700. Martabat manusia berakar dalam penciptaannya menurut citra dan rupa Allah (Artikel 1); ia disempumakan dalam panggilannya ke dalam kebahagiaan Allah (Artikel 2). Tugas manusia ialah menyongsong penyempurnaan itu dalam kebebasan (Artikel 3). Oleh tindakan-tindakannya yang sadar (Artikel 4), manusia mengikuti yang baik yang dijanjikan Allah dan disaksikan hati nuraninya atau ia melawannya (Artikel 5). Manusia memberi sumbangan tersendiri untuk pertumbuhan batinnya; ia memakai seluruh kemampuan cita rasa dan rohnya sebagai sarana demi pertumbuhan ini (Artikel 6). Dengan bantuan rahmat, ia tumbuh dalam kebajikan (Artikel 7), menjauhkan dosa dan menyerahkan diri, setelah ia berdosa, kepada kerahiman Bapa surgawinya seperti anak yang hilang itu1 (Artikel 8). Dengan demikian, ia memperoleh cinta kasih yang sempurna.

ARTIKEL 1 * MANUSIA: CITRA ALLAH

1701. "Kristus ... dalam pewahyuan misteri Bapa serta cinta kasih-Nya sendiri, sepenuhnya menampilkan manusia bagi manusia, dan membeberkan kepadanya panggilannya yang amat luhur" (GS 22, 1). Di dalam Kristus, "gambar Allah yang tidak kelihatan" (Kol 1:15),2 manusia diciptakan menurut "citra" Pencipta, "serupa dengan Dia". [27] Di dalam Kristus, Penebus dan Juru Selamat, citra ilahi di dalam manusia yang telah dirusakkan dosa pertama diperbaiki dalam keindahannya yang asli dan dimumikan oleh rahmat Allah.3
1702. Citra Allah hadir dalam setiap manusia. Ia menjadi tampak dalam persekutuan manusia yang menyerupai kesatuan Pribadi-pribadi ilahi.
1 Bdk. Luk 15:11-31.
2 Bdk. 2 Kor 4:4.
3 Bdk. GS 22, 2.

1703. Karena ia mempunyai "jiwa yang bersifat rohani dan kekal abadi" (GS 14), maka "manusia... merupakan satu-satunya makhluk di dunia ini... yang oleh Allah dikehendaki demi dirinya sendiri" (GS 24, 3). Sudah sejak pembuahannya, ia telah ditentukan untuk kebahagiaan abadi. [33, 2500, 1730, 1776, 366]

1704. Manusia mengambil bagian dalam terang dan kekuatan Roh ilahi. Dengan akal budinya, ia mampu mengerti susunan yang diletakkan oleh Pencipta dalam segala makhluk. Dengan kehendaknya, ia mampu berjalan menuju keselamatannya yang benar. Ia menemukan kesempumaannya "dalam mencari dan mencintai yang benar dan yang baik" (GS 15, 2).

1705. Berkat jiwanya dan berkat kekuatan rohani akal budi dan kehendaknya, manusia dilengkapi dengan kebebasan "yang adalah lambang yang unggul citra ilahi di dalam manusia" (GS 17).

1706. Oleh akal budinya, manusia mendengarkan suara Allah yang mengajaknya "untuk mencintai serta melakukan yang baik dan mengelakkan yang jahat" (GS 16). Setiap manusia diwajibkan untuk mematuhi hukum ini, yang menggema di dalam hati nurani dan dipenuhi dengan cinta kepada Allah dan kepada sesama. 
Dalam tindakan moral tampaklah martabat manusia.

1707. Manusia "dari awal sejarahnya, karena terpengaruh oleh yang jahat, telah menyalah gunakan kebebasannya" (GS 13, 1). Ia jatuh dalam godaan dan telah melakukan yang jahat. Memang ia masih selalu merindukan yang baik, akan tetapi kodratnya telah dilukai oleh dosa asal. Ia condong kepada yang jahat dan dapat keliru.
"Oleh karena itu dalam batinnya manusia mengalami perpecahan. Itulah sebabnya mengapa seluruh hidup manusia, ditinjau sebagai perorangan maupun secara kolektif tampak sebagai perjuangan, itu pun perjuangan yang dramatis, antara kebaikan dan kejahatan, antara terang dan kegelapan" (GS 13, 2).

1708. Oleh sengsara-Nya, Kristus telah membebaskan kita dari setan dan dari dosa. Ia telah memperoleh bagi kita kehidupan baru di dalam Roh Kudus. Rahmat-Nya memperbaiki lagi, apa yang telah dirusakkan dosa di dalam kita.

1709. Siapa yang percaya kepada Kristus menjadi anak Allah. Pengangkatan sebagai anak ini membaharui manusia dan membuatnya mengikuti contoh Kristus. Ia memungkinkannya untuk bertindak secara tepat dan melakukan yang baik. Dalam persatuan dengan Penebusnya, murid sampai kepada kesempurnaan cinta, kepada kekudusan. Kehidupan susiIa yang dimatangkan dalam rahmat, berkembang dalam kemuliaan surgawi menuju kehidupan abadi.

TEKS-TEKS SINGKAT

1710. Kristus "sepenuhnya menampilkan manusia bagi manusia, dan membeberkan kepadanya panggilannya yang amat luhur" (GS 22, 1).

1711. Manusia itu sejak pembuahannya diarahkan kepada Allah dan ditentukan untuk kebahagiaan abadi, karena ia dilengkapi dengan jiwa rohani, akal budi, dan kehendak. Ia mengusahakan kesempurnaannya dalam "mencari dan mencintai yang benar dan yang baik" (GS 15, 2).

1712. Kebebasan yang benar adalah "lambang yang unggul citra ilahi di dalam manusia" (GS 17).

1713. Manusia wajib mematuhi hukum kesusilaan kodrati yang mendorongnya "untuk mencintai serta melakukan yang baik dan mengelakkan yang jahat" (GS 16). Hukum ini bergema dalam hati nuraninya.

1714. Manusia yang dalam kodratnya telah dilukai oleh dosa asal, dapat keliru dan dalam melaksanakan kebebasannya telah condong kepada yang jahat.

1715. Siapa yang percaya kepada Kristus, memiliki kehidupan baru di dalam Roh Kudus. Kehidupan susiIa yang tumbuh menjadi matang di dalam rahmat akan menjadi sempurna di dalam kemuliaan surga.

Senin, 22 April 2013

Katekismus Gereja Katolik Dalam Setahun - 190

KGK ke 190

BAGIAN TIGA

KEHIDUPAN DALAM KRISTUS

Bagian sentral dari sarkofagus Janius Bassus; berasal dari tahun 359 dan diketemukan di Roma di bawah Gereja Santo Petrus.

Kristus yang dimuliakan - ditampilkan dalam roman yang sangat muda (tanda ke-Allah-anNya) - duduk di atas takhta surgawi, dengan kaki bertumpu atas Uranos, allah surga dunia kafir. Di sebelah kiri dan kanan tampak kedua Rasul Petrus dan Paulus. Sambil berpaling kepada Kristus mereka menerima dua gulungan Kitab - hukum baru.

Sebagaimana Musa telah menerima hukum lama dari Allah di gunung Sinai, demikian sekarang para Rasul, yang diwakili oleh pemuka-pemukanya, menerima dari Kristus, Putera Allah, Tuhan langit dan bumi, hukum baru - bukan lagi ditulis di atas loh batu, melainkan oleh Roh Kudus di dalam hati umat beriman. Kristus memberi kekuatan, untuk menghidupi "kehidupan baru" (Bdk. 1697). Apa yang Ia perintahkan demi kebahagiaan kita, Ia laksanakan di dalam kita dengan perantaraan rahmat-Nya (Bdk. 2074).

PENDAHULUAN

Hai orang Kristen, kenalilah martabatmu

1691. "Hai orang Kristen, kenalilah martabatmu! Engkau sudah ikut mengambil bagian dalam kodrat ilahi, jangan kembali kepada kemalanganmu yang lama, dan janganlah hidup di bawah martabatmu. Ingatlah akan Kepala dan Tubuh, yang engkau menjadi anggotanya. Ingatlah bahwa engkau sudah diluputkan dari kuasa kegelapan dan telah diterima dalam terang dan Kerajaan Allah" (Leo Agung, serm. 21, 2-3).

1692. Pengakuan iman mengatakan betapa besar anugerah-anugerah yang Allah karuniakan kepada manusia dalam karya penciptaan-Nya dan lebih lagi dalam karya penebusan dan pengudusan. Yang diakui iman, disampaikan Sakramen-Sakramen. Oleh Sakramen kelahiran lembali, warga Kristen telah menjadi "anak-anak Allah" (Yoh 1:12; 1 Yoh 3:1) dan telah "mengambil bagian dalam kodrat ilahi" (2 Ptr 1:4). Sambil melihat dalan iman martabatnya yang baru, orang Kristen harus mulai hidup sedemikian rupa, sehingga "sesuai dengan injil Kristus" (Flp 1:27). Untuk itu mereka disanggupkan oleh rahmat Kristus dan anugerah-anugerah Roh-Nya yang mereka terima melalui Sakramen-Sakramen dan melalui doa.

Hidup dari Allah Tritunggal

1693. Yesus Kristus lalu melakukan apa yang berkenan kepada Bapa.1 Ia hidup dalam persekutuan sempurna dengan Dia. Juga murid-murid-Nya dipanggil untuk hidup di
1 Bdk. Yoh 8:29.
depan hadirat Bapa, "yang juga melihat yang tersembunyi" (Mat 6:6), supaya mereka "menjadi sempurna, sebagaimana Bapa surgawi sempurna adalah sempurna adanya".1

1694. Warga Kristen "telah mati bagi dosa, tetapi hidup bagi Allah dalam Yesus Kristus" (Rm 6:11) karena mereka telah digabungkan di dalam Kristus melalui Pembaptisan.2 Dengan demikian, mereka mengambil bagian dalam kehidupan dari Dia yang telah bangkit.3 Dalam mengikuti Kristus dan bersatu dengan Dia,4 warga Kristen mampu meneladani Allah "sebagai anak-anak-Nya yang kekasih" (Ef 5:1) dan mengikuti-Nya pada jalan cinta kasih. Mereka berusaha supaya dalam pikiran, perkataan, dan perbuatan, "menaruh pikiran dan perasaan" yang "terdapat juga dalam Yesus Kristus" (Flp 25) dan berpedoman pada teladan-Nya.5

1695. "Dibenarkan dalam nama Tuhan Yesus Kristus dan dalam Roh Allah" (1 Kor 6:11), "dikuduskan dalam Kristus Yesus dan dipanggil menjadi orang kudus" (1 Kor 1:2), orang Kristen telah menjadi "bait Roh Kudus".6 "Roh Putera" mengajar mereka supaya berdoa kepada Bapa.7 Dan karena Ia telah menjadi kehidupan mereka, Ia mendorong mereka supaya bertindak8 sehingga mereka dapat menghasilkan "buah-buah Roh" (Gal 5:22) melalui cinta kasih yang aktif. Roh Kudus menyembuhkan luka-luka dosa dan "membaharui roh dan pikiran" kita (Ef4:23). Ia menerangi dan meneguhkan kita supaya kita hidup dalam "kebaikan, keadilan, dan kebenaran" (Ef 5:9), dalam segala-galanya sebagai "anak-anak terang" (Ef 5:8).

Dua Jalan

1696. Jalan Kristus mengantar "menuju kehidupan", tetapi sebuah jalan yang berlawanan mengantar "menuju kebinasaan" (Mat 7:13-14). Perumpamaan Injil mengenai dua jalan mempunyai tempat tetap dalam katekese Gereja. Ia menunjukkan betapa pentingnya keputusan moral untuk keselamatan kita. "Ada dua jalan: yang satu menuju kehidupan, dan yang lain menuju kematian. Tetapi mereka berbeda jauh satu dari yang lain" (Didache, 1, 1).

Katekese tentang kehidupan dalam Kristus

1697. Katekese harus menunjukkan dengan jelas betapa besar kegembiraan yang terdapat di jalan Kristus, dan apa tuntutannya.9 Katekese mengenai kehidupan "sebagai manusia baru" (Rm 6:4) di dalam Kristus haruslah merupakan:
- Katekese Roh Kudus. Ia adalah guru batin tentang kehidupan yang sesuai dengan Kristus, tamu yang mengasihi dan sahabat yang menjiwai kehidupan ini, membimbingnya, meluruskannya dan menguatkannya.
1 Bdk. Mat 5:47.
2 Bdk. Rm 6:5.
3 Bdk, Kol 2:12.
4 Bdk. Yoh 15:5.
5 Bdk. Yoh 13:12-16.
6 Bdk. 1 Kor 6:19.
7 Bdk. Gal 4:6.
8 Bdk. Gal 5:25.
9 Bdk. CT 29.

- Katekese rahmat, karena oleh rahmat kita diselamatkan dan hanya oleh rahmat perbuatan-perbuatan kita dapat menghasilkan buah untuk kehidupan abadi.
- Katekese sabda bahagia, karena jalan Kristus disimpulkan dalam sabda bahagia, jalan satu-satunya menuju kebahagiaan abadi yang dirindukan hati manusia.
- Katekese mengenai dosa dan pengampunan. Kalau manusia tidak melihat bahwa ia pendosa, ia tidak dapat mengetahui kebenaran mengenai diri sendiri; tetapi kebenaran ini adalah prasyarat untuk tingkah laku yang baik. Tanpa tawaran pengampunan, manusia tidak dapat menanggung kebenaran ini.
- Katakese keutamaan manusiawi, yang membuat kita mengerti betapa indah dan betapa patut diinginkan kemampuan dan kesediaan untuk melakukan yang baik.
- Katekese keutamaan Kristen, yakni iman, harapan, dan kasih - satu katekese yang dengan besar hati mengambil patokan pada contoh orang-orang kudus.
- Katekese perintah ganda mengenai cinta kasih, yang dikembangkan dalam dekalog.
- Katekese gerejani, karena di dalam aneka ragam pertukaran "hal-hal rohani" dalam "persekutuan para kudus", kehidupan Kristen dapat bertumbuh, berkembang, dan berkomunikasi.

1698. Yesus Kristus selalu merupakan titik acuan yang pertama dan terakhir dari katekese. Ia adalah "jalan dan kebenaran dan hidup" (Yoh 14:6). Kalau kita memandang kepada Kristus dengan penuh iman, kita dapat mengharapkan bahwa Ia akan memenuhi janji-janji-Nya dalam diri kita. Dan kalau kita mengasihi Dia, seperti Dia telah mengasihi kita, kita akan bertingkah laku sesuai dengan martabat kita.

"Aku minta kepadamu, ingatlah bahwa Tuhan kita Yesus Kristus adalah Kepalamu dan bahwa engkau adalah salah satu anggota-Nya. Ia berfungsi untuk engkau, sebagaimana kepaIa untuk anggota-anggota. SegaIa sesuatu yang menjadi milik-Nya adalah milikmu: roh, hati, tubuh, jiwa, dan segaIa kemampuan. Engkau harus memanfaatkan semuanya, seakan-akan itu milikmu, untuk melayani, memuji, mengasihi, dan memuliakan Allah. Engkau ada untuk Kristus, sebagaimana satu anggota ada untuk kepala. Karena itu, Ia merindukan dengan sangat mempergunakan segaIa kemampuanmu, seakan-akan itu milik-Nya, untuk melayani Bapa dan memuliakan-Nya" (Yohanes Eudes, Cord. 1, 5).
"Bagiku, hidup adalah Kristus" (Flp 1:21).

Minggu, 21 April 2013

Katekismus Gereja Katolik Dalam Setahun - 189

KGK ke 189

ARTIKEL 9 * PEMAKAMAN KRISTEN

1680. Semua Sakramen, terutama Sakramen-Sakramen inisiasi Kristen, bertujuan pada Paska terakhir, yang akan memasukkan Anak Allah ke dalam kehidupan Kerajaan surga melalui kematian. Dengan demikian terpenuhilah, apa yang ia akui dalam iman dan harapan: "kami menantikan kebangkitan orang mati dan kehidupan di dunia yang akan datang" (Pengakuan iman Nisea Konstantinopel).

I * Paska terakhir seorang Kristen

1681. Arti kematian secara Kristen nyata dalam terang misteri Paska, kematian dan kebangkitan Kristus, harapan kita satu-satunya. Seorang Kristen yang meninggal dalam Yesus Kristus, "beralih dari tubuh ini untuk menetap pada Tuhan" (2 Kor 5:8).

1682. Dengan kematian, akhir kehidupan sakramental, mulailah untuk warga Kristen penyempurnaan kelahiran kembali yang telah dimulai waktu Pembaptisan - "keserupaan secara definitif dengan citra Putera" berkat urapan oleh Roh Kudus - dan keikutsertaan pada perjamuan pesta Kerajaan surga yang diantisipasi dahi Ekaristi. Dan itu pun berlaku juga, apabila ia masih memerlukan penyucian lanjut, supaya dapat mengenakan pakaian perkawinan.

1683. Gereja, sebagai ibu yang secara sakramental melahirkan warga Kristen dalam penziarah-annya di dunia ini, menyertai dia pada akhir perjalanannya, untuk "menyerahkan dia ke dalam tangan Bapa". Di dalam Kristus ia menyerahkan anak rahmat-Nya ini kepada Bapa dan dengan penuh harapan menaburkan di bumi benih tubuh, yang akan bangkit dalam kemuliaan.1 Persembahan ini dirayakan dengan cara yang paling sempurna dalam kurban Ekaristi; pemberkatan yang mendahului dan yang menyusul adalah sakramentali.

II. * Perayaan Pemakaman

1684. Pemakaman Kristen tidak memberi Sakramen ataupun sakramentali kepada orang yang mati karena ia berada di luar tata rahmat sakramental. Namun demikian perayaan itu adalah upacara liturgi Gereja.2 Pelayanan Gereja di satu pihak hendak menyatakan persekutuan yang aktif dengan orang yang mati; di lain pihak ia juga mengundang jemaat yang berhimpun untuk pemakaman itu supaya mengambil bagian dalam upacara ini dan mengumumkan kepadanya kehidupan abadi.

1685. Ritus pemakaman yang berbeda-beda menyatakan ciri Paska kematian Kristen sesuai dengan keadaan dan tradisi tiap wilayah, juga menyangkut warna liturgi.3

1686. Ordo exsequiarum (OEx) liturgi Roma menyebut tiga bentuk upacara pemakaman yang sesuai dengan tiga tempat di mana itu dilakukan: rumah, gereja, dan tempat pemakaman. Ritus itu juga harus disesuaikan dengan bobot yang diberi kepadanya oleh keluarga, kebiasaan setempat, kebudayaan, dan kesalehan populer. Jalannya upacara untuk semua tradisi liturgi dan mencakup empat unsur pokok:

1687. Salam untuk jemaat. Salam imam membuka upacara. Sanak keluarga dari orang yang mati mendapat salam berupa perkataan "hiburan" [dalam arti Perjanjian Baru: kekuatan Roh Kudus dalam harapan].1 Jemaat
1 Bdk. 1 Kor 15:42-44.
2 Bdk. SC 81-82. - 3Bdk. SC 81.
3 Bdk. SC 81.
yang berkumpul dan berdoa juga mengharapkan "kata-kata hidup abadi". Kematian seorang anggota jemaat (atau hari ulang tahun kematian ataupun hari ketujuh dan keempat puluh sesudah kematian) merupakan kesempatan untuk mengarahkan pandangan melewati cakrawala dunia ini. Ia harus mengantarkan umat beriman kepada pengertian yang benar dalam iman akan Kristus yang telah bangkit.

1688. Ibadat Sabda. Perayaan upacara Sabda waktu pemakaman memerlukan satu persiapan yang saksama, karena mungkin ada juga umat beriman hadir, yang kadang sekali mengikuti liturgi, demikian juga sahabat yang bukan Katolik dari orang yang mati. Terutama homili harus menjauhkan "gaya sastra pidato perpisahan waktu pemakaman" (OEx 41) dan menjelaskan misteri kematian Kristen dalam terang Kristus yang telah bangkit.

1689. Kurban Ekaristi. Kalau perayaan itu dilakukan di gereja, maka Ekaristi adalah pusat kenyataan Paska kematian Kristen.2 Di dalamnya Gereja menyatakan persekutuannya yang berdaya guna dengan orang yang mati: ia mempersembahkan kepada Bapa dalam Roh Kudus kurban kematian dan kebangkitan Kristus dan memohon kepada-Nya, supaya membersihkan anak-Nya dari dosa-dosanya dan dari akibat-akibatnya dan menerimanya di dalam kepenuhan Paska perjamuan perkawinan surgawi.3 Melalui Ekaristi yang dirayakan atas cara ini, jemaat beriman, terutama keluarga dari orang yang mati, belajar hidup dalam persekutuan dengan dia yang "telah meninggal dalam Tuhan", dengan menerima Tubuh Kristus, dalamnya ia adalah anggota hidup, dan berdoa untuk dia dan bersama dia.

1690. Perpisahan dengan orang yang mati dalamnya Gereja "menyerahkannya kepada Allah". Perpisahan adalah "salam terakhir dari jemaat Kristen kepada seorang anggotanya, sebelum jenazahnya diusung ke makam" (OEx 10). Tradisi Bisantin menyatakan hal ini dalam kecup perpisahan kepada orang yang mati:
Dalam salam terakhir ini "orang menyanyi, karena ia telah berpisah dan berangkat dari kehidupan ini, tetapi juga, karena ada satu persekutuan dan satu penyatuan kembali. Oleh kematian kita sama sekali tidak dipisahkan satu dari yang lain, karena kita semua berjalan di jalan yang sama dan kita akan bertemu kembali di tempat yang sama. Kita tidak pernah akan dipisahkan satu dari yang lain, karena kita hidup untuk Kristus dan sekarang telah bersatu dengan Kristus; kita pergi kepada-Nya.... Kita semua akan bersatu lagi satu dengan yang lain di dalam Kristus" (Simeon dari Tesalonika, sep.).

Katekismus Gereja Katolik Dalam Setahun - 188

KGK ke 188


BAB EMPAT

PERAYAAN LITURGI YANG LAIN

ARTIKEL 8 : SAKRAMENTALI

1667. "Selain itu Bunda Gereja kudus telah mengadakan sakramentali, yakni tanda-tanda suci, yang memiliki kemiripan dengan Sakramen-Sakramen. Sakramentali itu menandakan karunia-karunia, terutama yang bersifat rohani, dan yang diperoleh berkat doa permohon-an Gereja. Melalui sakramentali hati manusia disiapkan untuk menerima buah utama Sakramen-Sakramen, dan pelbagai situasi hidup disucikan" (SC 60).1

Ciri-ciri sakramentali

1668. Gereja mengadakan sakramentali untuk menguduskan jabatan-jabatan gerejani tertentu, status hidup tertentu, aneka ragam keadaan hidup Kristen serta penggunaan benda-benda yang bermanfaat bagi manusia. Sesuai dengan keputusan pastoral para Uskup, mereka juga dapat disesuaikan dengan kebutuhan dan kebudayaan serta sejarah khusus umat Kristen suatu wilayah atau zaman. Mereka selalu mempunyai doa yang sering diiringi
1 Bdk. CIC, can. 1166; CCEO, can. 867.
dengan tanda tertentu, misalnya penumpangan tangan, tanda salib, atau pemercikan dengan air berkat, yang mengingatkan kepada Pembaptisan.

1669. Sakramentali termasuk wewenang imamat semua orang yang dibaptis: setiap orang yang dibaptis dipanggil untuk menjadi "berkat"1 dan untuk memberkati.2 Karena itu, kaum awam dapat melayani pemberkatan-pemberkatan tertentu.3 Semakin satu pemberkatan menyangkut kehidupan Gereja dan sakramental, semakin pelaksanaannya dikhususkan untuk jabatan tertahbis (Uskup, imam, dan diaken).4

1670. Sakramentali tidak memberi rahmat Roh Kudus seperti dibuat Sakramen, tetapi hanya mempersiapkan oleh doa Gereja, supaya menerima rahmat dan bekerja sama dengannya. "Dengan demikian berkat liturgi Sakramen-Sakramen dan sakramentali bagi kaum beriman yang hatinya sungguh siap hampir setiap peristiwa hidup dikuduskan dengan rahmat ilahi yang mengalir dari Misteri Paska sengsara, wafat dan kebangkitan Kristus. Dari misteri itulah semua Sakramen dan sakramentali menerima daya kekuatannya. Dan bila manusia menggunakan benda-benda dengan pantas, boleh dikatakan tidak ada satu pun yang tak dapat dimanfaatkan untuk menguduskan manusia dan memuliakan Allah" (SC 61).
Aneka ragam bentuk sakramentali

1671. Yang termasuk sakramentali pada tempat pertama ialah pemberkatan (orang, benda, tempat, atau makanan). Tiap pemberkatan adalah pujian kepada Allah dan doa meminta anugerah-anugerah. Di dalam Kristus, orang-orang Kristen "telah dikaruniai dengan segala berkat rohani" (Ef 1:3). Karena itu Gereja, apabila ia memberi berkat, menyerukan nama Yesus dan sementara itu biasanya membuat tanda salib Kristus.

1672. Pemberkatan tertentu mempunyai arti tetap, yaitu, menahbiskan pribadi-pribadi untuk Allah dan mengkhususkan benda atau tempat untuk keperluan liturgi. Dalam pemberkatan yang diberikan kepada pribadi-pribadi - yang tidak boleh dicampur-adukkan dengan tahbisan sakramental - termasuk pemberkatan abbas pria atau wanita dari sebuah biara, pemberkatan para perawan, ritus kaul kebiaraan, dan pemberkatan pribadi-pribadi yang melaksanakan pelayanan khusus di dalam Gereja (seperti lektor, akolit, dan katekis). Contoh untuk pemberkatan yang menyangkut benda-benda adalah tahbisan atau pemberkatan gereja atau altar, pemberkatan minyak-minyak suci, bejana dan pakaian sakral, serta lonceng.

1673. Kalau Gereja secara resmi dan otoritatif berdoa atas nama Yesus Kristus, supaya seorang atau satu benda dilindungi terhadap kekuatan musuh yang jahat dan dibebaskan dari kekuasaannya, orang lalu berbicara tentang eksorsisme. Yesus telah melakukan doa-doa semacam itu; 5 Gereja menerima dari Dia kekuasaan dan tugas untuk melaksanakan eksorsisme.6 Dalam bentuk sederhana eksorsisme dilakukan dalam upacara Pembaptisan. Eksorsisme resmi atau yang dinamakan eksorsisme besar hanya dapat dilakukan oleh seorang imam dan hanya dengan persetujuan Uskup. Orang harus melakukannya dengan bijaksana dan harus memegang teguh peraturan-peraturan yang disusun Gereja. Eksorsisme itu digunakan untuk mengusir setan atau untuk membebaskan dari pengaruh setan, berkat otoritas rohani yang Yesus percayakan kepada Gereja-Nya. Lain sekali dengan penyakit-penyakit, terutama yang bersifat psikis; untuk menangani hal semacam itu adalah bidang kesehatan. Maka penting bahwa sebelum seorang merayakan eksorsisme, ia harus mendapat kepastian bagi dirinya bahwa yang dipersoalkan di sini adalah sungguh kehadiran musuh yang jahat, dan bukan suatu penyakit.7
1 Bdk. Kej 12:2.
2 Bdk. Luk 6:28; Rm 12:14; 1Ptr 3:9.
3 Bdk. SC 79; CIC, can. 1168.
4 Bdk. Ben 16; 18.
5 Bdk. Mrk 1:25-26.
6 Bdk. Mrk 3:15; 6:7.13; 16:17.
7 Bdk. CIC, can. 1172.

Kesalehan rakyat

1674. Katekese tidak boleh hanya memperhatikan liturgi sakramental dan sakramentali, tetapi juga bentuk-bentuk kesalehan umat beriman dan religiositas rakyat. Semangat religius umat Kristen sejak dulu kala telah dinyatakan dalam pelbagai bentuk kesalehan, yang menyertai kehidupan Gereja seperti penghormatan relikwi, kunjungan tempat-tempat kudus, ziarah dan prosesi, jalan salib, tarian-tarian religius, rosario, dan medali.1

1675. Bentuk-bentuk pernyataan ini melanjutkan kehidupan liturgi Gereja, tetapi tidak menggantikannya. "Sambil mengindahkan masa-masa liturgi, ulah kesalehan itu perlu diaturur sedemikian rupa, sehingga sesuai dengan liturgi suci; sedikit banyak harus bersumber pada liturgi, dan menghantar umat kepadanya; sebab menurut hakikatnya liturgi memang jauh lebih unggul dari semua ulah kesalehan itu" (SC 13).

1676. Diperlukan suatu kemampuan untuk menilai secara pastoral guna menunjang atau memajukan kesalehan rakyat, dan kalau perlu, menjernihkan dan meluruskan semangat religius yang menjadi dasar devosi-devosi semacam itu, sehingga devosi-devosi itu semakin mengembangkan pengetahuan mengenai misteri Kristus. Perayaannya berada di bawah pengawasan dan keputusan para Uskup dan kaidah-kaidah umum Gereja.2
"Religiositas populer pada intinya adalah satu himpunan nilai, yang dengan kebijaksan Kristen menjawab pertanyaan-pertanyaan besar mengenai eksistensi. Kebijaksanaan umat Katolik mempunyai kemampuan untuk membuat sintesis kehidupan; demikianlah ia menggabungkan atas cara penuh daya cipta, Yang Ilahi dan yang manusiawi, Kristus dan Maria, roh dan tubuh, persekutuan dan institusi, pribadi dan persekutuan, iman dan tanah air, akal budi dan perasaan. Kebijaksanaan ini adalah satu humanisme Kristen, yang pada dasarnya mengakui martabat setiap pribadi sebagai anak Allah, yang membuktikan dan mengajarkan satu persaudaraan yang sangat mendasar untuk menemui alam dan mengerti pekerjaan, dan memberi alasan-alasan untuk kegembiraan dan untuk humor, juga di tengah kehidupan yang sangat kejam. Kebijaksanaan itu juga bagi umat adalah satu prinsip dasar supaya mampu membeda-bedakan, satu naluri yang didukung oleh Injil, dan atas dasar itu ia mengerti secara spontan, bilamana di dalam Gereja lnjil dilayani dan bilamana ia dirongrong dan dimati-lemaskan oleh kepentingan-kepentingan lain" (Dokumen Puebla 448).3

TEKS-TEKS SINGKAT

1677. Sakramentali adalah tanda-tanda khusus yang diadakan oleh Gereja, yang ditentukan untuk mempersiapkan manusia supaya menerima buah-buah Sakramen dan supaya menguduskan berbagai keadaan hidup.

1678. Di antara sakramentali, pemberkatan-pemberkatan memainkan peranan penting. Mereka serentak merupakan pujian kepada Allah untuk karya dan anugerah-Nya dan permohonan Gereja untuk manusia, supaya mereka dapat mempergunakan anugerah-anugerah Allah dalam semangat Injil.

1679. Hidup Kristen tidak hanya dipupuk oleh liturgi, tetapi juga oleh aneka ragam bentuk kesalehan populer yang berakar dalam berbagai kebudayaan. Gereja berusaha untuk menjelaskan kesalehan populer ini melalui terang iman; ia memajukan bentuk-bentuk itu, yang di dalamnya terlihat satu naluri dan satu kebijaksanaan manusia yang sesuai dengan Injil dan memperkaya kehidupan Kristen.
1 Bdk. Konsili Nisea: DS 601; 603; Konsili Trente: DS 1882.
2 Bdk. CT 54.
3 Bdk. EN 48.

Jumat, 19 April 2013

Katekismus Gereja Katolik Dalam Setahun - 187

KGK ke 187

V. * Nilai dan tuntutan cinta suami isteri

1643. "Cinta kasih suami isteri mencakup suatu keseluruhan. Di situ termasuk semua unsur pribadi: tubuh beserta naluri-nalurinya, daya kekuatan perasaan dan afektivitas, aspirasi roh maupun kehendak. Yang menjadi tujuan yakni: kesatuan yang bersifat pribadi sekali; kesatuan yang melampaui persatuan badani dan mengantar menuju pembentukan satu hati dan satu jiwa; kesatuan itu memerlukan sifat tidak terceraikan dan kesetiaan dalam penyerahan diri secara timbal balik yang definitif, dan kesatuan itu terbuka bagi kesuburan. Pendek kata: itulah ciri-ciri normal setiap cinta kasih kodrati antara suami dan isteri, tetapi dengan makna baru, yang tidak hanya menjernihkan serta meneguhkan, tetapi juga mengangkat cinta itu, sehingga menjadi pengungkapan nilai-nilai yang khas Kristen". (FC 13).

Perkawinan itu satu dan tidak terceraikan

1644. Cinta suami isteri dari kodratnya menuntut kesatuan dan sifat yang tidak terceraikan dari persekutan pribadi mereka, yang mencakup seluruh hidup mereka: "mereka bukan lagi dua, melainkan satu" (Mat 19:6).4 "Mereka dipanggil untuk tetap bertumbuh dalam kesatuan mereka melalui kesetiaan dari hari ke hari terhadap janji Perkawinannya untuk saling menyerahkan diri seutuhnya" (FC 19). Persatuan manusia ini diteguhkan, dijernihkan, dan disempurnakan oleh persatuan dalam Yesus Kristus yang diberikan dalam Sakramen Perkawinan. Ia memperdalam diri dengan hidup iman bersama dan oleh Ekaristi yang diterima bersama.

1645. "Karena kesamaan martabat pribadi antara suami dan isteri, yang harus tampil dalam kasih sayang timbal balik dan penuh-purna, jelas sekali nampaklah kesatuan Perkawinan
1 Bdk. LG 41.
2 Bdk. Gal 6:2.
3 Bdk. FC 13.
4 Bdk. Kej 2:24.
yang dikukuhkan oleh Tuhan" (GS 49, 2). Poligami melawan martabat yang sama suami isteri dan cinta dalam keluarga, yang unik dan eksklusif.1

Kesetiaan dalam cinta suami isteri

1646. Dari kodratnya cinta Perkawinan menuntut kesetiaan yang tidak boleh diganggu gugat oleh suami isteri. Itu merupakan akibat dari penyerahan diri dalamnya suami isteri saling memberi diri. Cinta itu sifatnya definitif. Ia tidak bisa berlaku hanya "untuk sementara". "Sebagaimana saling serah diri antara dua pribadi, begitu pula kesejahteraan anak-anak, menuntut kesetiaan suami isteri yang sepenuhnya, dan menjadikan tidak terceraikannya kesatuan mereka mutlak perlu" (GS 48, 1).

1647. Alasan terdalam ditemukan dalam kesetiaan Allah dalam perjanjian-Nya dan dalam kesetiaan Kristus kepada Gereja-Nya. Oleh Sakramen Perkawinan suami isteri disang-gupkan untuk menghidupi kesetiaan ini dan untuk memberi kesaksian tentangnya. Oleh Sakramen, maka Perkawinan yang tak terceraikan itu mendapat satu arti baru yang lebih dalam.

1648. Mengikat diri untuk seumur hidup kepada seorang manusia, dapat kelihatan berat, malahan tidak mungkin. Maka lebih penting lagi untuk mewartakan kabar gembira, bahwa Allah mencintai kita dengan cinta yang definitif dan tak terbatalkan, bahwa suami isteri mengambil bagian dalam cinta ini, bahwa cinta ini menopang dan membantu mereka dan bahwa mereka dapat menjadi saksi-saksi cinta Allah yang setia melalui kesetiaan mereka. Suami isteri, yang dengan bantuan Allah memberi kesaksian ini dalam keadaan yang sering kali sangat sulit, berhak atas terima kasih dan bantuan dari persekutuan gerejani.2

1649. Tetapi ada situasi, di mana hidup bersama dalam keluarga, karena alasan-alasan yang sangat bervariasi, praktis tidak mungkin lagi. Dalam keadaan semacam ini Gereja mengizinkan, bahwa suami isteri secara badani berpisah dan tidak perlu lagi tinggal bersama. Tetapi Perkawinan dari suami isteri yang berpisah ini tetap sah di hadirat Allah; mereka tidak bebas untuk mengadakan Perkawinan baru. Dalam situasi yang berat ini perdamaian merupakan penyelesaian yang terbaik, jika mungkin. Jemaat Kristen harus membantu orang-orang ini, agar dapat menanggulangi situasi hidup mereka ini secara Kristen dan dalam kesetiaan kepada ikatan Perkawinannya yang tak terpisahkan.3

1650. Dalam banyak negara, dewasa ini terdapat banyak orang Katolik yang meminta perceraian menurut hukum sipil dan mengadakan Perkawinan baru secara sipil. Gereja merasa diri terikat kepada perkataan Yesus Kristus: "Barang siapa menceraikan isterinya lalu kawin dengan perempuan lain, ia hidup dalam perzinaan terhadap isterinya itu. Dan jika si isteri menceraikan suaminya dan kawin dengan laki-laki lain, ia berbuat zina" (Mrk 10:11-12). Karena itu, Gereja memegang teguh bahwa ia tidak dapat mengakui sah ikatan yang baru, kalau Perkawinan pertama itu sah. Kalau mereka yang bercerai itu kawin lagi secara sipil, mereka berada dalam satu situasi yang secara obyektif bertentangan dengan hukum Allah. Karena itu, mereka tidak boleh menerima komuni selama situasi ini masih berlanjut. Dengan alasan yang sama mereka juga tidak boleh melaksanakan tugas-tugas tertentu dalam Gereja. Pemulihan melalui Sakramen Pengakuan hanya dapat diberikan kepada mereka yang menyesal, bahwa mereka telah mencemari tanda perjanjian dan kesetiaan kepada Kristus, dan mewajibkan diri supaya hidup dalam pantang yang benar.

1651. Kepada orang-orang Kristen yang hidup dalam situasi ini dan yang sering kali mempertahankan imannya dan ingin mendidik anak-anaknya secara Kristen, para imam dan seluruh jemaat harus memberi perhatian yang wajar, supaya mereka tidak menganggap diri seakan-akan terpisah dari Gereja, karena mereka sebagai orang yang dibaptis dapat dan harus mengambil bagian dalam kehidupannya.
1 Bdk. FC 19.
2 Bdk. FC 20.
3 Bdk. FC 83; CIC, cann. 1151-1155.

"Hendaklah mereka didorong untuk mendengarkan Sabda Allah, menghadiri kurban Ekaristi, tabah dalam doa, menyumbang kepada karya-karya cinta kasih dan kepada usaha-usaha jemaat demi keadilan, membina anak-anak mereka dalam iman Kristen, mengembangkan semangat serta praktik ulah tapa, dan dengan demikian dari hari ke hari memohon rahmat Allah" (FC 84).

Kesediaan untuk kesuburan

1652. "Menurut sifat kodratinya lembaga Perkawinan sendiri dan cinta kasih suami isteri tertujukan kepada lahirnya keturunan serta pendidikannya, dan sebagai puncaknya bagaikan dimahkotai olehnya" (GS 48, 1).
"Memang anak-anak merupakan karunia Perkawinan yang paling luhur, dan besar sekali artinya bagi kesejahteraan orang-tua sendiri. Allah sendiri bersabda: Tidak baiklah manusia hidup seorang diri (Kej 2:18); lagi: Dia... yang sejak semula menjadikan mereka laki-laki dan perempuan (Mat 19:4), Ia bermaksud mengizinkan manusia, untuk secara khusus ikut serta dalam karya penciptaan-Nya sendiri, dan memberkati pria maupun wanita sambil berfirman: Beranak-cucu dan bertambah banyaklah (Kej 1:28). Oleh karena itu pengembangan kasih suami isteri yang sejati, begitu pula seluruh tata hidup berkeluarga yang bertumpu padanya, tanpa memandang kalah penting tujuan-tujuan Perkawinan lainnya, bertujuan supaya suami isteri bersedia untuk penuh keberanian bekerja sama dengan cinta kasih Sang Pencipta dan Penyelamat, yang melalui mereka makin memperluas dan memperkaya keluarga-Nya" (GS 50, 1).

1653. Kesuburan cinta kasih suami isteri terlihat juga di dalam buah-buah kehidupan moral, rohani, dan adikodrati, yang orang-tua lanjutkan kepada anak-anaknya melalui pendi-dikan. Orang-tua adalah pendidik yang pertama dan terpenting.1 Dalam arti ini, maka tugas mendasar dari perkawinan dan keluarga terletak dalam pengabdian kehidupan.2

1654. Suami isteri yang tidak dikarunia Tuhan dengan anak-anak, masih dapat menjalankan kehidupan berkeluarga yang berarti secara manusiawi dan Kristen: Perkawinan mereka dapat menghasilkan dan memancarkan cinta kasih, kerelaan untuk membantu, dan semangat berkurban.

VI. * Gereja-Rumah tangga

1655. Kristus memilih supaya dilahirkan dan berkembang dalam pangkuan keluarga Yosef dan Maria. Gereja itu tidak lain dari "keluarga Allah". Sejak awal, pokok Gereja sering kali dibentuk dari mereka yang menjadi percaya "dengan seluruh keluarganya".3 Ketika mereka bertobat, mereka juga menginginkan, agar "seisi rumah mereka" menerima keselamatan.4 Keluarga-keluarga yang menjadi percaya ini adalah pulau-pulau kehidupan Kristen di dalam dunia yang tidak percaya.

1656. Dewasa ini, di suatu dunia yang sering kali berada jauh dari iman atau malahan bermu-suhan, keluarga-keluarga Kristen itu sangat penting sebagai pusat suatu iman yang hidup dan meyakinkan. Karena itu Konsili Vatikan II menamakan keluarga menurut sebuah ungkapan tua "Ecclesia domestica" [Gereja-rumah tangga] (LG 11).5 Dalam pangkuan keluarga "hendaknya orang-tua dengan perkataan maupun teladan menjadi pewarta iman
1 Bdk. GE 3.
2 Bdk. FC 28.
3 Bdk. Kis 18:8.
4 Bdk. Kis 16:31 dan 11:14.
5 Bdk. FC 21.
pertama bagi anak-anak mereka; orang-tua wajib memelihara panggilan mereka masing-masing, secara istimewa panggilan rohani" (LG 11, 2).

1657. Disini dilaksanakan imamat yang diterima melalui Pembaptisan, yaitu imamat bapa keluarga, ibu, anak-anak, semua anggota keluarga atas cara yang paling indah "dalam menyambut Sakramen-Sakramen, dalam berdoa dan bersyukur, dengan memberi kesaksian hidup suci, dengan pengingkaran diri serta cinta kasih yang aktif" (LG 10). Dengan demikian keluarga adalah sekolah kehidupan Kristen yang pertama dan "suatu pendidikan untuk memperkaya kemanusiaan" (GS 52, 1). Di sini orang belajar ketabahan dan kegembiraan dalam pekerjaan, cinta saudara sekandung, pengampunan dengan jiwa besar, malahan berkali-kali dan terutama pengabdian kepada Allah dalam doa dan dalam penyerahan hidup.

1658. Kita harus memperhatikan lagi satu kategori umat, yang akibat situasi nyata kehidupannya – yang sering tidak mereka pilih secara sukarela – begitu dekat dengan hati Yesus dan karena itu patut mendapat penghargaan dan perhatian istimewa dari pihak Gereja, terutama dari para pastor: jumlah besar kelompok orang yang tidak kawin. Banyak dari mereka hidup tanpa keluarga manusiawi, karena mereka miskin. Beberapa orang menanggulangi situasi kehidupan mereka dalam jiwa sabda bahagia, di mana mereka dengan sangat baik mengabdi kepada Allah dan sesama. Bagi mereka semua, harus dibuka pintu-pintu keluarga, "Gereja-rumah tangga" dan pintu keluarga besar, Gereja. "Tidak ada seorang pun di dunia tanpa keluarga. Gereja adalah rumah tangga dan keluarga bagi siapa pun juga, khususnya bagi mereka yang letih lesu dan berbeban berat (Mat 11:28)" (FC 85).

TEKS-TEKS SINGKAT

1659. Santo Paulus berkata: "Hai suami, kasihilah isterimu sebagaimana Kristus telah mengasihi jemaat. Rahasia ini besar; tetapi yang aku maksudkan ialah hubungan Kristus dengan jemaat" (Ef 5:25. 32).

1660. Perjanjian Perkawinan, yang dengannya seorang pria dan seorang wanita membentuk persekutan hidup dan cinta kasih yang mesra, diciptakan oleh Khalik dan dilengkapi dengan hukum tersendiri. Berdasarkan ciri kodratnya perjanjian ini diarahkan kepada kesejahteraan suami isteri serta kepada pengadaan keturunan dan pendidikan anak-anak. Perjanjian Perkawinan antara umat yang telah dibaptis ditingkatkan oleh Kristus Tuhan, ke martabat Sakramen.1

1661. Sakramen Perkawinan adalah tanda untuk perjanjian antara Kristus dan Gereja. Ia memberi rahmat kepada suami isteri, agar saling mencintai dengan cinta, yang dengannya Kristus mencintai Gereja. Dengan demikian rahmat Sakramen menyempur-nakan cinta manusiawi suami isteri, meneguhkan kesatuan yang tak terhapuskan dan menguduskan mereka di jalan menuju hidup abadi.2

1662. Perkawinan berakar dalam kesepakatan dari pihak-pihak yang mengadakan perjanjian, artinya dalam kehendak saling menyerahkan diri secara definitif, supaya hidup dalam perjanjian Perkawinan yang setia dan subur.
1 Bdk. GS 48, 1; CIC, can. 1055 §1.
2 Bdk. Konsili Trente: DS 1799.

1663. Oleh karena Perkawinan menempatkan suami isteri dalam status kehidupan resmi dalam Gereja, maka tepat bahwa Perkawinan secara publik dilaksanakan dalam kerangka perayaan liturgi di depan imam (atau di depan saksi yang diberi kuasa oleh Gereja untuk maksud tersebut), di depan para saksi Perkawinan dan di depan jemaat beriman.

1664. Sifat kesatuan, tak terceraikan, dan kesediaan untuk kesuburan adalah sangat hakiki bagi Perkawinan. Poligami tidak sesuai dengan kesatuan Perkawinan. Perceraian memisahkan apa yang Allah telah persatukan; penolakan untuk menjadi subur, menghapus dari hidup Perkawinan, "anugerah yang paling utama", anak (GS 50, 1).

1665. Mereka yang bercerai, yang kawin lagi selama suami atau isteri sah masih hidup, melanggar rencana dan perintah Allah sebagaimana diajarkan Kristus. Mereka memang tidak dipisahkan dari Gereja namun mereka tidak boleh menerima komuni kudus. Namun mereka masih dapat menata kehidupan mereka secara Kristen, terutama dengan mendidik anak-anak mereka dalam iman.

1666. Keluarga Kristen adalah tempat anak-anak menerima pewartaan pertama mengenai iman. Karena itu tepat sekali ia dinamakan "Gereja-rumah tangga" - satu persekutuan rahmat dan doa, satu sekolah untuk membina kebajikan-kebajikan manusia dan cinta kasih Kristen.