Mengasihi Sesama

Mengasihi Sesama
Ibu Theresa dari Calcuta

Minggu, 26 Desember 2010

Hasil Konsultasi dengan Bapak Uskup

Sesuai yang menjadi kegundahan sebelumnya, dimana saya pribadi pertama-tama telah menyalahi apa yang diajarkan gereja, tentang pemakaian alat kontrasepsi, maka langkah utama adalah membuat pengakuan dosa. Dan tentu saja hal yang ini termasuk dosa berat atau dosa besar yang perlu pengampunan dari Tuhan melalui bapak Uskup.

Dari situlah saya merasa perlu untuk membagikannya dengan umat katolik lain-nya yang mungkin saja memiliki permasalahan yang sama atau bahkan kesalahan yang sama.

Pada dasarnya saya di teguhkan dalam pengakuan dosa yang lalu, bahwa pemakaian kontrapsepsi benar-benar tidak diperkenankan , karena dalam hubungan suami isteri, kita harus menyadari 3 alasan yang melatarbelakanginya :
1. bahwa hubungan suami isteri dilakukan adalah untuk kebahagiaan suami-isteri yang melakukannya
2. bahwa hubungan suami-isteri tidak boleh menghalangi kemungkinan mendapatkan keturunan
3. bahwa hubungan suami-isteri juga merupakan pendidikan terus menerus yang perlu dibina dan dipahami
    pasangan

Dalam hal ini. suami-isteri harus bekerja sama dengan baik, dan gereja memberikan sebuah solusi dengan teknik KBA yang telah dikenal, bagi gereja kita teknik ini jelas dan tegas, diajarkan dalam setiap kursus persiapan perkawinan.

Atas alasan yang masuk akal, Jelas juga, dijaman kita sekarang pembatasan jumlah anak perlu dilakukan, tetapi harus sesuai dengan apa yang kita imani dan prinsip-prinsip ajaran gereja yang mengacu pada ajaran Tuhan demi kebaikan kita dan keselamatan kita. Semua upaya ataupun cara yang menyebabkan terjadinya pengguguran sang janin, dengan spiral ataupun alat kontrasepsi lain, sama dengan 'pematian' bakal manusia yang berarti juga melenyapkan bakal mahluk hidup. Karenanya kesalahan ini atau dosa ini dikategorikan dosa berat. Dan bagi yang telah melakukannya segeralah mengakukan dosa, agar bisa diampuni secepatnya. Amin.

Selamat Natal 2010

Selamat Natal , selamat menikmati kembali nostalgia hidup iman kita dalam 'menemukan Yesus Kristus' kembali. Entah itu saat kita menjadi percaya dan kemudian di baptis dalam Gereja Katolik, atau pun setelah kita di baptis dan 'kita secara lebih mendalam menjadi intim dengan Yesus". Yang penting saat-saat ini gereja dalam deretan perayaannya menyediakan kita waktu yang khusus untuk merasakan kembali arti kehadiran Kristus untuk diri kita dan sesama kita. Itu sebabnya, selain kita bergembira merayakan Natal, kitapun dianjurkan memberikan bingkisan pada orang-orang papa di sekitar kita.

Di sini, karena merupakan ruang maya. Saya akan membagikan sebuah tulisan bagus mengenai Natal, yang walaupun ditulis untuk tahun 2000, masih relevan untuk tahun 2010. Sepuluh tahun kemudian. Tulisan pak Hermaya ini sangat saya sukai dan mudah untuk dicerna, karena gaya tulisannya yang menarik dan ilmunya yang banyak (pendidikannya yang lengkap di Serikat Yesus dan pencaharian pribadinya yang tak kenal lelah)


Makna Natal 2000
oleh T Hermaya

Kemarin tanggal 7 Desember, Dian anak saya yang duduk di kelas dua SMP yang diasuh para suster, pulang terlambat. "Dari manaNak?" tanya saya. "Disuruh Suster mbantuin bikin Gua Natal!" jawabnya. Itulah Natal bagi Dian dan teman-temannya, bikin gua Nalal, pesta di sekolah, baju baru, dan jalan-jalan bersama ibunya membeli kaset lagu Natal dan kartu-kartu Natal untuk dikirim ke teman dan sanak saudara.

Dalam tulisan ini saya ingin mengajak Anda menembus suasana Natal yang telah dikomersialkan di pusat-pusat perbelanjaan dan tempat-tempat hiburan, hotel dan seterusnya, menuju makna yang lebih dalam.

Tidak semua lnjil memuat Natal

Dari empat Injil, hanya dua yang memuat kisah kelahiran Yesus, yakni Lukas dan Mateus. Injil yang paling tua, Injil Markus, langsung mulai dengan pembaptisan Yesus oleh Yohanes Pembaptis di Sungai Yordan dan pewartaan Yesus tentang datangnya kerajaan Allah (Mk 1,1-14).

Hal yang sama dilakukan oleh penulis injil keempat (Yoh 1,29-51).

Demikian pula St. Paulus samasekali tidak menvebut tentang peristiwa Natal dalam surat-suratnya selain bahwa Yesus lahir dari seorang perawan, dan mengikuti hukum Taurat, diutus untuk menebus mereka yang takluk pada hukum Taurat, dan menyuruh Rohnya ke dalam hati kita (Galatia 4,4-7). Harap dicatat bahwa surat-surat Paulus adalah dokumen yang jauh lebih tua daripada keempat Injil. Kalau Markus ditulis sekitar tahun 65 maka Galatia ditulis sekitar 54, jadi ada sepuluh tahun selisihnya. Pada masa-masa itu jelas bahwa peristiwa Natal tidak penting bagi kedua pengarang suci itu. Mereka disibukkan dengan hal-hal yang lebih penting, seperti makna penderitaan, kematian, dan kebangkitannya bagi jemaat.

Dua penginjil yang menulis peristiwa Natal, Mateus dan Lukas, menggubah karyanya belakangan dan hampir bersamaan waktunya (sekitar tahun 70-80) tetapi lain lingkungan jemaatnya.

Dua kisah dengan tujuan yang berbeda .

Kalau kita perhatikan kisah Natal sebagaimana termuat dalam Lukas 2,1-20, yang terasa menyolok adalah kesederhanaan keluarga Yusuf, Maria dan Yesus itu, keluarga melarat yang terpaksa melahirkan anaknya di kandang hewan, bayinya dibedung dengan gombal, dan ditaruh di tempat makan ternak. Tidak ada ongkos untuk menyewa penginapan, kata Lukas.

Sungguh menyentuh hati pembaca. Memang, Lukas adalah tukang cerita yang hebat, karyanya masih menggetarkan pembaca meski dalam terjernahan. Tetapi itu tidak menjarninbahwa faktanya memang demikian!

Mengingat bagaimana dia seringkali mengolah bahan yang telah tersedia baginya dan, yang kita ketahui dari sumber lain yang lebih dapat diandalkan obyektivitasnya (misalnya bahan-bahan yang kita temukan dalam ketujuh surat otentik St Paulus, dan bagaimana bahan itu diolah oleh Lukas dalam Kisah Para Rasulnya).

Dari apa yang dapat kita gali di dalam injil Lukas, kelihatanlah bahwa jemaat Lukas adalah orang-orang berada, kaya, terpandang dan terpelajar.

Mereka samasekali hidup dalam budaya Yunani (Helenisme), sudah tidak ada bekas-bekas penggunaan bahasa Aram atau Hibrani. Injilnya menggunakan bahasa Yunani halus, mendekati bahasa sastra. Kepada jemaat ini Lukas ingin menyampaikan amanat bagaimana mereka harus menggunakan anugerah kekayaan harta benda itu. Maka ditampilkannyalah macam-macam contoh perilaku orang kaya: yang tidak peduli dengan si miskin (perumpamaan Lazarus Lk 16,20-25); anak orang kaya yang tak tahu menggunakan harta bapaknya Lk 15, 11 -32); bendahara yang licik Lk 16,1-9 dan sebagainya. Dalam kisah Natalnya Lukas memberi contoh bagaimana orang Kristen harus hidup dengan sederhana mencontoh Tuhannya yang lahir di kandang hewan; jangan mengandalkan kekayaan dan kemewahan. Tuhan yang melawati umatnya tidak menjanjikan kekayaan dan kemewahan, melainkan kemiskinan dan kesederhanaan. Jalan inilah yang akan ditempuh sampai akhir hayatnya.

Sebaliknya, Injil Mateus menampilkan Yesus yang lahir di rumah biasa dan dikunjungi oleh orang-orang terhormat (Tiga Raja) dan mendapat kado emas, kemenyan dan mur sebagaimana kita baca dalam Mt2,l-12. Yesus kecil itu sudah disembah sebagai raja oleh para tamunya dari Timur.

Memang, maksud Mateus sejak awal rnenampilkan Yesus sebagai Raja, pewaris takhta Daud moyangnya. Maksud ini diutarakan dengan cara yang amat halus, tetapi tokh tak mungkin tidak dimengerti oleh jemaatnya- Sebab dia mengatakan dengan tegas bahwa Yesus adalah Anak Empat Belas (Bacalah Mt 1,17 dan Mt 1,1). Angka empat belas dalam bahasa Hibrani Kuno ditulis sebagai DWD (Dhaleth, Wau, Dhaleth: nilai angkanya adalah 4 + 6 + 4 sama dengan 14), itulah huruf-huruf nama Daud. Yesus Putera Empat Belas berarti Yesus Putera Daud. Jadi jangan mengartikan secara harafiah nama-nama aneh dalam silsilah Yesus pada Mt 1,1-16 maupun Lukas 3,23-38.Itu pula sebabnya dengan amat enteng Lukas mengatakan bahwa silsilah Yesus itu hanya "kata orang"(Lk 3,23)

Jadi gambaran yang diperoleh dari kisah Natal menurut Mateus adalah Yesus yang mulia, anak Daud, yang sudah disembah sejak baru lahir bukan bayi gelandangan di kandang hewan seperti gambaran Lukas. Dari apa yang dapat kita gali dalam Injil Mateus, jelaslah bahwa jemaahya masih m€engerti bahasa Aram atau Hibrani, dan hukum Taurat masih berlaku di kalangan mereka. Jadi tidak mengherankan bahwa gelar Putera Daud yang setara dengan Mesias itu masih menggetarkan hati pembacanya.

Lalu dari mana tradisi Gua Natal? Itu adalah kreasi St. Franciskus Asisi (wafat l226)sekitar abad ketigabelas, Gua dengan segala pernik-perniknya itu lebih banyak mengambil alih apa yang diceritakan oleh Lukas.

Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa detail-detail obyektif peristiwa kelahiran Yesus tidaklah dapat digali kembali, yang kita jumpai hanyalah ungkapan iman jemaat tentang Tuhannya yang diproyeksikan dalam kisah Natal itu. Jadi terhadap pertanyaan "Apa yang sebetulnya terjadi?" hanya dapat dikatakan bahwa Yesus lahir dari Maria dan bapaknya bernama Yosef (Yusuf), kapan persis, tidak ada yang tahu. Detail-detail itu hilang ditelan sejarah.

Diramalkan tetapi tidak dijadwalkan

Banyak teks Perjanjian Lama yang meramalkan kedatangan Mesias dan perilakunya misalnya Yesaya7,14;Mikah 5,1 ; Masmur 9l ,ll-12; Yes 53,4; Yes 42,1-4; Mzm 78,2; Za 9,9; Za ll,l2-13 dan seterusnya.

Semua itu dikatakan oleh penginjil "Terpenuhi!" Tetapi fakta bahwa kemunculan Yesus tidak dijadwalkan persis pada jam sekian bulan sekian tahun sekian seperti ramalan gerhana Matahari, atau gerhana Bulan, membuat orang yang bergaul dengan dia merasa bertanya-tanya, ragu-ragu dan jengkel. Apa betul dia itu "yang harus datang?" Para pendengar dan pengikut pertama ditantang untuk menentukan sikapnya, berdasarkan apa yang mereka dengar ajaran-ajarannya) dan apa yang mereka lihat (mukjizat-mukjizatnya). Mereka harus mengambil keputusan apakah Dia (dengan huruf besar) memang yang larna dinanti-nantikan sejak janji JHWH kepada Abraham (Kej 12,3) atau apakah dia (dengan huruf kecil) adalah sekadar guru klenik dari desa Nasaret seperti yang banyak berkeliaran menjual ajarannya zaman itu.

Meluruskan istilah

Sebelum saya melanjutkan pembahasan ini, perlu diluruskan atau didefinisikan dengan tepat beberapa kata yang nanti kita gunakan. Yang pertama adalah istilah menciptakan. Dalam tulisan ini saya menggunakan istilah menciptakan untuk menggantikan istilah Latin "creatio/facio ex nihilo" yakni "membuat dari ketiadaan" jadi kalimat: "Ford menciptakan mobil Model T" atau "Cak Kandar menciptakan lukisan bulu ini" tidak tepat, karena baik Tuan Ford maupun Cak Kandar menggunakan bahan yang sudah ada, yakni besi baja dan bulu ayam, masing-masing. Seharusnya dikatakan: "Ford membuat model T unfuk pertama kalinya" dan "Cak Kandar membuat lukisan dengan bulu untuk pertama kalinya."

Yang membuat dari ketiadaan, kita sebut Pencipta, atau dalam bahasa Kitab suci disebut YHWH, bentuk hiphil kata kerja hayoh (infinitif berarti "ada") atau "yang mengadakan." Nama itu diwahyukan kepada Musa di Gunung Horeb Kel 3,14 "Aku adalah Aku ' (Ehyeh asher ehyeh). Julukan lain adalah Elohim, atau Allah, atau El Shadai (Yang Mahakuasa), atau Adonai (Tuanku). Istilah-istilah itu isinya pada dasarnya sama saja yakni pencipta itu, Yang tak Terbatas itu.

Jadi kalimat yang betul adalah: "Sang Pencipta menciptakan dunia dan isinya." Dari kenyataan ini kita memiliki hubungan dengan Pencipta sebagai yang diciptakan, atau rnakhluk. Hubungan itu tetap ada sekarang ini, tetapi harus segera ditambahkan bahwa Pencipta tidak termasuk dunia pengalaman langsung kita sekarang. Yang sekarang kita alami langsung adalah sesama ciptaan-ciptaan seperti manusia lain, diri kita sendiri, laut, mobil, televisi, binatang bintang-bintang, pasar Kranji, dan sebagainya.

Karena itu Alkitab mengatakan bahwa "Allah ada di Sorga dan engkau ada di Bumi" (Pengkhotbah 5,1.). Dari sini harus dikatakan setiap klaim yang mengatakan bahwa kita dapat "mendekatkan diri kepada Pencipta" atau "mengakses Sang Pencipta" itu mustahil atau palsu karena tidak dapat dipertanggungijawabkan.

Dengan usaha sendiri, kita tak rnungkin meraih Sang Pencipta.

Inkarnasi

Tetapi lain halnya kalau Sang Pencipta yang mendekati kita, masuk dalam keadaan kemanusiaan kita, masuk dalam ruang tertenfu, dan wakfu tertentu, di negara tert€entu, menjadi anggota bangsa tertentu, dengan kebudayaan tertentu mengalami nasib (sial) tertentu, menjadi bagian dari sebuah sejarah tertentu. Itulah yang disebut penjelmaan atau rahasia inkarnasi. JHWH, EL Shadhai, Elohirn, Mesias, Sang Pencipta itu mendekati manusia, masuk
dalam sejarah manusia dalam diri Yesus, tukang kayu dari Nasaret itu.

Monoteisme mutlak

Sama dengan penganut agama Yahudi, orang Kristen sejati adalah penganut monoteisme mutlak seperti tercantum dalam kitab Ulangan 6,4 "Shema Yisreel, Elohinu ekhad" "Dengarkanlah Hai Israel, Allah kita itu Esa."

Bedanya dengan orang Yahudi ialah bahwa orang Kristen menerima Yesus sebagai Dia yang harus datang, lmmanuel, Allah untuk kita. Pengakuan ini datang setelah Yesus ditolak secara resmi oleh pemimpin-pemimpin agama Yahudi, yang berdasarkan nas yang sama di atas, menghukum mati Yesus atas nama Allah. Seandainya di depan pengadilan resmi agama Yahudi (Sanhedrin), atas pertanyaan Imam Agung Yesus mengatakan: "Oh, tidak, saya bukan Dia yang datang atas nama Yang Maha Tinggi, saya hanya tukang kayu dari Nasaret ! " tentulah mereka tidak akan menuduhnya menghojat Allah dan tidak akan menyalibkannya. Tetapi di depan pengadilan itu Yesus bertahan dengan mengatakan apa yang dirasakannya dalam hatinya bahwa dia memang Dia yang harus datang. Dan karena itu jatuhlah putusan hukuman mati dengan disalib. Pemimpin-pemimpin agama itu bukanlah orang-orang tolol yang tidak tahu apa yang mereka perbuat, mereka menjatuhkan hukuman dengan pertimbangan yang matang menurut Alkitab. Tidak boleh menduakan Allah, menghojat Allah dengan mengaku sebagai Anaknya (Lk 22,70 - 7l).

Petunjuk, bukan bukti, bahwa YHWH ada di pihak Yesus adalah pengalaman para murid bahwa beberapa waktu kemudian mereka mengalami kembali Yesus yang telah disalibkan itu sebagai Yesus yang telah dibangkitkan. Bagaimana persis pengalaman itu, detailnya sudah hilang bersama generasi Kristen pe€rtama. Kita hanya tahu bahwa mereka tidak bohong, orang-orang sederhana, nelayan-nelayan Danau Tiberias itu yakin betul bahwa Guru mereka hidup kembali, dan menjumpai mereka.

Bagaimana tetap secara jujur dan konsisten mempertahankan monoteisme mutlak tetapi mengakui bahwa Yesus adalah Dia dengan D huruf besar, merupakan perjuangan berat yang baru diselesaikan pada abad keempat dan kelima oleh Konsili Nicea tahun 325 dan Kalcedon tahun 451. Tetapi dasar doktrin Trinitas itu sudah ada dalam Perjanjian Baru misalnya Mt 28,18-20. Namun teks yang sederhana dan fungsional, lagi mudah dicema tanpa penjelasan filsafat Plato-Aristoteles adalah Surat Titus 3,4-8. Gelar Juruselamat digunakan untuli Allah maupun Yesus. Tugas Yesus adalah mencurahkan Roh Kudus kepada jemaat supaya hidupnya terpengaruh dan ikut menjadi peserta dalam hidup ilahi.

Les amis de mes amis sont mes amis

Pepatah Prancis itu artinya "Sahabat-sahabat temanku adalah sahabatku juga." Para murid Yesus yang pertama, digantikan oleh generasi kedua dan seterusnya sambung-menyambung sampai sekarang. Melalui sambungan inilah jemaat tahun 2000 memiliki hubungan tak terputus dengan jemaat pertama di Palestina. Dan kenang-kenangan, ajaran, perbuatan dan apa saja yang berasal dari Yesus menjadi kekayaan tradisi yang menjadi anat penting bagi Gereja Katolik dan ortodoks. Jadi, sahabat-sahabat Yesus tahun 2000 masih berhubungan dengan sahabat-sahabat Yesus yang pertama sekitar tahun 26-6A Masehi yang lalu.

Itulah sebabnya bila Anda ingin menjadi sahabat Yesus, tidak cukup mempelajari Alkitab, tetapi harus berguru pula kepada mereka yang sudah lebih dahulu menjadi mata rantai tradisi itu. orang tersebut dapat berupa seorang imam, biarawan, biarawati, guru agama dan siapa saja yang sudah sedikit makan garam dalam kehidupan Kristen. Proses ini makan waktu, harus diuji, dan merupakan keputusan pribadi.

Harapan Baru

Sama dengan dua ribu tahun yang lalu, kedatangan Yesus tidak membawa pembebasan politis dan kemakmuran materiil bagi penduduk Palestina.

Keadaan tetap seperti biasa, mereka masih dijajah pemerintah Romawi dan hidup miskin di tanah setengah gurun dengan bertani dan berternak kecil-kecilan. Kita pun di Indonesia tahun 2000 ini masih terjajah oleh macam-macam kekuasaan statusquo dan terhimpit krisis ekonomi yang tak kunjung selesai. Natal tahun 2000 tidak pula menjanjikan pembebasan ekonomi rnaupun politik. Tetapi, sama seperti halnya kedatangan Yesus 2000 tahun lalu membawa harapan baru, makna baru, penciptaan baru, demikian pula kita boleh berharap bahwa hidup kita yang sengsara sekarang ini pun memiliki makna baru, harapan baru. Apa itu persis? Dialah yang menunjukkannya. Kalau kita tidak melihatnya, alangkah benarnya ucapan Kurt vonnegut dalam novelnya Time quake. "being alive is a crock of shit"
("hidup itu adalah sebakul....,,).

Selamat Natal!

Penulis

T. Hermaya adalah penerjemah, teolog, dan pengamat Kitab suci, tinggal di Bekasi.

Kamis, 23 Desember 2010

Penjelasan Resmi dari CDF(Kongregasi Ajaran Iman) mengenai pemakaian Kondom

Di Paste dari Kerja Keras DeusVult www.ekaristi.org


    NOTE OF THE CONGREGATION FOR THE DOCTRINE OF THE FAITH On the trivilization of sexuality Regarding certain interpretations of "Light of the World" Following the publication of the interview-book Light of the World by Benedict XVI, a number of erroneous interpretations have emerged which have caused confusion concerning the position of the Catholic Church regarding certain questions of sexual morality. The thought of the Pope has been repeatedly manipulated for ends and interests which are entirely foreign to the meaning of his words – a meaning which is evident to anyone who reads the entire chapters in which human sexuality is treated. The intention of the Holy Father is clear: to rediscover the beauty of the divine gift of human sexuality and, in this way, to avoid the cheapening of sexuality which is common today. Some interpretations have presented the words of the Pope as a contradiction of the traditional moral teaching of the Church. This hypothesis has been welcomed by some as a positive change and lamented by others as a cause of concern – as if his statements represented a break with the doctrine concerning contraception and with the Church’s stance in the fight against AIDS. In reality, the words of the Pope – which specifically concern a gravely disordered type of human behaviour, namely prostitution (cf. Light of the World, pp. 117-119) – do not signify a change in Catholic moral teaching or in the pastoral practice of the Church. As is clear from an attentive reading of the pages in question, the Holy Father was talking neither about conjugal morality nor about the moral norm concerning contraception. This norm belongs to the tradition of the Church and was summarized succinctly by Pope Paul VI in paragraph 14 of his Encyclical Letter Humanae vitae, when he wrote that "also to be excluded is any action which either before, at the moment of, or after sexual intercourse, is specifically intended to prevent procreation—whether as an end or as a means." The idea that anyone could deduce from the words of Benedict XVI that it is somehow legitimate, in certain situations, to use condoms to avoid an unwanted pregnancy is completely arbitrary and is in no way justified either by his words or in his thought. On this issue the Pope proposes instead – and also calls the pastors of the Church to propose more often and more effectively (cf. Light of the World, p. 147) – humanly and ethically acceptable ways of behaving which respect the inseparable connection between the unitive and procreative meaning of every conjugal act, through the possible use of natural family planning in view of responsible procreation. On the pages in question, the Holy Father refers to the completely different case of prostitution, a type of behaviour which Christian morality has always considered gravely immoral (cf. Vatican II, Pastoral Constitution Gaudium et spes, n. 27; Catechism of the Catholic Church, n. 2355). The response of the entire Christian tradition – and indeed not only of the Christian tradition – to the practice of prostitution can be summed up in the words of St. Paul: "Flee from fornication" (1 Cor 6:18). The practice of prostitution should be shunned, and it is the duty of the agencies of the Church, of civil society and of the State to do all they can to liberate those involved from this practice. In this regard, it must be noted that the situation created by the spread of AIDS in many areas of the world has made the problem of prostitution even more serious. Those who know themselves to be infected with HIV and who therefore run the risk of infecting others, apart from committing a sin against the sixth commandment are also committing a sin against the fifth commandment – because they are consciously putting the lives of others at risk through behaviour which has repercussions on public health. In this situation, the Holy Father clearly affirms that the provision of condoms does not constitute "the real or moral solution" to the problem of AIDS and also that "the sheer fixation on the condom implies a banalization of sexuality" in that it refuses to address the mistaken human behaviour which is the root cause of the spread of the virus. In this context, however, it cannot be denied that anyone who uses a condom in order to diminish the risk posed to another person is intending to reduce the evil connected with his or her immoral activity. In this sense the Holy Father points out that the use of a condom "with the intention of reducing the risk of infection, can be a first step in a movement towards a different way, a more human way, of living sexuality." This affirmation is clearly compatible with the Holy Father’s previous statement that this is "not really the way to deal with the evil of HIV infection." Some commentators have interpreted the words of Benedict XVI according to the so-called theory of the "lesser evil". This theory is, however, susceptible to proportionalistic misinterpretation (cf. John Paul II, Encyclical Letter Veritatis splendor, n. 75-77). An action which is objectively evil, even if a lesser evil, can never be licitly willed. The Holy Father did not say – as some people have claimed – that prostitution with the use of a condom can be chosen as a lesser evil. The Church teaches that prostitution is immoral and should be shunned. However, those involved in prostitution who are HIV positive and who seek to diminish the risk of contagion by the use of a condom may be taking the first step in respecting the life of another – even if the evil of prostitution remains in all its gravity. This understanding is in full conformity with the moral theological tradition of the Church. In conclusion, in the battle against AIDS, the Catholic faithful and the agencies of the Catholic Church should be close to those affected, should care for the sick and should encourage all people to live abstinence before and fidelity within marriage. In this regard it is also important to condemn any behaviour which cheapens sexuality because, as the Pope says, such behaviour is the reason why so many people no longer see in sexuality an expression of their love: "This is why the fight against the banalization of sexuality is also part of the struggle to ensure that sexuality is treated as a positive value and to enable it to have a positive effect on the whole of man’s being" (Light of the World, p. 119).


Terjemahan: 

    Catatan dari Kongregasi Ajaran Iman Mengenai peremehan seksualitas Berkenaan dengan beberapa penafsiran dari [buku] "Light of the World" ("Terang Dunia") Setelah publikasi wawancara buku Light of the World oleh Benediktus XVI, beberapa penafsiran yang keliru telah muncul dan telah menyebabkan kebingungan mengenai posisi Gereja Katolik berkenaan dengan beberapa pertanyaan atas moralitas seksual. Pemikiran sang Paus telah berkali-kali dimanipulasi bagi tujuan-akhir dan kepentingan yang sangat asing dari makna [sejati] perkataannya – suatu makna yang seharusnya cukup jelas bagi siapapun yang membaca seluruh bab dimana [masalah] seksualitas manusia dibahas [di buku tersebut]. Niat Bapa Suci sudah jelas: untuk menemukan kembali keindahan karunia ilahi dari seksualitas manusia dan, dengan begini, menghindari pe-murah-an seksualitas yang cukup umum terjadi di masa kini. Beberapa penafsiran-penafsiran telah menyajikan kata-kata Paus sebagai sebuah kontradiksi terhadap ajaran moral tradisional Gereja. Hipotesis ini telah disambut beberapa orang sebagai sesuatu perubahan yang positif [sementara orang-orang lain memandangnya] sebagai suatu hal yang menimbulkan kekhawatiran – seakan-akan pernyataan Paus tersebut menunjukkan penyimpangan dengan ajaran mengenai kontrasepsi dan dengan possisi Gereja dalam perlawanannya terhadap AIDS. Sebenarnya, perkataan sang Paus – terutama berkaitan dengan tipe perbuatan manusia yang sangat tidak beraturan [gravely disorder], yaitu prostitusi (bdk. Light of the World, pp.117-119) – tidak menunjukkan suatu perubahan dalam ajaran moral Katolik atau dalam praktek pastoral Gereja Sebagaimana cukup jelas dari pembacaan yang tekun atas halaman-halaman yang dibahas, Bapa suci berbicara bukan mengenai moralitas hubungan seksual ataupun mengenai norma moral atas kontrasepsi. Norma ini merupakan ranah tradisi Gereja dan dirangkum dengan jelas oleh Paus Paulus VI di paragraph 14 dari Surat Ensiklik Humanae vitae, ketika dia menulis "juga harus dikecualikan adalah sembarang tindakan yang, baik sebelum, pada saat, atau setelah hubungan seksual, secaa spesifik bertujuan untuk mencegah prokreasi—baik sebagai suatu tujuan-akhir atau sebagai suatu sarana." Gagasan bahwa siapapun dapat menyimpulkan dari kata-kata Benediktus XVI bahwa dalam situasi tertentu penggunaan kondom untuk menghindari kehamilan yang tidak diinginkan bisa dilegitimasikan adalah [kesimpulan] yang benar-benar arbiter dan sama sekali tidak bisa dibenarkan baik berdasarkan perkataan-perkataannya atau pun pemikirannya. Mengenai issu ini Paus sebaliknya mengajukan – dan juga memanggil para gembala Gereja untuk mengajukan secara lebih sering dan lebih efektif (bdk. Light of the World, p. 147) – cara-cara berperilaku yang lebih manusiawi dan lebih bisa diterima secara etis yang menghormati hubungan tak terpisahkan antara makna kesatuan dan prokreatif dari setiap hubungan suami-istri, melalui penggunaan yang dimungkinkan atas keluarga berencana alami mengingat [sikap terhadap tindakan] prokreasi yang bertanggungjawab. Pada halaman-halaman yang dipermasalahkan, Bapa Suci mengacu kepada suatu kasus prostitusi yang benar-benar berbeda, sebuah tipe perilaku yang selalu dipandang moralitas Kristen sebagai sesuatu yang sangat immoral [gravely immoral] (bdk. Vatikan II, Konsitusi Pastoral Gaudium et spes, n. 27; Katekismus Gereja Katolik, n. 2355). Tanggapan dari keseluruan tradisi Kristen – dan memang tidak hanya dari tradisi Kristen saja – atas praktek prostitusi bisa dirangkumkan dalam kata-kata St. Paulus: "Jauhkanlah dirimu dari percabulan" (1 Kor 6:18). Praktek prostitusi harus dikucilkan, dan merupakan tugas dari agensi-agensi Gereja, dari masyarakat sipil dan semua negara untuk melakukan semua yang mereka bisa untuk membebaskan mereka yang terlibat dari praktek ini. Dalam hal ini, harus dicatat bahwa situasi yang diciptakan oleh menyebarnya AIDS di berbagai tempat di dunia telah membuat masalah prostitusi menjadi lebih serius. Mereka yang sadar bahwa diri mereka telah terinfeksi HIV dan karenanya berisiko untuk menularkan kepada orang lain, selain melakukan dosa melawan perintah ke-enam juga melakukan dosa melawan perintah ke-lima – karena mereka secara sadar menempatkan hidup orang lain dalam risiko melalui perilaku yang punya akibat kepada kesehatan umum. Dalam situasi ini, Bapa Suci dengan jelas meneguhkan bahwa pilihan atas kondom bukan merupakan "solusi moral atau solusi nyata" atas permasalahan AIDS dan juga "obesesi [orang-orang] atas kondom menyiratkan banalisasi[catatan DeusVult: dari "banalization" yaitu tindakan membuat sesuatu yang penting, eksklusif dan berarti menjadi sesuatu yang murahan, pasaran, umum] seksualitas" dalam arti bahwa [pilihan terhadap kondom merupakan] penolakan terhadap penyebab menyebarnya virus. Bagaimanapun, dalam konteks ini tidak bisa disangkal bahwa siapapun yang menggunakan kondom untuk mengurangi risiko [penularan] pada orang lain mempunyai niat untuk mengurangi kejahatan yang berkenaan dengan tindakan imoralnya. Dalam makna ini Bapa Suci menunjukkan bahwa penggunaan kondom "dengan tujuan mengurangi risiko infeksi, dapat merupakan suatu langkah pertama dalam suatu pergerakan menuju cara yang berbeda, sebuah cara yang lebih manusiawi, bagi menghidupi seksualitas." Penegasan ini jelas cocok dengan pernyataan Bapa suci sebelumnya yaitu bahwa hal tersebut "bukanlah cara dalam menghadapi kejahatan infeksi HIV." Beberapa komentator telah menafsirkan perkataan-perkataan Benediktus XVI menurut apa yang disebut teori "kejahatan yang lebih ringan" [ie. "lesser evil"]. Namun teori ini mudah terpengaruh penafsiran yang proposionalistik (bdk. Yohanes Paulus II, Surat Ensiklik Veritatis Splendor, n. 75-77). Sebuah tindakan yang secara obyektif jahat, bahkan sekalipun tindakan tersebut adalah suatu kejahatan yang lebih ringan, tidak bisa secara licit dikehendaki. Bapa Suci tidak berkata – sebagaimana di-klaim banyak orang – bahwa prostitusi yang menggunakan kondom bisa dipilih sebagai suatu kejahatan yang lebih ringan. Gereja mengajarkan bahwa prostitusi adalah sesuatu yang immoral dan harus dikucilkan. Meskipun begitu, mereka yang terlibat dalam prostitusi yang [menderita] HIV positif dan berusaha mengurangi risiko penularan dengan penggunaan sebuah kondom bisa jadi telah mengambil langkah pertama dalam menghormati kehidupan orang lain – meskipun kejahatan dari prostitusi masih tetap ada dengan segala konsekuensi beratnya. Pemahaman ini merupakan pemahaman yang sudah sangat sesuai dengan tradisi moral teologi Gereja. Sebagai kesimpulan, dalam perang melawan AIDS, umat Gereja Katolik dan agensi-agensi Gereja Katolik harus mendekatkan diri kepada mereka yang terkena pengaruh [AIDS], harus merawat yang sakit dan harus mendorong semua orang untuk hidup selibat sebelum pernikahan dan setia dalam pernikahan. Dalam hal ini juga adalah sangat penting untuk mengutuk setiap perilaku yang me-murah-kan seksualitas karena, sebagaimana dikatakan Paus, perilaku seperti itu merupakan alasan mengapa begitu banyak orang tidak lagi melihat seksualitas sebagai ekspresi cinta mereka: "Inilah [alasan] mengapa perlawanan terhadap banalisasi [catatan DeusVult: dari "banalization" yaitu tindakan membuat sesuatu yang penting, eksklusif dan berarti menjadi sesuatu yang murahan, pasaran, umum] seksualitas juga merupakan bagian dari perjuangan untuk menjaga agar seksualitas diperlakukan sebagai nilai positif dan [perjuangan] untuk mendayagunakannya [ie.seksualitas] untuk memiliki efek positif bagi seluruh kehidupan manusia" (Light of the World, p. 119)

Rabu, 22 Desember 2010

Bagaimana Katolik Membaca Kitab Sucinya ?

Sebuah tulisan yang bagus, yang saya bongkar dari tumpukkan file lama, dan dari Pak Hermaya yang entah dimanakah beliau sekarang. Saya pernah memintanya memberikan Ceramah masalah ini di Lingkungan saya St. Benediktus (waktu itu, sekarang telah jadi 3 Lingkungan). Selamat membaca dan belajar !


Pengantar Alkitab
Oleh : T. Hermaya

Tulisan kecil ini di susun untuk menjembatani perlunya menyajikan suatu latar belakang Alkitab yang lebih memadai daripada satu ceramah dua jam. Meski demikian, hal-hal yang saya sampaikan di sini hanyalah garis besar yang amat tidak memadai dalam dirinya sendiri, mengingat Alkitab kita adalah suatu lautan ungkapan iman yang begitu luas, meliputi sejarah suatu bangsa yang mencakup kurun ribuan tahun, dan kalau mau tepat sejak penulisan pertama Perjanjian lama sehingga selesainya penulisan kitab terakhir Perjanjian baru maka kurun waktu itu adalah antara abad X sebelum masehi, saat Alkitab Perjanjian Lama mulai ditulis dalam pemerintahan Raja Daud sampai penulisan terakhir kitab suci Perjanjian Baru, yakni Surat kedua St. Petrus (sekitartahun 100 Masehi; karangan ini termasuk pseudoepigraf , bukan ditulis betul-betul oleh Rasul Petrus, hanya namanya yang dicazut supaya surat icu “laku").

Alkitab Perjanjian Lama merupakan rekaman perjalanan iman umat israel, rekaman itu berisi suka duka perjalanan mereka dari suku pengembara di padang gurun, menjadi sebuah bangsa di Palestina. Pemersatu mereka adalah iman bersama kepada JHWH yang diwahyukan kepada Musa di Sinai. Musa itulah tokoh utama, pemberi hukum, dan boleh dikatakan pendiri agama Yahwisme, meskipun Yahweh sebagai allah sebuah keluarga telah lama disembah (oleh Abraham dan keluarganya). Alkitab Perjanjian lama ditulis dalam tiga bahasa, bahasa Hibrani Kuno (95%nya), Aram (sebagian Kitab Daniel mulai Dan 2,4b-7,28 Esdras 4,8-6, 18; 7,12-26 Yer 10,11), Yunani (misalnya Putera Sirakh, yang merupakan terjemahan teks Hibrani ke Yunani, teks Hibrani masih ada tetapi tidak lengkap). Sedangkan Perjanjian baru seluruhnya ditulis dalam bahasa Yunani pasaran (bukan klasik), meskipun di sana-sini ada ungkapan Hibrani dan Aram. Teori bahwa dulu Injil ditulis pertama-tama dalam bahasa Aram kemudian baru diterjemahkan ke dalarn bahasa Yunani, tak dapat dipertahankan, baik dari alasan kebahasaan maupun dari alasan perkembangan teologi.

Dari uraian singkat di atas, kita menyimpulkan dua hal:

l).Alkitab itu ditulis dalam kebudayaan yang amat berbeda dengan kebudayaan kita, jadi ada jarak kebudayaan terutama bahasa dan cara berpikimya
2).Aikitab ditulis terutama untuk orang-orang sezaman, sebagai alat komunikasi iman mereka, sarana menyampaikan iman mereka kepada orang sezaman, jadi bukan untuk orang Bogor di tahun 2001. Bahwa kita orang Bogor tahun 2001 berkepentingan untuk mengetahui Alkitab disebabkan karena di dalamnya terdapat pewahyuan JIHWH/Sang Sabda/Juru Selamat kita.

Tugas Pamong Sabda

Tugas kita sebagai Pamong Sabda adalah menjembatani kedua jarak itu, yakni jarak budaya dan jarak waktu. Tugas ini tidak gampang, dan tidak dapat dilakukan tanpa persiapan yang cukup dan dedikasi yang besar kepada tugas kita itu. Selain bantuan Roh Kudus yang boleh kita andalkan, persiapan manusiawi kita sendiri pun amat menentukan keberhasilan tugas itu. Tentu idealnya semua Pamong Sabda dapat membaca teks Alkitab dalam bahasa aslinya dan dapat menikmati semua nuansa halus yang terdapat dalam bahasa asli dan yang terpaksa hilang kalau penerjemahan ke dalam bahasa Indonesia menuntut untuk memilih salah satu saja dari nuansa-nuansa itu. Tetapi tuntutan semacam ini tentulah tidak dapat kita penuhi, cukuplah kalau kita mengenal sedikit ciri-ciri bahasa-bahasa asli Alkitab, kebudayaan dan cara berpikir pengarangnya, agar kita dapat lebih terampil memahami, menghayati dan kemudian menerangkan kepada umat beriman.

Dalam rangka itulah saya memilih untuk menyajikan berbagai jenis sastra yang digunakan penulis Alkitab, sambil memperkenalkan sepintas lalu keadaan sosial, politik dan ekonomi yang melatarbelakanginya.

Sementara itu bagi kita umat Katolik Indonesia, kitab suci kita adalah Alkitab bahasa Indonesia itu, yang terjemahannya diakui oleh Konperensi Waligereja Indonesia. Kalau ada ayat-ayatyang terjemahannya kurang pas, padahal penting bagi pemahaman teologi alkitabiah, akan saya tunjukkan dalam ceramah nanti.

Peta geopolitik Israel sampai zaman Yesus

Israel sebagai negara tak pernah sehebat dan sebesar zaman Daud dan Salomo. Pada zaman dua raja itu, bahasa Hibrani menjadi bahasa perdagangan dan politik di pantai barat sebagaimana dibuktikan oleh inskripi-inskripsi yang kita temukan sekarang tetapi sesudah itu pamor bangsa dan bahasa Hibrani turun terus dan selalu menjadi bulan-bulanan kekuatan-kekuatan besar di sekitarnya yakni Kerajaan Mesir di selatan, dan Kerajaan Asiria dan Babylon di utara. Setelah Daud meninggal dan digantikan Salomo, tanda-tanda keretakan sudah muncul, tetapi masih dapat diredam. Setelah Salomo meninggal maka kesepuluh suku di utara mendirikan kerajaan Utara dengan ibukota Samaria Kerajaan ini secara kebudayaan, militer dan ekonomi lebihkuat daripada kerajaan selatan yang hanya didukung oleh dua suku yakni Yehuda dan Benyamin. Alasan perpecahan adalah ketidakseimbangan pembagian beban pajak, wajib militer, dan seterusnya.

KerajaanUtara lenyap dikalahkan oleh Asyiria (Raja Shalmaneser V, tahun 721), rakyatnya dibuang ke Mesopotamia dan Media dan penduduknya diganti oleh orang-orang dari tempat lain yang kemudian menjadi penduduk Samaria. Wilayah itu menjadi Provinsi Asyiria, bernama Samerina. Orang-orang buangan dari Kerajaan Utara ini tak pernah kembali.

Kerajaan Selatan, yang lebih kecil dan tak pernah besar diperintah oleh satu dinasti saja, yakni dinasti Daud. Sama dengan saudarinya di Utara, akhirnya Kerajaan selatan tergencet permainan politik negeri-negeri besar, dan karena salah perhitungan, mereka beberapa kali diserang oleh tentara Babilonia, terakhir tahun 587 benteng Yerusalem hancur, ibukota itu dibakar, Baitallah dirampok, pemimpin kerajaan dibawa di hadapan Nebukadnesar dan dihukum mati, hanya rakyat miskin yang tetap tinggal di Yerusalem. Golongan menengah ke atas dideportasi ke Babilon.

Selanjuhya wilayah itu dijadikan sebuah provinsi Babilon. Sekitar lima puluh tahun kemudian, kerajaan Babilon ditaklukkan oleh Persia, dan rajanya mengeluarkan dekrit untuk membebaskan kaum buangan Yahudi dan meadirikan kembali Yerusalem (Raja Cyrus dengan dekrit tahun 538 seb.M). Belakangan sebagian kecil orang buangan ini kembali dan membangun bait Allah di Yerusalem di bawah Esdras. Waktu itu Nehemiah menjadi gubemur Persia untuk wilayah ini. Dalam tahun 333 Alexander Agung melakukan penaklukan besar-besaran dan Palestina termasuk di dalamnya. Selama periode Helenistik ini Juda diperintah oleh dinasti Seleucid dan kemudian menjadi inti Kerajaan Hasmone (di manaHerodes adalah salah anggota wangsa ini). Sewaktu Yesus lahir, seluruh Palestina berada di bahwa pemerintahan Romawi.

Kematangan Teologi

Lama sekali umat terpilih menyamakan kemakmuran negara dengan keselamatan dari YHWIH kalau negara makmur dan pemerintahan kuat, berarti YHWH merahmati mereka, sebaliknya kalau mereka sengsara dan miskin, itulah tanda bahwa YFIWH tidak peduli kepada mereka dan tidak menyayangi mereka. Pendapat ini baru dapat diatasi ketika mereka merasakan bahwa tidak demikian halnya, kemakmuran duniawi tidak dapat disamakan dengan keselamatan dari YHWH. Justru dalam kesengsaraan di pembuangan muncul karya-karya permenungan iman yang memurnikan pendapat ini. Bahwa keselamatan YHWH tidak tergantung pada kemakmuran dan kejayaan materi. Dalam pembuangan mereka tahu bahwa Kerajaan Daud tinggal kenangan, namun toh kasih YHWH tetap menyertai mereka. Di situ pula mereka sampai pada kesimpulan bahwa YHWH bukan hanya Allah Israel, melainkan satu-satunya Allah semesta alam, dan pencipta segala-galanya. Kematangan monoteisme ini tercermin dalam karya-karya semasa pembuangan dan sesudahnya. Bagian awal Kitab Kejadian ditulis sekitar masa ini, di situ teologi monoteistik itu sudah jelas kematangannya.

Diaspora dan Penyebaran iman Kristen

Masa pembuangan ini merupakan awal dari sebuah periode yang nanti akan sangat menentukan penyebaran iman Kristen di dunia waktu itu. Meskipun Yerusalern dan Baitullah berhasil dibangun kembali, tetapi di kota-kota besar seluruh kerajaan Romawi waktu itu sudah ada kelompok orang-orang Yahudi yang hidup dalam lingkungan dunia Helenis dan menggunakan Kitab Suci mereka dalam bahasa sehari-hari mereka, yakni bahasa Yunani bukan bahasa Hibrani. Kitab itu disebut Septuaginta. Setahun sekali mereka ke Yerusalem untuk merayakan Paskah dan membayar semacam pajak bagi Baitulah. Ketika terjadi pemberontakan terhadap pemerintah Romawi dan Yerusalem dihancurkan dan Baitulah dibakar sekitar tahun 70, kehidupan keagamaan yang meriah di Yerusalem itu hilang sama sekali dan digantikan oleh pembacaan Alkitab di Sinagoga, sedangkan
golongan yang berpengaruh sekali dan dekat dengan rakyat adalah kaum Parisi (ini agak bertentangan dengan kesan yang kita peroleh dari Injil, di mana orang Parisi digambarkan dengan amat gelap). Golongan-golongan lain lenyap tanpa bekas, misalnya para imam yang kebanyakan termasuk golongan Saduki. Sedangkan para petapa, atau kaum Esseni rupanya tidak berkembang di luar Palestina, kita hanya menemukan bekas biara-biara mereka di Palestina, Qumran misalnya. Dengan hancurnya pusat keagamaan Yahudi dan juga pusat agama Kristen, yakni Yerusalem, serta dilakukannya deportasi oleh tentara Roma atas penduduk Yerusalem, maka secara tak sengaja iman Kristen pun ikut menyebar di antara mereka, dan sasaran pertama tentu saja jemaat-jemaat Yahudi yang ada di kota-kota besar Kerajaan Romawi. Itulah lahan yang dikerjakan oleh Santo Paulus.

Produksi Kitab Suci, Ilham Roh Kudus, dan Jenis Sastra

Maaf kalau judul ini agak panjang, tetapi memang paling gampang membahasnya sekaligus karena erat sekali kaitan ketiganya. Yang saya maksudkan dengan produksi Kitab Suci adalah bagaimana terjadinya Kitab Suci kita, terutama Perjanjian Lama. Pengarang suci itu jarang sekali menyebutkan namanya, hanya Putera Sirakh yang berbuat demikian dalam pengantar kitabnya. Biasanya kitab suci merupakan hasil penulisan ajaran seorang nabi oleh muridnya atau nabi sendiri, tokoh yang berpengaruh atau siapa saja yang terdorong untuk mengungkapkan imannya dan ungkapan itu dirasa cocok, kemudian termasuk Kitab Suci karena diterima oleh umat dan digunakan dalam liturgi.

Tetapi itu belum menjawab pertanyaan bagaimana persisnya pernbuatan Kitab Suci, apakah ada saluran telpon, telegram, atau seorang malakat yang membisikan kepada seorang penulis untuk menulis Kitab Suci, atau ada satu Kitab Suci (Injil, Taurat dst) yang turun dari Sorga untuk kita?

Bukan begitu, melainkan yang terjadi adalah ada seseorang yang melihat situasi umat dengan kacamata imannya orang ini boleh dikatakan memiliki perasaan YHWH, dan dengan perasaannya itu ia menafsirkan keadaan umatnya, perasaan tersebut diungkapkannya dalam bentuk yang sesuai dengan kemampuan pribadi orang itu yang khas. Kalau dia seorang sastrawan maka hasil ungkapannya juga menjadi karya sastra yang bagus (misalnya Yesaya, Yerernia, Kitab Ayub, dan sejumlah Mazmur dan Amsal); kalau dia seorang petani atau penggembala domba dan pemungut buah ara, maka hasilnya pun sederhana, sedikit agak kasar, meski dalam bentuk puisi (Misalnya Kitab Amos). Kalau orangnya kocak, hasilnya pun kocak, meski sama sekali tidak mengurangi isi pesannya, misalnya Kitab Yona.

Jadi boleh dikatakan bahwa Alkitab betul-betul merupakan hasil karya manusia, entahlah namanya siapa, tidak penting. Tetapi manusia penulis Alkitab itu memiliki perasaan yang sama dengan Allah, dan di sini letaknya ilham Roh Kudus, sehingga pada akhirnya harus dikatakan yang "mengarang" Alkitab adalah Roh Kudus. Memang tidak secara tegas disebut Roh Kudus, tetapi seringkali para nabi mengatakan "Dabar Yahweh (atau Sabda Jahweh)" datang kepadaku. Atau pesan YHWH itu disampaikan melalui suatu penglihatan (Musa, Yesaya dan Yeremia misalnya). Bagaimanapun caranya, hati si penulis itu menjadi seperasaan dengan Allah atau YHWH, sehingga apa yang ditulisnya betul-betul menjadi Sabda Allah. Dari sini kita dapat mengetahui mengapa "isi" Yesus Kristus itu adalah Sang Sabda, benar sekali kata penulis surat Hibrani, "Dulu Dia berbicara melalui para nabi kepada nenek moyang kita, tetapi pada zaman terakhir ini Ia berbicara melalui Puteranya" Hibrani l,l-2.

Setelah kitab suci ditulis, dan jemaat menggunakannya, maka setiap kali kita menggunakan Kitab Suci Tuhan membimbing kita ke perasaan yang sama itu (kita mendapat RohKudus yang sama) dan karena itu kita mampu melihat situasi kita sekarang dengan kaca mata Roh Kudus, atau kacamata iman kita. Inilah makna kata-kata Yesus "Tetapi Penghibur, Roh Kudus, yang akan diutus Bapa dalam namaKu, Dialah yang akan mengajarkan segala sesuatu kepadamu dan akan mengingatkan kamu akan semua yang telah Kukatakan kepadamu" Yah 14,26. Karena perbedaan kecakapan pengarang, kemampuan berbahasa, dan hasil pendidikan sebelumnya, maka pesan yang sama dapat dan memang sering diungkapkan dalam berbagai bentuk sastra. Dan dalam Alkitab dikenal sedikitnya lima atau enam bentuk sastra:

  1. bentuk sasrra kebijaksanaan
  2. bentuk sastra sejarah
  1. beahrk saska apokalipik (ramalan masa akhir zarnan)
  2. Bentuk sastra surat (surat-surat Paulus dan Hibrani rnisalnya)
  1. Bentuk sastra Injil (riwayat Yesus dalam benfuk semacam biografi legendaris)
  2. bentuk sastra perjanjian dan hukum (Taurat misalnya)
  1. bentuk sastra mukjizat
  2. bentuk sastra kenabian
  1. bentuk sasta keluhan dan seterusnya.
  2. Bentuk sastra lagu pujian (Kebanyakan Masrnur)
  1. bentuk sastra perdebatan (sering dipakai oleh St paulus).
Ciri-ciri masing-masing jenis sastra dan contoh-contohnya dalam Alkitab akan saya bahas dalam ceramah, di sini saya hanya mengemukakan dua hal sehubungan dengan jenis-jenis sastra itu. pertama ialah bahwa dengan mengetahui suatu bagian Kitab Suci termasuk ke dalam jenis sastra mana, kita dapat lebih mudah menafsirkannya dan tidak terpeleset menggunakan cara-cara penafsiran untuk jenis sastra yang lain. Misalnya, kisah natal pada Lukas termasuk jenis sastra puji-pujian, bukan sejarah, jadi jangan menggunakan kriteria sejarah untuk mengupas bagian itu ,sama halnya Kisah Penciptaan dalam Kitab Kejadian bab pertama adalah jenis sastra pujian atau pengantar untuk Hukum sabat, itu bentuknya puisi bukan sejarah, maka tidak boleh digunakan kriteria sastra sejarah untuk menafsirkannya (atau kriteria ilmu alam dalam hal ini); kalau dipaksakan maka yang tolol adalah yang memaksakan itu Bukan Alkitabnya. Misalnya pertanyaan "Apakah betul penciptaan dilakukan dalam seminggu seperti kisah Kitab Kejadian itu?" Jelas jawabnya "Tidak!- Anda harus mencari jawabnya dalam ilmu austrofisika atau kosmogoni, bukan dalam Kitab Suci (Kristen).

Hal kedua yang perlu saya sampaikan sehubungan dengan jenis-jenis sastra ini ialah bahwa jenis-jenis sastra itu kebanyakan merupakan jiplakan atau pinjaman dari bangsa-bangsa kafir di sekitarnya yang memang terlebih dahulu telah menciptakan dan menggunakan dalam hidup perpolitikan (sastra perjanjian), puji-pujian (untuk menyembah dewa-dewi mereka), pergaulan (hukum). Dan itu sah-sah saja, yang penting adalah bahwa titik pandangnya tetap iman khas Israel kepada YHWH. Jadi jangan heran kalau ada banyak kemiripan sejumlah masmur dengan lagu-lagu pujian yang ditemukan dalam kebudayaan Ugarit, Akkad, Mesir, Asyiria, Babilon dan Sumeria. Bangsa-bangsa kafir itu memang masih menggunakan bahasa serumpun, yakni Semit.

Alkitab bukan satu buku, melainkan sebuah perpustakaan

Dari uraian di atas jelaslah bahwa Alkitab bukanlah sebuah buku saja melainkan merupakan perpustakaan, di mana tersimpan berbagai macam buku: ada buku doa pujian (Masmur), ada buku sejarah (sebagian Kitab Kejadian dan Keluaran; Yoshua; Hakim-hakim, 7,2 Samuel, 1 ,2 Raja-raja dan 1,2 Tawarikh dan Kisah Para Rasul), ada buku kebijaksanaan (Ayub, Kebijaksanaan Salomo (tak ada dalam Alkitab edisi LAI), Amsal, Pengkhotbah dan Sirakh), ada kitab hukum positif (Kejadian, Imamat, Ulangan, Bilangan, Keluaran), ada buku kenabian (Yeremia, Yesaya dst), ada buku asmara (Kidung Agung), ada buku apokalip (Daniel, sebagian Ezekiel, dan Kitab Wahyu), ada buku biografi (Lukas, Mateus, yohanes, dan Markus), ada Surat-surat (Surat Korinti, Galatia dst).

Implikasinya jelas, jangan masuk perpustakaan dan mengatakan kepada petugas, "Tolong ambilkan semua buku yang warna sampulnya hijau, sebab hari ini saya hanya mau membaca buku yang sampulnya hijau!" Seharusnya Anda mengatakan, "Tolong ambilkan buku Riwayat Anu, sebab saya ingin tahu latar belakang dan pemikiran beliau! Hari ini saya ingin membacanya.

Mungkin ada pemikiran beliau yang dapat membantu memecahkan masalah yang sekarang sedang saya hadapi, karena sepengetahuan saya beliau dulu pun pernah menghadapi soal serupa." Contoh lain: "Kemarin saya didiagnosis menderita kencing manis, tolong carikan saya buku kedokteran penyakit dalam, barangkali saya dapat menemukan petunjuk untuk mengatasi komplikasi penyakit saya ini." Kalau dirumuskan dengan gamblang, jangan asal membaca Kitab Suci dari depan sampai belakang, tetapi kenalilah kebutuhan Anda dan bacalah kitab yang menjawab kebutuhan itu. Hal tersebut baru dapat Anda lakukan kalau Anda sudah sedikit mengenal Kitab Suci dan sedikit akrab dengannya. Itulah sebabnya orang Yahudi membagi kitab mereka menurut kebutuhan, dari Yang paling mereka butuhkan:

  1. Kitab-kitab hukum untuk hidup sehari-hari: Taurat.
  2. Kitab Nabi-nabi: misalnya Yesaya, Yeremia, dan dua belas kitab nabi- nabi "kecil"
  3. Tulisan-tulisan suci : kitab-kitab lainnya.

Ketiga bagian itu sering disebut dengan istilah TaNaKh (Toroth, Nabhiim, we Ketubim).

Bagi kita, rneski kita menerima seluruh Alkitab sebagai Sabda Allah, tetapi Perjanjian Baru tentulah lebih penting daripada Perjanjian lama. Sebabnya akan menjadi jelas dalam uraian berikut tentang jenis sastra Injil.

Lahirnya jenis sastra Injil

lstilah ini perlu penjelasan, yang saya maksudkan jenis sastra Injil adalah jenis sastra biografi Yesus dari Nasareth, dalam bentuk yang tidak sepenuhnya cocok dengan kriteria biografi modern sepeci misalnya biografi Jendral MacArthur. Mengapa? Karena kriteria biografi modern yang harus diikuti penulisnya agak berbeda dengan kriteria yang diikuti para penulis biografi Yesus (Para penulis Injil). Kalau penulis biografi moderm menuntut bahwa sumbernya harus terpercaya, sedapat mungkin orangnya sendiri, surat-menyuratnya, wawancara dengan tokoh-tokoh yang dekat dengan tokoh utama yang dibiografikan, serta dokumen resmi dan rekaman atau foto-foto yang mendukung peristiwa yang ditulisnya dalam biografi itu.

Baru atas dasar bahan-bahan itu si penulis mengerjakan biografinya dan memberi interpretasi atas kedudukan dan peran atau pengaruh tokoh tersebut di dalam dunia politilk militer dan seterusnya.

Ketika Yesus lahir dan besar serta bekerja sebagai tukang kayu seperti bapaknya di desa kecil Nasaret, tidak ada orang yang memperhitungkannya. Apalagi menuliskan tentang dirinya. Ia baru menjadi tokoh setelah meninggalkan pekerjaannya, dipermandikan oleh Yohanes di Sungai Yordan, berkeliling bersama muridnya mewartakan pertobatan dan datangnya kerajaan Allah, ditolak secara resmi oleh Sanhedrin, dihukum mati dengan salib, tetapi dibenarkan YHWH dengan membangkitkannya dari kematian. Dari sudut pandang pengalaman kebangkitan itulah orang mulai tertarik dan mengumpulkan ajaran, cerita-cerita dan kenang-kenangan akan Yesus dalam bentuk cerita lisan. Cerita ini beredar dari mulut ke mulut untuk mewartakan dan membina jemaat Kristen perdana.

Baru kemudian hari, sekitar 60-90 Masehi dikumpulkan dan ditulis oleh jemaat kristen generasi kedua atau ketiga.

Jadi pada waktu Yesus hidup, orang kaget dan bingung, jengkel, dan tidak tahu siaga dia itu. Tentu belum ada niat dan minat untuk membukukan riwayatnya (lebih jauh silakan membaca tulisan saya Makna Natal 2000).

Dalam hal jenis sastra Injil, sumber-sumbemya bukanlah rekaman video atau wawancara dengan Yesus, atau foto-fotonya. Yang tersedia bagi para penulis Injil adalah sedikit bahan tertulis yang sekarang sudah hilang tetapi adanya masih dapat "dibuktikan dan direkonstruksi sedikit" (yang saya
maksudkan adalah naskah Q: Quelle sumber, bahasa Jerman). Kemudian sejumlah cerita tentang peristiwa yang menyangkut Yesus, cerita-berita itu berbentuk kisah-kisah lepas tentang mukjizat, penyembuhan, kisah permandiannya oleh Yohanes, kisah pemanggilan para rasul, dialog dengan murid-muridnya, perumpamaan, perbantahan dengan lawan-lawan, cerita tentang macam-macam ucapannya yang diingat jemaat, Kisah perjamuan terakhir, kisah pengkhianatan salah satu rasulnya, kisah tentang penangkapannya oleh serdadu Romawi dan polisi Baitallah, kisah sengsara dan penyalibannya, kisah kubur yang kosong kisah kebangkitan, kisah pertemuan dengan murid-muridnya setelah bangkit dari mati. Kisah-kisah itu berbentuk lisan, dan berkembang sendiri-sendiri, kadang-kadang dibumbui, ditambah, dikurangi, dan diolah oleh jemaat yang menuturkannya, sesuai dengan kebutuhan mereka waktu itu (Contoh-contohnya akan saya sampaikan dalam ceramah).

Dari cerita-cerita lepas itu ada satu orang yang untuk pertama kalinya menyusun semacam kisah utuh, walaupun singkat, secara sederhana, dengan skema yang dibuatnya sendiri, skema itu amat cocok dengan maksud teologi penulisnya tetapi skema/urutan itu bukanlah urutan historis/obyektif seperti tuntutan biografi modern. Skema itu adalah "rahasia Mesias," memang Yesus itu Mesias, tetapi Mesias yang menderita. Hasil karya itu adalah Injil Markus, entahlah siapa beliau itu sebenamya.

Setelah itu masih ada dua orang penulis lain yang menggunakan Injil Markus sebagai dasar penulisan Injilnya, di samping bahan-bahan lain yang dimilikinya sendiri. Alasan penulisan mereka berbeda: yang satu ingin menonjolkan bahwa Yesus itu adalah Putera Daud (Putera Empat Belas), Mesias, Musa baru yang melebihi Musa lama. Mesias yang sudah larna diramalkan itu sudah datang dan penulis mengajak kaum sebangsanya (Yahudi) untuk mengikuti dan menjadi muridNya. Itulah inti Injil Mateus.

Perlu saya tambahkan bahwa penulis Injil Mateus ini pastilah bukan Rasul Mateus yang dipanggil Yesus dari cakruk pembayaran retribusi pasar seperti tertera dalam Injilnya (meskipun tradisi percaya demikian). Dari tulisannva itu kita boleh menduga dia adalah seorang ahli kitab yang amat mahir, pendidik yang ulung, dan tahu betul tradisi bangsanya, tinggal dekat Palestina tetapi di luar Palestina, mungkin di Siria/Antiokia, masih mengakui Taurat dan menjunjungnya tinggi.-tinggi, tetapi menempatkan Yesus lebih tinggi daripada Musa, dan Daud, dan-mengajak kaum sebangsanya untuk mengikuti dia menjadi murid Yesus. Injilnya itu merupakan Injil yang terpanjang dan amat "lengkap." Siapa beliau? Kita tidak dapat mengetahuinya dengan pasti sebab naskah-naskah Injil sendiri semuanya tidak mencantumkan nama pengarang, jadi tetap tinggal misteri.

Penulis lain yang menggunakan Injil Markus sebagai dasarnya adalah Lukas. Bahasa Yunani Injil Lukas adalah yang terbaik dari keempat Injil, bagus, halus, mendekati karya sastra. Dalam karyanya Lukas membuat skema "Yesus berjalan dari Galilea ke Yerusalem," dan wafat di sana.

$emua cerita pendek itu ditenpelkannya dalam skema tersebut. Dalam Injilnya Lukas mau mengatakan bahwa Allah telah datang mengunjungi umatnya. Dari Injilnya kita dapat sedikit menggali jemaat seperti apa yang dituju olehnya. Mereka itu hidup 100% dalam kebudayaan Helenis (Yunani), tidak tahu lagi bahasa Hibrani/Aram, banyak jemaat yang berada dan terpandang, tetapi mereka loyo, hilang semangatlya. Untuk itulah Lukas mengajak mereka mengikuti Yesus dengan "memikul salib setiap hari." (Lk14,27)

Lepas dari ketiga Injil yang masih saling terkait ini (disebut injil-injil sinoptik karena ketiganya dapat dilihat sekali pandang bila dijajarkan), masih ada kelompok jemaat lain, yang agak terisolir, dan bertumpu pada seorang tokoh yang disebut "murid terkasih." Menurut kebutuhannya, kelompok ini menyusun pula injilnya, dalam beberapa kali penulisan/redaksi. Setiap kali mereka menyusun, terasa buku itu "berhenti" lalu dibuka kembali dalam peredaksian berikutnya, sehingga bentuknya tidak rata dan masih terasa ada beberapa penutup yang oleh redaktor terakhir tidak pula dihapus (lihat Yoh 20,30-31) barangkali karena sudah memiliki wibawa sendiri.

Bagian-bagian itu boleh diduga sebagai berikut:

1,1-18 Pengantar dan inti sari seluruh Injil, "Sang Sabda yang menjadi manusia” dan ditolak.

1,19-12,50 Buku Tanda-tanda (Semeia Yunani) "Bangsanya sendiri menolak Dia" dan tanda-tandanya itu.

13,1-21,31 Buku kemuliaan. "Dia memberinya kuasa menjadi anak-anak Allah." Di sini terselipkan kisah sengsara l8,l-19,42.

2l,l-25 Penutup, barangkali ditulis ketika kuil ini mulai diterima oleh gereja umum, di sini kedudukan Petrus ditegaskan.

Surat-surat Paulus

Sekitar dua puluh lima tahun sebelum Injil Markus ditulis, Santo Paulus sudah menulis suratnya kepada jemaat Tesalonika (l Tess ditulis sekitar tahun 41). Jenis sastranya tentu saja jenis sastra surat. Ada sekitar tujuh tulisan asli Paulus yang sejak semula tidak diragukan para ahli sebagai karya asli sang rasul. Di sini saya hanya dapat sedikit mengupas isi keseluruhan secara umum sekali, karena rumitnya pemikiran dan susunan surat-suratnya itu. Pada pokoknya Santo Paulus menjawab kesulitan jemaat yang didirikannya berdasarkan pandangan imannya akan Yesus Kristus.

Kadang-kadang sang rasul terpaksa membela diri dengan keras terhadap tuduhan saudara-saudara kristen lain terhadap keabsahan pewartaan dan kerasulannya, misalnya dalam surat Galatia. Injil di dalam surat-surat Paulus disajikan sebagai ringkasan yang amat padat dan diterapkan pada persoalan yang sedang dihadapi jemaat (lihat misalnya surat 1,2 Kor; philemon dst.).
Pseudoepigraf

Di luar ketujuh surat asli Paulus (Galatia, Rom4 I Tessalonika, 1,2 Korinti, Philipi, Kolose, Philemon), nama sang rasul dicatut agar surat-surat yang diatas namakannya itu laku, berkat kewibawaan paulus- Teknik semacam ini dilakukan pula terhadap rasul-rasul lain seperti Petrus, Yohanes, Yakobus, dan Yudas. surat-surat yang mengatas namakan Paulus itu adalah 2Tess, Titus, 1,2 Timoteus dan Hibrani (pseudoepigrafFaulus).

Dari surat-surat asli Paulus, kita dapat mernperoleh gambaran yang cukup banyak tentang jemaat dan suasananya di zaman itu. contoh persoalan jemaat dan bagaimana pemecahannya pada waktu itu akan saya sampaikan dalam ceramah

Bacaan

Dengan pengantar umum dan ceramah yang serba sedikit ini, Anda sebagai Pamong sabda siap untuk melangkah ke tahap berikutnya, yakni membaca pengantar untuk masing-masing kitab suci. Misalnya tulisan Mgr. Dr. Suharyo pr. "Injil-injil siaoptik" dan dua buku tulisan almarhum Romo Groenen OFM "Pengantar ke dalam Perjanjian Lama" dan “Pengantar ke dalam Perjanjian Baru" atau mengikuti serial VCD saya (semoga tahun ini selesai!). Dan setelah itu tentu saja Anda diharapkan membaca Alkitab dengan pedoman-pedoman tadi dan melayani sang sabda dengan bekal yang Anda dapatkan.

Selamat bekerja !!! Para Pencinta Kitab Suci dan Pewartanya.


Selasa, 21 Desember 2010

Salib Katolik Ada Corpusnya, Mengapa?

Nah, jawaban yang asyik dari sharing Romo Sam, sangat indah he .. he ... he...


 MENGAPA SALIB KATOLIK MEMAKAI CORPUS?

Dari: Yohanes Samiran SCJ <ysamiran@gmail.com>
Judul: Re: [ApiK] MENGAPA SALIB KATOLIK MEMAKAI CORPUS?
Kepada: ApiKatolik@yahoogroups.com
Tanggal: Selasa, 21 Desember, 2010, 1:06 PM

Hehehee ...... melihat topik "salib" dan "corpus", rasanya dalam arsip kita masih kita temukan jejak diskusi yang sama ini. Jadi bagi yang mau lihat pendapat teman-teman lain yang lama, bisa bongkar aja arsip messages kita di web Apikatolik ini.

Saya mau sharing aja diskusi non teologis dan non formal dengan seorang dosen dogmatik handal di Seminari Agung, Yogyakarta 30 tahun lalu.
Berkaitan dengan omong-omong soal salib dan corpus itu, sang dosen kawakan nyeletuk dengan pertanyaan juga:
"Heh kamu tahu pahlawan Indonesia seperti: Diponegoro, Imam Bonjol, dll?"
"Ya tahulah romo, kita kan jelek-jelek begini ya belajar sejarah ....." jawab frater.
"Dari mana kamu tahu itu Diponegoro yang pahlawan atau Diponegoro yang lain?"
"Kan ada gambar-gambar pahlawan di sekolah atau di buku sejarah ....."
"Dia disebut pahlawan karena apa?"
"Membela negara sampai mati melawan penjajah ..."
"Lho mati? Kena apa pahlawan bisa mati?"
"Ditangkap Belanda, dan dihukum mati ..."
"Terus yang diabadikan masih gambar Diponegoro yang hidup dan 'mejeng' seperti pas foto itu?"
"Lho memangnya seharusnya gambar siapa romo?"
"Bukan gambar pistol atau senapan, maksud saya ...."
"Ahhh romo ini anehhh dan ada-ada aja. Apa gunanya dan apa gunanya masang gambar pistol? Gak pas lah..... mana orang tahu maksudnya apa"
"Nah .... aku tanya begitu kamu sebut aneh. Tetapi kalian diskusi sampai berbusa-busa begitu tentang salib dan tentang corpus, gak merasa ada yang aneh ......"
"Maksudnya apa romo?"
"Lho apakah juga tidak aneh kalau kamu cuma misalnya memasang salib saja tanpa corpus? Salib kan hanya alat untuk menghukum mati Yesus, itu hanya alat eksekusi saja. Lha yang penting itu alatnya, atau Yesusnya? Kalau kalian konsisten berpikir seperti soal kebiasaan kita mengenang pahlawan atau orang yang akan kita kenang, dan yang kita pasang ada citra atau gambar orangnya, dan bukan kursinya, atau pistol yang membunuhnya, atau gambar jalan yang pernah dilewatinya, atau sepeda yang pernah dinaikinya ..... mengapa soal Yesus dan salib masih bingung dan diskusi cari argumentasi?
Sepeda memang penting, tetapi sepeda itu tidak artinya kalau tidak terkait dengan tokoh yang mengendarai sepeda itu.
Salib itu memang penting, tetapi itu tidak ada artinya bagi kita orang katolik kalau tidak terkait dengan Kristus. Jadi salib tanpa Kristus itu nothing dan bukan apa-apa.
Masih ingat kalau kita melambungkan anamnese? Apa yang kita ungkapkan?"
"Wafat Kristus kita maklumkan. KebangkitanNya kita muliakan. KedatanganNya kita rindukan ..." jawab frater mulai dhong dikit-dikit.
"Hmmmm .... jadi waktu imam mengajak kita memaklumkan misteri iman kita .... tidak ada kata dan referensi salib di sana, tetapi yang ada adalah:
wafatNya, kebangkitanNya dan kedatanganNya kembali ..... "

Kemudian dosen kawakan itu, bangkit dan dengan senyum-senyum meninggalkan para fraternya yang cengar-cengir saja. Hmmmm jawaban tadi tidak ada referensi ayat Kitabsucinya, tetapi lebih mudah dimengerti .....

(Sharing sebagai pelengkap sharing Sdr Elizabeth ..... dan teman-teman lain .... )

salam dan doa,

Yohanes Samiran SCJ
=========================
Semoga Hati Yesus merajai hati kita
=========================

Senin, 20 Desember 2010

Sebuah Tanggapan Mengenai Gereja di Copy dari APIK-millis Katolik

Patut direnungkan tulisan yang bagus ini :
Setelah baca2 sekilas pandangan2/pendapat2 para Apikers, ternyata inti utamanya
adalah terletak pada masalah pengertian ttg "GEREJA". Bisa jadi spt kalau orang
katolik yg cuma setengah2 tahu ajaran Katolik, dengar khotbah2 pendeta yg
menggunakan bahasa yg bagus2, indah2, keren2 dengan penyampaian sdmk rupa, shg
wah, kelihatannya sangat benar dan masuk akal, apalagi ditambah dengan "bukti2"
ayat2 Alkitab yg kelihatan mendukung apa yg dikatakan pengkhotbah tsb, tambahlah

orang menjadi percaya, dipikirnya masuk akal dan sangat alkitabiah. Juga apalagi

kalau disisipi sdkt2 kata2 asing baik Bhs Inggris atau kadang comot juga kata2
latin ditambah lagi kata2 ibrani.... wah, pasti tambah meyakinkan, krn dikirain
ini yg ngomong pasti benar2 berilmu, pastilah benar pandangannya. Padahal
sebetulnya yg diomongkan hanya keliatannya benar tp sebenarnya keliru, mengapa
dmk? krn dasar pandangannya sdh salah.
 
Sering mereka yg suka mengatakan orang lain fanatik, mereka tidak melihat kepada

dirinya sendiri, "bagaimana HASRAT FANATIKNYA UNTUK MENGHINDARI SEBUTAN FANATIK
PADA DIRINYA", jd sebetulnya siapa yg justru fanatik?
Juga sering mrk yg tidak percaya akan kebenaran yg mutlak, tetapi dengan mutlak
mengatakan "tidak ada yg mutlak". Kontradiktif kan?
Betapa dogmatisnya kita ketika kita memprotes dogmatisme. Apakah keyakinan bahwa

kebenaran itu tidak obyektif adalah sesuatu yg obyektif?
 
Kepada bapak prastowo yg katanya ahli ekklesiologi, mohon jawaban dan
penjelasan2nya atas pertanyaan2 saya ini:
 
- Apakah Yesus benar2 mendirikan suatu Gereja? kalau tidak mengapa, kalau ya,
maka pertanyaan berikutnya:
- Gereja-Nya (Gereja Kristus) yg sejati itu definisinya/ciri2nya bagaimana,
apakah ada banyak atau ada Satu? Jelaskan jg dasar jawaban tsb.
- Apa hubungan Kristus dengan Gereja-Nya. Kalau ada hubungan, maka hubungannya
bagaimana? Kalau tidak ada hubungan, bgmn pengertiannya.
- Setelah Yesus naik ke Surga, bagaimana dan melalui sarana apakah penebusan
Tuhan Yesus tsb dapat juga efektif sampai saat ini, setelah kurang lebih 2000
th?
- Apakah lahirnya Protestantisme didirikan oleh Yesus atau diinginkan oleh Yesus

sendiri?
- Mengapa di dalam Protestant sendiri tdpt banyak perpecahan dan perbedaan,
Luther sendiri juga bersebrangan dengan Calvin, dan mereka keduanya sama2
mengatakan bersumber pada Alkitab/sola scriptura juga sola fide, lalu mengapa
bisa berlainan ajaran?
- Pernyataan "Ada Keselamatan pada Agama2 lain" apakah berarti mengimani "bahwa
semua agama menyelamatkan?" kalau Tidak, mengapa? Kalau Ya, maka pertanyaan
berikutnya
- Bagaimana atau dengan jalan apakah agama2 lain dapat memberi keselamatan?
Melalui apa keselamatan di agama2 lain?
 
Tambahan, jelas saya mengatakan bahwa saya sangat tidak setuju dengan ilustrasi
prastowo ttg supersemar dengan ajaran GK yaitu EENS. Dasarnya jauh berbeda!
Soekarno mengeluarkan Supersemar atas dasar "suatu peristiwa yang sedang terjadi

saat itu", "suatu peristiwa yg muncul saat itu" shg isi supersemar jelas hal2 yg

berkaitan dengan situasi saat itu. Jadi mau diselewengkan atau tidak ya sangat
terbuka kemungkinan untuk itu. Dan otoritas mana yg berkuasa mengcounter
penyelewengan itu?
Sedangkan EENS adalah ajaran Gereja yg telah sejak jaman Bapa Gereja Perdana
(cyprianus). Semua konsili2 baik kv I, II dll selalu sifatnya hanya menegaskan
kembali ajaran2 apostolik (yg sudah ada sebelumnya) , kenapa ditegaskan kembali,

krn pada saat itu muncul ajaran2 yg tidak sesuai dg ajaran atau iman
yg apostolik tsb, mereka yg mempelopori ajaran menyimpang ini disebut bidaah
atau heretic. Jadi konsili2 itu ada, TIDAK untuk MENYUSUN?MERUMUSKAN ajaran2
Gereja yg BARU unt kepentingan suatu peristiwa, tp hanya menegaskan kembali apa
yg sudah ada [ajaran iman] sebelumnya. Supersemar dasarnya sama sekali tidak
dmk. Ajaran Iman katolik adalah ajaran iman yg dpt dipertanggung-jawabkan, yg
diajarkan dari Tradisi [ajaran para rasul] sendiri. sedangkan Supersemar itu
surat perintah dadakan yg dibuat berdasarkan suatu peristiwa saat itu.
 
Protestantisme pada jaman kemunculannya (Luther) jg dikutuk oleh Gereja. Di
Trent, GK mencap Luutherisme sbg sesat. Tetapi jaman KV II dan setelahnya, umat
Protestant disebut "saudara/i yg terpisah" ini bukan berarti KV II mengganti
pengertian yg dahulu krn yg dahulu itu salah. Tetapi spt dikatakan oleh PB XVI:
"umat protestant yg sekarang ini tidak dapat dipersalahkan atas apa yg telah
diperbuat para pencetusnya (Luther dkk), ttp pencetus Protestantisme itu sendri
yg bertanggung jawab atau dapat dikatakan pencetus Protestantisme itulah yg
disebut heretic.Sdgkan umat protestant sekarang yg ada hanya krn warisan iman
pendahulunya itu, disebut sbg "saudara/i yg terpisah". Jadi dasarnya ini, KV II
bukan mengganti/membetulkan apa yg ada pada konsili2 sblmnya.

 
salam,
beth

Rabu, 15 Desember 2010

Answer to main objection against Dominus Iesus

Sebuah tulisan yang perlu buat kita, saya ambil dari millis katolik APIK diterjemahkan ElzethL
"Deklarasi Dominus Iesus" adalah Deklarasi yang dikeluarkan oleh Kongregasi


untuk Doktrin Iman (CDF) yang menjelaskan tentang keunikan dan ke-universal-an

keselamatan untuk seluruh umat manusia di dalam Yesus Kristus dan Gereja

Katolik. Dominus Iesus menjelaskan tentang bagaimana kita melihat Gereja

Katolik, dalam hubungannya dengan agama-agama lain.



Dibawah ini adalah tanya jawab yg ditujukan kepada Cardinal Joseph Ratzinger, yg

pada saat itu menjabat sebagai Prefect of the Congregation for the Doctrine of

the Faith (CDF) atas keberatan2 (terutama dari pihak "gereja-gereja"

non-Katolik) dari Deklarasi Dominus Iesus ini.



Sumber: http://www.ewtn.com/library/theology/obdomihs.htm

----------------------------------------------------

Pada sebuah interview yang diterbitkan pada tanggal 22 September 2000,

“Allgemeine Zeitung” Frankfurt mengundang Kardinal Joseph Ratzinger, Kepala dari

Kongregasi Ajaran Iman, untuk menjawab beberapa keberatan prinsipal yang muncul

berkenaan dengan Deklarasi Dominus Iesus. Meskipun pertanyaan dan

jawaban-jawaban dalam diskusi ini berada dalam konteks Negara Jerman, hasil

interview tersebut menawarkan penjelasan penjelasan yang dapat diaplikasikan dan

juga berguna diluar konteks tersebut. Karenanya, surat kabarL'Osservatore Romano

menerbitkan terjemahan interview tersebut dalam bahasa Italia, dengan

mengabaikan bagian yang khusus membahas situasi di Jerman saja. Tulisan dibawah

ini merupakan terjemahan dari versi Italia dari interview tersebut.



-----------------------------------------------

Q: Yang Mulia, anda memimpin sebuah struktur dimana ada “kecenderungan untuk

menanamkan ideology dan ingin benar benar memasuki elemen elemen iman yang asing

dan bersifat fundamental”. (Reaksi dalam bentuk) kecaman dan keluhan termuat

dalam sebuah diskusi yang diterbitkan minggu yang lalu di bagian yang berbahasa

Jerman dari European Society for Catholic Theology.



PB XVI: Saya harus mengakui bahwa saya memang sangat terganggu dengan

pernyataan-pernyataan semacam ini. Sudah cukup lama saya berusaha meresapi (dan

sekarang saya benar benar mengerti) makna dari ungkapan ungkapan ini, yakni

ketika konsep-konsep fundamentalisme, Roma sentris dan absolutisme selalu

dipertanyakan. Saya dapat memberikan beberapa pernyataan tanpa perlu menunggu

(pertanyaan), karena (pertanyaan-pertanyaan yang sama) itu terus menerus

diulang, tanpa mempedulikan topik yang sedang dibahas.



Q: Apakah anda ingin mengatakan bahwa kritik-kritik tersebut salah karena

terlalu sering dipertanyakan ?



PB XVI: Tidak. Saya hanya ingin mengatakan bahwa tipe kritik tuduhan semacam ini

sebenarnya tidak dapat menjelaskan (atau memberikan jawaban terhadap) topic

topic tersebut.



Beberapa (orang) mengetengahkan kritik kritik baru yang benar benar tidak perlu

diperhatikan, karena mereka selalu memandang semua yang keluar dari Roma dengan

kaca mata politik dan pengerahan kekuasaan, dan tidak berhasil mendapatkan

content (isi) nya.



Q: Isi (kritik-kritik tersebut) memang menghebohkan. Adalah sangat mengejutkan

ketika sebuah dokumen yang menyatakan bahwa ke-Kristenan adalah satu satunya

sumber kebenaran dan (kemudian menyatakan bahwa) status ‘gerejawi’ (ecclesial)

dari Gereja-gereja Anglikan dan Protestant yang tidak diakui akan bertentangan

dengan posisi tersebut ?



PB XVI: Saya ingin pertama tama mengekspresikan kesedihan dan kekecewaan saya

bahwa reaksi dari masyarakat luas, dengan beberapa pengecualian yang patut saya

syukuri, telah benar benar mengabaikan tema Deklarasi (Dominus Iesus) yang

sesungguhnya. Dokumen yang dimaksud dimulai dengan kata kata “Dominus Iesus”

(Yesus adalah Tuhan); ini adalah bentuk singkat dari iman yang ditulis di dalam

Surat Pertama kepada Umat di Korintus (12:3), dimana St. Paulus telah merangkum

inti sari dari ke-Kristenan: bahwa Yesus adalah Tuhan.



Dengan Deklarasi ini, diikuti dengan tindakan tindakan selanjutnya yang

dilakukan dengan perhatian dan keinginan penuh, Sri Paus hendak menawarkan

kepada dunia, sebuah pengertian yang dalam dan pengakuan yang sungguh sungguh

pada Yesus Kristus sebagai Tuhan untuk menyambut Tahun Suci, dengan demikian

membawa makna central yang rentan terhadap penafsiran luar yang salah tersebut

ke tengah tengah peringatan (tahun suci) ini.



Q: Ketidak sukaan yang timbul di masyarakat sangat dipengaruhi oleh “ketegasan”

(deklarasi ini). Di dalam puncak perayaan Tahun Suci, apakah tidak sebaiknya

(Gereja atau anda) mengirimkan sinyal / pernyataan kepada agama lain dan tidak

malah meminta ketegasan iman seseorang?



PB XVI: Kita dapat melihat bahwa situasi di awal millennium ini mirip dengan apa

yang digambarkan oleh St.Yohanes di akhir bab 6 dari Injilnya: Yesus dengan

jelas telah menjelaskan sifat ke-ilahian-Nya dalam Sakramen Ekaristi. Di ayat 66

kita baca “Mulai dari waktu itu banyak murid-murid-Nya mengundurkan diri dan

tidak lagi mengikut Dia”. Dalam banyak diskusi akhir akhir ini, iman pada

Kristus beresiko dikaburkan dan kemudian diabaikan dalam pembicaraan

selanjutnya. Dengan dokumen ini, Bapa Suci, sebagai Penerus Rasul Paulus, ingin

mengatakan: "Tuhan, kepada siapakah kami akan pergi? Perkataan-Mu adalah

perkataan hidup yang kekal; dan kami telah percaya dan tahu, bahwa Engkau adalah

Yang Kudus dari Allah." (Yoh 6:68ff). Dokumen ini ditujukan bagi segenap orang

Kristen untuk membuka diri mereka masing masing untuk mengakui Yesus Kristus

sebagai Tuhan, sehingga dapat membawa makna yang besar bagi Tahun Suci. Saya

senang bahwa Mr Kock, Kepala dari Gereja Gereja Protestant Jerman, menyadari

elemen penting ini dalam tulisannya, yang kemudian dibandingkan dengan Deklarasi

Barmen 1934, dimana Bekenende Kirche yang baru diterbitkan menolak Church of the

Reich yang didirikan oleh Hitler. Prof. Jüngel dari Tübingen juga menemukan –

diluar keberatan-keberatannya di bagian ecclesiologis – semangat apostolic

seperti yang ada di dalam deklarasi Barmen. Kemudian, Kepala Gereja Anglikan,

Uskup Carey, mengungkapkan rasa terimakasihnya dan memutuskan untuk mendukung

tema inti dari Deklarasi tersebut. Mengapa, sebaliknya, mayoritas komentator

mengabaikan hal hal ini ? Akan sangat menyenangkan kalau saya dapat menerima

penjelasan.



Q: Elemen yang menghebohkan yang membahas tentang nature politis-ecclesialistiks

dibahas di bagian tentang Eukumene. Eberhard Jüngel, dalam pernyataannya tentang

bagian evangelical, menegaskan bahwa dokumen tersebut mengesampingkan fakta

bahwa semua Gereja “dengan cara mereka masing-masing” sebenarnya ingin menjadi

yang sudah menjadi kenyataan mereka sekarang: “Gereja yang satu kudus, katholik

dan apostolic”. Jadi apakah Gereja Katholik membohongi diri sendiri dengan

mengklaim memiliki hak yang eksklusif, karena, menurut Jüngel, ia juga membagi

hak ini dengan Gereja Gereja yang lain?



PB XVI: Pembahasan ecclesiologis dan eukumene yang sekarang diperbincangkan oleh

semua orang hanya mencakup sebagian kecil dari dokumen, dimana kami merasa perlu

untuk menuliskannya untuk menekankan kehidupan dan kehadiran nyata Kristus di

dalam sejarah. Saya terkejut bahwa Jüngel menyatakan bahwa Gereja yang satu

kudus, katolik dan apostolic sudah hadir di dalam semua Gereja dengan caranya

sendiri sendiri dan bahwa (jika saya benar benar mengerti apa yang beliau

maksudkan) beliau menganggap bahwa masalah kesatuan Gereja sudah terselesaikan.

Padahal “beberapa Gereja” tersebut saling bertentangan satu sama lainnya! Jika

mereka semua adalah (satu) Gereja “dengan cara mereka masing masing”, maka

Gereja (yang satu) ini adalah sebuah kumpulan dari kontradiksi-kontradiksi yang

tidak bisa menawarkan arah yang benar benar jelas kepada umat manusia.



Q: Tapi apakah sebuah ketidak-mungkinan yang efektif (yang sekarang terjadi)

juga berakar dari ketidak-mungkinan normative (yang sudah pasti) ?



PB XVI: Bahwa semua komunitas gerejawi yang ada sekarang harus menyerukan konsep

Gereja yang sama bagi saya akan berlawanan dengan kesiapan (kondisi) mereka

masing masing. Luther mengklaim bahwa Gereja, dari sudut pandang theologi dan

spiritual, harus tidak berada dalam struktur institusi Gereja Katholik, yang

menurutnya adalah wadah Antikristus. Dalam pandangannya, Gereja hadir dimanapun

sang Firman dinyatakan dengan benar dan sakramen sakramen dijalankan dengan cara

yang benar. Kemudian Luther sendiri berpendapat bahwa tidak mungkin untuk

menganggap bahwa Gereja Gereja lokal adalah sama dengan Gereja (Kristus); mereka

adalah institusi institusi eksternal yang membantu dan diperlukan, namun bukan

Gereja dari sudut pandang theology. Dan siapa yang sekarang akan mengatakan

bahwa stuktur struktur yang terbentuk secara tidak disengaja dalam sejarah,

seperti Gereja Hesse-Waldeck dan Schaumburg-Lippe, adalah (model) Gereja yang

sama seperti yang diklaim oleh Gereja Katholik? Adalah sangat jelas bahwa

Persatuan Gereja Gereja Lutheran Jerman (VELDK) dan Persatuan Gereja Gereja

Protestant di Jerman (EKD) tidak ingin disebut sebagai “Gereja”. Penelitian

secara realistic menunjukkan kenyataan bahwa Gereja bagi umat Protestant berada

diantara, dan tidak termasuk dalam institusi-institusi yang disebut dengan

Gereja Gereja regional. Hal ini sudah didiskusikan sebelumnya.





Q: Fakta yang terjadi adalah kaum Evangelis merasa tersinggung dengan definisi

“komunitas gerejawi”. Reaksi yang keras terhadap dokumen anda adalah bukti yang

nyata.



PB XVI: Terus terang saya melihat bahwa pernyataan dari rekan rekan Lutheran

tersebut tidak masuk akal, i.e., yaitu bahwa kami harus mempertimbangkan

struktur struktur yang berasal dari kejadian kejadian historis tersebut sebagai

Gereja, sama seperti kami mempercayai Gereja Katholik, dimana setiap Gereja yang

didirikan berdasarkan suksesi apostolic dapat ditemukan dalam semua Keuskupan.

Mungkin akan lebih tepat bagi rekan rekan Evangelis untuk mengatakan kepada kami

bahwa bagi mereka Gereja adalah sesuatu yang berbeda, sebuah realita dinamis

yang tidak terikat dengan institusi, atau merupakan bagian dari suksesi

apostolik. Pertanyaannya kemudian bukan apakah Gereja Gereja yang ada sekarang

ini semuanya adalah Gereja (yang dibentuk dengan cara) yang sama, yang jelas

bukan itu masalah yang sebenarnya, tapi apa yang ada atau tidak ada di dalam

Gereja (mereka). Dengan cara berpikir demikian, kami tidak merasa menyinggung

pihak manapun dengan berkata bahwa struktur struktur Evangelis yang ada sekarang

bukanlah Gereja dari sudut pandang dan yang diinginkan Gereja Katholik (terhadap

struktur Gereja Gerejanya). Mereka sendiri tidak memiliki keinginan untuk

menjadi seperti itu.



Q: Apakah pertanyan ini telah dibicarakan dalam Konsili Vatikan II ?



PB XVI: Konsili Vatikan II berusaha untuk menerima cara pandang Gereja yang

berbeda ini dengan menyatakan bahwa Gereja Gereja Evanglisasi adalah bukan

Gereja Gereja dengan pengertian yang sama seperti yang diklaim oleh Gereja

Katholik, tapi bahwa “elemen elemen keselamatan dan kebenaran” dapat ditemukan

di dalamnya. Mungkin kata “elemen-elemen” bukanlah pilihan kata yang terbaik.

Dalam setiap kesempatan, kesan yang ingin ditimbulkan adalah untuk

mengindikasikan sebuah visi gerejawi dimana Gereja tidak hanya hadir sebagai

struktur namun juga dalam kegiatan kegiatan pengabaran Injil dan pelaksanaan

sakramen sakramen. Metode debat yang dilakukan selama ini sangat keliru. Saya

berharap saya tidak perlu untuk menjelaskan bahwa Deklarasi yang dikeluarkan

oleh Kongregasi Ajaran Iman hanya menekankan kembali teks teks Konsili dan

dokumen dokumen pasca konsili, tanpa menambahkan maupun mengurangi apapun.



Q: Di sisi lain, Eberhard Jüngel melihat sesuatu yang berbeda. Kenyataan bahwa

Konsili Vatikan II tidak menyatakan dengan jelas bahwa satu satunya Gereja

Kristus yang eksklusif adalah Gereja Katholik Roma membingungkan Jüngel. Di

Konstitusi Lumen gentium, hanya dikatakan bahwa Gereja Kristus ‘subsists in’

dalam Gereja Katholik, yang di pimpin oleh Penerus St. Petrus dan para Uskup

yang berada dalam ‘communion’ (persatuan, agreement) dengannya”, tidak ada kesan

eksklusivitas dengan menggunakan kata Latin “subsistit”.



PB XVI: Sekali lagi saya tidak bisa mengerti alasan dari rekan saya, Jüngel.

Saya berada di sana, dalam Konsili Vatikan II ketika kata “subsistit” dipilih

dan saya bisa mengatakan saya benar benar mengerti (latar belakang dan alasan

alasannya). Saya agak menyesal karena tidak bisa menjelaskan dengan detail dalam

interview (ini). Paus Pius XII, dalam surat Ensikliknya menyatakan: Gereja

Katholik Roma adalah (“is”, bentuk tunggal) satu-satunya Gereja Yesus Kristus.

Ini menyatakan sebuah identitas yang lengkap, yang juga menjelaskan mengapa

tidak ada Gereja diluar komunitas Katholik. Namun, permasalahannya adalah ini

bukan : menurut ajaran (Gereja) Katholik, yang juga sudah dinyatakan dengan

jelas oleh Paus Pius XII, Gereja Gereja lokal dari Gereja Timur yang terpisah

dengan Roma adalah juga Gereja Gereja lokal yang authentik; komunitas komunitas

yang berkembang dari (gerakan) Reformasi dipandang secara berbeda, seperti yang

telah saya katakan. Disini Gereja (dari gerakan Reformasi) (hanya) ada ketika

suatu peristiwa sedang terjadi.



Q: Tapi kemudian tidakkah kita seharusnya mengatakan: tidak ada yang dapat

mengklaim diri sebagai Gereja yang satu. Ia (Gereja) terpecah pecah menjadi

beberapa bagian?



PB XVI: Pada kenyataannya, sekarang ini banyak (gereja) yang menganggap dirinya

demikian. Hanya pecahan pecahan Gereja yang ada, dan (orang) harus menemukan

yang terbaik dari pecahan pecahan itu. Namun jika (keadaannya) seperti ini, kita

mengesahkan subjektivisme: dan kemudian setiap orang akan menciptakan

keKristenannya sendiri dan pada akhirnya pilihan pribadinyalah yang paling

berperan.



Q: Mungkin orang Kristen benar benar memiliki kebebasan untuk menafsirkan “jalan

jalan (yang banyak)” ini secara subyektif atau individu.



PB XVI: Gereja Katholik, seperti Gereja Orthodox, telah mengambil kesimpulan

bahwa definisi seperti ini tidak sejalan dengan janji Kristus dan ketaatan

kepada Nya. Gereja Kristus benar benar ada dan tidak terpecah pecah. Ia (Gereja

Kristus) bukanlah sebuah impian yang tidak dapat diwujudkan namun adalah benar

benar sebuah realitas yang konkrit. Kata “subsistit” tepatnya bermakna demikian:

Tuhan menjamin keberadaan Gereja, meskipun terdapat banyak kesalahan dan dosa,

yang pasti akan bisa ditemukan di dalam nya (Gereja). Dengan “subsistit”, maksud

sebenarnya adalah hendak mengatakan bahwa, meskipun Tuhan selalu menepati

janjiNya, namun juga ditemukan realitas gerejawi di luar komunitas Katholik, dan

kontradiksi inilah yang merupakan dorongan yang paling kuat untuk menginginkan

persatuan. Jika Konsili (Vatikan II) hanya bermaksud menyatakan bahwa Gereja

Yesus Kristus juga ditemukan di dalam Gereja Katholik, maka itu akan menjadi

sesuatu yang dangkal dan tidak bermakna. Konsili (Vatikan II) pasti akan

berkontradiksi dengan seluruh iman Gereja dalam sejarah, dimana tidak ada

seorang Bapa Konsili pun yang berpikir demikian.



Q: Argumen-argument Jüngel bersifat philology (hanya di seputar bahasa,

penggunaan kata) dan ia menyatakan bahwa interpretasi dari Kongregasi Ajaran

Iman, yang baru saja anda terangkan, dapat “menyesatkan”. Kenyataannya, menurut

terminology Gereja awal, Allah yang Esa juga “subsists”, dan tidak pada satu

pribadi saja tapi pada ketiganya. Pertanyaan berikut ini muncul dari pengertian

tadi: Jika, Tuhan sendiri “subsists” dalam perbedaan antara Bapa, Putera dan Roh

Kudus dan ketiganya tidak terpisah dari Dia, sehingga menciptakan tiga yang

berbeda tapi tetap sama, kenapa (konsep, cara pandang) ini tidak bisa

diapplikasikan kepada Gereja, yang merepresentasikan “misteri trinitas” di

dunia?



PB XVI: Dengan sangat menyesal sekali lagi saya harus mengatakan ketidak

setujuan terhadap (pendapat) Jüngel. Pertama tama, kita perlu melihat bahwa

Gereja Barat, ketika menerjemahkan formula Trinitas ke dalam bahasa Latin, tidak

secara langsung mengadopsi formula (Gereja) Timur, dimana Tuhan adalah satu

mahluk di dalam tiga hypostasis (“subsistences”), tapi menerjemahkan kata

hypostasis dengan istilah “pribadi” (person), karena tidak ada padanan dalam

bahasa Latin untuk kata “subsistence” dan karenanya (kata tersebut: person)

tidak tepat untuk menyatakan ketunggalan dan kejamakan antara Bapa, Putra dan

Roh Kudus.



Meskipun demikian, secara khusus saya benar benar menentang kecenderungan yang

semakin meluas untuk mentransfer (pengertian) misteri Trinitas langsung kepada

(pengertian tentang) Gereja. (Pengertian tersebut) tidak dapat dibandingkan

(tidak sepadan). Dengan cara (pandang) seperti ini akhirnya kita akhirnya akan

mempercayai tiga tuhan.

----------------------------------------------------------

bersambung..(2)
Q: Pendek kata, mengapa “perbedaan” antara Bapa, Putera dan Roh Kudus bisa


dianalogikan dengan perbedaan yang ada pada komunitas gerejawi? Apakah formula

yang dikemukan Jüngel tidak memuaskan atau kurang harmonis?



PB XVI: Ada banyak ketidak setujuan (kontradiksi) diantara komunitas komunitas

gerejawi, dan ketidak setujuan (kontradiksi) terhadap apa! Ketiga “pribadi”

membentuk ketunggalan Tuhan dengan kesatuan yang otentik dan sempurna. Ketika

para Bapa Konsili mengganti kata “is” dengan kata “subsistit”, mereka pasti

melakukannya untuk alasan yang tepat. Konsep yang diekspresikan dengan “is”

(suatu kondisi yang belum terlaksana) terlalu luas dibandingkan jika

diekspresikan dengan kata “to subsist”. “To subsist” adalah sebuah cara yang

tepat untuk ‘berada’ (being, menjelaskan kondisi yang sekarang ada), yaitu untuk

menempatkan diri sendiri sebagai subyek (yang harus melaksanakan / menjalankan

suatu tugas). Sehingga Konsili Bapa Gereja ingin mengatakan bahwa keberadaan

Gereja yang menjadi entitas yang lebih luas dari Gereja Katholik Roma, namun

didalamnya (dalam Gereja Katholik Roma) ia (Gereja) mendapatkan, dengan cara

yang tidak dapat dibandingkan, karakter subyek yang sejati dan tepat.



Q: Mari kita mundur selangkah. Seseorang dijejali dengan kata kata yang asing

yang seringkali ditemui di dalam dokumen Gereja. Anda sendiri telah mengemukakan

bahwa ekspresi “elemen elemen kebenaran”, yang dipermasalahkan sekarang ini,

dapat dikatakan kurang tepat (untuk dipakai). Apakah ekspresi (yang ditimbulkan

dari) kata “elemen elemen kebenaran” akan melukai konsep kimia dari kebenaran?

Suatu kebenaran yang terdiri dari berbagai system elemen? Atau apakah ide untuk

memisahkan kebenaran dari kesalahan atau kebenaran parsial dengan menggunakan

berbagai macam dalil adalah sesuatu hal yang terlalu dipaksakan, karena beberapa

dalil dapat mengurangi ke-kompleks-an Allah menjadi satu jalan pasti yang

ditunjukkan oleh sebuah kompas ?



PB XVI: Konstitusi Konsili Vatikan II tentang Gereja menyatakan “elemen elemen

pengudusan dan kebenaran” ditemukan juga di luar struktur Gereja yang kelihatan

(fisik) (n.8); Ketetapan tentang Eukumene memberikan beberapa contoh: “Sabda

Allah yang tertulis, hidup dalam rahmat, iman, pengharapan, kemurahan hati

(derma), dan karunia karunia Roh Kudus lainnya yang besifat interior maupun

elemen elemen yang kelihatan” (n.3). Mungkin ada kata lain yang lebih baik

selain “elemen elemen”, namun maksud sesungguhnya adalah sangat jelas: kehidupan

iman yang dijalankan oleh Gereja terdiri dari struktur multidimensional dimana

berbagai macam elemen dapat ditemukan di dalam atau di luar nya.



Q: Walaupun demikian, tidakkah mengejutkan bahwa ada keinginan untuk membuat

sebuah fenomena yang tidak membutuhkan verifikasi empiris, seperti iman

religius, dapat dijelaskan dengan memakai dalil dalil tertentu?



PB XVI: Jika menyangkut iman dan untuk membuatnya dapat dimengerti melalui dalil

dalil, (sebuah) dogma akan menjadi tidak bermakna jika dipandang sebagai sebuah

kumpulan dari dalil dalil: inti dari iman (seseorang) diekspresikan melalui

pengakuannya, dimana peristiwa istimewa tersebut terjadi pada sakramen

pembaptisan yang merupakan bagian dari proses eksistensi diri. Ini adalah sebuah

keinginan untuk mengambil arah baru dalam hidup, dimana meskipun kita tidak

memberikan diri kita namun tetap telah menerimanya sebagai sebuah hadiah. Arah

baru dalam kehidupan kita ini juga bermaksud mengingatkan bahwa kita dibentuk

dari ego dan kepentingan diri kita yang kemudian masuk ke dalam komunitas kaum

beriman yang disebut dengan Gereja. Point penting dari formula pembabtisan

adalah pengakuan (kedaulatan) kepada Allah Tritunggal. Dogma dogma selanjutnya

tidak lebih dari suatu penegasan terhadap pengakuan ini untuk memastikan bahwa

orientasi fundamental, penyerahan diri kepada Allah yang hidup, tidak sampai

dibelokkan. Hanya jika sebuah dogma dipandang dengan cara seperti ini maka dogma

tersebut dapat dimengerti secara tepat.





Q: Apakah itu berarti bahwa dari perspektif spiritual seseorang tidak pernah

dapat menjangkau inti dari iman?



PB XVI: Tidak, kepastian dari iman Kristen memiliki inti tersendiri. Itu (iman)

bukan sebuah pencelupan diri kedalam sebuah dimensi mistik yang tidak

terekspresikan dimana seseorang tidak mungkin dapat mencapai intinya. Allah yang

dipercayai oleh orang orang Kristen telah menunjukkan wajah dan hatinya kepada

kita dalam Yesus Kristus: ia telah menunjukkan diriNya sendiri kepada kita.

Seperti yang dikatakan St. Paulus, ke-konkrit-an Allah ini adalah sebuah skandal

bagi orang orang Yunani pada masa tersebut dan, tentu saja, sampai dengan

sekarang (bagi banyak orang). Hal ini (ketidak setjuan, penentangan ini) tidak

dapat dihindarkan.



Q: Orang terkejut dengan kepolosan orang orang yang berada di dalam lingkup

Gereja dimana mereka terlihat seperti “terluka” atau “penuh dengan penderitaan”

terhadap definisi iman yang menekankan pada isi (makna) dan bukan pada bentuk.

Bagaimana anda menjelaskan nilai moral dari pertentangan intelektual ini, yang

sekarang seperti menjadi kebiasaan bagi para theolog ?



PB XVI: Bukan hanya moralisasi namun juga politisasi: Magisterium dipandang

sebagai sebuah kekuasaan yang harus dilawan dengan kekuatan yang lain. Pada abad

terakhir ini, Ignaz Döllinger menyatakan ide untuk melawan Magisterium Gereja

dengan opini public dimana para theology harus memainkan peranan penting disini.

Walaupun begitu, orang orang beriman pada waktu itu secara bulat dan tegas

menolak posisi Döllinger dan memilih untuk mendukung Konsili Vatikan I. Saya

percaya bahwa beberapa reaksi yang keras dapat dijelaskan dengan fakta bahwa

beberapa theology merasa kebebasan akademis mereka terancam dan ingin membela

misi intelektual mereka. Secara natural, sikap yang tegas ini juga dipengaruhi

oleh iklim yang dipengaruhi oleh kultur sekular, yang lebih cocok dengan

Protestanteisme daripada Gereja Katholik.





Q: Saya merasakan adanya sebuah ironi ketika anda berbicara tentang misi

intelektual dari para theolog. Lalu bagaimana dengan kebebasan akademis dari

para theolog Katholik? Apakah keharusan agar sifat theology Gereja selalu setia

kepada sebuah doktrin adalah sebuah pengkondisian? Dan seringkali tidak ada

transparansi (persyaratan) untuk memberikan ijin untuk mengajarkan doktrin

Gereja (yaitu nihil obstat)?



PB XVI: Bagi theology, keselarasan terhadap iman Gereja tidak berarti menyerah

kepada kondisi yang asing bagi theology itu sendiri. Sesuai dengan sifat

dasarnya, theology berusaha untuk mengerti iman Gereja, yang merupakan

presaposisi (paradigma yang mendahului) eksistensinya. Dalam beberapa kasus,

para pemimpin Gereja Evangelikal terpaksa harus meninggalkan sisi akademis dari

misi pengajaran mereka, karena mereka telah meninggalkan dasar dasar dari misi

tersebut. Khususnya bagi kita dan nihil obstat, pertama tama kita harus selalu

ingat bahwa tidak ada seorangpun memiliki hak untuk mengajar. Fakultas theology

tidak diijinkan untuk mengkomunikasikan alasan mengapa seorang kandidat tidak

dipilih atau apa yang mendorong mereka membuat keputusan tersebut. Kita

menjelaskan kepada para Uskup mengapa, menurut kami, nihil obstat tidak boleh

dianugerahkan kepada seorang kandidat. Bagaimana cara untuk menyampaikan ini,

terserah kepada sang Uskup. Dalam beberapa kasus, kami membuka tanya jawab

kepada para kandidat, dimana penjelasan yang diberikannya dapat mengubah

keputusan dari negative menjadi positif.



Q: Inti kritik Peter Hünermann adalah: dengan menekankan kewajiban untuk

melakukan sumpah setia, para theolog dan biarawan juga diharuskan untuk hanya

memegang teguh sebagai ajaran yang sah, segala sesuatu yang berhubungan secara

tidak langsung dengan kebenaran iman, tidak termasuk didalamnya wahyu yang

eksplisit.



PB XVI: Saya telah menjelaskan persepsi yang salah ini dalam dua artikel saya

Stimmen der Zeit di tahun 1999 dan dalam kontribusi saya pada buku Wolfgang

Beinert, Gott - ratlos vor dem Bösen?, terbitan tahun yang sama, jadi saya akan

menjelaskan secara singkat saja. Hünermann mengarahkan kritiknya pada apa yang

disebutnya level kedua dari pengakuan iman, yang membedakan antara ajaran yang

valid dan tidak terpisahkan dengan Wahyu dengan Wahyu yang benar dan sejati itu

sendiri. Sama sekali tidak benar untuk mengatakan bahwa para Bapa Konsili

Vatikan I dan II menolak pembedaan ini. Malah yang benar adalah yang sebaliknya.

Konsep dari pe-Wahyuan telah diperluas pada awal era modern ini dengan

berkembangnya pemikiran historis. Ditariklah suatu perbedaan antara yang ‘benar

benar diwahyukan’ dan yang ‘ditarik atau diartikan dari pe-wahyuan’ itu sendiri,

yang tidak benar benar terpisah dari (wahyu) itu sendiri atau ‘secara langsung’

termuat didalamnya. Peng-historis-an konsep Wahyu tidak pernah ada di abad

Pertengahan. Konsep pemisahan kedua level ini baru muncul pada Konsili Vatikan I

melalui pembedaan antara “credenda” (untuk dipercaya) dan “tenenda” (untuk

diimani). Uskup Agung Pilarczyk dari Cincinnati baru baru ini telah menjelaskan

konsep ini dalam dokumen : Papers from the Vallombrosa Meeting (2000). Dan juga,

cukuplah kita mencoba membolak balik buku buku theology pada masa pre konsili

hanya untuk mengetahui bahwa inilah yang sebenarnya ingin ditulis, meskipun

rincian dari level kedua diperdebatkan sampai hari ini. Konsili Vatikan II

umumnya menerima pembedaan yang diformulasikan oleh Konsili Vatikan I, dan malah

mempertegasnya. Saya tidak dapat mengerti bagaimana seseorang bisa menyatakan

sebaliknya.





Q: Kritik yang terbesar tidak mempedulikan pembedaan ini sebesar klaim mereka

terhadap autoritas mengajar tertinggi dari magisterium yang hanya dikatakan

berstatus “Memiliki dasar yang kuat secara Theology”, dimana meskipun memiliki

landasan yang kuat, banyak keberatan yang terus disampaikan dan (sampai

sekarang) belum benar benar dapat dieliminasi.



PB XVI: Tentu saja, dalam suatu ajaran yang harus diimani (“tenenda”) ada makna

yang lebih dalam dari sekedar “Memiliki dasar yang kuat secara Theology”; dimana

yang terakhir disebutkan masih dapat diubah. Literature yang ada menyebutkan

beberapa ajaran moral Gereja yang penting dalam “tenenda” ini (contohnya

penolakan euthanasia dan membantu bunuh diri), dan apa yang dinamakan dengan

fakta fakta dogmatis (contoh bahwa Uksup Roma adalah Penerus dari St. Petrus,

yang memiliki legitimasi terhadap Konsili Eukumene, dll).



Q: Mari kita kembali ke dokumen Kongregasi anda yang sedang diperdebatkan.

Meskipun tidak dinyatakan gagal untuk menjelaskan isi dari pada bentuk,

Deklarasi Dominus Iesus sering dituduh sebagai pendekatan yang kurang bijaksana

yang mengganggu pemimpin pemimpin agama dan denominasi lain. Cardinal Sterzinsky

dari Berlin mengatakan bahwa dalam pembentukan theologis penting untuk selalu

memperhatikan “kapan, dimana dan bagaimana” dalam pengajaran. Dalam dokumen

dokumen dari Roma, kelihatannya hal ini agak diabaikan. Dan Uskup Lehmann dari

Mainz mengatakan bahwa ia akan lebih menyukai “sebuah teks yang ditulis dengan

gaya yang memiliki semangat perdamaian yang besar”, dan mereka ingin tahu sampai

dimana Kongregasi Doktrim Iman bekerja sama dengan autoritas autoritas

perdamaian lain ketika menyiapkan dokumen tersebut. Yang dimaksud olehnya disini

adalah Konsili Dialog Antar Agama dan Konsili Bagi Persatuan Orang Kristen.



PB XVI: Mengenai kerjasama dengan autoritas autoritas perdamaian lain, Presiden

dan Sekretaris dari Konsili Bagi Persatuan Umat Kristen, Kardinal Cassidy dan

Uskup Casper, adalah anggota dari Kongregasi kami, demikian juga Presiden dari

Konsili Dialog Antara Agama, Kardinal Arinze. Mereka semua berkontribusi dalam

masalah ini sama seperti saya. Sebagai kepala (pemimpin), sesungguhnya, (saya)

hanyalah yang pertama namun setara dengan (anggota) yang lainnya, yang

bertanggung jawab terhadap pengaturan pengerjaan dokumen. Ketiga anggota

Kongregasi yang telah saya sebutkan sebelumnya turut berperan aktif dalam

penyusunan dokumen itu, dan (dokumen tersebut) telah berulang kali

dipresentasikan pada rapat Kardinal dan sekali pada rapat plenary dimana semua

anggota hadir. Sayangnya, Cardinal Cassidy dan Uskup Kasper sesuaidengan

persetujuan bersama, tidak mengikuti beberapa sesi, meskipun mereka telah

diberitahu tentang tanggal rapat ini jauh jauh hari. Walaupun begitu, mereka

menerima semua (copy) dokumen dan persetujuan tertulis mereka juga telah

dikomunikasikan kepada para peserta dan didiskusikan dengan seksama.Q: Apakah

(pendapat) mereka didengarkan?



PB XVI: Hampir semua usulan dari mereka berdua diterima, karena dalam hal

semacam ini kesatuan pendapat dari Konsili adalah sangat penting. Lebih lanjut

lagi, saya benar benar dapat memahami bahwa Uskup Jerman benar benar sensitive

terhadap kesulitan kesulitan yang muncul dari situasi yang terjadi di negara

kami. Namun juga ada sudut pandang lain. Baru baru ini, ketika saya sedang dalam

perjalanan pulang saya bertemu dengan dua orang yang mengatakan pada saya: “Kami

adalah misionaris di Afrika. Kami benar benar merindukan kata kata tersebut!

Kami terus menerus mengalami kesulitan, dan kaum misionaris tambah lama menjadi

tambah sedikit”. Saya benar benar tersentuh dengan ungkapan terimakasih mereka

berdua, sebagai pewarta Injil di garis terdepan. Dan ini hanyalah salah satu

reaksi dari banyak reaksi sejenis. Kebenaran selalu tidak pernah mengenakkan dan

terasa mengganggu. Kata kata Yesus seringkali sangat keras dan dinyatakan tanpa

banyak penghalusan dan diplomasi. Walter Kasper dengan tepat mengatakan bahwa

sensasi yang diakibatkan oleh dokumen tersebut dapat mengurangi problem problem

komunikasi, karena bahasa doctrinal klasik, yang biasanya dipakai dalam dokumen

kami sebagai kelanjutan dari teks teks dari Konsili Vatikan II, adalah sangat

berbeda dari yang biasa digunakan di suratkabar dan media. Dan kemudian teks

tersebut harus diinterpretasikan bukannya terus menerus dicela.



Q: Dalam diskusi tentang dokumen dari Kongregasi anda, kemungkinan dan batasan

dari eukumenisme sekali lagi ditanyakan. Problem dari proyek eukumene tidak

berkisar hanya pada ada atau tidaknya tendensi dari kedua kubu untuk berusaha

mengesampingkan perbedaan dan tidak lagi menganggap keinginan untuk menang

sebagai hal yang penting. Dalam sebuah artikel 15 tahun yang lalu, Theologische

Quartalschrift, anda telah mengingatkan untuk tidak memandang “eukumenisme

sebagai sebuah tugas diplomatic yang bernuansa politik”, dan anda mengkritik

“negosiasi eukumene” yang terjadi pada periode pasca konsili. Apa sebenarnya

maksudnya?



PB XVI: Pertama tama, saya akan membedakan antara dialog theologi dengan politik

atau negosiasi bisnis. Dialog theologi tidak ditujukan untuk menemukan apa saja

yang dapat diterima dan akhirnya cocok bagi kedua belah pihak, namun dengan

menemukan kesamaan yang mendalam diantara bentuk bentuk bahasa yang berbeda

tersebut dan dengan belajar untuk membedakan apa yang hanya terjadi dalam

periode sejarah tertentu dengan apa yang benar benar fundamental. Ini

dimungkinkan terutama karena pengertian dari Pengalaman berTuhan dan Diri

sendiri telah berubah, ketika permasalahan bahasa dapat dilihat sebagai penyebab

perpecahan tersebut dan pemahaman baru yang fundamental dapat mengalir dari

keinginan yang telah menyebabkan perpecahan itu sendiri.



---------------------------------------------------------

bersambung.... (3)
Q: Apakah anda dapat memberikan sebuah contoh ?




PB XVI: Dapat ditemukan dengan jelas pada doktrin pembenaran: pengalaman

religius Luther telah terkondisi secara essensial oleh aspek yang rumit dari

murka Allah dan sebuah keinginan untuk mendapatkan kepastian akan pengampunan

dan keselamatan. Meski demikian, pengalaman akan murka Allah benar benar telah

dilupakan di era kita sekarang, dan pendapat bahwa Allah tidak dapat memusnahkan

siapapun telah demikian berkembang diantara orang-orang Kristen. Dalam konteks

yang sangat berbeda sekarang, mereka dapat mencari keserasian dari kedua sisi

tersebut, bermula dari Alkitab, sebagai dasar bersama. Sehingga saya tidak dapat

menemukan kontradiksi, diantara, Dominus Iesus, yang hanya menegaskan ide

sentral dari Konsili, dengan persetujuan (terhadap theology) pembenaran. Sangat

penting untuk mengadakan dialog dengan kesabaran yang besar, dengan penghormatan

yang dalam dan, terutama, kejujuran total. Tantangan agnostikisme kepada kita

semua adalah untuk meninggalkan konsep konsep historis dan kembali kepada inti

dari permasalahan. Sebagai contoh, kembali kepada point sebelumnya dari diskusi

kita, kejujuran berarti tidak menerapkan konsep yang sama tentang Gereja kepada

Gereja Katholik ataupun salah satu Gereja yang dibentuk dari batasan batasan

prinsip yang lampau.



Q: Kemudian, setelah publikasi dari dokumen anda apakah formulasi eukumene dari

“pendamaian perbedaan” masih berlaku ?



PB XVI: Saya dapat menerima konsep dari “pendamaian perbedaan”, jika itu tidak

berarti penyamaan isi dan pengabaian pertanyaan tentang kebenaran sehingga

(seolah olah) kita dapat menganggap diri kita tetap satu, meskipun kita masing

masing percaya dan mengajarkan hal yang berbeda. Dalam pikiran saya konsep ini

dapat digunakan dengan baik, jika itu bermakna bahwa, meskipun perbedaan

perbedaan yang ada diantara kita, yang tidak membuat kita menganggap diri kita

sebagai sekedar kepingan dari Gereja Yesus Kristus yang kehadirannya tidak benar

benar nyata, kita tetap bertemu di dalam damai Kristus dan berdamai satu sama

lain, sehingga, kita melihat perpecahan kita tidak sesuai dengan keinginan Tuhan

dan kesedihan ini mendorong kita kepada persatuan dan untuk berdoa kepadaNya

dalam penerangan bahwa kita semuanya merindukan cintaNya.





Q: Seringkali orang membaca satu bagian dari tulisan Paus dan pembantu

pembantunnya yang merelatifkan perpecahan keKristenan dalam perlakuan

dialektikal sejarah penyelamatan. Sri Paus kemudian berbicara tentang “sebuah

alasan metahistoris” tentang perpecahan tersebut dan, dalam bukunya Crossing the

Treshold of Hope, ia bertanya: “Apakah mungkin perpecahan ini juga merupakan

sebuah jalan yang terus menerus mengarahkan Gereja untuk menemukan harta yang

tersimpan dalam Injil Kristus dan dalam penebusan yang telah diselesaikan oleh

Kristus? Mungkin semua harta ini tidak akan dapat muncul jika yang sebaliknya

yang terjadi. Jadi perpecahan orang orang Kristen dipandang sebagai sebuah

pekerjaan pengajaran oleh Roh Kudus, seperti yang dikatakan oleh Sri Paus

dimana, penting adanya suatu “pengajaran khusus” bagi pengetahuan manusia dan

perbuatan manusia. Anda sendiri menulis: “Meskipun perpecahan adalah pekerjaan

manusia dan juga dosa manusia, namun disitu hadir sebuah dimensi yang sesuai

bagi pekerjaan Allah”. Jika memang demikian, orang orang bertanya hak apa yang

memperbolehkan pengajaran ilahi ditentang dengan mengidentifikasi Gereja Kristus

sebagai Gereja Katholik Roma. Apakah impresi konseptual yang dikecam dalam

dialog eukumene juga ditemukan dalam spekulasi sejarah penyelamatan oleh

pengajaran Allah ?



PB XVI: Ini adalah topic pembicaraan yang sulit mengenai kebebasan manusia dan

kepemimpinan Allah. Tidak ada jawaban yang valid dalam bentuk yang absolute

karena kita tidak dapat melampaui batasan manusiawi, dan karenanya kita tidak

dapat membuka misteri yang menghubungkan kedua elemen ini. Apa yang telah anda

kutip dari Bapa Suci dan bagi saya mungkin dapat disejajarkan dengan istilah

yang sangat terkenal bahwa Allah menulis lurus dengan garis garis yang bengkok.

Garis garis tersebut tetap bengkok dan ini berarti bahwa perpecahan tersebut

diakibatkan oleh dosa manusia. Dosa tidak bisa dipandang sebagai hal yang

positif karena membawa pertumbuhan dan kemudian dosa dimengerti sebagai sesuatu

yang dapat dilampaui oleh pertobatan dan dapat dihapuskan dengan pengampunan.



St. Paulus harus menjelaskan kepada jemaat di Roma tentang ambiguitas yang

muncul dari pengajarannya tentang rahmat, dimana, karena dosa maka rahmat

diberikan kepada manusia, maka manusia bisa toleran terhadap dosa (Rom 6:19).

Kemampuan Tuhan untuk mengubah dosa kita menjadi sesuatu yang baik sama sekali

tidak berarti bahhwa dosa itu adalah baik. Dan fakta bahwa Allah dapat membuat

perpecahan menghasilkan buah yang baik tidak membuat (perpecahan) itu sebagai

sesuatu yang positive di dalam dirinya sendiri. Impresi konseptual yang muncul

adalah karena ketidak mampuan kita untuk mengerti hubungan antara kebebasan

untuk berbuat dosa dan menjadi bebas karena rahmat. Rahmat yang membebaskan juga

dikenal melalui fakta bahwa, di lain sisi, Gereja tidak mengecil dan pecah

menjadi pecahan pecahan yang saling berlawanan dalam mimpi yang tidak dapat

direalisasikan. Melalui rahmat Tuhan, Gereja sebagai subyek benar benar hadir

dan subsists dalam Gereja Katholik; janji Kristus adalah jaminan bahwa subyek

ini tidak akan dapat dimusnahkan. Namun di sisi lain, memang benar bahwa subyek

ini terluka, dimana ada realitas gereja yang berfungsi diluar dirinya. Dalam

fakta seperti itulah, tragedy dosa dan keluasan janji Tuhan yang bersifat

paradoks benar benar muncul. Jika ketegangan (paradoksikal) ini dihilangkan

untuk menghasilkan suatu formula yang benar benar jelas, dan dikatakan bahwa

semua komunitas gereja adalah sang Gereja, dan bahwa semuanya, dengan ketidak

sepahaman diantaranya, adalah Gereja yang satu dan kudus, maka tidak ada lagi

eukumenisme, karena tidak ada lagi alasan untuk mencari keutuhan yang autentik.



Q: Pertanyaan yang sama dapat diajukan lagi dari sudut pandang yang lain: apakah

pertanyaan tentang profesi religius berhubungan dengan keselamatan pribadi.

Mengapa misi, mengapa ada ketidak setujuan terhadap “kebenaran” dan dokumen

dokumen Vatikan jika, pada akhirnya manusia dapat mencapai Tuhan melalui banyak

jalan?



PB XVI: Dokumen tersebut tidak mengulangi ide subyektivisme dan relativisme

dimana semua orang dapat menjadi suci dengan caranya sendiri. Ini adalah sebuah

interpretasi yang sinis, dimana saya merasakan sebuah ketidak setujuan pada

pertanyaan tentang kebenaran dan etika yang benar. Dokumen tersebut sejalan

dengan Konsili bahwa Tuhan memberikan penerangan kepada semua orang. Mereka yang

mencari kebenaran akan menemukan diri mereka berada di jalan yang membawanya

kepada Kristus, dan juga kepada jalan yang membawanya kepada komunitas dimana ia

benar benar hadir dalam sejarah, yaitu, dalam Gereja. Mencari kebenaran,

mendengarkan suara hati dari dirinya, terus menerus memurnikan pendengaran, ini

semua adalah kondisi yang perlu dilakukan oleh semua orang untuk mendapatkan

keselamatan. Itu semua sangat penting, dan terhubung secara objective dengan

Kristus dan Gereja. Dengan cara ini, kita dapat mengatakan bahwa agama agama

yang lain memiliki tata cara ibadat dan doa yang dapat mempersiapkannya untuk

menerima Injil, pada situasi dan terang pengajaran dimana hati manusia

disadarkan untuk membuka diri sendiri kepada kuasa Tuhan. Namun kita juga dapat

mengatakan bahwa hal ini tidak terjadi pada semua system peribadatan. Karena ada

beberapa (siapapun yang mengetahui sedikit sejarah tentang agama akan setuju)

yang menjauhkan manusia dari rahmat. Jadi kehati hatian dan pemurnian diri bisa

didapatkan dengan menjalani kehidupan yang mengikuti kata hati dan membantu

untuk mengidentifikasi perbedaan perbedaan, sebuah keterbukaan yang, pada

akhirnya, bertujuan untuk menjadi milik Kristus sepenuhnya.



Untuk alasan inilah dokumen tersebut dapat menegaskan bahwa misi tersebut tetap

penting, karena menawarkan pengertian yang dibutuhkan semua orang dalam

pencariannya akan kebenaran dan ketuhanan.



Q: Namun pertanyaannya tetap: karena, seperti yang telah anda katakan,

keselamatan dapat diperoleh melalui semua jalan, asalkan seseorang hidup

berdasarkan suara hatinya, apakah kemudian misi tidak menjadi kehilangan

kepentingan theologisnya? Karena apalagi yang dapat dimaknakan dari ide

“hubungan yang intim dan objective” antara jalan keselamatan non-Katholik dan

Kristus, jika tidak karena Kristus sendiri membuat perbedaan yang besar antara

kebenaran keselamatan yang “penuh” dan yang “kurang penuh”, karena, jika Ia

hadir sebagai sarana keselamatan, Ia selalu dan secara logis benar benar hadir

secara “penuh”.



PB XVI: Saya tidak pernah mengatakan bahwa keselamatan dapat diperoleh melalui

semua jalan. Suara hati, keinginan untuk tetap fokus kepada kebenaran dan tujuan

kebajikan, adalah jalan satu satunya, meskipun dapat mengambil bermacam macam

bentuk karena banyaknya pribadi dan situasi. Yang baik akan selalu tunggal, dan

kebenaran tidak berkontradiksi di dalam dirinya sendiri. Fakta bahwa manusia

tidak dapat mencapainya atau yang lainnya tidak merelatifkan kebutuhan akan

kebenaran dan kebajikan. Untuk alasan ini tidaklah cukup untuk tetap berada di

dalam agama yang diwarisi dari orang tuanya, namun seseorang harus terus mencari

kebenaran sejati dan kemudian dapat melampaui batasan agamanya sendiri. Ini

dapat berarti jika kebenaran dan kebajikan benar benar ada. Akan tidak mungkin

untuk mengikuti jalan Kristus jika Ia tidak pernah ada. Hidup dengan mata hati

yang terbuka, memurnikan diri sendiri dan terus menerus mencari pencerahan

adalah kondisi kondisi yang tidak terpisahkan dari keselamatan manusia.

Mewartakan kebenaran, adalah, membuat terang tersebut bercahaya (tidak

menempatkannya “dibawah dipan, tapi diatas kaki dian”), mutlak penting.



Q: Bukan konsep dari Gereja yang menganggu orang Protestant, namun interpretasi

Alkitab dalam Dominus Iesus, yang menyatakan bahwa orang harus melawan

“kecenderungan untuk membaca dan menginterpretasikan Kitab Suci diluar Tradisi

Magisterium Gereja” dan “presuposisi… yang mengahalangi pengertian dan

penerimaan akan kebenaran wahyu”. Jüngel berkata: “pemahaman yang keliru

terhadap autoritas Magisterium Gereja akan mengurangi autoritas Kitab Suci”.



PB XVI: Dengan 500 tahun pengalaman, eksegese modern telah secara jelas

mengakui, disertai dengan literature modern dan filosofi bahasa, bahwa

interpretasi pribadi akan Alkitab tidak akan pernah menghasilkan pengertian yang

utuh. Adolf von Harnack pada tahun 1928, dengan keterusterangannya yang khas,

dalam korespondensinya dengan Erik Peterson mengatakan bahwa “apa yang disebut

dengan ‘prinsip formal’ dari Lutheranism lama adalah sebuah ketidak mungkinan

yang sudah berada dalam tahap yang kritis; dan sebaliknya, (prinsip prinsip)

yang dimiliki oleh (Gereja) Katholik masih lebih baik”. Ernst Käsemann telah

menunjukkan bahwa prinsip (norma/kaidah) Kitab Suci yang demikian tidak mengarah

kepada kesatuan Gereja, melainkan (kepada) pengakuan (iman) yang beraneka ragam.

Akhir akhir ini, salah satu exegete Evangelis yang terpenting, Ulrich Luz, telah

menunjukkan bahwa “Sola Scriptura” telah membuka jalan kepada semua kemungkinan

interpretasi. Dan akhirnya, generasi pertama dari gerakan Reformasi juga

diharuskan untuk mencari “titik sentral dari Alkitab”, untuk mendapatkan kunci

interpretasi yang ternyata tidak dapat diekstrapolasikan dari teks teks yang

ada. Satu contoh praktis lain: dalam sebuah diskusi dengan Gerd Lüdemann, ada

seorang professor yang menolak kebangkitan dan ketuhanan Kristus, dll., telah

ditunjukkan disana bahwa Gereja Evangelis tidak dapat melakukan (pembuktian)

tanpa (kuasa atau petunjuk dari) sebuah Magisterium. Ketika bentuk dari iman

menjadi kabur dalam arus arus untuk melawan usaha exegese (materialistis,

feministis, exegese liberal, etc.), secara nyata terbukti bahwa pernyataan iman,

dan dengan demikian Tradisi Gereja yang hidup, adalah yang dapat menjamin

interpretasi yang sesungguhnya dari Kitab Suci, dan dapat melindungi dari

subyektifitisme dan menjaga keaslian dan keotentikannya. Dengan demikian

Magisterium tidaklah menghilangkan autoritas dari Kitab Suci namun benar benar

menjaganya dengan menempatkan diri dibawahnya dan membiarkan iman timbul dan

mengalir dari padanya.



Q: Deklarasi yang dikeluarkan oleh Kongregasi anda menunjukkan perlunya

penerimaan terhadap “suksesi apostolic” sebagai kriteria penting untuk dapat

disebut sebagai “Gereja Saudara” oleh Gereja Katholik Roma. Orang Protestant

seperti Jüngel menolak prinsip ini karena tidak alkitabiah. Baginya, penerus

dari Para Rasul bukanlah para Uskup melainkan kanon (prinsip/norma/kaidah)

alkitab. Dalam pandangannya, setiap orang yang hidup sesuai dengan Alkitab

adalah penerus Para Rasul.



PB XVI: Pernyataan bahwa kanon adalah penerus Para Rasul adalah sesuatu yang

dilebih lebihkan dengan mencampur adukkan hal hal yang sangat berbeda. Kanon

Alkitab dihadirkan oleh Gereja dalam sebuah proses yang terus berlangsung hingga

abad ke lima. Kanon tersebut, dengan demikian, tidak akan ada tanpa pengawalan

dari penerus Para Rasul dan, pada saat yang sama, menetapkan kriteria kriteria

pelayanan mereka. Sabda yang tertulis tidak dapat menggantikan saksi hidup, sama

seperti yang ada setelahnya tidak dapat menggantikan sabda yang tertulis. Para

saksi hidup dan sabda yang tertulis saling menegaskan satu sama lain. Kita semua

berbagi struktur keuskupan dalam gereja sebagai cara untuk berada bersama (in

communion) dengan Para Rasul, dengan Gereja Awal dan dengan Gereja Orthodox; ini

seharusnya memberikan sebuah alasan untuk refleksi. Ketika dinyatakan bahwa

seseorang yang hidup berdasarkan Alkitab adalah penerus dari Para Rasul,

pertanyaan berikut ini akan menjadi tidak memiliki jawaban : siapa yang

memutuskan apa yang dimaksud dengan hidup sesuai dengan Alkitab dan siapa yang

memutuskan bahwa seseorang benar benar telah melakukannya? Ide bahwa penerus

Para Rasul bukanlah para Uskup melainkan kanon alkitab jelas adalah sebuah

penolakan dari konsep Gereja Katholik. Pada saat yang sama, kita diharapkan

untuk dapat menerima konsep dari Gereja-gereja Reformasi. Ini adalah sebuah

logika yang terus terang tidak bisa saya mengerti.



Cardinal Joseph Ratzinger